Masukan nama pengguna
Bab 1: Dokumen di Loteng Tua
Angin senja di bulan Juni terasa seperti bisikan kuno yang menyelinap masuk melalui celah jendela, membawa serta aroma lumut dan kayu lapuk. Di dalam, Raka berkutat dengan kotak-kotak berdebu di loteng rumah nenek buyutnya. Rumah itu, sebuah bangunan kolonial tua dengan atap limasan yang curam dan cat dinding yang mengelupas di sana-sini, telah kosong selama hampir dua dekade sejak kepergian nenek buyutnya. Kini, setelah sekian lama, giliran Raka yang mendapat tugas untuk membereskannya, menjualnya, dan mengakhiri warisan yang seolah membeku dalam waktu.
Raka, seorang desainer grafis lepas berusia dua puluh delapan tahun, merasa terjebak dalam rutinitas hidupnya sendiri. Proyek-proyek yang monoton, koneksi sosial yang dangkal, dan perasaan bahwa ia hanya berputar di tempat. Ada kerinduan yang samar dalam dirinya untuk sesuatu yang "lebih"—sebuah petualangan, sebuah makna, atau setidaknya, sebuah kejutan yang bisa mengguncang monotoninya. Ia tidak pernah menyangka bahwa kejutan itu akan datang dari tempat yang paling tak terduga: loteng yang gelap dan berhantu ini.
Keringat membasahi pelipis Raka saat ia menggeser sebuah lemari kayu jati yang berat. Di belakangnya, tersembunyi, ada sebuah peti kecil yang terbuat dari kayu ulin gelap, diikat dengan rantai besi berkarat dan gembok tua yang macet. “Astaga, nenek buyut menyimpan apa di sini?” gumamnya, rasa penasaran mulai mengikis rasa lelahnya. Ia menemukan sebuah kunci kecil di antara tumpukan perkakas, seolah takdir menuntunnya. Setelah beberapa kali mencoba, gembok itu berderit dan terbuka.
Di dalam peti, bukan perhiasan atau uang lama seperti yang ia bayangkan. Isinya hanya sebuah dokumen kuno yang tergulung rapi, terikat dengan pita beludru merah pudar. Kertasnya tebal, kekuningan, dan rapuh di beberapa bagian, dengan pinggiran yang hangus seolah pernah melewati api. Raka dengan hati-hati mengambilnya. Bau jamur dan sesuatu yang lebih aneh—seperti tanah basah bercampur logam tua—tercium dari kertas itu.
Ia membuka gulungan itu. Tulisan tangan yang rapi namun aneh memenuhi halaman pertama, menggunakan aksara yang tak ia kenali, diselingi simbol-simbol misterius yang tampak seperti kombinasi dari kaligrafi kuno dan gambar-gambar okultisme. Di bagian bawah, tertera tanggal: 12 Juni 1945. Perang Dunia II baru saja berakhir, dan Indonesia di ambang kemerdekaan. Apa hubungan dokumen ini dengan masa itu?
Raka mencoba membaca beberapa kalimat. Ada kata-kata dalam bahasa Sansekerta, Jawa kuno, dan beberapa bagian dalam bahasa Latin yang ia kenali samar-samar. Ia tidak mengerti isinya, tetapi ada satu kalimat yang terus menarik perhatiannya, terukir lebih tebal dari yang lain: "Quae legere, hic intrare. Quae intrare, aliquem dare." Ia mencoba mengingat pelajaran bahasa Latin SMA-nya. "Siapa yang membaca, dia masuk. Siapa yang masuk, dia memberi seseorang." Memberi seseorang apa? Raka mengernyit. Perasaan aneh mulai menyelimutinya, seperti ada sesuatu yang dingin dan tak terlihat mengawasinya dari sudut ruangan. Ia mengabaikannya, menganggapnya hanya imajinasinya yang terlalu aktif karena suasana rumah tua. Dokumen itu terlalu menarik untuk diabaikan. Ia memutuskan untuk membawanya pulang, menunda pekerjaan loteng untuk besok.
Bab 2: Membaca yang Terlarang
Malam itu, Raka duduk di meja kerjanya di apartemen kecilnya, ditemani secangkir kopi hitam dan beberapa batang rokok. Lampu meja menerangi dokumen kuno itu, memancarkan cahaya kuning keemasan yang menyorot setiap detail aksara dan simbol. Perasaan penasaran yang awalnya hanya ringan kini berubah menjadi dorongan tak tertahankan. Ia membuka laptopnya, mencoba mencari tahu tentang simbol-simbol aneh itu, tetapi tidak ada yang cocok. Aksara-aksara itu seolah hanya ada di dokumen ini.
Ia memutuskan untuk mencoba membaca dari awal. Suasana di apartemennya mulai terasa berbeda. AC yang seharusnya dingin terasa tak berpengaruh, malah ada hawa dingin yang menusuk tulang. Jendela di belakangnya bergetar samar, seolah ada angin kencang di luar, padahal tidak ada. Raka mengabaikannya, terlalu fokus pada teks di hadapannya.
Dokumen itu ternyata terdiri dari beberapa halaman. Halaman pertama adalah semacam pengantar atau sumpah. Halaman-halaman berikutnya berisi narasi yang lebih panjang, deskripsi tentang suatu "alam," ritual-ritual, dan daftar nama. Raka kesulitan memahami sebagian besar isinya karena bahasa yang bercampur aduk, namun ia terus membaca, terbawa oleh alur yang aneh itu.
Saat ia membaca tentang "tirai yang memisahkan," "gerbang antara dua dunia," dan "pertukaran jiwa," Raka merasa tengkuknya merinding. Kata-kata itu seolah memiliki bobotnya sendiri, bergema di kepalanya, bukan hanya dibaca oleh matanya. Ia merasa pusing, mual, dan detak jantungnya berpacu cepat. Sesekali, ia melirik jam di dinding. Pukul 01.00. Ia sudah membaca selama hampir dua jam.
Mata Raka mulai lelah, tetapi ia merasa tidak bisa berhenti. Ada tarikan aneh dari dokumen itu, seolah setiap kata yang ia baca mengikatnya lebih erat. Lilin aromaterapi yang ia nyalakan di sudut ruangan, yang tadinya menyala terang, mulai berkedip-kedip. Nyala apinya menari-nari liar, melemparkan bayangan-bayangan aneh di dinding. Lalu, tiba-tiba, poof! Lilin itu padam sepenuhnya, seolah ditiup oleh embusan angin dingin yang tak terlihat.
Bersamaan dengan itu, listrik di apartemen Raka mati total. Gelap gulita menyergap, hanya menyisakan kegelapan pekat yang mencekik. Raka refleks menjatuhkan dokumen itu. Jantungnya berdebar kencang di dadanya. Ia mendengar napasnya sendiri yang terengah-engah, terlalu keras di tengah kesunyian.
