Masukan nama pengguna
Bab 1 – Pantulan Pertama
Gelombang panas yang lembap dari Jakarta menembus celah-celah tirai, menari-nari di lantai kayu apartemen Alika yang minimalis. Pukul tujuh pagi, dan kota sudah berdenyut dengan kehidupan, tapi Alika masih bergelut dengan mimpi buruk yang menggantung berat di udara. Ia memaksakan diri bangun, tubuhnya terasa pegal, dan kepalanya berdenyut-denyut. Ritual paginya dimulai dengan menyeret langkah ke kamar mandi, membersihkan wajah, dan menatap pantulan dirinya di cermin besar yang menggantung di dinding kamarnya. Cermin antik dengan bingkai ukiran kayu mahoni gelap itu adalah warisan dari neneknya, sebuah benda yang selalu ia anggap indah dan menyimpan kenangan hangat.
Pagi itu, pantulan di cermin terasa aneh. Bukan wajahnya yang kelelahan yang menarik perhatian, melainkan kilasan yang muncul begitu cepat, nyaris tak terlihat. Sebuah bayangan, sesosok tubuh melayang. Alika mengerjap, mengusap matanya, dan menatap lebih dekat. Tidak ada apa-apa. Hanya pantulan dirinya, rambut cokelatnya yang sedikit acak-acakan, dan mata sayunya. Ia mendesah, mungkin hanya halusinasi karena kurang tidur. Pekerjaannya sebagai desainer grafis lepas seringkali menuntutnya begadang.
Ia menyiapkan sarapan ringan, roti panggang dan teh herbal, mencoba mengusir sisa-sisa mimpi buruknya. Namun, bayangan itu tetap menempel di benaknya, sebuah sensasi dingin yang merayap di punggungnya. Sepanjang hari, fokusnya terganggu. Ia beberapa kali salah mengklik, palet warna berantakan, dan deadline proyek terasa semakin menghimpit. Sore harinya, ia memutuskan untuk menelepon Santi, sahabatnya sejak kuliah. Santi adalah pribadi yang ceria, selalu bisa menghalau awan gelap di benak Alika. "Hei, apa kabarmu? Aku mimpi buruk semalam, aneh sekali," kata Alika, mencoba terdengar santai.
Santi tertawa di ujung telepon. "Mungkin terlalu banyak kafein, Al. Aku baik-baik saja, lagi sibuk banget nih sama proyek baru. Kamu mau tahu, gedung tempat kantorku sekarang itu, punya pemandangan kota yang luar biasa dari lantai paling atas. Tapi, sedikit bikin merinding juga sih, tinggi banget!"
Mendengar Santi menyebut "gedung tinggi", sebuah kilasan kembali melintas di benak Alika. Kilasan yang sama persis seperti di cermin tadi pagi. Tubuh Santi terjatuh, melayang di antara gedung-gedung pencakar langit. Jantung Alika berdegup kencang. "Santi... kamu hati-hati ya," ujarnya, suaranya tercekat.
"Hati-hati kenapa? Aku di kantor kok, aman," jawab Santi, nada suaranya sedikit bingung.
Alika tak bisa menjelaskan. Bagaimana ia bisa mengatakan ia melihat sahabatnya terjatuh dari gedung dalam cerminnya? Santi pasti akan menganggapnya gila. Ia hanya bisa menghela napas. "Tidak apa-apa, hanya perasaan tidak enak saja. Jaga diri baik-baik ya."
Beberapa hari berikutnya, Alika hidup dalam kecemasan. Setiap dering telepon, setiap notifikasi berita di ponselnya, membuat jantungnya melonjak. Ia bahkan menghindari menatap cermin di kamarnya, takut akan melihat hal aneh lainnya. Pikiran-pikiran irasional mulai merayapi benaknya. Apakah ia terlalu stres? Apakah ia mulai berhalusinasi? Ia selalu menjadi orang yang logis, tidak pernah percaya pada hal-hal mistis atau firasat aneh.
Namun, ketenangan semu itu runtuh pada hari Jumat sore. Saat ia sedang menyesap kopi di balkon apartemennya, ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi berita dari salah satu portal daring terkemuka. Alika membukanya dengan tangan gemetar. Judulnya terpampang jelas: "Tragis, Seorang Wanita Muda Ditemukan Tewas Setelah Jatuh dari Gedung Perkantoran di Pusat Kota."
Foto yang menyertai berita itu membuat darah Alika berdesir dingin. Wajah Santi, sahabatnya, terpampang di sana, meski buram karena kualitas foto yang diambil dari jauh. Deskripsi lokasi kecelakaan, jam kejadian, semuanya persis seperti yang ia lihat dalam kilasan di cerminnya. Santi ditemukan tewas setelah terjatuh dari lantai 20 sebuah gedung perkantoran. Polisi masih menyelidiki penyebabnya, apakah itu kecelakaan murni, bunuh diri, atau ada faktor lain.
Dunia Alika serasa runtuh. Ia merasa mual, kepalanya pusing, dan napasnya tersengal. Ini bukan kebetulan. Ini tidak mungkin hanya mimpi buruk atau halusinasi. Cermin itu... cermin itu menunjukkan sesuatu yang nyata, sesuatu yang akan terjadi. Ia berlari ke kamarnya, menatap cermin yang kini terasa begitu asing dan menakutkan. Pantulan dirinya terlihat pucat, mata membelalak penuh kengerian. Cermin itu seolah menatapnya balik, menyimpan rahasia kelam yang tak terungkap. Panic attack melandanya. Ia terhuyung mundur, merasa ada sesuatu yang menariknya ke dalam kegelapan, sebuah pusaran tak kasat mata yang siap menelannya hidup-hidup. Suara sirene ambulans yang melengking dari kejauhan seolah mengiringi detak jantungnya yang kacau, memberinya firasat buruk bahwa ini hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih mengerikan.
Bab 2 – Cermin Pertanda Maut
Setelah kematian Santi, hidup Alika berubah menjadi kabut tipis yang diselimuti ketakutan. Tidurnya gelisah, diwarnai mimpi-mimpi fragmentaris tentang bayangan-bayangan jatuh dan suara-suara bisikan yang tidak jelas. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa kematian Santi adalah sebuah kebetulan tragis, bahwa cermin itu hanyalah sebuah benda mati, dan bahwa pikirannya sendirilah yang telah mempermainkannya. Namun, jauh di lubuk hatinya, sebuah keyakinan yang dingin mulai tumbuh: cermin itu bukan hanya sekadar pantulan.
Beberapa minggu berlalu dalam ketegangan yang konstan. Alika membatasi interaksi sosial, menolak ajakan teman-teman, dan tenggelam dalam pekerjaannya. Ia bahkan menutupi cermin di kamarnya dengan kain hitam tebal, berusaha mengenyahkan keberadaannya. Namun, rasa penasaran, bercampur ketakutan, akhirnya menguasainya. Suatu sore yang mendung, ia menarik kain penutup itu, dan menatap cermin dengan jantung berdebar.
