Cerpen
Disukai
1
Dilihat
2,308
Galeri Lukisan Oscar
Horor

Bab 1 – Wajah yang Tak Pernah Dicari

Udara lembap Jakarta di awal musim penghujan selalu membawa serta aroma tanah basah dan asap kendaraan yang samar. Di dalam bilik arsip yang dingin dan berdebu di balik dinding Museum Nasional, aroma itu berganti menjadi bau kertas tua dan pengawet kimiawi. Dimas, kurator seni berusia 35 tahun dengan rambut hitam yang selalu sedikit berantakan dan kacamata bertengger di hidung mancung, menghela napas. Proyek "Misteri Indonesia" yang ia garap terasa lebih seperti menggali kuburan ketimbang mengungkap keindahan seni. Tujuannya adalah menyeleksi lukisan-lukisan tua yang memiliki cerita gelap atau kontroversi di baliknya, untuk dipamerkan dalam ekshibisi khusus.

Jari-jarinya yang cekatan membolak-balik lembaran mikrofilm yang berisi arsip koran-koran Belanda kuno dari tahun 1925. Pandangannya terpaku pada sebuah artikel yang membahas seorang pelukis pribumi bernama Oskar Wiranegara. Judulnya yang menarik perhatian, "Misteri di Balik Kuas Oskar: Wajah-wajah yang Hilang," langsung memicu rasa ingin tahu Dimas. Menurut artikel itu, lukisan-lukisan Oskar digambarkan "terlalu nyata," seolah sang pelukis memiliki kemampuan untuk menangkap esensi jiwa. Namun, ada nada gelap yang menyelimuti reputasinya: banyak tokoh dalam lukisan-lukisan ikoniknya ternyata adalah orang-orang yang kemudian menghilang secara misterius, tanpa jejak.

Dimas merasakan lonjakan adrenalin yang aneh. Ini bukan sekadar misteri seni biasa; ini adalah teka-teki yang berbau darah dan kepedihan. Ia terus membaca, semakin terperangkap dalam jaring narasi lama. Nama-nama korban disebutkan, disertai deskripsi singkat tentang bagaimana mereka digambarkan dalam lukisan Oskar sebelum lenyap ditelan bumi. Sebuah sensasi dingin merayapi punggung Dimas saat ia melihat salah satu reproduksi lukisan dalam arsip tersebut—potret seorang pria tua dengan tatapan mata yang dalam dan sayu, dihiasi kumis lebat yang khas.

Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya seolah ingin keluar. Wajah itu… wajah itu sangat mirip dengan kakeknya, Hardi, yang menghilang secara misterius saat revolusi kemerdekaan. Sebuah cerita yang selalu diselimuti kesunyian dalam keluarganya, sebuah luka yang tak pernah sembuh. Kakeknya, seorang pejuang gerilya yang gigih, terakhir kali terlihat pada tahun 1947, dalam sebuah misi rahasia di sekitar Semarang. Tidak ada mayat, tidak ada makam, hanya kenangan yang memudar dan pertanyaan tanpa jawaban.

Dimas memeriksa tahun publikasi artikel itu lagi: 1925. Kakeknya lahir sekitar tahun 1900-an. Secara usia, sangat mungkin wajah di lukisan itu adalah kakeknya, atau setidaknya seseorang yang memiliki kemiripan genetik yang mencolok. Kemiripan itu begitu kuat, begitu mengganggu, sehingga ia merasa terguncang. Selama ini, Dimas selalu menganggap hilangnya kakeknya sebagai bagian tak terhindarkan dari kekejaman perang. Tapi sekarang, sebuah kemungkinan baru, yang jauh lebih menyeramkan, muncul di benaknya. Apakah kakeknya adalah salah satu "wajah yang terhapus" yang diabadikan Oskar sebelum ia lenyap? Atau ini hanya kebetulan belaka?

Rasa penasaran bercampur ketakutan mencengkeramnya. Proyek "Misteri Indonesia" tiba-tiba mengambil makna yang sangat personal. Ia harus menggali lebih dalam, tidak hanya untuk pameran, tapi untuk dirinya sendiri. Untuk kakeknya.

Bab 2 – Lukisan yang Tidak Pernah Dipamerkan

Dua minggu berikutnya, Dimas menghabiskan setiap jam luangnya untuk menelusuri jejak Oskar Wiranegara. Ia menyelami arsip museum, perpustakaan nasional, dan bahkan menghubungi kolektor seni pribadi yang diketahui memiliki karya-karya langka. Semakin ia mencari, semakin banyak informasi yang ia temukan tentang aura misterius yang melingkupi sosok Oskar. Pelukis itu terkenal karena kemampuannya menangkap ekspresi dan emosi yang mendalam, membuat setiap potretnya seolah memiliki kehidupan sendiri. Namun, di balik pujian itu, selalu ada bisikan-bisikan tentang kutukan dan bayang-bayang kegelapan.