Beberapa detik kemudian, lampu kembali menyala dengan kedipan cepat. Lilin aromaterapi masih mati. Raka menatap dokumen di lantai, napasnya tersengal. Ini bukan kebetulan. Ini pasti karena dokumen itu. Ia merasakan sensasi geli di tengkuknya, seolah ada yang baru saja lewat di belakangnya. "Hanya imajinasiku," bisiknya, mencoba meyakinkan diri sendiri. Namun, gemetar di tangannya tak bisa ia bohongi.
Meskipun merasa ketakutan, rasa penasaran Raka tetaplah pemenang. Ia mengambil kembali dokumen itu, merasakan getaran dingin yang menjalari jemarinya. Ia memaksa dirinya untuk melanjutkan. Beberapa halaman lagi, dan ia akan selesai. Ia harus tahu apa isinya.
Ketika ia mencapai halaman terakhir, yang berisi serangkaian nama dan diakhiri dengan baris kosong seolah menunggu nama lain, Raka menyelesaikan kalimat terakhir yang tertulis dalam bahasa Latin kuno, kali ini lebih jelas dan menghujam: "Et anima mea pro anima. Et vita mea pro vita."
"Dan jiwaku untuk jiwa. Dan hidupku untuk hidup."
Tepat setelah ia mengucapkan (atau setidaknya, membatin) kalimat terakhir itu, sebuah angin dingin yang menusuk tulang tiba-tiba berembus kuat dari arah jendela yang tertutup, membuat gorden berayun liar. Suara "wusss" yang aneh mengisi ruangan, seperti bisikan ribuan orang sekaligus. Semua bulu kuduk Raka berdiri. Ponselnya, yang tergeletak di meja, bergetar dan layarnya berkedip aneh, menampilkan simbol-simbol yang sama persis seperti di dokumen. Lalu, dalam sekejap, semuanya kembali normal. Angin berhenti, ponsel kembali diam.
Raka terduduk, tubuhnya lemas. Ia menatap dokumen itu, kini terasa seperti beban berat di tangannya. Ia telah menyelesaikannya. Ia telah membaca semuanya. Tapi tidak ada kejadian berarti malam itu, selain kedinginan yang aneh dan gangguan listrik yang mungkin hanya kebetulan. Atau begitulah yang ia coba yakinkan pada dirinya. Ia melipat dokumen itu kembali, menyimpannya di laci, dan mencoba tidur. Namun, ia tidak tahu bahwa ia baru saja menandatangani kontrak terlarang, sebuah perjanjian yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Bab 3: Mereka yang Kembali
Raka terbangun dengan kepala yang berat dan perasaan tidak nyaman yang menggelayuti. Tidurnya terasa gelisah, dipenuhi mimpi-mimpi aneh tentang labirin tak berujung dan bayangan yang mengejarnya. Matahari pagi yang menembus celah gorden terasa asing, seolah cahayanya tidak mampu menghangatkan. Ia menatap langit-langit kamarnya, yang terasa sedikit lebih tinggi dari biasanya, atau mungkin hanya perasaannya saja.
Ia menjalani pagi itu dengan terburu-buru, mencoba mengusir sisa-sisa kegelisahan semalam. Setelah mandi dan berpakaian, ia meraih ponselnya untuk mengecek notifikasi, tapi layarnya tetap gelap. Baterainya penuh, namun tak ada respons. "Aneh," gumamnya, mencoba me-restart ponselnya berkali-kali, tetapi tetap tak berhasil. Ia menghela napas, memutuskan untuk ke toko reparasi setelah sarapan.
Raka keluar dari apartemen dan menuju kafe langganannya di ujung jalan. Suasana kota terasa aneh. Lebih sepi dari biasanya. Tidak ada suara klakson yang mengganggu, tidak ada hiruk pikuk penjual kaki lima, bahkan suara obrolan orang-orang terasa lebih pelan. Toko-toko memang buka, tetapi tidak ada banyak orang yang berlalu-lalang. Hanya beberapa orang yang dikenalnya, berjalan santai atau duduk di kafe. Ini adalah hari kerja, bukan akhir pekan.
Saat ia berjalan, sebuah suara memanggil namanya dari seberang jalan. "Raka! Woi, Raka!"
Raka menoleh. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Di sana, di depan sebuah toko buku tua, berdiri Gilang. Teman masa kecilnya. Senyumnya lebar, tawanya lepas. Raka mengenal senyum itu. Senyum yang terakhir kali ia lihat di foto pemakaman Gilang.
Gilang. Yang meninggal tiga tahun lalu karena kecelakaan lalu lintas tunggal. Truk menabrak motornya di perempatan jalan, dan Gilang tewas di tempat. Raka bahkan menghadiri pemakamannya, melihat jasadnya dibaringkan.
Namun, di sini, di depannya, Gilang tampak sangat hidup. Lebih muda dari yang Raka ingat, seolah waktu telah mundur. Wajahnya berseri-seri, tidak ada tanda-tanda kematian atau luka. Ia mengenakan kaus band favorit mereka dan celana jins belel, persis seperti yang sering ia pakai di masa remaja.
Raka terpaku. "Gi... Gilang?" suaranya tercekat.
Gilang tertawa. "Kenapa, Bro? Kaget banget lihat gue? Tumben lo pagi-pagi udah di sini. Sibuk banget ya?"
Raka mencoba mengolah informasi ini. Ini tidak mungkin. Gilang sudah mati. Apakah ini halusinasi? Atau mungkin... ia sedang bermimpi? Ia mencubit lengannya. Sakit. "Lo... lo kenapa ada di sini?"
Gilang mengernyit. "Ya ampun, Ra. Pertanyaan macam apa itu? Gue kan emang sering nongkrong di sini, nungguin lo kadang. Lo lupa? Ayo ngopi, gue traktir." Gilang menepuk bahu Raka, sentuhannya terasa nyata, hangat.
Raka mengikuti Gilang ke kafe, pikirannya berkecamuk. Ia mencoba mencari celah dalam percakapan mereka, mencari bukti bahwa ini tidak nyata. "Lo... kok makin muda aja, Lang? Perasaan terakhir ketemu lo udah agak berisi," Raka mencoba memancing.
Gilang terkekeh. "Ah, lo bisa aja. Emang dasarnya gue awet muda kali. Lo sih makin tua aja, Ra. Mikirin proyek terus." Ia berbicara tentang hal-hal yang mereka lakukan bertahun-tahun lalu, kenangan masa kecil yang detail dan akurat. Semua terasa begitu normal, tetapi di saat yang sama, sangat salah.
