Masukan nama pengguna
Peringatan yang Diabaikan
Mentari pagi menyelinap malu-malu di antara celah gorden, membangunkan Raka dari tidurnya yang singkat. Semangat membara memenuhi dadanya. Hari ini adalah hari besar. Hari ketika timnya akan menembus tabir misteri Hutan Mati, sebuah nama yang diucapkan dengan nada bergetar oleh penduduk lokal.
Timnya, ia yakin, adalah yang terbaik. Ada Dinda, seorang botanis muda dengan mata setajam elang dalam mengidentifikasi flora langka, kecintaannya pada alam seimbang dengan naluri ilmiah yang kuat. Lalu Ferry, pakar satwa liar yang bisa membaca jejak dan perilaku hewan seolah-olah mereka berkomunikasi langsung dengannya; pria yang selalu tenang dan logis, kebalikan dari Kevin. Kevin, si antropolog flamboyan dengan selera humor yang terkadang garing, namun otaknya encer dalam menganalisis kebudayaan dan mitos. Dan terakhir, Lila, sang dokumenter, gadis pendiam yang matanya selalu siap menangkap setiap momen dengan kameranya, merekam fakta dan emosi tanpa terlewat. Raka sendiri, sang pemimpin ekspedisi, adalah seorang geolog berpengalaman dengan reputasi tak pernah menyerah pada kesulitan, bahkan jika itu berarti mengabaikan takhayul.
Mereka berkumpul di balai desa terpencil di kaki pegunungan, tempat ekspedisi terakhir mereka akan dimulai. Udara dingin pegunungan menyengat kulit, tapi Raka merasakan adrenalin mengalir deras. Peralatan sudah siap, ransel menggelembung berisi perlengkapan canggih, dan semangat tim meluap.
Namun, semangat itu sedikit meredup ketika Kepala Desa, Pak Mardi, mendekat dengan wajah keruh. Kerutan di dahinya semakin dalam saat ia menatap Raka. “Den Raka, sudah saya bilang berkali-kali. Hutan itu... bukan sembarang hutan. Sudah banyak yang masuk, tidak pernah kembali. Atau kalau kembali, pikiran mereka tidak utuh lagi.” Suara Pak Mardi terdengar berat, dipenuhi kekhawatiran yang tulus.
Beberapa warga lain mengangguk, mata mereka memancarkan ketakutan yang mendalam. Seorang wanita tua dengan rambut memutih, Mbah Minah, mendekat, tangannya yang kurus memegang lengan Dinda. “Nak, jangan masuk. Hutan itu lapar. Ia ingin mangsa baru. Kamu akan jadi bagian dari mereka yang terikat di sana.” Matanya menerawang, seolah melihat sesuatu yang tak kasat mata.
Dinda, yang biasanya tenang, sedikit bergidik. Namun, Raka dengan cepat menepis kekhawatiran itu. “Pak Mardi, Mbah Minah, terima kasih atas perhatiannya. Tapi kami ini peneliti. Tugas kami adalah membuktikan atau menyangkal mitos dengan data. Semua yang kalian ceritakan itu hanya takhayul, cerita lama untuk menakut-nakuti anak kecil.” Raka mencoba terdengar meyakinkan, meski di sudut hatinya ada sedikit keraguan yang berbisik.
Kevin terkekeh. “Betul, Pak. Mungkin itu hanya kasus hilang biasa yang dibumbui cerita seram. Kami punya GPS, alat komunikasi satelit, dan bekal cukup. Kami sudah terlatih menghadapi kondisi ekstrem.” Dia mencoba meredakan ketegangan dengan humornya, tapi raut wajah warga tidak berubah.
Ferry, yang sedari tadi hanya mengamati, akhirnya angkat bicara. “Kami akan sangat berhati-hati. Kami akan selalu berada dalam jangkauan satu sama lain dan mematuhi prosedur keamanan.” Nada bicaranya lugas, mencoba meyakinkan dengan logika.
Lila hanya diam, kameranya sudah siap di tangannya. Ia merekam setiap ekspresi ketakutan warga, setiap peringatan yang dilontarkan. Ia tahu, meskipun Raka bersikeras, ada sesuatu yang berbeda dengan hutan ini. Intuisi seorang dokumenter jarang meleset.
Peringatan demi peringatan mereka abaikan. Raka yakin hutan itu menyimpan kekayaan alam yang belum terjamah, mungkin spesies baru, atau bahkan formasi geologi unik. Keingintahuan ilmiah jauh lebih kuat daripada cerita-cerita yang dianggapnya bualan belaka. Mereka pamit kepada warga desa yang masih menatap mereka dengan tatapan iba.
Mobil jeep yang mereka sewa melaju perlahan menyusuri jalan setapak yang semakin sempit, menuju batas Hutan Mati. Pohon-pohon raksasa dengan dahan-dahan melengkung seolah membentuk gerbang, menyambut mereka dengan keheningan yang mencekam. Udara di sekitar hutan terasa lebih dingin, lebih lembap, seolah hutan itu sendiri bernapas.
