Cerpen
Disukai
2
Dilihat
1,879
Dia Pembunuh
Misteri

Bab 1 – Malam Tak Biasa

Nadia selalu menyukai malam-malam di Perumahan Anggrek. Tenang, sepi, dengan udara yang selalu terasa lebih dingin dan bersih setelah matahari terbenam. Pada usia dua puluh tujuh tahun, ia merasa telah menemukan tempatnya, sebuah sarang nyaman bersama Reno, kekasihnya, di rumah kecil bergaya minimalis itu. Mereka berbagi kopi hangat di beranda, membicarakan hari yang telah berlalu, atau hanya menikmati keheningan yang sesekali dipecahkan oleh suara jangkrik dari taman. Bagi Nadia, rumah ini adalah lambang dari awal yang baru, sebuah halaman kosong setelah babak kelam dalam hidupnya.

Reno, dengan rambut ikalnya yang selalu sedikit berantakan dan senyumnya yang mampu mencairkan gunung es sekalipun, adalah jangkar bagi Nadia. Ia adalah pengimbang sempurna bagi kecenderungannya untuk terlalu banyak berpikir, terlalu banyak merenung. Nadia, seorang desainer grafis lepas yang terkadang terlalu tenggelam dalam dunia imajinasinya, dan Reno, seorang konsultan IT yang pragmatis dan realistis, menjalani hidup yang teratur, nyaris membosankan, jika bukan karena kehadiran Pak Surya.

Pak Surya, tetangga mereka di sebelah, adalah anomali di perumahan yang ramah dan penuh tetangga usil ini. Ia seorang pria paruh baya, sekitar lima puluhan, dengan rambut memutih dan tatapan mata yang sering kali kosong, seolah jiwanya telah lama meninggalkan raganya. Ia jarang terlihat di luar rumah, hanya sesekali saat membuang sampah atau mengambil surat kabar. Ia selalu mengenakan kemeja lusuh dan celana kain yang terlalu besar, seolah-olah duka yang tak terlihat telah menggerogoti jiwanya. Perumahan Anggrek menyebutnya "si penyendiri," dan Nadia serta Reno tidak pernah benar-benar mencoba mendekatinya, menghargai privasi yang seolah membungkusnya dalam kepompong kesedihan. Ada desas-desus bahwa ia baru saja kehilangan istrinya setahun yang lalu, sebuah tragedi yang membuat Nadia merasa sedikit terhubung dengannya dalam level yang aneh, meskipun ia tidak berani mendekat.

Malam itu, hawa dingin merayap masuk melalui jendela ruang keluarga yang sedikit terbuka. Nadia sedang sibuk dengan tablet grafisnya, menyelesaikan ilustrasi untuk sebuah proyek buku anak-anak. Tangannya bergerak lincah, menciptakan karakter-karakter lucu dan dunia penuh warna. Reno duduk di sofa di sebelahnya, matanya terpaku pada layar televisi yang menampilkan pertandingan sepak bola yang kurang menarik. Ia sesekali melirik Nadia, tersenyum kecil saat melihat konsentrasinya. Sebuah obrolan ringan tentang makan malam tadi terhenti ketika sebuah suara aneh terdengar dari luar.

"Kedengaran sesuatu, Ren?" Nadia bertanya, tangannya berhenti bergerak, alisnya berkerut.

Reno mematikan televisi, suara klik kecil terdengar. "Suara apa?"

"Seperti... gesekan? Berat? Dan juga, sedikit tersendat-sendat, seperti seseorang sedang kesulitan."

Mereka berdua menoleh ke jendela yang menghadap ke halaman belakang. Lampu jalan di sana remang-remang, menciptakan bayangan panjang dari pohon mangga tua yang cabang-cabangnya menjulur seperti jemari raksasa. Tiba-tiba, sesosok tubuh muncul di antara bayangan, bergerak perlahan, nyaris menyeret dirinya. Itu Pak Surya.

Ia tidak sendirian.

Pak Surya menyeret sesuatu. Sebuah benda besar, terbungkus rapat dengan terpal gelap, bentuknya samar-samar seperti sebuah... kantung jenazah. Atau setidaknya, itulah yang pertama kali terlintas di benak Nadia, sebuah pikiran mengerikan yang langsung membuat darahnya berdesir dingin. Objek itu bergerak dengan gerakan tersentak-sentak di balik tarikan Pak Surya yang tampak begitu berat, bahunya melengkung di bawah beban. Aroma aneh, samar-samar, seperti bau apek bercampur sesuatu yang... amis dan membusuk, merambat masuk ke hidung Nadia, bahkan menembus lapisan kaca jendela yang terbuka sedikit. Ia bahkan bisa merasakan lidahnya sedikit mengecap rasa pahit. Atau mungkin itu hanya imajinasinya yang terlalu liar.

Reno bangkit dari sofa, matanya melebar tak percaya, pupilnya membesar karena syok. "Apa itu, Nad?" bisiknya, suaranya tercekat, nyaris tak terdengar.

Pak Surya menyeret benda itu ke pintu belakang rumahnya, yang jarang sekali ia gunakan, selalu tertutup rapat seolah menyembunyikan rahasia. Dengan susah payah, ia membuka pintu dan menarik masuk benda gelap itu ke dalam kegelapan rumah. Pintu tertutup dengan suara decitan pelan, dan keheningan kembali merajai, kali ini terasa jauh lebih berat dan menekan.

Nadia dan Reno saling pandang. Wajah Reno memerah, matanya menyiratkan kemarahan dan ketakutan sekaligus. Ia selalu memiliki temperamen yang mudah tersulut, sebuah api yang mudah membara jika ia merasa ada ketidakadilan atau ancaman.

"Itu... itu pasti mayat," Reno akhirnya berkata, suaranya rendah dan serak, penuh keyakinan yang mengerikan. "Pasti mayat, Nad. Kita harus lapor polisi."

Nadia masih syok, mencoba mencerna apa yang baru saja mereka saksikan. Rasa mual mulai menusuk perutnya. "Tapi... Reno, mungkin itu hanya... barang bekas yang sangat besar? Atau sesuatu yang lain? Mungkin dia baru saja pindahan dan membeli kasur bekas?"

"Barang bekas apanya?! Itu ukuran manusia, Nad! Dan dia menyeretnya seperti... seperti dia tidak ingin ada yang tahu! Dia bahkan tidak menyalakan lampu di halaman belakang!" Reno menunjuk ke arah rumah Pak Surya, tangannya sedikit gemetar. "Aku akan telepon polisi sekarang. Kita tidak bisa diam saja. Bagaimana kalau ada orang yang dalam bahaya?"

Nadia mencoba menenangkan Reno, merasakan gelombang keraguan yang dingin. "Tunggu dulu. Bagaimana jika kita salah? Kita tidak melihat jelas. Bagaimana jika itu hanya... patung manekin besar atau semacamnya? Kita bisa dituduh membuat laporan palsu."

"Patung manekin yang diseret jam sepuluh malam seperti orang mati, dengan bau aneh dan gerak-gerik mencurigakan?" Reno mendengus, suaranya naik satu oktaf. "Jangan naif, Nad. Ini aneh. Terlalu aneh. Aku tidak bisa tidur tenang kalau tidak melaporkannya. Bayangkan kalau itu benar-benar seseorang yang dia bunuh, dan kita tidak melakukan apa-apa."