Di antara tumpukan katalog dan surat-surat lama yang nyaris lapuk, Dimas menemukan sesuatu yang ganjil. Ada satu lukisan Oskar yang berulang kali disebut dalam korespondensi pribadi dan jurnal-jurnal lama, namun tidak pernah terdaftar dalam katalog pameran resmi manapun. Lukisan itu hanya disebut dalam jurnal pribadi seorang kurator Belanda bernama W. Jansen, yang bekerja di Batavia pada era yang sama. Jurnal Jansen, yang ditemukan Dimas di bagian arsip yang jarang tersentuh, menggambarkan lukisan itu dengan nada yang sangat hati-hati, bahkan cenderung ketakutan.

"Lukisan itu," tulis Jansen dengan tinta pudar, "adalah anomali. Ia bukan sekadar potret atau pemandangan. Ia adalah mata yang mengawasi. Setiap kali saya menatapnya, saya merasa seolah sedang diawasi oleh entitas tak kasat mata. Aura yang terpancar darinya sangat mengganggu, begitu gelap, hingga saya tak sanggup membiarkannya dipamerkan di hadapan publik."

Jansen bahkan menyarankan agar lukisan itu tidak pernah dipamerkan dan "disimpan jauh dari pandangan manusia." Menurut jurnal itu, lukisan itu kabarnya disimpan di rumah sang pelukis sendiri, sebuah bangunan kolonial tua di pinggir kota Batavia, yang kini dikenal sebagai bagian dari Jakarta Kota. Lokasi itu, yang Jansen gambarkan sebagai "terpencil dan diselimuti aura kesunyian," menambah bobot pada misteri lukisan yang tidak tercatat itu.

Dimas menelan ludah. Rasa ngeri bercampur gairah penemuan membuncah dalam dirinya. Sebuah lukisan yang begitu kuat hingga seorang kurator berpengalaman pun merasa terancam olehnya. Lukisan yang tak pernah dipamerkan, yang tersembunyi dari mata dunia, namun menyimpan rahasia kelam di dalamnya. Ia tahu ia harus menemukan lukisan itu. Instingnya mengatakan, lukisan itu mungkin adalah kunci untuk memahami tidak hanya hilangnya kakeknya, tetapi juga seluruh fenomena di balik karya-karya Oskar Wiranegara.

Dengan tekad bulat, Dimas mulai menelusuri alamat yang samar-samar disebutkan dalam jurnal Jansen. Ia meminta bantuan rekannya di divisi arsip peta lama, hingga akhirnya ia berhasil menemukan lokasi yang kemungkinan besar adalah bekas rumah Oskar Wiranegara. Bangunan itu, yang kini hanya tersisa kerangka lapuk, tercatat sebagai milik negara dan sudah lama terbengkalai. Untuk dapat masuk, Dimas harus mengurus surat izin resmi dari dinas kebudayaan. Prosesnya rumit, tapi tekadnya tak tergoyahkan. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti menarik benang merah yang semakin panjang dari masa lalu, menghubungkannya dengan sebuah kebenaran yang mengerikan.

Bab 3 – Galeri dalam Kabut Waktu

Beberapa hari kemudian, dengan surat izin resmi di tangan dan jantung berdebar, Dimas berdiri di depan gerbang besi berkarat sebuah rumah tua di sudut jalanan Jakarta Kota yang sepi. Cat dindingnya mengelupas, tanaman rambat menjalar liar menutupi sebagian besar fasad, dan genteng-genteng pecah menyisakan celah-celah hitam seperti mata yang kosong. Ini adalah bekas rumah sekaligus galeri Oskar Wiranegara. Udara di sekitarnya terasa lebih dingin dari biasanya, seolah tempat itu terjebak dalam kabut waktu.

Dimas mendorong gerbang yang berdecit nyaring, suaranya memantul di kesunyian yang mencekam. Langkah kakinya yang pelan di halaman berumput liar terasa begitu berat. Rumah itu sepi, terkesan begitu lama ditinggalkan hingga aura kehidupan sudah lama menguap. Aroma lembap bercampur bau jamur dan lumut menyeruak, diiringi terpaan angin lembut yang berembus dari celah-celah jendela yang pecah. Angin itu, pikir Dimas, terasa seperti napas masa lalu yang masih tersimpan di antara dinding-dinding usang ini.

Ia mengeluarkan kunci cadangan yang diberikan oleh dinas kebudayaan dan membuka pintu utama yang berat. Di dalamnya, kegelapan menyergap. Cahaya matahari hanya mampu menyusup melalui jendela-jendela tinggi yang kotor, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari di lantai kayu yang berdebu. Dimas menyalakan senter teleponnya, cahayanya memotong kegelapan, menyoroti sudut-sudut ruangan yang dipenuhi sarang laba-laba.

Ruangan utama adalah semacam aula yang dulunya mungkin berfungsi sebagai galeri pameran. Beberapa lukisan masih tergantung di dinding, meskipun kondisinya sangat menyedihkan. Kanvas-kanvasnya menghitam, penuh jamur dan noda kelembapan, pigura-pigura kayunya retak dan lapuk. Namun, bahkan dalam kondisi bobrok itu, Dimas bisa merasakan aura yang aneh terpancar dari setiap lukisan. Ada sesuatu yang hidup di dalamnya, sebuah energi yang tak lekang oleh waktu, seolah setiap sapuan kuas Oskar telah menangkap esensi jiwa yang tak bisa mati.