Raka tersenyum tipis. Petualangan baru dimulai.
Memasuki Batas Terlarang
Matahari sudah sepenggalah ketika mobil jeep mereka berhenti di tepi Hutan Mati. Hutan itu menjulang tinggi, pohon-pohonnya begitu rapat hingga cahaya matahari pun sulit menembus. Suasana seketika berubah. Tidak ada lagi suara riuhnya desa, hanya desiran angin yang berbisik di antara dedaunan dan suara serangga hutan yang samar. Aroma tanah basah dan dedaunan busuk menyeruak, khas hutan tropis.
Mereka menurunkan perlengkapan dari mobil, mengecek ulang semuanya. Raka menarik napas dalam-dalam, merasakan sensasi segar namun juga sedikit mencekam dari udara hutan. “Oke tim, kita sudah sampai. Ingat prosedur, jaga jarak, dan jangan sampai ada yang terpisah. Hari ini kita akan fokus membuat basecamp dan menandai jalur awal.”
Mereka mulai memanggul ransel masing-masing. Lila menyalakan kameranya, merekam momen ketika mereka melangkah masuk. Jejak kaki mereka langsung tenggelam di lapisan daun kering yang tebal. Hutan terasa lebih gelap dari yang terlihat dari luar. Pohon-pohon purba dengan akar-akar yang menjalar di permukaan tanah menciptakan labirin alami.
Ferry segera mengeluarkan alat GPS dan mulai menandai titik-titik penting, memastikan mereka bisa melacak rute masuk dan keluar. Dinda dengan antusias menunduk, mengamati setiap jenis lumut dan jamur yang tumbuh di batang pohon. Kevin sesekali mengeluarkan ponselnya, mengambil foto formasi pohon yang unik, terkadang bergumam tentang mitologi kuno yang terkait dengan hutan angker. Raka memimpin di depan, matanya tajam mengamati setiap detail medan.
Mereka bergerak sekitar dua kilometer ke dalam hutan, memilih sebuah area terbuka di dekat aliran sungai kecil untuk mendirikan basecamp. Suara gemericik air memberikan sedikit ketenangan di tengah keheningan hutan yang memekakkan. Setelah tenda-tenda berdiri kokoh dan logistik tertata rapi, mereka mulai bekerja.
Dinda menemukan beberapa spesies anggrek yang belum teridentifikasi, warnanya memukau dengan kelopak yang seolah bercahaya dalam remang-remang hutan. Ferry berhasil merekam suara-suara burung nokturnal yang aneh, berbeda dari yang pernah ia dengar. Raka mencatat karakteristik geologi tanah yang unik, menunjukkan adanya kandungan mineral tertentu.
Kevin, yang bertugas memetakan area sekitar basecamp untuk mencari potensi artefak atau situs budaya, berjalan sedikit lebih jauh ke arah timur. Dia sibuk mencatat detail vegetasi dan formasi batu ketika tiba-tiba, sebuah bisikan lirih menyentuh telinganya.
“Kevin...”
Suara itu terdengar samar, seperti embusan angin, namun jelas memanggil namanya. Kevin menghentikan langkah, menoleh ke sekeliling. Tidak ada siapa-siapa. Hanya pohon-pohon yang berdiri tegak dan semak belukar yang rimbun. Ia menggelengkan kepala, menganggapnya hanya halusinasi akibat kelelahan.
Ia kembali berjalan, tapi bisikan itu datang lagi, lebih jelas kali ini. “Kevin... ikutlah...”
Kali ini, Kevin yakin itu bukan angin. Suara itu terasa dingin, namun anehnya, ada daya tarik di dalamnya. Ia mencoba melacak sumber suara, melangkah perlahan ke arah semak-semak lebat. Hatinya berdebar, bukan karena takut, melainkan penasaran. Sebagai seorang antropolog, ia selalu tertarik pada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan secara logis.
“Halo? Ada orang di sana?” Kevin memanggil, suaranya sedikit gemetar.
Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang kembali pekat. Kevin menunggu sebentar, lalu memutuskan untuk kembali ke basecamp. Mungkin ia hanya terlalu terbawa suasana cerita-cerita seram yang ia dengar dari warga desa.
Malam harinya, mereka berkumpul di sekitar api unggun kecil yang mereka nyalakan. Lila memutar rekaman video hari itu. Suasana akrab terjalin, tawa sesekali pecah. Kevin mencoba menceritakan bisikan yang ia dengar, tapi Raka menertawakannya.
“Itu hanya imajinasimu, Kev. Hutan ini mungkin punya suaranya sendiri, tapi itu bukan berarti dia memanggil namamu,” kata Raka sambil tersenyum.
Ferry mengangguk. “Mungkin itu hanya gema suara hewan atau pantulan suara kita sendiri.”
Dinda menambahkan, “Atau mungkin kamu kurang tidur, Kevin. Besok kita mulai kerja yang lebih serius.”
