Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,287
Insomnia
Horor

Antara Terjaga dan Gila

Bab 1 – Malam yang Tak Pernah Berakhir

Arvan adalah cerminan dari kegelapan yang tak diundang. Pada usianya yang ke-23, ia seharusnya berada di puncak energi, menjelajahi dunia dengan semangat seorang pemuda. Namun, bagi Arvan, setiap hari terasa seperti pertarungan sengit melawan musuh tak kasat mata: insomnia kronis. Sudah dua bulan berlalu sejak malam terakhir ia merasakan nikmatnya tidur pulas, tidur yang menghapus lelah, tidur yang menyegarkan pikiran. Kini, ia hanya mampu mereguk remah-remah istirahat, total satu atau dua jam sehari, sebuah fragmen waktu yang terlalu singkat untuk memulihkan kerusakan yang terjadi pada jiwanya.

Awalnya, Arvan mencoba melawannya. Ia mengikuti saran-saran umum: minum teh herbal, mandi air hangat, mematikan semua perangkat elektronik jauh sebelum tidur. Semua sia-sia. Malam-malamnya dipenuhi kegelisahan, pikiran yang berputar tanpa henti, dan sensasi bahwa waktu telah melambat, setiap detiknya terasa seperti berjam-jam. Dinding kamarnya, yang dulunya memberinya rasa aman, kini terasa seperti penjara yang memerangkapnya dalam siksaan tanpa akhir.

Gejala-gejala awal muncul dengan lembut, seolah-olah dunia mencoba memberinya sinyal. Pertama adalah suara tawa yang samar, terkadang seperti tawa anak kecil, terkadang seperti tawa cekikikan seorang wanita, selalu muncul dari sudut-sudut ruangan yang gelap. Arvan akan menoleh cepat, mencarinya, tetapi hanya ada kehampaan. Lalu, bisikan-bisikan mulai menyusup, desiran tak berarti yang terkadang terdengar seperti namanya dipanggil, terkadang seperti kalimat yang terpotong-potong. Ia mengira itu hanya kelelahan, produk dari otaknya yang terlalu banyak bekerja dan terlalu sedikit istirahat. Namun, bisikan itu semakin jelas, semakin mendesak, seolah-olah ada seseorang yang berbicara di dekat telinganya, tepat di ambang kesadaran.

Kemudian, datanglah bayangan hitam. Mereka muncul di sudut matanya, sekilas wujud yang melintas cepat saat ia berbalik, atau sesaat menempel di dinding saat cahaya remang-remang menembus jendela. Bentuknya tak jelas, hanya gumpalan gelap yang menyerupai siluet manusia, tetapi selalu menghilang begitu ia mencoba fokus padanya. Arvan mulai mencatat semua ini dalam jurnal kecilnya, sebuah buku bersampul kulit tua yang diberikan ayahnya saat ia masih kecil. Awalnya, jurnal itu berisi coretan ide-ide cemerlang, rencana masa depan, dan pengamatan dunia. Kini, jurnal itu menjadi saksi bisu kemerosotan mentalnya, sebuah catatan kronologis tentang pergeseran persepsinya.

"Malam ke-58. Bisikan di dinding semakin keras. Seperti nyanyian. Atau ratapan?" tulisnya dengan tangan gemetar. "Melihat sosok hitam lagi, di ambang pintu kamar mandi. Apakah aku mulai gila?"

Arvan adalah pemuda yang pendiam, cerdas, dengan mata yang selalu memancarkan rasa ingin tahu yang dalam. Ia adalah mahasiswa berprestasi di bidang arsitektur, dikenal karena ketelitian dan imajinasinya yang tak terbatas. Namun, insomnia telah menggerogoti semua itu. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin pekat, kulitnya pucat, dan tubuhnya kurus. Ia menjadi makin tertutup, menarik diri dari teman-teman dan keluarganya. Interaksi sosial terasa seperti beban berat, energi yang harus ia paksakan untuk dikeluarkan. Ia seringkali kehilangan fokus di kelas, pikirannya melayang-layang di antara halusinasi dan kenyataan yang samar.

Pada tahap ini, Arvan masih mampu membedakan. Ia tahu bahwa suara-suara itu mungkin hanya ilusi pendengaran, dan bayangan itu mungkin hanya fatamorgana visual akibat kelelahan ekstrem. Ia berpegangan erat pada batas tipis antara kenyataan dan khayalan, seperti seorang pelaut yang berpegangan pada tiang kapal di tengah badai. Ia seringkali mencoba meyakinkan dirinya sendiri, "Ini hanya kelelahan, Arvan. Otakmu hanya terlalu lelah." Namun, semakin sering ia mengulang kalimat itu, semakin tipis pula keyakinannya.

Suatu malam, ketika jam menunjukkan pukul 02:47 dini hari, Arvan duduk di tepi ranjangnya, memandang ke luar jendela. Langit gelap pekat, tanpa bintang. Bisikan-bisikan itu terasa lebih dekat dari sebelumnya, seolah-olah ada seseorang yang duduk di sampingnya, membisikkan rahasia-rahasia mengerikan langsung ke telinganya. Ia mencoba mengabaikannya, membenamkan kepalanya di bantal, namun suara itu menembus bantal, menembus otaknya. Tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin yang menusuk. Bukan dingin dari jendela yang terbuka, melainkan dingin yang merayap dari dalam dirinya, seolah-olah jiwanya sedang membeku. Ia merasakan bulu kuduknya meremang.

Ia membuka matanya perlahan. Di sudut ruangan, dekat lemari pakaiannya, bayangan hitam itu kini tampak lebih jelas. Bukan lagi sekadar gumpalan tak berbentuk, melainkan siluet samar seorang wanita dengan rambut panjang yang terurai. Ia berdiri diam, memunggungi Arvan, seolah-olah sedang mengamati sesuatu di dinding. Jantung Arvan berdebar kencang. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanyalah kelelahan ekstrem, bahwa otaknya sedang memproyeksikan ketakutannya sendiri. Namun, dinginnya udara dan ketegangan yang merayap di kulitnya terasa sangat nyata.

"Halo?" Arvan berbisik, suaranya serak dan nyaris tak terdengar.

Bayangan itu tidak bergerak. Arvan merasa dorongan kuat untuk lari, untuk bersembunyi di bawah selimut, tetapi kakinya terasa membeku. Ia mencoba meraih ponselnya di nakas, tangannya gemetar. Saat jarinya menyentuh permukaan dingin ponsel, bayangan itu perlahan menoleh. Arvan bisa merasakan tatapan kosong dari kegelapan yang seharusnya adalah wajahnya. Tidak ada fitur, tidak ada mata, hanya kehampaan yang tak terlukiskan. Kengerian yang sesungguhnya menyapu dirinya. Ini bukan hanya kelelahan. Ini adalah sesuatu yang lain. Sesuatu yang telah menembus batas antara dunia nyata dan kegilaan.

Ia menulis dalam jurnalnya malam itu, dengan tangan yang masih gemetar hebat: "Malam ke-60. Aku melihatnya. Dia menoleh. Apakah aku benar-benar di sini, atau ini hanya mimpi yang tak pernah berakhir? Aku tidak bisa membedakan lagi."

Rasa takut itu kini bukan lagi hanya berupa bisikan atau bayangan, melainkan sebuah kehadiran yang menakutkan, sebuah janji mengerikan bahwa perjalanannya ke dalam kegilaan baru saja dimulai. Ia mencoba memejamkan mata, memohon agar tidur segera datang dan mengakhiri siksaan ini. Namun, malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, hanyalah lingkaran tak berujung dari terjaga dan kegelisahan, sebuah prolog yang mengerikan untuk bab-bab selanjutnya dalam kisah kehancurannya.

Bab 2 – Tamu Tengah Malam

Malam demi malam, jam tiga dini hari menjadi penanda yang mengerikan bagi Arvan. Itu adalah waktu ketika dunia seolah-olah bergeser, ketika tirai tipis antara kenyataan dan halusinasi mulai terkoyak. Sosok wanita itu, yang awalnya hanya bayangan samar di sudut kamarnya, kini muncul dengan kehadiran yang lebih nyata, lebih menakutkan. Setiap malam, tepat pukul tiga, ia akan muncul di tepi ranjang Arvan, berdiri diam, membelakangi jendela, seolah-olah menunggu sesuatu. Arvan mencoba berbagai cara untuk menghentikannya. Ia menutup jendela rapat-rapat, mengganti posisi ranjang, bahkan mencoba tidur dengan lampu menyala terang. Semua sia-sia. Sosok itu akan tetap ada, tak terpengaruh oleh upaya putus asanya.

