Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,345
Ibu
Horor

Bab 1 – Gedung Tua dan Peserta Baru

Udara Makassar di akhir Juni terasa lengket, memeluk Ratna dengan kelembapan khas pesisir. Namun, hatinya justru membuncang, seakan segala kegelisahan telah tergerus oleh janji pekerjaan baru yang terbentang di depannya. Ratna, seorang wanita muda dengan semangat membara, baru saja diterima sebagai pegawai pemerintah. Penempatan pertamanya bukan di kota besar yang ia bayangkan, melainkan di sebuah kota kecil, jauh dari hingar-bingar, di mana ia harus mengikuti pelatihan awal selama tiga bulan. Sebuah langkah besar, sekaligus penuh misteri.

Bus yang membawanya melaju perlahan, menembus deretan pohon rindang dan bangunan-bangunan tua yang seolah membisikkan kisah masa lalu. Tujuan akhirnya adalah sebuah gedung tua, yang menurut informasi, dulunya adalah peninggalan Belanda. Bayangan asrama modern, dengan fasilitas lengkap dan suasana ramai, perlahan memudar digantikan oleh lanskap yang didominasi oleh arsitektur kolonial yang megah namun tampak usang.

Ketika bus akhirnya berhenti di depan sebuah gerbang besi tinggi, Ratna mematung sejenak. Di hadapannya, berdiri sebuah bangunan tua yang menjulang, warnanya kusam ditelan waktu, dengan jendela-jendela besar berteralis besi yang tertutup debu. Lumut-lumut hijau merambat di beberapa bagian dinding, memberikan kesan purbakala yang menakutkan sekaligus memukau. Gedung itu sungguh besar, terlampau besar untuk sebuah asrama pelatihan. Aura sunyi nan angker seperti kabut tipis yang menyelimuti seluruh bangunan, meski di siang bolong.

“Ini Asrama Nusantara, Mbak,” ujar seorang panitia dengan senyum ramah, membuyarkan lamunan Ratna. “Bekas asrama tentara zaman kolonial. Sejarahnya panjang sekali.”

Ratna mengangguk, mencoba tersenyum meskipun perasaannya campur aduk. Ia menyeret kopernya melintasi halaman berkerikil, suara roda koper yang berderit memecah kesunyian. Langkah kakinya terasa ganjil, seolah tanah di bawahnya memiliki ingatan akan langkah-langkah ratusan tahun yang lalu. Memasuki lobi, aroma apek khas bangunan tua langsung menyeruak, bercampur dengan bau kayu lapuk dan sedikit aroma disinfektan. Langit-langitnya tinggi, dengan pilar-pilar besar yang kokoh, dan cahaya matahari yang masuk lewat jendela kaca patri memancarkan pola warna-warni yang menari di lantai marmer yang dingin.

Setelah proses administrasi yang singkat, Ratna diberikan kunci kamar nomor 203. Ia melangkah menyusuri koridor panjang di lantai dua. Cahaya yang minim membuat bayangannya sendiri terlihat memanjang dan menari di dinding. Jendela-jendela di sepanjang koridor, meskipun besar, hanya menyajikan pemandangan taman yang rimbun dan entah kenapa terasa suram. Ratna merasakan desiran aneh di punggungnya, seperti ada bisikan-bisikan tak kasat mata dari masa lalu yang mencoba menarik perhatiannya.

Setibanya di depan kamar 203, Ratna menarik napas dalam-dalam. Kenop pintu yang terbuat dari kuningan terasa dingin di tangannya. Ia mendorong pintu, dan engsel berderit pelan. Kamar itu cukup luas, dengan dua ranjang tunggal yang tertata rapi, sebuah lemari pakaian dua pintu, dan meja belajar yang tampak sudah usang. Gorden abu-abu tebal menutupi jendela, menghalangi cahaya sepenuhnya.

Di ranjang sebelah kiri, seorang wanita sedang duduk, punggungnya menghadap pintu. Rambutnya lurus dan panjang, terurai menutupi bahunya. Ia mengenakan blus putih polos dan rok panjang berwarna gelap. Ratna memperhatikan, wanita itu duduk sangat tegak, seolah membeku, dengan tangan bertumpu di pangkuan.

“Halo…” sapa Ratna, mencoba memecah keheningan. “Saya Ratna. Teman sekamar kamu, ya?”

Wanita itu perlahan menoleh. Wajahnya datar, tanpa ekspresi yang berarti. Kulitnya pucat, dengan mata yang tampak sedikit cekung, namun bersih tanpa noda. Bibirnya hanya membentuk senyum tipis, nyaris tak terlihat. Ia hanya mengangguk pelan, kemudian kembali menatap ke depan, ke arah dinding kosong di hadapannya.

“Saya Sari,” ucapnya lirih, suaranya nyaris berbisik, seolah takut mengganggu ketenangan kamar.

“Oh, Sari. Salam kenal, ya,” balas Ratna, mencoba bersikap ramah meskipun canggung. Ia meletakkan kopernya di dekat ranjang kosong, ranjang sebelah kanan. “Dari instansi mana, Sari?”

Sari hanya menunduk sedikit, pandangannya jatuh ke pangkuannya. “Dari… kementerian lain.”

Jawaban yang singkat dan nyaris tak informatif. Ratna mencoba lagi. “Jauh ya dari rumah?”

Sari hanya mengangguk lagi, tanpa mengangkat wajahnya. Ia tampak begitu pendiam, mungkin pemalu, pikir Ratna. Atau mungkin dia lelah setelah perjalanan panjang? Ratna memutuskan untuk tidak terlalu memaksakan percakapan. Ia mulai membongkar isi kopernya, meletakkan pakaian dan barang-barang pribadinya ke dalam lemari. Sesekali ia melirik Sari. Sari masih dalam posisi yang sama, duduk diam di ranjangnya, seolah-olah tidak ada yang berubah. Ia tidak membuka kopernya, bahkan Ratna tidak melihat ada koper lain selain miliknya di sudut ruangan. Ratna mengerutkan kening, sedikit heran, namun segera menepisnya. Mungkin Sari sudah selesai membereskan barangnya, atau mungkin barangnya tidak banyak.

Malam pertama pun tiba. Setelah seharian mengikuti orientasi awal dan berkenalan dengan beberapa peserta lain yang jauh lebih ramah, Ratna kembali ke kamar. Sari sudah ada di ranjangnya, dalam posisi duduk seperti biasanya, menghadap jendela yang tertutup gorden. Ratna menyalakan lampu kamar, mengisi kamar dengan cahaya kuning hangat.

“Mau makan malam, Sari?” tanya Ratna. Para peserta makan di aula utama, tentu saja.

Sari hanya menggeleng pelan, tanpa suara.

Ratna mengedikkan bahu. “Baiklah kalau begitu. Aku pergi dulu, ya.”

Ia pergi makan malam sendiri, kembali ke kamar sekitar pukul delapan malam. Sari masih duduk di sana, di tempat yang sama, tak bergeming. Ratna mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ketika ia keluar, Sari sudah berbaring di ranjangnya, memunggungi Ratna. Lampu samping ranjangnya mati. Ratna berpikir, akhirnya Sari tidur juga.

Ia mematikan lampu utama dan naik ke ranjangnya sendiri. Kamar itu terasa gelap gulita, hanya sedikit cahaya rembulan yang samar-samar menyusup dari celah gorden. Sunyi. Terlalu sunyi. Suara napasnya sendiri terasa begitu jelas di telinganya. Ratna memejamkan mata, berusaha tidur. Meskipun Sari sangat pendiam, malam pertama itu terasa berjalan biasa saja. Tidak ada yang aneh, tidak ada yang menakutkan. Hanya ada keheningan yang tebal, dan Sari yang tidur memunggunginya. Ratna tertidur, tenggelam dalam kelelahan hari pertamanya. Malam pertama berlalu tanpa insiden berarti, hanya menyisakan kesan Sari sebagai sosok yang sangat, sangat pendiam. Ratna tidak tahu, keheningan itu hanyalah permulaan. Ia tidak merasakan hawa dingin yang tidak biasa, atau bisikan-bisikan aneh. Segalanya terasa normal, bahkan terlampau normal hingga menimbulkan sedikit kebingungan. Di balik punggung Sari, Ratna bisa merasakan keheningan yang begitu absolut, seolah Sari menyerap semua suara di sekitarnya. Ini bukan keheningan karena tidur, tapi lebih seperti kekosongan. Tapi Ratna yang lelah hanya mengabaikannya, membiarkan kantuk menguasai dirinya.