Kevin hanya mengedikkan bahu, ikut tertawa. Namun, di dalam hatinya, bisikan itu masih terngiang. Ia tahu, itu bukan sekadar angin atau imajinasi. Sesuatu di hutan ini telah mencoba berkomunikasi dengannya. Dan entah mengapa, meskipun mengerikan, ia merasakan dorongan kuat untuk mencari tahu apa itu.
Malam itu, Kevin tidur dengan gelisah, bisikan-bisikan samar seolah mengelilingi tendanya, memanggil namanya tanpa henti.
Gangguan Pertama
Malam kedua di Hutan Mati, ketenangan mulai terkoyak.
Dinda terbangun di tengah malam. Entah mengapa, ia merasa dingin menusuk tulang, padahal ia sudah terbungkus rapat dalam kantung tidur. Matanya perlahan terbuka, dan saat itulah ia melihatnya.
Sebuah sosok berdiri di luar tendanya, tepat di balik kelambu. Siluetnya persis seperti dirinya. Rambut panjang yang terurai, bentuk tubuh yang ramping, bahkan bayangan tangannya yang seolah melambai tipis. Jantung Dinda berdegup kencang. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Matanya membelalak, mencoba memastikan apa yang ia lihat.
Sosok itu tidak bergerak, hanya berdiri mematung di sana, seolah mengawasinya. Wajahnya gelap, tak terlihat jelas, namun Dinda bisa merasakan tatapan kosong yang mengarah padanya. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Ini bukan mimpi. Ini nyata.
Ia mencoba menggapai senter di sampingnya, tangannya gemetar. Namun, begitu senternya menyala, sosok itu lenyap begitu saja, seolah menguap ditelan kegelapan. Dinda terkesiap, napasnya tersengal. Ia menyalakan senter, menyapu sekeliling tenda, tapi tidak ada apa-apa. Hanya suara jangkrik dan desiran angin yang kembali menyelimuti.
Dinda tidak bisa tidur lagi. Ia meringkuk, memeluk lutut, dan menunggu pagi datang dengan ketakutan yang tak bisa dijelaskan.
Keesokan harinya, suasana di basecamp terasa lebih tegang. Kevin terlihat lesu, kantung mata menghitam, dan ia terus menggosok telinganya, seolah masih mendengar sesuatu. “Bisikan itu... tidak berhenti semalaman,” gumamnya saat sarapan. “Rasanya seperti ada yang berbicara persis di samping telingaku, padahal tidak ada siapa-siapa.”
Ferry, yang sedang memeriksa kamera trap yang ia pasang semalam, kembali dengan wajah pucat. “Kalian harus lihat ini.”
Ia menunjukkan jejak kaki di lumpur dekat sungai. Jejak itu aneh, bentuknya menyerupai telapak kaki manusia telanjang, namun ukurannya jauh lebih besar, dan terlihat jelas ada semacam lendir yang menempel di sekitar jejak. Jejak itu mengarah ke sungai dan menghilang di sana, seolah pemiliknya masuk ke dalam air dan tidak keluar lagi.
“Ini... bukan jejak binatang,” kata Ferry, suaranya tercekat. “Dan bukan jejak kita. Tidak ada seorang pun di antara kita yang pergi ke sungai tanpa alas kaki dan berlumuran lumpur seperti ini.”
Dinda menelan ludah, teringat sosok menyerupai dirinya semalam. “Aku juga... aku melihat sesuatu semalam. Sosok di luar tendaku. Mirip diriku sendiri, tapi... kosong.”
Keheningan menyelimuti basecamp. Raka, yang biasanya skeptis, terlihat sedikit goyah. Ia mencoba mencari penjelasan logis. “Mungkin ada penduduk lokal yang mengintai kita? Atau hewan besar yang jejaknya mirip kaki manusia?”
Kevin menggeleng. “Tidak. Ini lebih dari itu, Raka. Bisikan yang kudengar... bukan suara manusia. Dan Dinda melihat sosok yang mirip dengannya. Bagaimana mungkin?”
Ketegangan mulai memuncak. Kelelahan dan ketakutan membuat emosi mereka mudah terpancing. Mereka mulai saling menyalahkan, mempertanyakan keputusan Raka untuk tetap berada di hutan.
“Ini semua karena kau, Raka! Aku sudah bilang dari awal, hutan ini tidak normal!” Dinda membentak, suaranya pecah.
Raka menatapnya tajam. “Kita tidak bisa menyerah begitu saja, Dinda! Kita baru dua hari di sini. Kita harus tetap profesional.”
Lila, yang sedari tadi merekam semua perdebatan, akhirnya bersuara. “Ada yang tidak beres. Alat komunikasi kita tidak berfungsi sama sekali. Kita tidak bisa menghubungi siapa pun di luar.” Ia menunjukkan telepon satelitnya yang mati total.
