Cerpen
Disukai
1
Dilihat
1,544
Indigo
Horor

Bab 1: Kilasan Dingin

Andra adalah potret sempurna seorang pria paruh baya yang tenggelam dalam rutinitas. Usianya menginjak tiga puluh enam, namun garis halus di sudut matanya dan kerutan samar di dahinya seolah sudah menambahkan beberapa tahun lebih awal dari yang seharusnya. Hidupnya di Makassar nyaris tanpa gejolak berarti. Bangun pagi, minum kopi hitam pahit, berangkat ke kantor konsultan arsitektur tempat ia bekerja sebagai manajer proyek, bergelut dengan denah dan perhitungan, lalu pulang. Begitu seterusnya, lima hari dalam seminggu, kadang enam jika ada tenggat mendesak. Ia tidak punya pasangan, tidak punya hobi yang mencolok, dan lingkaran pertemanannya terbatas pada beberapa kolega kantor yang sesekali mengajaknya minum kopi. Introvert, itu kata yang tepat untuk mendefinisikan Andra. Ia nyaman dengan kesendiriannya, menganggap keramaian sebagai beban, dan percakapan basa-basi sebagai bentuk penyiksaan halus.

Sore itu, hari Kamis yang cerah, namun kelembapan khas kota pesisir tetap terasa menusuk kulit. Jam menunjukkan pukul lima lewat seperempat sore, dan Andra baru saja selesai dengan revisi terakhir proyek apartemen di kawasan Tanjung Bunga. Ia menghela napas lega, merapikan meja, dan mengambil tas kerjanya. Lift di kantornya, sebuah gedung bertingkat lima belas yang menjulang di pusat kota, adalah satu-satunya jalur turun yang efisien. Andra menekan tombol panah bawah, menunggu dengan sabar. Pintu lift terbuka, dan di dalamnya sudah ada dua orang: seorang pria tua yang sibuk dengan ponselnya dan seorang wanita muda yang mengenakan blus motif bunga cerah, rok selutut, dan rambut sebahu yang dibiarkan tergerai. Aroma parfum manis dari wanita itu samar-samar tercium di udara, cukup kuat untuk menarik perhatian Andra sesaat.

Andra melangkah masuk, memunggungi wanita muda itu, dan menekan tombol lantai dasar. Saat pintu lift perlahan menutup, ia merasakan sensasi aneh. Bukan pusing, bukan mual, tapi sesuatu yang lebih abstrak, seperti gelombang elektromagnetik yang menembus otaknya. Dalam sekejap mata yang terasa seperti keabadian, sebuah kilasan mengerikan melintas di benaknya.

Terlalu cepat, terlalu singkat, namun detailnya begitu tajam, begitu nyata. Wanita yang baru saja masuk lift bersamanya itu... ia tergeletak. Di sebuah gang sempit, dindingnya kusam dan berlumut. Cahaya remang-remang dari lampu jalan yang redup hanya menyorot sebagian tubuhnya yang kini bersimbah darah. Darah kental berwarna merah gelap, membasahi blus motif bunganya yang kini tampak kotor dan robek. Matanya terbelalak, kosong, menatap langit-langit gang yang dipenuhi kabel-kabel kusut. Tidak ada suara, hanya keheningan yang memekakkan, diiringi oleh detak jantung Andra yang tiba-tiba berpacu gila-gilaan.

Kemudian, kilasan itu menghilang secepat kilat.

Pintu lift terbuka di lantai dasar. Andra tersentak. Kepalanya berdenyut, dan ia harus berpegangan pada dinding lift untuk menyeimbangkan diri. Pria tua itu sudah berjalan keluar tanpa menyadari keanehan Andra, sementara wanita muda itu menoleh ke belakang sesaat, senyum tipis di bibirnya, sebelum akhirnya beranjak pergi. Andra terpaku di tempatnya, menatap punggung wanita itu yang semakin menjauh. Ia merasa ngeri, seolah baru saja menyaksikan sebuah film horor paling brutal yang pernah ada, namun kali ini ia adalah satu-satunya penonton.

"Apa-apaan itu tadi?" gumam Andra, suaranya serak. Ia mencoba menepisnya sebagai halusinasi, kelelahan, atau mungkin efek samping dari kopi yang terlalu banyak ia minum siang tadi. "Mungkin aku terlalu banyak lembur."

Ia melangkah keluar dari lift dengan langkah gontai, melewati lobi yang ramai, dan keluar ke jalanan Makassar yang mulai dipadati kendaraan. Langit senja mulai mewarnai cakrawala dengan nuansa jingga dan ungu, namun keindahan itu tidak mampu menghilangkan gambaran mengerikan yang masih melekat di benaknya. Wanita berblus bunga... tergeletak tak bernyawa. Setiap kali ia mencoba membuang gambar itu, ia justru semakin mengingat detailnya: noda darah yang membentuk pola aneh di blus, rambut yang berantakan, ekspresi kengerian yang membeku di wajahnya.

Andra mengendarai mobilnya pulang menuju apartemennya yang minimalis di kawasan Panakkukang. Sepanjang perjalanan, ia terus mengutuk dirinya sendiri karena memikirkan hal bodoh seperti itu. Ini pasti stres kerja, pikirnya. Ia tidak pernah punya pengalaman aneh semacam ini sebelumnya. Hidupnya selalu lurus, logis, dan teratur. Konsep "kilasan masa depan" atau "indigo" adalah sesuatu yang ia baca di buku fiksi atau tonton di film horor, dan ia selalu menganggapnya omong kosong.

Malam itu, Andra tidak bisa tidur nyenyak. Setiap kali ia memejamkan mata, wajah wanita berlumuran darah itu muncul lagi. Ia mencoba membenarkan posisinya, membalik bantal, tapi bayangan itu tetap ada, menari-nari di kegelapan kelopak matanya. Ia akhirnya menyerah, bangun, dan menyalakan lampu. Ia meraih ponselnya, mencoba mengalihkan pikiran dengan menjelajahi berita-berita daring. Matanya terpaku pada satu judul berita lokal: "Penemuan Mayat Wanita Muda di Gang Sempit Jalan Pettarani."

Jantung Andra mencelos. Ia merasa seluruh darahnya surut, meninggalkan sensasi dingin yang menusuk. Tangannya gemetar saat ia menyentuh layar ponsel, membuka berita itu. Foto yang ditampilkan adalah samar, hanya siluet tubuh yang ditutupi kain putih. Tapi deskripsi lokasi, gang sempit di Jalan Pettarani, itu terlalu persis dengan apa yang ia lihat dalam kilasannya. Blus motif bunga... nama korban tidak disebutkan dalam berita awal, hanya inisial "N."

Andra membanting ponselnya ke kasur. Sebuah kepanikan dingin mulai merayap di hatinya. Ini bukan halusinasi. Ini bukan stres kerja. Kilasan itu... nyata.

Bab 2: Pertanda yang Mengganggu

Pagi hari setelah kejadian itu, Andra merasa seperti orang yang baru saja lolos dari kecelakaan maut. Seluruh tubuhnya lemas, kepalanya pening, dan matanya perih karena kurang tidur. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya kebetulan semata. Makassar adalah kota besar, penemuan mayat di gang sempit bukanlah hal yang langka. Motif bunga pada blus... itu juga motif yang umum. Ia harus rasional.

Namun, benaknya tidak bisa berhenti bekerja. Gambaran wanita itu terus muncul. Sepanjang hari di kantor, ia tidak bisa fokus. Angka-angka di layar monitor tampak menari-nari, garis-garis denah apartemen seolah berpilin menjadi noda darah. Rekan kerjanya, Rina, menyadari perubahan pada Andra.

"Pak Andra, baik-baik saja?" tanya Rina saat mereka berpapasan di lorong. "Muka Bapak pucat sekali."

"Ah, tidak apa-apa, Rina. Hanya kurang tidur," jawab Andra, berusaha tersenyum tipis. Ia bahkan tidak sanggup menatap mata Rina terlalu lama, takut jika tiba-tiba ia mendapat kilasan lain.

Ketakutannya ternyata beralasan. Beberapa hari kemudian, saat Andra sedang makan siang di sebuah kedai bakso di dekat kantornya, matanya tanpa sengaja beradu pandang dengan seorang kakek tua yang sedang menyantap bakso di meja pojok. Kakek itu berjanggut putih, dengan mata teduh dan senyum ramah.

Dan kilasan itu datang lagi.

Kali ini, lebih jelas, lebih panjang, lebih brutal. Kakek itu... ia tergeletak di sebuah sawah kering yang gersang, tubuhnya penuh luka memar, seolah baru saja diseret dari kejauhan. Wajahnya membengkak dan biru. Di belakangnya, samar-samar terlihat sebuah mobil pickup berwarna hitam dengan bak terbuka. Kilasan itu bertahan sedikit lebih lama, cukup untuk Andra merasakan mual yang luar biasa. Ia bahkan bisa mencium bau tanah dan sedikit darah.

Andra tersedak baksonya. Ia batuk-batuk hebat, menarik perhatian beberapa pengunjung. Kakek itu menatapnya dengan raut khawatir. Andra hanya bisa menggelengkan kepala, buru-buru membayar, dan melarikan diri dari kedai itu. Di luar, ia bersandar pada tembok, mencoba mengatur napas. Ini bukan kebetulan. Ini bukan halusinasi. Ini terjadi lagi.