Raka menatap sekeliling. Beberapa meja di kafe itu terisi. Ada Bu Siti, guru biologinya saat SMP, yang meninggal setahun lalu karena komplikasi jantung. Di pojok, ada Pak Herman, tetangganya yang pikun, yang dikabarkan meninggal dalam tidur tiga bulan lalu. Mereka semua terlihat hidup, berinteraksi, seolah tidak ada yang aneh.
Sepanjang obrolannya dengan Gilang, Raka terus mengamati. Gilang minum kopi, bercanda, dan mengeluh tentang hal-hal sepele, persis seperti Gilang yang ia kenal. Namun, setiap kali Raka mencoba membahas masa kini, atau menyinggung sesuatu yang terjadi setelah kematian Gilang, Gilang akan mengalihkan pembicaraan, atau menjawab dengan sesuatu yang ambigu. Raka tidak bisa mendapatkan jawaban langsung.
Setelah berpisah dari Gilang, Raka berjalan pulang. Ia merasa ngeri. Ini bukan mimpi. Ini bukan halusinasi. Orang-orang yang dikenalnya, yang seharusnya sudah tiada, kini berjalan di sekitarnya, hidup dan bernapas. Pertanyaan besar mulai terbentuk di benaknya: "Apa yang terjadi padaku? Dan di mana aku sebenarnya?"
Bab 4: Dunia yang Berubah
Perasaan tidak nyaman yang samar di pagi hari kini telah berubah menjadi kepanikan yang mendalam. Raka berjalan menyusuri jalanan kota, dengan setiap langkah menambah keyakinannya bahwa ada sesuatu yang sangat fundamental telah bergeser. Ia mulai sengaja mencari keanehan.
Pertama, jumlah orang di jalanan. Mereka yang berlalu-lalang hanyalah wajah-wajah yang ia kenal, entah itu tetangga, teman sekolah lama, rekan kerja yang sudah pensiun, atau bahkan anggota keluarga yang sudah meninggal. Tidak ada satupun wajah asing. Toko-toko memang buka, lampu-lampu menyala, tetapi lorong-lorong supermarket terasa terlalu rapi, dan rak-rak pakaian di butik terlalu tidak tersentuh. Ada sensasi kosong yang menggantung di udara, seperti sebuah panggung yang telah disiapkan untuk pertunjukan, tetapi para penontonnya belum tiba. Atau, lebih tepatnya, para penontonnya adalah bagian dari pertunjukan itu sendiri.
Raka mencoba memasuki sebuah pusat perbelanjaan yang biasanya ramai. Di sana, ia melihat ibunya, yang meninggal tiga tahun lalu karena kanker, sedang memilih sayuran di pasar swalayan. Ibunya tampak sehat, tersenyum, dan bahkan menyapanya dengan tatapan akrab, seolah mereka baru saja bertemu kemarin. "Raka, Nak, kok sendirian? Reza mana?" tanya ibunya, yang bahkan tidak pernah ia sangka akan ia dengar lagi suaranya. Raka hanya bisa tergagap, menciptakan alasan acak tentang Reza yang sibuk.
Dia keluar dari pusat perbelanjaan, napasnya memburu. Ini sudah gila. Ia mencoba mengambil foto dengan ponselnya, tetapi layarnya tetap mati. Tidak ada sinyal, tidak ada notifikasi, tidak ada respons sentuhan. Ponselnya terasa seperti seonggok plastik yang tidak berguna.
Ia mencoba mencari berita di media sosial melalui laptopnya di kafe, tetapi internet tidak terhubung. Televisi di layar-layar besar hanya menampilkan static yang berdesir, atau acara-acara televisi lama yang ia kenal dari masa kecilnya, berulang-ulang. Tidak ada program berita terbaru, tidak ada siaran langsung. Dunia seolah membeku di masa lalu.
Raka mulai mencoba menghubungi siapa pun. Ia menemukan telepon umum tua yang entah mengapa masih berfungsi di sudut jalan. Ia memasukkan koin dan memutar nomor telepon rumahnya, tetapi tidak ada nada sambung, hanya suara "tut... tut... tut..." yang kosong. Ia mencoba nomor ponsel ayahnya, teman-temannya yang masih hidup, bahkan nomor darurat. Tidak ada yang terhubung. Yang ada hanyalah keheningan.
Kota ini terasa familiar, tetapi ada sesuatu yang fundamental telah hilang. Suara kendaraan bermotor yang lewat terlalu tenang, seolah setiap roda memiliki peredam. Angin yang berembus tidak membawa bau knalpot atau polusi, hanya aroma bunga melati yang terlalu kuat, seperti di pemakaman. Pantulan dirinya di kaca-kaca toko tampak nyata, tetapi ada kerudung tipis yang menyelimuti citranya, membuatnya tampak sedikit... transparan, atau mungkin hanya pucat.
Raka kembali ke rumah nenek buyutnya. Ia melihat ke luar jendela. Langit tampak terlalu biru, awan terlalu putih, dan pohon-pohon terlalu hijau, seolah disaring atau disempurnakan. Burung-burung hinggap di dahan, tetapi kicauannya terlalu lembut, seperti rekaman. Ia mencoba mendengarkan suara kehidupan. Tidak ada anak-anak yang bermain di jalan. Tidak ada penjual makanan yang lewat. Tidak ada anjing menggonggong. Tidak ada tangisan bayi. Hanya ada keheningan yang menakutkan, dipecah oleh bisikan-bisikan angin yang membawa aroma melati yang sama.
Ia meraih segelas air dari dapur. Saat air menyentuh lidahnya, Raka terkejut. Air itu terasa hambar, tidak memiliki rasa. Dia merasa lapar, tetapi setiap gigitan makanan yang dia ambil dari lemari es terasa seperti mengunyah udara. Tidak ada sensasi, tidak ada rasa kenyang. Tubuhnya memang bergerak, tetapi ada semacam disonansi antara tubuhnya dan sensasi yang seharusnya ia rasakan. Ini bukan dunia nyata. Ini bukan kehidupan.
Semakin lama, Raka semakin yakin bahwa ia telah memasuki dimensi lain, sebuah tempat yang meminjam citra dunianya, tetapi mengosongkannya dari esensi kehidupan. Ia tidak tahu bagaimana atau mengapa, tetapi dokumen kuno itu pasti menjadi kuncinya. Dan ia terjebak di dalamnya. Sendirian, tetapi dikelilingi oleh bayangan-bayangan masa lalu yang hidup dan bernapas, namun tanpa jiwa.
Bab 5: Menyadari Kehilangan
Panik. Kata itu tidak cukup untuk menggambarkan badai emosi yang melanda Raka. Ia berlari dari satu ruangan ke ruangan lain di rumah nenek buyutnya, mencari sesuatu—apa saja—yang bisa menjelaskan keadaannya. Ia mengamati setiap detail, mencari celah dalam realitas yang membingungkan ini.
