Cerpen
Disukai
1
Dilihat
1,742
Cermin Diri
Horor

Bab 1: Catatan yang Mengusik

Klinik Psikiatri Dr. Rahmat Santosa adalah sebuah oase ketenangan di tengah hiruk pikuk Jakarta. Berlokasi di sebuah bangunan tua yang direnovasi apik di kawasan Menteng, tempat itu memancarkan aura profesionalisme yang hangat. Dinding berwarna krem lembut, aroma terapi yang samar, dan suara gemericik air dari kolam kecil di taman belakang, semuanya dirancang untuk menenangkan jiwa yang bergejolak. Dr. Rahmat, dengan kacamata berbingkai tipis yang selalu bertengger di hidungnya, adalah perwujudan dari ketenangan itu sendiri. Suaranya yang rendah dan menenangkan, tatapan matanya yang penuh empati, serta gestur tubuhnya yang selalu terkontrol, telah menjadi jangkar bagi banyak pasiennya yang terombang-ambing badai mental.

Pagi itu, seperti biasa, Rahmat memulai harinya dengan secangkir kopi hitam pekat dan meninjau berkas-berkas pasien. Dia duduk di meja mahoni miliknya, yang selalu rapi, hanya dihiasi sebuah lampu baca minimalis dan tumpukan jurnal medis terbaru. Udara pagi yang sejuk merasuk melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa serta aroma melati dari taman dan samar-samar deru lalu lintas yang masih tipis.

Namun, ketenangan itu mendadak terusik ketika tangannya menyentuh sebuah map biru tua yang terasa asing di antara tumpukan berkas yang teratur. Map itu tidak memiliki label nama pasien yang jelas, hanya sebuah nomor seri yang samar tertulis di sudut kanan atas. Dr. Rahmat mengerutkan kening. Sistem pengarsipan kliniknya dikenal sangat rapi, hampir obsesif, dan map tanpa label adalah anomali. Dia mengambil map itu, membalik-baliknya, mencoba mengingat apakah ada pasien baru atau kasus khusus yang luput dari perhatiannya. Tidak ada.

Rasa penasaran mengalahkan keengganannya. Dia membuka map itu. Di dalamnya, bukan rekam medis standar atau hasil tes psikologi, melainkan seikat halaman buku catatan yang usang, dengan tulisan tangan yang rapat dan miring. Di halaman pertama, sebuah nama tertulis dengan tinta hitam pekat: Ardi.

Rahmat mulai membaca.

23 September.

Ada cermin dalam diriku. Ia menunjukkan wajah yang bukan milikku. Sebuah topeng. Aku tidak ingat kapan aku memakainya, atau siapa aku sebelum ini. Mereka bilang aku Ardi. Tapi siapa Ardi? Mengapa aku merasakan sakit ini? Mengapa tanganku selalu ingin melukai?

Napas Rahmat sedikit tertahan. Kata-kata itu begitu mentah, begitu penuh keputusasaan. Dia seorang psikiater. Dia telah membaca ribuan kasus dengan tingkat keparahan yang beragam. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari tulisan ini. Ada getaran yang familiar, resonansi aneh yang mengguncang sesuatu di dalam dirinya.

Dia terus membaca, larut dalam dunia Ardi yang terfragmentasi. Ardi sering melukai diri, memiliki kecenderungan bunuh diri, dan mengalami delusi identitas. Dia sering merasa ada "orang lain" yang tinggal di dalam tubuhnya, sebuah entitas yang mengendalikan pikirannya, atau sebaliknya, ia sendiri yang adalah entitas lain itu. Setiap kata, setiap frasa, terasa seperti pukulan halus yang merasuk ke relung-relung kesadaran Rahmat. Ada deskripsi tentang ketakutan akan cermin, tentang suara-suara yang membisikkan instruksi, tentang rasa sakit fisik yang begitu nyata padahal tidak ada luka.

Yang paling mengusik Rahmat adalah gaya bahasanya. Ada metafora yang rumit, diksi yang puitis namun kelam, dan ritme kalimat yang terasa sangat… dia. Dr. Rahmat adalah seorang penulis di waktu luangnya. Dia suka menulis esai-esai pendek tentang psikologi manusia, sering menggunakan metafora cermin atau bayangan untuk menggambarkan kondisi mental. Membaca tulisan Ardi, rasanya seperti membaca bagian-bagian tersembunyi dari pikirannya sendiri, yang entah bagaimana terekspos dalam coretan tangan orang lain.

"Ini aneh," gumam Rahmat, meletakkan catatan itu di meja. Dia meraih telepon interkom. "Sari, bisa tolong carikan data pasien bernama Ardi? Nomor seri 1987-AB-03."

Sari, asistennya yang cekatan, menjawab dengan suara ceria, "Ardi? Dokter yakin? Saya rasa kita tidak memiliki pasien dengan nama itu saat ini, Dok. Atau di daftar pasien lama?"

Rahmat merasakan gelombang kebingungan. "Ya, saya yakin. Ada catatannya di sini. Mungkin pasien lama yang ditangani dokter lain, sebelum saya bergabung."

Ada jeda singkat. "Baik, Dok. Saya akan coba cari di arsip manual. Tapi butuh waktu."