Bab 2 – Lagu di Tengah Malam

Dingin. Ratna menggigil dalam tidurnya. Selimut yang ia gunakan terasa terlalu tipis, atau suhu kamar memang anjlok tiba-tiba. Perlahan, kesadarannya kembali. Bukan hanya dingin yang membangunkannya, melainkan sebuah suara. Nyanyian.

Pada awalnya, Ratna mengira itu hanyalah mimpi. Sebuah melodi yang lembut, mendayu-dayu, meresap ke dalam jiwanya. Namun, suara itu terlalu nyata, terlalu jernih untuk sekadar ilusi tidur. Ia membuka matanya perlahan. Gelap kamar masih pekat, namun ada sedikit cahaya rembulan yang menyusup dari celah gorden, memancarkan siluet samar.

Suara nyanyian itu berasal dari ranjang Sari.

Ratna menoleh. Sari tidak berbaring. Ia duduk di kursi kayu tua di pojok kamar, menghadap ke arah jendela. Punggungnya lurus, tegap. Siluetnya terlihat jelas di antara kegelapan. Dan dari Sari-lah, melodi itu mengalun.

“Tak eling biyen, Ibu… Bapak… Ati iki kangen… Nggolekono anakmu…”

Lagu berbahasa Jawa kuno itu terdengar begitu merdu, membuai, sekaligus menyayat hati. Ratna tidak sepenuhnya mengerti liriknya, namun ia tahu itu tentang kerinduan seorang anak pada orang tuanya. Setiap nada, setiap suku kata yang diucapkan Sari, terasa seperti tusukan lembut di ulu hatinya. Ada kesedihan yang begitu mendalam dalam melodi itu, kesedihan yang entah mengapa, menular pada Ratna. Matanya mulai terasa panas, seolah ingin menangis tanpa sebab. Perasaan rindu yang asing menyelimuti dirinya, seolah ia sendiri yang merindukan sesuatu yang telah lama hilang.

Ia terus memperhatikan Sari. Wanita itu bernyanyi tanpa ekspresi, tanpa perubahan mimik wajah sedikit pun. Matanya lurus menatap ke luar jendela, ke arah kegelapan di luar sana. Cahaya rembulan membuat wajah Sari terlihat semakin pucat, nyaris seperti pualam. Gerakannya pun kaku, seolah hanya sebuah boneka yang digerakkan oleh kekuatan tak terlihat. Sari bernyanyi terus-menerus, bait demi bait, dengan intonasi yang sempurna, namun tanpa jiwa. Itu adalah nyanyian paling indah dan paling mengerikan yang pernah didengar Ratna.

Desiran dingin kembali menjalar di punggung Ratna. Kali ini bukan karena suhu kamar, melainkan karena rasa takut yang tiba-tiba merayapi. Kenapa Sari bernyanyi di tengah malam? Kenapa ia menatap ke luar jendela? Dan kenapa lagu itu membuat Ratna merasakan kesedihan yang begitu mendalam, seolah lagu itu adalah miliknya sendiri?

Ratna menggigil, bukan karena dingin, melainkan karena kengerian yang perlahan menyergapnya. Ia mencoba menggerakkan badannya, namun tubuhnya terasa beku. Matanya terpaku pada Sari, yang terus bernyanyi. Ada sesuatu yang sangat tidak wajar dari pemandangan itu. Seorang manusia normal tidak akan bernyanyi seperti itu di tengah malam, tanpa ekspresi, dengan mata kosong menatap kegelapan.

Ratna mencoba memejamkan mata, berharap semua ini hanya mimpi buruk. Ia meremas selimutnya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu kencang. Namun, suara Sari terus memenuhi gendang telinganya, menembus setiap lapis kesadarannya. Lirik tentang kerinduan, tentang mencari anak, berputar-putar di benaknya. Ia tidak bisa melarikan diri dari melodi itu.

Lima belas menit, mungkin lebih, Sari terus bernyanyi. Kemudian, tiba-tiba saja, suara itu berhenti. Senyap. Sepi kembali memenuhi kamar, terasa lebih pekat dari sebelumnya. Ratna membuka matanya perlahan. Sari masih duduk di kursi itu, punggungnya kini menghadap Ratna, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Ratna menahan napas. Ia merasa tak berani bergerak, takut mengganggu ketenangan Sari yang mendadak itu. Ia ingin bertanya, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, namun mulutnya terasa terkunci. Perasaan aneh itu terus membayangi: keheningan Sari di siang hari, dan nyanyian pilu di tengah malam.

Perlahan, Ratna mencoba memejamkan matanya lagi. Tidur kembali terasa mustahil. Pikirannya dipenuhi oleh melodi yang baru saja ia dengar, dan bayangan Sari yang kaku di pojok kamar. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa mungkin Sari adalah seorang seniman yang ekspresif, atau mungkin ia sedang dalam keadaan sangat emosional. Namun, ada bisikan kecil di benaknya yang mengatakan, ini bukan hal yang normal.

Ratna berbaring kaku sampai fajar menyingsing. Ketika cahaya pagi pertama kali menyentuh kamar, ia segera membuka matanya. Sari sudah berada di ranjangnya, terbaring memunggungi Ratna, sama seperti ketika ia pergi tidur malam sebelumnya. Seolah-olah nyanyian di tengah malam hanyalah ilusi. Namun, ingatan akan melodi itu begitu nyata, begitu membekas di benaknya.

Ratna bangkit dari ranjang, merasakan kantuk yang luar biasa karena kurang tidur. Ia melirik Sari, yang tampak tertidur pulas, punggungnya naik turun dengan ritme teratur. Tetapi entah mengapa, Ratna tidak merasa lega. Perasaan dingin dan cemas itu masih menggelayutinya, seperti awan mendung yang siap menurunkan hujan. Ia tahu, ada sesuatu yang sangat salah dengan teman sekamarnya itu. Dan ia merasa, malam-malam selanjutnya tidak akan pernah sama lagi. Lagu kerinduan itu telah menanamkan benih ketakutan yang akan segera tumbuh.

Bab 3 – Tak Pernah Tidur

Pagi di hari ketiga pelatihan, Ratna merasa seperti zombie. Matanya perih, kepalanya pening, dan kantung mata menghitam. Semua itu adalah efek dari malam yang dilewati tanpa tidur nyenyak, hanya berbaring kaku mendengarkan nyanyian pilu Sari. Namun, yang lebih mengganggu adalah, Sari terlihat segar bugar, seperti tidak kurang tidur sedikit pun. Bahkan, ia selalu berada di ranjangnya sebelum Ratna berangkat ke aula pelatihan, dan selalu ada di sana saat Ratna kembali.

Sejak kejadian nyanyian di malam kedua, Ratna mulai lebih sering memperhatikan Sari. Dan dari pengamatan itu, ia menemukan kejanggalan demi kejanggalan. Pertama, Sari tidak pernah terlihat makan. Saat sarapan, makan siang, atau makan malam di aula, Sari selalu tidak ada. Ratna pernah mencoba mengajaknya, “Sari, ayo kita makan bersama?” Sari hanya menggeleng dengan senyum tipisnya, tanpa mengatakan apa-apa. Ratna mengira mungkin Sari punya jadwal makan sendiri, atau ia tidak lapar. Tapi setelah tiga hari, itu menjadi aneh.

Kedua, dan ini yang paling mencengangkan, Ratna tidak pernah melihat Sari tidur. Tidak sekali pun. Ia tidak pernah melihat Sari dalam posisi terlelap, bantalnya selalu rapi, selimutnya tidak pernah bergeser dari lipatan sempurna. Bahkan, setiap kali Ratna terbangun di tengah malam – entah itu karena haus, atau sekadar bergeser posisi – Sari selalu ada dalam posisi duduk yang sama di kursi pojok kamar, menatap ke luar jendela, atau terkadang hanya menunduk. Ia tidak bergerak, tidak bernapas keras, hanya ada di sana, seperti patung.

Di pagi hari, ketika Ratna bersiap-siap, Sari akan bergerak ke ranjangnya, berbaring memunggungi Ratna, seolah baru saja bangun tidur. Namun, Ratna tahu, itu hanyalah sebuah ilusi. Sari tidak tidur. Matanya yang selalu tampak datar, tanpa kelelahan sedikit pun, adalah buktinya.

“Kamu kuat juga ya, tidur sendirian di kamar itu?” celetuk Nita, salah satu peserta pelatihan yang cukup dekat dengan Ratna, saat mereka berjalan menuju aula untuk sesi materi pagi. Wajah Nita terlihat sedikit geli, seolah ia baru saja melontarkan lelucon.

Ratna mengerutkan kening. “Maksudnya apa, Nit? Aku kan sekamar sama Sari.”

