Cerpen
Disukai
4
Dilihat
1,555
Dia Bukan Bayi Ku
Horor

BAB 1 – Kelahiran

Ruang bersalin di rumah sakit itu dipenuhi aroma tajam antiseptik yang menusuk hidung, berpadu dengan bau keringat dan ketegangan yang pekat. Naya mengejan, setiap otot di tubuhnya menegang, napasnya tersengal-sengal di antara erangan yang tertahan. Rambutnya lepek oleh peluh, dan wajahnya memerah padam. Di sampingnya, Bagas, suaminya, menggenggam erat tangannya, jemarinya terasa dingin dan sedikit gemetar. Wajah Bagas memancarkan campuran kecemasan, harapan, dan ketidakberdayaan yang sama. "Sedikit lagi, Sayang. Kamu kuat. Sedikit lagi," bisiknya, suaranya parau, seolah berusaha memberi kekuatan pada Naya dan juga pada dirinya sendiri.

Kontraksi demi kontraksi datang melanda, bagai gelombang pasang yang tak henti-hentinya. Setiap puncak rasa sakit adalah janji akan akhir yang membahagiakan, namun juga ujian ketahanan yang luar biasa. Perawat yang ramah dan bidan yang cekatan terus memberikan instruksi, suara mereka menenangkan di tengah hiruk pikuk perjuangan Naya. Lalu, di antara satu tarikan napas panjang dan dorongan terakhir yang menguras seluruh tenaganya, melengkinglah sebuah suara. Tangisan bayi yang nyaring, memecah keheningan ruang bersalin, menggantikan erangan Naya dengan melodi terindah yang pernah ia dengar.

Seorang perawat dengan senyum lebar dan mata berbinar-binar meletakkan sesosok mungil yang masih merah, basah, dan berlumuran di dada Naya. Seketika, rasa sakit yang mendera Naya menguap entah ke mana, digantikan oleh gelombang kebahagiaan dan cinta yang membanjiri seluruh jiwa raganya. Ini dia, Raka. Bayi laki-laki mereka. Mata mungilnya mengerjap-ngerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya dunia yang baru. Bibir mungilnya membentuk huruf 'O' saat ia mencari-cari sesuatu, hidungnya yang kecil mengendus-endus. Naya menatapnya, hatinya meluap tak terkira. "Halo, Raka," bisiknya, suaranya bergetar karena emosi yang meluap. Ia mengusap lembut kepala mungil itu, merasakan kelembutan kulitnya yang masih rapuh. Bagas, dengan mata berkaca-kaca, memeluk Naya dan bayi mereka erat-erat, air mata kebahagiaan menetes di pipinya yang kini lega. Keluarga kecil mereka kini utuh, lengkap. Sebuah babak baru telah dimulai.

Hari-hari pertama setelah kelahiran Raka adalah simfoni kebahagiaan yang tak terlukiskan. Rumah mereka yang semula hanya berisi tawa dua orang dewasa, kini dipenuhi tawa renyah, tangisan bayi yang sesekali merengek minta ASI, dan bisikan-bisikan penuh kasih sayang yang tak ada habisnya. Nenek Naya, seorang wanita tua yang bijaksana dengan segudang pengetahuan tradisional, datang membawakan ramuan-ramuan herbal untuk pemulihan Naya pasca-melahirkan. Ibunda dan ayahanda Bagas pun tak henti-hentinya mengagumi cucu pertama mereka, menimang Raka bergantian, takjub akan setiap gerakan mungilnya.

Bagas sendiri mengambil cuti kerja yang cukup panjang, mendedikasikan seluruh waktu dan perhatiannya untuk membantu Naya merawat Raka. Ia belajar dengan sigap bagaimana cara mengganti popok yang benar tanpa membuat Raka menangis, memandikan tubuh mungil yang licin itu dengan penuh kehati-hatian, bahkan menyanyikan lagu nina bobo dengan suaranya yang canggung dan sumbang namun penuh cinta. Naya sering kali tertawa kecil melihat Bagas yang kikuk namun tulus saat berinteraksi dengan Raka. Ada momen-momen manis di mana Bagas akan duduk di samping ranjang bayi, hanya memandangi Raka yang tertidur, senyum tipis terukir di bibirnya.

Meskipun kelelahan kerap melanda Naya—tidur terpotong-potong setiap dua atau tiga jam karena Raka minta minum, tubuh terasa pegal dan remuk redam—namun rasa lelah itu terasa manis, pengorbanan yang tak sebanding dengan kebahagiaan yang ia rasakan. Setiap senyuman Raka, setiap kali jari mungilnya yang lentik menggenggam erat jari telunjuk Naya, atau saat mata beningnya menatap lurus padanya dengan pandangan polos, adalah energi yang tak terbatas, mengusir jauh semua rasa penat.

Naya sering menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mengamati Raka yang tertidur pulas di buaiannya, napasnya teratur, pipinya gembil dan merah muda. Ia akan menyentuh lembut pipi Raka, membayangkan masa depan yang cerah untuk putranya. Tidak ada satu pun firasat buruk yang menyelinap ke benaknya, tidak ada bayangan kegelapan atau kecemasan yang melintas. Semuanya terasa sempurna, seperti sebuah lukisan kehidupan yang indah dan penuh warna. Sebuah awal yang baru, dipenuhi harapan, dan cinta yang tulus dan murni. Naya percaya, kebahagiaan ini akan abadi, sebuah karunia tak ternilai yang akan terus menyertainya hingga akhir hayat. Ia tidak tahu, bahwa di balik senyum polos bayinya, benih-benih kegelapan mulai tumbuh, perlahan namun pasti, menunggu waktu untuk mekar dan menghancurkan semua yang ia cintai. Sebuah takdir mengerikan sedang menanti, tersembunyi di balik mata bening seorang bayi.

BAB 2 – Perkembangan Aneh

Enam bulan pertama kehidupan Raka berlalu bagai embusan napas musim semi yang lembut, membawa serta kehangatan dan kebahagiaan yang tak terhingga. Raka tumbuh pesat, bukan hanya dalam ukuran fisik—pipinya semakin gembil, lengannya semakin berisi—melainkan juga dalam perkembangan motorik dan kognitifnya. Ia sudah bisa merangkak dengan lincah, menjelajahi setiap sudut rumah dengan rasa ingin tahu yang tak terbatas. Tawa renyahnya sering kali memecah keheningan, mengundang senyum pada setiap orang yang mendengarnya. Matanya yang bulat dan bening selalu berbinar penuh rasa ingin tahu, seolah setiap hal baru adalah keajaiban yang harus ia selami.

Namun, di antara perkembangan normal yang membuat setiap orang tua bangga, ada sesuatu yang mulai terasa "berbeda" pada Raka. Sesuatu yang membuat Naya dan Bagas saling pandang dengan ekspresi campur aduk antara kekaguman dan sedikit keheranan, terkadang disertai sekelebat kecemasan yang samar. Keanehan ini dimulai dengan kemampuan berbahasa Raka.

Saat bayi lain pada umumnya masih terbata-bata mengucapkan "ma-ma" atau "pa-pa" dengan intonasi yang belum jelas, Raka sudah bisa merangkai kata-kata sederhana dengan pelafalan yang cukup sempurna. Yang lebih mencengangkan, ia memiliki kemampuan meniru suara yang luar biasa cepat. Ia bisa menirukan kucing mengeong dengan cermat, anjing menggonggong dengan ritme yang pas, bahkan suara bel pintu atau dering telepon rumah dengan intonasi yang persis sama. Tetangga yang berkunjung sering terheran-heran, memuji kecerdasan Raka sebagai "anak ajaib" atau "bayi jenius." Mereka akan menggeleng-gelengkan kepala dengan takjub, mengatakan bahwa Raka pasti akan menjadi anak yang sangat pintar kelak.

