Masukan nama pengguna
Bab 1 – Kost Baru, Semangat Baru
Aldo menatap pantulan dirinya di cermin tua yang membalut dinding kamar kost barunya. Usianya baru dua puluh empat, namun sorot matanya yang biasanya redup karena terlalu banyak merenung, kini berpendar dengan semangat yang asing. Jakarta, kota yang selalu ia hindari karena hiruk-pikuknya, kini menjadi panggung baru bagi ambisinya. Ia adalah seorang penulis muda, terbiasa menyendiri, dan keputusannya untuk pindah dari kota kecilnya ke Menteng, jantung ibu kota, adalah loncatan iman yang besar. Ia ingin meninggalkan jejak, menciptakan karya yang tak hanya dibaca, tetapi juga dirasakan hingga ke relung jiwa. Setelah bertahun-tahun berkutat dengan naskah-naskah pendek yang tak pernah terbit dan penolakan demi penolakan dari penerbit, Aldo merasa ini adalah kesempatan terakhirnya untuk membuktikan diri. Ia butuh perubahan radikal, sebuah stimulus baru yang mampu memantik kembali api kreatifnya yang mulai redup. Menteng, dengan segala gemerlap dan sejarahnya, terasa seperti tempat yang tepat untuk menemukan inspirasi yang hilang.
Kamar kost ini, meski tergolong tua, memiliki aura yang bersih dan menenangkan. Dinding-dindingnya dicat ulang dengan warna krem lembut, dan lantai kayu yang berderit samar menambah kesan hangat. Bu Erna, pemilik kost yang ramah dan bersahaja, menjelaskan bahwa kamar ini sudah kosong cukup lama. "Cermin itu, Nak," katanya sambil menunjuk cermin besar yang hampir menutupi seluruh dinding di seberang tempat tidur. "Sudah tertanam dari dulu, enggak bisa dipindah. Anggap aja hiasan antik." Aldo tidak terlalu memedulikannya; cermin itu terlihat estetik, memantulkan cahaya matahari yang masuk melalui jendela, membuat ruangan terasa lebih luas dan terang. Yang terpenting baginya adalah ketenangan yang ditawarkan kamar ini, sebuah kanvas kosong bagi ide-ide yang bergejolak di kepalanya. Ia membayangkan bagaimana cahaya mentari pagi akan membanjiri ruangan, membangunkan dirinya dengan lembut untuk memulai hari dengan menulis. Ia membayangkan bagaimana senja akan melukis dinding dengan nuansa jingga, memberinya waktu untuk merenung dan menyusun kalimat-kalimat indah. Kamar ini terasa seperti sebuah janji.
Meja tulis kayu jati yang kokoh di sudut kamar segera menjadi pusat dunianya. Ia mengeluarkan laptop kesayangannya, tumpukan buku referensi, dan buku catatan yang penuh coretan ide. Aroma kopi instan yang baru diseduh memenuhi ruangan, berpadu dengan bau kayu lapuk dan sedikit aroma lavender dari pewangi ruangan yang diletakkan Bu Erna. Aldo merasa ini adalah awal yang sempurna. Ia mulai membuka dokumen kosong di laptopnya, jari-jarinya siap menari di atas tuts keyboard. Novel pertamanya, sebuah misteri pembunuhan yang rumit, telah menantinya untuk dihidupkan. Dia membayangkan plot yang membelit, karakter-karakter dengan lapisan emosi yang dalam, dan tentu saja, adegan pembunuhan yang mampu membuat pembaca bergidik. Genre misteri adalah passion-nya. Sejak kecil, ia selalu terpesona oleh cerita-cerita detektif, dengan segala teka-teki dan intriknya. Ia ingin menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar teka-teki; ia ingin menciptakan sebuah pengalaman, sebuah perjalanan psikologis yang akan membuat pembaca mempertanyakan segalanya. Ia ingin menyelam ke dalam pikiran seorang pembunuh, memahami motivasi di balik kegilaan, dan mengungkap sisi gelap kemanusiaan.
Malam pertama di kamar kost baru berlalu dengan cepat. Aldo tenggelam dalam riset, menyusun garis besar cerita, dan mengembangkan profil karakter. Ia merasa bersemangat, sebuah energi yang sudah lama tidak ia rasakan. Keheningan malam di Menteng, yang hanya dipecah oleh suara jangkrik dan sesekali deru kendaraan dari kejauhan, benar-benar mendukung konsentrasinya. "Ini tempat yang sempurna," bisiknya pada diri sendiri, sambil tersenyum tipis. Ia menatap cermin sebentar, bayangan kamarnya terpantul jelas. Tidak ada yang aneh, hanya pantulan dirinya yang fokus dan penuh tekad. Ia mematikan lampu, membiarkan kegelapan merayapi ruangan, dan hanyut dalam mimpi yang tenang, penuh dengan bayangan-bayangan cerita yang akan ia tulis. Ia tidak tahu, bahwa ketenangan itu hanyalah fatamorgana di ambang sebuah jurang yang siap menelannya utuh. Di balik pantulan cermin yang tenang itu, tersembunyi sebuah misteri yang jauh lebih gelap dari novel yang akan ia tulis. Sebuah warisan yang menunggu untuk bangkit, sebuah cerita yang menuntut untuk diselesaikan, dan sebuah jiwa yang akan terseret ke dalam kegelapan yang tak terbayangkan.
Bab 2 – Tulisan Berdarah
Minggu-minggu pertama berlalu seperti air, mengalirkan inspirasi tak henti ke dalam jemari Aldo. Dia memulai novel misteri-pembunuhan barunya dengan semangat membara. Kata-kata mengalir deras dari benaknya ke layar laptop, menciptakan dunia yang kelam, penuh intrik, dan ketegangan. Bab demi bab tersusun, detail-detail pembunuhan mulai terbentuk. Aldo menulis dengan presisi, menggambarkan setiap tetesan darah, setiap ekspresi ketakutan, dan setiap detak jantung yang berpacu kencang di bawah ancaman. Ia merasa seperti seorang arsitek kejahatan, membangun labirin yang rumit, menjebak karakter-karakternya dalam jaring-jaring konspirasi. Setiap malam, ia duduk di depan laptopnya, terkadang hingga dini hari, dengan secangkir kopi hitam dan keheningan yang menjadi saksi bisu kreativitasnya. Ruangan kecil itu, dengan cermin besarnya, terasa seperti ruang kerjanya, benteng pribadinya.