Reno sudah meraih ponselnya dari meja kopi, jari-jarinya menekan nomor darurat dengan cepat dan mantap. Nadia hanya bisa melihatnya, perasaannya bercampur aduk antara ketakutan yang mencekam dan rasa bersalah yang belum jelas alasannya. Sesuatu di dalam dirinya berteriak bahwa ini adalah kesalahan, sebuah lompatan kesimpulan yang terlalu cepat, tapi suara Reno yang mendesak, penuh keyakinan, menenggelamkan keraguannya. Api di mata Reno adalah cerminan dari keyakinan yang tak tergoyahkan.

Bab 2 – Laporan dan Kekecewaan

Dua jam kemudian, mobil patroli polisi tiba di Perumahan Anggrek, memecah keheningan malam dengan lampu berkedip dan suara mesin yang pelan. Dua petugas, seorang pria paruh baya dengan kumis tebal dan tatapan lelah, dan seorang wanita muda dengan ekspresi skeptis yang jelas, turun dari mobil. Reno, yang berdiri di depan pintu rumah mereka dengan raut wajah tegang dan bahu yang tegang, menyambut mereka dengan tergesa-gesa, mengabaikan tatapan ingin tahu dari beberapa tetangga yang keluar dari rumah mereka, berdiri di balik pagar dan berbisik-bisik.

Nadia mengikuti dari belakang, merasa risih dengan perhatian yang tiba-tiba tertuju pada mereka. Ia berharap tanah bisa menelannya, ingin menghilang dari tatapan ingin tahu dan bisik-bisik tetangga.

Reno menjelaskan apa yang mereka lihat dengan penuh keyakinan, menunjuk ke arah rumah Pak Surya dengan tangan gemetar. Ia berbicara tentang benda besar yang diseret, tentang ekspresi tegang Pak Surya, tentang firasat buruk yang ia rasakan. Ia bahkan menyebutkan aroma amis yang tercium. Petugas yang lebih tua mengangguk-angguk, sesekali mencatat di buku kecilnya dengan pulpen, sementara petugas wanita hanya melipat tangan di dada, alisnya sedikit terangkat, ekspresinya mencerminkan rasa tidak percaya yang mendalam.

"Baik, Pak. Kami akan periksa," kata petugas yang lebih tua dengan nada datar, seolah sudah terbiasa dengan laporan-laporan aneh di tengah malam.

Mereka mendatangi rumah Pak Surya, mengetuk pintu beberapa kali dengan irama yang teratur dan nyaring. Keheningan yang lama terasa mencekam, hanya dipecahkan oleh suara jangkrik yang sporadis, hingga akhirnya pintu terbuka perlahan dengan decitan. Pak Surya berdiri di ambang pintu, tampak sama lusuh seperti biasa, matanya sedikit bengkung seperti orang yang baru bangun tidur, atau mungkin tidak tidur sama sekali. Ada kantung mata gelap di bawahnya.

Petugas menjelaskan maksud kedatangan mereka, dengan bahasa yang diplomatis, menyebutkan adanya "laporan tentang aktivitas mencurigakan dari tetangga." Pak Surya hanya menatap mereka dengan tatapan kosong, alisnya sedikit terangkat, lalu mengizinkan mereka masuk tanpa sepatah kata pun. Ia tampak lelah, nyaris tidak peduli.

Nadia dan Reno menunggu di kejauhan, jantung mereka berdebar tak karuan. Mereka melihat petugas masuk, menghilang ke dalam rumah, lalu muncul kembali beberapa menit kemudian. Wajah petugas wanita terlihat sedikit kesal, seperti ia baru saja membuang-buang waktunya.

"Tidak ada apa-apa," kata petugas yang lebih tua kepada Reno, nadanya kini lebih dingin dan agak menuduh. "Rumah bersih. Tidak ada bau mencurigakan, tidak ada noda darah, tidak ada tanda-tanda kejahatan. Bapak yakin tidak salah lihat?"

"Tapi... tapi kami melihatnya! Benda itu! Saya bahkan bisa mencium baunya!" Reno bersikeras, suaranya sedikit meninggi, kemarahan bercampur frustrasi.

"Mungkin hanya salah paham, Pak. Barang-barang rumah tangga, mungkin?" Petugas wanita menambahkan, tatapannya menyapu Nadia dengan ekspresi menghakimi, seolah Nadia adalah bagian dari lelucon buruk ini.

Nadia merasa wajahnya memerah padam. Rasa malu menjalar di seluruh tubuhnya, membuatnya ingin segera menghilang. Ia ingin melarikan diri dari situasi ini, dari tatapan tetangga yang berbisik-bisik. Ia mencoba menarik lengan Reno, ingin mengajaknya masuk ke dalam rumah, menjauh dari rasa dipermalukan ini.

Tapi Reno tidak bergeming. Ia mencabut tangannya dari genggaman Nadia. "Salah lihat?! Kita berdua melihatnya, Nad! Jelas sekali! Mereka tidak memeriksa dengan benar! Atau... atau Pak Surya sudah menyembunyikannya! Dia pasti sudah memindahkannya!" Reno mendengus, frustrasi terpancar jelas di setiap gerak-geriknya. Ia mengepalkan tangannya.

Petugas saling pandang, lalu kembali menatap Reno dengan tatapan lelah yang menunjukkan bahwa kesabaran mereka sudah menipis. "Pak, kami sudah periksa. Kami sudah menggunakan K9 unit yang dilatih untuk mendeteksi bau-bauan tertentu, dan tidak ada indikasi apapun. Jika ada sesuatu, kami pasti akan menindaklanjutinya. Tapi untuk saat ini, kami tidak menemukan apa-apa. Tolong jangan membuat laporan palsu lagi."

Mereka memberikan kartu nama dan berpamitan, meninggalkan Reno berdiri di halaman dengan wajah merah padam karena frustrasi yang mendalam dan rasa tidak percaya. Nadia berjalan mendekat, meraih tangan Reno yang terkepal.

"Sudahlah, Ren. Mungkin memang kita salah lihat. Mungkin itu hanya kardus besar atau semacamnya," bisik Nadia, mencoba meredakan ketegangan, meskipun dalam hati ia masih merasakan sedikit keganjilan.

"Salah lihat?! Kita berdua melihatnya, Nad! Kita melihatnya dengan mata kepala kita sendiri! Apa mereka pikir kita gila?!" Reno membanting pintu rumah dengan kesal, suaranya menggelegar di dalam keheningan malam.

Malam itu, ketegangan melayang di antara mereka seperti awan gelap yang tidak bisa diusir. Reno terobsesi. Ia mondar-mandir di ruang keluarga, bergumam tentang polisi yang tidak becus dan Pak Surya yang licik. Ia tidak bisa diam, energinya yang gelisah memancar ke segala arah. Nadia mencoba menenangkan, mencoba mengalihkan perhatiannya, tapi sia-sia. Reno mulai mencari berita kriminal di internet, membandingkan pola kejahatan, membangun teori-teori konspirasi yang mengerikan, menyusun daftar "pembunuh berantai" di daerah sekitar.

"Dia pasti menyembunyikan di suatu tempat yang tidak terpikirkan, Nad," kata Reno, matanya menyala-nyala karena amarah dan obsesi. "Di bawah tanah? Di balik tembok palsu? Di lubang yang dia gali? Aku harus menemukan buktinya. Aku tidak akan tenang sampai aku tahu kebenarannya."