Awalnya, Arvan masih berpegang teguh pada keyakinan bahwa ini hanyalah mimpi buruk yang berulang. Ia seringkali terbangun dengan jantung berdebar kencang, napas terengah-engah, dan keringat dingin membasahi dahinya. Ia akan menyentuh lengan atau wajahnya, mencoba meyakinkan diri bahwa ia sudah bangun, bahwa semua itu hanyalah rekaan otaknya yang kelelahan. Namun, sensasi keberadaan sosok itu, hawa dingin yang menyertai kedatangannya, dan rasa takut yang nyata, mulai mengikis keyakinannya.

Suatu malam, kengerian itu mencapai puncaknya. Jam menunjukkan pukul 03:00. Arvan terjaga dengan perasaan gelisah yang luar biasa. Ia merasakan kehadiran itu sebelum matanya terbuka sepenuhnya. Sosok wanita itu sudah berdiri di samping ranjangnya, kali ini menghadap ke arahnya. Arvan tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, hanya siluet gelap yang memancarkan aura dingin yang menusuk. Ia merasakan tatapan kosong yang mengawasinya, menembus jiwanya. Panik menjalar. Ini bukan mimpi. Ini terlalu nyata.

Ia mencoba berteriak, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan. Kakinya terasa lumpuh, tubuhnya tak bisa digerakkan. Sosok itu perlahan mengulurkan tangannya yang kurus, jemarinya panjang dan pucat, seolah-olah terbuat dari bayangan itu sendiri. Arvan merasakan ujung jari-jari dingin itu menyentuh pipinya, sentuhan yang terasa seperti es membakar kulitnya. Kengeriannya berubah menjadi amarah. Amarah karena terjebak dalam siksaan ini, amarah karena kehilangannya kendali atas dirinya sendiri.

Dengan kekuatan putus asa yang muncul entah dari mana, Arvan menerjang. Ia mengayunkan tangannya, mencoba memukul sosok itu, berharap bisa mengusirnya. Tangannya menembus kehampaan, seolah-olah ia memukul udara. Namun, saat tangannya melesat ke depan, ia merasakan sesuatu yang tajam menusuk kulit lengan kirinya. Rasa sakit yang tajam menyengat. Arvan tersentak, menarik lengannya kembali. Sosok itu mundur perlahan, menghilang kembali ke dalam kegelapan yang melingkupi sudut kamar.

Napas Arvan terengah-engah. Ia menyalakan lampu kamar dengan tangan gemetar. Cahaya menerangi ruangan, mengusir bayangan, tetapi tidak mengusir ketakutan yang masih mencengkeramnya. Ia menatap lengannya. Sebuah sayatan tipis, sekitar dua sentimeter panjangnya, terlihat jelas di bagian dalam lengan kirinya. Darah merah pekat merembes keluar, mengotori sprei putihnya.

Luka di lengannya nyata. Sangat nyata. Ini bukan mimpi. Ini adalah bukti fisik yang tak terbantahkan bahwa apa yang ia alami bukan hanya rekaan pikirannya. Sensasi sakit itu, bau darah yang amis, semuanya menegaskan realitas yang mengerikan. Ia terdengar seperti orang gila. Bagaimana mungkin ia terluka oleh sesuatu yang tidak nyata?

Keesokan paginya, Arvan dengan panik menunjukkan lukanya kepada ibunya. "Bu, lihat! Ini bukan mimpi! Dia melukaiku!" suaranya serak, matanya merah karena kurang tidur. Ibunya, seorang wanita paruh baya dengan raut wajah lelah akibat kekhawatiran terus-menerus terhadap putra tunggalnya, mendekat. Ia memeriksa luka itu dengan cermat.

"Ya Tuhan, Arvan, bagaimana ini bisa terjadi?" tanyanya, suaranya dipenuhi kecemasan. Ia membersihkan luka itu dengan antiseptik dan menempelkan plester. "Kamu pasti menggaruknya saat tidur, nak. Kamu tahu, kamu sering menggaruk-garuk saat gelisah."

Arvan menggelengkan kepala dengan putus asa. "Tidak, Bu! Aku tidak menggaruknya! Dia yang melakukannya! Sosok wanita itu!"

Ibunya hanya menatapnya dengan pandangan sedih, bercampur khawatir. "Sudahlah, nak. Kamu terlalu banyak berpikir. Kamu butuh istirahat. Kita akan bicara lagi dengan dokter tentang obat tidurmu."

Keluarganya tak percaya. Ayahnya, yang selalu pragmatis dan percaya pada logika, hanya mendesaknya untuk "berpikir jernih" dan "berhenti berimajinasi". Mereka melihatnya sebagai efek samping dari insomnia akut, bahwa Arvan terlalu lelah sehingga pikirannya mulai bermain trik. Mereka mencoba merasionalisasi segalanya, mencari penjelasan logis untuk hal yang, bagi Arvan, sama sekali tidak logis. Penolakan mereka terasa seperti pukulan telak. Ia merasa sendirian, terisolasi dalam kengeriannya sendiri. Bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang tidak bisa mereka lihat, tidak bisa mereka rasakan?

Arvan mencoba menyembunyikan luka itu dari teman-temannya. Ia mulai memakai kemeja lengan panjang, bahkan di cuaca yang hangat, untuk menutupi jejak fisik dari interaksinya dengan "tamu tengah malam" itu. Namun, luka itu tetap menjadi pengingat yang mengerikan. Setiap kali ia melihatnya, ia teringat sentuhan dingin dan rasa sakit yang menusuk. Luka itu adalah jembatan antara dua dunia, bukti konkret bahwa batas antara kenyataan dan kegilaan sudah mulai runtuh.

Malam berikutnya, ketakutan Arvan semakin dalam. Ia bersembunyi di bawah selimut, meringkuk, mencoba menghindari tatapan kosong dari jendela. Ia tahu jam tiga akan datang. Ia tahu sosok itu akan muncul. Ia mendengar detak jam di dinding, setiap detiknya terasa seperti palu yang menghantam kepalanya. 02:58. 02:59. Lalu, jarum jam bergerak ke 03:00.

Hawa dingin menyapu ruangan. Arvan bisa merasakannya, bahkan dari bawah selimut tebalnya. Ia mendengar desiran samar, seolah-olah kain sutra bergesekan dengan lantai. Ia tahu dia ada di sana. Ia tidak berani membuka matanya. Ia hanya meringkuk, menahan napas, membiarkan ketakutan menguasainya. Ia menunggu sentuhan dingin, menunggu rasa sakit, tetapi kali ini, tidak ada apa-apa. Hanya hening yang mencekam, jauh lebih mengerikan daripada suara atau sentuhan apapun.

Ketika ia akhirnya memberanikan diri membuka mata, fajar sudah menyingsing. Sosok itu telah pergi. Tetapi Arvan tahu, dia akan kembali. Dan dia tahu, dengan setiap kunjungan, realitasnya semakin terkoyak. Luka di lengannya, yang kini telah mengering dan membentuk keropeng tipis, adalah bukti nyata bahwa ia telah melangkah terlalu jauh ke dalam kegelapan, ke dalam sebuah dunia di mana batas antara hidup dan mimpi mulai mengaburkan dirinya. Ia mulai meragukan kewarasannya sendiri, sebuah pertanyaan yang berbisik di benaknya: "Apakah aku masih di sini, atau aku sudah berada di tempat lain yang tak terjangkau oleh logika?"

Bab 3 – Dunia Dalam Kepala

Setelah insiden luka di lengan, dunia Arvan semakin terdistorsi. Batas antara siang dan malam, antara terjaga dan mimpi, benar-benar luntur. Insomnia yang tak kunjung reda telah menggerogoti setiap sudut otaknya, membuka gerbang bagi halusinasi yang kini tidak lagi hanya muncul di kegelapan malam, tetapi juga di bawah terik matahari. Arvan mulai melihatnya di siang hari. Ini bukanlah bayangan samar atau bisikan semata; ini adalah wujud nyata yang muncul di tengah keramaian, di tengah aktivitas sehari-hari yang seharusnya normal.