Suatu malam, ketika ia sedang asyik mengetik adegan pembunuhan seorang wanita di sebuah gang gelap—sebuah pisau dingin menusuk perut, darah memercik di aspal yang basah—sesuatu yang aneh terjadi. Di sudut matanya, ia menangkap gerakan di cermin besar. Sekilas, sangat cepat, seperti bayangan yang melintas. Ia melihat siluet samar seorang wanita tergeletak, dan noda merah pekat yang menyebar di lantai yang terpantul. Jantungnya berdebar, ia menghentikan ketikannya, dan menoleh sepenuhnya ke cermin. Kosong. Hanya pantulan kamarnya yang tenang, lampu meja yang memancarkan cahaya kekuningan, dan dirinya sendiri yang menatap bingung. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Apakah ia terlalu banyak begadang? Apakah matanya mulai bermasalah?
"Mungkin aku terlalu lelah," gumamnya, mengusap mata. Ia minum segelas air dan kembali ke laptopnya. Namun, keanehan itu tidak berhenti di situ. Setiap kali ia kembali mengetik adegan-adegan brutal, terutama yang melibatkan kekerasan fisik, bayangan di cermin itu mulai muncul lagi, lebih jelas, lebih nyata. Kali ini, ia melihat tidak hanya siluet, tetapi detail-detail yang mengerikan: jari-jari berlumuran darah yang mencengkeram erat, mata yang terbelalak ketakutan, dan genangan merah yang seolah benar-benar ada di dalam pantulan cermin. Aroma anyir yang samar-samar mulai tercium di udara, membuat perutnya mual. Bau itu begitu otentik, begitu menusuk, seolah ada luka terbuka di dekatnya. Ia mencoba menahan napas, berharap bau itu akan menghilang, tetapi justru semakin kuat.
Aldo mencoba mengabaikannya, meyakinkan diri bahwa itu hanyalah efek dari otaknya yang terlalu aktif berimajinasi. Ia adalah seorang penulis, dan imajinasinya memang liar. Mungkin, pikirnya, otaknya sedang memvisualisasikan adegan yang ia tulis dengan terlalu kuat, dan cermin itu entah bagaimana menjadi layar proyektor bagi halusinasi tersebut. Ia mencoba fokus, terus mengetik, memaksa dirinya untuk menyelesaikan bab yang sedang ia garap. Namun, setiap kata yang ia ketik, setiap kalimat yang ia rangkai tentang pembunuhan dan kekerasan, semakin memperjelas bayangan di cermin. Darah di cermin seolah menetes, mengalir di permukaan kaca, menciptakan pantulan yang beriak seperti air. Suara-suara lirih, seperti bisikan atau rintihan samar, terkadang ikut terdengar, membuat bulu kuduknya merinding. Bisikan itu terdengar seperti suara wanita yang kesakitan, memanggil namanya dengan suara parau.
Malam-malam berikutnya, pola ini semakin menguat. Setiap kali ia menulis adegan yang melibatkan kekerasan, bayangan di cermin menjadi semakin nyata, detail-detailnya semakin mengerikan. Ia bahkan mulai melihat wajah-wajah korban, mata mereka yang kosong, tangan mereka yang mencakar-cakar udara. Aroma darah semakin pekat, memenuhi hidungnya, membuat nafsu makannya menghilang. Ia mulai tidur gelisah, dihantui mimpi buruk yang berisi adegan-adegan dari novelnya, tetapi dengan sentuhan realisme yang menakutkan. Ia terbangun dengan keringat dingin, jantung berdebar kencang, dan bayangan di cermin seolah masih membekas di retinanya. Keraguannya mulai tumbuh: apakah ini hanya ilusi mata lelah, ataukah ada sesuatu yang jauh lebih gelap yang bersemayam di dalam cermin tua itu? Sesuatu yang mampu memanifestasikan imajinasinya menjadi wujud yang mengerikan. Ia mulai merasa cermin itu bukan lagi benda mati, melainkan sebuah entitas yang hidup, yang bernapas, dan yang memiliki tujuan. Tujuan yang belum ia pahami, tetapi terasa sangat jahat.
Bab 3 – Imajinasi atau Penglihatan?
Rasa penasaran bercampur ketakutan mulai merasuki Aldo. Ia tidak bisa lagi mengabaikan fenomena yang terjadi di cermin. Ini bukan sekadar bayangan samar; ini adalah manifestasi yang semakin jelas, semakin nyata. Rasa pusing yang mendera setiap kali ia menulis adegan kekerasan juga semakin sering datang, seolah otaknya harus bekerja keras untuk memproses informasi visual yang didapat dari cermin. Ia memutuskan untuk melakukan serangkaian "tes" sederhana, ingin membuktikan apakah ini murni halusinasi atau sesuatu yang lebih mengerikan. Kegelisahan memuncak di dalam dirinya. Ia harus tahu kebenaran, bahkan jika kebenaran itu akan menghancurkan kewarasannya.