"Reno, hentikan. Ini tidak sehat. Kamu sudah terlalu jauh," Nadia memohon, memegang tangannya yang dingin. "Kita tidak punya bukti apapun. Ini bisa jadi bahaya kalau kamu terlalu ikut campur. Bagaimana kalau dia tahu kita yang melaporkan?"

"Bahaya? Bahaya bagi siapa? Bagi pembunuh itu? Kita harus melindungi diri kita sendiri, Nad! Dia ada di sebelah! Bagaimana kalau kita jadi korban selanjutnya?! Bagaimana kalau dia tahu kita mencurigainya dan dia datang ke sini?" Reno mencengkeram bahu Nadia, matanya menuntut pengertian. "Kita tidak bisa hidup dalam ketakutan seperti ini, Nad. Aku tidak bisa."

Perdebatan mereka berlanjut hingga larut malam. Nadia merasa lelah, bukan hanya secara fisik, tapi juga mental. Obesesi Reno terasa mencekik, mengubah suasana rumah yang semula nyaman menjadi penuh kecurigaan dan paranoid yang menakutkan. Ia mulai bertanya-tanya, apakah Reno terlalu berlebihan? Atau apakah Nadia sendiri yang terlalu naif, terlalu mudah percaya bahwa hal buruk tidak akan terjadi pada mereka?

Dalam tidurnya, Nadia bermimpi buruk. Ia melihat bayangan gelap menyeret sesuatu yang berat, aroma amis menyeruak, dan suara langkah kaki yang mendekat. Dalam mimpinya, wajah Pak Surya terlihat jelas, tersenyum jahat. Ia terbangun dengan napas terengah-engah, merasakan dingin di sekujur tubuhnya, padahal AC tidak menyala. Malam itu, untuk pertama kalinya, ia merasa tidak aman di rumahnya sendiri, di sarang yang seharusnya menjadi tempat paling aman baginya.

Bab 3 – Mayat Kedua

Beberapa hari berikutnya, kehidupan di rumah Nadia dan Reno terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Reno memasang beberapa kamera tersembunyi di sudut-sudut halaman belakang, mengarah ke rumah Pak Surya. Ia bahkan mencoba menyambungkan beberapa kamera wireless ke ponselnya, mencoba mendapatkan sudut pandang yang lebih baik. Ia menghabiskan jam-jamnya di depan monitor, mengawasi setiap gerakan Pak Surya, mencari pola, mencari celah. Nadia mencoba mengabaikannya, membenamkan diri dalam pekerjaannya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua ini hanyalah paranoia Reno yang berlebihan, sebuah fase yang akan segera berlalu. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa Pak Surya hanyalah pria tua aneh yang punya hobi aneh.

Tapi pada malam kelima setelah kejadian pertama, rasa aman Nadia hancur berkeping-keping, tidak hanya menjadi pecahan kaca, melainkan debu.

Mereka sedang makan malam di dapur, suasana canggung dan hening. Hanya dentingan sendok dan garpu yang terdengar. Reno sedang membolak-balik berita di ponselnya, dan Nadia mencoba fokus pada makanannya, meskipun nafsu makannya menghilang. Tiba-tiba, Reno terkesiap, sebuah suara yang mengagetkan Nadia.

"Lihat, Nad!"

Nadia mendongak, menjatuhkan garpunya. Reno menunjuk ke arah jendela dapur yang menghadap ke halaman belakang. Lampu sensor gerak di teras Pak Surya menyala, menyoroti bayangan yang bergerak. Bayangan itu panjang dan bergetar, seperti hantu.

Itu Pak Surya lagi.

Dan ia menyeret sesuatu lagi.

Kali ini, objek yang diseretnya tampak lebih kecil dari yang pertama, tapi bentuknya sama mengerikan. Terbungkus karung goni tebal, dengan bentuk yang jelas-jelas menyerupai tubuh manusia, kali ini lebih kecil, seperti... anak-anak? Nadia menutupi mulutnya dengan tangan, berusaha menahan suara tercekik yang ingin keluar. Darah seolah membeku dalam nadinya. Aroma amis yang sama, kini lebih pekat dan menusuk, kembali tercium.

"Sial! Dia melakukannya lagi!" Reno menggebrak meja dengan suara keras, piring dan gelas bergetar. Amarahnya membara, matanya memancarkan api. "Lihat, Nad?! Aku tidak berbohong! Dia pembunuh berantai! Apa lagi yang harus kita tunggu?! Dia akan terus membunuh! Ini mungkin anak kecil!"

Ketakutan yang dingin merayap ke tulang Nadia, melumpuhkan keraguannya, membakar setiap sel di tubuhnya. Dua kali. Mereka telah melihatnya dua kali. Ini bukan kebetulan. Ini bukan kesalahpahaman. Pak Surya, tetangga yang tampak pendiam dan tidak berbahaya, adalah monster. Sebuah monster yang bersembunyi di balik kesunyian rumahnya.

"Kita harus lapor polisi lagi," kata Nadia, suaranya bergetar, bibirnya pucat pasi. Ia merasa seperti akan muntah.

"Untuk apa? Mereka tidak akan percaya kita lagi! Mereka akan menganggap kita gila! Aku bahkan bisa mendengar nada sinis mereka!" Reno mencibir, senyum pahit terukir di wajahnya. "Tidak, Nad. Kali ini kita tidak bisa menunggu polisi. Kita harus bertindak."

Nadia menatap Reno, hatinya berdegup kencang, suaranya nyaris tidak keluar. "Bertindak? Maksudmu apa? Kita... kita tidak bisa..."

"Kita harus masuk ke rumahnya. Kita harus menemukan buktinya. Jika kita bisa menemukan mayat-mayat itu, polisi tidak akan bisa menyangkalnya lagi. Mereka harus percaya kita. Kita harus membuktikan dia bersalah." Mata Reno berkilat, ekspresi tekad yang menakutkan terpampang di wajahnya. Ada sesuatu yang hampir fanatik dalam sorot matanya.

"Gila! Itu terlalu berbahaya, Reno! Kita tidak tahu apa yang dia sembunyikan di sana! Bagaimana kalau dia bersenjata?! Bagaimana kalau dia punya kaki tangan?!" Nadia mencoba membantah, suaranya meninggi dalam kepanikan. "Kita bisa terbunuh!"

"Kita tidak punya pilihan, Nad! Kita tidak bisa membiarkan orang ini bebas! Kita bisa jadi korban selanjutnya! Atau lebih buruk lagi, ada korban lain yang menunggu untuk dibunuh!" Reno meraih tangan Nadia, genggamannya kuat dan meyakinkan, meskipun terasa dingin di kulit Nadia. "Percayalah padaku. Aku akan melindungimu. Kita hanya perlu mengambil beberapa foto, dan kita langsung keluar. Ini untuk kebaikan semua orang, Nad."

Nadia ragu, perutnya terasa mual, otaknya berteriak untuk lari. Ia tahu ini gila, sebuah tindakan nekad yang bisa berujung pada malapetaka, tetapi bayangan benda yang diseret Pak Surya terus terngiang di benaknya, memenuhi setiap sudut pikirannya. Rasa tanggung jawab, campuran ketakutan dan keinginan untuk mengakhiri kengerian ini, mulai tumbuh, mengalahkan rasa takut.

"Tapi bagaimana caranya? Dia pasti sudah mengunci semuanya," bisik Nadia, akhirnya menyerah pada desakan Reno, pada desakan sebuah keinginan untuk kebenaran yang mengerikan.