Nita dan beberapa peserta lain yang mendengar perkataan Ratna saling pandang, kemudian tertawa kecil. “Sari? Siapa, Rat?” tanya Bima, peserta laki-laki dari kementerian lain.

Ratna terdiam, jantungnya mulai berdebar tak nyaman. “Sari… teman sekamarku. Wanita itu. Dia pendiam sekali.”

“Di kamarmu?” Nita tertawa lagi. “Ratna, kamu ini aneh-aneh saja. Kamarmu itu kamar kosong. Aku pernah lihat daftarnya, kamar 203 memang dikosongkan untuk jaga-jaga kalau ada peserta tambahan mendadak. Tapi sejauh ini belum ada.”

Dunia Ratna seolah runtuh. Kepalanya berdengung, darahnya berdesir kencang. “Apa? Kamar kosong? Tapi aku… aku sekamar dengan Sari! Dia ada di sana! Dia bicara padaku, dia… dia bernyanyi di tengah malam!” Suara Ratna terdengar panik.

Wajah Nita dan Bima berubah serius. Mereka tidak lagi tertawa. “Ratna, kamu mungkin terlalu capek,” kata Nita, menyentuh lengan Ratna. “Kamu tidur sendiri di kamar 203. Kami sering lewat sana, dan pintunya selalu terbuka sedikit. Kamar itu memang kosong, Rat.”

“Tidak mungkin!” bantah Ratna. Otaknya memutar cepat, mencari celah, mencari alasan. Tapi semua yang mereka katakan terasa begitu meyakinkan, padahal ia sendiri tahu Sari itu nyata. Atau… apakah ia tidak nyata?

Sepanjang sesi pelatihan hari itu, pikiran Ratna kacau balau. Ia tidak bisa fokus pada materi yang disampaikan. Kata-kata Nita dan Bima terus terngiang di telinganya. Tidak ada orang lain di kamarmu. Jika Sari tidak nyata, lalu siapa yang ia lihat? Siapa yang bernyanyi lagu Jawa itu? Siapa yang selalu duduk di pojok kamar?

Ia mencoba mengingat kembali setiap interaksinya dengan Sari. Sari memang sangat pendiam, hampir tidak pernah berbicara kecuali jika ditanya. Gerakannya kaku, ekspresinya nyaris tidak ada. Sari tidak pernah ikut kegiatan, bahkan saat makan pun ia tidak ikut. Ia selalu berada di kamar. Itu sangat mencurigakan.

Pikiran Ratna berputar-putar, menciptakan skenario terburuk. Mungkinkah ia sedang berhalusinasi? Apakah ia kelelahan? Tapi ia merasa sehat secara fisik dan mental, hanya saja kurang tidur. Atau… mungkinkah Sari adalah… sesuatu yang lain?

Saat jam makan siang, Ratna menghindari Nita dan Bima. Ia tidak ingin mendengar lagi argumen mereka. Ia perlu mencari tahu sendiri. Ia harus membuktikan bahwa Sari itu nyata. Setidaknya, ia harus mencari tahu kenapa semua orang mengatakan kamarnya kosong.

Setelah makan siang yang tidak berasa, Ratna memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Detak jantungnya berpacu seiring setiap langkah di koridor. Ia berharap menemukan Sari di ranjangnya, membereskan barangnya, atau melakukan sesuatu yang normal, yang bisa membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa Sari itu manusia.

Ia membuka pintu kamar 203 dengan hati-hati. Kosong. Ranjang Sari yang semestinya berada di sebelah kiri, kosong dan rapi. Selimut terlipat sempurna, bantalnya menata diri dengan rapi. Tidak ada koper. Tidak ada barang pribadi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan Sari di kamar itu.

Ratna melangkah masuk, kakinya lemas. Ia menyentuh ranjang tempat Sari selalu duduk. Dingin. Meja belajar di sampingnya pun bersih, tidak ada secangkir air, tidak ada buku, tidak ada apa-apa.

Kamar itu memang kosong.

Air mata Ratna mulai menetes. Ia tidak gila. Ia tahu ia tidak gila. Ia melihat Sari. Ia mendengar Sari. Tetapi mengapa tidak ada jejak Sari sama sekali? Atau, apakah Sari ini hanya muncul saat Ratna ada di kamar?

Sebuah pikiran menakutkan melintas di benaknya. Jika Sari adalah sesuatu yang tidak terlihat oleh orang lain, jika Sari tidak punya barang, tidak makan, tidak tidur… apa sebenarnya Sari itu?

Kengerian yang sebelumnya hanya berupa bisikan kini berubah menjadi raungan di otaknya. Sebuah kemungkinan yang mengerikan mulai menari-nari di pikirannya. Ia sekamar dengan… sesuatu yang bukan manusia.

Ratna terduduk di ranjangnya, tangannya gemetar. Ia harus mencari tahu. Ia harus memahami apa yang terjadi. Gedung tua ini, dengan sejarah panjangnya, pasti menyimpan jawabannya. Ia harus mencari tahu tentang sejarah gedung ini. Mungkin, di sanalah ia akan menemukan petunjuk tentang siapa atau apa sebenarnya Sari. Dan mengapa Sari memilihnya.

Bab 4 – Riwayat Gedung

Rasa takut dan kebingungan mencengkeram Ratna sepanjang sore. Kata-kata Nita dan Bima terngiang-ngiang, diperparah dengan pemandangan ranjang kosong di kamarnya. Sari… siapa sebenarnya dia? Atau, apa dia? Hanya ada satu cara untuk mencari tahu, yaitu menggali informasi lebih dalam tentang gedung tua ini. Ratna yakin, jawabannya pasti tersembunyi di dalam dinding-dinding usang ini.

Saat jam istirahat sore, ketika sebagian besar peserta berkumpul di kantin atau ruang santai, Ratna diam-diam menuju pos keamanan di dekat pintu masuk utama. Ia melihat seorang penjaga tua sedang duduk di bangku kayu, sibuk menyeruput kopi hitamnya. Wajahnya dipenuhi keriput, mencerminkan usia dan pengalaman hidup yang panjang. Pasti ia tahu banyak tentang gedung ini.

“Permisi, Pak…” sapa Ratna hati-hati.

Penjaga tua itu mengangkat kepalanya, sepasang matanya yang sayu menatap Ratna. “Ada apa, Nona? Mencari sesuatu?”

“Bukan, Pak. Saya… saya ingin bertanya tentang gedung ini,” ujar Ratna, suaranya sedikit bergetar. Ia mencoba bersikap senormal mungkin. “Saya dengar, gedung ini punya sejarah panjang, ya?”

Penjaga tua itu tersenyum tipis. “Oh, sejarahnya. Tentu saja. Gedung ini dibangun zaman Belanda, Nona. Dulunya memang asrama. Tapi bukan sembarang asrama.” Ia menyesap kopinya lagi. “Dulu ini tempat anak-anak pejabat tinggi Belanda yang sekolah di sini. Anak-anak yang tinggal di kamar-kamar atas, mereka seringkali merasa kesepian. Jauh dari orang tua di negeri asal.”

Ratna mendengarkan dengan saksama. “Lalu, Pak? Ada cerita-cerita khusus?”

Penjaga tua itu menghela napas panjang, tatapannya menerawang jauh ke dalam lorong waktu. “Banyak sekali ceritanya, Nona. Dari yang biasa sampai yang tidak masuk akal. Konon, gedung ini memang angker.” Ia merendahkan suaranya. “Banyak kejadian aneh terjadi di sini. Ada yang bilang sering melihat penampakan, mendengar suara-suara… terutama di lantai dua. Itu kan bagian untuk anak-anak Belanda dulu.”

Ratna merasakan desiran dingin di punggungnya. Lantai dua. Kamar 203.

“Ada cerita yang paling terkenal, Pak?” tanya Ratna, berusaha menjaga nada suaranya agar tidak terdengar terlalu ingin tahu.

Penjaga tua itu menatap Ratna lekat-lekat, seolah menimbang apakah ia harus bercerita atau tidak. Akhirnya, ia memutuskan untuk melanjutkan. “Ada satu kisah yang paling membuat bulu kuduk berdiri. Tentang kebakaran. Dulu, di salah satu kamar di lantai dua, pernah terjadi kebakaran besar. Katanya, korsleting listrik. Panik sekali waktu itu. Semua orang berhamburan keluar. Tapi ada satu anak perempuan…”

Ia berhenti sejenak, menghela napas. “Anak perempuan itu tidak sempat keluar. Terjebak di dalam kamar. Pintu kamarnya terkunci dari luar, entah karena panik atau memang sengaja. Dia terjebak di dalam, di tengah kobaran api. Menangis, berteriak minta tolong… tapi tidak ada yang bisa menolongnya.”