Halusinasi yang paling sering muncul dan paling menghantuinya adalah sosok anak kecil. Awalnya, ia hanya melihatnya sekilas di keramaian kampus, di taman, atau di pasar. Seorang anak laki-laki, berusia sekitar lima atau enam tahun, dengan rambut hitam legam dan mata yang terlalu besar untuk wajahnya yang pucat. Anak itu selalu mengenakan pakaian lusuh berwarna gelap, seolah-olah ia berasal dari era yang berbeda. Anak itu akan muncul di kerumunan, bergerak dengan aneh, mengikuti orang-orang. Arvan akan melihatnya dari kejauhan, mengira itu hanya anak kecil biasa, sampai ia melihat apa yang dilakukan anak itu.

Anak itu tidak hanya mengikuti. Anak itu akan mendekat, berdiri di belakang seseorang, lalu perlahan, ia akan "mencuri wajah" mereka. Arvan melihatnya dengan jelas, dengan matanya sendiri yang kini terasa seperti kamera yang merekam setiap absurditas. Anak itu akan meraih wajah orang tersebut, dan perlahan, fitur-fitur wajah mereka—mata, hidung, bibir—akan memudar, seolah-olah ditarik ke dalam telapak tangan kecil anak itu. Orang-orang yang wajahnya "dicuri" itu akan tetap bergerak, berbicara, tertawa, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Namun, bagi Arvan, mereka terlihat seperti boneka kosong tanpa identitas.

Kengerian ini tidak hanya menyerang secara visual. Arvan juga mulai mendengar suara-suara yang tak didengar orang lain. Suara-suara itu akan mengejeknya, berbisik tentang ketidakmampuannya, mencaci-makinya sebagai "si gila". Terkadang, suara itu berasal dari orang-orang yang wajahnya "dicuri", mereka akan berbicara dengan suara datar dan menyeramkan, melontarkan kalimat-kalimat aneh yang hanya ia yang bisa dengar.

Perilaku Arvan mulai berubah drastis. Ia seringkali menghentikan langkahnya di tengah jalan, menatap kosong pada orang-orang yang wajahnya "dicuri", atau bahkan berteriak kepada mereka untuk "mengembalikan wajah itu!" Ia sering berbicara sendiri, mengomentari halusinasi yang hanya ia lihat. Di kampus, ia seringkali termenung, menatap papan tulis kosong seolah-olah ada sesuatu yang tertulis di sana. Ia juga seringkali mengusir bayangan-bayangan yang menempel di dinding atau di bawah meja, meskipun tidak ada siapa-siapa di sana.

Guru, atasan, atau kolega mulai memperhatikannya. Profesornya di jurusan arsitektur, seorang pria tua yang selalu mengagumi bakat Arvan, mulai memanggilnya ke kantornya. "Arvan, ada apa denganmu? Kamu sering melamun di kelas, tidak fokus. Tugas-tugasmu juga tidak selesai. Kamu terlihat… aneh." Nada suaranya penuh kekhawatiran, tetapi juga ada sedikit rasa frustrasi.

Awalnya, Arvan mencoba menjelaskan. Ia mencoba menceritakan tentang sosok wanita di malam hari, tentang anak kecil yang mencuri wajah. Namun, setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar semakin gila. Raut wajah profesornya berubah dari khawatir menjadi curiga, lalu menjadi rasa kasihan yang menyakitkan. Kata-kata "aneh" mulai sering terlontar. Teman-teman sekelasnya mulai menjauhinya, bisikan-bisikan mengikuti langkahnya di koridor. "Lihat Arvan, dia makin parah." "Dia mulai bicara sendiri, menakutkan."

Puncaknya terjadi saat Arvan sedang mempresentasikan proyek akhir semester. Di tengah presentasi, ia melihat anak kecil itu muncul di belakang salah satu juri, mulai "mencuri" wajahnya. Arvan tidak bisa menahan diri. Ia berteriak histeris, menunjuk ke arah juri itu. "Dia mencuri wajahmu! Jangan biarkan dia mengambilnya! Dia akan membuatmu menjadi kosong!" Ruangan menjadi sunyi. Semua mata tertuju padanya. Juri-juri itu saling pandang dengan ekspresi terkejut dan ketakutan.

Setelah insiden itu, Arvan dipanggil ke dekanat. Dengan berat hati, pihak kampus menyarankan Arvan untuk mengambil cuti panjang dan fokus pada kesehatannya. Ini bukan sekadar cuti. Ini adalah sebuah pengusiran yang sopan. Arvan tahu. Ia telah kehilangan kuliahnya, masa depannya di dunia arsitektur yang ia impikan kini hancur di depan matanya.

Ia mencoba mencari pekerjaan paruh waktu, tetapi setiap kali ia memulai pekerjaan baru, halusinasi itu akan mengikutinya. Ia pernah mencoba bekerja di toko buku, tetapi ia melihat anak itu "mencuri" wajah pelanggan, membuat Arvan berteriak ketakutan di tengah toko. Ia dipecat setelah tiga hari. Ia mencoba menjadi pengantar makanan, tetapi ia seringkali tersesat, meyakini bahwa jalanan berputar-putar dan gedung-gedung berubah bentuk. Ia tidak bisa lagi berfungsi di dunia normal. Ia telah kehilangan pekerjaannya, satu-satunya cara ia bisa menyambung hidup.

Hidupnya kini terbatas pada rumahnya, sebuah tempat yang seharusnya menjadi benteng terakhirnya, namun kini terasa seperti medan perang. Ibunya menjadi semakin kurus, matanya sembap karena tangisan. Ayahnya semakin sering menghabiskan waktu di luar rumah, tidak sanggup menghadapi kenyataan pahit putranya. Arvan tahu ia telah menjadi beban, sebuah kutukan bagi keluarganya.

Dalam kesendiriannya, ia kembali pada jurnalnya. Jurnal itu menjadi satu-satunya tempat ia bisa menumpahkan kekacauan di kepalanya. Halaman-halaman itu dipenuhi tulisan tangan yang semakin tidak rapi, coretan-coretan tentang halusinasi, dan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang mengerikan.

"Hari ke-75 tanpa tidur. Aku melihat anak itu lagi di cermin. Dia tersenyum. Apakah dia akan mencuri wajahku juga? Kapan giliranku?"

"Mereka semua tidak punya wajah. Hanya kulit kosong. Aku satu-satunya yang melihatnya. Apakah aku yang aneh, atau mereka yang bodoh?"

"Aku mendengar mereka berbisik di luar jendela. Mereka menyebutku 'si gila'. Mereka ingin membawaku pergi. Ke mana? Ke mana aku akan pergi jika duniaku sendiri sudah pecah berkeping-keping?"

Kalimat yang paling sering ia tulis, berulang-ulang, dengan huruf-huruf yang semakin besar dan tebal, adalah pertanyaan yang menghantuinya siang dan malam: "Apakah aku hidup, atau hanya sedang tidur?" Pertanyaan itu bukan lagi metafora. Bagi Arvan, batas antara terjaga dan mimpi telah benar-benar runtuh. Ia tidak bisa lagi membedakan. Setiap momen terasa seperti mimpi yang mengerikan, sebuah skenario yang terlalu absurd untuk menjadi kenyataan. Ia mulai meragukan keberadaannya sendiri, meragukan apakah dirinya adalah Arvan yang dulu, atau hanya sisa-sisa jiwa yang terjebak dalam labirin mimpi buruk yang tak berujung. Rasa takut itu kini bermetamorfosis menjadi kekosongan, sebuah kehampaan yang perlahan tapi pasti menelannya hidup-hidup.

Bab 4 – Cermin Retak

Dinding-dinding di rumah Arvan terasa semakin menyempit, bayangan-bayangan menari-nari di setiap sudut ruangan, dan bisikan-bisikan tak henti-hentinya menggaung di telinganya. Dunia luar telah lama meninggalkannya, dan kini, dunia di dalam kepalanya mulai pecah berkeping-keping. Salah satu ritual baru yang mengerikan bagi Arvan adalah berdiri di depan cermin. Awalnya, itu adalah upaya untuk memeriksa apakah penampilannya masih sama, apakah lingkaran hitam di bawah matanya semakin pekat, apakah kerutan-kerutan baru muncul. Namun, tak lama kemudian, cermin itu menjadi pintu gerbang menuju realitas yang lebih gelap.