Reno tersenyum tipis, sebuah senyum yang tidak sampai ke matanya, hanya ke bibirnya. "Aku sudah memikirkannya. Jendela dapur di sana, selalu sedikit terbuka. Dia tidak pernah menguncinya. Mungkin dia pelupa, atau dia terlalu percaya diri. Kita bisa masuk dari sana."

Sebuah rencana mulai terbentuk di benak Reno, detail-detail yang mengerikan dan berani. Nadia merasa seperti karakter dalam film horor, terperangkap dalam skenario yang tidak masuk akal, sebuah mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Tapi ia tidak bisa lagi mundur. Bayangan mayat kedua telah mengunci takdir mereka. Mereka harus melakukan ini.

Bab 4 – Penyusupan

Malam itu terasa lebih gelap dan dingin dari biasanya. Langit mendung tanpa bintang, diselimuti awan tebal yang seolah menahan napas. Angin berdesir di antara pepohonan, menciptakan suara-suara aneh yang membuat bulu kuduk Nadia merinding, seperti bisikan dari dunia lain. Suara dedaunan yang bergesekan terdengar seperti langkah kaki yang mendekat. Reno telah menyiapkan diri dengan sangat teliti: sarung tangan karet hitam yang pas di tangannya, senter kecil yang bisa digenggam erat, dan ponselnya siap untuk merekam, dengan mode malam aktif. Nadia, mengenakan pakaian gelap dan sepatu kets yang nyaman, mengikuti Reno seperti bayangan, napasnya tertahan di tenggorokan, setiap langkah terasa berat.

Mereka menyelinap melalui pagar pembatas kawat yang berkarat antara rumah mereka dan rumah Pak Surya. Halaman belakang Pak Surya terasa lebih gelap, diselimuti bayangan tebal dari semak-semak yang tumbuh liar dan pohon-pohon yang tidak terawat. Udara terasa pengap, dan Nadia bersumpah ia bisa mencium bau tanah basah bercampur sesuatu yang busuk, bau yang sama dengan yang ia cium di malam pertama, kini lebih kuat, lebih nyata.

"Jendela dapur ada di sini," bisik Reno, menunjuk ke sebuah jendela kecil di bagian belakang rumah. Jendela itu memang sedikit terbuka, sekitar satu inci, seolah mengundang, atau mungkin sebuah tanda kecerobohan yang aneh dari Pak Surya.

Reno mencoba mendorongnya lebih lebar. Dengan sedikit usaha dan suara gesekan kaca yang nyaris tak terdengar, jendela itu terbuka cukup lebar untuk mereka bisa masuk. Reno memberikan isyarat agar Nadia masuk duluan, tangannya menunjuk ke dalam kegelapan.

"Kau masuk dulu," bisik Reno, suaranya rendah dan tegang. "Aku akan mengikutimu. Tetaplah diam."

Nadia ragu, lututnya gemetar, jantungnya berdebar-debar seperti genderang perang di telinganya. Rasa takut yang begitu besar menguasai dirinya, tapi ia memaksa kakinya untuk bergerak. Ia merangkak masuk melalui jendela, merasa sedikit tergores di lengannya, kulitnya bergesekan dengan kusen jendela yang kasar. Di dalam, dapur Pak Surya terasa dingin dan tidak bernyawa, dengan peralatan dapur yang tampak usang dan berdebu, piring-piring kotor menumpuk di wastafel.

Reno mengikuti, masuk dengan gerakan yang lebih luwes dan cepat, seperti bayangan yang meluncur. Ia langsung mengeluarkan senter, cahayanya yang sempit menyapu setiap sudut ruangan, menyoroti sarang laba-laba dan debu yang tebal. "Oke, kita cari ruang bawah tanah. Pembunuh biasanya menyembunyikan korbannya di sana. Ini tempat yang paling logis."

Mereka bergerak perlahan, langkah kaki mereka terasa memantul di lantai kayu yang usang dan berderit pelan di setiap pijakan. Setiap suara kecil terasa diperbesar, setiap bayangan menari di dinding terasa mengancam, berubah menjadi bentuk-bentuk mengerikan di imajinasi Nadia. Mereka melewati ruang makan yang kosong, meja makan yang tertutup kain usang, lalu ruang tamu yang dipenuhi perabot tua yang tertutup kain putih, seperti patung-patung hantu yang menunggu untuk hidup kembali. Aroma apak dan lembab semakin kuat, menusuk hidung Nadia, membuatnya ingin muntah.

"Ini dia," bisik Reno, menunjuk ke sebuah pintu kecil di sudut ruang tamu yang nyaris tidak terlihat, tersamarkan oleh lemari tua yang besar. Pintu itu tampak seperti pintu lemari biasa, tapi Reno merasakan sebuah tarikan yang aneh, seolah ada sesuatu di baliknya yang menarik perhatiannya.

Ia mencoba membuka pintu itu. Terkunci rapat.

"Sial," desis Reno. "Tidak apa-apa. Aku bawa ini." Reno mengeluarkan alat kecil dari sakunya, sejenis kunci pas yang dimodifikasi atau lock pick sederhana. Dengan sedikit gertakan dan dorongan, suara klik kecil terdengar, dan ia berhasil membuka kunci pintu. Rasa puas terlihat di matanya.

Pintu itu terbuka, menampakkan kegelapan pekat dan tangga sempit yang menurun, curam dan licin. Udara dingin dan lembab langsung menyergap mereka, memeluk Nadia seperti selimut es. Bau busuk, kali ini lebih kuat dan tidak dapat disalahartikan lagi, bau yang memuakkan, menyengat hidung Nadia, membuat tenggorokannya tercekat dan matanya berair.

"Ini dia," kata Reno, suaranya penuh kemenangan yang dingin, namun juga sedikit gemetar. Ia menyalakan senter lagi, cahayanya menembus kegelapan di bawah, menciptakan lingkaran cahaya yang bergerak-gerak.

Di sana, di ruang bawah tanah yang pengap dan gelap, Nadia melihatnya. Sebuah pemandangan yang akan menghantuinya selamanya.

Empat kantong jenazah hitam, tertata rapi di sudut ruangan yang lembab, di atas lantai semen yang kotor. Empat. Bukan hanya dua yang mereka lihat. Empat mayat. Bau busuk yang menusuk hidung semakin kuat, membuat Nadia merasa mual dan ingin berteriak.

Nadia merasa jantungnya jatuh ke perut, seolah semua darah mengalir keluar dari tubuhnya. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tertahan di tenggorokan, tidak ada yang keluar selain desahan. Ia hanya bisa menatap kantong-kantong itu, matanya melebar karena ngeri, pupilnya membesar hingga nyaris menutupi seluruh iris. Ini nyata. Semua ketakutan Reno, semua kecurigaan mereka, adalah nyata. Pak Surya benar-benar seorang pembunuh.

"Ya Tuhan," bisik Nadia, suaranya parau, air mata mulai menggenang di matanya. Ia mundur selangkah, terhuyung-huyung, ingin segera keluar dari tempat terkutuk ini, dari bau kematian ini. "Kita harus pergi, Reno. Cepat. Kita harus lapor polisi. Ini lebih buruk dari yang kita bayangkan."

"Tunggu, Nad. Kita harus punya bukti yang tak terbantahkan." Reno mengeluarkan ponselnya, mengarahkan kameranya ke kantong-kantong jenazah. Cahaya flash ponsel menerangi ruangan gelap itu, menyoroti detail mengerikan dari kantong-kantong itu. Beberapa kali jepretan foto terdengar, suara klik kamera terdengar sangat keras di keheningan itu.