Naya awalnya bangga bukan kepalang. Hatinya meluap setiap kali Raka mengucapkan kata baru atau menirukan suara. Ia sering merekam tingkah laku Raka dengan ponselnya, merekam setiap momen berharga itu, lalu mengirimkannya kepada teman-teman dan kerabatnya, pamer dengan senyum lebar dan mata berbinar-binar. "Lihat deh Raka, dia udah bisa niruin suara!" atau "Aduh, Raka udah bisa bilang 'Ayah' lho!" adalah kalimat-kalimat yang sering ia ucapkan. Bagas pun demikian, seringkali takjub melihat bagaimana putranya belajar dan menyerap informasi dengan kecepatan yang luar biasa, seolah otaknya bekerja jauh lebih cepat dari bayi seusianya. Mereka bahkan sempat berpikir untuk mendaftarkan Raka ke program khusus anak berbakat saat ia dewasa nanti.

Puncak keanehan itu terjadi saat Raka menginjak usia delapan bulan. Di suatu sore yang cerah, saat Naya dan Bagas sedang duduk santai di ruang keluarga, tiba-tiba Raka, yang sedang merangkak di dekat dinding, berhenti. Ia menunjuk ke arah foto keluarga besar yang terpajang di dinding ruang tamu—foto yang berisi puluhan wajah anggota keluarga besar mereka. "Nenek," katanya dengan jelas, menunjuk pada foto ibunda Bagas yang sedang tersenyum lebar. Naya dan Bagas saling tatap, alis mereka terangkat. Mereka belum pernah secara spesifik mengajarkan Raka nama-nama anggota keluarga, apalagi dengan menyebutkannya sambil menunjuk foto. Mereka berasumsi mungkin Raka mendengar dari percakapan mereka sehari-hari, menangkap nama-nama yang sering disebut.

Beberapa hari kemudian, saat sepupu Naya, Kak Andi, datang berkunjung, Raka yang sedang digendong Bagas tiba-tiba menyapa, "Kak Andi," bahkan sebelum Naya sempat memperkenalkannya. Kak Andi yang terkejut sekaligus geli langsung tertawa terbahak-bahak, "Wah, Raka udah kenal aja nih sama Om Andi!" Semua orang yang hadir saat itu tertawa riang, menganggap Raka memang benar-benar bayi yang sangat jenius dan menggemaskan. Mereka mengira itu adalah keunikan yang lucu, tanda-tanda awal dari kecerdasan yang luar biasa.

Namun, keceriaan itu perlahan berubah menjadi kengerian yang dingin dan menusuk. Suatu pagi yang cerah, Naya sedang menyuapi Raka sarapan bubur sereal. Raka duduk manis di kursi makannya yang tinggi, bibirnya belepotan bubur, matanya yang bening menatap kosong ke arah pintu masuk rumah. Tiba-tiba, ia menunjuk ke arah pintu, jari mungilnya mengarah ke luar. "Paman Bayu," katanya, suaranya polos, seolah menyebutkan nama teman bermainnya. Naya mengernyitkan dahi. Paman Bayu adalah adik dari ayahnya, seorang pensiunan yang jarang sekali berkunjung ke rumah mereka, bahkan jarang menelepon. Naya tidak terlalu memikirkannya, mengira mungkin Raka hanya mengoceh nama yang pernah didengarnya sekali waktu. Ia hanya tersenyum dan melanjutkan menyuapi Raka.

Namun, sore itu, sekitar pukul tiga, telepon rumah berdering nyaring. Naya bergegas mengangkatnya. Suara ayahnya terdengar terisak-isak di ujung telepon, memecah keheningan sore itu dengan kabar duka. "Naya... Paman Bayu meninggal dunia, Nak." Ayahnya menjelaskan dengan suara bergetar bahwa Paman Bayu meninggal tertabrak truk saat menyeberang jalan di dekat rumahnya. Sebuah kecelakaan tragis yang tak terduga.

Dunia Naya seolah berputar. Paman Bayu? Raka menyebut namanya pagi ini. Ini... ini tidak mungkin hanya kebetulan, kan? Jantung Naya berdebar kencang, menggema di telinganya. Ia mencoba menepis pikiran-pikiran aneh dan mengerikan yang mulai menyusup ke benaknya. Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanya kecocokan yang mengerikan, sebuah kebetulan yang sangat kebetulan. Bayi delapan bulan tidak mungkin mengetahui hal semacam itu. Tidak mungkin. Otaknya menolak keras untuk menerima kenyataan yang mulai terbentuk di hadapannya. Namun, benih-benih kecemasan telah tertanam.

BAB 3 – Nama dan Kematian

Kecocokan yang mengerikan itu tak berhenti pada kematian Paman Bayu. Seminggu setelah pemakaman yang menyedihkan, suasana duka di keluarga mereka mulai sedikit mereda, namun bagi Naya, ketakutan baru saja dimulai. Ia mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya, menganggap kejadian itu sebagai sebuah takdir yang kebetulan. Namun, alam semesta seolah punya rencana lain untuk menghancurkan ketenangan Naya.

Suatu malam, keluarga kecil mereka sedang makan malam di ruang makan yang hangat. Raka duduk manis di kursi makannya yang tinggi, dengan tenang mengamati sekelilingnya, sesekali merengek meminta potongan kecil sayuran dari piring Naya. Tiba-tiba, Raka menunjuk ke arah Bagas yang duduk di seberangnya, lalu tatapan matanya yang bening nan polos menatap lurus ke arah Naya dengan tatapan yang entah mengapa terasa lebih dewasa dari usianya. "Kak Dimas," ujarnya pelan, nyaris berbisik, namun terdengar sangat jelas di keheningan ruang makan itu. Dimas adalah adik ipar Naya, adik kandung Bagas, seorang pemuda yang ceria dan energik, memiliki bengkel motor di pinggir kota. Naya merasakan gelombang dingin merambat di punggungnya, sensasi yang tak bisa ia jelaskan. Ia menatap Bagas, yang mengangkat bahu, mencoba tersenyum, "Mungkin Raka kangen sama Om Dimas, ya? Nanti kita ajak Om Dimas main ke sini lagi." Bagas mencoba menciptakan suasana ceria, tidak menyadari getaran ketakutan di hati Naya.

Naya berusaha untuk tetap tenang, menganggap itu hanya ocehan bayi lagi. Ia memaksa dirinya tersenyum tipis pada Bagas. Namun, tiga hari kemudian, kabar buruk itu datang lagi, menghantam Naya bagai palu godam. Telepon rumah berdering di siang bolong, dan suara serak ibu mertuanya di ujung sana mengabarkan bahwa Dimas ditemukan tak bernyawa di bengkelnya, tersetrum alat kerja yang sedang diperbaikinya. Polisi menyatakan itu murni kecelakaan kerja, sebuah tragedi yang tak terduga.

Namun, bagi Naya, ini bukan lagi sekadar kebetulan. Ini adalah pola. Sebuah pola yang mengerikan, yang melibatkan anaknya sendiri, darah dagingnya sendiri. Jantungnya bergemuruh ketakutan setiap kali Raka membuka mulutnya untuk menyebutkan sebuah nama. Apakah setiap nama yang keluar dari bibir mungilnya adalah vonis mati? Pikiran itu menghantuinya siang dan malam, merenggut ketenangan tidurnya. Ia mulai membayangkan skenario terburuk, bertanya-tanya siapa lagi yang akan menjadi korban selanjutnya.