Dimas menyusuri ruangan itu perlahan, matanya meneliti setiap lukisan. Beberapa potret masih menunjukkan sedikit wajah-wajah yang samar, dengan mata yang seolah mengikuti gerakannya. Ia mengamati detail-detail kecil, mencoba memahami teknik Oskar, mencoba merasakan apa yang dirasakan kurator Jansen ketika melihat lukisan-lukisan itu. Ada ketenangan yang menipu di dalam rumah ini, diselingi bisikan-bisikan samar angin yang seolah bercerita tentang rahasia yang terkubur. Setiap langkah yang ia ambil di atas lantai yang berderit membawa Dimas semakin jauh ke dalam pusaran waktu, mendekatkannya pada kebenaran yang tak terduga.

Bab 4 – Siluet di Sudut Dinding

Dimas terus menjelajahi rumah tua itu, lorong demi lorong. Setiap ruangan terasa seperti labirin memori yang terbengkalai. Bau apek semakin kuat, dan kegelapan semakin pekat di bagian dalam rumah. Ia mencapai sebuah lorong sempit yang tampaknya menuju ke bagian belakang bangunan, di mana cahaya matahari hampir tidak bisa menembus. Udara di sana terasa lebih dingin, membawa serta aroma karat dan sesuatu yang lain, sesuatu yang samar-samar seperti bau tanah basah dan besi tua.

Di sudut lorong gelap itu, tertutup sebagian oleh tumpukan kain lapuk dan puing-puing, Dimas menemukan satu lukisan kecil. Ukurannya tidak lebih besar dari telapak tangannya, dan tidak ada pigura yang membingkainya. Lukisan itu tampak seperti pemandangan biasa: sebuah siluet pohon beringin tua di tengah lapangan yang sepi, dengan kabut tipis menyelimuti latar belakang. Tidak ada judul, tidak ada tanda tangan yang jelas. Lukisan itu begitu sederhana, begitu tidak mencolok, sehingga mudah saja terlewatkan.

Namun, ada sesuatu yang menarik perhatian Dimas. Meskipun ukurannya kecil dan warnanya sudah pudar, detail pada lukisan itu terasa anehnya hidup. Pepohonan, bahkan dalam goresan yang samar, seolah bergerak ditiup angin. Kabutnya terasa begitu nyata, seolah ia bisa merasakan kelembapannya.

Didorong oleh instingnya, Dimas mengulurkan tangan dan menyentuh permukaan lukisan itu. Kanvasnya terasa kasar di bawah ujung jarinya. Saat ia menyentuhnya, sebuah getaran aneh menjalari lengannya, seperti listrik statis yang dingin. Dan kemudian, sebuah mekanisme rahasia terpicu.

Dinding di belakang lukisan itu bergeser pelan, dengan suara gerungan rendah yang memecah kesunyian. Suara gesekan logam yang berat, seolah engsel-engsel tua baru terbangun dari tidur panjang. Debu dan remah-remah plester jatuh berhamburan. Sebuah celah sempit terbuka, memperlihatkan lorong kecil yang gelap gulita di baliknya. Udara dingin dan pengap menerpa wajah Dimas, membawa serta bau yang lebih pekat—bau tanah, logam, dan sesuatu yang lebih busuk, sesuatu yang memualkan.

Jantung Dimas berdebar tak karuan. Ini dia. Ini pasti yang dimaksud Jansen. Sebuah tempat tersembunyi. Ia menyalakan senternya dan mengarahkannya ke dalam lorong. Sinar cahayanya menari di dinding-dinding yang lembap dan berlumut. Lorong itu sempit, hanya cukup untuk satu orang, dan terasa begitu panjang, seperti terowongan menuju dimensi lain.

Sebuah sensasi aneh mencengkeramnya. Ia tidak hanya merasa seperti masuk ke dalam sebuah ruangan tersembunyi, tapi seolah ditarik mundur oleh waktu. Setiap langkah ke dalam lorong itu terasa seperti melintasi ambang batas antara masa kini dan masa lalu, antara dunia nyata dan sesuatu yang lain, sesuatu yang tak dapat dijelaskan oleh logika. Rasa ingin tahu dan ketakutan bercampur aduk dalam dirinya, namun ia tidak bisa mundur. Lukisan kecil itu, yang kini terlihat samar-samar di balik dinding yang bergeser, seolah menariknya ke dalam kegelapan. Ia harus tahu apa yang tersembunyi di balik lorong ini.

Bab 5 – Tempat Tidur Para Abadi

Dengan napas tertahan, Dimas memberanikan diri masuk ke lorong sempit itu. Udara di dalamnya dingin dan pengap, berbau seperti tanah yang baru digali dan besi berkarat. Langkahnya bergema samar di antara dinding-dinding yang lembap. Lorong itu tidak terlalu panjang, dan tak lama kemudian ia sampai di sebuah ruangan kecil yang berbentuk seperti kubah, tersembunyi di bawah tanah.