Jantung Ratna berdegup kencang. Ia tahu, ia tahu cerita ini akan mengarah ke sana.

“Dia meninggal di sana, Nona. Terpanggang hidup-hidup di dalam kamar itu,” lanjut penjaga tua itu, suaranya kini terdengar lebih suram. “Sejak saat itu, sering terdengar suara tangisan anak kecil, atau nyanyian pilu dari kamar itu. Dan seringkali, ada hawa dingin yang tak biasa.”

“Siapa namanya, Pak?” Ratna nyaris berbisik.

Penjaga tua itu mengernyit, mencoba mengingat. “Namanya… agak susah diingat. Nama Belanda. Tapi orang-orang lokal memanggilnya… Sari. Karena dia suka memakai kain batik berwarna sari saat bermain. Makanya dia dipanggil Sari M. M itu mungkin singkatan dari nama belakangnya.”

Dunia Ratna serasa berputar. Sari. Sari M. Tahun kematiannya… ia tak tahu. Namun nama itu, deskripsi itu, semuanya terlalu cocok. Anak perempuan yang terkunci di kamar dan meninggal dalam kebakaran. Anak perempuan yang suka menyanyi. Anak perempuan yang dipanggil Sari.

“Kamar berapa itu, Pak?” tanya Ratna, suaranya tercekat di tenggorokan.

Penjaga tua itu menunjuk ke arah koridor lantai dua. “Kamar itu… yang di ujung koridor, dekat tangga darurat. Kalau tidak salah, itu nomor… 203. Ya, kamar 203.”

Ratna merasakan seluruh tubuhnya kaku. Darah seolah berhenti mengalir. Kamar 203. Kamarnya. Ranjang di mana Sari selalu duduk. Jendela tempat Sari menatap ke luar saat bernyanyi. Segalanya kini terasa masuk akal, namun dalam cara yang paling mengerikan. Ia tidak berhalusinasi. Ia tidak gila. Sari itu nyata. Tapi Sari bukanlah manusia.

“Dia… meninggal tahun berapa, Pak?” tanya Ratna, nyaris tak bersuara.

Penjaga tua itu berpikir sejenak. “Wah, itu sudah lama sekali, Nona. Mungkin sekitar tahun… tujuh puluhan? Ya, sekitar tahun 1973 kalau tidak salah. Itu kejadian yang sangat menghebohkan di kota kecil ini.”

Tahun 1973. Lima puluh tahun yang lalu. Anak itu telah terjebak selama lima puluh tahun di gedung ini, di kamar ini. Dan sekarang, Ratna adalah teman sekamarnya.

Ratna mengucapkan terima kasih pada penjaga tua, namun ia bahkan tak ingat bagaimana ia mengucapkan kata-kata itu. Ia berjalan limbung kembali ke kamarnya, setiap langkah terasa berat, seolah ia berjalan di bawah air. Otaknya memproses informasi yang baru saja ia dapatkan. Sari. Hantu anak kecil yang terjebak di kamarnya sendiri.

Ketika ia membuka pintu kamar 203, kamar itu kembali terasa berbeda. Bukan lagi sekadar kamar kosong. Kini ia melihatnya sebagai makam, sebagai penjara bagi jiwa yang tak tenang. Ranjang kosong itu kini terasa berhantu. Bayangan-bayangan di sudut ruangan seolah bergerak, menunggu. Ia tidak lagi bisa memandang Sari sebagai teman sekamar yang pemalu. Ia adalah entitas dari masa lalu, terjebak dalam siklus kesedihan dan kerinduan.

Ratna merasakan ketakutan yang dingin merayap dari kakinya hingga ke ubun-ubun. Pertanyaannya kini bukan lagi "siapa Sari", melainkan "apa yang Sari inginkan dariku?" Dan "bisakah aku melarikan diri dari ini?" Rasa tidak nyaman yang samar kini berubah menjadi teror yang nyata. Malam akan segera tiba. Dan Sari akan kembali.

Bab 5 – Perasaan Tak Nyaman

Setelah pengungkapan mengejutkan dari penjaga tua, setiap sudut kamar 203 terasa berubah drastis bagi Ratna. Dinding-dinding yang sebelumnya polos kini seolah memiliki mata, memancarkan sejarah kelam. Udara terasa lebih dingin, aroma apek semakin menusuk, dan keheningan yang tebal terasa mencekik. Ratna tidak lagi berani membiarkan pikirannya berkeliaran, karena setiap pikiran tentang Sari selalu berujung pada kengerian.

Ketika malam tiba, perasaan tak nyaman itu meningkat menjadi horor yang nyata. Ratna mencoba untuk tetap berada di aula umum atau ruang santai peserta selama mungkin, menghindari kamar. Ia mengobrol dengan teman-teman barunya, mencoba tertawa, namun hatinya tidak tenang. Setiap suara berisik atau sentuhan tak terduga selalu membuatnya terlonjak.

Pukul sepuluh malam, ketika sebagian besar peserta mulai kembali ke kamar masing-masing, Ratna tidak punya pilihan selain mengikuti. Langkahnya di koridor terasa berat, jantungnya berdebar kencang seiring ia mendekati kamar 203. Ia memutar kenop pintu perlahan, berdoa dalam hati agar kamar itu kosong.

Tapi tidak. Sari sudah ada di sana.

Ia duduk di ranjangnya, memunggungi Ratna, persis seperti yang selalu ia lakukan. Namun, kali ini, kehadiran Sari terasa berbeda. Aura di sekitarnya terasa lebih pekat, lebih mengancam. Ratna bisa merasakan hawa dingin yang begitu kuat terpancar dari Sari, seolah ia menyerap semua kehangatan di dalam kamar.

Ratna mencoba menyalakan lampu, berharap cahaya bisa mengusir bayangan-bayangan menakutkan itu. Namun, cahaya kuning dari lampu kamar hanya membuat Sari terlihat lebih jelas, siluetnya yang kaku semakin menonjol di antara kegelapan.

Malam itu, Ratna tidak bisa tidur. Ia berbaring kaku di ranjangnya, mata terpejam, mencoba mengabaikan kehadiran Sari. Namun, itu mustahil. Ia mulai mendengar suara-suara. Awalnya hanya bisikan samar, seperti suara anak kecil yang berbicara dalam bahasa yang tak ia pahami. Lalu, suara tangisan. Samar-samar, Ratna bisa mendengar isak tangis dari arah kamar mandi. Suara itu begitu pilu, penuh kesedihan, namun juga kemarahan yang terpendam.

Ratna membuka matanya. Ia melihat bayangan. Sekilas, di sudut ruangan dekat lemari pakaian, ia melihat siluet kecil seorang anak perempuan yang berdiri diam. Bayangan itu tidak memiliki detail wajah, hanya siluet gelap yang berbaur dengan bayangan dari perabot kamar. Ketika Ratna berkedip, bayangan itu menghilang. Tapi beberapa saat kemudian, ia muncul lagi di dekat meja belajar, kemudian di dekat pintu. Bermain petak umpet dengan ketakutan Ratna.

Namun, yang paling mengerikan adalah Sari.

Sari mulai bergerak. Ia tidak lagi hanya duduk diam di ranjangnya. Perlahan, ia mulai beringsut mendekati ranjang Ratna. Gerakannya lambat, kaku, seolah ia bergerak dengan engsel yang berkarat. Ratna merasakan ranjangnya sedikit bergetar ketika Sari mendekat.

Ratna menahan napas. Ia bisa merasakan hawa dingin Sari yang menusuk tulang. Sari berhenti tepat di samping ranjang Ratna. Ratna tidak berani membuka matanya, namun ia bisa merasakan kehadiran Sari yang begitu dekat. Ia bahkan bisa merasakan hembusan napas Sari yang dingin di pipinya, meskipun Sari tidak bernapas.

Tiba-tiba, sebuah tangan dingin menyentuh lengan Ratna. Itu adalah tangan Sari. Kulitnya terasa seperti es, namun Ratna tidak bisa mengelak. Sari menggenggam lengan Ratna, tidak terlalu kuat, namun cukup untuk membuat Ratna merinding hingga ke sumsum tulang.

Lalu, Sari berbisik. Suaranya terdengar lebih jelas dari sebelumnya, sebuah bisikan yang dingin dan tajam, seperti pecahan kaca.

“Kamu baik…” bisiknya. “Kamu… seperti ibu…”

Kalimat itu, yang awalnya ia dengar di siang hari dari Sari yang pendiam, kini terasa mengerikan. Kamu seperti ibu. Apa maksudnya? Mengapa Sari terus-menerus mengatakan itu? Rasa dingin dari tangan Sari menjalar ke seluruh lengan Ratna, seolah Sari sedang mencoba menariknya, merasuki dirinya.