Kecemasan Naya semakin menjadi-jadi. Ia mulai menarik diri, menjadi lebih pendiam dan sensitif. Ia sering melamun, tatapannya kosong, pikirannya dipenuhi kekhawatiran yang tak berujung. Setiap kali keluarga besar berkumpul, ia tanpa sadar menatap Raka dengan tatapan waspada, seolah menunggu bom waktu meledak dari mulut bayinya. Tatapan yang penuh kecemasan dan ketakutan itu tidak luput dari perhatian Bagas, meskipun ia mencoba mengabaikannya.

Suatu malam, setelah Raka tertidur, Bagas mencoba bicara pada Naya. Ia melihat Naya yang semakin kurus dan murung. "Kamu kenapa sih, Sayang? Aku perhatiin kamu jadi aneh semenjak kejadian Dimas," ujarnya lembut, mencoba memegang tangan Naya. Ia ingin menenangkan istrinya, mengira Naya hanya berlarut dalam kesedihan.

Naya menarik tangannya, seolah sentuhan Bagas bisa membakar kulitnya. Matanya yang sembab menatap kosong ke depan. "Aku takut, Gas. Raka... dia menyebut nama Paman Bayu, lalu Paman Bayu meninggal. Dia menyebut nama Dimas, lalu Dimas meninggal. Itu bukan kebetulan, kan?" Suaranya bergetar, nyaris putus asa, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

Bagas menghela napas panjang, menatap Naya dengan ekspresi lelah sekaligus kasihan. Ia memang merasakan kesedihan yang mendalam atas kematian adiknya, namun pikirannya menolak untuk mengaitkannya dengan Raka. "Naya, Sayang, itu cuma kebetulan. Kamu terlalu stres. Kita baru saja kehilangan Dimas, wajar kalau kamu jadi paranoid dan berpikir macam-macam. Raka masih bayi, dia tidak mengerti apa-apa. Dia tidak mungkin bisa memprediksi kematian. Kamu jangan terlalu banyak mikir yang aneh-aneh. Kamu butuh istirahat." Ia mencoba menenangkan Naya, memeluknya erat, tetapi pelukan itu terasa hampa dan dingin bagi Naya. Bagas tidak percaya padanya. Ia menganggap Naya gila, terlalu lelah, terlalu terbebani oleh kesedihan dan tanggung jawab sebagai ibu baru.

Naya merasa sendirian, terasing. Bagaimana mungkin Bagas tidak melihatnya? Bagaimana mungkin ia menyangkal bukti yang begitu jelas dan berulang? Namun, di sisi lain, ia juga tak ingin percaya bahwa bayinya sendiri adalah pertanda kematian. Naluri keibuannya menolak keras gagasan itu. Ini pasti ada penjelasan logisnya, pikirnya. Atau mungkin, ia memang sudah terlalu stres, seperti kata Bagas. Mungkin ia harus lebih banyak tidur, lebih banyak menenangkan diri. Namun, di lubuk hatinya, ketakutan itu terus tumbuh, menjadi bayangan gelap yang melingkupi setiap sudut kehidupannya. Ia menatap Raka yang sedang bermain dengan mainannya di karpet, tawa renyahnya terdengar polos dan menggemaskan. Tapi Naya tak bisa lagi melihat kepolosan itu tanpa sedikit rasa gentar. Apa lagi yang akan dikatakan bibir mungil itu selanjutnya? Siapa lagi yang akan menjadi korban dari "ramalan" mengerikan putranya? Ketakutan itu mulai menggerogoti jiwanya, sedikit demi sedikit, setiap hari.

BAB 4 – Bayi yang Berbicara

Malam itu, bulan purnama bersinar terang, cahayanya yang perak menerobos tirai jendela kamar dan melukiskan bayangan abstrak di dinding kamar tidur Naya dan Bagas. Naya terlelap dalam tidur yang gelisah, diselimuti mimpi-mimpi buruk yang tak jelas namun terasa mencekam, tentang nama-nama yang diucapkan Raka dan bayangan kematian yang selalu mengikutinya. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran yang tak berujung, tubuhnya lelah namun jiwanya tak tenang.

Tiba-tiba, ia terbangun. Bukan karena tangisan Raka seperti biasanya yang selalu memecah keheningan malam untuk meminta minum atau ganti popok, melainkan karena suara bisikan samar yang berasal dari ranjang bayi di sudut kamar. Suara itu begitu lirih, hampir tak terdengar, namun cukup untuk menarik Naya dari alam tidurnya.

Naya membuka mata, jantungnya berdebar kencang, menggema di telinganya. Ia mengedip-ngedipkan mata, mencoba mengusir kantuk yang masih membelenggu, memastikan ia tidak salah dengar. Suara itu berlanjut, pelan, seperti percakapan rahasia, sebuah gumaman yang tidak jelas namun pasti ada. Ia menoleh perlahan ke arah ranjang Raka. Dalam cahaya remang-remang bulan, ia melihat putranya duduk tegak di ranjangnya, menghadap dinding yang kosong, seolah sedang berbicara dengan seseorang. Tapi tidak ada siapa pun di sana. Hanya Raka, dan dinding yang dingin.

Naya menahan napas, rasa dingin menjalar di sekujur tubuhnya, seolah ada tangan tak kasat mata yang mencekik. Raka bergumam, bibirnya bergerak-gerak, namun sebagian besar suaranya terlalu lirih untuk bisa ditangkap dengan jelas. Terdengar seperti bahasa asing yang aneh, atau mungkin hanya celotehan bayi yang tidak jelas. Naya mencoba menajamkan pendengarannya, berusaha menangkap setiap suku kata. Namun, ada satu kalimat, satu frasa yang menembus keheningan malam dan mengukir dirinya dengan sangat jelas dalam benak Naya. Kalimat itu diucapkan dengan nada yang lebih dalam, lebih berat, lebih tua, bukan suara bayi mungilnya yang biasa. Suara itu terdengar seperti suara seorang pria dewasa yang sedang berbisik, namun dengan nada yang dingin dan penuh otoritas.

"Besok giliran Bude Sari."

Naya membeku, seperti patung es. Seluruh darah di tubuhnya seolah berhenti mengalir. Napasnya tercekat di tenggorokan. Bude Sari. Dia adalah bibi dari pihak Bagas, seorang wanita tua yang baik hati, selalu ceria, dan penuh semangat. Pikiran untuk menghubungkan Bude Sari dengan kematian membuat Naya mual. Ia ingin berteriak, membangunkan Bagas yang terlelap di sampingnya, menceritakan apa yang baru saja ia dengar, tapi lidahnya terasa kelu, seolah ada sesuatu yang menahannya. Kakinya lemas, ia tidak bisa bergerak dari tempat tidurnya, terperangkap dalam ketakutan yang mencekam. Ia hanya bisa menatap Raka, yang kini kembali berbaring dan memejamkan mata, seolah tidak terjadi apa-apa, seolah ia baru saja menyelesaikan percakapan biasa dan kembali tidur.

Sepanjang sisa malam itu, Naya tidak bisa tidur sekejap pun. Ia berbaring kaku di ranjang, menatap langit-langit kamar yang gelap, sambil mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia hanya bermimpi, bahwa itu hanya khayalannya akibat kurang tidur dan stres yang berkepanjangan. Ia mengulang-ulang kalimat itu di benaknya, mencari celah untuk menyangkalnya. Tapi kalimat itu... "Besok giliran Bude Sari".... terasa begitu nyata, begitu menusuk, begitu menakutkan. Ia merasakan kehadiran yang aneh di kamar, seolah ada sesuatu yang tak terlihat sedang mengawasinya dalam kegelapan, sebuah aura dingin yang menusuk tulang. Udara terasa dingin, meskipun selimut tebal menutupi seluruh tubuhnya.