Senter di tangannya gemetar sedikit saat ia mengarahkannya ke sekeliling ruangan. Pemandangan di depannya membuat darahnya berdesir dingin. Ada lima tempat tidur logam berkarat yang tertata rapi di tengah ruangan, seolah-olah menunggu penghuninya. Kain penutup lusuh berwarna putih kusam menutupi setiap tempat tidur, menyembunyikan apa yang ada di baliknya.

Dimas merasakan napasnya tertahan di tenggorokan. Rasa takut yang begitu murni, begitu primitif, menyergapnya. Namun, rasa ingin tahu yang tak tertahankan mendorongnya maju. Ia berjalan mendekati tempat tidur pertama, tangannya gemetar saat ia meraih ujung kain penutup. Dengan satu sentakan pelan, ia menyingkap kain itu.

Di bawahnya, tergeletak kerangka manusia tanpa kepala.

Dimas terkesiap, hampir menjatuhkan senternya. Tengkorak kepala tidak ada, hanya tulang-belulang dada dan anggota tubuh yang tergeletak kaku di atas tempat tidur logam. Aroma busuk yang tertahan di balik kain penutup kini menyeruak, bau kematian yang sudah lama terpendam.

Ia memaksa dirinya untuk memeriksa tempat tidur-tempat tidur lainnya. Hasilnya sama. Empat kerangka lain, semuanya tanpa kepala, terbaring di atas tempat tidur-tempat tidur berkarat itu. Ruangan kecil itu tiba-tiba terasa seperti kamar mayat yang mengerikan, tempat persemayaman abadi bagi jiwa-jiwa yang terperangkap.

Rasa ngeri membuncah dalam dirinya, menyebabkan mual yang kuat. Namun, matanya yang tajam menangkap sesuatu yang berkilau di antara tulang-belulang di tempat tidur ketiga. Dimas mendekat, memaksa dirinya menahan napas untuk menghindari bau yang menusuk. Ia melihat sebuah kalung unik yang terbuat dari perak dengan liontin berbentuk lingkaran spiral yang rumit, tergeletak di dekat tulang leher.

Jantungnya kembali berdebar kencang. Ia mengenali kalung itu! Itu persis seperti kalung yang dikenakan oleh seorang perempuan yang ada di salah satu lukisan terkenal Oskar Wiranegara—sebuah potret berjudul "Nona Anggrek" yang menggambarkan seorang penari Jawa yang anggun. Lukisan itu sangat terkenal karena keindahan dan misteri di baliknya. Sekarang, perempuan itu, atau setidaknya apa yang tersisa darinya, terbaring di depannya.

Kenyataan menghantamnya seperti palu godam. Ini bukan sekadar lukisan. Ini adalah bukti. Bukti mengerikan dari sebuah kejahatan, atau sesuatu yang jauh lebih gelap. Kerangka-kerangka ini… apakah mereka adalah "wajah-wajah yang hilang" yang diabadikan Oskar? Apakah sang pelukis bukan hanya seorang seniman, tetapi juga seorang pembunuh, atau bagian dari ritual yang lebih besar?

Rasa ngeri yang membuncah kini bercampur dengan keinginan kuat untuk mengungkap kebenaran. Dimas tahu ia telah menemukan sesuatu yang jauh melampaui misteri seni. Ia telah menemukan sebuah kuburan rahasia, sebuah tempat di mana waktu seolah berhenti bagi para korban Oskar Wiranegara. Ia harus keluar dari sini dan melaporkan penemuan mengerikan ini.

Bab 6 – Jejak Oskar dan Laporan Polisi

Dengan adrenalin memompa kencang, Dimas bergegas keluar dari ruang rahasia itu, napasnya tersengal-sengal. Ia hampir tersandung di lorong sempit, pikirannya dipenuhi gambar kerangka tanpa kepala dan kalung spiral. Ia menutup kembali pintu rahasia itu dengan susah payah, seolah ingin menyegel kembali kengerian yang baru saja ia saksikan.

Begitu sampai di luar rumah tua itu, di bawah langit Jakarta yang mendung, ia segera mengeluarkan ponselnya. Tangannya gemetar saat ia menekan nomor polisi. Ia mencoba menjelaskan apa yang baru saja ditemukannya dengan tenang, meskipun suaranya sedikit bergetar. Petugas di ujung telepon terdengar skeptis pada awalnya, mengira Dimas mungkin hanya berkhayal atau terlalu terbawa suasana misteri. Namun, saat Dimas menyebutkan nama Oskar Wiranegara dan kaitannya dengan orang-orang hilang dari masa lalu, nada suara petugas berubah serius.

Tidak lama kemudian, beberapa mobil polisi dan tim forensik tiba di lokasi. Rumah tua itu segera dipasangi garis polisi, dan penyelidikan dimulai dengan sangat hati-hati. Dimas memberikan kesaksiannya, membawa mereka ke ruang rahasia yang mengerikan itu. Tim forensik bekerja dengan teliti, mengumpulkan bukti dan mengidentifikasi kerangka-kerangka tersebut.