Ratna memejamkan mata erat-erat, air mata mengalir di pelipisnya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Berteriak? Tidak ada yang akan mendengarnya. Melarikan diri? Ia sudah mencoba. Sari tidak akan membiarkannya pergi.

Ia mencoba membaca doa dalam hati, apapun yang ia ingat. Ayat-ayat suci, doa tidur, doa perlindungan. Namun, setiap kali ia mencoba berfokus, bisikan Sari seolah memotong doanya.

“Jangan pergi… ibu…”

“Aku kesepian… ibu…”

“Temani aku… ibu…”

Bisikan itu terus berulang, monoton, seperti kaset rusak yang memutar satu lagu yang sama. Setiap bisikan semakin mempertegas motif Sari. Ia ingin Ratna menemaninya. Ia menganggap Ratna sebagai ibunya.

Ratna membuka matanya sedikit. Sari masih berdiri di samping ranjangnya, menatapnya dengan mata kosong. Matanya tampak lebih gelap dari biasanya, seperti dua lubang hitam di wajah pucatnya. Senyum tipisnya kini terlihat seperti seringai. Tangan Sari yang dingin masih menggenggam erat lengan Ratna.

Ratna merasakan tubuhnya mulai lemas. Rasanya seluruh energinya tersedot keluar. Ia ingin melawan, ingin berteriak, namun suaranya tercekat di tenggorokan. Ini bukan lagi sekadar horor psikologis, ini adalah pertempuran untuk mempertahankan jiwanya. Ia merasa seolah ditarik ke dalam jurang kegelapan yang tak berdasar.

Ia hanya bisa memejamkan mata lagi, membiarkan rasa takut dan dingin merayapi dirinya. Sari terus menggenggam tangannya, menatapnya, dan berbisik kalimat yang sama. Malam itu terasa sangat panjang, setiap detik terasa seperti jam. Ratna tahu, Sari tidak akan membiarkannya sendirian. Dan yang lebih menakutkan, Sari tidak akan membiarkannya pergi. Perasaan tak nyaman kini telah menjadi perang batin yang mengerikan, di mana Ratna menjadi satu-satunya tawanan Sari.

Bab 6 – Kubur Tak Bernama

Setelah malam yang penuh teror, Ratna bangun dengan tubuh lemas dan pikiran kacau. Kelopak matanya terasa berat, dan sisa-sisa bisikan Sari masih berputar di kepalanya. Ia melirik ranjang Sari. Kosong. Seperti biasanya. Namun, kali ini Ratna tahu, itu hanyalah ilusi. Sari tidak pergi, Sari selalu ada, mengawasinya.

Pagi itu, Ratna nyaris tidak bisa makan sarapan. Perutnya mual karena ketakutan dan kurang tidur. Ia mencoba menghindari tatapan teman-teman lainnya, takut mereka akan melihat kengerian yang terukir di wajahnya. Untungnya, jadwal pelatihan hari itu mengharuskan mereka untuk kegiatan lapangan. Ini adalah kesempatan yang Ratna butuhkan untuk menjauh dari kamar 203 dan dari Sari.

Kegiatan lapangan kali ini adalah kunjungan ke sebuah situs bersejarah, yang ternyata terletak di belakang kompleks gedung pelatihan. Situs itu adalah bekas pemakaman kuno, sebuah peninggalan masa lalu yang tak terurus. Ratna merasakan firasat buruk begitu kakinya menginjak area itu. Udara di sana terasa lebih berat, dipenuhi aura melankolis dan kesedihan yang pekat. Pohon-pohon tua yang menjulang tinggi menjuntaikan dahan-dahan yang seolah meratap, menaungi deretan batu nisan yang usang dan tertutup lumut. Beberapa nisan bahkan sudah roboh, menyatu dengan tanah.

“Area ini dulunya pemakaman keluarga pejabat Belanda dan tentara yang meninggal di sini,” jelas seorang pemandu lokal, suaranya terdengar khidmat. “Banyak sekali cerita mistis dari tempat ini. Konon, arwah-arwah mereka masih bergentayangan, mencari ketenangan yang tak pernah mereka temukan.”

Ratna tidak lagi mendengarkan pemandu. Matanya menyapu deretan nisan, mencari, entah apa yang ia cari. Mungkin, sebuah konfirmasi atas apa yang ia takutkan. Kakinya melangkah tanpa sadar, memisahkannya dari kelompok. Ia berjalan lebih dalam, melewati rerumputan tinggi dan semak belukar yang menjalar.

Di antara tumpukan batu nisan yang rusak dan tak terawat, Ratna melihat satu nisan yang menarik perhatiannya. Ukurannya lebih kecil dari yang lain, seolah milik seorang anak. Permukaan batunya pecah, ditumbuhi lumut dan akar-akar kecil yang melilit. Ratna berjongkok, tangannya gemetar saat mencoba membersihkan lumut yang menutupi tulisan.

Perlahan, satu per satu, huruf-huruf usang itu mulai terlihat.

“SARI M.”

Jantung Ratna serasa berhenti berdetak. Nafasnya tercekat di tenggorokan. Tubuhnya membeku. Ia sudah menduga, namun melihat nama itu terukir di batu nisan tua, di tempat yang sunyi dan menyeramkan ini, adalah pukulan telak yang merobohkan seluruh pertahanan logikanya.

Di bawah nama itu, terukir angka tahun yang semakin memperjelas kengerian yang ia hadapi.

“Wafat: 1973”

Ini dia. Bukti yang tak terbantahkan. Sari, teman sekamarnya, yang tidak makan, tidak tidur, tidak terlihat oleh orang lain, adalah hantu anak yang meninggal dalam kebakaran di kamar 203, lima puluh tahun yang lalu. Anak yang dirindukan orang tuanya. Anak yang kesepian.

Dunia Ratna terasa berputar. Kakinya lemas, ia nyaris terjatuh. Air mata mengalir deras di pipinya, bukan karena sedih, melainkan karena ketakutan yang luar biasa. Semua teka-teki kini terjawab, namun jawabannya jauh lebih menakutkan dari yang ia bayangkan. Sari bukanlah halusinasi. Ia adalah jiwa yang terjebak, dan entah mengapa, ia telah memilih Ratna.

“Ratna! Kamu di mana?” suara Nita memanggil dari kejauhan, membuyarkan konsentrasi Ratna.

Ratna segera bangkit, gemetar. Ia harus menjauh dari sini. Ia harus menjauh dari Sari.

Sepanjang perjalanan kembali ke gedung pelatihan, pikiran Ratna dipenuhi oleh satu keinginan: melarikan diri. Ia harus pergi dari gedung ini. Ia harus menjauh dari Sari. Ia tidak bisa lagi berpura-pura semuanya baik-baik saja.

Sesampainya di gedung, ia langsung menemui panitia. “Bu, saya… saya merasa tidak enak badan. Saya ingin minta izin pulang saja. Saya tidak bisa melanjutkan pelatihan.” Ratna mencoba membuat suaranya terdengar sakit, meyakinkan.

Panitia menatapnya dengan khawatir. “Kamu pucat sekali, Ratna. Tapi pelatihan ini wajib, lho. Kamu tidak bisa pulang begitu saja.”

Ratna memohon. “Saya sungguh tidak sanggup, Bu. Saya… saya butuh istirahat.”

Panitia akhirnya menawarkan solusi. “Begini saja, bagaimana kalau kamu pindah kamar dulu? Mungkin kamu butuh suasana baru, ya? Ada kamar kosong di lantai bawah, dekat pos keamanan.”

Pindah kamar? Ini adalah kesempatan emas. Ratna segera mengiyakan, hatinya sedikit lega. Setidaknya, ia tidak perlu lagi tidur di kamar 203 yang berhantu itu. Ia segera mengambil beberapa barang penting dari kamarnya, menghindari kontak mata dengan ranjang Sari. Ia tidak peduli barang-barangnya berantakan. Yang penting ia bisa keluar dari sana.

Ratna pindah ke kamar baru di lantai satu. Kamar itu lebih kecil, lebih terang, dan lebih dekat dengan keramaian di lobi. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia akan baik-baik saja di sini. Jauh dari Sari. Jauh dari kenangan tentang kebakaran dan batu nisan.

Malam itu, ia mencoba tidur. Ia merasa sedikit lega, namun ada perasaan aneh yang terus menariknya kembali. Kerinduan yang samar, seperti ada bagian dari dirinya yang tertinggal di kamar 203. Ia mencoba menepisnya, memaksa dirinya tidur.