Saat fajar menyingsing, dan cahaya pertama menembus jendela, Naya merasa lemas dan tak bertenaga, seolah seluruh energinya telah terkuras habis oleh ketakutan semalam. Ia melihat Raka terbangun, menguap, dan tersenyum padanya seperti bayi pada umumnya, merentangkan tangan mungilnya minta digendong. Tidak ada tanda-tanda keanehan dari putranya. Namun, Naya tidak bisa lagi melihatnya sebagai bayi polos. Ada sesuatu yang lain di sana, sesuatu yang gelap dan menakutkan, yang berbicara melalui bibir putranya, menggunakan tubuh Raka sebagai media. Ketakutan itu mencengkeramnya begitu kuat, sampai ia merasa sesak napas. Ia harus melakukan sesuatu. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Raka, siapa atau apa yang merasuki putranya, sebelum terlambat, sebelum "giliran" berikutnya tiba. Ia harus melakukannya, demi keselamatan semua orang yang ia cintai.

BAB 5 – Teror Berulang

Pagi itu, setiap denting jam terasa seperti palu godam yang menghantam kepala Naya. Rasa pusing yang berdenyut-denyut dan kantuk yang tak tertahankan bercampur dengan ketakutan yang mencekik. Ia tidak bisa berkonsentrasi pada apa pun. Pandangannya terus tertuju pada Raka, yang kini sedang asyik bermain dengan mainan kerincingan berwarna-warni di karpet, sesekali tertawa riang dan mengoceh tanpa makna. Naya mencoba meyakinkan dirinya, itu hanya mimpi buruk, itu hanya efek dari kecemasan berlebihan yang membebani pikirannya. Ia mencoba bersikap normal, mengajak Raka bicara, memeluknya, mencium pipinya, tetapi setiap kali ia melakukannya, bayangan suara berat semalam melintas di benaknya, menghancurkan ilusi kepolosan putranya. Bisikan "Besok giliran Bude Sari" terus bergema di telinganya.

Sekitar pukul 10 pagi, saat Naya sedang mencuci piring di dapur, ponselnya yang tergeletak di meja berdering nyaring, memecah keheningan. Itu Bagas. Naya merasakan firasat buruk yang tajam. Ia mengangkat telepon dengan tangan gemetar. Suara Bagas terdengar panik dan putus asa di ujung telepon, memecah ketenangan pagi itu. "Naya, kamu harus ke sini sekarang! Bude Sari... Bude Sari meninggal!"

Jantung Naya mencelos, seolah jatuh ke dasar jurang yang paling dalam. Napasnya tercekat di tenggorokan, tidak ada udara yang bisa ia hirup. "Apa... apa yang terjadi, Gas?" tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar, tenggorokannya terasa kering dan kaku.

"Kebakaran! Dapur Bude Sari kebakaran! Kata tetangga, ada korsleting listrik. Api membesar sangat cepat, dan Bude Sari terjebak di dalam!" Bagas menjelaskan dengan suara bergetar, diselingi isakan yang tertahan, "Dia... dia nggak selamat, Naya."

Telepon terlepas dari genggaman Naya, jatuh ke lantai keramik dengan suara berdebam yang memekakkan. Dunia seolah berhenti berputar. Kalimat itu... "Besok giliran Bude Sari." Semalam, Raka mengatakannya. Semalam, suara berat itu mengatakannya melalui bibir putranya. Ini bukan mimpi. Bukan halusinasi. Ini nyata. Ini adalah kebenaran yang mengerikan, sebuah pola yang tak terbantahkan. Ketakutan yang sebelumnya hanya bisikan kini berubah menjadi raungan di benak Naya, berteriak-teriak di setiap sudut pikirannya.

Yang lebih mengerikan, saat Naya menatap Raka, yang kini menoleh ke arah suara ponsel jatuh. Bayi itu tidak terlihat takut atau bingung mendengar teriakan Bagas dari telepon atau suara ponsel yang jatuh. Sebaliknya, Raka tertawa. Tawa renyah yang biasanya membawa kebahagiaan dan kehangatan bagi Naya, kini terdengar seperti lolongan iblis yang mengejek. Ia tertawa, sambil memukul-mukul mainan kerincingannya, seolah berita kematian Bude Sari adalah hal yang paling lucu di dunia, sebuah pertunjukan yang menghibur baginya. Tawa itu menghantam Naya bagai tamparan keras, lebih menyakitkan daripada tamparan fisik. Putranya sendiri. Putranya... apakah ia adalah pembawa malapetaka? Apakah ia menikmati semua ini?

Naya merasakan gelombang mual yang kuat, perutnya bergejolak. Ia merasa jijik pada dirinya sendiri karena pikiran itu. Bagaimana mungkin ia takut pada bayinya sendiri? Bagaimana mungkin ia mencurigai darah dagingnya sendiri, buah hatinya yang baru berumur beberapa bulan? Tapi, bukti-bukti itu begitu nyata, begitu tak terbantahkan, menghimpitnya dari segala arah. Kecerdasan aneh yang melebihi batas normal bayi, kemampuan menyebut nama yang selalu berakhir dengan kematian, dan kini... suara lain yang berbicara melalui Raka, yang memprediksi kematian dengan begitu akurat. Dan Raka tertawa saat mendengar berita duka. Ini bukan lagi sekadar kebetulan. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih gelap.

Keputusan itu muncul dalam benak Naya dengan tiba-tiba dan tegas, seolah ada suara lain yang membisikinya. Ia harus tahu. Ia harus merekam apa yang terjadi di malam hari. Bagas tidak akan percaya jika Naya hanya bercerita atau mengklaim hal-hal supernatural. Ia butuh bukti yang tidak bisa disangkal. Dengan tangan gemetar, ia mencari ponsel lamanya yang masih berfungsi, sebuah ponsel tua dengan fitur perekam video yang lumayan. Malam itu, setelah Bagas tertidur pulas dan Raka terlelap di ranjangnya, Naya meletakkan ponsel itu di sudut kamar, disembunyikan di balik tumpukan buku, menyorotkan kameranya ke arah ranjang bayi. Ia menekan tombol rekam, napasnya tertahan. Ia berharap ia tidak akan menemukan apa-apa, berharap ini semua hanya imajinasinya yang liar. Namun di lubuk hatinya yang paling dalam, ia tahu ia akan menemukan sesuatu yang lebih mengerikan dari yang bisa ia bayangkan. Sebuah kebenaran yang akan menghancurkan hidupnya.

BAB 6 – Rekaman Malam

Malam berikutnya terasa lebih panjang dan mencekam bagi Naya. Ia berbaring di tempat tidur, di samping Bagas yang terlelap, namun matanya terbuka lebar, menatap kegelapan. Ia tidur dengan gelisah, setengah berharap dan setengah takut Raka akan kembali menunjukkan keanehannya. Setiap desah angin yang masuk melalui celah jendela, setiap suara tikus yang berlari di loteng, terasa seperti pertanda. Ponsel lama yang ia gunakan untuk merekam tergeletak di meja samping ranjang, layarnya sesekali menyala redup, menandakan proses perekaman sedang berlangsung. Detik demi detik terasa seperti jam, ketegangan membangun di dalam dirinya, setiap jam yang berlalu terasa seperti penantian di ujung tebing, menanti vonis.

Saat fajar mulai menyingsing, dan cahaya pertama mulai merayap masuk melalui tirai, Naya segera mengambil ponsel itu. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul dadanya dengan irama yang tak beraturan saat ia menekan tombol putar. Ia menggeser-geser garis waktu rekaman, mencari momen-momen tertentu. Awal rekaman menunjukkan Raka tertidur pulas, napasnya teratur, tubuh mungilnya bergerak-gerak sedikit, selayaknya bayi pada umumnya. Naya hampir saja menghela napas lega, berpikir ia mungkin sudah gila dan semuanya hanya karena stres. Mungkin Bagas benar. Mungkin ia hanya terlalu lelah.