Beberapa hari kemudian, hasil awal forensik keluar dan mengkonfirmasi dugaan Dimas. Berdasarkan analisis tulang dan artefak yang ditemukan, kerangka-kerangka itu berasal dari periode 1920-1930, sesuai dengan masa aktif Oskar Wiranegara. Lebih mengejutkan lagi, berkat kalung dan sisa-sisa pakaian yang masih menempel, tim berhasil mengidentifikasi identitas beberapa kerangka. Nama-nama korban yang sebelumnya hanya ada dalam arsip orang hilang, yang muncul di lukisan-lukisan Oskar, kini kembali ke permukaan setelah hampir seabad terkubur dalam kesunyian.

Ada Nona Anggrek, penari yang anggun, kini hanya tersisa tulang belulang. Ada juga seorang bangsawan muda dari Solo yang menghilang dalam perjalanan ke Batavia, dan seorang pedagang kaya dari Palembang yang lenyap tanpa jejak. Semua orang-orang ini, yang potretnya diabadikan oleh Oskar Wiranegara, ditemukan terbaring tanpa kepala di ruang rahasia rumahnya.

Berita ini mengguncang publik. Kisah Oskar Wiranegara, yang sebelumnya hanya menjadi legenda urban di kalangan sejarawan seni, kini menjadi berita utama di seluruh media. Pertanyaan-pertanyaan bermunculan: Apakah Oskar seorang pembunuh berantai? Apakah ada ritual gelap di balik karya-karyanya? Dan mengapa ia memenggal kepala para korbannya?

Bagi Dimas, penemuan ini adalah pencerahan sekaligus kutukan. Kakeknya tidak ditemukan di antara kerangka-kerangka itu, namun misteri Oskar semakin dalam dan personal. Ia menyadari bahwa ia telah terseret ke dalam pusaran sejarah yang jauh lebih gelap daripada yang pernah ia bayangkan. Setiap langkah mengungkap satu jawaban hanya memunculkan seratus pertanyaan baru. Dan yang paling menghantuinya adalah: apakah ada koneksi yang lebih dalam antara dirinya, kakeknya, dan pelukis misterius ini?

Bab 7 – Jurnal Gila Seorang Pelukis

Penyelidikan polisi di rumah Oskar Wiranegara berlanjut selama berminggu-minggu, mengubahnya dari situs bersejarah menjadi tempat kejadian perkara yang mengerikan. Setiap sudut rumah digeledah, setiap retakan di dinding diperiksa, setiap lemari tua dibuka dengan harapan menemukan petunjuk. Dimas, sebagai penemu awal, diizinkan untuk sesekali mendampingi tim investigasi, terutama jika ada kaitannya dengan artefak seni.

Suatu sore, saat polisi sedang memeriksa sebuah meja tulis tua di kamar tidur Oskar yang berantakan, salah seorang detektif menemukan sebuah laci tersembunyi. Laci itu dilapisi kain beludru usang dan tampak kosong pada awalnya. Namun, setelah disentuh lebih dalam, sebuah mekanisme pegas kecil terpicu, dan sebuah kompartemen rahasia terbuka. Di dalamnya, tersembunyi rapi, ditemukan sebuah jurnal kulit yang sudah menguning, lengkap dengan pena bulu yang kering.

Jantung Dimas berdebar kencang saat melihatnya. Ini pasti jurnal Oskar. Ini bisa menjadi kunci. Dengan izin polisi, Dimas dipercaya untuk membuka dan membaca jurnal itu, mengingat latar belakangnya sebagai kurator seni dan pengetahuannya tentang Oskar.

Isi jurnal itu sungguh mengerikan. Ditulis dengan tulisan tangan yang semakin lama semakin tidak beraturan, jurnal itu adalah catatan perjalanan pikiran seorang seniman yang perlahan-lahan tergelincir ke dalam kegilaan, atau mungkin, sebuah kebenaran yang tak tertahankan.

Di halaman-halaman awal, Oskar menulis tentang visi-visi aneh yang mulai menghantuinya. Ia mengklaim bisa "melihat wajah 'orang-orang yang akan terhapus dari sejarah'." Ia menulis bahwa mereka adalah individu-individu yang takdirnya adalah dilupakan, keberadaan mereka akan lenyap dari ingatan dunia dan bahkan Tuhan. Oskar meyakini bahwa tugasnya, sebagai seorang seniman, adalah "mengabadikan mereka" sebelum mereka lenyap sepenuhnya. Ia melukis mereka dengan detail yang mencengangkan, seolah setiap sapuan kuasnya adalah upaya putus asa untuk melawan takdir yang kejam.

Namun, semakin jauh Dimas membaca, semakin gelap isi jurnal itu. Visi-visi Oskar berubah menjadi halusinasi, dan tugasnya menjadi obsesi yang mematikan. Ia mulai menulis tentang "panggilan" yang ia dengar, suara-suara yang mendesaknya untuk "membebaskan" jiwa-jiwa itu dari dunia fana. Ia percaya bahwa dengan memenggal kepala mereka setelah melukisnya, ia tidak hanya mengabadikan mereka di kanvas, tetapi juga membebaskan jiwa mereka dari kehampaan abadi. Kepala-kepala itu, ia tulis, adalah "titik-titik kontak" yang terlalu kuat untuk dibiarkan di dunia ini, dan harus disingkirkan agar jiwa-jiwa itu dapat "melayang bebas di antara dimensi." Sebuah penjelasan yang gila, namun ditulis dengan keyakinan yang mengerikan.