Ia langsung pulang ke apartemennya, mengambil tabletnya, dan mulai mencari informasi. Ia memasukkan kata kunci "penemuan mayat" dan "kakek" di mesin pencari berita lokal. Tidak ada hasil yang relevan. Ia mencoba memfrase ulang: "kakek meninggal tidak wajar," "kasus pembunuhan lansia." Hasilnya nihil. Ia merasa sedikit lega, mungkin kali ini ia salah. Mungkin kilasan itu adalah sebuah kesalahan, sebuah anomali.

Namun, kegembiraan itu tidak bertahan lama. Dua hari kemudian, saat sedang membaca koran digital pagi, matanya terpaku pada sebuah berita kecil di halaman belakang: "Petani Temukan Mayat Kakek di Sawah Mengering, Diduga Korban Perampokan." Judul itu seperti sambaran petir. Andra membaca artikel itu dengan tergesa-gesa. Lokasi penemuan: sawah mengering di pinggir kota. Ciri-ciri korban: kakek-kakek dengan janggut putih. Deskripsi luka: tubuh penuh memar, diduga akibat kekerasan.

Kaki Andra lemas. Ia menjatuhkan koran itu ke lantai. Sebuah gemuruh menakutkan mulai bergema di dadanya. Ini bukan kebetulan dua kali. Ini adalah pola. Sebuah pola yang mengerikan, sebuah kutukan yang tak terduga. Ia melihat masa depan, masa depan tragis, masa depan kematian yang menimpa orang-orang asing yang ia temui secara sekilas.

Ia mencoba mencari tahu lebih banyak tentang para korban. Untuk wanita berblus bunga, ia menemukan bahwa korban bernama Ningsih, seorang karyawan toko busana. Polisi menduga motif perampokan, karena dompet dan perhiasannya hilang. Untuk kakek, bernama Pak Harun, seorang pensiunan petani yang baru saja menjual tanahnya, polisi juga menduga perampokan, mengingat uang hasil penjualan tanahnya tidak ditemukan.

Rasa cemas yang sebelumnya hanya samar, kini berubah menjadi teror yang merayap. Andra mulai merasa bahwa ia adalah bagian dari sesuatu yang jahat. Apakah ia dikutuk? Apakah ia adalah pembawa sial? Setiap kali ia melihat seseorang di jalan, di toko, di angkutan umum, jantungnya berdegup lebih kencang. Ia takut kilasan itu akan datang lagi. Ia takut melihat bayangan kematian yang lain, karena ia tahu, cepat atau lambat, bayangan itu akan menjadi kenyataan.

Ia mulai menghindari keramaian. Ia memilih untuk membawa bekal makan siang dari rumah daripada harus pergi ke kedai. Ia naik tangga daripada lift, meskipun apartemennya berada di lantai tujuh. Ia bahkan sengaja mengambil rute pulang yang lebih jauh hanya untuk menghindari berpapasan dengan terlalu banyak orang. Hidupnya yang sebelumnya teratur, kini dipenuhi dengan paranoia dan ketakutan. Ia merasa seperti hidup di bawah bayang-bayang kematian, dan yang lebih mengerikan lagi, ia merasa bahwa ia adalah penonton pertama dari setiap pertunjukan horor itu.

Rasa bersalah mulai menggerogoti. Haruskah ia melaporkannya ke polisi? Mengatakan apa? "Saya melihat di masa depan bahwa seseorang akan mati?" Mereka pasti akan menganggapnya gila, atau lebih buruk lagi, menganggapnya sebagai pelaku karena ia "tahu" begitu banyak detail. Ia terjebak dalam dilema yang menyiksa. Ia adalah saksi bisu bagi kejahatan yang belum terjadi, dan ia tak berdaya untuk menghentikannya.

Ia duduk di sofa ruang tamunya yang sunyi, memandangi pantulan dirinya di jendela gelap malam. Wajahnya tirus, matanya cekung, dan ekspresinya dipenuhi penderitaan. Ia teringat cerita-cerita tentang orang indigo, orang yang bisa melihat hal-hal gaib, atau masa depan. Dulu ia menertawakannya. Sekarang, ia merasakannya. Dan rasanya seperti sebuah kutukan. Bukan kekuatan, melainkan beban. Beban yang semakin berat, dan ia tidak tahu sampai kapan ia bisa menanggungnya. Malam itu, Andra tidur dalam kecemasan, berharap esok pagi ia akan bangun dan semua ini hanyalah mimpi buruk yang panjang. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa ini adalah realitas barunya, realitas yang mengerikan, di mana ia adalah saksi takdir, seorang indigo yang dipaksa melihat kematian.

Bab 3: Teror Malam

Malam-malam Andra kini adalah medan perang. Ia terombang-ambing di antara mimpi buruk yang nyata dan insomnia yang melelahkan. Setiap kali ia berhasil memejamkan mata, pikiran-pikiran mengerikan tentang kilasan kematian itu menyerbu. Ia berusaha melawan, memaksakan diri untuk memikirkan hal lain, apa pun yang netral dan membosankan: daftar belanjaan, rutinitas kantor, bahkan laporan pajak. Namun, upaya itu sia-sia. Bayangan wanita berblus bunga dan kakek berjanggut putih itu sudah terpatri kuat dalam benaknya, seperti tato permanen yang tak bisa dihapus.

Satu malam yang terasa lebih panjang dari yang lain, Andra terbangun dengan napas terengah-engah. Jam digital di samping tempat tidurnya menunjukkan pukul 03.17 WITA. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya seolah ingin melarikan diri. Seluruh tubuhnya basah oleh keringat dingin, selimutnya melilit kakinya seperti jerat.

Ia baru saja mengalami mimpi buruk yang paling mengerikan sejauh ini. Bukan kilasan singkat, melainkan sebuah urutan kejadian yang lengkap dan detail. Ia melihat seorang pria tua, usianya sekitar enam puluhan, dengan rambut memutih dan kacamata tebal bertengger di hidungnya. Pria itu sedang duduk di sebuah kursi plastik di depan sebuah warung kopi sederhana, menyeruput kopi sasetan sambil membaca koran. Wajahnya ramah, dengan kerutan di sudut mata yang menandakan seringnya ia tersenyum.

Mimpi itu berlanjut. Tiba-tiba, adegan bergeser. Pria tua itu kini tergeletak di lantai warung kopi yang lengang, tubuhnya kaku dan tak bernyawa. Darah mengering di sekitar kepalanya, membentuk genangan hitam pekat di lantai keramik putih. Kacamata tebalnya pecah, tergeletak tak jauh dari tangannya yang kaku. Meja dan kursi di sekitarnya terbalik, seolah terjadi perkelahian hebat sebelum kematiannya. Tidak ada saksi, tidak ada suara, hanya keheningan yang mencekam, diselingi oleh suara tetesan air dari keran yang bocor di dapur warung. Detail mimpi itu begitu nyata, begitu rinci, hingga Andra bisa merasakan aroma kopi yang tumpah dan bau anyir darah yang samar. Ia bahkan bisa melihat merek kopi saset yang ada di dekat tangan pria itu.

Andra bangkit dari ranjang, terhuyung-huyung ke kamar mandi. Ia menyalakan keran, membasuh wajahnya berulang kali dengan air dingin, berharap sensasi dingin itu bisa menghapus kengerian yang melekat. Namun, bayangan pria tua itu tetap ada, menatapnya dengan mata kosong.

"Ini hanya mimpi," gumam Andra berulang kali, mencoba menenangkan dirinya. "Hanya mimpi."

Ia kembali ke kamar tidurnya, duduk di tepi ranjang, masih terengah-engah. Pikirannya kalut. Ia tidak pernah bermimpi sejelas ini sebelumnya. Kilasan-kilasan sebelumnya hanya berupa gambar statis, sepotong adegan. Namun, kali ini, ia melihat keseluruhan kejadian, seperti sebuah film pendek yang diputar di dalam kepalanya. Dan yang lebih menakutkan, ia merasa pernah melihat pria tua itu sebelumnya.

Ia mencoba mengingat-ingat. Pria tua itu... dengan kacamata tebal itu... ya! Beberapa hari yang lalu, ia sempat mampir ke sebuah warung kopi di persimpangan jalan menuju kantornya, membeli kopi sebelum jam kerja dimulai. Di sana, ia berpapasan dengan seorang kakek yang persis seperti yang ia lihat dalam mimpinya, sedang asyik membaca koran pagi. Mereka bahkan sempat bertukar senyum tipis.

Keringat dingin membasahi tubuh Andra lagi. Ini bukan mimpi biasa. Ini adalah peringatan. Peringatan yang sama mengerikannya dengan kilasan-kilasan sebelumnya, namun kali ini datang dalam bentuk yang lebih rinci dan menakutkan.

Pagi harinya, Andra pergi bekerja dengan langkah gontai. Rasa takut dan cemas melingkupinya seperti kabut tebal. Ia memaksakan diri untuk mampir ke warung kopi yang ia lihat dalam mimpinya. Jantungnya berdebar tak karuan saat ia mendekati warung itu.

Warung itu tutup. Pintu rolling door-nya tertutup rapat, dan ada secarik kertas ditempelkan di sana. Andra mendekat, membaca tulisan tangan yang terkesan buru-buru: "Maaf, warung tutup sementara. Ada musibah."