"Tidak apa-apa, cari saja," kata Rahmat, namun pikirannya sudah melayang. Arsip manual? Biasanya Sari bisa menemukan data pasien lama hanya dengan beberapa klik di sistem komputer. Mengapa kali ini berbeda?

Dia menatap map biru itu lagi. Sebuah pertanyaan muncul di benaknya, dingin dan menusuk. Jika catatan ini begitu familiar, begitu "dia", apakah mungkin ada hubungannya dengan dirinya secara pribadi? Dia menggelengkan kepala. Itu tidak mungkin. Dia adalah Dr. Rahmat Santosa, seorang psikiater terkemuka, dengan rekam jejak karier yang jelas, pendidikan yang cemerlang, dan kehidupan yang teratur. Identitasnya kokoh, tak tergoyahkan.

Atau begitukah?

Rahmat kembali ke catatan itu. Ada bagian di mana Ardi menggambarkan sebuah kecelakaan di masa kecil, sebuah peristiwa traumatis yang melibatkan api dan cermin yang pecah. Ardi menulis tentang rasa bersalah yang mendalam, tentang bagaimana ia selamat sendirian, dan bagaimana ia merasa "terpecah" sejak saat itu.

Rahmat merasakan getaran aneh di tulang punggungnya. Dia memiliki memori samar tentang api. Kilatan merah dan jingga, bau gosong, dan teriakan yang tak jelas. Sebuah memori yang selalu ia abaikan, ia anggap sebagai mimpi buruk masa kecil yang terlupakan. Dia tidak pernah punya waktu atau keinginan untuk menggalinya. Kehidupan profesionalnya terlalu sibuk, terlalu menuntut, untuk membuang energi pada nostalgia yang mengganggu.

Namun, catatan Ardi telah membuka pintu yang terkunci rapat. Sensasi aneh itu semakin kuat. Bukan hanya familiar, tetapi juga menakutkan. Dia merasa seolah-olah ada lubang hitam di memorinya, sebuah bagian yang kosong dan kini mulai diisi oleh kisah tragis Ardi. Apakah ini hanya kebetulan yang luar biasa, ataukah ada sesuatu yang jauh lebih dalam dan menakutkan yang sedang terungkap?

Dr. Rahmat menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. Ini bukan sekadar kasus pasien biasa. Ini adalah teka-teki yang mengusik, yang secara perlahan tapi pasti, mulai menyeretnya ke dalam labirin psikologis yang ia sendiri tak yakin bisa keluar darinya. Dia harus menemukan lebih banyak tentang Ardi. Dia harus tahu mengapa catatan ini, yang seharusnya menjadi cerminan jiwa orang lain, justru memantulkan bayangan dirinya.

Bab 2: Penyelaman Awal

Sari tidak menemukan berkas Ardi di sistem komputer. Tidak ada catatan elektronik, tidak ada riwayat pendaftaran, bahkan di daftar pasien yang sudah keluar atau meninggal dunia. Ini membuat Dr. Rahmat semakin penasaran, sekaligus sedikit gelisah. Rumah sakit ini modern, dengan sistem digital yang canggih. Tidak mungkin ada kasus yang terlewatkan begitu saja.

"Maaf, Dokter. Saya sudah mencari di semua database," kata Sari, suaranya terdengar ragu. "Saya hanya menemukan beberapa berkas arsip manual yang kurang terorganisir dari masa sebelum renovasi besar lima tahun lalu. Mungkin Ardi adalah pasien dari era itu?"

Rahmat mengangguk pelan. "Bisa jadi. Bisakah Anda tunjukkan di mana arsip manual itu disimpan?"

Sari mengarahkannya ke sebuah lorong sempit di bagian belakang klinik, jauh dari area pasien. Lorong itu berbau apak dan lembap, di ujungnya terdapat sebuah pintu besi berkarat dengan tulisan "ARSIP NON-DIGITAL" yang nyaris tak terbaca. Sari memberinya kunci dan senter kecil. "Hati-hati, Dok. Ruangan itu jarang disentuh, dan kadang-kadang lampunya mati sendiri."

Rahmat mengambil kunci itu. Rasa aneh menyelimuti dirinya. Seperti melangkah masuk ke dalam lemari tua yang menyimpan rahasia. Dia membuka pintu, yang berderit nyaring, mengungkapkan sebuah ruangan gelap dan pengap. Udara di dalamnya terasa dingin dan berat, dipenuhi debu yang menari-nari dalam sorot senter. Rak-rak besi tua yang menjulang tinggi, penuh dengan tumpukan map-map usang, memenuhi ruangan. Bau kertas lapuk dan jamur menusuk hidung.

Dia mengaktifkan senternya, menyapu lingkaran cahaya di sekeliling ruangan. Ada ribuan map di sana, berlabelkan nama dan nomor yang nyaris tak terbaca. Mencari Ardi di antara semua itu seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Rahmat menghela napas. Ini akan memakan waktu.