Namun, ia tahu, bahkan jika ia telah meninggalkan kamar itu, Sari tidak akan semudah itu melepaskannya. Dorongan aneh itu, seperti tarikan tak terlihat, terus-menerus memaksanya untuk kembali. Ratna memejamkan mata, berharap ia akan bangun di kamar yang aman ini. Namun, ia tidak tahu bahwa Sari sudah mengikatnya, jauh sebelum ia menyadarinya.

Bab 7 – Tidur yang Salah

Keinginan untuk melarikan diri menguasai Ratna. Pindah kamar adalah satu-satunya pilihan rasional yang ia miliki. Kamar baru di lantai satu terasa lebih aman, lebih terang. Ratna bahkan memilih ranjang yang paling dekat dengan pintu, seolah siap untuk melarikan diri kapan saja. Ia berusaha keras untuk tidur malam itu, memeluk guling erat-erat, dan membenamkan wajahnya ke bantal, berharap bisa mengusir bayangan Sari dari benaknya.

Awalnya, ia memang merasa sedikit lega. Suara-suara dari lobi yang samar-samar, langkah kaki di koridor, semua itu memberikan rasa aman yang palsu. Ia berhasil tertidur, tenggelam dalam kelelahan fisik dan mental yang teramat sangat.

Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.

Ratna terbangun. Tubuhnya terasa berat, seolah baru saja diseret. Gelap. Terlalu gelap. Ia mengerjap, mencoba menyesuaikan pandangannya. Aroma apek, dingin yang menusuk tulang, dan keheningan yang familiar…

Ini bukan kamar barunya.

Jantung Ratna mencelos. Ia mengenal kamar ini. Dinding-dindingnya yang kusam, gorden tebal yang menghalangi cahaya rembulan, dan ranjang yang ia tiduri… ini adalah kamar 203. Kamar yang ingin ia hindari mati-matian.

Ia menoleh ke ranjang di seberangnya. Sari sudah ada di sana, duduk tegak di kursi pojok seperti biasa, menatapnya. Matanya yang kosong kini tampak lebih gelap dan dingin. Tidak ada senyum tipis, hanya tatapan tajam, mengunci Ratna dalam kengerian yang tak terlukiskan.

Ratna mencoba bergerak, namun tubuhnya terasa kaku, seperti ada beban berat yang menindihnya. Rasa panik membanjiri dirinya. Bagaimana ia bisa sampai di sini? Ia ingat jelas tertidur di kamar lain, di lantai satu.

Sari mengangkat tangannya perlahan, menunjuk ke arah Ratna. Suaranya, yang sebelumnya hanya bisikan lirih, kini terdengar lebih jelas, lebih tegas, namun tetap dingin dan menusuk.

“Kamu enggak bisa pergi…” kata Sari, dengan nada datar namun penuh ancaman. “Kita sudah serumah.”

Kalimat itu bagai palu godam yang menghantam kepala Ratna. Sari tahu ia mencoba melarikan diri. Sari tidak akan membiarkannya pergi. Ia terjebak.

Ratna memaksakan diri bangkit dari ranjang. Kakinya gemetar, namun ia harus mencoba. Ia harus keluar dari sini. Ia melangkah terhuyung-huyung menuju pintu. Kenop kuningan itu terasa dingin di tangannya. Ia memutar, menarik, mendorong, sekuat tenaga.

Pintu itu terkunci.

Ratna menggedor-gedor pintu dengan panik, memanggil-manggil nama teman-temannya, panitia, siapa pun. “Tolong! Tolong saya! Buka pintunya!” Suaranya serak, penuh ketakutan. Namun, tidak ada jawaban. Hanya gema suaranya sendiri yang memantul di dinding kamar.

Dinding? Ratna menyentuh dinding di dekat pintu. Dingin. Dan anehnya, terasa berdenyut samar. Seperti sebuah denyutan jantung yang sangat pelan, sangat dalam. Dinding itu seolah bernyawa, sebuah bagian dari entitas yang menjebaknya. Udara di dalam kamar terasa semakin sesak, semakin berat. Seolah dinding-dinding itu bergerak mendekat, menghimpitnya.

Sari masih duduk di sana, menatapnya tanpa berkedip. Tidak ada kemarahan dalam tatapannya, hanya sebuah kepastian yang menakutkan. Ia tahu Ratna tidak akan bisa pergi.

Ratna mencoba membuka jendela. Mungkin ia bisa memecahkannya dan berteriak minta tolong. Ia menarik gorden tebal itu, meraih kenop jendela, dan memutar. Terkunci. Ia memukul kaca dengan kepalan tangannya, sekuat tenaga. Namun, kaca itu tidak pecah, seolah terbuat dari material yang lebih kuat dari yang terlihat. Bahkan tidak ada retakan.

Kepanikan Ratna mencapai puncaknya. Ia terperangkap. Sari berhasil membawanya kembali. Ini bukan mimpi buruk. Ini adalah kenyataan yang mengerikan. Ia terkunci di dalam kamar ini, bersama hantu anak kecil yang menganggapnya sebagai ibunya.

Ia jatuh berlutut di lantai, air mata mengalir deras. Putus asa. Tidak ada jalan keluar. Sari adalah penjaga kamarnya, dan Ratna adalah tawanan barunya.

“Kenapa… kenapa kau melakukan ini padaku?” bisik Ratna, suaranya tercekat. Ia menatap Sari, yang masih duduk tegak, menatapnya dengan tatapan kosong.

Sari tidak menjawab. Hanya tatapan dinginnya yang menusuk jiwa. Ratna merasa seolah seluruh energinya terkuras, semangatnya direnggut paksa. Ia tidak lagi memiliki kekuatan untuk berteriak, untuk melawan.

Ia kembali merangkak ke ranjangnya, tubuhnya gemetar tak terkendali. Ia memeluk lututnya, mencoba mencari kehangatan di tengah hawa dingin yang terpancar dari Sari. Setiap detik terasa seperti berjam-jam. Ia bisa merasakan tatapan Sari yang terus-menerus mengawasinya, bahkan dalam gelap. Rasanya seperti ada tangan dingin yang tak terlihat membelai rambutnya, mengelus punggungnya, seolah Sari sedang mencoba menenangkan "ibunya". Namun, sentuhan itu justru membuat Ratna semakin merinding.

Ratna tahu, ini hanyalah permulaan. Sari telah berhasil membawanya kembali ke sarangnya. Dan Sari tidak akan pernah melepaskannya lagi. Malam itu, Ratna merasakan dirinya perlahan-lahan menyerah pada kegelapan. Ia telah kalah. Ia adalah penghuni baru kamar 203, teman sekamar abadi bagi Sari. Dan ia tidak bisa pergi.

Bab 8 – Nyanyian Terakhir

Kejadian “tidur yang salah” membuat Ratna limbung. Ia tahu ia tidak bisa melarikan diri, bahkan jika ia berhasil pindah kamar. Sari memiliki kendali atas dirinya, sebuah kendali yang melampaui logika dan realitas. Setiap kali ia memejamkan mata, ia akan terbangun di kamar 203, di bawah tatapan Sari yang dingin. Ini adalah siklus yang tak terputus, penjara yang tak terlihat.

Malam berikutnya, ketika Ratna mencoba untuk tetap terjaga, ketakutan menghantuinya. Ia tahu apa yang akan datang. Dan benar saja, di tengah keheningan yang mencekam, sekitar pukul satu dini hari, melodi itu kembali.

Lagu Jawa yang sama. “Tak eling biyen, Ibu… Bapak… Ati iki kangen…”

Namun, kali ini, ada yang berbeda. Melodi yang sebelumnya merdu dan pilu, kini berubah menjadi sesuatu yang mengerikan. Suara Sari, meskipun masih mengalun indah, dipenuhi dengan jeritan yang tertahan, kemarahan yang membara, dan kesepian yang menusuk jiwa. Setiap nada adalah luka, setiap lirik adalah kutukan. Itu bukan lagi lagu kerinduan, melainkan ratapan penuh dendam. Jeritan itu tidak keluar dari tenggorokan Sari, melainkan langsung merasuki pikiran Ratna, mengoyak-ngoyak jiwanya.

Ratna merasakan telinganya berdenging. Kepalanya seolah akan pecah. Ia mencengkeram kepalanya, mencoba menghentikan suara itu, namun jeritan Sari semakin kuat, semakin dalam meresap. Ia bisa merasakan kemarahan dan kesedihan Sari yang membuncah, energi negatif yang begitu kuat hingga hampir mematerialisasi di udara.