Tidak ada kilasan mengerikan yang muncul saat itu, hanya pantulan dirinya yang tampak lebih kurus dan lesu. Alika menghela napas lega, namun perasaan itu hanya bertahan sesaat. Beberapa hari kemudian, saat ia sedang membersihkan kamar, ia kembali secara tak sengaja melirik cermin. Kali ini, sebuah pantulan baru muncul. Kilasan cepat, lebih jelas dari sebelumnya: sepupunya, Vina, terlempar dari sepeda motor, tubuhnya terpelanting di aspal yang kasar, kepalanya membentur trotoar. Helm yang dikenakannya pecah berkeping-keping.
Darah Alika mendidih. Ia langsung meraih ponselnya, mencari kontak Vina. Vina adalah sepupu kesayangannya, seorang mahasiswi yang lincah dan berjiwa bebas, dikenal suka mengendarai sepeda motor sportnya dengan kecepatan tinggi. "Vina! Kamu di mana? Kamu baik-baik saja?" tanya Alika, suaranya panik.
"Aku lagi di jalan, Ka. Mau ke kampus," jawab Vina, terdengar sedikit terkejut dengan nada Alika. "Ada apa sih? Tumben panik gitu."
"Jangan ngebut! Hati-hati banget. Jangan lepas helmmu! Pokoknya hati-hati!" Alika berseru, mencoba menyampaikan semua peringatan yang ia bisa.
Vina tertawa kecil. "Ya ampun, Kak Alika. Aku udah biasa kok. Lagian, aku pake helm full-face, aman sentosa. Udah ya, aku lagi buru-buru nih. Nanti malam aku telepon balik." Sambungan terputus.
Alika terdiam, ponsel masih menempel di telinganya. Ia merasa frustrasi, tidak berdaya. Bagaimana ia bisa menjelaskan hal yang tak masuk akal ini kepada Vina? Siapa yang akan percaya bahwa ia melihat kematian seseorang di cermin? Ia mondar-mandir di kamarnya, kegelisahan merayapi setiap sendi tubuhnya. Ia mencoba mencari informasi tentang cermin warisan itu di internet, berharap menemukan petunjuk, cerita serupa, atau legenda kuno yang bisa menjelaskan fenomena ini. Namun, pencariannya nihil. Cermin itu hanyalah cermin biasa, setidaknya dari apa yang ia temukan.
Malam itu, Alika tidak bisa tidur. Ia terus menerus memikirkan Vina, membayangkan skenario terburuk. Ia berharap pantulan itu hanya ilusi, sebuah ketakutan yang muncul dari trauma kematian Santi. Namun, semakin ia mencoba mengabaikannya, semakin kuat pula firasat buruk itu mencengkeramnya.
Keesokan paginya, Alika terbangun dengan perasaan hampa dan letih. Matanya bengkak karena semalaman tidak tidur. Ia mencoba menghubungi Vina, tapi ponselnya tidak aktif. Panik kembali menyerbu. Ia menelepon bibinya, ibu Vina, dan bertanya apakah Vina sudah pulang atau ada kabar darinya.
"Belum, Nak. Dari semalam Vina belum pulang. Ibu jadi khawatir," jawab bibinya dengan nada cemas.
Jantung Alika mencelos. Ia tahu. Ia tahu apa yang akan terjadi. Rasa dingin yang sama seperti saat kematian Santi kembali merayapi tubuhnya. Ia mencoba menenangkan bibinya, mengatakan Vina mungkin menginap di rumah teman. Tapi ia sendiri tahu itu adalah kebohongan.
Beberapa jam kemudian, ponsel Alika bergetar lagi. Bukan notifikasi berita kali ini, melainkan telepon dari bibinya. Suara bibinya bergetar, bercampur isak tangis yang pilu. "Alika... Vina... Vina kecelakaan, Nak. Dia... dia meninggal di tempat."
Dunia Alika kembali runtuh, kali ini dengan gema yang lebih dahsyat. Kata-kata bibinya seperti palu godam yang menghantam dadanya berulang kali. Ia terduduk lemas di lantai, ponsel masih tergenggam erat. Tangannya gemetar tak terkendali. Ini bukan lagi kebetulan. Ini adalah sebuah pola. Cermin itu... cermin itu memang sebuah "jendela ke kematian". Itu adalah portal yang menunjukkan kematian orang-orang terdekatnya, bahkan sebelum mereka terjadi.
Rasa bersalah, ketakutan, dan keputusasaan bercampur aduk dalam dirinya. Ia seharusnya bisa berbuat lebih. Ia seharusnya bisa meyakinkan Vina. Tapi bagaimana? Bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang ia sendiri tidak mengerti? Ia menatap cermin yang kini kembali tidak tertutup. Pantulan dirinya di sana terlihat begitu rapuh, seolah bisa hancur kapan saja. Ia merasa terjebak dalam sebuah lingkaran setan, di mana ia menjadi saksi bisu dari takdir-takdir tragis yang tak bisa ia cegah. Cermin itu, yang dulu ia anggap indah, kini menjelma menjadi sumber teror paling mengerikan dalam hidupnya, sebuah pertanda maut yang tak pernah berdusta.
Bab 3 – Mereka Masih Ada
Duka atas kepergian Vina menghantam Alika lebih keras daripada kematian Santi. Mungkin karena ia sudah "melihat" kematian Vina lebih jelas, atau mungkin karena rasa bersalah karena tidak bisa mencegahnya. Apartemen Alika, yang dulu menjadi tempat perlindungan, kini terasa dingin dan kosong. Ia berhenti bekerja, bahkan untuk sekadar membuka laptop terasa hampa. Hari-harinya dihabiskan dalam keheningan, hanya ditemani oleh pikirannya sendiri yang semakin kacau. Cermin di kamarnya kembali ditutupi kain hitam, seolah-olah menyembunyikan iblis yang bersemayam di dalamnya. Namun, menyembunyikannya tidak berarti melupakan.
Keanehan dalam hidup Alika mulai bergeser dari sekadar kilasan di cermin. Ia mulai merasakan kehadiran mereka. Awalnya hanya di dalam mimpi. Santi dan Vina seringkali muncul, senyum mereka tipis, kata-kata mereka samar-samar. Mereka tidak mengatakan apa-apa yang mengerikan, hanya sekadar "Halo, Alika" atau "Kami merindukanmu". Mimpi-mimpi itu terasa begitu nyata, membuat Alika terbangun dengan perasaan campur aduk antara rindu dan ketakutan.
Namun, kehadiran mereka tidak hanya terbatas pada alam mimpi. Suatu malam, saat Alika sedang membaca buku di ruang tamu, ia mendengar suara tawa lembut dari dapur. Tawa yang sangat familiar, tawa Santi. Alika menahan napas, bulu kuduknya meremang. Ia tahu ia sendirian di apartemen itu. Ia memberanikan diri melangkah perlahan menuju dapur. Tidak ada siapa-siapa. Lampu mati, dan semua peralatan dapur tertata rapi. Ia mengira itu hanya imajinasinya yang terlalu aktif.