Dia mulai menelusuri rak-rak, membaca label satu per satu. Jam-jam berlalu. Debu menempel di bajunya, matanya terasa perih, dan batuknya sesekali pecah. Di tengah tumpukan map berlabel "A", di rak paling atas yang nyaris tak terjangkau, senternya menangkap sebuah map yang warnanya sedikit berbeda, lebih pudar. Map biru tua. Sama persis dengan map yang ia temukan di mejanya pagi itu. Dan di sudutnya, samar-samar, tertera nomor seri yang sama: 1987-AB-03.

Jantung Rahmat berdebar. Bagaimana map ini bisa berakhir di mejanya jika asistennya sendiri tidak bisa menemukannya di sistem? Apakah ada yang menaruhnya di sana? Tapi siapa? Dan untuk tujuan apa?

Dia menarik map itu hati-hati. Debu beterbangan. Di dalamnya, selain catatan tulisan tangan Ardi yang sudah ia baca, ada juga beberapa lembar transkrip wawancara dengan seorang psikiater, beberapa hasil tes proyektif (seperti Rorschach dan TAT) yang diisi dengan gambar-gambar dan cerita-cerita yang kelam, serta sebuah kaset rekaman kecil berlabel "SESI 1-10".

Rahmat membawa map itu kembali ke kantornya. Dia menutup pintu, seolah ingin mengunci dunia luar dan fokus pada misteri ini. Dia mengambil pemutar kaset mini yang sudah lama tak terpakai dari laci bawah mejanya. Tangannya sedikit gemetar saat ia memasukkan kaset itu.

Suara rekaman mulai terdengar. Pertama, suara gesekan, lalu batuk kecil, dan kemudian suara seorang pria yang tenang dan ramah, memperkenalkan diri sebagai Dr. Wijoyo. "Selamat pagi, Ardi. Bisakah Anda menceritakan bagaimana perasaan Anda hari ini?"

Kemudian, suara lain. Suara yang dalam, sedikit serak, dan penuh kecemasan. Suara itu… adalah suara Ardi. Rahmat menahan napas. Suara Ardi itu begitu… akrab. Sangat familiar. Dia telah mendengar suara itu berkali-kali. Setiap pagi, saat ia berbicara di depan cermin, saat ia memberikan instruksi kepada Sari, saat ia menelepon rekan-rekannya.

Suara itu adalah suaranya sendiri.

Rahmat merasakan pusing yang luar biasa. Dia mencengkeram tepi meja. Ini tidak mungkin. Ini pasti tipuan, ilusi audio. Dia memejamkan mata, berusaha menjernihkan pikiran.

Rekaman itu terus berjalan. Ardi berbicara tentang mimpi-mimpi buruknya, tentang suara-suara yang menghantuinya, tentang rasa terpisah dari tubuhnya sendiri. Ia berbicara tentang kejadian mengerikan di masa kecilnya, sebuah kebakaran yang menghancurkan rumahnya dan merenggut nyawa orang tuanya. Ia adalah satu-satunya yang selamat, ditemukan di bawah puing-puing, menatap pantulan wajahnya yang berlumuran jelaga di pecahan cermin.

Setiap kata Ardi adalah gema dari memori samar Rahmat. Kebakaran. Pecahan cermin. Rasa bersalah yang tak terucapkan. Dia selalu menganggap itu hanyalah trauma universal masa kecil, yang somehow dihubungkan oleh pikirannya dengan catatan Ardi. Tapi suara itu… suara itu tidak bisa berbohong.

Dia memutar ulang bagian-bagian tertentu, berulang kali. Suara itu adalah dia. Bagaimana mungkin? Apakah dia mengenal Ardi? Apakah Ardi adalah seseorang dari masa lalunya yang terlupakan? Atau, apakah ini adalah bagian dari lelucon kejam yang dirancang untuk menguji kewarasannya?

Dia membuka transkrip wawancara. Di sana, tertulis verbatim percakapan antara Dr. Wijoyo dan Ardi.

Dr. Wijoyo: "Ardi, bisakah Anda ceritakan lebih banyak tentang perasaan Anda terpisah dari diri sendiri?"

Ardi: "Seperti ada dinding kaca di antara saya dan dunia. Saya melihat, saya mendengar, tapi saya tidak merasakannya. Saya melihat tubuh ini bergerak, berbicara, tapi itu bukan saya. Atau… saya tidak yakin lagi siapa saya."

Rahmat membaca baris itu, matanya melebar. Dinding kaca. Dia sering menggunakan metafora itu dalam artikel-artikelnya, untuk menggambarkan perasaan depersonalisasi atau derealisasi pada pasien. Bagaimana bisa Ardi, seorang pasien yang menderita, menggunakan diksi yang begitu mirip dengannya?

Dia mencoba mencari nama Dr. Wijoyo di database staf lama. Nama itu memang ada, seorang psikiater senior yang sudah pensiun sekitar lima tahun lalu karena masalah kesehatan. Rahmat pernah mendengar namanya disebut-sebut sebagai salah satu pendiri klinik ini.

Malam itu, Rahmat pulang ke apartemennya dengan pikiran kalut. Dia mencoba makan malam, tapi makanannya terasa hambar. Televisi menyala, tapi dia tidak menyimak apa pun. Pikirannya terus kembali ke suara dalam kaset, ke tulisan tangan yang identik, ke kesamaan traumatis masa kecil.