Dan kemudian, di halaman-halaman akhir, tulisan Oskar menjadi semakin kacau. Ia mulai menulis tentang ketakutan yang mencekam. "Cermin itu," tulisnya, "ia mulai menunjukkan wajahku sendiri. Aku melihatnya, wajahku, di antara mereka yang akan terhapus." Ia berbicara tentang bagaimana garis-garis di wajahnya sendiri mulai terlihat asing, seolah ia sendiri menjadi salah satu dari "orang-orang yang akan terhapus" itu. Ia merasa bahwa kutukan atau anugerah yang ia miliki telah mulai berbalik, menggerogoti dirinya sendiri. Ia takut bahwa ia akan menjadi korban berikutnya dari visinya sendiri, bahwa ia akan dilukis dan kemudian lenyap.

Jurnal itu berakhir dengan beberapa coretan tak beraturan yang nyaris tidak bisa dibaca, dan tetesan noda cokelat gelap yang mungkin darah. Oskar tidak pernah ditemukan. Polisi menyimpulkan ia kemungkinan besar menjadi korban terakhir dari keyakinannya sendiri, menghilang seperti para "subjeknya."

Dimas meletakkan jurnal itu, tangannya gemetar. Ini bukan hanya cerita tentang seorang pelukis gila. Ini adalah kisah horor metafisik yang mendalam, tentang seseorang yang mencoba memerangi takdir, namun akhirnya terjebak dalam jaringnya sendiri. Dan pikiran tentang wajah kakeknya di lukisan Oskar, kini terasa semakin mengerikan. Apakah kakeknya adalah salah satu yang "akan terhapus"? Apakah ia juga telah diabadikan, hanya untuk kemudian dilenyapkan?

Bab 8 – Koneksi Keturunan dan Warisan Gelap

Penemuan jurnal Oskar Wiranegara memicu gelombang baru dalam penyelidikan, dan juga dalam pikiran Dimas. Ia tidak bisa berhenti memikirkan tentang "wajah-wajah yang akan terhapus" dan ramalan mengerikan Oskar tentang nasibnya sendiri. Terlebih lagi, kemiripan antara wajah di salah satu lukisan Oskar dan kakeknya terus menghantuinya. Apakah ini hanya kebetulan? Atau ada koneksi yang lebih dalam?

Didorong oleh rasa penasaran yang tak tertahankan, Dimas mulai menelusuri silsilah keluarga Oskar Wiranegara. Ia menghabiskan berjam-jam di kantor catatan sipil lama, membolak-balik akta kelahiran dan akta nikah yang sudah usang. Prosesnya lambat dan membosankan, namun Dimas merasa ada dorongan kuat yang menariknya maju.

Dan kemudian, ia menemukannya. Sebuah akta kelahiran yang mencantumkan nama ibunda Oskar Wiranegara: Siti Mariah. Dan di catatan pinggir, ada detail tentang hubungan keluarganya. Siti Mariah adalah adik kandung dari Karto, buyut Dimas, kakek dari ayah Dimas. Karto adalah seorang seniman batik tradisional yang kurang dikenal pada masanya, namun terkenal dengan kepekaan spiritualnya.

Fakta ini menghantam Dimas seperti sengatan listrik. Oskar Wiranegara adalah paman buyutnya. Ia adalah keturunan langsung dari darah sang pelukis gila itu. Garis keturunan itu mengalir dalam dirinya. Ini menjelaskan kemiripan antara kakeknya dan wajah di lukisan Oskar—mereka adalah anggota dari keluarga yang sama. Apakah ini juga menjelaskan mengapa Dimas-lah yang menemukan jurnal itu? Mengapa ia begitu tertarik pada misteri ini?

Malam harinya, setelah hari yang panjang dipenuhi penemuan mengejutkan, Dimas tertidur dengan pikiran yang kalut. Dalam mimpinya, ia menemukan dirinya berdiri di sebuah ruangan yang familiar, namun juga asing. Itu adalah ruang rahasia di rumah Oskar, lengkap dengan lima tempat tidur logam berkarat. Namun, kerangka-kerangka itu tidak ada. Sebagai gantinya, Oskar Wiranegara berdiri di tengah ruangan, membelakanginya, sibuk melukis di kanvas besar.

Oskar berbalik, menatap Dimas dengan mata yang sedih namun penuh pengertian. Wajahnya kurus dan lelah, persis seperti yang ia bayangkan dari tulisan-tulisan di jurnal. Oskar tidak mengatakan apa-apa, hanya mengulurkan sebuah kuas yang basah dengan cat hitam pekat kepada Dimas. Dimas meraih kuas itu, dan saat itu juga, ia merasakan sebuah dorongan yang kuat, sebuah keinginan tak tertahankan untuk melukis. Ia berdiri di belakang Oskar, memegang kuas itu, seolah ia adalah bayangan sang pelukis, bagian dari dirinya.