Andra merasa pusing. Musibah? Apa musibah yang dimaksud? Tubuhnya bergetar. Ia teringat mimpi itu, pria tua yang tewas di lantai warung. Mungkinkah? Tidak, tidak mungkin.

Ia memutuskan untuk menunggu. Ia duduk di trotoar seberang warung, berpura-pura bermain ponsel, namun matanya tak lepas dari warung itu. Sekitar pukul delapan pagi, seorang ibu-ibu yang biasa berjualan kue di dekat situ lewat. Andra memberanikan diri mendekat.

"Permisi, Bu," kata Andra, suaranya sedikit bergetar. "Warung kopi ini kenapa ya, kok tutup?"

Ibu itu menoleh, ekspresinya dipenuhi rasa iba. "Oh, Nak Andra tidak tahu ya? Itu warung Haji Karim. Kasihan sekali beliau, meninggal mendadak tadi malam. Katanya sih kena serangan jantung, ditemukan sudah tidak bernyawa di dalam warungnya."

Serangan jantung? Andra menelan ludah paksa. Dalam mimpinya, pria itu tewas dengan luka di kepala, dan warung yang berantakan. Tidak seperti meninggal karena serangan jantung. Ada yang tidak beres.

"Tapi... saya dengar ada ambulans dan polisi datang tadi pagi sekali, Bu?" Andra mencoba memancing informasi.

Ibu itu menghela napas. "Iya, memang. Awalnya dikira sakit biasa, tapi kayaknya ada kecurigaan dari keluarga. Soalnya beliau sendirian di warung tadi malam, dan ada barang-barang yang hilang. Makanya polisi datang. Tapi ya itu, saya dengar-dengar aja, Nak. Detailnya saya tidak tahu."

Andra mengucapkan terima kasih, lalu pergi dengan langkah limbung. Ia tahu. Ia sangat tahu. Bukan serangan jantung. Ini pembunuhan. Dan ia melihatnya dalam mimpinya. Kebenaran ini menghantamnya seperti palu godam. Ia bukan hanya melihat kilasan pendek lagi, tapi ia melihat kronologi kematian secara lengkap.

Ia kembali ke apartemennya, tidak sanggup pergi ke kantor. Ponselnya berdering, Rina menelepon menanyakan keberadaannya. Andra hanya beralasan sakit perut. Ia mematikan ponselnya dan duduk terpekur di kegelapan apartemennya. Ketakutan itu kini bercampur dengan rasa bersalah yang menusuk. Ia melihatnya. Ia tahu. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia merasa tak berdaya, terperangkap dalam kutukan yang mengerikan ini. Apakah ia benar-benar memiliki kemampuan indigo? Jika iya, mengapa ia hanya melihat hal-hal tragis dan tidak bisa mencegahnya? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya, tanpa jawaban.

Bab 4: Upaya Penolakan

Setelah kejadian dengan Haji Karim, Andra tenggelam dalam lubang keputusasaan yang semakin dalam. Ia tidak bisa lagi menepis semua ini sebagai kebetulan atau halusinasi. Ini nyata. Kilasan-kilasan itu adalah jendela ke dalam nasib tragis orang lain, dan ia adalah penonton yang tak berdaya. Ia mulai merasa gila.

"Aku harus menghentikannya," gumam Andra pada dirinya sendiri suatu pagi, sambil menatap pantulan matanya yang merah di cermin kamar mandi. "Aku harus menghentikan penglihatan ini."

Ia berpikir keras. Jika penglihatan ini datang ketika ia berinteraksi atau berpapasan dengan seseorang, maka solusinya adalah menghindari kontak sosial. Ide itu terdengar ekstrem, bahkan gila bagi orang lain, tapi bagi Andra, itu adalah satu-satunya harapan.

Andra mulai mempraktikkan pengasingan diri secara radikal. Ia memberi tahu atasannya bahwa ia butuh cuti panjang dengan alasan kesehatan mental. Atasannya, yang melihat kondisi Andra yang semakin kurus dan pucat, menyetujuinya tanpa banyak tanya.

Di apartemen, Andra mengunci diri. Ia memesan makanan secara daring, memastikan kurir meninggalkannya di depan pintu tanpa kontak fisik. Jendela-jendela ia tutupi dengan gorden tebal, dan pintu selalu terkunci rapat. Ia bahkan mematikan televisi dan hanya mendengarkan radio dengan volume rendah, agar tidak ada berita atau suara orang yang mungkin memicu penglihatan.

Berjalan-jalan ke luar rumah adalah mimpi buruk baginya. Setiap orang yang berpapasan dengannya berpotensi menjadi "korban" berikutnya dalam penglihatannya. Ia tidak sanggup lagi melihat mata orang asing, tidak sanggup berpapasan dengan mereka di jalanan ramai Makassar. Aroma kota, suara klakson, deru mesin, semuanya terasa menusuk, seolah setiap detail kecil bisa menjadi pemicu kilasan baru.

Namun, upaya Andra untuk mengisolasi diri ternyata sia-sia. Penglihatan itu tetap datang, dan ironisnya, semakin intens.

Suatu sore, Andra sedang duduk di sofa, memejamkan mata dan mencoba menenangkan pikirannya dengan teknik pernapasan yang ia pelajari dari internet. Tiba-tiba, sebuah kilasan menghantamnya. Bukan dari interaksi, melainkan seolah menembus dinding kesendiriannya.

Ia melihat seorang anak kecil, mungkin berusia sekitar delapan tahun, dengan rambut keriting dan seragam sekolah dasar. Anak itu sedang bermain layang-layang di lapangan kosong. Penuh tawa, penuh kegembiraan. Namun, dalam sekejap, adegan berubah menjadi mengerikan. Anak itu tergeletak di sebuah got besar di pinggir jalan, kepalanya membentur bebatuan. Layang-layangnya putus, terperangkap di dahan pohon yang patah. Tidak ada yang melihat, tidak ada yang menolong. Hanya air got yang keruh mengalir perlahan, membawa serta helai rambut anak itu.

Andra membuka matanya dengan terlonjak. Keringat dingin kembali membasahinya. Ia belum keluar rumah hari ini! Ia belum berinteraksi dengan siapa pun! Bagaimana bisa kilasan itu muncul?

Rasa panik yang luar biasa meliputi dirinya. Ini berarti mengisolasi diri tidak akan menghentikannya. Kutukan ini lebih dalam dari yang ia kira. Itu bukan hanya triggered oleh kontak fisik atau tatapan mata, tetapi seolah hidup dalam dirinya, meledak kapan saja ia paling tidak siap.

Ia mencoba mencari berita tentang anak hilang atau kecelakaan anak-anak. Tidak ada. Ia menunggu, dengan ketakutan yang menggerogoti. Dua hari kemudian, sebuah berita lokal di aplikasi berita yang ia unduh di ponselnya (ia tidak bisa lagi menghindari berita sepenuhnya, karena rasa cemas itu memaksanya mencari tahu) menarik perhatiannya. "Tragedi Sore Hari: Bocah SD Tewas Tergelincir ke Got Saat Bermain Layangan."

Jantung Andra mencelos. Foto yang menyertai berita itu buram, namun siluet anak itu, seragamnya, bahkan posisi layang-layang yang terperangkap di pohon, semuanya sesuai dengan kilasan yang ia dapat. Dunia Andra runtuh. Ia benar-benar gila. Atau lebih buruk, ia adalah seorang indigo yang ditakdirkan untuk menyaksikan tragedi tanpa bisa berbuat apa-apa.

Beban psikologisnya semakin berat. Ia merasa seperti wadah penampung segala penderitaan di kota Makassar. Setiap wajah yang ia lihat dalam benaknya adalah korban berikutnya. Setiap kilasan adalah vonis mati yang tak bisa ia batalkan. Tidurnya semakin terganggu, ia mulai kehilangan nafsu makan, dan berat badannya menurun drastis. Kulitnya pucat, matanya cekung, dan ekspresi wajahnya selalu tegang.

Ia mulai berbicara sendiri, merenungkan apa yang harus ia lakukan. Haruskah ia mencari pertolongan profesional? Seorang psikiater? Ia membayangkan dirinya menceritakan semua ini: "Saya melihat orang-orang mati sebelum mereka mati." Mereka pasti akan memberinya obat penenang dosis tinggi atau bahkan merekomendasikannya untuk rawat inap. Tidak ada yang akan percaya padanya.

Frustrasi dan ketakutan itu perlahan berubah menjadi apatis. Andra mulai merasa bahwa tidak ada gunanya melawan. Ia hanyalah boneka yang dipaksa menyaksikan panggung kematian. Setiap kali kilasan muncul, ia hanya bisa pasrah, menunggu kabar buruk berikutnya datang dari berita atau tetangga. Ia mulai percaya bahwa ia ditakdirkan untuk hidup dalam teror ini, menyaksikan kematian demi kematian, tanpa bisa mengubah apa pun. Pikiran itu adalah siksaan yang paling kejam. Ia bukan hanya menyaksikan takdir orang lain, ia juga menyaksikan kehancuran dirinya sendiri, sedikit demi sedikit, di bawah bayangan kutukan indigo yang mengerikan ini.

Bab 5: Petunjuk dari Kegelapan

Andra semakin tenggelam dalam pusaran keputusasaan. Hari-harinya diisi dengan kecemasan, malamnya dengan mimpi buruk yang tak terhindarkan. Ia merasa seperti sebuah wadah yang perlahan-lahan diisi dengan kengerian, dan wadah itu hampir penuh. Isolasi diri tidak mempan. Mengabaikannya pun tidak mungkin. Ia terjebak.