Ia memulai dengan adegan penyiksaan yang sangat detail dalam novelnya: seorang pria terikat, disiksa dengan benda tumpul, darah menetes dari luka-lukanya, dan napasnya yang tersengal-sengal. Jari-jarinya menari di atas keyboard, mengetik setiap kata dengan presisi yang menakutkan. Begitu ia mengetik kalimat-kalimat itu, cermin di hadapannya mulai beriak, bukan seperti air, tetapi seperti permukaan yang hidup dan bernapas. Dinding-dinding di pantulan cermin seolah melunak, membesar, dan kemudian, noda-noda merah pekat mulai muncul, menyebar seperti lumut, dan perlahan menutupi seluruh permukaannya. Darah. Bukan hanya di cermin, tapi seolah dinding itu sendiri yang berlumuran darah. Aldo bahkan bisa mencium bau anyir yang menusuk hidungnya, bau tembaga dan besi yang khas dari darah segar. Ia mundur dari meja, napasnya tertahan, matanya terbelalak. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Ia bisa merasakan denyutan di pelipisnya, seolah pembuluh darahnya akan pecah.
Ketakutan mengikatnya, tetapi rasa ingin tahu yang lebih besar mendorongnya untuk terus bereksimen. Ia menghapus adegan penyiksaan itu, lalu mencoba menulis adegan yang tenang dan damai: sebuah taman yang indah di pagi hari, bunga-bunga bermekaran, embun membasahi rumput hijau, dan kicauan burung yang merdu. Tangannya terasa ringan, pikirannya tenang. Ia menoleh ke cermin, dan seperti yang ia duga, cermin itu kosong. Hanya pantulan kamarnya yang biasa, tanpa noda darah, tanpa riakan aneh, tanpa bau anyir. Sebuah kelegaan kecil menjalar di dadanya, tetapi itu segera tergantikan oleh kecemasan. Ini berarti cermin itu hanya bereaksi terhadap konten kekerasan. Sebuah senyuman tipis, pahit, terukir di bibirnya. Ini bukan halusinasi, ini sesuatu yang lebih dari itu.
Ia mengulang percobaan itu beberapa kali. Menulis adegan tenang, cermin kosong. Menulis adegan kekerasan, cermin bereaksi. Semakin brutal adegan yang ia tulis, semakin jelas dan mengerikan visualisasi yang muncul di cermin. Ia mencoba menulis adegan pembunuhan dengan pisau, dan ia melihat pisau itu berkilat di pantulan, menembus dada, dan darah muncrat. Ia mencoba menulis adegan penembakan, dan ia mendengar suara letusan di benaknya, melihat lubang peluru di tubuh korban yang terpantul. Cermin dan dinding di pantulan itu seolah-olah menjadi jendela ke dalam pikirannya yang paling gelap, atau lebih tepatnya, sebuah medium yang "memvisualisasikan" isi pikirannya, tetapi dengan detail yang jauh melampaui imajinasinya sendiri. Ia bahkan melihat ekspresi kesakitan, keputusasaan, dan kadang-kadang, senyum tipis dari si pembunuh yang tak dikenal.
Ketidakpastian mulai menggerogoti kewarasannya. Apakah ia gila? Apakah ia terlalu terbawa suasana cerita? Atau ada kekuatan lain yang bekerja? Ia mulai meragukan setiap persepsinya, mempertanyakan batas antara realitas dan imajinasi. Bahkan saat ia tidak menulis, ia sering merasa ada bayangan yang melintas di cermin, seperti kilasan cepat dari adegan yang ia tulis sebelumnya. Aroma darah kadang masih tercium samar, bahkan saat cermin terlihat normal. Kamar kost ini, yang awalnya ia anggap sebagai surga ketenangan, kini terasa seperti sangkar yang perlahan menutup. Ia terjebak di antara imajinasi kreatifnya yang tak terkendali dan sebuah realitas mengerikan yang seolah terpantul dari cermin tua di kamarnya. Pikiran-pikiran gelap mulai merangkak, mempertanyakan keberadaannya, mempertanyakan apakah ia masih bisa disebut sebagai dirinya sendiri. Ia merasa dirinya perlahan-lahan terkikis, seperti patung pasir yang diterjang ombak.
Bab 4 – Cerita yang Ditulis Sendiri
Kecemasan Aldo mencapai puncaknya. Tidurnya semakin terganggu, nafsu makannya menghilang, dan ia mulai sering melamun, menatap kosong ke arah cermin yang seolah mengawasinya. Ia mencoba menenangkan diri, meyakinkan bahwa semua ini hanyalah efek kelelahan dan stres akibat tuntutan menulis. Namun, keanehan berikutnya yang ia temukan mengikis habis rasionalitasnya. Ia merasa seperti berjalan di atas tali tipis, dan sebentar lagi ia akan terjatuh.
Suatu pagi, setelah sesi menulis yang intens hingga larut malam, Aldo memutuskan untuk membaca ulang seluruh naskah novelnya dari awal. Ia ingin memastikan alur ceritanya koheren dan detail-detailnya konsisten. Ia duduk di meja, membuka file di laptopnya, dan mulai membaca. Namun, baru beberapa halaman, dahinya berkerut. Ia menemukan deskripsi tentang seorang saksi mata yang belum pernah ia buat sebelumnya. Nama tokoh itu, "Maya Wulansari," tertulis jelas, lengkap dengan detail pekerjaan dan alamat tempat tinggalnya. Aldo yakin seratus persen bahwa ia tidak pernah mengetik nama itu, apalagi merinci latar belakangnya. Ia men-scroll ke bawah, dan kagetnya bukan main. Ada paragraf-paragraf baru yang menjelaskan motif pembunuhan yang lebih kompleks, bahkan ada tanggal spesifik kejadian yang tercantum: "17 Maret 2025," dan lokasi pembunuhan yang juga tidak pernah ia bayangkan: "Jalan Kenanga No. 12, Jakarta Selatan." Detail-detail ini begitu spesifik, begitu rinci, seolah-olah ia telah menghabiskan berjam-jam untuk menelitinya.