"Cukup, Reno! Ayo pergi! Aku tidak tahan lagi!" Nadia menarik lengan Reno, panik mulai menguasai dirinya, membuatnya merasa sesak. Ia hanya ingin keluar dari rumah ini, keluar dari bau kematian ini, keluar dari mimpi buruk ini yang terasa begitu nyata.

"Sedikit lagi, Nad. Aku perlu memastikan ini terekam dengan jelas. Agar mereka tidak bisa menyangkal lagi. Agar mereka percaya bahwa kita tidak gila," kata Reno, fokus pada ponselnya, jari-jarinya menekan tombol dengan cepat.

Saat itulah, suara decitan pelan terdengar dari atas, dari arah pintu yang baru saja mereka buka. Sebuah decitan yang memecah konsentrasi mereka, menarik perhatian mereka kembali ke realitas yang jauh lebih mengerikan. Mereka berdua terdiam, napas mereka tertahan di paru-paru.

"Siapa di sana?" sebuah suara serak dan dingin bertanya, sebuah suara yang sangat mereka kenal.

Nadia dan Reno saling pandang, mata mereka melebar karena kengerian. Pak Surya.

Ia ada di sini.

Bab 5 – Teror dan Serangan

Suara Pak Surya yang serak menggema di ruang bawah tanah yang sempit, memecah keheningan yang mencekam seperti kaca pecah. Nadia dan Reno membeku di tempat, terperangkap seperti tikus di dalam jebakan. Senter Reno bergetar di tangannya, cahayanya menari-nari panik di dinding, menciptakan bayangan-bayangan yang menari.

"Siapa kalian?!" Pak Surya mengulang, langkah kakinya mulai menuruni tangga, satu langkah demi satu langkah yang terasa begitu berat. Siluetnya terlihat di ambang pintu, semakin jelas dengan cahaya senter Reno. Di tangannya, ia memegang sebuah benda panjang yang mengilap, terlihat seperti sebilah pisau daging yang besar, memantulkan cahaya senter dengan kilatan dingin.

"Lari, Nad!" teriak Reno, mendorong Nadia ke samping dengan kekuatan penuh, nyaris membuatnya terjatuh.

Reno langsung bergerak menyerang Pak Surya, berusaha merebut pisau dari tangannya. Suara benturan tubuh terdengar keras, disusul teriakan Reno yang melengking, sebuah jeritan kesakitan yang menusuk hati Nadia. Nadia melihat Reno dan Pak Surya bergulat di tangga, bayangan mereka berdua bergerak cepat dan tak beraturan di dinding. Kilatan pisau terlihat samar, lalu lebih jelas, mengiris udara.

Panik menguasai Nadia. Ia tidak bisa berpikir jernih. Pikirannya kosong, hanya dipenuhi oleh naluri bertahan hidup yang primal. Ia hanya bisa melihat Reno yang berjuang, mendengar suara pukulan dan erangan, dan suara desisan marah dari Pak Surya. Ia harus lari. Ia harus mencari bantuan.

Ia membalikkan badan dan berlari secepat mungkin menaiki tangga, melewati pergelutan di belakangnya, nyaris tersandung kakinya sendiri. Ia mendengar suara Pak Surya yang mengumpat dan suara Reno yang tercekik, terpotong. Ia mencapai pintu keluar ruang bawah tanah, terhuyung-huyung keluar ke ruang tamu, jantungnya berdebar kencang di tenggorokannya.

Aroma apak di rumah itu kini bercampur dengan bau darah yang kental dan amis. Nadia tidak tahu apakah itu imajinasinya atau nyata, tapi bau itu memenuhi indranya. Ia tidak berani menoleh ke belakang, takut dengan apa yang akan ia lihat. Ia terus berlari, menuju pintu belakang yang tadi mereka masuki, satu-satunya jalan keluar yang ia tahu.

Ia melewati dapur, setiap langkahnya terasa berat, jantungnya berdebar kencang di dada. Pikirannya kosong, kecuali satu hal: lari, lari, lari.

Ia berhasil mencapai pintu belakang. Dengan tangan gemetar, ia mencoba membukanya. Terkunci. Sial! Mereka menguncinya dari dalam setelah masuk untuk keamanan. Kini, itu adalah perangkap.

Nadia mulai panik, matanya mencari jalan keluar lain, mencari celah, apa saja. Ia melihat ke arah halaman belakang. Ada jendela yang terbuka di sana. Jendela yang sama yang mereka gunakan untuk masuk. Itu satu-satunya harapannya.

Ia berlari ke arah jendela, mencoba memanjatnya dengan terburu-buru. Tangan dan kakinya gemetar, membuatnya sulit untuk bergerak, otot-ototnya kaku karena ketakutan. Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki mendekat dari belakang, langkah yang lambat, menyeret.

"Mau ke mana kau?!" suara serak Pak Surya terdengar dekat, sangat dekat, seperti napas dingin di lehernya.

Nadia menoleh, jantungnya serasa berhenti. Pak Surya berdiri di ambang dapur, matanya menyala dalam kegelapan, merah dan penuh amarah. Ia memegang sesuatu di tangannya, sesuatu yang besar dan gelap, dan meneteskan cairan gelap yang tampak seperti darah. Ia tidak melihat Reno. Reno... Reno pasti sudah... sebuah pikiran mengerikan melintas di benaknya: Reno sudah mati.

Pak Surya melangkah maju, mendekati Nadia dengan langkah lambat dan mengancam, seperti pemburu yang mengejar mangsanya. Nadia mundur, punggungnya menabrak dinding dingin. Tidak ada jalan keluar. Ia terpojok.

Ketakutan murni menguasai dirinya, rasa dingin yang melumpuhkan. Ia melihat ke sekeliling, mencari sesuatu, apa saja, untuk membela diri. Matanya terpaku pada sebuah batu besar yang digunakan sebagai pembatas taman di dekat jendela. Sebuah batu yang cukup besar untuk digenggam dengan kedua tangan, bentuknya tidak beraturan dan kasar.

Nadia meraih batu itu, meskipun tangannya gemetar, seolah itu adalah satu-satunya harapan terakhirnya. Ia merasakan dinginnya batu di telapak tangannya, memberikan sedikit keberanian yang ia butuhkan, sebuah kekuatan yang tiba-tiba muncul dari keputusasaan. Ia mengangkatnya, bersiap.

Pak Surya terus mendekat, senyum tipis yang mengerikan tersungging di bibirnya yang kering. "Kau tidak bisa lari dari sini," bisiknya, suaranya seperti desisan ular.

Nadia tidak membiarkannya mendekat. Dengan seluruh kekuatannya, ia mengayunkan batu itu. Ia memukul Pak Surya. Sekali. Lalu lagi. Dan lagi. Suara benturan yang mengerikan terdengar, berulang kali, setiap ayunan dipenuhi dengan ketakutan dan keinginan untuk bertahan hidup. Nadia tidak tahu berapa kali ia memukul. Ia hanya terus memukul, memejamkan mata, memohon agar ini semua berakhir, agar mimpi buruk ini segera usai. Ia bisa merasakan sesuatu yang hangat dan lengket mengenai tangannya, tetapi ia tidak berhenti.

Akhirnya, suara-suara berhenti. Tubuh Pak Surya ambruk ke lantai dengan bunyi gedebuk yang memuakkan, seperti karung berisi tulang. Batu besar itu terlepas dari tangan Nadia yang gemetar, jatuh dengan suara dentingan di lantai.