Di kamarnya, ia mencoba menghubungi kembali semua kontaknya di ponselnya yang mati. Ia putar nomor telepon rumah ayahnya puluhan kali. Ia kirim pesan berulang-ulang ke Reza, adiknya. Nihil. Tidak ada nada sambung, tidak ada notifikasi terkirim. Ponsel itu hanyalah sebuah cangkang.
Ia menyalakan televisi, mencoba mencari saluran berita. Hanya ada static yang mendesis dan beberapa acara TV lama yang berulang, seolah dunia di layar itu terjebak dalam lingkaran waktu. Radio juga hanya menghasilkan suara bising. Ia bahkan mencoba menyalakan mobilnya, tetapi mesinnya tidak merespons, seolah semua energi telah terkuras darinya.
Raka kembali ke loteng, tempat ia menemukan dokumen itu. Harapannya adalah menemukan petunjuk lain, buku harian nenek buyutnya, atau apa pun yang bisa memberi tahu dia apa yang telah terjadi. Debu masih menempel di setiap permukaan, seolah waktu benar-benar berhenti di sini. Ia mencari peti ulin yang ia temukan, tetapi peti itu telah menghilang. Tidak ada jejaknya. Bahkan bekas rantai berkarat pun lenyap. Jantungnya mencelos. Dokumen itu. Ia berlari ke laci di apartemennya, tempat ia menyimpannya semalam. Laci itu kosong. Dokumen itu juga lenyap.
"Tidak! Tidak mungkin!" Raka menjerit, suaranya parau dan tercekik di tenggorokannya. Hilangnya dokumen itu terasa seperti jembatan terakhirnya ke dunia nyata telah dihancurkan. Ia terduduk di lantai, napasnya memburu. Ini bukan mimpi buruk. Ini adalah kenyataan barunya.
Ia berjalan gontai menuju kamar mandi. Matanya kosong, pikirannya kalut. Ia menyalakan keran, membasuh wajahnya dengan air dingin yang terasa hambar. Saat ia mengangkat kepalanya, matanya bertemu dengan pantulannya di cermin.
Ia melihat dirinya. Wajahnya. Matanya. Namun, ada yang berbeda.
Kilau di matanya telah hilang. Rona sehat di pipinya memudar, digantikan oleh pucat pasi yang aneh. Bibirnya sedikit kebiruan. Ia masih bernapas, tetapi setiap tarikan napas terasa dangkal, seolah udara yang dihirupnya tidak benar-benar sampai ke paru-parunya. Kulitnya terasa dingin, bahkan di telapak tangan yang ia gunakan untuk menyentuh pipinya sendiri. Ia mencoba mencubit lengannya lagi, kali ini lebih keras. Rasa sakitnya ada, tetapi terasa tumpul, seperti sensasi yang diperlambat atau diredam.
"Aku... aku tidak hidup," bisiknya, suaranya bergetar.
Ia menatap pantulannya lebih dekat. Ia masih terlihat seperti Raka, tetapi ia merasa seperti sebuah cangkang, sebuah tiruan. Seperti boneka yang diisi dengan sesuatu yang bukan dirinya. Ia tidak beresonansi seperti sebelumnya. Energi vital yang seharusnya mengalir dalam dirinya terasa terkuras, digantikan oleh kehampaan. Tubuhnya ada, bergerak, tetapi jiwa di dalamnya terasa terputus dari realitas fisik.
Perasaan ini bukan hanya ketakutan, tetapi juga kesedihan yang mendalam. Ia kehilangan koneksinya dengan dunia nyata. Ia kehilangan kehangatan, rasa, bau, dan suara yang membentuk kehidupannya. Ia telah menjadi entitas antara, terperangkap di sebuah tempat yang entah apa namanya, di mana orang-orang yang ia cintai—atau setidaknya, wujud mereka—masih ada, tetapi bukan benar-benar mereka. Ia telah menjadi bagian dari bayangan-bayangan itu.
Raka terduduk di lantai kamar mandi, berlutut di depan cermin, dan membiarkan air mata mengalir. Tapi air matanya terasa dingin, tidak membawa kelegaan. Ia tidak menangis dengan isak tangis, hanya ada air mata yang mengalir tanpa henti, seperti genangan air yang tak berujung. Ini adalah air mata kesadaran, air mata kehilangan, dan air mata keputusasaan yang tak terhingga. Ia telah terjebak. Dan ia tidak tahu bagaimana cara keluar.
Bab 6: Jam Roh dan Penjaga Gerbang
Beberapa hari berlalu. Atau mungkin minggu. Raka kehilangan jejak waktu. Di “dunia” ini, matahari terbit dan terbenam, tetapi cahayanya selalu sama, seolah diatur. Tidak ada malam yang benar-benar gelap, hanya senja abadi yang membingungkan. Orang-orang yang ia kenal masih berkeliaran, menjalankan rutinitas yang sama setiap hari. Gilang masih di kafe, ibunya masih di supermarket. Mereka tidak menua, tidak berubah, tidak pernah sadar akan keberadaan Raka yang berbeda. Raka mencoba berinteraksi lebih dalam, tetapi setiap percakapan selalu kembali pada tema yang sama, kenangan masa lalu, tanpa bisa melangkah maju. Mereka adalah rekaman, bayangan, atau mungkin, jiwa-jiwa yang terjebak dalam siklus abadi ketidaksadaran.
Raka mulai menjelajahi kota. Ia mencari perpustakaan, museum, atau tempat lain yang mungkin menyimpan petunjuk. Ia mengunjungi setiap sudut yang dikenalnya, berharap menemukan anomali yang bisa memberinya jalan keluar. Semakin ia menjelajah, semakin ia sadar betapa sepinya tempat ini dari manusia hidup yang lain. Hanya ia, dan para “penduduk” yang ia kenal, yang seolah terperangkap dalam lukisan.
Suatu sore, Raka berjalan melewati sebuah taman kota yang dulunya adalah tempat bermain masa kecilnya. Sebuah bangku tua di bawah pohon beringin besar menarik perhatiannya. Di sana, duduk seorang pria tua. Pakaiannya kuno, seperti busana petani di era kolonial, dengan rambut putih panjang yang diikat di belakang dan janggut tebal yang menjuntai. Wajahnya berkerut dalam, matanya tampak sangat tua namun memancarkan kebijaksanaan yang mendalam, seolah ia telah melihat ribuan tahun berlalu. Ia tidak melakukan apa-apa, hanya duduk tenang, mengamati Raka.
Raka mendekat, ragu-ragu. “Permisi, Pak?”