Jantung Aldo berdebar kencang. Ia mengusap wajahnya, mencoba meyakinkan diri bahwa ia mungkin lupa atau ketiduran saat mengetik. Tetapi tidak mungkin. Detail-detail ini terlalu spesifik, terlalu terstruktur untuk menjadi kesalahan atau kelupaan. Lebih dari itu, di tengah deskripsi adegan, ia menemukan potongan-potongan puisi yang ditulis dengan gaya melankolis, yang sama sekali tidak sesuai dengan genre misteri-pembunuhan yang ia tulis. Puisi-puisi itu berbicara tentang kehilangan, penyesalan, dan bayangan yang menghantui. Tulisan itu bukan gaya bahasanya. Naskahnya seolah "melengkapi diri," menambahkan elemen-elemen yang tidak pernah ia sentuh. Perasaan aneh menyelimuti, seperti ada tangan tak kasat mata yang menulis bersamanya, di laptopnya sendiri.
Ketakutan dingin merayapi punggungnya. Ini bukan lagi tentang bayangan di cermin atau bau darah. Ini tentang naskahnya sendiri, buah pikirannya, yang kini seolah memiliki kehendak sendiri. Ia memutuskan untuk menyimpan catatan tulisan tangan sebagai pembanding. Setiap kali ia mulai menulis, ia mencatat di buku kecilnya setiap detail yang ia ketik, setiap ide, setiap kalimat. Ia ingin membandingkannya dengan versi digitalnya esok hari. Malam itu, ia menulis dengan hati-hati, mencatat setiap kata. Sebelum tidur, ia meletakkan buku catatan itu di samping bantalnya. Ia merasa sedikit lebih aman dengan bukti fisik di tangannya.
Namun, setiap pagi, buku catatan itu menghilang. Bukan hanya menghilang, tetapi juga muncul kembali di tempat yang sama saat ia bangun, tetapi dengan halaman-halaman yang kosong. Seolah-olah, setiap malam, catatan itu terhapus, dibersihkan dari setiap jejak tulisan tangannya. Ini terjadi berulang kali. Setiap ia mencoba mencatat, catatan itu menghilang atau kembali kosong di pagi hari, sementara naskah di laptopnya terus berkembang, bahkan dengan detail-detail yang tidak pernah ia tuliskan secara sadar. Frustrasi dan keputusasaan menyelimutinya. Ia merasa seperti seorang pelukis yang kanvasnya diubah setiap malam oleh tangan tak dikenal.
Aldo mulai merasa terperangkap dalam jebakan yang tak terlihat. Ia merasa jiwanya disedot, kreativitasnya dibajak. Ada kekuatan tak kasat mata yang menulis bersamanya, atau lebih tepatnya, melalui dirinya. Kamar kost ini, cermin itu, dan kini naskahnya sendiri, semuanya terasa seperti bagian dari sebuah entitas tunggal yang semakin lama semakin mengerikan. Ia takut membuka laptopnya, takut melihat apa lagi yang akan "ditambahkan" ke dalam ceritanya. Ketakutan itu nyata, dan ia tahu, ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi sebelum ia kehilangan akal sehatnya sepenuhnya. Kegelapan merayapi jiwanya, mengancam untuk menelannya utuh. Ia merasa seperti berada di tepi jurang, hanya menunggu dorongan terakhir.
Bab 5 – Horor Tak Bisa Dihindari
Aldo berada di ambang kegilaan. Kehilangan kendali atas naskahnya, ditambah dengan manifestasi visual yang semakin parah, telah mengikis habis kewarasannya. Ia mencoba segala cara untuk memutus lingkaran setan ini. Ia memutuskan untuk mencoba menulis genre lain, berharap energi di kamar itu hanya terikat pada cerita kekerasan. Ia membuka dokumen baru, mengganti judul, dan mencoba menulis novel roman. Kisah cinta yang manis, pertemuan yang romantis, dan konflik yang ringan. Ia berharap bisa menipu entitas itu, atau setidaknya, mengubah fokusnya.
Namun, tangannya membeku di atas keyboard. Satu jam berlalu, tidak satu kata pun muncul. Pikirannya kosong, seolah ada blokade tak terlihat yang mencegahnya menulis apa pun selain cerita yang sedang ia garap. Ia mencoba memaksa, memikirkan adegan romantis, tetapi otaknya menolak untuk bekerja sama. Frustrasi, ia menghapus file roman itu dan mencoba lagi. Kali ini, ia mencoba menulis puisi spiritual, tentang kedamaian batin, tentang alam, tentang pencarian makna hidup. Hasilnya sama. Kosong. Otaknya menolak untuk menghasilkan ide, bahkan satu baris pun. Ini bukan lagi sekadar kesulitan menulis; ini adalah penolakan total, sebuah paksaan yang mengerikan.
Rasa putus asa merayap. Ia merasa dirinya dikendalikan, seperti boneka yang menuruti perintah tuannya. Ia kembali membuka file novel misteri-pembunuhannya. Begitu ia mengetik kalimat pembuka: "Pisau menembus dada…", sesuatu yang mengerikan terjadi. Tangannya bergerak cepat, seolah digerakkan oleh kekuatan tak terlihat. Jemarinya menari di atas tuts keyboard dengan kecepatan yang mustahil. Kata-kata mengalir deras, bahkan lebih cepat dari sebelumnya, membentuk adegan yang semakin brutal dan detail. Ia mencoba menarik tangannya, tetapi otot-ototnya seolah lumpuh, menuruti kemauan yang asing. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya, bercampur dengan air mata yang mulai mengalir.
Aldo menangis. Air mata mengalir deras membasahi pipinya, tetapi tangannya terus mengetik, tak terkendali. Ia menyaksikan tulisan itu muncul di layar, kata demi kata, kalimat demi kalimat, tanpa bisa ia hentikan. Deskripsi kekerasan, teriakan korban, bau darah yang kini tidak hanya tercium, tetapi seolah benar-benar ada di dalam ruangan, memenuhi rongga hidungnya. Di cermin, visualisasi adegan yang ia tulis kini muncul dengan kejelasan sempurna, seperti film yang diputar di dalam kaca. Ia melihat dirinya sendiri di pantulan, tetapi bukan lagi dirinya yang biasa. Ada aura gelap yang menyelimutinya, matanya kosong, dan senyum tipis yang mengerikan tersungging di bibirnya. Senyum itu bukan miliknya, senyum itu milik entitas yang menguasainya.