Nadia membuka matanya perlahan. Pak Surya tergeletak di lantai, kepalanya berlumuran darah yang mengalir deras, membentuk genangan gelap di bawahnya. Matanya terbuka, menatap kosong ke langit-langit. Ia tidak bergerak. Nafasnya tercekat di tenggorokan.

Nadia hanya bisa berdiri di sana, napasnya terengah-engah, dengan tangan dan pakaiannya yang berlumuran darah. Darah Pak Surya. Atau darah Reno? Ia tidak tahu. Ia tidak peduli. Ia hanya ingin semua ini berakhir, semua kengerian ini berhenti. Ia melihat ke sekeliling, mencari Reno, tetapi ia tidak ada.

Bab 6 – Penangkapan

Sirene polisi meraung di kejauhan, semakin lama semakin dekat, memecah keheningan malam yang baru saja diselimuti kengerian. Lampu strobo merah-biru yang berkedip menari-nari di dinding rumah dan pepohonan, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak liar. Beberapa tetangga sudah berkumpul di depan rumah Pak Surya, wajah mereka diterangi oleh cahaya berkedip, menunjukkan ekspresi kaget, takut, dan ingin tahu. Suara bisik-bisik, teriakan panik, dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab memenuhi udara, menciptakan simfoni kekacauan.

Nadia masih berdiri di taman belakang, terhuyung-huyung, dengan napas terengah-engah, memegang batu besar yang berlumuran darah. Pakaiannya kotor, beberapa noda darah menempel di lengan dan wajahnya. Pikirannya terasa kosong, hanya menyisakan gambaran mengerikan dari apa yang baru saja terjadi. Ia melihat tangannya, dan darah di sana terasa begitu nyata, begitu lengket.

Petugas polisi pertama yang tiba adalah seorang perwira muda yang wajahnya pucat pasi melihat pemandangan di depannya. Matanya melebar saat melihat Nadia, lalu ke arah Pak Surya yang tergeletak tak bernyawa.

"Berhenti di tempat!" teriaknya, tangannya terarah ke pistolnya yang sudah ditarik, menunjuk ke arah Nadia. "Jangan bergerak!"

Nadia tidak bisa bergerak. Tubuhnya kaku, kakinya terpaku di tanah. Ia tidak bisa melepaskan pandangannya dari tubuh Pak Surya, dari genangan darah yang terus melebar. Ia merasa seperti boneka yang talinya putus.

Petugas lain segera tiba, termasuk petugas wanita yang sama yang datang bersama rekannya beberapa hari yang lalu, kini dengan ekspresi terkejut yang jelas. Matanya melebar saat melihat Nadia dan Pak Surya.

"Nadia Sinta, Anda ditahan atas dugaan pembunuhan," kata petugas wanita itu, suaranya tegas dan tanpa kompromi, meskipun ada sedikit nada terkejut di dalamnya.

Nadia tidak merespons. Ia hanya menatap kosong ke depan, matanya tidak fokus.

Mereka mendekatinya dengan hati-hati, seolah ia adalah binatang buas yang terluka. Seorang petugas meraih batu dari tangannya, lalu memborgolnya. Dinginnya borgol terasa menusuk kulitnya yang panas, sebuah kejutan yang membawanya sedikit kembali ke realitas. Ia tidak melawan. Ia tidak bisa.

"Ada korban lain?" tanya seorang petugas kepada rekannya, matanya menyapu sekeliling, mencari tanda-tanda kejahatan lain.

"Tidak ada. Hanya dia dan korban," jawab yang lain, dengan nada bingung.

"Di mana Reno?" bisik Nadia, suaranya parau, seolah baru saja terbangun dari mimpi. Ia menoleh ke arah rumah, mencari-cari. "Reno... dia di bawah tanah. Ada empat kantong jenazah di sana. Dan Reno... Pak Surya menyerangnya."

Para petugas saling pandang, ekspresi skeptis kembali di wajah mereka, kali ini bercampur dengan kebingungan.

"Mari kita periksa," kata salah satu petugas, memberikan isyarat kepada beberapa rekannya untuk masuk ke dalam rumah.

Beberapa petugas masuk ke dalam rumah, sementara Nadia digiring keluar. Ia melihat ke arah rumahnya, berharap Reno akan muncul, menjelaskan semuanya, menyelamatkannya dari situasi mengerikan ini. Tapi tidak ada siapa-siapa. Rumahnya gelap dan sunyi, lampu di dalamnya mati.

Nadia digiring ke dalam mobil polisi, diinterogasi dengan pertanyaan-pertanyaan dasar. "Nama Anda?" "Apa yang terjadi?" "Di mana kekasih Anda?"

"Reno... dia di ruang bawah tanah. Dia diserang Pak Surya," Nadia bersikeras, meskipun suaranya lemah dan gemetar. Ia mencoba menjelaskan dengan detail, tetapi kata-katanya terasa tidak teratur.

Petugas hanya mengangguk, tanpa ekspresi, seolah ia sedang mendengarkan cerita anak kecil.

Setelah beberapa waktu yang terasa seperti keabadian, petugas yang tadi masuk ke rumah Pak Surya kembali keluar. Wajah mereka menunjukkan kebingungan yang lebih dalam, dan sedikit rasa tidak percaya.

"Nona Nadia," kata petugas wanita, nadanya lebih lunak, tetapi dengan tatapan aneh. "Kami sudah memeriksa seluruh rumah. Tidak ada ruang bawah tanah, Bu. Rumah ini tidak memiliki ruang bawah tanah. Kami bahkan memeriksa peta bangunan lama. Dan tidak ada kantong jenazah. Hanya ruangan penyimpanan yang berantakan dengan barang-barang bekas, seperti yang dibilang Pak Surya saat kami datang pertama kali."

Nadia mengerutkan kening. "Tidak. Itu salah. Ada. Saya melihatnya. Saya menyentuhnya. Reno juga melihatnya. Ada empat mayat. Dan dia menyerang Reno dengan pisau. Saya bersumpah."

"Kami sudah periksa setiap sudut. Tidak ada ruang bawah tanah. Dan tidak ada tanda-tanda korban lain. Hanya Pak Surya yang meninggal. Tidak ada jejak Reno, atau darah lain selain darah Pak Surya."

Sebuah bisikan mulai menyebar di antara para petugas, bisikan yang Nadia tidak bisa dengar dengan jelas, tetapi ia bisa merasakan nada curiga di dalamnya. Mata mereka menatap Nadia dengan campuran rasa kasihan dan tuduhan. Seolah ia adalah seorang wanita gila yang baru saja membunuh orang.

Nadia menoleh ke arah rumah Pak Surya lagi. Ruang bawah tanah itu... ia melihatnya. Ia menyentuh kantong-kantong itu. Ia merasakan ketakutan itu. Itu semua nyata. Atau... atau tidak? Pikirannya mulai berkecamuk, berputar-putar dalam lingkaran keraguan dan kengerian. Reno. Di mana Reno? Kenapa Reno tidak muncul? Kenapa tidak ada yang percaya padanya?

Nadia merasa kepalanya berdenyut, seolah ada retakan besar yang tiba-tiba muncul di dalam ingatannya. Segala sesuatu yang ia yakini menjadi goyah, seperti bangunan yang fondasinya runtuh.