Dia mencoba mencari tahu tentang masa lalunya sendiri. Orang tuanya meninggal dalam kecelakaan mobil ketika dia remaja, jauh setelah masa kecilnya. Dia dibesarkan oleh neneknya. Tidak ada kebakaran. Tidak ada pecahan cermin. Ingatannya tentang masa kecilnya, meskipun tidak rinci, terasa stabil. Atau begitukah?

Sebuah ketakutan perlahan menyusup. Ketakutan bahwa realitas yang selama ini ia bangun, realitas yang kokoh sebagai Dr. Rahmat Santosa, seorang profesional yang dihormati, mungkin tidaklah sepadat yang ia kira. Bahwa ada retakan-retakan kecil di permukaannya, yang kini mulai diperbesar oleh catatan dan rekaman Ardi.

Dia tidak bisa tidur malam itu. Setiap kali ia memejamkan mata, ia mendengar suara Ardi yang adalah suaranya sendiri, mengeluhkan rasa sakit dan kebingungan. Setiap kali ia membuka mata, bayangan map biru tua dan tulisan tangan yang misterius itu terus membayang di benaknya. Dia tahu, dia tidak bisa mengabaikan ini lagi. Sesuatu yang sangat fundamental tentang dirinya sedang dipertaruhkan. Dan dia, seorang psikiater yang seharusnya mengobati pikiran orang lain, kini merasa pikirannya sendiri sedang tergelincir ke dalam jurang yang gelap.

Bab 3: Cermin Luka Lama

Insomnia menjadi teman setia Rahmat. Malam-malam yang biasanya diisi dengan tidur nyenyak kini digantikan oleh gulungan pikiran yang tak berkesudahan, diwarnai oleh mimpi-mimpi aneh yang semakin intens. Mimpi-mimpi itu adalah mosaik fragmentasi: kilatan api oranye yang menjilat langit, bayangan seorang anak kecil menangis di antara puing-puing, suara teriakan yang melengking, dan yang paling mengerikan, pantulan wajah di pecahan kaca—wajah yang bukan wajahnya sendiri, namun entah mengapa terasa begitu akrab dan pilu.

Pagi harinya, ia akan terbangun dengan peluh dingin membasahi dahinya, jantung berdebar kencang, dan sensasi deja vu yang kuat. Kadang, saat ia menuangkan kopi, tangannya akan gemetar, dan citra pecahan cermin akan muncul di benaknya, seolah-olah permukaan kopi itu adalah cermin yang retak. Aroma kopi yang biasanya menenangkan kini terasa getir, seperti realitas yang perlahan-lahan mulai kehilangan rasanya.

Keseharian Rahmat mulai terpengaruh. Dia mendapati dirinya melamun saat sesi terapi, pikirannya melayang ke arsip-arsip tua dan rekaman suara Ardi. Pasien-pasiennya, dengan insting tajam mereka, mulai merasakan perubahannya. Nyonya Ratna, seorang pasien dengan kecemasan umum, bertanya dengan suara lembut, "Dr. Rahmat, apakah Anda baik-baik saja? Anda terlihat… lelah."

Rahmat tersenyum kaku. "Saya baik-baik saja, Nyonya. Hanya sedikit kurang tidur."

Tapi senyum itu tidak mencapai matanya, dan Nyonya Ratna mengangguk samar, tidak sepenuhnya yakin.

Suatu sore, saat Rahmat sedang menulis catatan progres pasien, tangannya tiba-tiba membeku. Pena di tangannya terasa aneh. Ia menatap tulisan tangannya sendiri, yang rapi dan teratur. Namun, di sampingnya, sebuah coretan kecil yang tak sengaja ia buat, tampak begitu mirip dengan tulisan tangan Ardi di catatan map biru itu. Sebuah loop yang tidak sempurna, sebuah lengkungan pada huruf "a" yang identik.

Rahmat merasa dingin menjalari tulang punggungnya. Ia merobek kertas itu, seolah ingin menghapus bukti yang mengganggu.

Ia mencoba mengalihkan perhatiannya dengan pekerjaan. Dia memiliki beberapa pasien baru yang harus ia tangani. Namun, setiap kali ia mencoba berfokus pada masalah mereka, pikirannya terus kembali ke sosok Ardi. Kecemasan Ardi terasa seperti kecemasannya sendiri, keputusasaan Ardi seperti keputusasaan yang samar-samar ia kenali. Ia bahkan mulai menggunakan diksi Ardi tanpa sadar saat berbicara dengan pasien, misalnya, "Apakah Anda merasa ada dinding antara Anda dan realitas?" Atau, "Apakah ada bagian dari diri Anda yang terasa asing?"

Sari, asistennya, mulai memperhatikan. "Dokter, Anda terlihat sedikit berbeda akhir-akhir ini. Apakah ada masalah?" tanyanya suatu hari, dengan nada prihatin.

Rahmat hanya menggeleng. "Tidak ada, Sari. Hanya banyak pikiran."

Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ada masalah yang sangat besar. Sensasi hidupnya menjadi asing semakin kuat. Apartemennya yang dulu terasa nyaman kini terasa dingin dan asing. Buku-buku di rak, benda-benda seni yang ia koleksi, semuanya terasa bukan miliknya. Seperti ia adalah seorang tamu yang menyelinap ke dalam hidup orang lain.