Ia melirik Sari. Sari masih duduk di kursi pojok, menghadap jendela. Namun, siluetnya kini tampak lebih gelap, lebih besar, seolah aura negatif di sekelilingnya telah membentuk bayangan yang menakutkan. Matanya, bahkan dari kejauhan, terlihat memancarkan cahaya merah samar, seperti bara api yang membara dalam kegelapan.

“Pergi!” bisik Ratna, suaranya serak. Ia mencoba melawan, mencoba melepaskan diri dari pengaruh mencekik itu. Ia tahu, jika ia menyerah pada nyanyian ini, ia akan selamanya terjebak.

Ia mulai membaca doa yang ia hafal, berulang-ulang, dengan suara gemetar. Ayat Kursi, Al-Fatihah, segala doa yang bisa ia ingat. Ia berharap kekuatan spiritual bisa melindunginya dari entitas ini. Namun, setiap kali ia mengucapkan sebuah ayat, jeritan Sari semakin keras, semakin memilukan, seolah Sari sedang menertawakan upayanya yang sia-sia.

“Ibu… jangan tinggalkan aku lagi… jangan pergi…” suara Sari berbisik di sela-sela jeritan lagunya. Bisikan itu terasa langsung di telinga Ratna, seolah Sari berdiri tepat di sampingnya, padahal ia masih duduk jauh di sana.

Ratna bangkit dari ranjangnya. Ia tidak bisa lagi berdiam diri. Ia harus mencoba melarikan diri. Sekali lagi. Ia melangkah terhuyung-huyung menuju jendela. Ini adalah satu-satunya jalan keluar yang tersisa. Ia harus memecahkannya.

Ia menarik gorden tebal itu dengan kasar. Jendela itu terlihat kokoh. Ratna memukul kacanya dengan tinjunya, lagi dan lagi, sekuat tenaga. Tangannya terasa sakit, nyaris mati rasa, namun kaca itu tetap utuh. Tidak ada retakan, bahkan goresan pun tidak ada. Ini bukan kaca biasa. Ini adalah bagian dari perangkap.

Keputusasaan memuncak. Ratna menghentikan pukulannya, terengah-engah. Ia menempelkan wajahnya ke kaca yang dingin, berharap bisa melihat apa pun di luar sana. Namun, yang ia lihat hanyalah kegelapan yang pekat. Kegelapan yang tanpa batas, tanpa bintang, tanpa cahaya. Sebuah kehampaan.

Tiba-tiba, kegelapan itu mulai berubah. Perlahan, seperti fatamorgana yang terbentuk dari kabut, pemandangan di luar jendela mulai menampakkan wujud. Bukan lagi halaman gedung, bukan pula jalanan kota. Melainkan hamparan. Hamparan yang luas, tak berujung, dipenuhi dengan… batu nisan.

Ratusan, ribuan batu nisan yang rusak dan tak terawat, membentang sejauh mata memandang. Hamparan pemakaman yang ia kunjungi siang tadi, kini seolah membentang hingga ke cakrawala. Di antara nisan-nisan itu, bayangan-bayangan samar bergerak, melayang-layang, seolah para penghuni kubur itu telah bangkit dan berkeliaran.

Itu adalah pemandangan neraka. Realitas yang menyatu dengan ilusi, atau ilusi yang menjadi realitas. Ratna menjauh dari jendela, tubuhnya gemetar hebat. Ia telah terjebak di antara dua dunia. Sari telah menariknya sepenuhnya ke dalam dimensinya.

Jeritan dalam nyanyian Sari semakin intens, memekakkan telinga. Setiap nada adalah undangan, sebuah daya tarik yang tak bisa ditolak. Ratna merasakan pikirannya mulai keruh, batas antara dirinya dan Sari mulai kabur. Ia merasa seolah bagian dari jiwanya mulai tertarik keluar, ditarik oleh kekuatan Sari.

Ia jatuh berlutut lagi, menutupi telinganya, berusaha menghentikan suara itu, namun sia-sia. Nyanyian itu telah merasuki otaknya, menjadi bagian dari dirinya. Sari, di sudut kamar, tampak semakin besar, semakin menyeramkan, matanya memancarkan cahaya merah yang kini terlihat lebih jelas.

Ratna merasakan hawa dingin yang menusuk. Bukan lagi hawa dingin biasa, melainkan dingin yang mematikan, dingin yang merampas kehidupan. Ia tahu ia tidak bisa melawan lebih lama lagi. Jeritan dalam lagu itu adalah jeritan jiwanya sendiri, yang kini terikat pada Sari. Ia adalah korban terakhir dari nyanyian terakhir Sari, yang akan mengakhiri perlawanan dan menyatukan mereka dalam kegelapan abadi.

Bab 9 – Kamu Ibu Saya

Jeritan dalam nyanyian Sari terus mengoyak gendang telinga dan pikiran Ratna. Ia tidak bisa lagi membedakan antara suara Sari dan bisikan ketakutan dalam dirinya sendiri. Seluruh tubuhnya terasa mati rasa, namun jiwanya berteriak, meronta-ronta di tengah cengkeraman Sari.

Tiba-tiba, di tengah puncak histeria, Ratna merasakan kekuatan yang tidak ia ketahui dari mana datangnya. Sebuah dorongan primal untuk bertahan hidup. Ia harus lari. Sekarang.

Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Ratna bangkit. Ia tidak peduli lagi dengan jendela yang tak bisa dipecahkan atau pintu yang terkunci. Kali ini, ia menerjang pintu kamar, bukan dengan memutar kenop, tapi dengan seluruh kekuatannya, menabraknya.

Sebuah dentuman keras. Dan anehnya, pintu itu terbuka. Tidak, bukan terbuka, melainkan menghilang. Seolah ia telah menembus sebuah ilusi.

Ratna terhuyung-huyung keluar, berharap menemukan koridor lantai dua yang familiar. Namun, apa yang ia dapati justru membuatnya membeku.

Ia tidak berada di koridor gedung. Ia berada di tengah-tengah pemakaman kuno.

Pemandangan yang tadinya ia lihat dari jendela kamar 203 kini menjadi kenyataan yang mengerikan. Ratusan batu nisan yang rusak dan tumbang, kabut tipis yang merayap di antara nisan-nisan itu, dan pohon-pohon tua yang menjulang tinggi, dahan-dahannya yang kering menjulur seperti tangan-tangan kerangka. Bulan purnama bersinar terang, menerangi pemakaman itu dengan cahaya keperakan yang suram, membuat setiap bayangan terlihat panjang dan menakutkan.

Ratna merasakan bulu kuduknya berdiri tegak. Ia berbalik, berharap menemukan pintu kamar 203 di belakangnya, namun tidak ada apa-apa selain kegelapan dan nisan-nisan. Ia benar-benar telah ditarik masuk ke dunia Sari.

Tiba-tiba, dari balik sebuah pohon besar yang layu, sebuah sosok muncul. Perlahan, bergerak tanpa suara, mendekati Ratna.

Itu adalah Sari.

Namun, kali ini wujudnya berbeda. Bukan lagi wanita pendiam yang pucat seperti yang ia kenal di kamar. Ini adalah wujud aslinya, wujud dari hantu yang terjebak. Wajahnya pucat pasi, nyaris transparan, dengan mata cekung yang menampakkan lubang hitam di dalamnya. Rambutnya panjang dan acak-acakan, terurai seperti serat-serat kelabu yang melayang di udara. Pakaiannya lusuh, compang-camping, seperti gaun usang dari zaman yang telah lama berlalu, dengan noda-noda hitam yang menyerupai jelaga. Di sekujur tubuhnya, Ratna bisa melihat luka bakar yang mengerikan, menghitam, seolah Sari baru saja keluar dari kobaran api.

Air mata, atau sesuatu yang menyerupai cairan hitam, mulai mengalir dari mata Sari yang kosong. Sari melangkah mendekat, perlahan, setiap langkah seolah tidak menyentuh tanah.

“Kamu… mirip ibu saya…” suara Sari terdengar parau, penuh kesedihan, namun juga kemarahan yang membara. “Kamu mirip sekali… Aku sudah menunggu lama sekali…”

Ratna mencoba mundur, namun kakinya seolah terpaku di tanah. Ketakutan yang luar biasa melumpuhkannya. Ini adalah puncak teror yang ia hadapi.

“Kamu harus tinggal…” lanjut Sari, suaranya kini terdengar seperti bisikan dingin yang bergetar. “Sudah 50 tahun saya sendiri… Aku tidak mau sendiri lagi…”

Sari mengulurkan tangannya. Jari-jarinya kurus, panjang, dan pucat, dengan kuku-kuku hitam yang menyeramkan. Ratna bisa melihat luka bakar yang menghitam di telapak tangan itu. Tangan itu meraih tangan Ratna. Dinginnya menusuk, seolah menyedot semua kehangatan dari tubuh Ratna. Ratna merasakan jiwanya tertarik, ditarik oleh kekuatan tak terlihat dari Sari.