Tiba-tiba, ia tersentak bangun dari tidurnya. Jantungnya berdebar kencang, napasnya tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi dahinya. Mimpinya terasa begitu nyata, begitu jelas, hingga ia bisa merasakan dinginnya kuas di tangannya. Ia melihat ke tangannya. Dan saat itulah, ia melihatnya.

Di telapak tangannya, ada bercak cat hitam yang samar, yang seolah-olah mengering di kulitnya. Bercak itu tidak bisa hilang, meskipun ia sudah mencoba menggosoknya berulang kali. Ini bukan sisa mimpi. Ini adalah bukti. Warisan gelap Oskar Wiranegara, sebuah kutukan atau anugerah yang mengerikan, telah menemukan jalannya, mengalir dalam darah Dimas. Ia merasakan sebuah ikatan yang tak terputuskan dengan sang pelukis, sebuah takdir yang seolah telah menantinya selama seabad.

Bab 9 – Panggilan dari Dalam Lukisan

Setelah penemuan jurnal dan kerangka-kerangka itu, rumah Oskar Wiranegara sepenuhnya disegel oleh polisi. Garis-garis kuning polisi membentang di sekeliling properti, dan penjaga berjaga-jaga untuk memastikan tidak ada yang masuk. Namun, bagi Dimas, rumah itu memanggilnya. Terutama lukisan kecil tak berjudul yang telah membuka lorong rahasia itu. Lukisan itu, yang telah ia sentuh, kini terasa seperti jangkar yang menariknya kembali.

Beberapa malam kemudian, setelah berkali-kali mencoba memejamkan mata namun gagal, Dimas merasa tak tertahankan. Ia harus kembali. Ia tahu itu adalah tindakan yang tidak masuk akal, melanggar hukum, dan mungkin berbahaya. Tapi ada sesuatu yang lebih kuat dari akal sehat yang menariknya ke sana—sebuah bisikan, sebuah sensasi yang samar-samar seperti deja vu. Ia merasa seolah ia harus menyelesaikan sesuatu yang telah dimulai oleh leluhurnya.

Dengan berbekal senter kecil dan kunci duplikat yang diam-diam ia buat dari kunci asli yang ia gunakan sebelumnya, Dimas menyelinap masuk ke dalam rumah pada tengah malam. Gelapnya lebih pekat dari sebelumnya, dan setiap suara kecil, setiap deritan papan lantai, terasa begitu nyaring dan menakutkan. Aroma lembap dan jamur masih melekat, bercampur dengan sesuatu yang kini terasa lebih dingin, lebih… hidup.

Ia langsung menuju ke lorong tempat ia menemukan lukisan kecil itu. Di sana, di dinding yang dulu bergeser, lukisan itu masih tergantung. Namun, kali ini, lukisan itu terlihat berubah. Pemandangan pohon beringin tua yang semula tampak polos, kini memiliki siluet tambahan. Ada siluet seorang pria yang sedang berdiri di bawah pohon, dan wajahnya samar-samar menyerupai Dimas sendiri.

Jantung Dimas berdebar kencang. Ia mengusap matanya, tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Apakah ia hanya berhalusinasi karena kurang tidur dan tekanan? Ia mendekatkan wajahnya ke lukisan itu, mencoba melihat lebih jelas. Siluet itu benar-benar ada di sana, sebuah bayangan dirinya, terjebak di dalam kanvas.

Dan kemudian, ia mulai mendengarnya. Suara bisikan yang samar, seperti embusan napas angin, namun jelas terdengar memanggilnya dari balik kanvas. "Belum selesai..." suara itu berbisik, berulang-ulang, seolah memohon, seolah memerintah. Suara itu bukan suara Oskar, tapi lebih seperti gema dari banyak suara yang terperangkap.

Pada saat yang sama, ruangan di sekitarnya mulai terasa hidup. Udara menjadi lebih berat, lebih dingin. Angin seolah berembus dari masa lalu, membawa serta bau tanah basah, cat, dan sesuatu yang jauh lebih tua, sesuatu yang tak dapat dijelaskan. Bayangan-bayangan di dinding bergerak-gerak, menari-nari dalam cahaya senter Dimas, seolah entitas tak kasat mata sedang bergerak di sekelilingnya. Ia merasa seperti ditarik ke dalam lukisan itu sendiri, ke dalam kabut waktu yang Oskar tuliskan dalam jurnalnya.

Sebuah sensasi aneh mengalir dalam darahnya, campuran antara ketakutan dan keinginan yang tak terlukiskan. Ia merasa terhubung dengan tempat ini, dengan lukisan ini, dengan takdir yang telah menunggu. Bisikan "Belum selesai..." terus menggema di telinganya. Apa yang belum selesai? Apakah ia harus melanjutkan apa yang dimulai Oskar? Atau menghentikannya? Ketakutan bercampur dengan rasa ingin tahu yang mematikan, menariknya lebih jauh ke dalam pusaran misteri yang tak berujung.