Pria tua itu tersenyum tipis, senyum yang terasa hangat namun juga mengandung kesedihan yang tak terhingga. “Kau akhirnya datang, Nak. Aku sudah menunggumu.”
Jantung Raka berdegup kencang. “Menungguku? Siapa Bapak?”
“Aku hanyalah seorang penjaga,” jawab pria tua itu, suaranya serak namun jelas, seperti gemerisik daun tua. “Penjaga Alam Antara.”
Raka tercengang. “Alam Antara? Jadi, ini… ini bukan duniaku?”
Pria tua itu mengangguk pelan. “Bukan lagi. Kau telah melangkah melewati ambang batas. Kau membaca Dokumen Terlarang itu, bukan?”
Raka mengiyakan, lemas. “Bagaimana Bapak tahu? Dokumen itu… hilang.”
“Dokumen itu tidak hilang, Nak. Ia hanya kembali ke tempatnya, menunggu ‘pembaca’ berikutnya. Aku telah melihat banyak yang datang dan pergi, melalui dokumen itu.” Pria tua itu menghela napas. “Dokumen itu bukan sekadar tulisan. Ia adalah sebuah perjanjian. Sebuah jembatan yang dibangun oleh entitas kuno, bagi mereka yang ingin menembus batas antara hidup dan mati. Atau, bagi mereka yang tak sengaja tersandung ke dalamnya.”
“Jadi, aku... terjebak di sini?” tanya Raka, suaranya nyaris berbisik.
“Kau telah menandatangani kontrak, Nak. Dengan membaca dan menyelesaikan setiap kata, jiwamu terikat pada Alam Antara ini,” jelas Penjaga. “Ini bukan surga, bukan neraka. Ini adalah tempat di antara keduanya. Sebuah dimensi paralel yang dihuni oleh jiwa-jiwa yang belum menemukan kedamaian, atau terikat terlalu kuat pada dunia material. Mereka yang kau lihat berkeliaran itu… mereka adalah jiwamu yang terikat pada kenangan, memproyeksikan kembali kehidupan yang pernah mereka miliki. Mereka tidak sadar akan keberadaanmu yang sebenarnya, atau keberadaan mereka sendiri di sini.”
Raka memproses informasi itu. Ia melihat Gilang, ibunya, Bu Siti. Mereka semua adalah jiwa-jiwa yang terperangkap dalam ilusi masa lalu. “Dan aku?”
“Kau berbeda,” Penjaga menatapnya intens. “Kau adalah jiwa yang hidup, terjebak di tempat mati. Kau masih memilikimu kesadaran penuh, karena kau memasuki Alam Antara dengan paksa, melalui dokumen. Jiwamu masih beresonansi dengan kehidupan, meskipun tubuhmu di dunia sana kini tak bergerak.”
Kata-kata itu menghantam Raka seperti palu. “Tubuhku… di dunia sana?”
Penjaga mengangguk. “Ya. Saat kau menyelesaikan dokumen itu, jiwamu ditarik ke sini. Tubuhmu di dunia fisik… ia hanya tidur lelap, atau dalam kondisi koma. Bagi dunia luar, kau mungkin menghilang, atau ditemukan tak sadarkan diri. Waktu di sini tidak sama dengan di sana. Satu hari di sini bisa jadi hanya beberapa menit di dunia fisik, atau sebaliknya. Alam Antara ini memiliki ritme sendiri, Jam Roh yang berdetak hanya untuknya.”
Raka merasakan desakan keputusasaan. “Bagaimana… bagaimana aku bisa kembali?”
Penjaga itu menatapnya dengan tatapan penuh simpati. “Ada satu-satunya cara, Nak. Aturan kuno Alam Antara ini sangat ketat. Untuk keluar, kau harus memiliki pengganti.”
Bab 7: Syarat Satu-Satunya
Dada Raka terasa sesak mendengar kata "pengganti." Ia menatap Penjaga Alam Antara, mencari tanda-tanda lelucon atau kiasan. "Pengganti? Apa maksudnya?"
Penjaga itu menghela napas, seolah telah mengucapkan kalimat ini ribuan kali. "Seseorang harus mengambil alih tempatmu di Alam Antara ini. Seseorang yang masuk ke sini, menggantikan jiwamu. Itu adalah satu-satunya syarat, satu-satunya jalan keluar."
"Jadi... aku harus mengorbankan orang lain?" Suara Raka tercekat.
"Ada dua cara," Penjaga menjelaskan, tatapannya tak bergeming. "Pertama, ada jiwa yang secara sukarela ingin mengambil alih posisimu, untuk alasan mereka sendiri. Mungkin mereka sudah lelah dengan siklus ilusi di sini, atau mencari kedamaian yang sesungguhnya. Namun, itu sangat jarang terjadi. Jiwa-jiwa yang terjebak di sini biasanya terlalu terikat pada ilusi mereka, atau terlalu lelah untuk berpikir jernih."
"Dan yang kedua?" tanya Raka, meskipun ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.
"Yang kedua," Penjaga melanjutkan, "adalah jika seseorang tertipu untuk membaca dokumen terlarang itu sampai selesai. Sama seperti yang kau lakukan. Mereka akan ditarik ke sini, dan jiwamu akan dibebaskan kembali ke tubuhmu di dunia fisik. Sebuah pertukaran jiwa, sebagaimana tertulis dalam perjanjian."
Raka terdiam. Pilihan ini adalah sebuah mimpi buruk. Mengorbankan seseorang yang hidup? Menipu mereka untuk masuk ke dalam penjara spiritual ini, sebuah tempat tanpa waktu, tanpa esensi, dikelilingi oleh bayangan-bayangan masa lalu? Ia tidak bisa membayangkan melakukan hal sekejam itu. "Aku... aku tidak bisa melakukan itu," bisiknya.
"Pilihan ada di tanganmu, Nak," Penjaga itu berkata pelan. "Kau bisa memilih untuk tinggal, menjadi bagian dari Alam Antara ini, sama seperti mereka yang kau lihat. Atau, kau bisa mencari pengganti. Aku tidak bisa memaksamu, juga tidak bisa menghakimimu. Tugasku hanyalah menjaga keseimbangan dan menjelaskan aturan."
Raka mencoba berargumen. "Pasti ada cara lain! Apa yang terjadi jika aku tidak menemukan pengganti?"
"Maka kau akan menjadi bagian dari Alam Antara ini selamanya," jawab Penjaga. "Jiwa hidupmu perlahan akan terkuras, ingatanmu tentang dunia nyata akan memudar, dan kau akan menyatu dengan ilusi di sini, menjadi salah satu dari mereka. Kau akan melupakan siapa dirimu, dan tujuanmu. Kau akan menjalani siklus abadi kenangan, tanpa pernah merasakan hidup sejati lagi."