Beberapa hari kemudian, saat ia sedang duduk termenung di sofa, ia merasakan hembusan angin dingin melewati kakinya, diikuti aroma parfum Vina yang khas, aroma melati dan vanila. Alika menoleh cepat, berharap melihat sosok Vina, namun lagi-lagi, tidak ada siapa-siapa. Namun, kali ini, ia yakin ia tidak berhalusinasi. Aroma itu terlalu nyata, terlalu kuat untuk hanya sekadar ilusi.
"Kalian di sini, kan?" bisik Alika ke dalam keheningan, suaranya bergetar. Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang lebih pekat.
Perlahan tapi pasti, interaksi dengan "mereka" menjadi lebih sering. Santi akan "muncul" di sudut kamarnya, hanya bayangan transparan yang nyaris tak terlihat, menatapnya dengan senyum sedih. Vina kadang-kadang akan "duduk" di kursi makan, seolah sedang menunggunya untuk berbicara. Alika mulai berbicara dengan mereka, awalnya ragu-ragu, kemudian dengan lebih percaya diri. Ia menceritakan tentang harinya, tentang rasa rindunya, tentang ketakutannya. Mereka tidak menjawab dengan kata-kata, tapi Alika merasa ada semacam komunikasi non-verbal, sebuah pemahaman yang mendalam.
Keyakinan Alika bahwa Santi dan Vina belum benar-benar pergi semakin menguat. Ia merasa mereka terjebak, atau mungkin sengaja tinggal di sekitarnya. "Kalian belum benar-benar pergi, kan?" tanyanya suatu malam kepada sosok Santi yang samar-samar di dekat jendela. Ia merasa ada anggukan tipis, seperti embusan angin.
Alika mulai membaca buku-buku tentang spiritualitas, tentang kehidupan setelah kematian, tentang dimensi lain. Ia menemukan banyak cerita tentang orang-orang yang bisa melihat atau merasakan arwah. Awalnya skeptis, tapi pengalaman pribadinya memaksanya untuk membuka pikiran. Ia mulai percaya bahwa ia berada di "antara dua dunia": dunia hidup dan dunia arwah. Ia adalah jembatan, penghubung yang tak disengaja.
Perasaan terisolasi mulai menguasai dirinya. Ia tidak bisa menceritakan ini kepada siapa pun. Siapa yang akan percaya? Ia pasti akan dianggap gila. Teman-temannya mulai menjauh, mengira ia depresi berat dan membutuhkan bantuan profesional. Orang tuanya di kota lain menelepon, menyarankan ia untuk berlibur, mencari udara segar. Tapi bagaimana ia bisa berlibur jika ia terus-menerus merasa dikelilingi oleh yang tak terlihat?
Suatu siang, saat Alika sedang merenung di depan cermin yang masih tertutup kain, ia tiba-tiba merasakan kehadiran yang sangat kuat di belakangnya. Ia menoleh perlahan. Sosok ayahnya yang telah meninggal sejak ia remaja, berdiri di sana, tersenyum hangat. Ayahnya, yang selalu ia rindukan, kini ada di hadapannya, transparan namun jelas. Alika tidak lagi terkejut. Ia bahkan merasa sedikit lega. "Ayah," bisiknya, air mata mengalir di pipinya. "Jadi Ayah juga di sini?"
Ayahnya tidak menjawab, hanya tersenyum lebih lebar, dan kemudian perlahan memudar seperti kabut pagi. Pengalaman ini semakin menguatkan keyakinannya. Ia tidak lagi takut pada mereka. Malah, ia merasa nyaman dengan kehadiran "arwah-arwah" ini. Mereka adalah satu-satunya yang memahami apa yang ia alami, satu-satunya yang tidak akan menghakiminya. Ia yakin dirinya memiliki kemampuan khusus, sebuah "karunia" atau "kutukan" untuk "melihat yang tak kasat mata". Batas antara realitas dan ilusi semakin menipis dalam benaknya, dan ia semakin masuk ke dalam dunianya sendiri, dunia yang dihuni oleh orang-orang yang telah meninggal.
Bab 4 – Dunia yang Membisu
Batas antara yang hidup dan yang mati semakin kabur dalam persepsi Alika. Setiap hari, interaksi dengan arwah semakin nyata, semakin intens. Mereka tidak hanya muncul sebagai bayangan samar atau aroma. Kadang, ia merasa sentuhan dingin di tangannya, bisikan pelan di telinganya yang hanya bisa ia dengar, atau bahkan merasakan tekanan kursi di sampingnya seolah seseorang baru saja duduk. Kehadiran mereka terasa begitu padat, begitu meyakinkan, sehingga Alika seringkali lupa bahwa mereka tidak lagi bernapas.
Ia masih sering melihat Santi dan Vina. Santi sering menemaninya saat ia membaca, "menjelaskan" bagian-bagian yang tidak ia pahami dengan gestur-gestur kepala. Vina akan "duduk" di tepi tempat tidurnya, "mengomentari" pakaian yang Alika pilih untuk hari itu dengan tawa renyah yang hanya Alika dengar dalam benaknya. Ayahnya sesekali muncul, memberikan rasa nyaman dan damai, seolah mengatakan semuanya akan baik-baik saja.
Namun, bukan hanya mereka bertiga. Seiring berjalannya waktu, Alika mulai "melihat" lebih banyak sosok. Orang-orang tak dikenal, bayangan-bayangan yang melayang di sudut ruangan, wajah-wajah murung yang menatapnya dari balik kegelapan. Mereka tidak mengganggu, hanya ada. Alika mulai merasa seperti berjalan di tengah kerumunan yang tak terlihat, dikelilingi oleh bisikan-bisikan yang tak terdengar oleh telinga manusia biasa.
Keadaan ini membuatnya sulit membedakan siapa yang masih hidup dan siapa yang sudah mati. Saat teman lamanya, Sarah, berkunjung, Alika merasa ragu. Apakah Sarah ini nyata, atau hanya proyeksi dari alam roh? Ia melihat kerlip transparan di sekitar tubuh Sarah, sebuah tanda yang kini ia asosiasikan dengan keberadaan arwah. Ia mencoba berbicara dengan Sarah, menanyakan kabar, namun pikirannya terus-menerus berteriak, "Apakah ini nyata? Apakah dia masih hidup?" Ia bahkan tanpa sadar mencoba menyentuh Sarah, dan tangannya terasa tembus, seolah menyentuh udara hampa. Sarah menatapnya dengan aneh, "Ada apa, Alika? Kok kamu ngelamun?" Alika tersentak, cepat-cepat menarik tangannya. "Tidak apa-apa, hanya sedikit lelah."
Ketidakmampuannya membedakan realitas ini membuat Alika semakin menarik diri dari dunia luar. Ia berhenti menjawab telepon, tidak membalas pesan. Ia takut akan salah berinteraksi dengan "orang hidup" yang ia kira "arwah", atau sebaliknya. Interaksi sosial menjadi medan ranjau yang membingungkan. Ia merasa seperti seorang aktor yang terlatih dalam sebuah sandiwara yang ia sendiri tidak mengerti naskahnya.