Setelah tragedi bocah layangan, Andra berhenti mencoba melawan penglihatan itu secara aktif. Ia hanya membiarkannya datang, lalu menunggunya menjadi kenyataan. Sikap apatis ini, anehnya, sedikit mengurangi intensitas rasa paniknya. Namun, itu digantikan oleh kehampaan yang dingin, sebuah penerimaan yang mengerikan terhadap takdir yang ia yakini sebagai miliknya. Ia hanya penonton.

Suatu sore yang pengap di Makassar, Andra sedang duduk di balkon apartemennya, menatap keramaian kota di bawah. Matanya hampa, pikirannya melayang. Tiba-tiba, tanpa pemicu yang jelas, sebuah kilasan baru menghantamnya. Kali ini, kilasan itu berbeda. Bukan hanya sepotong adegan, bukan hanya mimpi panjang, melainkan sebuah rangkaian gambaran yang sangat detail, seperti sebuah film dokumenter yang diputar langsung di otaknya.

Ia melihat seorang wanita muda, mungkin berusia awal dua puluhan, dengan rambut pirang sebahu dan mengenakan seragam pelayan kafe. Wajahnya cantik, dengan bintik-bintik samar di hidungnya. Ia sedang bekerja, melayani pelanggan dengan senyum ramah.

Adegan bergeser. Wanita itu kini berada di tempat yang asing. Sebuah gudang kosong. Gelap dan berdebu. Cahaya hanya masuk dari beberapa celah di atap seng yang berkarat. Dinding-dindingnya kotor, dipenuhi coretan graffiti aneh yang tidak bisa Andra baca, tapi bentuknya melingkar-lingkar, seperti simbol-simbol kuno. Ada beberapa drum bekas, tumpukan kayu lapuk, dan bau apak yang menyengat seolah tercium hingga ke hidung Andra.

Wanita itu tampak terikat di sebuah tiang penyangga yang besar. Mulutnya terbekap kain, matanya terbelalak ketakutan. Ia meronta, mencoba membebaskan diri, namun sia-sia. Lalu, sebuah siluet muncul dari kegelapan. Siluet seorang pria tinggi, kurus, mengenakan jaket hoodie gelap. Wajahnya selalu kabur, seperti tertutup kabut atau bayangan. Pria itu mengangkat sebuah benda tumpul, lalu menghantamkannya ke kepala wanita itu. Sekali. Dua kali. Suara hantaman itu, meski hanya dalam kilasan, terasa begitu nyata, begitu mengerikan. Darah muncrat, membasahi wajah dan rambut pirang wanita itu. Wanita itu kejang, lalu tubuhnya lemas, tergantung tak berdaya.

Kilasan itu tidak berhenti di situ. Pria ber-hoodie itu menyeret tubuh wanita itu keluar dari gudang, ke sebuah area semak-semak yang gelap. Ia menggali lubang dangkal dengan alat seadanya, lalu mengubur tubuh wanita itu di sana, menutupi dengan ranting dan dedaunan kering. Kilasan itu begitu panjang, begitu rinci, hingga Andra merasa seolah ia ada di sana, menjadi saksi bisu dari awal hingga akhir. Ia bahkan bisa merasakan hembusan angin malam yang dingin dan bau tanah yang baru digali.

Ketika kilasan itu berakhir, Andra terduduk lemas di balkonnya. Nafasnya terputus-putus. Keringat membanjiri tubuhnya. Ini adalah kilasan paling parah yang pernah ia alami. Yang paling detail. Dan yang paling mengerikan. Namun, di tengah kengerian itu, ada secercah pemikiran yang berbeda muncul di benaknya: petunjuk.

"Gudang kosong... graffiti aneh... simbol melingkar..." Andra mulai bergumam, mengulang-ulang detail yang ia ingat. Ini bukan lagi sekadar melihat nasib tragis. Ini adalah lokasi. Sebuah lokasi spesifik. Dan juga sebuah pola kejahatan. Pembunuh yang sama, mungkin? Siluet pria ber-hoodie itu... ia merasa pernah melihatnya samar-samar dalam kilasan-kilasan sebelumnya.

Rasa apatis yang melingkupinya sedikit terangkat, digantikan oleh dorongan aneh. Dorongan untuk melacak. Untuk menemukan gudang itu. Jika ia bisa menemukan gudang itu, mungkin ia bisa melakukan sesuatu. Mungkin ia bisa melaporkannya ke polisi sebelum kejadian itu terjadi. Ini adalah kesempatan, mungkin satu-satunya kesempatan, untuk memecahkan kutukan ini, untuk membuktikan bahwa ia tidak sepenuhnya tak berdaya.

Andra memutuskan untuk bertindak. Dengan tangan gemetar, ia mengambil ponselnya. Ia mulai mencari di peta digital Makassar, mencoba menemukan area-area yang mungkin memiliki gudang kosong. Pikirannya bekerja cepat, mencoba memproses setiap detail kecil dari kilasan itu. Gudang itu tampak terpencil, mungkin di pinggir kota. Coretan graffiti... itu bisa menjadi petunjuk penting.

Ia menghabiskan beberapa hari berikutnya di depan layar komputer, mencari gambar-gambar gudang kosong atau bangunan terbengkalai di Makassar dan sekitarnya. Ia fokus pada area industri tua, pinggiran kota yang belum banyak berkembang, atau bekas lahan pabrik. Ia menelusuri setiap sudut yang ia temukan di peta, membandingkannya dengan gambaran dalam kilasannya.

Ia mencari kafe-kafe yang memiliki pelayan wanita pirang sebahu, berharap bisa menemukan korban potensial dan memperingatkannya. Namun, Makassar adalah kota besar, dan ada banyak kafe. Ia tidak bisa hanya datang ke setiap kafe dan mengatakan, "Nona, saya melihat Anda akan dibunuh di sebuah gudang!" Ia akan dianggap gila, atau bahkan diusir.

Fokusnya kembali pada gudang itu. Graffiti melingkar, bau apak, drum-drum bekas. Ia juga ingat ada tumpukan kayu lapuk. Ini adalah petunjuk-petunjuk konkret. Andra menyadari bahwa ini bukan lagi hanya tentang melihat masa depan; ini adalah tentang investigasi.

Setelah pencarian yang melelahkan selama tiga hari, Andra akhirnya menemukan sesuatu yang mencurigakan. Di sebuah forum daring yang membahas tentang tempat-tempat angker di Makassar, ada sebuah thread yang menyebutkan "bekas pabrik gula tua di daerah Gowa, dekat perbatasan kota." Salah satu komentar menyebutkan, "ada gudang-gudang kosong di sana, serem, banyak graffiti aneh juga."

Graffiti aneh. Kata-kata itu seperti mantra bagi Andra. Ia segera membuka peta, melacak lokasi Gowa, dan mencoba mencari area bekas pabrik gula itu. Ia menemukan beberapa bangunan yang tampak terbengkalai dari gambar satelit. Ada beberapa yang terlihat seperti gudang.

Pada hari keempat, Andra memutuskan untuk pergi ke sana. Ini adalah risiko besar. Ia tahu itu. Ia bisa saja salah, atau lebih buruk, ia bisa bertemu dengan pembunuh itu sendiri. Namun, dorongan untuk menghentikan takdir ini lebih besar dari ketakutannya.

Ia mengenakan pakaian yang tidak mencolok, membawa tas punggung berisi senter, air minum, dan ponsel cadangan. Ia mengendarai mobilnya menuju arah Gowa. Semakin jauh ia masuk ke pinggir kota, suasana semakin sepi. Jalanan mulai rusak, dan deretan bangunan industri yang tidak terpakai mulai terlihat.

Akhirnya, setelah berkendara cukup lama, ia tiba di sebuah kompleks pabrik tua yang seolah ditinggalkan zaman. Gerbang utamanya berkarat dan terbuka sebagian. Aroma tanah basah bercampur dengan bau besi tua menusuk hidungnya. Suasana mencekam. Andra memarkir mobilnya agak jauh, lalu berjalan kaki memasuki kompleks itu.

Ia melihat beberapa bangunan gudang, semuanya tampak kosong dan ditinggalkan. Debu tebal menyelimuti lantai, sarang laba-laba tergantung di mana-mana. Andra membuka senternya, menerangi setiap sudut. Ia memeriksa dinding-dindingnya. Sebagian besar hanya coretan vandalisme biasa.

Namun, di gudang ketiga yang ia masuki, Andra terhenti. Di salah satu dinding, di antara coretan-coretan acak, ada beberapa simbol melingkar yang persis sama dengan yang ia lihat dalam kilasannya. Bentuknya aneh, seperti tulisan kuno yang tak dimengerti. Dan di pojok gudang, ia melihat tumpukan kayu lapuk dan beberapa drum bekas. Aroma apak yang sangat kuat tercium di udara.

Jantung Andra berdebar kencang. Ia menemukan lokasinya. Ini dia gudang itu. Gudang tempat wanita itu akan dibunuh.

Sekarang apa? Ia harus bertindak cepat. Ia melihat jam tangannya. Ia tidak tahu kapan tepatnya kejadian itu akan berlangsung. Bisakah ia menunggu polisi datang? Jika ia melapor sekarang, apakah mereka akan percaya? Atau ia akan dianggap gila? Atau bahkan, dicurigai sebagai pelaku karena terlalu banyak tahu? Dilema yang sama, namun kini lebih mendesak.