Raka merinding. Pikiran untuk menjadi seperti Gilang, ibunya, dan semua orang mati yang berkeliaran di sini, terjebak dalam limbo, adalah mimpi terburuknya. Ia ingin hidup, merasakan matahari yang sebenarnya, makan makanan yang punya rasa, dan memeluk adiknya, Reza.
Keputusasaan mendorongnya untuk mencoba jalan pertama. Ia mulai mendekati beberapa "roh" yang ia kenal.
Ia mendatangi Gilang di kafe. "Gilang, apakah kau tidak merindukan dunia di luar ini? Dunia yang nyata?"
Gilang menatapnya bingung. "Dunia apa, Ra? Ini kan duniaku. Aku senang di sini, bisa main musik kapan saja, tidak ada deadline, tidak ada tekanan. Semua teman ada di sini. Kenapa aku harus pergi?" Senyumnya polos, tanpa beban. Gilang tidak tahu bahwa ia terjebak dalam ilusi kebahagiaan.
Raka mencoba berbicara dengan ibunya di supermarket. "Bu, apa Ibu tidak ingat rumah kita? Ayah? Reza?"
Ibunya tersenyum lembut. "Tentu saja, Nak. Ayah baik-baik saja di rumah. Reza pasti sedang belajar. Ibu senang di sini, bisa berbelanja dengan tenang. Ibu tidak perlu khawatir lagi." Tidak ada kesedihan di matanya, hanya kedamaian yang semu. Bagaimana Raka bisa menyuruh ibunya "pergi" dari kedamaian palsu ini, apalagi menjelaskan bahwa ia sudah meninggal?
Setiap kali Raka mencoba, ia dihadapkan pada dinding ketidaksadaran mereka. Mereka tidak mengerti. Mereka tidak peduli. Mereka bahagia dalam penjara ilusi mereka. Dan bagaimana mungkin Raka, yang masih memiliki kesadaran dan hati nurani, bisa membujuk jiwa-jiwa tak bersalah untuk menyerahkan ilusi kebahagiaan mereka demi kebebasannya? Dilema itu mulai menggerogoti jiwanya.
"Tidak ada yang akan secara sukarela meninggalkan 'surga' mereka, meskipun itu palsu," Penjaga berkata suatu hari, seolah membaca pikirannya. "Terutama jika mereka tidak tahu bahwa mereka terperangkap."
Kata-kata Penjaga itu menghantui Raka. Ia berjuang menemukan cara kembali, mencari setiap celah, setiap kemungkinan. Ia mencoba mencari dokumen itu lagi, mencari di setiap sudut rumah, di setiap laci di apartemennya, berharap ada salinan atau petunjuk lain. Tetapi dokumen itu benar-benar lenyap. Satu-satunya jalan keluar adalah dokumen yang sama, yang kini entah di mana. Dan cara kerjanya, kini ia tahu, adalah dengan menipu orang lain.
Moralnya diuji, setiap hari, setiap jam yang terasa tak terbatas. Bisikan-bisikan keputusasaan mulai meracuni pikirannya. Keinginan untuk kembali, untuk merasakan kehidupan sejati lagi, perlahan mulai mengalahkan nuraninya. Satu-satunya cara keluar adalah membuat orang lain masuk menggantikan dirinya. Siapa? Siapa yang rela ia korbankan? Dan yang lebih mengerikan, siapa yang bisa ia tipu?
Bab 8: Dosa Tak Terelakkan
Minggu-minggu, entah berapa lama persisnya, telah berlalu di Alam Antara. Konsep waktu menjadi kabur. Raka hidup dalam sebuah siklus monoton yang mengerikan: bangun dengan keputusasaan, mencoba berinteraksi dengan roh-roh yang tak sadar, mencari petunjuk yang tak pernah ada, dan kembali ke rumah nenek buyutnya untuk merenungi nasibnya. Ia merasa jiwanya perlahan terkikis. Ingatan tentang dunia nyata, tentang bau hujan, suara tawa Reza, sentuhan hangat sang ayah, mulai memudar. Sensasi fisiknya semakin tumpul. Ia kadang-kadang melupakan wajah teman-teman lamanya yang masih hidup, atau detail dari pekerjaannya. Ia bahkan kesulitan mengingat nama orang tuanya dengan jelas. Ini adalah pertanda. Ia sedang berasimilasi, menjadi salah satu dari mereka.
Keputusasaan yang mendalam itu melahirkan sisi gelap yang sebelumnya tak pernah Raka tahu ada dalam dirinya. Ia merasa terpojok, terancam oleh eksistensi yang hampa ini. Pikiran untuk kembali, untuk merasakan hidup lagi, tumbuh menjadi obsesi yang membakar.
"Reza."
Nama itu muncul di benaknya seperti bisikan racun. Reza, adiknya yang paling ia sayangi. Reza, yang selalu ia lindungi. Reza, yang cerdas, polos, dan penuh harapan.
Raka duduk di bangku taman, tempat ia sering berbicara dengan Penjaga, meskipun Penjaga itu kini jarang muncul, seolah membiarkan Raka bergumul dengan pilihannya sendiri. Raka memejamkan mata, membayangkan wajah Reza. Senyum Reza yang lebar. Tawanya yang renyah. Kebiasaan Reza yang sering meminjam uangnya tanpa mengembalikan. Kenangan-kenangan itu muncul, tetapi kini terasa seperti gambar yang pudar, hampir tak nyata.
"Dia satu-satunya yang bisa kau yakinkan," bisik sebuah suara dalam benaknya, bukan suara Penjaga, melainkan suara dari keinginan egoisnya sendiri. "Dia mencarimu. Dia pasti akan menemukan dokumen itu jika kau memberinya petunjuk yang tepat."
Gagasan itu, awalnya menjijikkan, kini mulai terdengar seperti satu-satunya jalan keluar. Raka mengingat bagaimana ia dan Reza dulu sering bermain detektif di rumah nenek buyut. Reza selalu tertarik pada barang-barang antik dan misteri. Jika dokumen itu entah bagaimana kembali ke dunia fisik, ke rumah nenek buyut, Reza pasti akan menemukannya.
Konflik batinnya memuncak. Di satu sisi, ia adalah kakak yang menyayangi adiknya lebih dari apa pun. Ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu melindungi Reza. Mengorbankan Reza berarti ia harus melangkahi semua prinsip dan kasih sayang yang ia miliki. Ini adalah kejahatan moral yang tak terampuni.
Namun, di sisi lain, ada suara lain yang menggerogoti. "Bagaimana jika aku lenyap? Siapa yang akan melindungi Reza nanti? Siapa yang akan menjaganya jika aku menjadi jiwa hampa di sini? Aku harus kembali untuknya." Pembenaran diri yang egois mulai terbentuk. Ia meyakinkan dirinya bahwa ia melakukannya demi Reza juga. Demi melindungi Reza dari bahaya yang lebih besar, yaitu kehilangan seorang kakak selamanya. Atau, demi bisa kembali dan memberikan kehidupan yang lebih baik untuk mereka berdua.