Ia mulai melakukan hal-hal di luar kebiasaan. Ia mencari tahu tentang kasus-kasus trauma kebakaran di Jakarta pada era 80-an atau awal 90-an. Ia menemukan beberapa berita lama yang samar, tentang kebakaran di sebuah perumahan kumuh yang menewaskan seluruh keluarga, menyisakan seorang anak kecil yang ditemukan hidup. Detailnya samar, nama korban tidak disebutkan secara jelas karena alasan privasi, tetapi ada deskripsi tentang bagaimana anak itu ditemukan di dekat cermin yang pecah. Rahmat merasakan getaran ngeri saat membaca itu. Terlalu banyak kebetulan.

Ia bahkan mencari informasi tentang Dr. Wijoyo secara lebih mendalam. Dia menemukan sebuah artikel lama di majalah psikiatri, memuji Dr. Wijoyo sebagai pelopor dalam penanganan trauma kompleks dan gangguan disosiatif. Ada sebuah kutipan dari Dr. Wijoyo: "Pikiran manusia, dalam keputusasaan yang ekstrem, dapat membangun benteng realitas baru untuk melindungi dirinya sendiri. Kadang, benteng itu begitu kokoh, ia menjadi satu-satunya kebenaran bagi individu tersebut."

Kutipan itu terasa seperti tamparan. Apakah Dr. Wijoyo sedang menjelaskan kasusnya, kasus Ardi? Ataukah, mungkinkah, Dr. Wijoyo sedang menjelaskan dirinya?

Rahmat mencoba menghubungi Dr. Wijoyo, mencari nomor teleponnya dari data lama klinik. Setelah beberapa kali mencoba, ia berhasil tersambung. Suara Dr. Wijoyo terdengar tua dan lemah, namun tetap ramah.

"Dengan siapa ini?" tanya Dr. Wijoyo.

"Saya Dr. Rahmat Santosa, dari Klinik Menteng, Dok. Saya sedang meninjau beberapa arsip lama, dan menemukan kasus pasien Anda, Ardi. Saya sangat tertarik dengan kasusnya. Apakah Anda bersedia meluangkan waktu untuk berdiskusi?"

Ada keheningan panjang di ujung telepon. Rahmat menahan napas.

"Ardi?" Suara Dr. Wijoyo terdengar bingung. "Saya… saya rasa saya tidak ingat pasien bernama Ardi. Mungkin itu sudah sangat lama."

Rahmat merasakan jantungnya mencelos. "Tapi, Dok, ada rekaman suara sesi Anda dengannya, dan transkrip wawancaranya. Nomor seri 1987-AB-03."

Jeda lagi. Kali ini lebih lama. "Nomor itu… Oh, saya ingat nomor itu. Kasus yang sangat… kompleks. Tapi saya tidak ingat nama pasiennya Ardi. Saya pikir, saya hanya punya satu pasien dengan nomor itu. Pasien itu… dia sudah lama sekali tidak terlihat. Saya pensiun karena kondisi kesehatan saya semakin menurun, dan kasus itu… yah, itu sangat melelahkan."

"Bisakah kita bertemu, Dok? Saya ingin tahu lebih banyak," desak Rahmat.

"Maaf, Dokter Santosa. Kondisi saya tidak memungkinkan untuk keluar. Dan ingatan saya… sudah tidak sejelas dulu. Saya hanya ingat garis besarnya saja. Pasien itu memiliki masalah identitas yang parah. Dia… dia selalu bicara tentang 'cermin' dan 'wajah yang bukan miliknya'."

Sambungan telepon terputus.

Rahmat duduk terpaku, telepon masih menempel di telinganya. Dr. Wijoyo tidak mengingat Ardi dengan nama itu. Namun, ia mengingat nomor seri kasusnya, dan detail tentang "cermin" serta "wajah yang bukan miliknya"—sebuah deskripsi yang sangat cocok dengan catatan Ardi. Dan juga dengan ketakutan yang kini mulai merayap di benak Rahmat.

Apakah Dr. Wijoyo memang sudah pikun? Atau apakah ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pikun? Sesuatu yang sengaja disembunyikan?

Rahmat menatap pantulan dirinya di jendela kantor yang gelap. Ada bayangan samar di balik pantulan itu, bayangan yang terasa seperti Ardi, mengawasinya, menunggu. Dia merasa hidupnya seperti sedang diputar mundur, adegan-adegan yang ia yakini sebagai masa lalunya kini terasa goyah, berganti dengan narasi yang sama sekali berbeda. Realitasnya mulai terbelah. Dan ia tidak tahu bagaimana caranya merekatkan kembali kepingan-kepingan itu.

Bab 4: Identitas Terbelah

Ketegangan psikologis yang dialami Dr. Rahmat semakin memuncak, bagaikan benang tipis yang direntangkan hingga nyaris putus. Setiap sudut kliniknya, setiap objek di apartemennya, kini terasa seperti mengandung pesan tersembunyi yang mengejek kewarasannya. Dia sering mendapati dirinya menatap cermin di kamar mandi, mencari-cari perbedaan di wajahnya, atau menyentuh kulitnya, memastikan bahwa itu adalah miliknya. Rasa aneh yang dingin melingkupi setiap sentuhan, setiap napas.