Namun, sekitar pukul 2 dini hari, ia melihat pergerakan signifikan di layar. Raka tiba-tiba duduk tegak di ranjang bayinya. Matanya terbuka lebar, menatap lurus ke depan, ke arah yang kosong, seolah ada sesuatu yang hanya bisa ia lihat. Naya mencondongkan tubuhnya ke layar ponsel, napasnya tertahan, bibirnya sedikit terbuka. Kemudian, suara itu muncul. Suara berat, serak, dan jauh lebih tua dari yang bisa diucapkan bayi. Suara yang sama yang Naya dengar semalam. Itu bukan suara Raka. Itu suara yang asing, menakutkan, dan dipenuhi aura kuno.

"Tubuh ini mulai sempit."

Naya merasakan darahnya mengering di pembuluh darah. Ia mencengkeram ponselnya erat-erat, jari-jarinya memutih. Matanya tak berkedip, terpaku pada layar. Suara itu berbicara lagi, seolah sedang berbicara dengan entitas lain yang tak terlihat, atau mungkin berbicara pada dirinya sendiri dalam sebuah monolog mengerikan.

"Segera... yang berikutnya."

Dan kemudian, yang paling mengerikan. Naya melihat Raka menggerakkan tangannya, bukan seperti gerakan bayi yang tak beraturan, melainkan seperti gerakan seseorang yang lebih dewasa, lebih terarah. Jari telunjuk Raka menunjuk ke arah tempat tidurnya dan Bagas. Suara itu berbisik, dengan nada yang begitu dingin dan penuh perhitungan, sehingga membuat Naya merinding hingga ke tulang sumsum, seolah hawa dingin menembus sumsumnya.

"Kau harus bersabar. Waktunya belum tiba. Dia akan merasakan apa yang kurasakan."

Rekaman berakhir tak lama setelah itu. Raka kembali berbaring dan memejamkan mata, seolah tidak pernah ada yang terjadi, seolah ia hanya tidur nyenyak sepanjang malam. Naya menjatuhkan ponselnya ke pangkuan, tubuhnya bergetar tak terkendali. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. Ini bukan lagi khayalan. Ini adalah kenyataan yang mengerikan, sebuah kebenaran yang tak bisa disangkal lagi. Ada sesuatu di dalam Raka. Sesuatu yang jahat, yang berbicara melalui putranya.

Saat Bagas bangun, Naya langsung menghampirinya, matanya berkaca-kaca, wajahnya pucat pasi. Ia tak bisa menahan diri lagi. "Gas, kamu harus lihat ini! Kamu harus percaya padaku!" Ia memutar rekaman itu di depan Bagas, tangannya gemetar hebat, ponsel di tangannya terasa berat.

Bagas menatap layar dengan bingung, kantuk masih membelenggunya. Namun, begitu suara berat itu muncul dari speaker ponsel, ekspresi wajahnya berubah drastis. Ia mengerutkan kening, kemudian tawa hambar keluar dari bibirnya. "Naya, apa-apaan ini? Kamu dapat suara dari mana? Ini editan, kan? Kamu mengedit suara itu? Jangan-jangan itu suara dari internet?" tuduhnya, matanya menyiratkan kecurigaan yang menyakitkan hati Naya. Ia tidak ingin percaya.

"Tidak, Gas! Ini asli! Ini Raka! Suara itu keluar dari mulut Raka! Aku bersumpah!" Naya membela diri, suaranya meninggi, dipenuhi frustasi dan keputusasaan. Ia mengulurkan ponsel itu kepada Bagas, memintanya untuk memeriksanya sendiri.

Bagas menatapnya dengan tatapan yang menyakitkan, dipenuhi rasa kasihan dan kekhawatiran. "Naya, kamu harus istirahat. Aku rasa kamu butuh bantuan profesional. Kamu sudah terlalu jauh. Ini tidak sehat. Kamu terlalu stres dan berhalusinasi." Ia mencoba mengambil ponsel itu dari tangan Naya, tapi Naya menolaknya, menarik diri.

Air mata Naya tumpah, mengalir deras di pipinya. Bagas masih tidak percaya padanya, bahkan setelah melihat bukti di depan matanya sendiri. Ia melihatnya dengan matanya sendiri, mendengar dengan telinganya sendiri, tapi ia tetap menyangkal. Naya merasa sendirian, terperangkap dalam horor ini tanpa ada yang bisa ia andalkan. Ia tahu, ia tidak bisa mengandalkan Bagas lagi. Ia harus mencari jawabannya sendiri. Ada sesuatu yang mengerikan di dalam putranya, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan secara logis, dan ia harus mencari tahu apa itu, sebelum "yang berikutnya" menjadi kenyataan. Tekad itu membaja di hatinya, meskipun ia tak tahu harus mulai dari mana.

BAB 7 – Kilas Balik Kutukan

Dengan hati hancur dan tekad baja yang kini membaja di dadanya, Naya memutuskan untuk mencari jawaban sendiri. Bagas mungkin tidak percaya, ia mungkin menganggapnya gila, tetapi Naya tahu apa yang ia dengar dan lihat. Malam itu, setelah Bagas dan Raka terlelap pulas dalam tidur yang Naya sendiri tak bisa rasakan lagi, Naya mulai mencari informasi di internet. Ia mencari tentang bayi yang berbicara aneh, tentang anak-anak yang dirasuki entitas, tentang fenomena supernatural yang melampaui akal sehat. Semakin ia membaca, semakin ia merasa ketakutan, namun juga semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres pada Raka.

Pencarian online yang putus asa membawanya pada beberapa forum supranatural, blog-blog misteri, dan cerita-cerita rakyat kuno yang terdengar seperti legenda. Naya menghubungi beberapa paranormal dan dukun yang direkomendasikan di forum-forum tersebut, berbekal keraguan namun juga secercah harapan terakhir. Ia mengirim pesan, email, bahkan mencoba menelepon, menceritakan sekilas apa yang ia alami. Setelah beberapa kali percobaan yang tidak membuahkan hasil—beberapa paranormal menolaknya, beberapa lagi hanya menawarkan solusi yang tidak masuk akal—Naya akhirnya menemukan seorang wanita tua yang disebut "Mbah Darmi," tinggal di pelosok desa yang jauh, entah di mana. Naya, dengan putus asa yang tak tertahankan, memutuskan untuk pergi menemuinya, sendirian. Ia tidak memberi tahu Bagas, takut suaminya akan melarangnya atau menganggapnya benar-benar gila. Ia harus tahu kebenaran, bahkan jika ia harus menempuh jalan yang tak masuk akal.

Perjalanan ke rumah Mbah Darmi terasa seperti menembus batas waktu, seolah ia memasuki dimensi lain. Naya mengendarai mobilnya selama berjam-jam, melewati jalan-jalan desa yang sepi dan berliku, dedaunan rimbun dan pepohonan tua yang menjulang tinggi memberikan kesan angker. Hutan yang lebat di sisi jalan terasa seolah mengawasinya. Sesampainya di sana, di sebuah rumah sederhana yang terbuat dari kayu, Mbah Darmi, seorang wanita tua dengan rambut putih yang diikat ke belakang, wajah keriput yang penuh kebijaksanaan, dan mata yang tajam namun penuh pengertian, menyambut Naya. Bau kemenyan, rempah-rempah, dan dedaunan kering langsung tercium begitu Naya memasuki rumahnya, memenuhi indra penciumannya dengan aroma mistis yang asing.