Ia merasa terbebani. Ia ada di TKP, sebelum kejahatan itu terjadi. Ini adalah kesempatannya. Namun, bagaimana caranya?

Bab 6: Misi Tanpa Harapan

Andra berdiri di dalam gudang yang gelap itu, senternya menyapu dinding yang kusam. Simbol-simbol melingkar yang persis sama dengan yang ia lihat dalam kilasannya terukir di sana, memberikan sensasi dingin yang merayap di punggungnya. Ia merasakan campuran adrenalin dan keputusasaan. Ia telah menemukan tempat ini, namun apa yang harus ia lakukan selanjutnya?

Pikirannya kalut. Melapor ke polisi tanpa bukti fisik atau saksi mata yang kuat? Hanya bermodal "penglihatan masa depan"? Itu sama saja bunuh diri sosial. Ia akan dicap gila, atau dicurigai sebagai pelaku yang mencoba mengalihkan perhatian. Ia tidak punya bukti konkret, hanya keyakinan internal yang tidak bisa ia jelaskan.

Ia memutuskan untuk mengawasi. Jika ia bisa menangkap basah pelakunya, atau setidaknya mendapatkan bukti yang cukup kuat untuk polisi, maka ia bisa bertindak. Andra meninggalkan gudang, memarkir mobilnya agak jauh di balik semak-semak, dan memutuskan untuk menunggu. Ia membawa bekal makanan dan air minum yang cukup. Malam itu, ia bersembunyi di balik semak-semak, matanya tak lepas dari gudang itu, telinganya awas terhadap suara sekecil apa pun. Udara malam di Gowa terasa dingin dan lembap. Suara jangkrik dan binatang malam lainnya terdengar begitu jelas di tengah kesunyian.

Jam-jam berlalu. Tidak ada apa-apa. Hanya angin yang berhembus pelan, menggoyangkan dedaunan kering. Andra mulai merasa lelah, kantuk menyerang. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Mungkin ia terlalu cepat bertindak. Mungkin kilasan itu akan terjadi lusa, atau minggu depan. Ia tidak tahu waktunya.

Keesokan paginya, setelah semalaman berjaga tanpa hasil, Andra kembali ke apartemennya dengan perasaan hampa. Ia makan, mandi, lalu tidur. Ia bangun sore hari, merasa lebih buruk dari sebelumnya. Kegagalan ini melukai semangatnya.

Namun, ia tidak menyerah sepenuhnya. Setiap hari selama seminggu penuh, Andra kembali ke gudang itu. Ia mengintai. Pagi, siang, malam. Ia mencari tahu jadwal shift pelayan kafe pirang itu di media sosial (dengan sedikit manipulasi akun palsu, ia berhasil menemukan nama kafe tempat pelayan itu bekerja, "Kopi Senja," dan melihat jadwal salah satu pelayan bernama Ayu, yang ciri-cirinya sangat mirip dengan kilasannya). Ia bahkan pernah membuntuti Ayu dari kafe hingga pulang ke rumahnya, mencoba mencari tahu kebiasaan gadis itu. Ia merasa seperti stalker gila, namun dorongan untuk mencegah kematian itu jauh lebih kuat daripada rasa malunya.

Dan di sinilah titik puncaknya.

Pada malam ke delapan pengintaiannya, sekitar pukul sebelas malam, Andra sedang bersembunyi di balik tumpukan puing, matanya tetap tertuju pada gudang. Tiba-tiba, ia melihatnya. Sebuah mobil pickup berwarna hitam, dengan bak terbuka, melaju pelan dan berhenti di depan gudang. Itu bukan mobil yang sama persis dengan yang ia lihat dalam kilasan kakek, tapi warnanya dan jenisnya sama. Jantung Andra berdegup kencang. Ia menahan napas.

Dari mobil itu, turunlah dua orang pria. Satu di antaranya mengenakan jaket hoodie gelap, persis seperti siluet dalam kilasannya. Pria yang satu lagi berbadan lebih besar. Mereka membuka pintu gudang. Beberapa menit kemudian, mereka kembali keluar, membawa sesuatu yang diseret.

Andra nyaris berteriak. Itu adalah Ayu, pelayan kafe itu! Ia tampak pingsan, tubuhnya lemas, diseret masuk ke dalam gudang. Mulutnya terbekap kain putih, dan ada bercak darah samar di sekitar pelipisnya.

Panik melandanya. Ini nyata! Ini terjadi! Sekarang! Andra ingin lari, berteriak, memanggil bantuan. Tapi ia tahu tidak ada siapa-siapa di sekitar situ. Ia tidak membawa senjata, ia tidak tahu harus berbuat apa. Hanya ada dua pria bersenjata yang kemungkinan besar akan membunuhnya jika ia muncul.

Ia melihat dua pria itu masuk ke dalam gudang. Cahaya senter mereka menyapu kegelapan di dalam. Andra melihat siluet mereka di ambang pintu. Pria ber-hoodie itu mengangkat tangannya, seolah memegang sesuatu.

Hantaman itu.

Andra mendengar suara "buk!" yang samar, atau ia hanya membayangkannya? Ia tidak yakin. Tubuhnya gemetar hebat. Ia ingin menutup mata, tapi ia tidak bisa. Ia dipaksa menyaksikan.

Beberapa menit kemudian, kedua pria itu keluar lagi dari gudang. Kali ini, mereka tampak membawa sebuah karung besar yang diseret. Karung itu tampak berat, dan bentuknya... menyerupai tubuh manusia. Mereka menyeretnya ke arah semak-semak yang gelap, persis seperti dalam kilasannya.

Andra ingin muntah. Ia merasakan keputusasaan yang luar biasa. Ia sudah di sini, ia sudah melihat, ia sudah mencoba mengantisipasi, tapi ia tetap tidak bisa menghentikannya. Ia hanya bisa menyaksikan.

Ia melihat kedua pria itu menggali lubang, lalu mengubur karung itu. Mereka menutupi dengan ranting dan dedaunan, berusaha menyamarkan jejak. Lalu, mereka kembali ke mobil pickup, dan melaju pergi.

Andra terdiam di balik persembunyiannya, tubuhnya gemetar tak terkendali. Bau tanah yang baru digali bercampur dengan bau anyir darah yang entah mengapa tercium begitu jelas di hidungnya. Ia tinggal di sana selama beberapa jam lagi, tidak berani bergerak, hingga fajar menyingsing.

Ketika matahari mulai terbit, ia merangkak keluar dari persembunyiannya. Kakinya lemas, tubuhnya pegal semua. Ia berjalan terhuyung-huyung ke arah semak-semak tempat ia melihat penguburan itu. Ia mencoba mencari tanda-tanda, gundukan tanah yang baru. Ia menemukan sebuah area yang tampak baru digali, dan beberapa ranting yang patah. Ia bahkan melihat bercak tanah yang masih segar di dedaunan.

Andra menjatuhkan dirinya di tanah. Air matanya menetes. Ia telah gagal. Ia telah melihat. Ia telah mencoba. Tapi takdir itu tidak bisa diubah. Setiap kali ia mencoba campur tangan, peristiwa yang ia lihat tetap terjadi, kadang dengan sedikit perubahan detail (jumlah pelaku, jenis mobil), tapi intinya sama: kematian.

Ia merasa seperti boneka yang dipaksa menyaksikan nasib. Kutukan ini adalah sebuah penjara, dan ia adalah tahanannya. Ia tidak bisa melindungi siapa pun. Ia tidak bisa mengubah apa pun. Ia hanya bisa melihat.

Setelah kejadian Ayu, Andra kembali ke apartemennya dengan perasaan hancur lebur. Ia menghubungi Rina, membatalkan cutinya, dan memutuskan untuk kembali bekerja. Apa gunanya bersembunyi? Apa gunanya melawan? Takdir akan tetap datang. Ia kembali ke rutinitasnya, namun kini dengan kehampaan yang lebih dalam, dan bayangan kematian yang semakin jelas di matanya. Setiap kali ia berpapasan dengan orang asing, ia tidak lagi panik. Hanya ada rasa pasrah. Ia tahu bahwa ia akan melihat kilasan itu lagi, dan ia tahu bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya penonton. Dan peran itu adalah siksaan terberat yang pernah ia alami. Ia adalah seorang indigo yang menyaksikan takdir, dan takdir itu selalu berakhir tragis. Ia merasa dirinya perlahan-lahan ikut mati bersama setiap korban yang ia lihat.

Bab 7: Jaring Paranoid

Kegagalan Andra untuk menghentikan pembunuhan Ayu menghancurkan sisa-sisa kewarasannya. Rasa pasrah yang sempat muncul kini digantikan oleh ketakutan yang lebih dalam dan lebih gelap. Ia bukan lagi hanya seorang penonton yang tak berdaya; ia merasa seperti magnit kematian, menarik tragedi ke dalam lingkarannya. Setiap kali ia berinteraksi dengan seseorang, tatapan matanya langsung tertuju pada mereka, mencari tanda-tanda, membaca nasib, seolah mereka adalah target berikutnya dalam sebuah permainan mengerikan yang ia tidak minta.