Bab 10 – Lingkaran yang Terulang

Beberapa bulan kemudian. Berita tentang kerangka-kerangka di rumah Oskar Wiranegara mereda, perlahan digantikan oleh skandal dan berita harian lainnya. Dimas, di bawah pengawasan ketat dari kepolisian dan dinas kebudayaan, berhasil menyakinkan mereka untuk mengizinkan ia mengatur sebuah ekshibisi kecil di galeri miliknya, memamerkan beberapa karya yang ditemukan di rumah Oskar, yang sudah direstorasi. Lukisan itu sendiri, yang membuka lorong rahasia, kini tergantung di museum, tanpa label judul, sebagai artefak misterius yang disumbangkan.

Galeri Dimas yang sederhana kini dipenuhi pengunjung. Orang-orang berbisik, saling menunjuk pada lukisan-lukisan yang dikaitkan dengan misteri Oskar. Dimas berdiri di sudut ruangan, mengamati kerumunan, namun pikirannya melayang jauh. Bercak cat hitam di tangannya tidak pernah benar-benar hilang, meskipun ia sudah mencoba berbagai cara. Itu seperti tato, sebuah penanda.

Salah satu lukisan yang dipamerkan di galeri Dimas adalah sebuah lukisan baru, yang Dimas tidak ingat pernah melukisnya. Ia bangun suatu pagi dan menemukan lukisan itu di studio rumahnya, sudah hampir selesai. Kanvasnya masih sedikit basah, dan aroma cat minyak yang segar memenuhi ruangan. Ia tidak memiliki ingatan sedikit pun tentang proses pembuatannya, seolah tangannya bergerak sendiri, dipandu oleh kekuatan tak terlihat.

Lukisan itu menggambarkan pemandangan yang aneh dan familiar: sosok seorang pria berdiri di dalam rumah tua yang gelap, memegang kuas di tangannya. Di belakangnya, samar-samar terlihat lima siluet tempat tidur logam. Ekspresi pria itu tidak terlihat jelas, namun ada aura melankolis dan keputusasaan yang kuat terpancar darinya.

Seorang pengunjung paruh baya, seorang pria dengan rambut beruban dan tatapan mata yang dalam, berhenti di depan lukisan itu. Ia menatapnya lama, lalu tiba-tiba terkesiap. Wajahnya memucat, dan tangannya gemetar saat ia menunjuk ke arah lukisan itu.

"Saya kenal wajah itu!" seru pria itu, suaranya sedikit bergetar. "Itu paman saya! Paman Handoko! Dia hilang tahun lalu, dalam perjalanan bisnis ke luar kota. Tidak ada jejaknya sama sekali..."

Dimas merasakan darahnya mengalir dingin. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya. Paman Handoko? Hilang tahun lalu? Lingkaran itu... lingkaran itu berulang. Ia melihat ke lukisan yang tidak ia ingat melukisnya, lalu ke bercak cat hitam di tangannya yang tak kunjung hilang. Ia bukan hanya keturunan Oskar, ia telah menjadi Oskar. Sebuah portal telah terbuka, dan ia adalah sang pelukis, pewaris kutukan itu. Ia adalah Dimas, sekaligus Oskar.

Malam hari, setelah galeri tutup dan pengunjung pergi, Dimas kembali ke Museum Nasional. Ia menyelinap masuk, mengambil jalan memutar, menghindari penjaga malam. Ia harus melihat lukisan kecil itu, lukisan tanpa judul yang kini tergantung di museum. Ia harus melihatnya lagi, memahami apa yang terjadi.

Lukisan itu tergantung di dinding yang remang-remang, tampak polos dan tidak berbahaya di balik kaca pelindung. Pemandangan pohon beringin tua. Tidak ada lagi siluet dirinya di sana. Lukisan itu tampak normal, seperti tidak ada apa-apa yang pernah terjadi.

Namun, saat Dimas berbalik untuk pergi, sebuah bisikan samar terdengar di telinganya, suara yang dingin dan berulang: "Belum selesai..."

Dan pada saat yang sama, di sudut mata, Dimas melihat sebuah siluet bergerak di balik lukisan itu. Seorang penjaga malam, yang sedang berpatroli, tiba-tiba berhenti di depan lukisan itu. Penjaga itu mengusap matanya, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Siluet hitam samar itu, seolah terbuat dari bayangan malam, terlihat berjalan keluar dari dalam lukisan, menghilang ke dalam kegelapan lorong museum.

Dimas terpaku, napasnya tertahan. Ia ingin berteriak, memperingatkan penjaga itu, namun ia tidak bisa. Suara bisikan "Belum selesai..." menggema semakin kuat di benaknya.

Ia tahu apa artinya. Lingkaran ini tidak akan pernah berakhir. Ia telah menjadi bagian dari misteri yang tak terpecahkan ini, terikat pada takdir yang lebih besar dari dirinya sendiri. Dan ia tahu, suatu saat nanti, mungkin ia akan menjadi "wajah yang akan terhapus" berikutnya, diabadikan oleh kuas yang mungkin dipegangnya sendiri, atau oleh pewaris kutukan yang baru. Lukisan Terakhir 1925 bukanlah sebuah akhir, melainkan awal dari lingkaran horor yang abadi.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)