Itu adalah pukulan telak. Mereka terisolasi. Ketakutan yang samar-samar kini berubah menjadi rasa terperangkap. Suara-suara lirih, yang awalnya hanya didengar Kevin, kini mulai terdengar oleh yang lain. Seperti bisikan-bisikan tak jelas yang melayang di udara, terkadang seperti rintihan, terkadang seperti tawa cekikikan. Hutan yang semula sunyi, kini terasa hidup dengan suara-suara yang tak dikenal.
Malam itu, tidak ada api unggun. Mereka memilih tidur lebih awal, mencoba mencari perlindungan dalam tenda masing-masing, namun tidur tak kunjung datang. Setiap desiran angin, setiap suara ranting patah, membuat jantung mereka berdebar kencang. Hutan itu seolah mengawasi mereka, menunggu waktu yang tepat untuk menyerang.
Tertarik oleh Lumpur
Malam setelah gangguan pertama terasa sangat panjang dan mencekam. Pagi datang, namun tidak membawa serta kelegaan. Suasana di antara mereka semakin keruh. Rasa frustrasi dan ketakutan terpancar dari setiap wajah.
Kevin, yang paling terpukul oleh bisikan-bisikan tak henti, terlihat paling parah. Matanya merah dan cekung, tubuhnya menggigil sesekali. Ia terus mengusap telinganya, seolah mencoba mengusir sesuatu yang tak terlihat. Ia makan dengan enggan, pikirannya melayang entah kemana.
“Kev, kau baik-baik saja?” tanya Dinda, mencoba mendekat.
Kevin hanya menggumam tidak jelas, matanya menatap kosong ke arah hutan. “Mereka memanggilku… mereka bilang ada sesuatu untukku di danau…”
Raka, yang juga mulai merasakan tekanan, mencoba menenangkannya. “Kev, itu hanya halusinasi. Kamu butuh istirahat. Kita akan kemas-kemas dan mencoba mencari jalur keluar hari ini.” Keputusan itu dibuat mendadak, karena Raka akhirnya menyadari bahwa ini bukan lagi sekadar penelitian. Ini adalah perjuangan untuk bertahan hidup.
Mereka mulai mengemasi barang-barang, namun Kevin tiba-tiba bangkit. “Tidak! Aku harus pergi! Mereka menunggu!”
Ia berlari ke arah hutan tanpa tujuan, ke arah danau berlumpur yang ia sebutkan. Raka, Ferry, dan Dinda berteriak memanggilnya. Lila dengan sigap mengangkat kameranya, merekam Kevin yang berlari liar.
Rekaman yang dihasilkan Lila sungguh mengerikan. Kevin berlari dengan tatapan kosong, langkahnya gontai, seolah bukan dirinya sendiri yang mengendalikan tubuhnya. Ia tidak menoleh sedikit pun, terus melaju ke arah danau yang mereka temukan kemarin. Danau itu tampak keruh dan berlumpur, dikelilingi rawa-rawa dangkal.
Tiba-tiba, Kevin berhenti di tepi danau. Wajahnya menengadah ke langit yang tertutup kanopi pohon, seperti sedang mendengarkan perintah dari entitas tak kasat mata. Lalu, perlahan, ia melangkah maju, masuk ke dalam danau berlumpur itu. Lumpur kental setinggi paha segera menyelimuti kakinya.
“Kevin, hentikan!” teriak Raka yang berlari mendekat.
Namun, Kevin tidak mendengar. Ia terus berjalan lebih dalam, hingga lumpur mencapai dadanya. Lalu, dalam sekejap mata, sesuatu yang tak terlihat menariknya ke bawah. Kamera Lila hanya menangkap riak besar di permukaan lumpur dan hilangnya Kevin tanpa jejak, seolah ditelan bumi. Tidak ada teriakan, tidak ada perlawanan. Hanya keheningan yang tersisa.
Lila menjatuhkan kameranya, tubuhnya gemetar hebat. “Dia… dia ditelan… dia ditarik ke dalam!”
Raka dan Ferry membeku di tempat, mematung dengan kengerian yang teramat sangat. Mereka sudah cukup dekat untuk melihat Kevin, tapi tidak cukup cepat untuk menyelamatkannya. Kekuatan yang menarik Kevin begitu mendadak, begitu cepat, tak memberi kesempatan sedikit pun.
Panik melanda basecamp. Dinda menangis histeris. Ferry mencoba berteriak, memanggil nama Kevin, tapi hanya gema suaranya yang kembali. Hutan seolah menertawakan mereka.
“Kita harus pergi dari sini! Sekarang juga!” teriak Raka, suara putus asa.
Mereka mencoba menghubungi dunia luar lagi, namun alat komunikasi satelit tetap mati. GPS juga tidak berfungsi, layarnya hanya menampilkan data yang kacau. Mereka terputus dari peradaban, terperangkap dalam neraka hijau ini.
Malam itu, tidak ada yang bisa tidur. Mereka duduk berdekatan, mengumpulkan sisa-sisa keberanian. Ferry, yang biasanya paling tenang, menceritakan mimpinya.