Bahkan saat ia berbelanja di supermarket, ia sering melihat sosok-sosok yang ia yakini sebagai arwah, melayang di antara rak-rak, menyentuh barang-barang, dan berinteraksi satu sama lain dalam keheningan. Bagi Alika, mereka sama nyatanya dengan kasir yang tersenyum padanya atau ibu-ibu yang mendorong troli belanja. Dunianya bukan lagi dunia yang dihuni oleh manusia biasa. Itu adalah dunia di mana batas antara kehidupan dan kematian telah runtuh.
Pernah suatu ketika, saat ia sedang makan di sebuah kafe, ia melihat seorang wanita tua di meja seberang. Wanita itu tampak sedang membaca koran, sesekali menyeruput kopinya. Namun, Alika melihat bayangan buram di sekeliling wanita itu, dan ia yakin wanita itu adalah arwah. Ia menatapnya dengan iba, berpikir betapa sepinya menjadi arwah yang masih berkeliaran di antara manusia hidup. Namun, saat wanita itu berdiri dan berjalan keluar, Alika melihat pelayan kafe membersihkan meja wanita itu, dan wanita itu berpamitan pada pelayan dengan senyuman. Alika terkejut. Wanita itu... hidup?
Kejadian seperti ini memperparah kebingungannya. Ia tidak lagi bisa memercayai matanya sendiri. Apakah kemampuan yang ia miliki adalah sebuah karunia, atau sebuah kutukan? Ia merasa seperti seorang tawanan di dalam pikirannya sendiri, terisolasi dalam sebuah dunia yang membisu bagi orang lain, namun bergemuruh dengan suara-suara dan penampakan bagi dirinya.
Ia mulai berbicara sendiri, merespons bisikan dan kehadiran yang hanya ia yang bisa lihat dan dengar. Tetangga-tetangga mulai meliriknya dengan cemas, menganggapnya aneh. Ibunya menelepon, suaranya dipenuhi kekhawatiran, "Alika, apa kamu baik-baik saja? Kenapa kamu jarang mengangkat telepon ibu?" Alika hanya bisa menjawab dengan suara datar, "Aku baik-baik saja, Bu. Hanya sibuk." Ia tahu ia tidak bisa menjelaskan. Ia tahu mereka tidak akan mengerti. Bagaimana bisa mereka mengerti dunia yang kini ia huni, sebuah dunia di mana orang-orang yang meninggal masih berjalan dan berbicara di sekitarnya, sebuah dunia yang hanya ia yang bisa lihat dan dengar?
Bab 5 – Teror Cermin
Cermin itu, yang selama ini ditutupi kain hitam, kembali menjadi sumber teror utama bagi Alika. Setelah semakin tenggelam dalam dunia arwah, Alika merasa sedikit lebih nyaman dengan kehadiran Santi, Vina, dan ayahnya. Ia bahkan sesekali berbicara dengan mereka, menganggap mereka sebagai teman setia yang memahami keadaannya. Namun, kenyamanan semu itu hancur berkeping-keping ketika cermin itu mulai menunjukkan pantulan kematian orang-orang yang belum meninggal, orang-orang yang ia kenal dan masih hidup.
Suatu pagi, Alika terbangun dengan perasaan tidak enak. Ia memutuskan untuk membuka kain penutup cermin, seolah ada dorongan kuat yang menariknya. Begitu kain itu tersingkap, kilasan muncul lebih cepat dan lebih mengerikan dari sebelumnya. Ia melihat sahabat lamanya, Bima, terguling-guling di lantai dengan mata melotot, busa keluar dari mulutnya. Tubuhnya kejang-kejang, tangannya mencengkeram dadanya. Di sampingnya, sebuah botol pil berserakan. Overdosis.
Alika terkesiap, mundur selangkah, napasnya terputus. Bima, sahabatnya sejak SMP, yang selalu ceria dan penuh semangat, kini terkapar tak berdaya dalam pantulan di cermin. Ketakutan yang lama terkubur kembali menyeruak. Ini bukan sekadar ilusi. Ini adalah peringatan.
Tanpa pikir panjang, Alika segera meraih ponselnya dan menelepon Bima. Terdengar nada sambung yang panjang, membuat jantungnya berdebar kencang. Akhirnya, suara Bima terdengar, sedikit serak dan berat. "Halo, Alika? Tumben nelpon pagi-pagi begini."
"Bima! Kamu di mana? Kamu baik-baik saja?" tanya Alika, suaranya tercekat.
"Aku di rumah, lagi males-malesan. Ada apa sih? Kamu kenapa kedengarannya panik banget?" jawab Bima, terdengar sedikit kesal.
Alika ragu sejenak. Bagaimana ia bisa menjelaskan hal ini? Ia menarik napas dalam-dalam. "Bima, aku... aku melihatmu. Di cermin. Kamu... kamu overdosis."
Ada keheningan panjang di ujung telepon. Lalu, Bima tertawa, tawa hambar yang tidak sampai ke mata. "Alika, kamu ini kenapa sih? Sejak Santi meninggal, kamu jadi aneh-aneh gini. Ini pasti cuma halusinasi kamu doang. Aku baik-baik aja, mana mungkin aku overdosis? Aku nggak pernah pakai obat-obatan itu, kamu tahu sendiri." Nadanya berubah menjadi dingin, ada kemarahan yang terselip di sana. "Jujur, Alika, kamu makin lama makin aneh. Mungkin kamu butuh istirahat, butuh ke psikolog atau apa."
Kata-kata Bima menghantam Alika seperti tamparan. Dituduh gila, dituduh aneh. Ia merasa sendirian, tidak ada yang percaya padanya. "Tapi, Bima... aku serius. Kamu harus hati-hati. Jangan... jangan lakukan hal yang aneh-aneh. Kumohon."
"Udah, Alika. Aku sibuk. Jangan telepon aku lagi kalau cuma mau ngomong yang nggak jelas gini," kata Bima, dan sambungan telepon langsung terputus.
Air mata menggenang di mata Alika. Ia merasa putus asa. Ia sudah mencoba memperingatkan Bima, tetapi ia tidak digubris. Sama seperti Vina. Ia merasa tak berdaya menghadapi takdir yang sudah tertulis di cermin itu. Ia tahu apa yang akan terjadi. Ia tahu Bima akan meninggal, sama seperti Santi dan Vina. Rasa bersalah mulai menggerogoti jiwanya.
Sepanjang hari itu, Alika tidak bisa melakukan apa-apa. Ia hanya duduk termenung, menatap cermin yang kini terasa seperti monster yang lapar, siap menunjukkan korban berikutnya. Ia merasa muak, jijik pada dirinya sendiri yang hanya bisa menjadi saksi. Ia ingin berteriak, ingin memohon agar cermin itu berhenti, tapi ia tahu itu sia-sia.
Keesokan paginya, telepon Alika berdering. Nomor tak dikenal. Ia mengangkatnya dengan tangan gemetar. Itu adalah ibu Bima, suaranya bergetar menahan tangis. "Alika... Bima... Bima meninggal, Nak. Ditemukan overdosis di kamarnya pagi ini."