Raka membayangkan skenario. Jika dokumen itu muncul kembali di loteng, ia bisa meninggalkan sebuah "petunjuk" yang samar. Mungkin sebuah catatan kecil di balik pigura foto lama, atau sebuah benda yang ia tahu akan menarik perhatian Reza. Petunjuk yang akan mengarahkan Reza untuk mencari lebih dalam, dan akhirnya menemukan dokumen itu. Reza yang penasaran, Reza yang cerdas, pasti akan membaca setiap kata, seperti yang Raka lakukan.
Rasa bersalah mencengkeramnya. Perutnya mual. Bagaimana ia bisa menipu adiknya sendiri? Adiknya yang paling ia sayangi? Ini adalah dosa yang tak terelakkan, sebuah noda hitam yang akan menempel di jiwanya selamanya. Ia akan hidup, tetapi dengan beban moral yang mengerikan.
Ia mencoba melawan. Ia berteriak di dalam hatinya, "Tidak! Aku tidak bisa!" Ia berjalan mondar-mandir di antara bayangan-bayangan roh, mencari cara lain. Ia mencoba berbicara lagi dengan Penjaga, memohon ampunan, mencari belas kasihan. Tetapi Penjaga itu tetap tidak muncul, atau mungkin Raka terlalu tenggelam dalam penderitaannya sendiri sehingga tidak melihatnya.
Raka mulai merasa gila. Ia berbicara pada dirinya sendiri, berdebat antara nurani dan insting bertahan hidup. Wajah-wajah roh di sekelilingnya tampak samar, seolah mengejeknya. Tawa Gilang di kejauhan terdengar kosong. Senyum ibunya di supermarket terasa dingin. Mereka adalah cerminan dari apa yang akan terjadi padanya jika ia menyerah.
Akhirnya, setelah berhari-hari—atau mungkin berminggu-minggu—bergumul dengan iblis batinnya, pikiran Raka mencapai titik didih. Keinginan untuk melarikan diri dari kehampaan ini, dari siklus tak berujung ini, menjadi lebih kuat dari segalanya. Lebih kuat dari kasih sayangnya pada Reza. Lebih kuat dari nuraninya.
Ia tahu apa yang harus ia lakukan.
Raka bangkit dari bangku taman, tatapannya kini kosong namun penuh tekad. Ada keputusan dingin di matanya, keputusan yang lahir dari keputusasaan yang ekstrem. Ia akan menemukan cara untuk membawa dokumen itu kembali ke dunia fisik, dan ia akan memastikan Reza yang menemukannya. Ini adalah satu-satunya jalan. Dosa itu tak terelakkan. Ia harus mengorbankan adiknya.
Bab 9: Pilihan Terakhir
Malam itu, di rumah nenek buyut yang terasa semakin dingin dan hampa, Raka duduk di meja yang dulu ia gunakan untuk membaca Dokumen Terlarang. Keputusan telah dibuat, dan kini ia hanya perlu melaksanakannya. Tangannya gemetar saat ia memegang pulpen yang entah dari mana muncul di sakunya. Ia harus menulis sesuatu. Sebuah petunjuk. Sebuah pancingan.
Pikirannya dipenuhi gambaran Reza yang ceria. Hatinya mencelos, tetapi insting bertahan hidupnya berteriak lebih kencang. Ia mulai menulis, dengan aksara yang sama dengan Dokumen Terlarang, meskipun ia tidak tahu bagaimana ia bisa melakukannya. Kata-kata itu mengalir begitu saja dari benaknya, seolah tangan tak kasatmata memandu jemarinya. Ia menulis tentang sebuah "harta tersembunyi" di balik sebuah dinding palsu di loteng, sebuah petunjuk samar yang hanya Reza yang akan cukup penasaran untuk mengikutinya. Di akhir catatan, ia menyinggung tentang "kebenaran yang terkunci dalam gulungan kertas kuno," sebuah kalimat yang ia tahu akan memicu rasa ingin tahu Reza yang tak terbatas.
Namun, saat ia menulis kalimat terakhir, sebuah gambaran melintas di benaknya: wajah Reza yang terpaku, matanya kosong, terjebak di Alam Antara seperti dirinya. Tawa Reza yang kini bergema di kehampaan. Hatinya mencelos. Rasa mual yang parah menyerangnya. Ia telah jatuh ke dalam jurang terdalam dari dirinya sendiri.
Pulpen itu terjatuh dari tangannya. Ia menatap catatan yang ia tulis, sebuah jembatan menuju neraka bagi adiknya. Perasaan jijik pada dirinya sendiri membanjiri Raka. Ia adalah seorang monster. Ia akan mengorbankan jiwa murni adiknya demi kebebasan dirinya. Bebas, tetapi selamanya dihantui oleh dosanya. Apakah kebebasan semacam itu layak?
Dalam momen keheningan yang menyiksa itu, Raka teringat kata-kata Penjaga Alam Antara: "Kau bisa memilih untuk tinggal, menjadi bagian dari Alam Antara ini, sama seperti mereka yang kau lihat."
Pilihan itu tiba-tiba terasa seperti jalan keluar yang jauh lebih bermartabat daripada kejahatan yang akan ia lakukan. Lebih baik ia lenyap, menjadi bayangan tanpa ingatan, daripada hidup sebagai monster. Lebih baik ia melupakan Reza, daripada mengorbankan Reza.
Dengan tangan gemetar, Raka mengambil kembali pulpen itu. Ia merobek catatan yang tadi ia tulis. Ia mengambil selembar kertas kosong baru. Kali ini, ia menulis dengan tangan yang jelas, meskipun hatinya berat.
Untuk siapa pun yang menemukan dokumen ini,
Jangan baca. Jangan pernah membacanya sampai selesai. Itu adalah perjanjian yang mengikat jiwa.
Aku tidak bisa kembali. Aku telah menandatangani kontrak tanpa sadar.
Ini adalah penjara. Sebuah dunia antara hidup dan mati. Sebuah ilusi yang menipu jiwa.
Jika kau membacanya, kau akan terjebak di sini, menggantikanku. Jangan jadi penggantiku.
Tinggalkan dokumen ini. Bakar. Hancurkan. Jangan biarkan siapa pun membaca setiap katanya.
Aku memilih untuk tinggal. Aku menerima takdirku sebagai penghuni dunia roh ini.
Jangan lakukan kesalahan yang sama denganku.