Obsesinya terhadap Ardi semakin menjadi-jadi. Rahmat menghabiskan jam-jam luangnya, yang seharusnya ia gunakan untuk beristirahat, untuk menyelam lebih dalam ke dalam arsip manual. Dia mencari petunjuk, bukti, apa pun yang bisa mengaitkan atau memisahkan dirinya dari sosok Ardi. Dia menemukan beberapa laporan medis yang sangat lama, mencatat kunjungan Ardi ke berbagai rumah sakit lain dengan keluhan yang sama: amnesia, disorientasi, dan kecenderungan melukai diri. Setiap laporan itu menguatkan narasi Ardi tentang trauma masa kecil yang mengerikan.

Dan yang paling mengejutkan, Rahmat menemukan sebuah artikel berita lokal yang sudah sangat tua, menguning dan rapuh, dari sebuah surat kabar kecil yang sudah tidak terbit lagi. Judulnya, "Tragedi Kebakaran di Permata Indah, Satu Keluarga Tewas, Anak Tunggal Selamat". Tanggalnya samar, tetapi mengindikasikan tahun 1987. Artikel itu tidak menyebut nama korban secara spesifik, hanya inisial 'A.P.R.' dan deskripsi tentang seorang anak laki-laki yang ditemukan dalam kondisi syok berat, menatap pecahan cermin. Ia kehilangan kedua orang tuanya, dan mengalami trauma amnesia total. Rumah sakit yang merawatnya sempat menyatakan dia menderita gangguan disosiatif yang parah.

Rahmat membandingkan tanggal lahir yang tercantum dalam catatan Ardi (yang ditemukan di map biru) dengan perkiraan usia anak di berita itu. Cocok. Ia juga membandingkan nama orang tua yang samar-samar disebut dalam catatan Ardi dengan data-data yang bisa ia lacak dari arsip kependudukan yang sangat tua—walaupun itu sangat sulit dan membutuhkan upaya besar. Hasilnya… mencengangkan. Nama keluarga yang disebut Ardi sangat mirip dengan nama keluarga yang menjadi korban di berita itu.

Ini tidak mungkin kebetulan lagi. Trauma Ardi adalah traumanya. Detailnya, rasa sakitnya, pecahan cermin itu—semua beresonansi begitu kuat dalam dirinya. Dia mulai meragukan realitasnya. Ingatan masa kecilnya tentang orang tua yang meninggal karena kecelakaan mobil, tentang nenek yang membesarkannya—apakah itu semua adalah memori palsu? Sebuah narasi yang dibangun untuk melindungi dirinya dari kebenaran yang jauh lebih brutal?

Keraguan ini mulai merembet ke interaksi sosialnya di klinik. Suatu pagi, saat ia sedang berjalan di koridor, ia melihat seorang perawat senior, Ibu Lastri, yang sudah bekerja di klinik ini jauh sebelum Rahmat datang. Ibu Lastri terkenal karena ingatannya yang tajam dan pengetahuannya tentang sejarah klinik.

"Ibu Lastri," sapa Rahmat, mencoba terdengar santai, meskipun jantungnya berdegup kencang. "Saya ingin bertanya, apakah Anda ingat pasien lama bernama Ardi? Nomor serinya 1987-AB-03."

Ibu Lastri mengerutkan kening, senyum ramahnya memudar. Ia melirik sekilas ke arah resepsionis di ujung koridor, yang sedang sibuk dengan teleponnya. "Ardi? Hmm… mengapa Dokter menanyakan Ardi?" suaranya rendah, nyaris berbisik. Ada nada waspada dalam pertanyaannya.

"Saya hanya… menemukan berkasnya di arsip lama. Kasusnya sangat menarik, dan saya ingin tahu lebih banyak tentang riwayatnya di sini," jawab Rahmat, berusaha menjaga ekspresinya tetap netral.

Ibu Lastri menghela napas. "Ardi… itu kasus yang sangat lama, Dokter. Dan… sensitif. Dia bukan pasien biasa. Dia…" Ibu Lastri tiba-tiba menghentikan ucapannya, matanya melebar seolah baru menyadari sesuatu. Ia menatap Rahmat dengan tatapan aneh, campuran antara ketakutan dan kebingungan.

"Dia kenapa, Ibu Lastri?" desak Rahmat, merasa cengkeraman kecemasan semakin erat di dadanya.

Ibu Lastri menggelengkan kepala, air mukanya berubah. "Maaf, Dokter. Saya… saya tidak yakin. Ingatan saya sudah tidak sekuat dulu. Mungkin Dokter bisa tanyakan ke bagian administrasi?" Ia buru-buru berlalu, meninggalkan Rahmat berdiri sendiri di koridor, dengan perasaan yang sangat tidak nyaman.

Reaksi Ibu Lastri justru semakin menguatkan kecurigaan Rahmat. Ada sesuatu yang disembunyikan. Semua orang di klinik, dari Sari hingga Ibu Lastri, seolah-olah menghindar atau memberikan jawaban yang aneh setiap kali ia menyebut nama Ardi. Apakah ada konspirasi? Atau apakah ini bagian dari delusinya sendiri?