Dunia Alika kembali gelap. Kali ini, rasa sakitnya bukan hanya karena kehilangan, tetapi juga karena konfirmasi. Konfirmasi bahwa ia memang "melihat" kematian, konfirmasi bahwa cermin itu adalah pembawa pesan maut, dan konfirmasi bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikannya. Ia berteriak, teriakannya tertahan di tenggorokan, berubah menjadi isak tangis yang pilu. Ia merasa seperti seorang penonton dalam film horor di mana ia adalah satu-satunya yang tahu akhir ceritanya, tetapi tidak bisa mengubahnya. Cermin itu, yang kini memantulkan wajahnya yang hancur, adalah bukti bisu dari semua kengerian yang ia alami. Ia merasa seperti dikutuk, terjebak dalam lingkaran kematian yang tak berkesudahan, dengan cermin sebagai gerbangnya.
Bab 6 – Terkunci dalam Dunia Sendiri
Kematian Bima adalah pukulan telak terakhir bagi Alika. Tiga orang terdekatnya telah direnggut, dan ia adalah saksi bisu, tak berdaya. Tuduhan Bima bahwa ia gila terngiang-ngiang di telinganya, diperparah oleh tatapan khawatir dan penuh iba dari orang-orang yang masih peduli padanya. Ia merasa dunia ini terbagi menjadi dua: dunia yang ia lihat, yang penuh dengan arwah dan bayangan kematian, dan dunia yang dilihat orang lain, yang penuh dengan kebohongan dan ketidakpahaman. Ia memilih untuk sepenuhnya mengisolasi diri.
Apartemennya menjadi benteng, namun juga penjara. Ia tidak lagi peduli pada pekerjaan, pada makanan, bahkan pada kebersihan diri. Rambutnya kusam, matanya cekung, dan pakaiannya lusuh. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya duduk di lantai, menatap kosong ke cermin yang kini tidak lagi ia tutupi. Cermin itu adalah satu-satunya 'teman' yang memahami, satu-satunya yang memperlihatkan kebenaran yang tak seorang pun mau percaya. Ironisnya, cermin yang dulunya ia anggap sebagai pembawa kabar buruk, kini menjadi satu-satunya jendelanya menuju 'kebenaran'.
Interaksi dengan arwah-arwah yang ia kenal semakin intens. Santi, Vina, dan Bima kini muncul lebih jelas, bahkan seolah-olah bisa berkomunikasi dengannya. Mereka tidak lagi hanya bayangan, tetapi entitas yang solid, seolah-olah mereka benar-benar ada di sana. Alika berbicara kepada mereka, menanyakan apa yang harus ia lakukan, meminta petunjuk. Dalam benaknya, mereka menjawab, menghiburnya, dan meyakinkannya bahwa ia tidak sendirian. Namun, bisikan-bisikan lain juga mulai terdengar, suara-suara asing yang membingungkan, kadang-kadang menakutkan. Suara-suara yang menyuruhnya melakukan hal-hal aneh, atau menanamkan keraguan yang lebih dalam.
"Apakah aku yang gila?" gumamnya suatu siang, menatap pantulan dirinya yang terlihat mengerikan di cermin.
Pantulan Santi di sampingnya seolah menggeleng. "Tidak, Alika. Kau tidak gila. Mereka yang buta."
"Benarkah?" tanya Alika, matanya berkaca-kaca.
"Tentu saja. Kami ada di sini. Kami nyata," bisik Vina, yang kini tampak duduk di sofa di belakangnya, sambil tersenyum tipis.
Alika mulai kehilangan kepercayaan pada kenyataan sepenuhnya. Ia tidak yakin siapa pun di sekitarnya masih hidup. Ibunya menelepon, suaranya dipenuhi kekhawatiran, "Alika, kamu harus keluar. Kamu harus bertemu orang. Kamu sakit, Nak." Alika hanya mendengar suara itu sebagai distorsi, sebuah upaya dari dunia "yang tidak melihat" untuk menariknya kembali ke dalam kebohongan. "Ibu tidak mengerti," bisiknya pada dirinya sendiri, sambil menatap "arwah" ibunya yang samar-samar di samping pantulan dirinya. Apakah ibunya sendiri sudah meninggal, dan ia tidak tahu? Keraguan ini semakin mengikis kewarasannya.
Bahkan dirinya sendiri mulai dipertanyakan. Jika ia bisa melihat arwah, apakah ia juga sudah menjadi bagian dari mereka? Apakah ia sebenarnya sudah meninggal dan terjebak di antara dua dunia? Pikiran itu semakin menguasainya. Ia merasa terpisah dari tubuhnya sendiri, seperti jiwanya melayang di antara dimensi.
Suatu malam, dalam keputusasaan yang mendalam, Alika berdiri di depan cermin. Ia menatap pantulan dirinya yang terlihat pucat dan linglung. Arwah-arwah di sekitarnya tampak mengelilinginya, seolah menunggunya untuk bergabung. "Aku ingin bersama kalian," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku ingin masuk ke dunia kalian."
Dengan tangan gemetar, Alika meraih sebilah pisau kecil dari meja di samping tempat tidurnya. Matanya kosong, pikirannya dipenuhi keinginan untuk mengakhiri penderitaan ini, untuk melewati batas antara hidup dan mati. Ia melukai pergelangan tangannya di depan cermin, berharap bisa "membebaskan" jiwanya, berharap bisa masuk ke dunia roh untuk menyusul mereka. Darah merah mengalir, kontras dengan kulitnya yang putih. Ia menatap pantulan dirinya yang kini dihiasi bercak darah, dan melihat senyum tipis di wajah arwah-arwah di sekitarnya, seolah mereka menyambutnya.
Pandangannya mulai kabur, tubuhnya limbung. Ia jatuh ke lantai, pisau terlepas dari genggamannya. Kesadarannya memudar, namun sebelum kegelapan menelannya sepenuhnya, ia melihat cermin itu bersinar, memancarkan cahaya putih yang menyilaukan. Sebuah portal? Sebuah undangan? Atau hanya delusi terakhir dari otaknya yang lelah? Ia tidak tahu. Yang jelas, ia merasa damai, seolah beban berat telah terangkat dari pundaknya.
Bab 7 – Ruang Putih
Cahaya menyilaukan itu perlahan memudar, digantikan oleh dinding-dinding putih bersih yang membentang tanpa batas. Aroma antiseptik yang menusuk hidung dan suara dengung AC yang konstan adalah satu-satunya hal yang mengisi keheningan. Alika membuka mata, mengerjap-ngerjap, mencoba memahami di mana ia berada. Sebuah ranjang yang nyaman, seprai putih bersih, dan infus yang tertancap di lengannya adalah pemandangan pertama yang ia tangkap.
Ia mencoba bangkit, tapi tubuhnya terasa lemah dan pening. Pintu kamar terbuka, dan seorang wanita paruh baya dengan seragam perawat masuk. "Anda sudah sadar, Nona Alika," ucap perawat itu dengan suara lembut dan senyum ramah. "Jangan dulu banyak bergerak. Anda butuh istirahat."