“Kamu ibu saya…” bisik Sari lagi, kali ini dengan nada yang nyaris memohon. “Kamu harus di sini… bersamaku…”

Ratna meronta, berusaha melepaskan genggaman Sari. “Tidak! Aku bukan ibumu! Lepaskan aku!” teriaknya, suaranya pecah. Namun, genggaman Sari semakin kuat, tak tergoyahkan.

Tiba-tiba, tanah di bawah kaki mereka mulai bergetar. Sebuah retakan besar muncul di tanah, membelah area pemakaman. Retakan itu melebar, membentuk sebuah lubang hitam yang menganga, menyerupai kuburan yang baru saja digali. Dari dalam lubang itu, hawa dingin yang mematikan dan aroma tanah basah bercampur bau busuk menyeruak ke atas.

Sari tersenyum. Senyumnya kini mengerikan, memperlihatkan gigi-gigi kecil yang runcing. “Kita akan bersama… selamanya… Ibu…”

Sari mulai menyeret Ratna. Ratna memberontak sekuat tenaga, menendang-nendang, berteriak meminta tolong. Namun, tidak ada siapa pun di pemakaman itu. Ia sendirian, menghadapi entitas ini. Kekuatan Sari jauh melampaui kekuatannya. Perlahan tapi pasti, Sari menyeretnya ke tepi lubang yang menganga.

Ratna mencoba berpegangan pada apa pun, akar pohon, nisan yang tumbang, namun semuanya terlepas dari genggamannya. Ia merasakan kakinya terseret, kemudian seluruh tubuhnya ditarik ke dalam kegelapan. Suara teriakannya meredup seiring ia jatuh lebih dalam, ke dalam lubang yang dingin dan basah.

Tanah di atas mereka kembali menutup, perlahan, mengubur Ratna hidup-hidup. Kegelapan merangkulnya, dinginnya menusuk hingga ke tulang sumsum. Ia bisa merasakan tanah yang berat menindihnya, suara detak jantungnya sendiri yang berpacu kencang, dan bisikan terakhir Sari yang menggema di telinganya.

“Kini kau temani aku…”

Ratna tidak tahu apakah ia masih hidup atau sudah mati. Ia hanya tahu, ia telah sepenuhnya terjebak, terkubur bersama Sari, di alam yang bukan miliknya. Ini adalah akhir dari perlawanannya, dan awal dari sebuah siklus yang mengerikan.

Bab 10 – Alam Tanpa Pintu

Kegelapan yang pekat menyelimuti Ratna. Dingin menusuk hingga ke tulang, mematikan segala rasa. Ia tidak tahu berapa lama ia terperangkap dalam kegelapan itu. Hitam. Kosong. Sendiri.

Perlahan, samar-samar, sebuah cahaya mulai muncul. Bukan cahaya yang hangat, melainkan cahaya keperakan yang dingin, seperti fajar yang tak pernah tiba sepenuhnya. Ketika matanya terbuka, ia tidak lagi berada di dalam tanah kubur. Ia berada di sebuah tempat yang familiar, namun sekaligus asing.

Ini adalah gedung pelatihan. Lebih tepatnya, sebuah bayangan suram dari gedung pelatihan.

Ia berdiri di koridor lantai dua. Dinding-dindingnya kusam, catnya mengelupas, dan jendelanya pecah-pecah. Udara terasa dingin dan lembab. Tidak ada suara, tidak ada kehidupan. Semua perabotan di dalamnya tampak tua dan berdebu, seolah ditinggalkan selama puluhan tahun. Aroma apek semakin kuat, memenuhi setiap sudut. Koridor panjang itu membentang, tak berujung, diselimuti keheningan yang menyesakkan.

Ratna mencoba berbicara, namun suaranya tidak keluar. Ia mencoba menyentuh dinding, namun tangannya tembus, seolah ia sendiri adalah hantu. Ia melihat pantulannya di cermin usang di ujung koridor. Wajahnya pucat, nyaris transparan, dengan mata yang tampak kosong, sedih, dan penuh kerinduan. Rambutnya terurai, berantakan, dan pakaiannya lusuh, seperti Sari.

Ia adalah sebuah bayangan. Ia telah terjebak.

Perlahan, Ratna mulai berjalan. Ia melangkah menyusuri koridor, melewati kamar-kamar yang semuanya kosong, pintu-pintu yang terbuka, menampakkan kegelapan di dalamnya. Ia mencoba membuka pintu, memutar kenop, namun tangannya selalu menembus. Ia tidak bisa menyentuh apa pun, tidak bisa berinteraksi dengan dunia ini. Ini adalah alam antara, tempat jiwa-jiwa terjebak di antara kehidupan dan kematian.

Kemudian, ia melihatnya.

Di bawah, di lobi utama, ia melihat para peserta pelatihan. Nita, Bima, panitia, semuanya bergerak, berbicara, tertawa. Mereka melanjutkan pelatihan seolah tidak terjadi apa-apa. Seolah Ratna tidak pernah ada. Mereka berjalan menembusnya, tidak melihatnya, tidak merasakannya. Ratna berteriak, memanggil nama mereka, namun suaranya tidak terdengar. Ia berusaha menyentuh mereka, namun tangannya hanya menembus tubuh mereka.

Ia adalah hantu. Sama seperti Sari.

Ratna kembali ke lantai dua, ke kamar 203. Pintu kamar itu terbuka. Di dalam, ia melihat ranjangnya, meja belajarnya, semua barang-barangnya masih ada. Namun, di ranjang sebelah kiri, ranjang Sari, ada seseorang yang terbaring. Seorang wanita muda, memunggungi pintu, tubuhnya terlihat lemas dalam tidur. Wanita itu adalah dirinya, Ratna yang lama, yang belum ditarik ke dimensi ini.

Dan di kursi pojok kamar, di tempat Sari selalu duduk, kini ada sosok lain. Sosok yang menyerupai dirinya. Sari yang lama, dengan mata kosongnya, menatap ke arah ranjang. Senyum tipis terukir di wajahnya.

Ratna kini mengerti. Sari tidak ingin sendirian. Sari ingin seorang ibu. Dan Ratna telah menjadi ibu barunya. Atau lebih tepatnya, Ratna telah menjadi Sari yang baru. Ia kini adalah teman sekamar yang menanti seseorang, menunggu sebuah kedatangan.

Perlahan, Ratna merasakan perubahan dalam dirinya. Bukan hanya fisiknya yang menjadi bayangan, namun juga jiwanya. Rasa rindu yang dulu ia rasakan saat Sari bernyanyi, kini menjadi kerinduan miliknya sendiri. Kerinduan yang tak terlukiskan pada seorang ‘ibu’. Ia merasakan dorongan untuk duduk di kursi pojok kamar, menatap ke luar jendela, menunggu.

Ia tahu, siklus ini akan terus berulang. Seperti Sari yang menunggunya, kini ia yang akan menunggu. Akan ada peserta baru, seorang wanita muda yang lelah, yang akan ditempatkan di kamar 203. Dan ia, Ratna yang sekarang adalah Sari, akan menyambutnya. Ia akan bernyanyi untuknya. Ia akan menghantuinya. Ia akan menariknya ke dalam alam tanpa pintu ini.

Mungkin, seiring waktu, ia akan melupakan siapa dirinya sebenarnya. Ia akan melupakan nama Ratna, melupakan dunia yang pernah ia tinggalkan. Ia hanya akan menjadi entitas yang menunggu. Menunggu seseorang yang bisa ia panggil “ibu”.

Suara langkah kaki samar-samar terdengar di koridor. Lalu, suara pintu kamar 203 yang berderit. Seorang wanita muda yang lelah, menyeret koper, masuk ke dalam kamar. Matanya memancarkan kebingungan.

Ratna yang kini adalah Sari, merasakan senyum tipis terukir di wajah bayangannya. Ia tidak lagi merasakan ketakutan, hanya sebuah ketenangan yang dingin, sebuah penerimaan akan takdirnya yang baru. Ia sudah tidak sendiri.

Ia menoleh ke arah wanita muda itu, bersiap untuk mengulurkan tangannya yang transparan. Sebuah bisikan keluar dari bibirnya yang tak terlihat, sebuah bisikan yang hanya bisa didengar oleh yang terpilih.

“Halo…”

Dan kemudian, melodi yang dingin dan pilu itu mulai mengalun di alam tanpa pintu, sebuah nyanyian tentang kerinduan abadi.

“Sudah 50 tahun… kini kau temani aku. Kini giliranmu menunggu.”



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)