“Aku... aku bermimpi tubuhku ditarik oleh makhluk berlendir... seperti tangan-tangan yang tak terlihat, menyeretku ke dalam lumpur...” Suaranya bergetar, matanya nanar. Mimpi itu kini terasa seperti ramalan, atau mungkin, peringatan.
Ketiga orang yang tersisa saling pandang, rasa putus asa dan ketakutan membanjiri mereka. Hutan ini bukan hanya sekadar tempat yang berbahaya, tapi sebuah entitas hidup yang kejam, yang satu per satu mulai mengklaim mereka.
Ritual Arwah Terikat
Dengan hilangnya Kevin, keputusasaan mendera mereka. Raka, Dinda, Ferry, dan Lila, hanya empat orang yang tersisa, terjebak dalam lingkaran ketakutan dan isolasi. Mereka tahu mereka harus keluar, tapi jalan keluar terasa semakin tidak jelas.
Lila, yang merasa terpukul atas hilangnya Kevin yang direkamnya sendiri, mencoba mencari penjelasan melalui kameranya. Ia melihat-lihat rekaman-rekaman lama, berharap menemukan petunjuk. Saat itulah matanya menangkap sesuatu yang aneh.
Di beberapa rekaman Kevin saat ia memetakan area sekitar basecamp, Lila melihatnya mengamati sebuah pohon tua yang sangat besar. Pada batang pohon itu, terukir simbol-simbol aneh. Simbol itu rumit, abstrak, dan sama sekali tidak familiar bagi Lila. Namun, naluri dokumenternya mengatakan bahwa itu penting.
Ia menunjukkan rekaman itu kepada Raka dan Ferry. Raka, yang tidak punya latar belakang antropologi, tidak mengerti. Namun Ferry, yang cukup banyak membaca tentang budaya lokal, merasa ada yang tidak beres. “Ini... seperti simbol kuno yang sering dikaitkan dengan ritual pemanggilan roh atau persembahan,” katanya, alisnya berkerut.
Dengan sisa-sisa tenaga dan keberanian, mereka bertiga memutuskan untuk pergi ke pohon itu. Raka membawa parang untuk membuka jalan, Ferry membawa senter, dan Lila tak henti-hentinya merekam.
Pohon itu lebih besar dari yang mereka bayangkan, akarnya menjalar seperti tentakel raksasa. Simbol-simbol yang terukir di batangnya tampak lebih jelas. Kevin pasti melihat ini dan mencoba memecahkannya.
Tiba-tiba, Dinda, yang selama ini hanya diam dan murung, mulai berjalan mendekati pohon itu. Matanya kosong, tidak fokus, seolah kerasukan. Ia menyentuh ukiran itu dengan jemarinya, lalu mulai menggumamkan sesuatu dalam bahasa yang sama sekali tidak mereka kenal. Bahasa itu terdengar kuno, berat, dan mengerikan.
“Arwah-arwah terikat… penjaga hutan… korban…” Suara Dinda bergetar, namun bukan suaranya yang keluar. Ada nada lain, lebih dalam, lebih berat, menyatu dengan suaranya. “Mereka menunggu… menunggu yang baru… Kevin… kini… bersama mereka…”
Raka, Ferry, dan Lila membeku, terkejut melihat Dinda. Mereka mencoba memanggilnya, mengguncang tubuhnya, tapi Dinda tidak merespons. Ia terus menggumamkan kata-kata aneh, jari-jarinya menelusuri ukiran-ukiran itu.
“Dinda! Ada apa denganmu? Sadarlah!” teriak Raka, mencoba menenangkannya.
Tiba-tiba, tubuh Dinda kejang. Matanya membelalak, napasnya tersengal, lalu ia jatuh pingsan. Raka dan Ferry segera memapahnya kembali ke basecamp.
Setelah Dinda sadar, ia tidak mengingat apa-apa. Ia hanya merasa sangat lelah dan kepala pusing. Namun, kata-kata yang diucapkannya saat kerasukan itu, kata-kata yang diucapkan oleh "sesuatu" melalui dirinya, melekat dalam ingatan Raka, Ferry, dan Lila.
Mereka menyadari kebenaran yang mengerikan. Hutan ini bukan sekadar tempat yang dihuni makhluk gaib, tapi hutan ini sendiri adalah sebuah entitas, sebuah penjara bagi arwah-arwah yang terikat. Dulu, tempat ini adalah lokasi ritual pemurnian jiwa. Siapa pun yang melakukan pelanggaran berat, yang dianggap mencemari kesucian alam, akan dihukum dengan cara yang mengerikan: mereka akan menjadi bagian dari “penjaga hutan”, arwah-arwah yang terikat dalam lumpur, mengawasi dan menarik mangsa baru. Kevin telah menjadi salah satunya. Dan mereka, adalah mangsa berikutnya.
Rasa takut yang sebelumnya menyelimuti kini berubah menjadi teror yang mencekam. Mereka tidak hanya melawan hutan itu sendiri, tapi juga arwah-arwah yang bergentayangan, haus akan kebersamaan dalam penderitaan abadi.