Andra kembali bekerja, namun jiwanya tidak lagi ada di sana. Ruangan kantor yang familiar, suara ketikan keyboard, bisik-bisik percakapan rekan kerja—semuanya terasa asing, jauh, terdistorsi oleh bisikan-bisikan ketakutan di benaknya. Ia tidak bisa lagi fokus pada denah proyek atau tenggat waktu. Matanya sering kali menatap kosong ke luar jendela, memindai keramaian jalanan di bawah, mencari wajah-wajah yang mungkin akan muncul dalam kilasan berikutnya.

Paranoia mulai menjeratnya. Setiap orang yang ia temui, ia curigai. Senyum ramah dari seorang kolega bisa jadi menyembunyikan nasib buruk yang akan segera menimpa mereka. Tatapan sekilas dari seorang pejalan kaki di jalan bisa memicu kilasan yang akan segera menjadi kenyataan. Dunia di sekitarnya yang dulu tampak normal, kini berubah menjadi ladang ranjau yang dipenuhi bom waktu.

Ia mulai menghindari interaksi sebisa mungkin. Ketika rekan kerjanya mengajaknya makan siang, ia menolak dengan alasan klise. Saat Rina, rekan kerja terdekatnya, mencoba mengajaknya bicara tentang kondisi tubuhnya yang semakin kurus, Andra hanya menjawab singkat dan menghindar. Ia tahu ia tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi padanya, dan ia tidak ingin menyeret siapa pun ke dalam neraka pribadinya. Ia takut, sangat takut, jika interaksi yang terlalu intens dengan seseorang akan memicu kilasan dan akhirnya membawa kematian pada orang itu. Rasa bersalah itu terlalu berat untuk ditanggung.

Tidur adalah musuh utamanya. Setiap malam, Andra terbaring di ranjang, matanya terbuka lebar di kegelapan. Ia mencoba mati-matian untuk tidak memejamkan mata, karena ia tahu, begitu ia tertidur, mimpi buruk yang mengerikan itu akan datang lagi. Kadang, itu adalah kilasan baru tentang korban lain. Kadang, itu adalah pengulangan dari tragedi-tragedi yang sudah terjadi, dengan detail yang semakin jelas dan menyiksa. Aroma darah, suara hantaman, jeritan yang tertahan—semuanya terasa begitu nyata hingga ia seringkali terbangun dengan berteriak, napas terengah-engah, dan keringat dingin membanjiri tubuhnya.

Ia mulai merasakan hal-hal aneh pada tubuhnya. Detak jantungnya sering tidak beraturan, telinganya berdenging, dan ia sering merasa pusing tiba-tiba. Tangannya gemetar saat memegang sendok, dan ia hampir tidak bisa menelan makanan. Nafsu makannya menghilang sepenuhnya. Ia hanya minum air putih dan sesekali mengonsumsi biskuit tawar untuk menjaga tubuhnya tetap berfungsi.

Berat badannya menurun drastis, menyisakan kulit yang membungkus tulang-tulangnya. Wajahnya cekung, dengan lingkaran hitam pekat di bawah matanya yang selalu tampak lelah. Cermin adalah musuhnya yang lain. Setiap kali ia melihat pantulan dirinya, ia melihat seorang asing yang mengerikan, seorang pria yang dimakan hidup-hidup oleh ketakutan dan paranoia. Ia tampak seperti hantu, bayangan dari dirinya yang dulu.

Suatu hari, saat sedang mengerjakan laporan di kantor, Andra melihat salah seorang OB (Office Boy) yang baru dipekerjakan. Pria muda itu tampak lugu, selalu tersenyum ramah, dan bekerja dengan cekatan. Begitu pandangan mereka berpapasan, kilasan itu datang.

Kilasan itu lebih singkat kali ini, namun intensitasnya tak berkurang. Ia melihat OB itu tergeletak di sebuah lorong sempit di lantai bawah gedung kantor mereka. Lehernya tercekik, wajahnya membiru. Sebuah bayangan gelap melintas cepat di atasnya, terlalu buram untuk dikenali.

Andra nyaris menjatuhkan pulpennya. Paranoia menguat. OB itu… di kantornya sendiri. Apakah ia akan menjadi saksi lagi? Atau, lebih buruk, ia adalah target yang terlalu dekat?

Ia merasakan dorongan kuat untuk memperingatkan OB itu, untuk menyuruhnya pulang, untuk menjauh dari gedung ini. Tapi ia menahan diri. Pengalamannya dengan Ayu telah mengajarkan kepadanya bahwa campur tangan adalah sia-sia. Takdir itu seolah sudah dituliskan, dan ia hanya dipaksa untuk membacanya.

Ia menghabiskan sisa hari itu dalam ketegangan yang ekstrem. Ia memata-matai OB itu dari jauh, mengamati setiap gerakannya. Ia tidak ingin melihatnya pergi ke lorong itu. Ia berdoa agar kilasan itu salah, atau setidaknya, itu hanyalah sebuah halusinasi.

Namun, doa Andra tidak terkabul. Keesokan harinya, berita menyebar di kantor seperti api. OB baru ditemukan tewas di lorong basement, diduga karena serangan jantung. Namun, ada bisik-bisik tentang tanda-tanda pencekikan di lehernya, yang coba ditutup-tutupi. Polisi masih menyelidiki.

Andra mendengar kabar itu dengan tubuh gemetar. Ia pergi ke toilet kantor, mengunci diri di salah satu bilik, dan memuntahkan isi perutnya yang kosong. Air matanya mengalir deras. Ia telah melihatnya. Dan itu terjadi lagi. Di tempatnya sendiri. Di bawah hidungnya.

Rasa bersalah, ketakutan, dan paranoia bercampur menjadi koktail mengerikan di dalam dirinya. Ia merasa seperti jaringan laba-laba, dan ia sendiri yang menjadi mangsanya, terperangkap semakin dalam. Tidak ada jalan keluar. Dunia ini adalah sebuah jebakan kematian, dan ia adalah satu-satunya yang bisa melihat perangkapnya, namun tidak bisa melarikan diri darinya. Ia merasa bahwa ia akan segera gila, jika ia belum gila sekarang.

Bab 8: Bayangan Diri

Setelah kematian OB itu, Andra tidak bisa lagi menoleransi lingkungan kantor. Setiap lorong terasa menghimpit, setiap sudut seperti menyembunyikan bayangan kematian. Ia merasa semua mata menatapnya, seolah mereka tahu ia adalah pembawa sial. Ia kembali mengajukan cuti, kali ini tanpa batas waktu, dan mengunci dirinya lagi di apartemennya.

Isolasi diri kali ini terasa berbeda. Bukan lagi upaya untuk menghindari penglihatan, melainkan sebuah bentuk pelarian dari dunia yang terlalu kejam baginya. Ia tidak lagi peduli apakah penglihatan itu akan datang atau tidak. Ia hanya ingin bersembunyi dari kenyataan, dari semua penderitaan yang ia saksikan.

Hari-hari Andra di apartemen kini diisi dengan keheningan yang memekakkan. Ia jarang makan, jarang tidur. Ia hanya duduk di sofa yang sama, memandangi dinding kosong, membiarkan pikirannya berkeliaran tanpa arah. Waktu terasa melambat, setiap detik terasa seperti jam.

Suatu siang, dalam keheningan yang mencekam itu, Andra berjalan terhuyung-huyung ke kamar mandi. Ia merasa haus yang luar biasa. Saat ia mendekati wastafel, matanya tanpa sengaja beradu pandang dengan pantulan dirinya sendiri di cermin.

Wajah yang terpantul itu adalah wajah seorang asing. Pucat pasi, tirus, dengan mata cekung yang memancarkan ketakutan dan kehampaan. Rambutnya acak-acakan, janggutnya tumbuh tak terawat. Ia nyaris tidak mengenali dirinya sendiri.

Dan kemudian, kilasan itu datang.

Ini bukan kilasan biasa. Ini bukan penglihatan tentang orang asing. Ini adalah penglihatan tentang dirinya sendiri.

Andra melihat tubuhnya sendiri. Tergeletak. Di lantai dapur apartemennya yang kini dingin dan kotor. Darah. Banyak sekali darah. Menodai ubin putih, mengalir membentuk genangan kecil. Matanya terbelalak, kosong, menatap langit-langit. Sebuah pisau dapur tergeletak tak jauh dari tangannya yang kaku, mengilap memantulkan cahaya redup.

Kilasan itu berlanjut. Sesosok bayangan muncul. Siluet pria ber-hoodie gelap yang sama dengan yang ia lihat dalam kilasan Ayu. Siluet itu berdiri di atas tubuh Andra, lalu perlahan membungkuk. Wajahnya masih kabur, namun Andra bisa merasakan kehadiran yang dingin dan mengerikan dari sosok itu. Sosok itu mengangkat pisau itu, lalu…

Hantaman itu.

Kilasan itu berakhir dengan tiba-tiba. Andra terhuyung mundur dari cermin, napasnya tersengal-sengal. Jantungnya berdebar kencang hingga terasa sakit. Ini... ini tidak mungkin. Ia melihat dirinya sendiri mati. Terbunuh. Di apartemennya sendiri. Oleh sosok yang sama yang membunuh Ayu.

Rasa takut yang sebelumnya ia rasakan adalah remeh dibandingkan dengan teror murni yang kini melanda dirinya. Ini bukan lagi tentang menyaksikan nasib orang lain. Ini adalah tentang nasibnya sendiri. Ia akan mati. Ia akan dibunuh. Di rumahnya sendiri.