Ia mulai bicara sendiri di depan cermin. Itu dimulai dengan gumaman pelan, pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan pada pantulannya sendiri. "Apa yang terjadi padaku?" "Mengapa ini semua terjadi?" Namun, pantulannya itu mulai merespons. Bukan dengan suara yang bisa didengar orang lain, melainkan dengan pikiran yang muncul langsung di kepala Arvan, seolah-olah pantulan itu berbicara tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Dirinya sendiri" dalam cermin itu tampak berbeda. Matanya lebih tajam, senyumnya menyeringai tipis, dan ada aura gelap yang terpancar darinya. Ia adalah versi Arvan yang lebih tua, lebih bijaksana, tetapi juga lebih kejam. Sosok cerminnya tidak memberikan simpati, tidak menawarkan solusi. Sebaliknya, ia memberikan perintah.

"Kamu harus membuktikan ini nyata," kata sosok cermin itu suatu malam, suaranya menggema di benak Arvan. "Mereka semua bilang kamu gila. Buktikan mereka salah."

"Bagaimana?" Arvan bergumam, matanya terpaku pada pantulannya.

Sosok cermin itu tersenyum dingin. "Lukai tangan kirimu. Darah. Darah adalah bukti nyata. Itu akan membuktikan kepada mereka bahwa kamu tidak berhalusinasi."

Rasa takut menyelimuti Arvan, tetapi di samping itu, ada juga rasa putus asa yang mendalam. Ia lelah dengan keraguan, lelah dengan penolakan keluarganya, lelah dengan pertanyaan yang menghantuinya tentang kewarasannya. Jika ada cara untuk membuktikan bahwa penderitaannya nyata, ia akan melakukannya. Ia meraih pisau cukur yang ada di samping wastafel. Tangannya gemetar.

"Apakah ini akan sakit?" Arvan bertanya pada pantulannya.

"Rasa sakit adalah realitas. Buktikan dirimu," jawab sosok cermin itu, matanya berkilat-kilat.

Arvan mengangkat pisau cukur itu, matanya menatap tajam pada pantulannya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menekan bilah pisau ke pergelangan tangan kirinya, tepat di atas luka yang ditinggalkan oleh "tamu tengah malam" itu. Ia menggeretakkan giginya saat bilah tajam itu memotong kulitnya. Rasa sakit yang tajam menyengat, lebih parah dari yang ia bayangkan. Darah merah pekat langsung menyembur, menetes ke wastafel porselen putih, membentuk genangan kecil yang mengerikan.

Darah mengalir. Sangat nyata. Arvan menatap darah itu, lalu pada pantulannya. Sosok cermin itu tersenyum lebar, senyum kemenangan. "Lihat? Itu nyata. Kamu nyata. Bukan mimpi." Arvan merasakan pusing, sebagian karena kehilangan darah, sebagian karena kelegaan aneh bahwa ia akhirnya memiliki bukti nyata, sebuah jejak fisik dari realitas yang kini begitu sulit ia pegang.

Namun, kelegaan itu hanya sesaat. Suara langkah kaki terburu-buru terdengar dari luar kamar mandi. Pintu terbuka dengan gebrakan, dan ibunya berdiri di ambang pintu, matanya membelalak kaget. Ia melihat Arvan, pisau di tangannya, darah yang mengalir dari pergelangan tangannya, dan genangan merah di wastafel.

"ARVAN!" teriak ibunya, suaranya pecah, dipenuhi kengerian dan keputusasaan. Ia menjatuhkan tas belanjaannya, lalu berlari mendekati putranya. Air mata langsung membanjiri pipinya saat ia melihat pemandangan mengerikan itu. Ia membuang pisau dari tangan Arvan, lalu menarik lengan Arvan, mencoba menghentikan pendarahan dengan handuk kecil yang ia raih dari gantungan.

"Ya Tuhan, Arvan, apa yang kamu lakukan pada dirimu sendiri?" Ia terisak, suaranya gemetar. "Mengapa kamu melakukan ini?"

Arvan tidak bisa menjawab. Ia hanya bisa menatap ibunya, lalu pada pantulannya di cermin. Sosok cermin itu tidak lagi tersenyum. Wajahnya kini terlihat sedih, seolah-olah ia menyesali apa yang telah terjadi. Atau mungkin, itu hanya refleksi dari kesedihan Arvan sendiri.

Melihat keadaan Arvan yang makin memburuk, terutama setelah insiden bunuh diri ini, ibunya akhirnya menyerah pada harapannya untuk bisa merawat Arvan di rumah. Ia telah mencoba segalanya: dokter umum, terapi alternatif, doa. Namun, Arvan semakin tenggelam dalam lubang kegilaan. Insiden melukai diri sendiri adalah batas yang tidak bisa lagi ia toleransi. Ia tahu, Arvan membutuhkan bantuan yang lebih profesional, yang tidak bisa ia berikan.

Air mata ibunya terus mengalir, membasahi pipinya yang keriput. "Kita harus membawamu ke rumah sakit, nak," bisiknya, suaranya lemah. "Kamu butuh bantuan."

Arvan tidak menolak. Ia merasa lelah, terlalu lelah untuk melawan. Ia telah melukai dirinya sendiri, dan meskipun itu adalah perintah dari "dirinya sendiri" dalam cermin, ia tahu bahwa tindakannya telah menyebabkan lebih banyak kesakitan. Bukan hanya pada dirinya, tetapi juga pada orang-orang yang ia cintai. Ia melihat betapa ibunya hancur, betapa kesedihan telah mengikis jiwanya. Perasaan bersalah yang menusuk itu, bercampur dengan kelegaan aneh, melingkupi Arvan.

Saat paramedis datang, Arvan duduk diam di kursi. Ia tidak melawan saat mereka memeriksa lukanya dan membalutnya dengan perban. Ibunya terus menangis, berbisik kepada paramedis tentang insomnia Arvan, halusinasi, dan sekarang, insiden melukai diri sendiri. Ayahnya, yang baru saja tiba, berdiri di samping ibunya, wajahnya pucat, matanya kosong. Mereka berdua tampak seperti arwah, hancur oleh apa yang telah terjadi pada putra mereka.

Saat Arvan dibawa ke ambulans, ia melihat ke belakang, melihat rumahnya yang kini terasa asing. Ia melihat bayangan-bayangan menari di dinding, bisikan-bisikan mengikuti langkahnya. Ia menatap ke arah cermin di kamar mandi, yang kini terlihat samar-samar dari pintu. Ia bersumpah ia melihat sosok cerminnya melambaikan tangan, senyum tipis di bibirnya. Sebuah senyum perpisahan. Atau mungkin, sebuah janji bahwa mereka akan bertemu lagi.

Arvan tidak tahu ke mana ia akan pergi. Ia hanya tahu bahwa perjalanannya ke dalam kegelapan belum berakhir. Ini hanyalah babak baru, sebuah langkah yang lebih dalam ke dalam labirin yang telah ia ciptakan sendiri. Atau, yang telah diciptakan untuknya. Pertanyaan tentang realitas dan imajinasi semakin mengabur, dan Arvan tidak yakin apakah ia masih ingin menemukan jawabannya. Yang ia tahu hanyalah rasa sakit itu nyata, dan kesedihan di mata ibunya adalah nyata. Itulah satu-satunya hal yang ia pegang erat di tengah kekacauan yang melingkupinya.

Bab 5 – Obat atau Racun

Dunia Arvan kini bergeser dari kekacauan halusinasi di rumah menjadi keteraturan yang dingin dan steril di sebuah institusi. Setelah insiden melukai diri sendiri, ia dibawa ke rumah sakit. Namun, bukan rumah sakit biasa, melainkan bangsal psikiatri. Di sana, ia bertemu dengan seorang psikiater, seorang wanita paruh baya dengan kacamata bertengger di hidungnya dan tatapan mata yang terasa terlalu tajam, terlalu menyelidik. Psikiater itu berbicara dengan suara lembut, mencatat setiap detail yang Arvan sampaikan tentang insomnianya, halusinasi, dan dorongan melukai diri sendiri.

"Kamu mengalami gangguan tidur yang parah, Arvan. Ini menyebabkan stres ekstrem pada otakmu, memicu disosiasi dan halusinasi. Kita akan mulai dengan beberapa obat untuk membantumu tidur," kata psikiater itu, suaranya terdengar meyakinkan, penuh empati.

Arvan, yang sudah begitu lelah, begitu putus asa, mengangguk pasrah. Ia hanya menginginkan satu hal: tidur. Tidur yang nyenyak, tidur yang menghapus semua kengerian yang ia alami. Ia berharap obat itu akan menjadi penyelamat, kunci untuk kembali ke dunia normal.