Alika hanya mengangguk pelan, kepalanya masih terasa berat. Ruangan itu terasa asing, namun anehnya, ia tidak melihat bayangan atau arwah apa pun di sana. Sebuah kelegaan tipis menyelimuti dirinya, diikuti oleh kebingungan yang lebih besar. Di mana ini? Apa yang terjadi padanya? Kilasan tentang pisau dan darah samar-samar muncul, tapi terasa seperti mimpi buruk yang jauh.
Beberapa jam kemudian, seorang pria masuk ke kamarnya. Pria itu tinggi, dengan rambut sedikit beruban di pelipis, dan sepasang mata yang meneduhkan di balik kacamata. Ia mengenakan jas putih, dan tag nama di dadanya tertulis: dr. Reinald.
"Halo, Nona Alika. Saya dr. Reinald, psikiater yang menangani Anda," sapanya dengan suara tenang dan profesional. Ia duduk di kursi di samping ranjang Alika, membawa sebuah map.
Alika hanya menatapnya kosong. "Saya di mana?" tanyanya, suaranya serak.
"Anda berada di rumah sakit jiwa," jawab dr. Reinald, tanpa ragu, namun dengan nada empati. "Anda dilarikan ke sini setelah ditemukan tidak sadarkan diri di apartemen Anda, dengan luka di pergelangan tangan."
Mendengar kata "rumah sakit jiwa", Alika merasakan lonjakan kepanikan. "Tidak! Saya tidak gila! Saya tidak!" teriaknya, mencoba menarik infus di lengannya.
"Tenang, Nona Alika. Tidak ada yang mengatakan Anda gila," kata dr. Reinald, tetap tenang. "Anda hanya membutuhkan bantuan. Kami ada di sini untuk membantu Anda memahami apa yang Anda alami."
Ia mulai menjelaskan, dengan hati-hati dan penuh pengertian. "Berdasarkan observasi awal dan laporan dari keluarga Anda, serta beberapa teman yang sempat berinteraksi dengan Anda, kami mendiagnosis Anda mengalami psikosis berat."
Alika menggeleng, air mata mulai mengalir. "Tidak... saya melihat mereka. Mereka nyata!"
Dr. Reinald menghela napas pelan. "Saya mengerti, Nona Alika, Anda sangat yakin dengan apa yang Anda lihat dan alami. Namun, dari sudut pandang medis, semua itu adalah halusinasi dan delusi. Halusinasi visual, karena Anda melihat sosok-sosok yang tidak ada, dan halusinasi auditif, karena Anda mendengar suara-suara. Ditambah lagi, ada delusi, yaitu keyakinan kuat Anda bahwa Anda bisa melihat arwah atau bahwa Anda berada di antara dua dunia."
Ia melanjutkan, menjelaskan istilah-istilah medis dengan bahasa yang mudah dimengerti. "Gejala-gejala ini seringkali muncul akibat trauma mendalam, depresi berkepanjangan, dan bisa jadi merupakan manifestasi dari skizofrenia, atau setidaknya, episode psikotik yang parah. Otak Anda, karena stres dan tekanan yang luar biasa, mulai memproduksi pengalaman sensorik yang tidak nyata sebagai mekanisme pertahanan diri."
Alika terdiam, mencerna kata-kata dokter. Psikosis? Halusinasi? Delusi? Semua yang ia alami, semua yang ia yakini selama ini, hanyalah tipuan otaknya sendiri? Rasa malu dan penyesalan mulai merayapi dirinya. Jadi, Santi, Vina, Bima... mereka tidak pernah benar-benar ada di sampingnya? Ia hanya berbicara pada dirinya sendiri? Ia hanya berinteraksi dengan hantu imajinasinya?
"Kematian teman-teman Anda, terutama kematian Santi dan Vina, adalah pemicu trauma yang sangat besar bagi Anda," lanjut dr. Reinald. "Ditambah dengan depresi yang Anda alami, dan kemungkinan adanya predisposisi genetik terhadap gangguan persepsi, pikiran Anda mulai menciptakan realitas alternatif sebagai cara untuk mengatasi rasa sakit dan kehilangan."
Ia menjelaskan bahwa cermin itu, bagi Alika, hanyalah sebuah objek yang dikaitkan dengan trauma, sehingga menjadi fokus dari halusinasi visualnya. "Cermin itu menjadi simbol ketakutan Anda, dan otak Anda memproyeksikan ketakutan itu melalui pantulan yang Anda lihat."
Air mata Alika semakin deras. Rasanya seperti seluruh pondasi kepercayaannya runtuh. Dunia yang ia yakini, kini hanya fatamorgana. Ia bukanlah seorang perantara dunia arwah, melainkan seorang pasien yang sakit. Ruangan putih ini, yang tadinya terasa seperti penjara, kini terasa seperti tempat di mana ia bisa menemukan kebenaran yang kejam. Ia merasa seperti seorang penipu bagi dirinya sendiri, sebuah kebohongan yang berjalan.
Bab 8 – Terapi dan Obat
Perjalanan Alika menuju pemulihan adalah proses yang panjang dan menyakitkan, namun juga penuh harapan. Ruang putih rumah sakit jiwa, yang awalnya terasa seperti kandang, perlahan mulai menjadi tempat yang aman. Dr. Reinald terbukti menjadi sosok yang sabar, empatik, dan sangat profesional. Ia tidak pernah merendahkan Alika, tidak pernah membuat Alika merasa gila, melainkan selalu menekankan bahwa ia sedang sakit dan membutuhkan pertolongan.
Terapi dimulai dengan sesi-sesi konseling individu yang intens. Dr. Reinald dengan sabar mendengarkan semua cerita Alika tentang Santi, Vina, Bima, tentang bagaimana ia melihat kematian mereka di cermin, tentang bagaimana ia berinteraksi dengan "arwah-arwah" mereka, dan tentang bagaimana ia merasa terjebak di antara dua dunia. Ia tidak pernah menghakimi, hanya mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali memberikan pertanyaan yang memancing Alika untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda.
"Alika, saya tahu ini sulit dipercaya," kata dr. Reinald suatu hari, "tapi cobalah untuk melihatnya dari sudut pandang ini: ketika seseorang mengalami trauma yang sangat besar, terutama kehilangan orang-orang yang dicintai secara beruntun, pikiran manusia cenderung mencari penjelasan, mencari pola, bahkan jika pola itu tidak ada secara objektif. Cermin itu, dengan sejarahnya sebagai warisan, mungkin menjadi fokus dari kecemasan Anda."
Ia menjelaskan tentang mekanisme otak dalam menghadapi stres ekstrem. "Otak Anda mungkin menciptakan ilusi-ilusi ini sebagai cara untuk memproses rasa sakit yang tak tertahankan. Anda sangat mencintai mereka, Alika. Kehilangan mereka meninggalkan kekosongan yang sangat besar, dan pikiran Anda mencoba mengisi kekosongan itu dengan menciptakan kembali keberadaan mereka di sekitar Anda."