Naya menceritakan semuanya, dari perkembangan aneh Raka yang terlalu cepat, daftar nama yang berujung kematian tragis, hingga rekaman mengerikan suara berat di malam hari yang telah menghancurkan kewarasannya. Ia bercerita dengan detail, tidak ada yang ia tutupi, bahkan keraguan dan ketakutannya sendiri. Mbah Darmi mendengarkan dengan seksama, duduk bersila di tikar pandan, sesekali mengangguk pelan, tanpa menunjukkan ekspresi terkejut sedikit pun, seolah ia sudah terbiasa dengan kisah-kisah semacam ini. Setelah Naya selesai bercerita, Mbah Darmi memejamkan mata, menggumamkan doa-doa dalam bahasa kuno yang tak Naya pahami, dan mengusap-usap selembar kain yang Naya bawa—selimut favorit Raka, yang selama ini selalu menemaninya tidur.

Beberapa saat kemudian, mata Mbah Darmi terbuka perlahan. Tatapannya menembus Naya, seolah melihat menembus jiwanya. Ada kesedihan dan keprihatinan yang mendalam di matanya. "Ada energi lama, Nduk. Sangat tua, dan sangat jahat. Aku bisa merasakan jejaknya. Ini bukan roh sembarangan. Ini roh penasaran. Roh yang terikat oleh perjanjian darah."

Naya menahan napas, dadanya sesak. "Roh penasaran? Dari mana, Mbah? Mengapa dia ada di Raka?"

Mbah Darmi menjelaskan, suaranya rendah, serak, dan serius, seolah ia sedang membacakan kisah dari masa lalu yang kelam. "Ini berasal dari garis keturunan suamumu. Dulu, buyut dari buyut suamumu, di masa lalu yang sangat, sangat jauh, di masa ketika ilmu hitam masih merajalela, pernah membuat perjanjian. Sebuah perjanjian dengan makhluk kegelapan, dengan entitas yang kuat. Ia ingin keturunannya selalu kuat, berkuasa, kaya, dan memiliki umur panjang. Tapi setiap perjanjian ada harganya, Nduk. Sebuah harga yang harus dibayar oleh darah dan jiwa."

Naya mendengarkan dengan ngeri, bulu kuduknya berdiri. "Harga apa, Mbah?"

"Syaratnya adalah... roh korban tumbal akan 'menitis' di anak ketiga dari generasi tertentu. Mereka adalah bayi-bayi yang tidak berdosa, yang dikorbankan untuk memperkuat perjanjian itu. Jiwa-jiwa mereka tidak tenang, mereka terperangkap di antara dunia, dan mereka akan selalu menuntut apa yang dijanjikan pada mereka: sebuah tubuh untuk kembali, dan balas dendam. Mereka tidak bisa pergi sebelum perjanjian itu lunas atau dipecahkan. Dan Raka... dia adalah anak ketiga dari generasi ini, kan?"

Naya mengangguk perlahan, air mata mulai menggenang di matanya, lalu menetes membasahi pipinya. Raka memang anak ketiga dalam silsilah keluarga Bagas, setelah dua sepupunya yang lebih tua dari garis keluarga kakek Bagas. Fakta itu menghantamnya seperti palu godam. Roh penasaran dari bayi-bayi korban tumbal. Warisan gelap dari leluhur suaminya. Ini bukan kutukan yang datang tiba-tiba, melainkan konsekuensi dari dosa masa lalu yang kini menuntut bayarannya. Pikiran itu terasa begitu dingin, begitu mengerikan. Putranya... putranya bukan sepenuhnya putranya. Ada entitas lain di sana. Entitas jahat yang menguasai tubuh mungil Raka, menjadikannya wadah untuk tujuan yang keji. Naya merasakan amarah dan kesedihan bercampur aduk, membayangkan betapa Raka, putranya yang tidak bersalah, telah menjadi korban dari perjanjian kuno ini.

BAB 8 – Pilihan Mengguncang

Pulang dari rumah Mbah Darmi, Naya merasa dunianya runtuh, hancur berkeping-keping. Kata-kata Mbah Darmi terus terngiang di benaknya, mengukir ketakutan yang mendalam dan keputusasaan yang tak terhingga. Raka bukan sepenuhnya anaknya. Tubuh mungil yang ia lahirkan, yang ia susui, yang ia rawat dengan penuh kasih sayang dan harapan, kini adalah wadah bagi entitas jahat. Roh-roh penasaran dari bayi-bayi yang dikorbankan, jiwa-jiwa tak tenang yang terperangkap dalam kutukan. Warisan kelam dari masa lalu yang tak terbayangkan, kini menjadi beban hidupnya.

Selama berhari-hari setelah pertemuan itu, Naya hidup dalam dilema yang menyiksa. Ia menatap Raka, yang terkadang masih tertawa riang dan memanggil "Mama" dengan suara polosnya, merentangkan tangan mungilnya minta dipeluk. Naluri keibuannya menjerit, menuntutnya untuk melindungi putranya, melindunginya dari segala bahaya. Namun, di saat yang sama, ia melihat bayangan mata tua di mata Raka saat ia terlelap, mendengar bisikan suara berat yang bukan milik bayinya dalam rekaman. Bagaimana ia bisa melindungi Raka, jika Raka sendiri adalah ancaman? Jika Raka adalah pembawa kematian bagi orang-orang terdekatnya?

Pikiran yang paling mengerikan mulai menyelinap ke benak Naya, berbisik-bisik seperti iblis: "Mengakhiri segalanya." Mengakhiri penderitaan ini. Mengakhiri rantai kematian yang dibawa oleh Raka. Tapi bagaimana caranya? Apakah itu berarti ia harus... melukai putranya sendiri? Gagasan itu adalah siksaan yang tak tertahankan, sebuah dosa yang tak terampuni. Air mata selalu mengalir deras setiap kali pikiran itu melintas, diiringi rasa mual yang kuat dan sakit kepala yang menusuk. Ia tidak bisa melakukannya. Ia tidak mungkin bisa melakukannya. Bagaimana seorang ibu bisa mencelakai bayinya sendiri, terlepas dari apa pun yang merasukinya?

Di tengah semua itu, Bagas masih bersikeras bahwa Naya terlalu berlebihan. Ia masih menyalahkan stres, kurang tidur, dan halusinasi. Meskipun Naya sudah menunjukkan rekaman dan menceritakan apa yang dikatakan Mbah Darmi, Bagas hanya menggelengkan kepala, menganggapnya takhayul belaka. "Naya, kamu terlalu banyak dengar cerita-cerita aneh. Ini tahun berapa? Kita harus bawa Raka ke dokter, ke psikolog anak, mungkin ada masalah medis atau psikologis yang belum terdeteksi," katanya datar, mencoba mencari penjelasan logis. Ia berusaha bersikap rasional, menolak mempercayai hal-hal di luar nalar.

Namun, titik baliknya datang pada suatu malam yang mencekam, malam yang akan mengubah segalanya. Naya sedang memangku Raka di ruang tamu, mencoba menidurkannya dengan menepuk-nepuk punggung mungilnya. Bagas sedang membaca buku di sofa, tidak jauh dari mereka, lampu temaram menerangi ruang keluarga. Tiba-tiba, Raka mengangkat kepalanya, tidak menatap Naya, melainkan menatap lurus ke mata Bagas. Dan kemudian, dengan suara serak yang sama persis seperti di rekaman Naya, suara yang begitu tua dan berat, suara itu berkata: "Bagas."

Bagas terkesiap, buku yang dipegangnya terlepas dari genggamannya dan jatuh ke lantai dengan suara berdebam yang mengejutkan. Wajahnya memucat pasi, seolah seluruh darahnya ditarik keluar. Ia menatap Raka, lalu menatap Naya, matanya membelalak dipenuhi ketidakpercayaan dan kengerian yang baru saja ia rasakan. Ini bukan suara Raka. Dan suara itu menyebut namanya. Nama Bagas. Entitas itu... entitas itu baru saja menyebut namanya sendiri melalui mulut Raka, dengan nada yang penuh ancaman dan perhitungan.