Psikiater itu memberinya resep obat tidur dosis tinggi. "Mulai dengan satu pil setiap malam," katanya. "Jika tidak mempan, kita bisa tingkatkan dosisnya."

Malam pertama Arvan mengonsumsi obat itu, ia merasa sedikit lega. Otaknya terasa lebih tenang, otot-ototnya rileks. Ia merasakan kantuk yang sudah lama tidak ia rasakan. Ia tertidur.

Namun, itu bukanlah tidur yang damai.

Setiap kali ia tidur, ia mengalami mimpi buruk yang mengerikan. Ini bukanlah mimpi buruk biasa yang bisa dilupakan saat terbangun. Ini adalah mimpi yang begitu hidup, begitu nyata, sehingga batas antara mimpi dan kenyataan semakin kabur.

Dalam mimpinya, Arvan seringkali disiksa. Ia akan menemukan dirinya terikat di meja operasi, pisau bedah menari-nari di atas tubuhnya, tetapi ia tidak bisa bergerak, tidak bisa berteriak. Atau ia akan terperangkap dalam sangkar, menyaksikan bayangan-bayangan gelap menyiksanya secara mental, menyuarakan semua ketakutan terdalamnya. Rasa sakit dalam mimpinya terasa sangat nyata, dan ia akan terbangun dengan keringat dingin, napas terengah-engah, dan tubuhnya gemetar seolah-olah ia baru saja lolos dari penyiksaan fisik.

Mimpi lain yang sering muncul adalah dikubur hidup-hidup. Ia akan berada di dalam peti mati, merasakan tanah menimpa peti, suara tanah yang bergemuruh di atasnya. Kegelapan total, sesak napas, dan rasa putus asa yang tak tertahankan akan melingkupinya. Ia akan berteriak, menggaruk-garuk penutup peti, merasakan kuku-kukunya patah, tetapi tidak ada yang mendengar. Ia akan terbangun dengan dada sesak, mencoba menarik napas dalam-dalam, merasakan pasir di tenggorokannya meskipun tidak ada apa-apa.

Dan yang paling kejam dari semuanya adalah mimpi di mana ia dicaci semua orang yang dikenalnya. Ibunya, ayahnya, profesornya, teman-temannya—semua orang akan berdiri di sekelilingnya, menunjuknya, melontarkan kata-kata kejam. "Dasar gila!" "Kamu aib keluarga!" "Kamu tidak berguna!" Mereka akan menertawakannya, merendahkannya, dan Arvan akan merasakan sakit yang lebih dalam daripada luka fisik, sakit karena dikhianati dan direndahkan oleh orang-orang yang ia cintai.

Setelah beberapa malam mengonsumsi obat itu, Arvan mulai menyadari pola yang mengerikan. Semakin tinggi dosis obat tidur yang ia minum, semakin intens dan semakin mengerikan mimpi buruknya. Ia mulai mencurigai obat itu bukan menenangkannya, tapi "membuka gerbang mimpi neraka". Seolah-olah, alih-alih mengobati insomnianya, obat itu justru menariknya lebih dalam ke dalam jurang kegilaan yang ia coba hindari.

"Dokter," kata Arvan kepada psikiaternya suatu pagi, matanya merah dan cekung. "Obat ini tidak membantuku. Aku tidur, tapi aku mengalami mimpi buruk yang sangat mengerikan. Aku disiksa, dikubur hidup-hidup, semua orang membenciku."

Psikiater itu mengangguk, mencatat di buku catatannya. "Itu adalah efek samping yang wajar dari stres berat yang kamu alami, Arvan. Otakmu sedang mencoba memproses semua trauma. Kita akan menyesuaikan dosisnya, mungkin kita perlu menaikkannya sedikit agar kamu bisa mendapatkan tidur yang lebih dalam."

Arvan merasakan sesuatu yang dingin merayap di punggungnya. Menaikkan dosis? Itu berarti lebih banyak mimpi buruk, lebih banyak siksaan, lebih banyak kegelapan. Ia mulai merasa psikiater itu, dengan tatapan tajam dan senyum lembutnya, tidak mencoba membantunya, melainkan mendorongnya lebih jauh ke dalam jurang.

Ia mulai menolak minum obat. Setiap malam, ia akan menyembunyikan pilnya di bawah lidah, lalu membuangnya ke toilet. Namun, para perawat sangat ketat. Mereka akan memastikan ia menelan pil itu di depan mereka, bahkan memeriksa mulutnya setelahnya. Arvan merasa seperti tahanan, dipaksa menelan racun yang perlahan menghancurkan jiwanya.

Insomnia kembali datang, lebih parah dari sebelumnya. Namun, kali ini, ia memilih terjaga, meskipun ia harus melawan halusinasi siang hari yang semakin intens. Ia lebih memilih menghadapi anak kecil pencuri wajah, atau bayangan wanita di sudut kamar, daripada harus masuk ke dalam "gerbang mimpi neraka" yang dibuka oleh obat-obatan itu.

Ia mulai mencatat pengamatannya dalam jurnal, tulisan tangannya kini sangat kacau, huruf-hurufnya berdesakan dan sulit dibaca.

"Obat itu bukan obat. Itu racun. Mereka ingin aku menderita dalam mimpiku. Mereka ingin aku gila."

"Psikiater itu. Matanya dingin. Dia tahu. Dia tahu apa yang akan terjadi."

"Kupikir aku ingin tidur. Sekarang, tidur adalah neraka. Aku terjebak. Di mana pun aku berada, aku menderita."

Arvan merasa terjebak dalam siklus tanpa akhir. Terjaga berarti halusinasi yang mengerikan di dunia nyata. Tidur berarti mimpi buruk yang lebih mengerikan, mimpi yang terasa lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Ia tidak punya tempat untuk berlindung, tidak ada tempat untuk melarikan diri.

Rasa putus asa itu semakin membesar, menguasai dirinya sepenuhnya. Ia merasa seperti boneka yang ditarik-tarik oleh kekuatan tak terlihat, menuju kehancuran yang tak terhindarkan. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus seperti ini. Sesuatu harus berakhir. Entah ia akan kalah dari kegilaan itu, atau ia akan mencari jalan keluar, sebuah pelarian dari siksaan yang tak berujung ini. Namun, ia tidak tahu apa jalan keluar itu. Ia hanya merasakan dinding-dinding itu semakin menyempit, mencekiknya, dan suara-suara di kepalanya semakin keras, berteriak, mendesaknya untuk melakukan sesuatu, apa pun, demi mengakhiri penderitaan ini.

Bab 6 – Bunuh atau Dibunuh

Kondisi Arvan mencapai titik kritis. Rasa putus asa yang mendalam akibat siksaan insomnia, halusinasi yang tak henti-hentinya, dan mimpi buruk yang mengerikan setelah minum obat, telah mengikis habis kewarasannya. Ia merasa terjebak dalam sangkar penderitaan, dengan setiap jalan keluar tampak tertutup. Pada tahap ini, paranoidenya mencapai puncaknya. Ia mulai yakin semua orang di sekitarnya ingin membunuhnya.

Paranoia ini bukan lagi bisikan samar. Ini adalah keyakinan yang mengakar kuat di benaknya, sebuah kebenaran yang tak terbantahkan bagi Arvan. Ia melihat tatapan curiga di mata perawat yang memberinya obat, senyum mengejek di wajah para pengunjung lain di ruang makan, dan gerakan-gerakan aneh yang ia tafsirkan sebagai isyarat rahasia. Ia yakin mereka bersekongkol, bahwa keberadaannya menjadi ancaman bagi mereka, atau bahwa mereka hanya ingin melihatnya menderita hingga mati.

Suatu hari, ketika Arvan duduk di taman rumah sakit, ia mendengar dua tetangga bergosip. Mereka adalah pasien lama, dua wanita tua yang selalu duduk di bangku yang sama, berbisik-bisik. Arvan, dengan pendengarannya yang kini diperkuat oleh paranoia, menangkap fragmen-fragmen percakapan mereka.

"Dia makin parah, ya?" bisik salah satu wanita. "Kasihan sekali."

"Aku dengar dia sering teriak-teriak di malam hari," sahut yang lain. "Membuat semua orang tidak bisa tidur. Dia itu 'si gila dari rumah nomor 12' yang membuat keributan."