Rahmat mulai merasa paranoid. Dia mengamati rekan-rekannya, melihat setiap bisikan, setiap tatapan, sebagai petunjuk. Apakah mereka tahu sesuatu yang tidak dia ketahui? Apakah mereka bagian dari "permainan" ini?

Di malam hari, ia mulai mengalami hal-hal yang lebih mengganggu. Ia menemukan barang-barang di apartemennya berpindah tempat—buku yang seharusnya di rak, kini tergeletak di meja dapur; kunci mobil yang ia letakkan di nakas, tiba-tiba tergantung di pintu. Kadang, ia menemukan coretan-coretan acak di kertas notes di mejanya, dengan tulisan tangan yang sangat mirip dengan Ardi, tetapi isinya sama sekali tidak ia ingat pernah menulisnya. Apa yang nyata? Atau Siapa aku?

Ia mencoba melakukan tes realitas. Ia mencubit tangannya sendiri, merasakan sakit. Ia memegang benda, memastikan teksturnya. Ia mencoba menelepon teman lama, seorang teman kuliah yang sudah lama tidak ia hubungi.

"Halo, Rahmat! Lama tidak dengar kabarmu," sapa suara di seberang sana.

Rahmat mencoba terdengar ceria. "Ya, sibuk sekali. Aku hanya ingin mengecek kabarmu. Oh ya, omong-omong, kau ingat masa-masa kuliah kita? Ada hal-hal aneh yang terjadi, atau sesuatu yang pernah kita alami bersama yang mungkin aku lupakan?"

Temannya tertawa. "Aneh? Sepertinya tidak ada. Kita hanya mahasiswa biasa, yang sibuk belajar dan kadang-kadang nongkrong. Kenapa tiba-tiba kau bertanya begitu?"

Rahmat mencoba mencari celah. "Maksudku, apakah kau ingat ada masalah besar atau kejadian yang membuatku sempat… menghilang sebentar atau semacamnya?"

Temannya terdiam sejenak. "Menghilang? Tidak, setahuku kau selalu di sana, Rahmat. Kau salah satu mahasiswa paling rajin. Tidak pernah bolos kelas. Ada apa sebenarnya, Mat?"

Rahmat terpaksa mengalihkan pembicaraan. "Oh, tidak ada. Hanya mencoba mengingat masa lalu. Terkadang, ingatan bisa menipu, bukan?"

Percakapan itu bukannya menenangkan, justru semakin menambah kebingungannya. Temannya sama sekali tidak mengingat adanya "lubang" dalam hidup Rahmat. Apakah itu berarti dia memang tidak pernah "menghilang"? Ataukah, ingatan teman-temannya juga telah… dimanipulasi?

Semakin ia mencari, semakin dalam ia tenggelam dalam lautan keraguan. Realitas yang ia kenal mulai mencair, batas antara Dr. Rahmat dan Ardi menjadi semakin kabur. Dia adalah psikiater, seorang ahli dalam pikiran manusia, namun kini pikirannya sendiri adalah medan perang yang tak terkendali. Dan ia merasa, kebenaran yang menunggunya di ujung jalan ini, mungkin lebih menakutkan daripada kegilaan itu sendiri.

Bab 5: Sesi yang Terkunci

Kepanikan mulai menggerogoti Rahmat. Tidurnya semakin buruk, dan ia sering terbangun di tengah malam dengan keringat dingin, merasa ada sosok lain di kamarnya, mengawasinya. Selera makannya hilang, dan tubuhnya terasa ringan, seolah-olah ia bisa melayang kapan saja. Ia tidak bisa lagi berkonsentrasi pada pasiennya. Pertanyaan-pertanyaan mereka terasa seperti bisikan dari dunia yang jauh, dan jawaban yang ia berikan terasa hampa.

Rahmat tahu ia harus menemukan kebenaran, apa pun risikonya. Ia kembali ke arsip manual. Kali ini, ia tidak mencari lagi. Ia mencari tempat persembunyian. Ia merasa ada sesuatu yang jauh lebih penting dari sekadar berkas pasien yang harus ditemukan. Sesuatu yang tersembunyi, yang sengaja dirahasiakan.

Malam itu, setelah semua staf pulang, Rahmat menyelinap kembali ke ruang arsip yang gelap dan berbau apak. Kunci yang diberikan Sari kepadanya kini terasa berat di tangannya, seperti kunci menuju penjara. Ia menyalakan senter. Cahaya kuningnya memantul dari rak-rak yang menjulang, menciptakan bayangan-bayangan menari yang mengerikan di dinding.

Ia menelusuri setiap sudut ruangan, mencari anomali, sesuatu yang tidak pada tempatnya. Matanya tertuju pada sebuah rak paling belakang, tersembunyi di balik tumpukan kotak-kotak lama yang berdebu. Ada sebuah pintu kecil di dinding belakang rak itu, terbuat dari kayu lapuk, yang nyaris tak terlihat. Pintu itu terkunci dengan gembok tua yang berkarat.

Jantung Rahmat berdebar kencang. Ia belum pernah melihat pintu ini. Ini bukan bagian dari denah klinik. Ini adalah ruang rahasia. Dengan tangan gemetar, ia mencoba beberapa kunci cadangan yang ia temukan di laci lama di kantornya, peninggalan Dr. Wijoyo. Salah satu kunci itu, sebuah kunci kuningan kecil, pas masuk ke dalam gembok.