Raka melipat surat peringatan itu dengan rapi. Dengan hati-hati, ia mencari Dokumen Terlarang itu. Keajaiban, atau kutukan, kini dokumen itu muncul kembali di bawah meja yang ia tempati. Ia menyatukan surat peringatannya dengan Dokumen Terlarang itu, mengikatnya dengan pita beludru merah pudar yang sama. Ia kembali ke loteng, tempat peti ulin gelap itu kembali muncul, seolah menunggu. Ia meletakkan dokumen itu di dalam peti, menutupnya, dan rantai berkarat itu kembali mengunci dengan sendirinya, tanpa gembok.
Raka menatap peti itu untuk terakhir kalinya. Perasaan aneh menyelimutinya. Bukan kelegaan, tetapi penerimaan. Ia telah memilih. Ia telah mengorbankan kebebasannya sendiri demi menjaga kemurnian jiwa adiknya, dan mungkin, jiwa orang lain yang tak bersalah. Ia akan tetap tinggal, dan perlahan menjadi bagian dari bayangan-bayangan di Alam Antara. Ingatannya akan memudar, kesadarannya akan terkikis, dan ia akan bergabung dengan Gilang dan ibunya dalam siklus abadi ilusi. Ini adalah akhir dari Raka yang ia kenal.
Ia berjalan keluar dari loteng, menuju taman di mana Penjaga Alam Antara pernah menemuinya. Ia duduk di bangku tua, memandang langit senja yang abadi. Rasa sakit hati dan penyesalan masih ada, tetapi bercampur dengan kedamaian yang aneh. Ia telah membuat pilihan yang benar.
Namun, di akhir bab, takdir memiliki rencana lain.
Di dunia nyata, sudah lebih dari tiga bulan sejak Raka menghilang tanpa jejak. Polisi telah melakukan pencarian intensif, tetapi tidak ada petunjuk. Reza, adiknya, adalah yang paling terpukul. Ia tidak bisa menerima hilangnya sang kakak. Ia sering mengunjungi rumah nenek buyut mereka, duduk di sana, berharap Raka akan kembali.
Suatu sore, Reza kembali ke rumah itu. Ia merasa ada yang aneh. Sebuah cahaya samar menarik perhatiannya dari loteng. Reza, yang selalu penasaran dan tertarik pada misteri, naik ke loteng. Ia melihat peti ulin yang tersembunyi di balik lemari, yang sebelumnya tidak pernah ada. Dengan hati-hati, ia membuka gembok yang entah bagaimana terasa mudah dibuka. Di dalamnya, ia menemukan sebuah gulungan kertas kuno, terikat pita beludru merah pudar. Ada selembar surat terlipat di dalamnya.
Reza membukanya. Matanya memindai tulisan tangan yang asing itu. "Untuk siapa pun yang menemukan dokumen ini, Jangan baca. Jangan pernah membacanya sampai selesai. Itu adalah perjanjian yang mengikat jiwa." Reza mengernyit. Perasaan dingin merayapi punggungnya. Ia membaca kalimat terakhir: "Jangan jadi penggantiku."
Reza gemetar. Ia menatap gulungan di bawah surat itu. Meskipun ada peringatan, rasa penasaran yang luar biasa, didorong oleh misteri hilangnya kakaknya, kini menguasai dirinya. Apa isi gulungan ini? Apakah ini ada hubungannya dengan Raka?
Ia menarik gulungan itu keluar dari pita, dan mulai membaca...
Dan kemudian, secara tiba-tiba, tanpa peringatan, Raka tersentak bangun.
Ia terbatuk, menghirup udara dengan rakus. Matanya berkedip, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya. Ia berada di loteng rumah nenek buyutnya. Cahaya matahari pagi menembus jendela kecil, menerangi debu yang menari-nari di udara. Suara kicauan burung terdengar jelas dari luar. Aroma lumut dan kayu lapuk yang familiar mengisi indra penciumannya.
Ia duduk tegak, bingung. Kepalanya terasa sangat pusing, seolah ia baru saja bangun dari tidur yang sangat panjang. Memori tentang Alam Antara, Penjaga, Gilang, ibunya—semuanya terasa seperti mimpi buruk yang sangat nyata. Ia menyentuh wajahnya. Hangat. Ia mencubit lengannya. Sakit. Ini nyata. Ia kembali.
Ia bangkit, kakinya masih sedikit lemas. Ia melirik ke arah peti ulin. Peti itu tidak ada. Di tempatnya, hanya ada tumpukan barang-barang lama dan debu. Dokumen itu. Surat peringatan itu. Semuanya seolah tidak pernah ada.
Raka berjalan keluar dari loteng, menuruni tangga dengan hati-hati. Ketika ia membuka pintu depan dan melangkah keluar, ia disambut oleh suara-suara yang akrab—klakson mobil, teriakan anak-anak yang bermain, obrolan tetangga. Dunia nyata.
Namun, dunia nyata tidak menyambutnya dengan tangan terbuka.
Seorang tetangga yang kebetulan lewat berhenti tiba-tiba, matanya terbelalak. "Raka... Raka? Astaga! Kau... kau hidup?" Wajahnya pucat pasi, seolah melihat hantu.
Tidak lama kemudian, kabar kembalinya Raka menyebar bagai api. Keluarga datang, teman-teman datang. Mereka memeluknya, menangis, tetapi di mata mereka ada kebingungan, ketidakpercayaan, dan bahkan ketakutan.
"Raka, kau sudah dianggap meninggal!" Ayahnya menangis memeluknya, suaranya bergetar. "Kami sudah mengadakan tahlilan. Kami... kami pikir kau sudah tiada!"
Raka melihat dirinya di cermin. Ia tampak sedikit kurus, dan matanya memiliki bayangan gelap, tetapi ia adalah dirinya sendiri. Namun, semua orang terkejut melihatnya. Selama berapa lama ia pergi?
"Aku... aku tidak ingat," Raka mencoba menjelaskan, tetapi kata-katanya terdengar aneh, asing di telinganya sendiri. Bagian dari dirinya terasa kosong, seolah ada potongan memori yang hilang. Ia ingat Alam Antara, ingat semua kejadian itu, tetapi ada kekaburan di sekelilingnya, seperti ia baru saja kembali dari perjalanan yang sangat, sangat jauh.
Namun, di tengah kelegaan dan kebingungan itu, satu pikiran menusuk benaknya, tajam dan dingin. Reza. Di mana Reza? Apakah ia menemukan dokumen itu? Apakah ia membaca surat peringatan Raka?
Raka menatap wajah-wajah lega namun terkejut di sekelilingnya. Ia telah kembali. Tapi dengan biaya apa? Dan siapa yang kini terjebak, menjadi Pengganti di Alam Antara yang hampa itu? Ia tahu, ia harus mencari tahu. Ketakutan baru kini mencengkeramnya.