Pikirannya berputar kacau. Apakah ini berarti kutukan ini mencapai puncaknya? Apakah ini adalah vonis mati baginya, setelah dipaksa menyaksikan begitu banyak kematian? Atau ini adalah sebuah peringatan? Sebuah kesempatan terakhir untuk melarikan diri?

Andra mulai panik. Ia berlari ke pintu apartemennya, mengunci setiap kunci yang ada, bahkan menggeser sofa di depannya. Ia memeriksa setiap sudut ruangan, di bawah tempat tidur, di balik gorden. Tidak ada siapa-siapa. Hanya keheningan yang mematikan.

Ia mencoba mengingat setiap detail dari kilasan itu. Dapur... pisau dapur... darah... Dan sosok pria ber-hoodie itu. Ini adalah pembunuh yang sama. Pembunuh yang mengincar dirinya.

Ketakutan itu kini bercampur dengan amarah. Amarah pada takdirnya, pada kutukan ini, dan pada pembunuh misterius itu. Ia telah mencoba menghindar, ia telah mencoba menghentikan, namun semuanya sia-sia. Dan kini, ia menjadi target.

Ia memegangi kepalanya, berusaha menenangkan diri. "Tidak. Aku tidak bisa mati begitu saja." Naluri bertahan hidupnya yang sempat padam, kini menyala kembali. Ia tidak ingin mati. Terutama tidak dengan cara yang mengerikan seperti itu.

Ia kembali ke dapur, menatap pisau-pisau di rak. Pisau itu… pisau yang sama persis seperti yang ada di kilasannya. Ia mengambilnya, memegangnya erat-erat. Rasanya dingin di tangannya, berat. Apakah ini pisau yang akan membunuhnya? Atau, apakah ini pisau yang bisa ia gunakan untuk melawan?

Malam itu, Andra tidak tidur sama sekali. Ia duduk di ruang tamunya yang gelap, pisau dapur di genggamannya. Matanya terus-menerus mengawasi pintu, jendela. Ia tahu pembunuh itu akan datang. Ia tidak tahu kapan, tapi ia tahu. Kilasan itu tidak pernah salah.

Ia mulai merencanakan. Jika kilasan itu menunjukkan ia terbunuh di dapur, maka ia harus menghindari dapur. Ia harus mencari tempat persembunyian. Atau, ia harus siap untuk melawan. Ia yang dulunya seorang introvert yang pasif, kini berubah menjadi seseorang yang dipenuhi ketakutan dan tekad untuk bertahan hidup.

Andra berpikir tentang setiap detail dari penglihatan tentang dirinya sendiri. Ruangan dapur. Darah. Pisau. Dan sosok pembunuh itu. Ia merasa bahwa ini adalah pertarungan terakhirnya. Ia harus bersiap. Jika ia ditakdirkan untuk mati, setidaknya ia akan mati dengan perlawanan. Tetapi jauh di dalam lubuk hatinya, ada bisikan kecil, bisikan yang mengganggu. Bisikan yang mempertanyakan, "Apakah ini benar-benar penglihatan tentang masa depan, atau ada sesuatu yang jauh lebih gelap yang sedang kamu lupakan?" Namun, bisikan itu tertutup oleh deru ketakutan yang memekakkan. Ia hanya bisa fokus pada satu hal: ia adalah korban berikutnya. Dan ia harus bertahan hidup.

Bab 9: Pertemuan Tak Terhindarkan

Ketakutan Andra pada kematiannya sendiri telah melampaui segala ketakutan yang pernah ia rasakan. Kilasan tentang dirinya tergeletak di dapur apartemennya, bersimbah darah, terbunuh oleh sosok pria ber-hoodie itu, terus berputar di benaknya. Ia tidak bisa lagi makan, apalagi tidur. Setiap detik terasa seperti hitungan mundur menuju takdir yang mengerikan.

Ia mencoba mengingat setiap detail dari penglihatan tentang dirinya itu. Dapur. Lantai putih. Pisau dapur yang mengilat. Dan bayangan gelap itu, siluet tinggi kurus dengan jaket hoodie. Ini adalah pembunuh yang sama yang membunuh Ayu di gudang. Pembunuh yang sama yang samar-samar ia lihat dalam kilasan-kilasan sebelumnya. Rasanya seperti sebuah lingkaran yang mengerikan, sebuah pola yang akhirnya datang untuk melahapnya.

Pikiran Andra dipenuhi oleh strategi bertahan hidup. Jika ia mati di dapur, ia harus menghindari dapur. Ia harus menyiapkan pertahanan. Tapi bagaimana? Ia tidak punya senjata, dan ia tahu betul ia tidak memiliki keahlian bertarung. Ia hanyalah seorang manajer proyek biasa yang kini terperangkap dalam mimpi buruknya sendiri.

Ia mengambil pisau dapur yang ia lihat dalam kilasannya, pisau dengan gagang hitam yang kokoh. Ia memegangnya erat-erat, merasakan dinginnya bilah baja di telapak tangannya yang berkeringat. Ini bukan untuk menyerang, pikirnya, ini untuk membela diri. Jika pembunuh itu datang, ia akan melawan. Ia tidak akan mati seperti korban-korban lainnya, pasrah pada takdir. Ia akan berjuang.

Andra menghabiskan sisa harinya mengamati apartemennya. Ia memikirkan setiap sudut, setiap celah. Ia ingin mengubah nasib. Tapi bagaimana? Kilasan itu selalu terjadi. Ia tidak pernah bisa menghentikannya. Kali ini, korbannya adalah dirinya sendiri.

Malam itu, Andra tidak tidur. Ia duduk di ruang tamu yang gelap gulita, mata merahnya terus-menerus menatap pintu utama, lalu beralih ke jendela balkon. Ketakutan itu mencengkeramnya. Setiap suara kecil dari luar – derit lift, langkah kaki di koridor, suara knalpot mobil yang lewat – membuat jantungnya melonjak. Ia tahu ia tidak bisa melarikan diri dari takdir yang telah ia "lihat."

Tiba-tiba, ia merasakan dorongan aneh, sebuah bisikan kuat di benaknya. Bisikan itu menyuruhnya untuk pergi. Bukan untuk melarikan diri, tapi untuk menghadapi. "Kembali ke sana," bisik suara itu. "Kembali ke tempat itu."

Tempat itu? Andra mengerutkan kening. Tempat apa? Gudang tua? Atau ada tempat lain yang sering muncul dalam kilasannya tanpa ia sadari? Ia memutar ulang semua kilasan yang pernah ia alami dalam benaknya. Gudang tempat Ayu terbunuh. Lorong basement tempat OB terbunuh. Gang sempit tempat Ningsih terbunuh. Sawah kering tempat Pak Harun terbunuh. Dan warung kopi tempat Haji Karim terbunuh.

Ada benang merah di antara semua lokasi itu: semuanya adalah tempat-tempat terpencil, minim saksi, dan seringkali gelap. Ia merasakan sebuah pola, sebuah gravitasi yang tak terlihat menariknya ke sana. Seolah-olah, untuk benar-benar memahami, ia harus kembali ke sumbernya.

Ia memutuskan untuk kembali ke gudang tua di Gowa. Gudang itu adalah kilasan paling detail yang pernah ia dapatkan, dan itu adalah tempat ia melihat sosok pria ber-hoodie itu dengan jelas. Ia merasa bahwa jawaban, atau setidaknya konfrontasi, ada di sana.

Meskipun tubuhnya bergetar hebat, Andra meraih kunci mobilnya. Ia mengambil pisau dapur itu, menyembunyikannya di dalam jaketnya. Ia tahu ini adalah keputusan gila, tapi ia tidak punya pilihan. Ia tidak bisa lagi hidup dalam ketakutan seperti ini. Ia harus menghadapinya, apa pun risikonya.

Perjalanan menuju Gowa terasa sangat panjang. Langit malam sudah gelap pekat, hanya diterangi oleh rembulan tipis dan lampu jalan yang jarang-jarang. Setiap bayangan di pinggir jalan seolah berubah menjadi sosok mengerikan. Andra memacu mobilnya dengan kecepatan sedang, pikirannya berkecamuk. Ia mencoba mengumpulkan keberanian.

Akhirnya, ia tiba di kompleks pabrik tua itu. Suasana jauh lebih mencekam di malam hari. Angin berhembus kencang, menggoyangkan dahan-dahan pohon yang kering, menciptakan suara desisan yang mengerikan. Andra memarkir mobilnya jauh di balik semak-semak, memastikan tidak ada yang melihatnya. Ia keluar dari mobil, udara dingin menusuk kulitnya. Ia menghidupkan senter ponselnya dan berjalan perlahan menuju gudang yang ia kenali.

Pintu gudang terbuka sebagian, mengeluarkan derit panjang saat ia mendorongnya. Bau apak yang menyengat langsung menyambutnya. Di dalam, kegelapan terasa pekat, hanya sedikit cahaya bulan yang menembus celah-celah atap. Graffiti aneh itu masih ada di dinding, seolah menatapnya dengan mata kosong. Andra merasakan deja vu yang kuat. Ia pernah di sini sebelumnya, menyaksikan kejahatan itu.

Ia melangkah masuk, senternya menyapu lantai yang berdebu. Tumpukan kayu lapuk dan drum-drum bekas masih ada di sana, persis seperti dalam kilasannya. Ia melihat tiang penyangga tempat Ayu terikat. Sebuah kengerian dingin merayapi tulang punggungnya.