Selain terapi bicara, Alika juga memulai pengobatan dengan antipsikotik dosis rendah. Awalnya, ia enggan. Ia merasa takut pada efek samping dan label yang melekat pada obat-obatan tersebut. Namun, dr. Reinald meyakinkannya bahwa obat itu akan membantu menstabilkan zat kimia di otaknya, mengurangi frekuensi dan intensitas halusinasi, serta membantu ia membedakan antara realitas dan ilusi.
Perlahan, efek obat mulai terasa. Kabut di benaknya mulai menipis. Bisikan-bisikan yang tadinya mengganggunya mulai mereda. Bayangan-bayangan yang ia lihat mulai menjadi lebih transparan, dan akhirnya, menghilang sepenuhnya. Ia tidak lagi melihat Santi, Vina, atau Bima di kamarnya. Kehilangan "kehadiran" mereka sebenarnya menyakitkan, sebuah bentuk perpisahan kedua, namun juga melegakan.
Ia belajar teknik relaksasi, meditasi sederhana, dan cara-cara untuk mengelola stres. Ia mulai memahami bahwa pikiran dapat menipu, dan bahwa persepsi tidak selalu mencerminkan kenyataan. Ia mulai membaca buku-buku tentang psikologi, mencoba memahami cara kerja otaknya sendiri.
Meskipun gejalanya mereda, rasa bersalah dan kehilangan atas semua "arwah" yang ia pikir nyata, tetap membekas. Ia berduka, tidak hanya untuk kehilangan orang-orang yang dicintainya, tetapi juga untuk realitas alternatif yang pernah ia yakini. Ia menyadari betapa jauh ia telah melangkah ke dalam kegelapan ilusinya sendiri. Ia merasa malu atas tindakannya yang melukai diri sendiri, dan menyadari betapa putus asanya ia saat itu.
Proses pemulihan Alika tidak linier. Ada hari-hari di mana ia merasa sangat putus asa, merasa bahwa ia tidak akan pernah benar-benar sembuh. Ada malam-malam di mana ia terbangun dengan keringat dingin, merasa ada bayangan yang mengintainya. Namun, dengan dukungan dr. Reinald dan staf rumah sakit, serta tekad kuat dari dirinya sendiri, ia terus melangkah maju.
Setelah beberapa bulan terapi intensif dan pengobatan yang konsisten, Alika menunjukkan kemajuan yang signifikan. Ia tidak lagi melihat cermin sebagai benda mistis. Itu hanyalah cermin. Ia mulai bisa membedakan antara yang nyata dan yang tidak nyata dengan lebih jelas. Ia mulai bisa mempercayai indranya lagi. Rasa sakit itu masih ada, namun kini ia memiliki alat untuk mengelolanya, untuk menerima kenyataan pahit bahwa orang-orang yang ia cintai telah tiada, dan bahwa ia harus belajar hidup tanpanya, tanpa ilusi yang menghibur. Ia merasa lebih kuat, lebih jernih, meski bekas luka di jiwanya akan selalu ada.
Bab 9 – Cermin Terakhir
Enam bulan berlalu. Alika telah melewati masa-masa sulit dengan perjuangan yang luar biasa. Ia telah belajar menerima diagnosisnya, memahami bahwa apa yang ia alami adalah penyakit, bukan kutukan atau karunia. Terapi dan obat-obatan telah membersihkan kabut dari pikirannya, mengembalikan ia ke dalam realitas yang solid, meskipun terasa menyakitkan. Luka di pergelangan tangannya telah sembuh, menyisakan bekas samar yang menjadi pengingat bisu akan titik terendah dalam hidupnya.
Hari itu adalah hari kebebasannya. Dokter Reinald telah memberikan izin pulang. Senyum di wajahnya adalah campuran lega dan sedikit gentar. Ia akan kembali ke apartemennya, kembali ke dunianya, namun kini dengan perspektif yang sama sekali berbeda.
Di ruang administrasi, seorang perawat menyerahkan barang-barang pribadi Alika yang telah disimpan selama ia dirawat. Ponselnya, dompet, kunci apartemen, dan... sebuah kotak kecil yang dibungkus rapi. "Ini milik Anda, Nona Alika," kata perawat itu, menyerahkan kotak tersebut.
Alika membuka kotak itu dengan penasaran. Di dalamnya, terbaring sebuah cermin kecil. Bukan cermin besar yang ada di kamarnya, melainkan cermin genggam berbingkai perak yang dulu sering ia bawa di tasnya. Cermin yang sama yang pernah ia gunakan untuk melihat pantulan wajahnya setiap pagi, jauh sebelum semua kengerian itu dimulai.
Jantung Alika berdesir pelan. Ia tidak ingat pernah membawa cermin ini ke rumah sakit. Mungkin tertinggal di tasnya saat ia dilarikan ke sana. Tangannya bergetar saat mengambilnya. Ini adalah cermin yang berbeda, cermin yang tidak pernah dikaitkan dengan kematian-kematian yang ia saksikan. Ini hanyalah cermin biasa. Ia telah diajarkan untuk memercayai bahwa semua pantulan mengerikan itu hanyalah ilusi.
Tanpa sengaja, atau mungkin karena dorongan alam bawah sadar, ia menatap pantulan dirinya di cermin kecil itu. Wajahnya terlihat lelah, namun ada sorot mata yang lebih tenang di sana. Ia menghela napas, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua telah berakhir.
Namun, dalam sekejap mata, dalam pantulan yang bening itu, sesuatu yang mustahil terjadi. Di belakangnya, di dalam pantulan cermin itu, muncul sosok-sosok. Bukan bayangan samar seperti dulu, tetapi lebih solid, lebih nyata, lebih hidup daripada yang pernah ia lihat sebelumnya. Santi, dengan senyum cerianya yang khas, berdiri di sisi kanannya. Vina, dengan rambutnya yang tergerai dan mata berbinar, di sisi kirinya. Dan di antara mereka, sedikit di belakang, Bima berdiri tegak, dengan senyum tipis di bibirnya.
Mereka semua menatapnya, tidak dengan tatapan sedih atau hampa, melainkan dengan tatapan penuh kelegaan dan senyuman yang hangat. Seolah mereka ada di sana, benar-benar ada. Alika menahan napas, matanya membelalak tak percaya. Ini tidak mungkin. Ini... ini tidak boleh terjadi lagi. Ia sudah sembuh. Ia sudah diajarkan bahwa ini semua hanyalah delusi.
Tangannya gemetar hebat, hampir menjatuhkan cermin itu. Ia melihat dirinya di cermin, lalu memalingkan pandangannya ke belakang, ke ruangan yang sebenarnya. Tidak ada siapa-siapa. Hanya dinding putih kosong dan perawat yang sedang berbicara dengan dokter di ujung koridor. Ia kembali menatap cermin. Mereka masih ada di sana, tersenyum padanya.
Sebuah suara, jernih dan nyata, seperti bisikan angin di telinganya, namun begitu jelas, "Kami tidak pernah pergi, Alika." Itu suara Santi.