Kini, giliran Bagas yang merasakan kengerian yang selama ini Naya alami sendirian. Dinding penyangkalannya yang kokoh telah hancur berkeping-keping. Ia melihat rekaman yang selama ini ia sangkal. Ia mendengar suara itu dengan telinganya sendiri, diucapkan dari bibir putranya. Seketika, ia memahami. Ia akhirnya melihat kengerian yang selama ini Naya coba tunjukkan padanya. Matanya membelalak ketakutan, ia akhirnya memahami apa yang Naya rasakan.

Raka tersenyum tipis. Senyum itu bukan senyum polos bayi yang menggemaskan. Senyum itu adalah seringai yang dingin dan penuh kemenangan, sebuah ekspresi yang tak seharusnya ada di wajah bayi. Naya menatap Bagas, air mata mengalir deras di pipinya. Ia merasakan validasi, namun juga kepedihan yang mendalam. "Sekarang kamu percaya, Gas?" bisiknya, suaranya tercekat. Bagas hanya bisa mengangguk, tubuhnya gemetar, tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Teror itu kini nyata bagi mereka berdua. Dan mereka harus menghadapi pilihan yang paling mengguncang dalam hidup mereka. Sebuah pilihan antara melindungi putra mereka atau melindungi orang lain dari putra mereka.

BAB 9 – Konfrontasi Tengah Malam

Malam itu, setelah pengakuan mengerikan Raka (atau entitas di dalamnya) yang menyebut nama Bagas, rumah mereka diselimuti ketegangan yang mencekik, lebih pekat dari kabut terdingin sekalipun. Penyangkalan Bagas telah hancur berkeping-keping, digantikan oleh ketakutan yang sama hebatnya dengan Naya. Mereka berdua duduk di ruang tamu, di sofa yang berbeda, dengan jarak yang terasa seperti jurang tak berdasar. Mata mereka tak bisa lepas dari pintu kamar Raka yang sedikit terbuka, di mana bayi itu terlelap pulas di ranjangnya. Ketenangan Raka kontras dengan badai yang berkecamuk di hati dan pikiran mereka.

"Jadi... ini benar-benar terjadi," bisik Bagas, suaranya parau, seperti seseorang yang baru saja terbangun dari mimpi buruk yang panjang. Wajahnya pucat pasi, matanya merah dan bengkak karena kurang tidur dan syok. "Aku tidak pernah percaya hal seperti ini. Aku selalu berpikir ada penjelasan logis untuk semuanya."

Naya hanya mengangguk, tak ada lagi air mata yang bisa ia tumpahkan. Ia sudah terlalu lelah, terlalu takut. "Kita harus melakukan sesuatu, Gas. Mbah Darmi bilang itu roh penasaran. Kita tidak bisa terus begini. Siapa lagi yang akan jadi korban berikutnya? Ibu? Ayah? Atau... kita sendiri?" Pertanyaan itu menggantung di udara, membebani mereka berdua.

Saat mereka berbicara, tiba-tiba, dari kamar Raka, terdengar sebuah suara. Bukan tangisan bayi, melainkan suara berat dan serak yang kini sangat mereka kenal, suara yang mengukir ketakutan di jiwa mereka. Suara itu berbicara langsung kepada mereka, seolah tahu persis apa yang sedang mereka diskusikan, seolah entitas itu sedang mendengarkan setiap bisikan mereka.

"Jika aku mati... kalian akan menerima ganti yang lebih buruk. Jauh lebih buruk dari yang kalian bayangkan."

Naya dan Bagas saling melirik, terkejut bukan kepalang. Mereka beranjak dari sofa, mendekat ke pintu kamar Raka yang sedikit terbuka, jantung mereka berdebar-debar di dalam dada. Suara itu berlanjut, kali ini dengan nada yang lebih mengancam, sebuah peringatan yang dingin dan kejam.

"Aku ini warisan. Bagian dari garis darah kalian. Bagian dari perjanjian kuno yang mengikat. Kalian tidak bisa menyingkirkanku begitu saja. Jika kalian berani mencoba, seluruh garis keturunan akan musnah, atau kalian akan menjadi wadah berikutnya."

Tubuh Naya bergetar hebat. Warisan? Apakah entitas ini benar-benar terikat pada garis keturunan Bagas? Gagasan itu mengerikan, lebih menakutkan daripada kematian itu sendiri. Ia ingin melarikan diri, membawa Bagas dan dirinya jauh-jauh dari rumah ini, dari kutukan ini, bahkan jika itu berarti meninggalkan Raka. "Kita harus pergi, Gas! Kita harus kabur! Ke mana saja, asalkan jauh dari sini!" bisik Naya, mencengkeram lengan Bagas erat-erat, kuku-kukunya memutih.

Bagas menatap Raka, yang kini sudah duduk tegak di ranjangnya, menatap ke arah mereka dengan tatapan yang dingin dan menusuk, matanya memancarkan cahaya merah samar di kegelapan. "Kabur ke mana, Naya? Dia bilang dia warisan. Kalau kita pergi, dia mungkin akan mengikuti kita. Atau yang lebih buruk... mungkin dia akan mengambil alih orang lain. Orang yang tidak bersalah. Atau bahkan... salah satu dari kita." Kata-kata Bagas menggemakan ketakutan terdalam Naya.

Saat Bagas mengucapkan itu, seolah mendengar setiap kata mereka, Raka tiba-tiba mulai menangis. Tangisan itu dimulai dengan rengekan kecil yang mirip bayi biasa, namun dengan cepat membesar menjadi jeritan yang menusuk telinga, penuh kemarahan, kesakitan, dan kekuatan yang tidak wajar untuk bayi. Suara tangisannya bukan lagi tangisan bayi polos, melainkan lolongan yang terdengar seperti ribuan jiwa tersiksa, suara yang bisa mengoyak telinga dan jiwa.

Bersamaan dengan tangisan itu, rumah mereka mulai bergetar hebat. Lampu-lampu berkedip-kedip tak beraturan, sesekali mati total lalu menyala lagi. Barang-barang di meja berjatuhan dengan suara dentuman keras. Vas bunga di lemari pecah berkeping-keping di lantai. Getaran itu semakin kuat, dinding berderak, lantai bergemuruh, seolah rumah itu sendiri sedang meronta kesakutan dan akan runtuh kapan saja. Naya dan Bagas berpegangan pada satu sama lain, ketakutan yang mencekam mencengkeram mereka begitu kuat hingga mereka kesulitan bernapas. Mereka bisa merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, seolah suhu ruangan menurun drastis.

Tangisan Raka mencapai puncaknya, sebuah klimaks yang mengerikan, dan kemudian, tiba-tiba, berhenti. Hening. Getaran pun mereda. Rumah kembali tenang, hanya menyisakan kekacauan dan pecahan barang. Naya dan Bagas menatap ke arah ranjang Raka. Bayi itu kini tergeletak tak sadarkan diri, napasnya teratur, tubuh mungilnya terlihat begitu polos, seolah baru saja tidur pulas dan tidak pernah melakukan apa pun yang luar biasa. Namun, di dalam keheningan yang baru saja kembali, mereka tahu. Itu bukan Raka yang menangis. Itu adalah entitas di dalamnya yang menunjukkan kekuatannya, sebuah peringatan keras. Mereka terperangkap. Pilihan untuk melarikan diri terasa sia-sia dan berbahaya. Mereka harus menghadapi ini, entah bagaimana caranya, entah apa pun risikonya.