Meskipun Arvan tahu itu hanya percakapan biasa tentang dirinya, pikirannya yang terdistorsi mengubahnya menjadi sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Ia yakin mereka tidak hanya bergosip. Mereka sedang merencanakan sesuatu. Suara mereka tiba-tiba berubah, menjadi bisikan-bisikan seram yang seolah-olah mengatakan: "Bagaimana cara kita menyingkirkannya?" "Dia harus pergi." "Kita harus menghabisi si gila itu." Bagi Arvan, mereka bukan lagi sekadar pasien tua yang kasihan. Mereka adalah agen-agen kejahatan, bagian dari konspirasi besar yang ingin mengakhirinya.

Rasa takut itu kini berubah menjadi kemarahan dan naluri bertahan hidup yang brutal. Jika mereka ingin membunuhnya, ia harus lebih dulu bertindak. Pertanyaan "bunuh atau dibunuh" berputar-putar di benaknya. Ia mulai merencanakan pelarian, mencari celah, setiap sudut rumah sakit terasa seperti penjara yang harus ia dobrak.

Kondisinya semakin memburuk. Ia menolak makanan, takut diracuni. Ia menolak bicara dengan siapa pun, yakin setiap kata yang ia ucapkan akan digunakan untuk melawannya. Ia terus-menerus mencari jalan keluar, setiap celah di dinding, setiap jendela yang bisa dibuka.

Suatu malam, ketika rumah sakit sudah sepi dan sebagian besar lampu sudah dipadamkan, Arvan berdiri di kamarnya. Ia menatap ke luar jendela. Kamarnya berada di lantai dua. Angin malam berembus, dingin dan menusuk. Ia mendengar bisikan-bisikan dari balik dinding, suara-suara yang kini tampak lebih menyeramkan, lebih mendesak. "Lompat," bisik suara itu. "Itu satu-satunya jalan keluar. Mereka akan datang untukmu."

Ia yakin mereka akan datang. Ia mendengar langkah kaki di koridor, suara kunci yang berdesir, bayangan-bayangan yang menari di celah bawah pintu. Mereka akan datang untuk menghabisinya. Ini adalah satu-satunya kesempatan.

Dengan hati berdebar kencang, Arvan membuka jendela. Udara dingin langsung menerpa wajahnya. Ia melihat ke bawah. Jaraknya tidak terlalu tinggi, tetapi cukup untuk menyebabkan cedera serius. Otaknya, yang kini telah sepenuhnya dikuasai oleh paranoia, tidak berpikir jernih. Yang ia tahu hanyalah ini adalah pilihan terakhirnya. Bunuh diri, atau membiarkan dirinya dibunuh.

Ia tidak tahu persis apa yang ia lakukan pada saat itu. Apakah ia mencoba bunuh diri untuk mengakhiri penderitaannya, atau ia mencoba melarikan diri dari ancaman yang ia rasakan? Batasnya sangat tipis. Mungkin keduanya. Ia hanya merasakan dorongan kuat untuk mengakhiri semuanya, untuk bebas dari siksaan ini.

Dengan satu tarikan napas dalam-dalam, Arvan melompat.

Ia mendarat dengan suara berdebum keras. Rasa sakit yang tajam langsung menyengat seluruh tubuhnya. Ia merasakan tulang-tulang di kakinya hancur, rasa sakit yang luar biasa di pinggul dan punggungnya. Ia mengerang, mencoba bangkit, tetapi tubuhnya tidak merespons. Pandangannya kabur, dunia berputar. Ia mendengar suara sirene, suara langkah kaki terburu-buru, dan suara orang-orang yang berteriak.

Seseorang menemukannya tergeletak di tanah, berlumuran darah. Ia mendengar suara-suara panik, panggilan ambulans, dan teriakan namanya. Ia mencoba melawan, mencoba lari, tetapi tubuhnya lumpuh. Kesenya terasa dingin, gelap. Ia merasakan suntikan di lengannya, lalu semuanya menjadi gelap.

Ia gagal. Ia tidak mati. Ia hanya menderita lebih parah.

Ketika Arvan terbangun lagi, ia berada di unit gawat darurat. Lampu-lampu sorot menyilaukan matanya, dan ia merasakan nyeri yang luar biasa di seluruh tubuhnya. Kakinya dibalut perban tebal, dan ada perban di kepalanya. Seseorang membisikkan sesuatu di dekat telinganya, tetapi Arvan tidak bisa memahaminya. Ia hanya ingin tidur. Tidur yang damai, yang akan mengakhiri semua penderitaan ini.

Insiden itu menandai babak baru dalam penderitaan Arvan. Ia kini tidak hanya menghadapi perang melawan otaknya sendiri, tetapi juga perang melawan kenyataan yang semakin sulit ia pahami. Ia telah mencoba melarikan diri, tetapi ia hanya jatuh lebih dalam. Ia telah mencoba mengakhiri hidupnya, tetapi ia hanya memperpanjang siksaan. Ia kini berada di ambang batas, antara hidup dan mati, antara kewarasan dan kegilaan total.

Bab 7 – Tempat Tanpa Pintu

Arvan terbangun dalam kegelapan yang pekat, kepalanya terasa pusing dan tubuhnya nyeri di setiap persendian. Perlahan, ia membuka matanya. Langit-langit putih yang tinggi menyambutnya, dihiasi dengan lampu neon yang berkedip-kedip, memancarkan cahaya dingin yang tak nyaman. Aroma antiseptik yang kuat menusuk hidungnya, berpadu dengan bau yang lebih samar, bau putus asa dan keputusasaan. Ia mengenali tempat ini. Sebuah Rumah Sakit Jiwa.

Kali ini, tidak ada lagi ambulan atau unit gawat darurat yang ramai. Ia berada di sebuah kamar yang kecil, steril, dengan dinding berwarna krem yang kosong. Jendela kamarnya ditutupi teralis besi yang tebal, memastikan tidak ada jalan keluar. Pintu kamarnya tebal, terbuat dari baja, dengan lubang intip kecil di tengahnya. Tidak ada gagang pintu di sisi dalamnya. Sebuah tempat tanpa pintu keluar, tempat tanpa harapan.

Arvan mencoba menggerakkan kakinya, tetapi rasa sakit yang tajam membuatnya mengerang. Kakinya diperban tebal, dan ia merasakan ada gips yang membungkus salah satunya. Ingatan tentang lompatan dari lantai dua berkelebat di benaknya, sebuah bukti fisik atas kegagalan pelariannya.

Ia merasakan sesuatu yang aneh. Bukan hanya karena ia berada di rumah sakit jiwa, tetapi sensasi yang lebih mendalam, seperti ada lapisan tipis yang memisahkan dirinya dari realitas. Ia mencoba memanggil, tetapi suaranya serak dan lemah.

Tak lama kemudian, seorang perawat masuk. Wanita paruh baya dengan seragam putih bersih itu tampak ramah, tetapi matanya terasa dingin dan kosong. Ia tersenyum tipis saat melihat Arvan sadar. "Selamat pagi, Arvan. Bagaimana perasaanmu?" suaranya lembut, namun Arvan merasakan nada yang tidak tulus di baliknya.

Arvan mencoba menjawab, tetapi hanya gumaman yang keluar. Perawat itu mengukur suhu tubuhnya, memeriksa denyut nadinya, dan memberikan segelas air dengan pil. "Minum ini," katanya, suaranya seperti perintah. Arvan mencoba menolak, kenangan akan mimpi buruk yang mengerikan akibat obat-obatan itu masih segar di benaknya. Namun, perawat itu bersikeras, bahkan sampai Arvan merasa tertekan untuk menelannya.

Ketika Arvan dibawa ke ruang makan, ia merasakan tatapan-tatapan aneh. Pasien lain menatapnya tajam, mata mereka kosong, namun dipenuhi rasa ingin tahu yang menakutkan. Mereka duduk di kursi-kursi plastik, sebagian besar diam, hanya sesekali mengeluarkan gumaman atau tawa aneh. Tatapan mereka mengikuti setiap gerakannya, seolah-olah Arvan adalah objek penelitian yang menarik. Arvan merasa telanjang di bawah tatapan-tatapan itu, seperti serangga yang sedang diamati di bawah mikroskop. Beberapa dari mereka tersenyum aneh, senyum tanpa kehangatan, hanya sebuah seringai yang membuat bulu kuduknya merinding.