Malam itu, setelah sesi penulisan yang menyiksa, sesuatu yang lebih menakutkan terjadi. Ia mendengar ketukan. Bukan ketukan pintu, bukan ketukan dari luar kamar. Ketukan itu berasal dari balik cermin. Suaranya pelan, seperti jari yang mengetuk permukaan kaca dari dalam. "Tok… tok… tok…" Berulang-ulang. Aldo terlonjak dari tempat tidur, napasnya tersengal-sengal. Ia mendekat ke cermin, menempelkan telinganya ke permukaan dinginnya. Suara ketukan itu semakin jelas, seolah ada seseorang yang terjebak di balik kaca, mencoba keluar. Ia bisa merasakan getaran samar di permukaan kaca.
Rasa dingin merayapi sekujur tubuhnya. Ini bukan lagi imajinasi, bukan halusinasi. Ini adalah horor yang nyata, yang tidak bisa lagi ia hindari. Cermin itu bukan hanya memantulkan, tetapi menjadi gerbang, menjadi jembatan antara dunianya dan entitas mengerikan yang bersemayam di baliknya. Ia merasa jiwanya disedot perlahan, esensinya terkuras, dan ia hanya menjadi alat, sebuah wadah bagi sebuah cerita yang menuntut untuk diselesaikan. Ia tahu, ia harus mencari tahu lebih banyak tentang kamar ini, tentang cermin ini, dan tentang asal mula semua kegilaan ini, sebelum semuanya terlambat. Ia harus melarikan diri, atau ia akan menjadi korban berikutnya.
Bab 6 – Warisan yang Terputus
Ketakutan mendorong Aldo untuk bertindak. Ia tidak bisa lagi hidup dalam ketidakpastian yang menyiksa ini. Ia harus mencari tahu sejarah kamar kost ini, mencari petunjuk yang bisa menjelaskan fenomena mengerikan yang ia alami. Ia memulai dengan bertanya kepada Bu Erna, pemilik kost. Bu Erna, wanita paruh baya dengan senyum yang hangat, awalnya enggan bercerita. Namun, melihat wajah Aldo yang pucat dan mata yang terlihat kurang tidur, ia akhirnya luluh. Ada keprihatinan yang tulus di mata Bu Erna, seolah ia pernah melihat penderitaan serupa sebelumnya.
"Kamar ini… memang ada sejarahnya, Nak," Bu Erna memulai dengan suara pelan, menatap Aldo dengan iba. "Sebelumnya ada penghuni, seorang penulis juga, namanya Bagas Ariputra. Dia… meninggal di kamar ini." Bu Erna berhenti sejenak, menghela napas berat. "Gantung diri." Suaranya bergetar saat mengucapkan kata-kata terakhir.
Dunia Aldo seolah runtuh. Ia merasa pusing, perutnya mual. Seorang penulis, meninggal dengan cara yang tragis di kamar yang sama? Ini terlalu banyak kebetulan. Bu Erna melanjutkan ceritanya, "Waktu ditemukan, jari-jarinya berdarah, Nak. Kata polisi, karena dia terus mengetik di udara, bahkan setelah laptopnya mati dan tintanya habis. Seolah-olah ada yang mendorongnya untuk terus menulis sampai akhir." Bu Erna menggelengkan kepala, sorot matanya menyiratkan kesedihan yang mendalam. "Orang-orang bilang dia gila. Tapi saya tahu, ada sesuatu yang aneh di kamar itu."
Aldo merasa merinding. Jari berdarah karena terus mengetik… itu persis seperti yang ia rasakan, dorongan tak terkendali untuk terus menulis. Ia bertanya tentang Bagas Ariputra, apakah ia menulis cerita misteri pembunuhan? Bu Erna mengangguk pelan. "Iya, Nak. Dia memang sedang menulis novel misteri yang sangat gelap. Dia sangat terobsesi. Bahkan sampai akhir hidupnya, ia terus menggumamkan nama tokoh-tokohnya."
Informasi itu mengkonfirmasi ketakutan terbesar Aldo. Ia tidak gila. Ia bukan korban halusinasi. Ia adalah penerus, atau lebih tepatnya, korban berikutnya dari sebuah warisan yang mengerikan. Ia meminta izin untuk memeriksa kamar lebih lanjut. Bu Erna mengizinkan, meskipun dengan tatapan khawatir. Aldo mulai mencari, meraba setiap sudut, setiap celah di dinding dan lantai. Ia tahu ada sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang menghubungkannya dengan Bagas. Ada firasat kuat yang membimbingnya.
Ia memeriksa lantai kayu di bawah meja tulis, tempat Bagas mungkin menghabiskan sebagian besar waktunya. Ia melihat ada sedikit celah di antara papan-papan kayu yang terlihat lebih longgar. Dengan hati-hati, ia mencoba mengangkatnya. Dengan susah payah, salah satu papan terangkat, memperlihatkan rongga gelap di bawahnya. Jantungnya berdebar kencang saat ia menyalakan senter ponselnya dan mengarahkan cahaya ke dalam. Bau apek dan debu menyengat hidungnya.
Di dalam rongga itu, terbungkus rapi dalam kain lusuh, terdapat tumpukan kertas yang menguning. Manuskrip lama. Tulisan tangan yang rapi, namun terlihat buru-buru. Aldo meraihnya dengan tangan gemetar. Ia mulai membaca. Satu, dua, tiga halaman… dan matanya terbelalak. Wajahnya memucat pasi. Keringat dingin membanjiri dahinya.
Isi manuskrip itu… IDENTIK dengan cerita yang ia tulis di laptopnya. Nama tokoh, alur, detail pembunuhan, bahkan potongan-potongan puisi yang ia temukan di naskahnya yang "melengkapi diri." Ia bahkan menemukan adegan-adegan yang ia yakini ia tulis sendiri, tercetak jelas dalam tulisan tangan Bagas Ariputra. Ini mustahil. Ia belum pernah melihat manuskrip ini seumur hidupnya. Bagaimana bisa ia menulis cerita yang persis sama, bahkan hingga ke detail terkecil, dengan seseorang yang telah meninggal bertahun-tahun yang lalu?