Bab 7 – Di Balik Ingatan

Cahaya putih terang menyilaukan mata Nadia saat ia terbangun. Aroma antiseptik menusuk hidungnya, bau khas rumah sakit yang dingin dan steril. Ia tidak berada di penjara, melainkan di sebuah ruangan yang terasa dingin dan asing. Dindingnya berwarna krem, dicat ulang, dengan sebuah cermin besar satu arah mendominasi salah satu sisinya, tempat ia sering melihat bayangan dirinya sendiri yang tampak asing. Sebuah tempat tidur yang nyaman dengan seprai putih bersih, sebuah meja kecil dengan buku-buku yang tertata rapi, dan sebuah kursi empuk di sudut ruangan.

Seorang wanita dengan rambut hitam terikat rapi dan kacamata berbingkai tipis duduk di kursi di depannya. Ia tersenyum tipis, senyum yang hangat namun profesional. "Halo, Nadia. Saya Dokter Rina. Saya psikiater Anda."

Nadia mencoba duduk tegak, merasakan pegal di seluruh tubuhnya, otot-ototnya kaku. Ia mencoba mengingat berapa lama ia tertidur. "Di mana saya? Dan di mana Reno? Saya harus bicara dengan Reno."

Dokter Rina menghela napas pelan, nada suaranya lembut, namun ada kesedihan samar di matanya. "Anda di Rumah Sakit Jiwa Graha Medika. Dan tentang Reno... Nadia, kita perlu bicara. Ada banyak hal yang perlu kita pahami bersama."

Sesi demi sesi terapi pun dimulai. Dokter Rina berbicara dengan lembut, suaranya menenangkan, seperti melodi yang menenangkan, tapi pertanyaan-pertanyaannya tajam, menusuk langsung ke inti ingatan Nadia, mencari akar dari segala hal. Ia bertanya tentang masa kecil Nadia, tentang hubungannya dengan orang tua, tentang teman-teman, pekerjaan. Dan tentang Reno. Setiap sesi terasa seperti menggali lubang yang semakin dalam, membuka luka lama.

Nadia menceritakan semuanya. Bagaimana ia bertemu Reno, bagaimana mereka jatuh cinta, bagaimana mereka pindah ke rumah baru itu, bagaimana mereka melihat Pak Surya menyeret mayat, bagaimana mereka menyelinap ke rumahnya, bagaimana Reno diserang, dan bagaimana ia membunuh Pak Surya. Ia menceritakannya dengan detail yang hidup, seolah itu baru saja terjadi kemarin, seolah ia sedang mengulang sebuah film yang ia tonton berulang kali. Setiap kata keluar dengan keyakinan penuh.

Dokter Rina mendengarkan dengan saksama, sesekali mencatat di buku catatannya dengan pulpen. Ia tidak menghakimi, tidak menyela. Hanya mengangguk dan mendorong Nadia untuk terus berbicara, untuk menuangkan semua yang ada di benaknya.

"Nadia," kata Dokter Rina suatu sore, setelah beberapa sesi yang panjang dan melelahkan. "Saya ingin Anda mencoba mengingat sesuatu yang lebih awal. Dua tahun lalu. Apa yang terjadi dua tahun lalu?"

Nadia mengerutkan kening, sebuah bayangan gelap melintas di benaknya, sebuah kesedihan yang mendalam dan tajam. "Tunangan saya meninggal."

"Siapa namanya?"

"Bima." Suara Nadia bergetar saat menyebutkan nama itu, seolah nama itu adalah gema dari luka lama. "Dia meninggal dalam kecelakaan mobil. Kami sudah bertunangan. Kami berencana menikah... bulan depan." Nadia terdiam, air mata mulai mengalir, membasahi pipinya. "Dia adalah segalanya bagiku. Hidupku hancur saat itu."

"Bagaimana perasaan Anda setelah kehilangannya?"

"Saya... saya hancur. Dunia saya runtuh. Saya tidak bisa makan, tidak bisa tidur. Saya merasa kosong. Seperti sebuah cangkang. Kehilangan Bima... itu seperti kehilangan separuh jiwa saya. Saya merasa seperti saya meninggal bersamanya."

"Apakah ada orang yang mendampingi Anda saat itu?"

Nadia berpikir keras, mencoba menarik kembali ingatan-ingatan yang kabur. "Orang tua saya. Mereka mencoba membantu. Mereka selalu ada. Tapi saya merasa sendirian. Tidak ada yang benar-benar mengerti apa yang saya rasakan."

"Bagaimana dengan Reno? Anda mengatakan Reno selalu ada untuk Anda."

Nadia terdiam. Reno. Ia telah bersamanya sejak beberapa bulan setelah kematian Bima. Reno adalah orang yang menariknya keluar dari lubang kesedihan. Reno yang selalu ceria, yang membuatnya tertawa, yang memberinya semangat untuk hidup kembali. Reno adalah penyelamatnya.

"Reno... dia selalu ada untukku," kata Nadia, suaranya sedikit ragu, seolah ada keraguan yang baru muncul.

Dokter Rina mengambil napas dalam. "Nadia, saya tahu ini akan sulit. Tapi Anda perlu mendengar ini. Kami sudah mencari catatan tentang Reno. Tidak ada jejaknya. Tidak ada akta kelahiran, tidak ada KTP, tidak ada catatan pekerjaan, tidak ada riwayat pendidikan. Tidak ada bukti bahwa ia pernah ada secara fisik."

Nadia menatapnya, bingung, matanya melebar tak percaya. "Apa maksud Anda? Reno ada. Dia kekasih saya. Dia di rumah bersama saya. Dia yang selalu mendampingiku."

"Nadia, orang tua Anda mengatakan Anda hidup sendirian selama dua tahun terakhir. Mereka sangat khawatir dengan kondisi mental Anda. Anda tidak pernah menyebutkan Reno kepada mereka, atau kepada teman-teman Anda. Anda sering terlihat berbicara sendiri, atau berhalusinasi. Mereka bahkan menyebutkan bahwa Anda sering berdiam diri di rumah, menolak bertemu siapa pun, dan terlihat sangat murung."

Nadia menggelengkan kepala, panik mulai menyeruak, seperti gelombang yang menghantam karang. "Tidak! Itu tidak benar! Mereka berbohong! Reno ada! Dia bersama saya! Dia yang menyuruh saya melapor polisi! Dia yang ikut masuk ke rumah Pak Surya! Dia adalah orang yang paling nyata di hidup saya!"

Dokter Rina menghela napas lagi. "Nadia, Reno adalah halusinasi. Dia adalah ciptaan pikiran Anda, sebuah mekanisme pertahanan untuk menghadapi trauma kehilangan Bima. Pikiran Anda menciptakan Reno sebagai jangkar, sebagai seseorang yang kuat dan protektif, untuk membantu Anda melewati masa-masa sulit itu. Dia adalah bayangan dari seseorang yang Anda butuhkan, namun tidak ada."

Dunia Nadia terasa berputar, seperti roda yang berputar tanpa kendali. Semua yang ia alami, semua yang ia percayai, semua yang ia rasakan... itu semua adalah kebohongan? Sebuah ilusi yang begitu sempurna sehingga ia tidak bisa membedakannya dari kenyataan?

"Tidak... tidak mungkin..." bisik Nadia, air mata mengalir deras di pipinya, membasahi wajahnya. "Saya melihatnya. Saya berbicara dengannya. Saya menyentuhnya. Dia nyata! Saya bahkan bisa merasakan sentuhannya!"