Perawat-perawat yang berlalu-lalang di sekitarnya juga tidak membantu. Mereka membisikkan kata-kata aneh saat melewati Arvan. "Pasien baru itu, dia mencoba melompat dari lantai dua." "Dia sudah parah. Tidak akan bertahan lama." Bisikan-bisikan itu menyusup ke telinga Arvan, menambah paranoidenya. Mereka tidak peduli padanya, mereka hanya melihatnya sebagai sebuah kasus, statistik, atau mungkin, sesuatu yang lebih mengerikan.

Arvan mencoba mencari cermin. Ia ingin melihat wajahnya sendiri, ingin memastikan ia masih Arvan. Namun, di seluruh bangsal itu, tak ada cermin. Dinding-dindingnya kosong, tanpa refleksi. Semua permukaan yang bisa memantulkan gambar telah dihilangkan, mungkin untuk mencegah pasien melukai diri sendiri atau untuk mencegah mereka melihat kekosongan di mata mereka sendiri. Kehilangan cermin terasa seperti kehilangan sebagian dari dirinya, sebuah kehilangan identitas.

Ia mencoba bicara dengan keluarganya. Ia bertanya kepada perawat kapan ibunya akan datang menjenguk. Perawat itu hanya tersenyum tipis. "Keluargamu tahu kamu ada di sini, Arvan. Mereka akan datang kalau mereka siap." Sebuah jawaban yang tidak memuaskan, sebuah penolakan halus. Arvan merasa terputus dari dunia luar, terputus dari orang-orang yang ia cintai. Ia merasa seperti telah dibuang, ditinggalkan di tempat ini.

Yang paling mengerikan adalah fakta bahwa ia selalu diawasi. Ada kamera di setiap sudut ruangan, di koridor, bahkan di ruang makan. Perawat selalu ada di dekatnya, mengamati setiap gerakan, setiap ekspresi. Ia merasa seperti binatang di kebun binatang, hidupnya menjadi tontonan yang tak henti-hentinya. Ia tidak bisa memiliki privasi, tidak bisa berpikir bebas. Setiap pikiran, setiap emosi, terasa seperti diawasi, dianalisis.

Malam itu, Arvan tidur lagi. Namun, kali ini, tidak ada mimpi buruk yang intens seperti sebelumnya. Hanya kegelapan total, sebuah kehampaan yang terasa lebih menakutkan daripada mimpi apapun. Ia terbangun dengan perasaan hampa, seolah-olah jiwanya telah dikuras saat ia tidur. Ia merasakan ada sesuatu yang salah dengan tempat ini, sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar rumah sakit jiwa biasa.

Ia mencoba mencari buku jurnalnya, tetapi buku itu tidak ada. Semua barang pribadinya telah diambil, mungkin untuk mencegahnya melukai diri sendiri atau untuk mencegahnya mencatat apa yang ia alami. Ia benar-benar terisolasi, tanpa alat komunikasi, tanpa cara untuk melarikan diri, tanpa cara untuk mencatat apa yang ia saksikan.

Rumah sakit jiwa ini bukan tempat penyembuhan. Ini adalah penjara. Sebuah tempat di mana realitas Arvan akan semakin terkikis, dan ia akan dipaksa untuk menghadapi kebenaran mengerikan yang tersembunyi di balik dinding-dinding putih yang steril ini. Pertanyaan "Mana yang nyata?" kini tidak lagi relevan. Yang ada hanyalah sebuah tempat yang terasa begitu nyata, tetapi juga begitu tidak masuk akal, sebuah labirin yang dirancang untuk menjebak jiwa.

Bab 8 – Wajah Asli Mereka

Minggu-minggu berlalu dengan lambat di Rumah Sakit Jiwa. Arvan kehilangan jejak waktu, setiap hari terasa sama, diisi dengan rutinitas monoton dan pengawasan yang konstan. Obat-obatan yang diberikan kepadanya setiap pagi dan malam membuat pikirannya terasa tumpul, menghapuskan batas-batas yang tersisa antara mimpi dan kenyataan. Namun, bahkan di tengah kabut yang diciptakan oleh obat-obatan itu, Arvan mulai melihat kebenaran yang mengerikan.

Ia seringkali mendengar jeritan dari ruang sebelah. Jeritan itu bukan jeritan biasa. Itu adalah jeritan yang dipenuhi rasa sakit, keputusasaan, dan kengerian yang mendalam. Jeritan yang membuat bulu kuduknya meremang. Awalnya, perawat akan mengatakan, "Itu hanya pasien yang sedang beradaptasi," atau "Dia sedang mengalami delusi." Namun, frekuensi jeritan itu semakin sering, dan nada jeritan itu semakin menyayat hati.

Suatu malam, Arvan tidak bisa tidur. Kabut obat telah sedikit menghilang, dan ia merasa otaknya kembali sedikit jernih. Ia mendengar jeritan yang lebih keras dari ruang sebelah, disusul suara benda jatuh dan erangan. Rasa penasaran bercampur takut mendorongnya untuk mengintip melalui lubang intip di pintunya. Yang ia saksikan membuat darahnya membeku.

Ia melihat seorang perawat menyuntik pasien sampai kejang. Perawat itu, dengan wajah yang biasanya tenang dan ramah, kini tampak memiliki ekspresi yang dingin, bahkan puas, saat ia menyuntikkan cairan ke lengan pasien yang terikat di ranjang. Pasien itu, seorang wanita tua yang sering Arvan lihat di ruang makan, mulai kejang-kejang hebat, tubuhnya melengkung, matanya melotot. Perawat itu hanya mengawasi, tanpa ekspresi, seolah-olah ini adalah hal yang wajar. Setelah beberapa saat, kejang itu berhenti, dan tubuh wanita itu terkulai lemas, napasnya dangkal dan tak teratur. Arvan mundur dari lubang intip, jantungnya berdebar kencang. Itu bukan perawatan. Itu adalah penyiksaan.

Keesokan harinya, wanita tua itu tidak terlihat di ruang makan. Arvan bertanya pada perawat, "Di mana wanita di kamar sebelah?" Perawat itu hanya tersenyum tipis. "Dia sudah dipindahkan ke bangsal lain yang lebih sesuai dengan kondisinya." Jawaban itu terasa seperti kebohongan yang dingin. Arvan tahu. Wanita itu mungkin sudah tidak ada.

Suatu sore, saat Arvan dipaksa berjalan-jalan di koridor, ia berpapasan dengan seorang pasien tua. Pria itu adalah pasien paling tua di bangsal itu, dengan mata yang cekung dan pandangan kosong, tetapi terkadang, ada kilatan kewarasan yang muncul di matanya. Pria itu menabrak Arvan seolah tidak sengaja. Saat perawat tidak melihat, pria itu dengan cepat meraih lengan Arvan, mendekatkan bibirnya ke telinga Arvan, dan berbisik, suaranya parau dan bergetar.

"Jangan percaya mereka," bisik pria itu, matanya melirik ke arah perawat. "Mereka bukan penyelamat… mereka pemburu jiwa."

Arvan terkesiap. Sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, perawat sudah menghampiri dan menarik pria tua itu menjauh. "Tuan Davies, jangan mengganggu pasien lain." Namun, kata-kata pria tua itu sudah tertanam di benak Arvan, menggemakan ketakutan terbesarnya.

Peringatan itu seperti kepingan puzzle yang jatuh pada tempatnya. Arvan mulai menghubungkan semua kejadian: mimpi buruk yang intens setelah minum obat, jeritan di malam hari, perawat yang menyuntik pasien sampai kejang, pasien yang menghilang. Ia mulai menyadari semua pasien sebenarnya sedang "dikondisikan untuk mati perlahan".

Obat-obatan itu, yang seharusnya membantunya tidur, kini ia yakini bukan untuk menyembuhkan, tetapi untuk melumpuhkan pikiran, untuk membuat pasien rentan dan mudah dimanipulasi. Jeritan-jeritan itu bukan karena delusi, tetapi karena penyiksaan yang nyata. Pasien yang menghilang bukan karena dipindahkan, tetapi karena mereka sudah tidak ada lagi.

Ia melihat perawat dengan mata yang berbeda. Senyum ramah mereka kini tampak seperti topeng, menutupi niat jahat. Tatapan mereka yang sebelumnya ia kira profesional, kini ia tafsirkan sebagai tatapan predator. Mereka semua adalah bagian dari skema yang lebih besar, sebuah konspirasi yang mengerikan. Ia adalah salah satu dari mereka, salah satu jiwa yang sedang diburu.