Manuskrip itu berakhir secara tiba-tiba, dengan kalimat yang terputus di tengah jalan, dan noda darah kering yang samar di halaman terakhir. Darah dari jari-jari Bagas Ariputra yang terus mengetik di udara. Aldo menjatuhkan manuskrip itu, terhuyung mundur. Warisan. Ini adalah sebuah warisan yang terputus, yang kini tersambung kembali melalui dirinya. Ia bukan sekadar menulis; ia sedang melanjutkan sebuah kisah yang menuntut untuk diselesaikan, sebuah kisah yang telah mengklaim jiwa penulis sebelumnya. Ia merasa seperti kapal yang hanyut di tengah badai, tanpa kemudi, dan tahu bahwa takdir yang sama mungkin menantinya jika ia tidak segera menemukan cara untuk melepaskan diri dari kutukan ini. Ketakutan itu nyata, lebih nyata dari apa pun yang pernah ia tulis.
Bab 7 – Pertemuan dengan Psikiater
Penemuan manuskrip Bagas Ariputra adalah pukulan telak bagi kewarasan Aldo. Ia tidak bisa lagi menipu dirinya sendiri bahwa semua ini hanya imajinasi atau kelelahan. Realitas yang mengerikan ini terlalu nyata untuk diabaikan. Dengan tangan gemetar, ia mencoba mencari bantuan. Ia memutuskan untuk menemui seorang psikiater, berharap ada penjelasan medis yang bisa meredakan kegilaan yang ia rasakan. Ia merasa seperti tenggelam, dan psikiater adalah satu-satunya pelampung yang ia lihat.
Setelah mencari informasi, ia menemukan nama dr. Laras. Seorang psikiater muda, terlihat tenang dan profesional, dengan sorot mata yang tajam namun menenangkan. Ruang praktik dr. Laras terasa hangat dan nyaman, jauh berbeda dengan suasana mencekam di kamar kost Aldo. Ada sofa empuk, rak buku yang penuh dengan literatur psikologi, dan aroma terapi yang menenangkan. Aldo menceritakan semuanya, dari awal ia pindah, bayangan di cermin, bau darah, naskahnya yang "menulis sendiri," hingga penemuan manuskrip Bagas Ariputra. Ia menceritakan setiap detail dengan putus asa, berharap dr. Laras bisa memberinya jawaban, atau setidaknya, meyakinkannya bahwa ia tidak gila. Suaranya serak, dan tubuhnya gemetar sepanjang sesi.
Dr. Laras mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk, tanpa memotong cerita Aldo. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi terkejut atau meremehkan, yang sedikit menenangkan Aldo. Setelah Aldo selesai bercerita, dr. Laras menghela napas perlahan. "Dari gejala yang Anda paparkan, Tuan Aldo," katanya dengan suara lembut namun tegas, "Anda mungkin mengalami gangguan realita imajinatif–psikotik. Ini adalah kondisi di mana batas antara imajinasi dan realitas menjadi kabur, seringkali dipicu oleh stres ekstrem atau trauma psikologis."
Aldo merasa lega sekaligus kecewa. Gangguan psikotik? Jadi, ia memang gila? Dr. Laras melanjutkan, menjelaskan bahwa kondisi ini dapat menyebabkan halusinasi visual, auditori, dan bahkan olfaktori yang sangat nyata. Ia menyarankan Aldo untuk segera berhenti menulis, setidaknya untuk sementara, dan memulai terapi obat untuk menstabilkan kondisi mentalnya. "Obat-obatan ini akan membantu menekan halusinasi dan menyeimbangkan kimia otak Anda," jelasnya. Ia mengeluarkan resep dari laci mejanya, menuliskan beberapa nama obat dengan cepat.
Namun, di tengah penjelasan medisnya, Aldo mulai merasakan ada sesuatu yang aneh dari dr. Laras. Ada ketertarikan yang tidak biasa di matanya, sebuah kilatan yang tidak sesuai dengan sikap profesionalnya. "Cerita Anda… sangat menarik, Tuan Aldo," katanya, suaranya sedikit berubah menjadi lebih bersemangat. "Terutama tentang manuskrip lama itu. Bisakah Anda membawanya pada sesi berikutnya? Dan juga, naskah novel Anda. Saya ingin mempelajarinya lebih jauh. Mungkin ada pola di sana yang bisa membantu kita memahami kondisi Anda." Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya, senyum yang terasa sedikit terlalu antusias.
Permintaan itu terasa aneh. Mengapa seorang psikiater begitu tertarik dengan detail cerita dan naskah pasiennya? Bukankah fokusnya seharusnya pada kondisi mental pasien? Aldo ragu, tetapi ia tidak punya pilihan. Ia sangat membutuhkan bantuan. "Tentu, Dokter," jawabnya. "Saya akan membawanya." Ia merasa seperti ada jaring yang perlahan-lahan menjeratnya.
Ia meninggalkan ruang praktik dr. Laras dengan perasaan campur aduk. Ada harapan, tetapi juga kecurigaan yang samar. Di satu sisi, ia mendapatkan diagnosis dan rencana pengobatan. Di sisi lain, ia merasa dr. Laras terlalu tertarik pada ceritanya, lebih dari sekadar kepentingan medis. Ia merasa seperti objek penelitian, bukan pasien. Perasaan tidak nyaman itu terus mengganggunya sepanjang perjalanan kembali ke kost. Ia tidak tahu, bahwa ketertarikan dr. Laras jauh melampaui rasa ingin tahu seorang profesional medis. Ada agenda tersembunyi yang lebih dalam, yang akan segera terungkap.