"Nadia, otak manusia sangat kuat dalam menciptakan realitas alternatif, terutama saat mengalami trauma berat seperti psikosis," Dokter Rina menjelaskan dengan sabar, setiap katanya terucap dengan hati-hati. "Gejala Anda, paranoia tentang Pak Surya, kecurigaan bahwa ia menyembunyikan sesuatu, dan kehadiran Reno, semua ini sesuai dengan pola psikosis berat pasca-trauma. Pikiran Anda menciptakan skenario itu untuk memproses rasa sakit Anda, untuk memberi Anda tujuan."

Nadia teringat kembali pada Pak Surya. Pria tua kesepian yang jarang keluar rumah. Pria yang menyeret benda-benda besar. "Mayat" yang mereka lihat...

"Pak Surya," bisik Nadia, suaranya nyaris tak terdengar. "Apa yang dia bawa... itu bukan mayat?"

Dokter Rina mengangguk. "Polisi menemukan bahwa Pak Surya adalah seorang kolektor barang antik dan barang bekas. Ia sering membeli barang-barang besar dari pasar loak atau dari toko barang bekas di kota, seperti patung-patung berat, furnitur tua, gulungan karpet besar, atau bahkan manekin. Benda yang Anda lihat mungkin hanya kantong sampah besar berisi sampah atau barang pecah belah. Bau amis yang Anda rasakan mungkin hanya imajinasi Anda atau bau dari barang-barang lama yang lembab. Dia hanya seorang pria tua yang kesepian yang baru saja kehilangan istrinya, dan mengisi kesendiriannya dengan mengumpulkan barang."

Nadia mencengkeram kepalanya, meremas rambutnya, merasakan sakit yang tajam di dahinya. Otaknya terasa panas, seolah ada kepingan-kepingan memori yang selama ini tertata rapi, kini hancur berkeping-keping, pecah menjadi serpihan-serpihan yang tidak bisa disatukan lagi. Realitas yang ia yakini selama ini, kini retak, menunjukkan celah-celah kosong yang mengerikan, jurang kehampaan yang tak berdasar.

Ia bukan seorang pahlawan yang mengungkap pembunuh berantai. Ia adalah seorang wanita yang sakit, yang telah membunuh seorang pria tua yang tidak bersalah, seorang pria yang mungkin sama kesepiannya dengan dirinya.

Bab 8 – Kenyataan yang Retak

Dinding ruangan terasa memutar, dan suara Dokter Rina terdengar jauh, seolah Nadia sedang tenggelam di bawah air yang dalam dan gelap. Kenyataan yang selama ini ia genggam erat, yang dibangun dengan begitu detail dan sempurna oleh pikirannya sendiri, kini hancur di depan matanya, menjadi serpihan-serpihan tak bermakna. Ia bukan kekasih Reno, ia adalah Nadia yang kesepian, yang kehilangan tunangannya, yang hidup dalam ilusi yang begitu kuat hingga merenggut nyawa orang lain.

Ia ditahan di Rumah Sakit Jiwa Graha Medika. Hari-harinya diisi dengan terapi individu dan kelompok, dengan obat-obatan yang membantunya menstabilkan pikiran, meskipun ia sering merasa tubuhnya lemas dan otaknya melambat. Lambat laun, halusinasi mulai memudar, suara-suara yang mengganggu mereda, dan bayangan-bayangan yang menakutkan menghilang. Tapi ada satu hal yang tidak hilang: Reno.

Ia masih berbicara dengan Reno.

Reno masih duduk di sampingnya saat ia makan, tersenyum padanya, memberikan komentar-komentar ringan tentang dunia di sekitar mereka, tentang berita di televisi, tentang buku yang sedang ia baca. Reno masih menemaninya saat ia membaca buku di perpustakaan rumah sakit, atau saat ia melukis di buku sketsa yang diberikan Dokter Rina, sebuah hadiah kecil untuk membantu Nadia menyalurkan emosinya.

Dokter Rina melihat ini dengan sedih, dengan tatapan yang penuh rasa kasihan namun juga pemahaman. Ia berdiri di balik cermin dua arah di ruang observasi, menyaksikan Nadia berbicara dengan "kekasihnya" yang tidak terlihat, seringkali tertawa atau mengangguk sebagai respons atas sesuatu yang tidak ada. Ia tahu bahwa proses penyembuhan tidak akan mudah. Trauma yang begitu dalam telah mengukir alur yang dalam di otaknya, dan meskipun Nadia mulai menerima bahwa Reno mungkin tidak nyata bagi orang lain, bagi dirinya, Reno adalah satu-satunya realitas yang ia miliki, satu-satunya penghibur dalam kekosongan yang mematikan.

"Bagaimana perasaanmu hari ini, Nad?" tanya Reno, suaranya lembut, seperti angin sepoi-sepoi, saat Nadia sedang menggambar pemandangan danau di buku sketsanya, dengan goresan pensil yang teliti.

"Lebih baik," jawab Nadia, tanpa mengangkat pandangannya dari gambarnya. "Tapi... terkadang aku merasa sendiri. Terkadang aku merasa semua ini sangat berat."

Reno tersenyum, sebuah senyuman yang hangat. "Kau tidak sendiri, Nad. Aku selalu ada di sini bersamamu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku akan menjadi pelindungmu." Ia meletakkan tangan di bahu Nadia, sebuah sentuhan yang Nadia rasakan dengan jelas.

Nadia tahu bahwa Dokter Rina dan para perawat menganggapnya gila. Ia tahu bahwa di mata mereka, ia berbicara sendiri, ke udara kosong. Tapi bagi Nadia, kata-kata Reno adalah satu-satunya hal yang memberinya kenyamanan dalam kehampaan yang baru ini, dalam kehampaan yang terus menganga.

Suatu sore, saat Dokter Rina sedang meninjau catatannya, melihat perkembangan Nadia dari balik cermin dua arah, Nadia mengangkat kepalanya dari buku sketsanya. Ia menatap ke arah cermin dua arah, seolah ia bisa melihat Dokter Rina di baliknya, seolah ia tahu dirinya sedang diawasi.

Nadia tersenyum tipis, senyum yang sedikit melankolis, sedikit tragis, namun juga penuh kedamaian yang aneh. "Reno bilang..." ia berkata, suaranya jernih dan tenang, namun ada kesedihan mendalam di sana, "Reno bilang... semua orang akan mengerti suatu saat nanti. Mereka akan mengerti kenapa aku membutuhkan dia."

Ia kembali pada gambarnya, terus mewarnai danau itu dengan goresan-goresan biru dan hijau yang lembut, menciptakan dunia yang indah di atas kertas. Di sampingnya, Reno tersenyum, mengamati gambarnya dengan tatapan bangga, seperti seorang kekasih sejati yang bangga akan karya pasangannya.

Dokter Rina menghela napas panjang di balik cermin. Ia tahu apa artinya. Nadia mungkin tidak akan pernah sepenuhnya "sembuh" dalam arti bahwa ia akan melihat Reno menghilang. Reno telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya, sebuah bayangan yang akan selalu menemaninya di tengah kenyataan yang retak. Dan dalam kesendirian yang menyakitkan itu, mungkin itulah satu-satunya cara Nadia bisa bertahan, satu-satunya cara ia bisa menemukan kedamaian dalam kehancuran jiwanya. Sebuah tragedi yang pilu, namun juga potret ketahanan jiwa manusia yang luar biasa.

TAMAT.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)