Andra berjalan lebih jauh ke dalam gudang, tangannya mencengkeram pisau di dalam jaketnya. Ia mendengarkan dengan saksama. Tidak ada suara, selain detak jantungnya sendiri yang berpacu tak keruan. Ia merasa bahwa ia tidak sendirian. Ada sesuatu di sana, atau seseorang.

Ia terus berjalan, melewati tiang penyangga, menuju bagian belakang gudang yang lebih gelap. Tiba-tiba, senter ponselnya menangkap sesuatu. Sebuah siluet.

Itu adalah siluet yang sama. Tinggi, kurus, mengenakan jaket hoodie gelap. Berdiri di sudut paling gelap gudang, nyaris tak terlihat. Wajahnya masih kabur, tertutup bayangan.

Jantung Andra mencelos. Ia langsung kaku. Nafasnya tercekat. Ini dia. Pembunuh itu. Pelaku di balik semua tragedi yang ia lihat. Dan sekarang, ia ada di sini, di gudang yang sama, siap untuk menghadapi takdirnya sendiri.

Ia merasakan adrenalin membanjiri tubuhnya. Ketakutan itu kini bercampur dengan kemarahan yang membakar. Andra menarik pisau dapur dari jaketnya. Bilah pisau itu berkilau samar di bawah cahaya senter.

"Siapa kau?!" teriak Andra, suaranya serak dan gemetar, namun dipenuhi tekad. "Keluar kau! Jangan sentuh aku!"

Siluet itu tidak bergerak, hanya berdiri diam, mengamati Andra. Tidak ada suara, tidak ada respons. Keheningan itu justru membuat Andra semakin panik.

"Keluar!" teriaknya lagi, mengacungkan pisau ke arah siluet itu. Ia tahu ia harus berjuang. Ini adalah pertarungan untuk hidupnya.

Perlahan, sangat perlahan, siluet itu mulai bergerak. Ia melangkah maju, keluar dari kegelapan. Andra mengarahkan senter ponselnya ke arah wajah siluet itu, berharap bisa melihat siapa pembunuh yang selama ini menghantuinya.

Saat cahaya senter mengenai wajah itu, Andra terkesiap. Sebuah kejutan yang lebih besar dari semua kilasan yang pernah ia alami menghantamnya.

Itu adalah... wajahnya sendiri.

Bab 10: Kebenaran yang Menghancurkan

Cahaya senter Andra bergetar di tangannya. Ia terhuyung mundur, matanya terbelalak menatap sosok di depannya. Itu bukan siluet orang lain lagi. Itu adalah dirinya. Sosoknya di gudang itu, tinggi, kurus, mengenakan jaket hoodie gelap yang kini terlihat samar-samar, adalah refleksi sempurna dari dirinya sendiri. Wajah yang terpantul di sana adalah wajahnya yang tirus dan cekung, dengan mata yang kini tampak liar dan tak terkendali.

"Tidak mungkin..." bisik Andra, suaranya nyaris tak terdengar. Ia merasa pusing, seolah gravitasi menghilang di bawah kakinya.

Sosok itu tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya berdiri diam, menatap Andra dengan mata yang persis sama dengan matanya sendiri: penuh ketakutan, penuh kekosongan, dan dipenuhi sedikit kegilaan.

Andra mengarahkan senternya ke dinding gudang. Ada sebuah genangan air di sana, sisa hujan semalam yang bocor dari atap yang berkarat. Ia melihat pantulan dirinya dan sosok itu di genangan air. Mereka sama. Identik.

Tiba-tiba, sebuah suara lain terdengar di gudang. Suara berderit, seperti engsel pintu yang tua. Andra menoleh cepat. Di ambang pintu gudang, ada siluet lain yang muncul. Kali ini, siluet itu tampak lebih familiar, lebih lembut. Itu adalah sosok seorang wanita. Wajahnya samar, tapi Andra bisa merasakan kehangatan yang aneh darinya.

Dan kemudian, semua kilasan itu berputar mundur.

Bukan hanya kilasan tentang dirinya di dapur, melainkan semua kilasan yang pernah ia alami, berputar seperti film yang diputar ulang dengan cepat, namun dengan sudut pandang yang berbeda.

* Wanita berblus bunga (Ningsih): Andra melihat dirinya sendiri. Bukan sebagai penonton, tapi sebagai sosok bayangan yang menyeret Ningsih ke gang sempit. Tangan Andra sendiri yang mencekiknya, wajahnya yang penuh amarah.

* Kakek tua (Pak Harun): Andra melihat dirinya mengendarai mobil pickup hitam itu. Tangannya sendiri yang menyeret tubuh kakek tua itu ke sawah. Wajah Andra sendiri yang penuh kekejian, menghantamkan benda tumpul ke kepala kakek itu.

* Bocah layangan: Andra melihat dirinya sendiri, berdiri di dekat got besar. Ia melihat tangannya yang mendorong bocah itu hingga tergelincir. Senyum tipis yang tak disadari terukir di wajahnya.

* OB kantor: Andra melihat dirinya sendiri, menyelinap di lorong basement. Tangannya sendiri yang mencekik leher OB itu, matanya yang dingin saat ia melihat korban itu tak bernyawa.

* Pelayan kafe (Ayu): Andra melihat dirinya sendiri. Bukan sebagai pengintai di balik semak-semak, tapi sebagai salah satu dari dua pria di dalam mobil pickup itu. Ia melihat tangannya sendiri yang membekap Ayu, menyeretnya ke gudang. Dan wajahnya sendiri yang penuh kepuasan saat ia menghantamkan benda tumpul ke kepala Ayu.

Setiap kilasan yang diputar ulang itu, kini dengan dirinya sebagai pelaku, disertai dengan serpihan-serpihan ingatan yang selama ini tersembunyi. Suara tawa yang aneh dan dingin yang keluar dari mulutnya sendiri saat melakukan perbuatan keji itu. Sensasi kekuatan yang aneh saat ia mengakhiri hidup orang lain. Aroma darah yang ia anggap hanya halusinasi dalam kilasan, ternyata adalah bau nyata yang ia nikmati.

Kebenaran itu menghantam Andra seperti tsunami. Ia bukan seorang indigo yang melihat masa depan. Ia bukan korban yang akan dibunuh. Ia adalah pelaku. Dialah pembunuh berantai yang selama ini menghantui Makassar. "Penglihatan masa depan" itu... itu adalah kronologi nyata dari kejahatan-kejahatan yang telah ia lakukan, namun alam bawah sadarnya menolaknya, memproyeksikannya sebagai "masa depan" yang mengerikan dan terpisah dari dirinya. Ia menderita amnesia disosiatif, atau mungkin lebih tepatnya, sebuah bentuk penyangkalan ekstrem, di mana otaknya memfilter memori traumatis dari tindakan-tindakannya sendiri.

Dan sosok "pria ber-hoodie" itu? Itu adalah representasi dari sisi gelap dirinya, sisi yang melakukan kekejaman itu. Sisi yang kini berdiri di depannya di gudang, menatapnya dengan mata kosong, mencerminkan kegilaannya sendiri. Sosok wanita yang muncul samar di ambang pintu... itu mungkin sisa-sisa nurani Andra, atau mungkin memori samar dari seseorang yang pernah ia sayangi, yang mencoba menariknya kembali dari kegelapan.

Andra menjatuhkan pisau di tangannya. Suaranya bergema di gudang kosong. Tubuhnya ambruk ke lantai yang dingin dan berdebu. Ia mulai tertawa, tawa yang histeris dan tak terkendali, bercampur dengan isak tangis yang mengerikan. Ia tertawa karena betapa bodohnya ia, betapa butanya ia selama ini. Ia menangis karena kengerian dari kebenaran yang tak terduga ini. Ia telah membunuh orang-orang itu. Semua orang yang ia "lihat" mati.

Ia menatap sosok "dirinya" yang masih berdiri diam di depannya, kini tampak tersenyum tipis, senyum yang dingin dan menyeramkan. Itu bukan lagi refleksi, tapi perwujudan dari kegilaannya, alter egonya yang keji.

Pada akhirnya, Andra yang "indigo" itu, yang menderita karena "penglihatannya", yang mencoba mencegah takdir, adalah seorang pria yang dihancurkan oleh kebenaran yang ia sangkal. "Penglihatan masa depan" tentang dirinya yang terbunuh di dapur apartemennya... itu bukan pembunuhan oleh orang lain. Itu adalah momen di mana Andra yang "baik" akan "membunuh" jati diri lamanya yang mencoba melawan, dan sepenuhnya merangkul sisi gelap, sisi pembunuh berantai di dalam dirinya. Sosok pria ber-hoodie itu bukan orang lain yang akan datang membunuhnya, melainkan bagian dari dirinya yang akan mengambil alih sepenuhnya, menghilangkan sisa-sisa kesadaran Andra yang masih merasa bersalah dan takut.

Di dalam gudang yang gelap itu, di bawah tatapan mata kosong dari bayangan dirinya sendiri, Andra berteriak, sebuah teriakan yang bukan lagi karena ketakutan akan kematian, melainkan karena kengerian atas kebenaran yang menghancurkan jiwanya. Ia adalah monster yang selama ini ia cari, ia adalah bayangan yang menghantuinya, dan takdir yang mengerikan itu… adalah hasil dari perbuatannya sendiri.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)