Bab 8 – Tulisan Menyeret Jiwa
Meskipun sudah menemui psikiater dan memulai terapi obat, kondisi Aldo tidak membaik. Bahkan, rasanya semakin memburuk. Obat-obatan yang diberikan dr. Laras seolah tidak mempan, atau mungkin efeknya justru memperparah. Ia mulai benar-benar kesulitan membedakan antara realitas dan cerita yang ia tulis. Batasnya semakin kabur, semakin menipis, hingga tak terlihat. Ia merasa seperti terjebak di antara dua dunia, dan dunia fiksi semakin mendominasi.
Tokoh-tokoh fiksi dari novelnya mulai muncul dalam kehidupan sehari-hari. Ia melihat detektif bernama Arjuna yang ia ciptakan, duduk di sudut kafe tempat ia biasa minum kopi, mengawasinya dengan tatapan tajam. Ia melihat korban pembunuhan yang ia tulis, wanita bernama Clara, berjalan di lorong kost, bayangannya melintas sekilas dan menghilang. Suara-suara dari ceritanya—bisikan ketakutan, rintihan, bahkan kadang tawa menyeramkan—terdengar di telinganya, seolah-olah ia hidup dalam dimensi paralel yang tercipta dari tulisannya. Ia bahkan bisa merasakan sentuhan dingin di bahunya, meskipun tidak ada siapa pun di sana.
Aldo merasa terkunci dalam labirin pikirannya sendiri. Ia takut keluar, takut bertemu dengan bayangan-bayangan yang semakin nyata. Ia mengurung diri di kamar kost, menolak bertemu siapa pun, bahkan Bu Erna. Hanya satu hal yang bisa ia lakukan, satu hal yang seolah menjadi takdirnya: menulis. Terutama, menulis ulang naskah Bagas Ariputra. Manuskrip tua itu seolah memanggilnya, menuntut untuk diselesaikan. Ia duduk di meja, membuka laptopnya, dan mulai mengetik, menyalin setiap kata dari manuskrip kuno itu ke dalam format digital, melengkapi bagian-bagian yang terputus, menambahkan detail yang semakin mengerikan. Jemarinya gemetar, namun ada dorongan tak terlihat yang memaksanya.
Jemari Aldo mengetik dengan kecepatan gila, seolah tangan itu bukan miliknya. Matanya memerah, cengkramannya pada mouse dan keyboard semakin kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Bau anyir darah memenuhi ruangan, seolah ada pembantaian nyata yang sedang terjadi di sana. Di cermin, visualisasi adegan yang ia tulis kini muncul dengan kejelasan sempurna, seperti film yang diputar di dalam kaca. Ia melihat dirinya sendiri di pantulan, tetapi bukan lagi dirinya yang biasa. Ada aura gelap yang menyelimutinya, matanya kosong, dan senyum tipis yang mengerikan tersungging di bibirnya. Itu adalah senyum yang tidak pernah ia kenali, senyum yang penuh dengan kekejaman dan kepuasan.
Malam itu, ia sampai pada adegan bunuh diri di manuskrip Bagas. Adegan ketika sang tokoh utama, yang terobsesi dengan kematian, memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menggorok leher. Aldo mengetik setiap kata dengan presisi yang menakutkan, merasakan dinginnya pisau di tenggorokan, melihat darah mengalir deras, mendengar desah napas terakhir. Jari-jarinya gemetar, tetapi tidak bisa berhenti. Begitu ia mengetik kalimat terakhir adegan itu, sebuah pisau bedah kecil yang entah dari mana asalnya, tiba-tiba berada di tangannya. Pisau itu berkilau dingin di bawah cahaya lampu.
Ia tidak sadar kapan ia mengambilnya, atau dari mana. Pisau itu terasa dingin dan tajam di genggamannya. Tanpa kendali, ia mengangkat pisau itu ke lehernya sendiri, ujungnya menyentuh kulit, dingin dan tajam. Ia bisa merasakan denyut nadinya di bawah ujung pisau. Pandangannya kosong, terpaku pada bayangannya di cermin yang juga mengangkat pisau. Ia akan menggorok lehernya sendiri, menyelesaikan ritual mengerikan ini, melanjutkan warisan yang terputus. Nafasnya tercekat, tetapi tangannya tidak bisa berhenti.
Tepat pada saat itu, pintu kamarnya terbuka dengan suara decitan keras. Bu Erna, yang khawatir karena Aldo tidak keluar kamar berhari-hari, menerobos masuk. Matanya terbelalak melihat pemandangan di depannya: Aldo dengan pisau di leher, matanya kosong, dan aura gelap yang menyelimutinya. Bu Erna menjerit histeris, "Aldo! Astaga! Aldo!" Suaranya yang melengking memecah keheningan yang mencekam, seolah menarik Aldo kembali dari jurang. Pisau di tangannya jatuh ke lantai dengan suara berdentang.
Aldo tersentak, seperti terbangun dari mimpi buruk yang panjang. Ia melihat Bu Erna yang pucat pasi, melihat pisau di lantai, dan menyadari apa yang baru saja terjadi. Ia hampir melakukannya. Ia hampir menggorok lehernya sendiri. Bu Erna segera memanggil bantuan, dan tak lama kemudian, paramedis tiba, membawa Aldo pergi. Ia diselamatkan, tetapi ia tahu, jiwanya telah terseret terlalu jauh ke dalam kegelapan. Bagian dari dirinya telah mati malam itu, dan ia tidak tahu apakah ia bisa mendapatkannya kembali.
Bab 9 – Kebenaran yang Lebih Dalam
Aldo terbaring di ranjang rumah sakit, pergelangan tangannya diperban—bukan karena luka sayatan, tetapi karena ia sempat menggaruknya hingga berdarah hebat saat didiagnosis. Ia merasa lemah, tetapi pikirannya kini lebih jernih, seolah terbebas dari kabut tebal yang selama ini menyelimutinya. Lingkungan rumah sakit yang steril dan putih terasa seperti surga setelah neraka yang ia alami di kamar kostnya. Ada rasa aman yang belum pernah ia rasakan selama berminggu-minggu.