Satu Per Satu Tenggelam
Rasa putus asa semakin mendalam setelah insiden Dinda. Mereka tahu, mereka tidak bisa lagi tinggal di basecamp. Mereka harus pergi, sekarang. Tujuan mereka hanya satu: keluar dari hutan terkutuk ini, apa pun caranya.
Raka memimpin, membawa kompas tua yang untungnya masih berfungsi, meskipun peta GPS mereka sudah tidak berguna. Dinda dan Lila mengikuti di belakang, sementara Ferry mengambil posisi di paling belakang, mengawasi. Setiap langkah terasa berat, setiap suara hutan membuat mereka tersentak.
Mereka memutuskan untuk mengikuti aliran sungai, berharap sungai itu akan membawa mereka keluar dari hutan. Namun, perjalanan terasa sangat lambat. Vegetasi semakin rapat, dan medan semakin sulit. Lumpur lengket seringkali memperlambat langkah mereka.
Saat mereka melewati area rawa yang cukup luas, Ferry, yang berjalan di paling belakang, tiba-tiba terpeleset. Kaki kanannya terperosok ke dalam lumpur pekat. Ia mencoba menariknya, tapi lumpur itu seperti memegang erat.
“Tolong! Aku terjebak!” teriak Ferry, suaranya panik.
Raka dan Dinda segera berbalik, berusaha membantunya. Mereka mencoba mengulurkan tangan, meraih tangan Ferry, tapi lumpur itu terlalu kuat. Perlahan tapi pasti, Ferry mulai tertarik ke bawah, lebih dalam lagi.
“Ada yang menarikku!” teriak Ferry, matanya membelalak ketakutan.
Dari dalam lumpur, munculah tangan-tangan berlendir. Bukan tangan manusia yang jelas, tapi gumpalan-gumpalan lumpur yang membentuk jari-jari dan telapak tangan, menyeret Ferry dengan kekuatan yang tak wajar. Wajah Ferry memucat, napasnya tersengal. Ia berjuang sekuat tenaga, tapi lumpur itu memenangkannya.
Dinda, dengan air mata berlinang, mencoba meraihnya lagi. “Ferry! Jangan! Aku akan menolongmu!”
Namun, saat Dinda mengulurkan tangannya, lebih banyak tangan-tangan lumpur muncul dari dalam rawa, menyambar lengan Dinda. Dinda berteriak, merasakan dingin dan kotornya lumpur itu mencengkeram kulitnya. Ia ditarik dengan paksa, perlahan namun pasti, ke arah Ferry.
Raka segera menarik Dinda, sekuat tenaga. Ia berhasil melepaskan cengkeraman tangan-tangan lumpur itu dari lengan Dinda, tapi Ferry...
Ferry sudah setengah tenggelam. Ia menatap Raka dan Dinda dengan tatapan kosong, putus asa, seolah sudah menyerah. “Lari… lari kalian…” Suaranya menghilang, ditelan oleh lumpur yang kini menutupi kepalanya. Hanya riak-riak kecil yang tersisa di permukaan rawa.
Dinda menangis histeris. Raka menarik Dinda dengan paksa. “Kita tidak bisa menolongnya, Dinda! Kita harus lari!”
Mereka berdua lari, panik. Lila yang sedari tadi merekam, menjatuhkan kameranya dan ikut lari di belakang Raka dan Dinda. Namun, hutan seolah tidak ingin melepaskan mereka.
Jalan yang mereka lalui tiba-tiba terasa asing. Pohon-pohon seolah bergerak, membentuk jalan memutar yang tak ada ujungnya. Arah kompas Raka berputar-putar, tidak menunjukkan arah yang konsisten. Setiap kali mereka merasa sudah menemukan jalan yang benar, mereka malah kembali ke titik yang sama.
Lalu, kegelapan mulai turun. Bukan kegelapan malam, melainkan kegelapan yang aneh, pekat, dan mendadak. Meskipun belum malam, hutan tiba-tiba diselimuti bayangan tebal, membuat mereka hampir tidak bisa melihat apa-apa. Udara terasa dingin menusuk tulang, dan suara-suara bisikan serta rintihan kembali terdengar, kali ini jauh lebih jelas, seolah mereka dikelilingi oleh ribuan arwah.
Dinda yang sudah sangat trauma, tersandung dan jatuh. Raka berusaha membantunya, sementara Lila di belakang mereka berteriak ketakutan. Mereka tahu, mereka sedang dipermainkan. Hutan ini adalah makhluk hidup yang sadar, dan ia menikmati setiap detik ketakutan mereka.
Raka dan Lila: Abadi di Hutan
Raka dan Lila, hanya mereka berdua yang tersisa. Kelelahan fisik dan mental mencapai puncaknya. Mereka berlari tanpa arah, menembus kegelapan yang semakin pekat, mengabaikan luka lecet dan lelah yang mendera. Suara-suara teman-teman mereka yang kini telah menjadi bagian dari hutan terus menghantui, menggema di setiap sudut pikiran.