Alika merasakan kepalanya pusing, dunia berputar. Apakah ini kambuh? Apakah semua terapi itu sia-sia? Apakah ia memang benar-benar gila, selamanya terjebak dalam delusinya? Rasa putus asa yang dalam melanda. Ia telah berjuang keras untuk kembali ke dunia nyata, dan kini, dunia itu kembali mengkhianatinya.
Dengan mata terpejam erat, Alika menjatuhkan cermin kecil itu ke lantai. Suara benturannya tidak keras, namun bergema di benaknya. Ia tidak ingin melihat mereka lagi. Ia tidak ingin melihat kebenaran yang mengerikan, atau kebohongan yang terlalu meyakinkan. Ia menutup matanya rapat-rapat, berusaha mengenyahkan setiap pantulan, setiap bayangan, setiap bisikan. Ia hanya ingin kegelapan, keheningan. Ia hanya ingin percaya pada apa yang telah diajarkan padanya: bahwa mereka semua hanyalah imajinasi. Tapi bisakah ia?
Bab 10 – Kenyataan Terakhir
Beberapa bulan kemudian, rutinitas dr. Reinald di kantornya berjalan seperti biasa. Tumpukan berkas pasien, jadwal terapi, dan laporan-laporan medis memenuhi mejanya. Di antara semua itu, terselip sebuah kasus yang masih sering ia pikirkan: kasus Alika. Pasien yang begitu gigih, yang menunjukkan kemajuan luar biasa, namun yang kisahnya selalu meninggalkan sedikit keraguan yang tak terucap di benaknya. Ia ingat betapa kuatnya keyakinan Alika pada halusinasi-halusinasinya, dan bagaimana Alika menyebutkan detail-detail yang sangat spesifik tentang kematian teman-temannya.
Suatu sore yang tenang, di sela-sela jeda pasien, dr. Reinald mengambil map Alika. Ia membaca kembali laporan-laporan awal, catatan terapi, dan terutama, transkrip wawancara di mana Alika menceritakan detail-detail tentang "penglihatan" kematian Santi, Vina, dan Bima. Alika begitu yakin, begitu spesifik. Keingintahuan profesionalnya tergelitik. Apakah mungkin ada secuil kebenaran di balik semua "delusi" ini? Ia tahu, secara medis, itu tidak mungkin. Namun, sebagai seorang ilmuwan, ia tidak bisa mengabaikan kemungkinan sekecil apa pun, sekonyol apa pun itu.
Dr. Reinald membuka laptopnya. Ia memutuskan untuk melakukan penyelidikan kecil, murni karena rasa ingin tahu pribadi, dan juga untuk memastikan tidak ada celah dalam diagnosisnya. Ia mulai secara acak menelusuri nama-nama orang yang disebut Alika selama terapi, yang Alika yakini telah meninggal dan ia lihat kematiannya di cermin.
Pertama, Santi. Ia mengetik nama "Santi" dan "jatuh dari gedung" di mesin pencari. Hasil pertama yang muncul adalah berita lama tentang seorang wanita bernama Santi yang ditemukan tewas setelah jatuh dari gedung perkantoran di pusat kota, sekitar setahun yang lalu. Tanggal dan lokasi kejadian sesuai dengan apa yang Alika ceritakan. Dr. Reinald mengernyitkan dahi. Kebetulan? Mungkin.
Kemudian, ia mencari Vina. Ia mengetik "Vina" dan "kecelakaan motor". Beberapa artikel muncul, salah satunya mengisahkan seorang mahasiswi bernama Vina yang meninggal dalam kecelakaan tunggal sepeda motor, persis seperti yang Alika deskripsikan: terpelanting dari motor, helm pecah. Tanggal kejadiannya juga cocok. Kerutan di dahi dr. Reinald semakin dalam. Dua kali kebetulan? Ini mulai terasa aneh.
Terakhir, ia mencari Bima. "Bima" dan "overdosis". Dan di sana, sebuah berita muncul, mengonfirmasi kematian seorang pria bernama Bima karena overdosis obat-obatan terlarang. Tanggal dan penyebab kematiannya sekali lagi, persis seperti yang Alika ceritakan, bahkan hingga detail botol pil yang berserakan.
Dr. Reinald bersandar di kursinya, matanya terpaku pada layar laptop. Jantungnya berdegup lebih cepat. Tiga orang. Tiga orang yang dikira Alika sudah meninggal, tiga orang yang kematiannya ia "lihat" di cermin dan ia ceritakan sebagai halusinasi, ternyata benar-benar telah meninggal. Dan detail-detail kematian mereka, penyebabnya, bahkan cara mereka meninggal, semuanya cocok dengan apa yang diceritakan Alika.
Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Ini bukan kebetulan. Ini tidak mungkin hanya sebuah rangkaian kebetulan yang luar biasa. Alika bukan berhalusinasi. Atau setidaknya, halusinasi Alika memiliki dasar kenyataan yang sangat mengerikan. Ia memiliki kemampuan, entah bagaimana, untuk melihat kematian sebelum itu terjadi. Cermin itu... cermin itu bukan delusi. Ia adalah saksi bisu sebuah kutukan atau karunia.
Dr. Reinald menatap kosong ke cermin yang tergantung di dinding ruangannya, sebuah cermin biasa, memantulkan pantulan dirinya yang tampak terkejut dan bingung. Pertanyaan-pertanyaan ilmiahnya runtuh, digantikan oleh kengerian dan keheranan. Jika Alika benar, jika kemampuannya itu nyata, lantas apa artinya semua diagnosis yang ia berikan? Apa artinya semua terapi yang telah dijalankan Alika? Ia telah meyakinkan Alika bahwa itu semua hanyalah ilusi, bahwa Alika sakit. Tapi bagaimana jika Alika tidak sakit? Bagaimana jika Alika adalah seorang yang istimewa, seorang yang memiliki indra keenam yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmu kedokteran?
Pikirannya berpacu. Ia memikirkan kembali momen terakhir Alika di rumah sakit, saat Alika menjatuhkan cermin kecil itu dan menutup matanya. Apakah Alika melihat sesuatu? Apakah ia melihat "mereka" lagi? Dan apakah "mereka" itu memang nyata?
Dr. Reinald merasa seperti seorang penjelajah yang baru saja menemukan sebuah benua baru, sebuah dimensi yang tidak ia ketahui keberadaannya. Dunia medis yang ia yakini selama ini seolah bergeser. Alika bukan gila. Alika memiliki kemampuan yang tidak dapat dijelaskan, sebuah karunia atau kutukan, yang membuat ia bisa "melihat" kematian. Cermin itu hanyalah sebuah medium, sebuah portal, yang membuka mata Alika pada realitas yang tak terbayangkan. Ia merasa sebuah beban berat menekan pundaknya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Haruskah ia mencari Alika dan memberitahunya bahwa ia tidak berhalusinasi? Atau haruskah ia membiarkan Alika hidup dalam "kebenaran" yang lebih nyaman, yang telah ia bangun di atas dasar keyakinan medis? Pertanyaan itu menggantung di udara, tanpa jawaban, seperti pantulan abadi di sebuah cermin.