Pintu kamarnya terbuka, dan dr. Laras masuk dengan senyum lembut, membawa berkas medis di tangannya. Ia duduk di samping ranjang Aldo, menanyakan kabarnya, dan menjelaskan kondisi mentalnya. "Anda menunjukkan tanda-tanda dekompensasi psikotik yang parah, Tuan Aldo. Untungnya Anda ditemukan tepat waktu." Suaranya terdengar profesional, meyakinkan, seperti seorang psikiater yang peduli. Aldo merasa sedikit lega, percaya bahwa ia akhirnya mendapatkan bantuan yang ia butuhkan.
Namun, saat dr. Laras sedikit berbalik untuk mengambil sesuatu dari tasnya, pandangan Aldo jatuh pada rak buku di pojok ruangan. Rak buku itu berisi banyak literatur medis, tetapi di antara semuanya, ada satu buku tua yang menarik perhatiannya. Sampulnya terlihat usang, dengan inisial yang terukir di bagian bawah: BA.
BA. Bagas Ariputra.
Jantung Aldo berdebar kencang. Ia mengamati buku itu lebih seksama. Itu adalah edisi pertama dari sebuah novel misteri klasik. Tangannya gemetar saat ia meraih buku itu, meski sulit karena lengannya yang lemah. Ia membalik halaman terakhir, dan di sana, dengan tulisan tangan yang familiar—tulisan tangan yang ia lihat di manuskrip lama—ada sebuah catatan kecil.
"Untuk Laras, teruskan kisah ini. Bantu kisah ini hidup lagi."
Dan di bawahnya, tanda tangan, B. Ariputra.
Dunia Aldo seolah berputar. Ia menatap buku itu, lalu menatap dr. Laras. Otaknya bekerja keras, menyusun setiap kepingan puzzle yang selama ini tersebar. Dr. Laras. Bagas Ariputra. Catatan itu. Ini bukan kebetulan. Ini bukan hanya tentang warisan cerita.
"Anda… Anda putri Bagas Ariputra?" tanya Aldo, suaranya tercekat. Udara di ruangan terasa menipis.
Wajah dr. Laras berubah. Senyum lembutnya memudar, digantikan oleh ekspresi yang tidak bisa diartikan. Matanya yang tajam kini memancarkan sesuatu yang dingin dan perhitungan. Ia tidak menyangkal. Sebaliknya, ia mengangguk pelan, tatapannya lekat pada Aldo.
"Memang benar," jawab dr. Laras, suaranya tenang, tetapi dengan nada yang berbeda. Tidak lagi penuh kepedulian, melainkan… kepuasan. Sebuah kepuasan yang dingin, hampir kejam. "Saya ingin memastikan cerita ayah saya tidak mati bersamanya. Saya tahu dia ingin menyelesaikannya, tapi tidak ada yang mampu. Saya menjaga kamar kost itu tetap terbuka, memastikan ada penulis lain yang datang, yang punya bakat, yang bisa merasakan panggilannya." Ia bangkit dari kursi, melangkah mendekat ke ranjang Aldo, matanya tidak pernah lepas dari tatapan mata Aldo. "Ayah saya adalah seorang jenius, Tuan Aldo. Dia menulis dengan jiwa. Dan saya, sebagai putrinya, berkewajiban untuk memastikan warisan itu tidak terbuang sia-sia."
Aldo menjerit. Bukan jeritan gila seperti yang biasa ia lakukan, bukan jeritan ketakutan akibat halusinasi. Ini adalah jeritan kesadaran. Jeritan pilu karena menyadari kebenaran yang mengerikan: ia hanya boneka. Ia hanya alat. Ia telah dimanipulasi. Cerita itu, yang ia kira adalah miliknya, adalah milik Bagas Ariputra, dan dr. Laras, putrinya, adalah dalang di balik semua ini. Ia tidak sedang sakit jiwa. Ia sedang diperalat untuk menyelesaikan sebuah kisah yang menuntut tumbal.
Laras tidak ingin menyembuhkannya. Laras ingin ia menyelesaikan naskah ayahnya. Laras membiarkan ia tenggelam dalam kegilaan, membiarkan batas realitasnya hancur, agar "jiwa cerita ayahnya" dapat merasukinya, hidup lagi, dan menemukan akhir yang diinginkan. Cermin itu, kamar itu, semua adalah jebakan yang dirancang dengan cermat untuk menarik penulis lain, untuk melanjutkan warisan jiwa yang terputus.
"Kau… kau memanipulasiku," bisik Aldo, suaranya parau, air mata mengalir di pipinya. "Kau tahu apa yang terjadi pada ayahmu, dan kau membiarkanku… kau mendorongku ke jurang yang sama."
Laras tersenyum tipis, sebuah senyum yang sama mengerikannya dengan senyum di bayangan cermin. "Seorang seniman sejati akan mengorbankan segalanya demi seni, Tuan Aldo. Ayah saya memahami itu. Dan sekarang, Anda juga." Ia melangkah mundur, mengambil tasnya. "Istirahatlah. Ada banyak pekerjaan yang harus Anda selesaikan. Dan kali ini, pastikan Anda menyelesaikannya sampai tuntas."
Aldo terus menjerit, suaranya parau, bergema di ruangan yang putih dan sunyi. Ia bukan gila. Ia hanya korban dari sebuah plot yang jauh lebih dalam, lebih mengerikan, daripada fiksi yang pernah ia tulis. Ia hanya boneka dari cerita yang tak pernah selesai, sebuah kisah yang kini telah mengklaim dirinya sepenuhnya. Ia terperangkap dalam jaring laba-laba yang tak terlihat, ditenun oleh ambisi seorang putri yang gila dan warisan jiwa yang haus darah. Akankah ada yang percaya padanya? Atau akankah ia selamanya terperangkap dalam bayangan di kamar kost?