Tiba-tiba, di tengah kegelapan, Raka melihat mereka.
Sosok-sosok itu berjalan perlahan ke arahnya, muncul dari balik pepohonan yang gelap. Mereka adalah Dinda, Ferry, dan Kevin. Tubuh mereka berlumuran lumpur, pakaian mereka robek dan kotor. Mata mereka kosong, tanpa cahaya, namun bibir mereka bergerak, memanggil nama Raka.
“Raka… bergabunglah dengan kami…”
“Jangan takut… di sini… semua penderitaan berakhir…”
“Kami menunggumu…”
Raka terhuyung mundur, jantungnya berdebar kencang. Itu mereka, namun bukan mereka. Itu adalah jasad-jasad kosong, dikendalikan oleh entitas hutan. Ia tahu itu hanya ilusi, jebakan mental dari hutan, tapi kengerian itu terasa sangat nyata.
“Mereka bukan mereka, Raka! Itu hanya ilusi! Jangan lihat!” teriak Lila, berusaha menarik Raka menjauh. Lila, meskipun ketakutan, masih berusaha mempertahankan kewarasannya, mungkin karena ia masih memegang kameranya, naluri dokumenternya tak pernah padam.
Lila memutuskan untuk memutar ulang rekaman drone yang mereka ambil di awal ekspedisi, berharap bisa menemukan celah, atau setidaknya mengalihkan pikirannya. Namun, apa yang ia lihat di layar monitor kecil itu membuatnya membeku.
Rekaman itu menunjukkan pemandangan hutan dari atas. Dan di salah satu sudut rekaman, samar-samar terlihat dua sosok manusia yang sedang berjalan di dalam hutan. Sosok itu adalah dirinya dan Raka.
Lila memundurkan rekaman itu, lalu memajukannya. Dan lagi, ia melihat mereka berdua, berjalan di dalam hutan, di hari pertama mereka tiba. Tidak, ini mustahil. Rekaman ini baru diambil pagi tadi. Bagaimana mungkin mereka sudah ada di dalam hutan, di hari pertama, bahkan sebelum mereka benar-benar masuk?
“Raka… lihat ini…” Lila menunjuk layar dengan tangan gemetar.
Raka mendekat, dan matanya membelalak. Ia melihat dirinya sendiri, berjalan di samping Lila, di dalam rekaman drone yang baru diambil. Wajahnya di rekaman itu tampak kusam, mata kosong, dan kulitnya pucat, sama seperti “arwah” teman-temannya yang tadi ia lihat.
Sebuah kenyataan pahit menghantam mereka: mereka sudah terjebak di hutan ini jauh lebih lama dari yang mereka sadari. Atau mungkin, hutan ini telah menjebak mereka sebelum mereka melangkah masuk. Mereka sudah menjadi bagian dari "penjaga hutan" itu, meskipun mereka masih hidup dan bernapas. Ilusi ini, semua yang mereka alami, adalah bagian dari proses di mana hutan itu mengklaim mereka.
Mereka telah berjalan dalam lingkaran setan, berulang kali melewati jalur yang sama, tanpa menyadarinya. Hutan itu mempermainkan pikiran mereka, memanipulasi persepsi mereka, menarik mereka semakin dalam ke dalam kegilaan.
Rasa dingin yang luar biasa menjalar dari kaki mereka. Raka dan Lila saling berpegangan tangan, mencoba mencari kekuatan di tengah teror yang melumpuhkan. Mereka menunduk, dan melihat.
Lumpur. Lumpur hitam pekat, perlahan merayap naik dari bawah kaki mereka, memeluk pergelangan kaki, lalu betis, lalu lutut. Ini adalah lumpur yang sama yang menelan Kevin dan Ferry, yang berusaha menyeret Dinda.
Mereka berteriak, mencoba melepaskan diri, tapi lumpur itu begitu kental, begitu kuat. Mereka menarik, tapi tubuh mereka seperti disedot ke bawah. Aroma busuk dan anyir menyeruak, memenuhi hidung mereka.
“Tidak… tidak…” bisik Raka, matanya menatap langit-langit hutan yang gelap. Ia melihat wajah teman-temannya, wajah Kevin, Dinda, dan Ferry, tersenyum samar di antara dedaunan. Wajah mereka yang berlumuran lumpur, kini terlihat bahagia.
Lila memejamkan mata, air mata mengalir membasahi pipinya. Ia merasakan lumpur itu mencapai dadanya, lalu lehernya. Nafasnya tercekat.
Mereka berdua akhirnya tenggelam, ditarik oleh kekuatan tak terlihat, menyatu dengan lumpur yang dingin dan pekat. Suara teriakan mereka menghilang, digantikan oleh keheningan yang mengerikan.