BAB 10 – Akhir Terbuka

Setelah malam yang mengerikan itu, malam di mana teror mengambil bentuk nyata dan tak terbantahkan, Naya dan Bagas tahu mereka tidak punya pilihan selain menghadapi kenyataan pahit ini. Melarikan diri tidak akan menyelesaikan masalah, malah mungkin memperburuknya, seperti yang diancam oleh entitas itu. Mereka berdiskusi panjang, pikiran mereka kalut, hati mereka hancur, namun terpaksa mencari jalan keluar. Bagaimana mungkin mereka bisa mengalahkan sesuatu yang tidak bisa mereka sentuh, yang merasuki putra mereka sendiri? Akhirnya, dengan keputusan yang sulit, sebuah keputusan yang didorong oleh keputusasaan dan secercah harapan kecil, mereka memutuskan sebuah tindakan.

Mereka memutuskan untuk pergi jauh dari kota, kembali ke desa asal Bagas yang terpencil, di mana keluarga mereka masih memiliki sebuah rumah tua yang jarang dihuni dan jauh dari keramaian. Mereka akan mengisolasi Raka di sana, mencoba mencari cara untuk menahan entitas di dalamnya, atau setidaknya, mencegahnya mencelakai orang lain yang tidak bersalah. Bagas mengambil cuti panjang dari pekerjaannya, dan Naya mengemasi barang-barang mereka dengan hati yang berat, setiap barang yang dikemas terasa seperti mengucapkan selamat tinggal pada kehidupan lama mereka yang normal dan tenang. Pamit pada keluarga dan teman-teman terasa seperti mengucapkan selamat tinggal pada jati diri mereka, pada masa lalu yang kini terasa begitu jauh.

Setibanya di desa, mereka memilih sebuah kamar terpencil di bagian belakang rumah tua itu. Kamar itu dulunya adalah gudang, kini dibersihkan dan disiapkan khusus untuk Raka. Mereka menempelkan ayat-ayat suci dari berbagai kitab dan jimat pelindung yang didapatkan Naya dari Mbah Darmi di seluruh dinding, berharap kekuatan spiritual dapat menekan entitas jahat itu. Sebuah pentagram, simbol perlindungan kuno yang kuat, dilukis di lantai dengan kapur putih, mengelilingi ranjang bayi Raka. Mereka juga memasang kunci ganda dan beberapa gembok kuat di pintu, bukan untuk mengurung Raka, melainkan untuk menjaga agar entitas itu tidak bisa keluar dan mencelakai siapa pun, termasuk mereka sendiri atau tetangga desa.

Raka, dalam tubuh bayi polosnya, tampak biasa saja selama hari-hari pertama di rumah baru. Ia makan dengan lahap, tidur dengan nyenyak, dan terkadang bermain dengan mainan yang disiapkan Naya, mengeluarkan ocehan dan tawa kecil. Namun, Naya dan Bagas tidak pernah lagi bisa melihatnya tanpa rasa takut dan kesedihan yang mendalam. Mereka bergiliran menjaga Raka, selalu dalam kondisi waspada, selalu mendengarkan setiap suara, selalu menunggu tanda-tanda yang mengerikan itu muncul lagi. Malam-malam yang panjang diisi dengan doa-doa yang mereka panjatkan tanpa henti, keputusasaan yang merayap, dan ketakutan akan masa depan yang tidak pasti. Apakah mereka telah mengurung putranya, atau apakah mereka hanya mengurung monster yang tersembunyi dalam tubuh tak berdosa?

Beberapa bulan berlalu. Kehidupan mereka berubah drastis menjadi rutinitas yang monoton, mencekik, dan dipenuhi kecemasan. Raka tetap tenang, tidak ada lagi bisikan suara seram, tidak ada lagi tangisan yang mengguncang rumah. Naya dan Bagas mulai sedikit berharap, mungkin ritual dan doa-doa itu berhasil. Mungkin entitas itu telah tertahan, terkurung di dalam tubuh Raka, tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Ada secercah harapan kecil yang mulai tumbuh di hati mereka, harapan untuk kehidupan normal.

Suatu sore, Naya masuk ke kamar Raka untuk mengganti popoknya. Ia melihat Raka terbaring di lantai, di tengah pentagram yang mereka gambar, memegang sesuatu di tangannya. Itu adalah sebuah pecahan keramik kecil, sisa dari vas bunga yang dulu pecah saat insiden getaran hebat di rumah lama mereka. Naya mendekat. Tangan mungil Raka berlumuran darah segar.

Naya menjerit, terkejut, buru-buru mendekat, mengira Raka terluka parah. Namun, saat ia melihat lebih dekat dan mengalihkan pandangannya ke arah dinding di belakang Raka, darahnya kembali mengering, sensasi dingin menjalari seluruh tubuhnya. Dengan pecahan keramik itu, Raka telah menulis. Tulisan yang tidak mungkin ditulis oleh bayi mungil. Sebuah kalimat yang jelas, ditulis dengan darah merah pekat, dan dengan goresan yang terlihat seperti tulisan tangan orang dewasa, kuat dan tegas.

"Aku akan kembali... Lewat adiknya."

Naya terhuyung mundur, napasnya tercekat, seperti ada tangan tak kasat mata yang mencekik tenggorokannya. Ia menatap tulisan itu, lalu menatap Raka. Bayi itu kini tersenyum padanya, senyuman yang terlalu lebar, terlalu dingin, dan di matanya, Naya melihat kilatan kejahatan yang mengerikan, sebuah cahaya merah samar yang mematikan. Senyuman itu bukan senyuman Raka. Itu adalah senyuman entitas yang tidak pernah pergi, yang hanya menunggu waktunya, menunggu kesempatan berikutnya, sebuah janji mengerikan untuk masa depan.

Kengerian itu kini memiliki wajah baru, sebuah ancaman yang tak terhindarkan. Adiknya. Meskipun Naya dan Bagas telah berusaha keras untuk mencegah kehamilan, menggunakan kontrasepsi dan selalu berhati-hati, namun nasib seolah bermain kejam dengan mereka. Seolah entitas itu telah merencanakan semuanya, jauh sebelum mereka menyadarinya.

Sebelas bulan kemudian, di sebuah rumah sakit desa yang sederhana, Naya kembali melahirkan. Ia melahirkan bayi perempuan, cantik dan mungil, dengan tangisan yang nyaring. Tetapi, kebahagiaan yang seharusnya menyelimuti momen ini hancur lebur oleh ketakutan yang mencekik. Begitu perawat meletakkan bayi itu di dadanya, Naya merasakan hawa dingin yang familiar merambat di tubuhnya. Ia menatap wajah mungil bayinya yang baru lahir, dan di sana, untuk sepersekian detik, ia melihat kilatan yang sama di mata bening putrinya—kilatan yang ia lihat di mata Raka, kilatan yang berisi kekejaman dan perhitungan. Kutukan itu, perjanjian kuno itu, belum berakhir. Itu hanya berpindah.

Masa depan mereka terbentang di hadapan Naya, bukan sebagai akhir yang bahagia, melainkan sebagai sebuah lingkaran setan yang tak berujung, sebuah kutukan yang diwariskan, menunggu korban berikutnya. Kengerian itu abadi. Kutukan itu akan terus berlanjut. Dan Naya tahu, pertempuran mereka belumlah usai. Ini hanyalah awal dari teror yang sesungguhnya. Ia menatap Bagas yang kini berdiri di ambang pintu, wajahnya sama pucatnya dengan dirinya, mereka berdua terperangkap dalam spiral tanpa akhir, menyaksikan bagaimana warisan gelap itu kini telah menemukan wadah barunya.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)