Arvan mulai melihat wajah asli mereka. Bukan secara harfiah wajah yang berubah, tetapi esensi di balik mata mereka, di balik senyum palsu mereka. Ia melihat kegelapan, kekejaman, dan kehampaan yang menakutkan. Mereka adalah para pemburu, dan ia adalah mangsanya.

Ia mulai memperhatikan detail kecil yang sebelumnya ia abaikan. Suara deru mesin dari balik dinding, bau aneh yang terkadang muncul dari ventilasi, dan bisikan-bisikan samar yang terkadang ia dengar dari balik pintu terkunci. Itu semua adalah bagian dari bukti.

Paranoianya kini bukan lagi sekadar delusi akibat insomnia. Ini adalah hasil dari pengamatan yang ia lakukan, pemahaman yang ia peroleh dari tempat yang mengerikan ini. Ia tidak lagi gila. Ia hanya melihat kebenaran yang tidak bisa dilihat oleh orang lain.

Arvan mulai merencanakan pelarian lagi. Namun, kali ini, ia tidak akan bunuh diri. Ia harus hidup untuk mengungkap kebenaran ini. Ia harus melarikan diri dari tempat pembantaian jiwa ini. Ia melihat pasien-pasien lain yang tampak seperti mayat hidup, terbius oleh obat-obatan, mata mereka kosong. Ia tidak ingin berakhir seperti mereka. Ia harus berjuang, meskipun ia tidak tahu bagaimana.

Kegilaannya telah memberinya wawasan, sebuah pandangan ke dalam kegelapan yang sesungguhnya. Ia tidak lagi bertanya "Apakah aku gila?" Ia bertanya, "Apakah mereka semua gila, atau aku satu-satunya yang melihat kebenaran?" Dan ia tahu, jawabannya sangat menakutkan.

Bab 9 – Tak Ada Jalan Keluar

Tekad Arvan untuk melarikan diri menguat seiring dengan terungkapnya kebenaran mengerikan tentang Rumah Sakit Jiwa itu. Ia tidak lagi melihatnya sebagai tempat penyembuhan, melainkan sebagai penjara, sebuah rumah jagal jiwa yang beroperasi di bawah kedok medis. Ia harus keluar, harus mengungkap kekejaman ini sebelum ia menjadi korban berikutnya.

Ia mulai mempelajari rutinitas perawat, mengamati setiap celah, setiap kesalahan kecil dalam pengawasan mereka. Malam itu, saat kegelapan menyelimuti bangsal dan hanya ada beberapa perawat yang berjaga, Arvan melihat kesempatannya. Sebuah pintu gudang penyimpanan yang biasanya terkunci rapat, kini sedikit terbuka. Mungkin lupa dikunci, atau mungkin itu adalah jebakan. Arvan tidak peduli. Ia harus mengambil risiko.

Dengan jantung berdebar kencang, ia menyelinap keluar dari kamarnya. Ia bergerak perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara, menghindari kamera pengawas dan tatapan perawat yang berkeliaran. Ia berhasil mencapai pintu gudang itu dan menyelinap masuk.

Gudang itu gelap dan pengap, dipenuhi tumpukan kotak dan peralatan medis usang. Arvan merangkak melalui celah-celah sempit, mencari jalan keluar. Ia menemukan sebuah pintu di sisi lain gudang, pintu yang terasa lebih tua dan lebih rapuh. Dengan sekuat tenaga, ia mendorongnya. Pintu itu terbuka dengan suara derit keras, menampakkan sebuah koridor gelap.

Arvan melangkah masuk ke koridor itu, napasnya terengah-engah. Koridor itu panjang, sempit, dan tidak ada lampu di sana. Hanya ada kegelapan yang pekat, dan bau apek yang menusuk hidung. Ia mempercepat langkahnya, berharap koridor ini akan membawanya ke luar.

Namun, ia merasakan sesuatu yang aneh. Koridor itu terasa terlalu panjang. Ia merasa seperti sudah berjalan bermil-mil, tetapi ia tidak menemukan apa-apa selain dinding kosong di kedua sisinya. Lalu, ia mulai menyadari. Koridor itu berputar-putar. Setiap kali ia mencapai tikungan, ia merasa seperti kembali ke tempat yang sama. Dindingnya tampak identik, tidak ada tanda-tanda yang membedakannya. Ia berlari, semakin cepat, tetapi ia tidak pernah mencapai ujung. Setiap pintu yang ia temui terkunci rapat, atau hanya mengarah ke koridor lain yang juga berputar-putar.

Panik mulai menyergap Arvan. Ini bukan lagi sekadar rumah sakit. Ini adalah labirin. Labirin yang tak berujung, dirancang untuk menjebak. Ia mendengar suara langkah kaki dari belakangnya. Mereka datang. Perawat-perawat itu, para "pemburu jiwa" itu.

Ia terus berlari, napasnya terengah-engah, paru-parunya terasa terbakar. Ia berbelok, dan lagi, dan lagi, berharap menemukan jalan keluar. Namun, setiap putaran hanya membawanya kembali ke titik awal. Ia merasakan dinding-dinding itu semakin menyempit, koridor itu semakin gelap, dan suara langkah kaki di belakangnya semakin mendekat.

Akhirnya, Arvan jatuh. Ia terhuyung, kakinya lumpuh karena kelelahan dan ketakutan. Ia berbalik, dan yang ia lihat membuat darahnya mengering.

Di ujung koridor yang gelap, semua staf kini tampil dengan wajah bengis dan gigi tajam. Mereka tidak lagi mengenakan seragam putih bersih. Wajah mereka berubah, kulit mereka pucat dan urat-urat menonjol. Mata mereka merah menyala, dan mulut mereka menyeringai lebar, menampakkan deretan gigi runcing yang mengerikan. Mereka bukan lagi manusia. Mereka adalah monster. Mereka adalah wujud asli dari kengerian yang selama ini ia rasakan.

Mereka mendekat, langkah mereka menyeret, mata mereka terpaku pada Arvan. Arvan mencoba merangkak mundur, tetapi punggungnya membentur dinding. Ia terperangkap. Ia tidak punya tempat untuk lari.

"Kami sudah menunggumu, Arvan," kata salah satu perawat, suaranya kini berat dan serak, bukan lagi suara lembut yang ia kenal. "Kami tahu kamu akan mencoba melarikan diri. Semua mangsa selalu mencoba."

Mereka mengelilinginya, tawa mereka menyeramkan, menggema di koridor yang gelap. Arvan tidak bisa bernapas. Ia telah melihat kebenaran yang mengerikan, dan kini ia akan menanggung akibatnya. Mereka akan mengambil jiwanya, sama seperti mereka mengambil jiwa-jiwa yang lain.

Ia meraih ke dalam saku bajunya, menemukan pena dan sebuah kertas kecil yang entah bagaimana masih ia simpan. Dengan tangan gemetar, ia menuliskan kalimat terakhir, kata-kata yang ia yakini akan menjadi warisannya, sebuah pesan untuk siapa pun yang mungkin menemukan catatan ini.

Mereka semakin dekat. Gigi-gigi tajam mereka berkilat dalam kegelapan. Wajah-wajah bengis mereka memenuhi pandangannya.

Arvan tidak bisa menahan diri lagi. Ia telah melawan, ia telah berjuang, tetapi pada akhirnya, ia telah kalah. Rasa takut yang murni, tanpa campuran, meledak dari dalam dirinya.

Arvan menjerit, "Ini bukan nyata!"

Jeritan itu memekakkan telinga, memenuhi koridor, memantul dari dinding ke dinding. Itu adalah jeritan keputusasaan, jeritan seorang pria yang akhirnya menyerah pada kegilaan yang menelan dirinya.

Lalu, layar gelap… atau halaman kosong.

Tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada Arvan setelah itu. Apakah ia akhirnya mati di tangan para monster itu? Apakah ia ditarik lebih dalam ke dalam lubang kegilaan yang tak berujung? Atau apakah ia akhirnya menemukan kedamaian, sebuah pelarian dari siksaan yang tak henti-hentinya?

Di suatu tempat, di antara tumpukan kertas yang berserakan, mungkin ditemukan sebuah jurnal, atau secarik kertas yang kusut, dengan tulisan tangan yang kacau, berisi kalimat terakhir Arvan, sebuah bisikan dari alam antara terjaga dan gila:

“Mungkin tidur adalah satu-satunya pintu keluar.”


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)