Kini, arwah Raka dan Lila bergabung dengan yang lain. Mata mereka, yang sebelumnya penuh dengan ketakutan, kini kosong, namun menyimpan rasa puas yang aneh. Mereka berdiri di antara pepohonan, berlumuran lumpur, menatap kosong ke arah jalan masuk hutan. Arwah-arwah itu, lima orang peneliti yang dulu penuh semangat dan rasa ingin tahu, kini menjadi bagian dari kutukan hutan. Mereka ikut menunggu, dengan sabar, mangsa-mangsa berikutnya yang berani memasuki Hutan Tanpa Pulang.
Suara dari Dalam Hutan
Pagi harinya, mentari bersinar cerah di atas Desa Rimba. Namun, di balai desa, suasana tegang. Rekan-rekan peneliti dari universitas Raka, bersama dengan tim SAR dan beberapa warga lokal, berkumpul. Mereka datang untuk mencari kelima peneliti yang sudah berhari-hari tidak memberikan kabar.
“Kita harus segera masuk! Mereka mungkin dalam bahaya!” seru Profesor Anton, atasan Raka, dengan wajah cemas.
Pak Mardi, Kepala Desa, menggelengkan kepala perlahan. “Sudah saya bilang, Pak Profesor. Hutan itu tidak bisa dimasuki sembarangan. Ini bukan hanya masalah bahaya fisik.”
Tim SAR mencoba meyakinkan Pak Mardi bahwa mereka dilengkapi dengan peralatan canggih dan sudah terlatih. Namun, aura ketakutan dari warga desa begitu kuat, seolah mereka tahu apa yang akan mereka hadapi.
Mereka akhirnya memutuskan untuk melakukan pencarian di pinggir hutan, mendekati area basecamp yang seharusnya didirikan oleh Raka dan timnya. Mereka melangkah hati-hati, mengikuti jejak ban mobil jeep yang terhenti di tepi hutan.
Namun, tidak ada jejak kaki. Tidak ada tenda. Tidak ada peralatan. Hutan itu seolah menelan semuanya tanpa bekas. Mereka menyisir setiap sudut, memanggil nama Raka, Dinda, Ferry, Kevin, dan Lila, namun hanya keheningan yang menjawab.
Saat mereka hampir menyerah, sebuah suara samar terdengar dari dalam hutan yang gelap. Suara itu begitu lirih, nyaris tak terdengar, seperti bisikan angin. Namun, seiring waktu, suara itu semakin jelas, membuat bulu kuduk mereka merinding.
Terdengar lima suara samar, seperti gema dari jauh.
“Tolong… lepaskan aku…”
“Raka… Dinda… di mana kalian?”
“Aku takut… sangat takut…”
“Jangan… jangan tarik aku…!”
“Ferry… Kevin…”
Suara-suara itu sangat menyerupai suara kelima peneliti yang hilang. Nada keputusasaan, ketakutan, dan rintihan pilu. Mereka seolah berteriak minta tolong, memanggil nama satu sama lain, dan menjerit “lepaskan aku…!”
Tim SAR dan Profesor Anton terdiam, wajah mereka memucat. Mereka saling pandang, tidak percaya dengan apa yang mereka dengar. Suara itu bukan berasal dari satu arah, melainkan seperti mengelilingi mereka, datang dari kedalaman hutan yang gelap.
Pak Mardi menutup matanya, menghela napas berat. “Sudah kuduga… mereka sudah menjadi bagian dari hutan itu.”
Ketakutan mencekik mereka. Tidak ada yang berani melangkah lebih jauh. Suara-suara itu terus menggema, berulang-ulang, seolah arwah-arwah itu terjebak dalam siklus penderitaan abadi, selamanya memanggil-manggil.
Mendengar suara-suara itu, Profesor Anton akhirnya mengerti peringatan warga desa. Ini bukan sekadar kecelakaan atau hilang tersesat. Ada kekuatan lain yang bekerja di hutan ini. Sebuah kekuatan yang menelan, mengikat, dan menjadikan manusia sebagai bagian dari dirinya.
Tanpa berkata-kata lagi, tim SAR dan rekan-rekan peneliti memutuskan untuk mundur. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Hutan itu telah memenangkan pertempuran.
Mulai hari itu, masyarakat Desa Rimba membuat keputusan mutlak. Mereka menutup akses ke Hutan Mati selamanya. Papan peringatan besar dipasang di setiap jalur masuk, bertuliskan: ”DILARANG MASUK. HUTAN INI TIDAK AKAN MENGEMBALIKAN APA PUN YANG MASUK KE DALAMNYA. ABADI DI SANA.”
Suara-suara dari dalam hutan itu masih sering terdengar pada malam-malam tertentu, dibawa oleh angin, menyelinap ke telinga warga desa. Suara-suara itu menjadi pengingat mengerikan akan takhayul yang menjadi kenyataan, akan petualangan ilmiah yang berujung pada kutukan abadi. Hutan Tanpa Pulang, kini menjadi kuburan hidup bagi mereka yang berani menantangnya. Dan di dalam kegelapan yang abadi, arwah-arwah para peneliti itu terus menunggu, dengan mata kosong, menyambut kedatangan mangsa-mangsa baru yang tak tahu diri.