Gembok itu berderak, lalu terbuka dengan bunyi "klik" yang nyaring di kesunyian malam. Rahmat mendorong pintu kayu itu perlahan. Di baliknya, bukan gudang lain, melainkan sebuah ruangan kecil yang sempit, lebih kecil dari ruang arsip utama. Ruangan itu hampir kosong, kecuali sebuah meja besi tua di tengahnya dan sebuah proyektor film vintage yang tampak masih berfungsi, lengkap dengan layar lipat yang lusuh.

Di atas meja, ada beberapa gulungan film berukuran kecil dan sebuah kaset video tua berlabel: "SESI TERAKHIR - Ardi (1987-AB-03)".

Darah Rahmat berdesir. Ini dia. Ini pasti jawabannya.

Ia meraih kaset video itu. Tangannya gemetar begitu hebat hingga nyaris menjatuhkannya. Ia mencari pemutar VCR yang kompatibel, yang ternyata juga ada di bawah meja, tersembunyi di balik kain penutup. Ia menyambungkan kabel-kabelnya dengan tergesa-gesa, jari-jarinya kaku karena antisipasi dan ketakutan.

Kaset itu masuk ke dalam player dengan bunyi klik yang mematikan. Rahmat menekan tombol play. Layar proyektor yang lusuh mulai menyala, memproyeksikan gambar yang berkedip-kedip di dinding putih.

Gambar itu jernih, meskipun sedikit berpasir. Sebuah ruangan terapi yang familiar, ruang terapi Dr. Wijoyo yang masih ia kenali dari foto-foto lama. Duduk di kursi pasien, dengan punggung sedikit membungkuk dan wajah yang tertunduk, adalah seorang pria. Pria itu tampak kurus, dengan rambut acak-acakan dan mata yang bengkak karena tangisan. Pakaiannya lusuh, seperti sudah lama tidak diganti.

Dr. Rahmat menatap layar dengan mata melotot. Pria itu mengangkat kepalanya perlahan.

Dan Dr. Rahmat Santosa melihat wajahnya sendiri.

Wajahnya sendiri, namun lebih muda, lebih kurus, dengan ekspresi keputusasaan yang menusuk jantung. Itu dia. Dirinya. Duduk di kursi pasien, menangis tanpa suara, air mata membasahi pipinya yang cekung.

Di seberangnya, duduk Dr. Wijoyo, tenang dan profesional, memegang clipboard. Dr. Wijoyo berbicara, suaranya terdengar jelas dari speaker proyektor.

"Ardi, bisakah Anda ceritakan mengapa Anda begitu takut dengan cermin?"

Pria di layar (Rahmat/Ardi) mencoba berbicara, suaranya serak dan putus-putus. "Karena… karena bukan saya yang ada di sana. Itu bukan wajah saya. Itu… dia." Ia terisak, menyembunyikan wajahnya di telapak tangan. "Dia mengambil alih. Dia… dia adalah dokter. Dia selalu bicara tentang menyembuhkan orang lain, tapi dia yang sakit."

Rahmat merasakan isi perutnya bergejolak. Dia mencengkeram kepalanya. Ini tidak mungkin. Ini adalah mimpi buruk. Delusi. Halusinasi masal.

Video itu terus berjalan. Ardi di layar menceritakan kisah traumatisnya secara lebih rinci: kebakaran, orang tua yang tewas, bagaimana ia bersembunyi di bawah meja, melihat pantulan wajahnya yang berlumuran jelaga di pecahan cermin yang jatuh. Dia bercerita tentang bagaimana setelah kejadian itu, ingatannya menjadi kabur, dan bagaimana ia mulai membangun identitas baru sebagai mekanisme pertahanan. "Saya ingin menjadi seseorang yang kuat, seseorang yang bisa menyembuhkan. Bukan anak yang ketakutan. Jadi… saya menjadi dia. Dokter."

Suara Dr. Wijoyo terdengar lagi. "Jadi, Anda percaya Anda adalah seorang dokter bernama Rahmat Santosa?"

Ardi di layar mengangguk lemah. "Ya. Saya tahu namanya. Saya tahu dia belajar di mana. Saya tahu dia sukses. Saya… saya ingin menjadi dia."

Rahmat ingin berteriak. Dia ingin menghancurkan proyektor itu, mematikan suara itu, menghilangkan gambar yang mengerikan itu dari pandangannya. Namun, tubuhnya kaku, lumpuh karena kengerian. Ia melihat dirinya sendiri di layar, menangis, berbicara tentang delusi yang kini menjadi kenyataan paling mengerikan baginya.

Di layar, Ardi/Rahmat melanjutkan. "Dia bilang, jika saya cukup kuat, saya bisa membuat dia nyata. Membuat Dr. Rahmat nyata. Dan saya akan aman."

Rahmat tersentak. Dia teringat artikel Dr. Wijoyo tentang pikiran yang membangun benteng realitas baru. Apakah ini adalah bentengnya? Apakah seluruh hidupnya—pendidikannya, kariernya, namanya—adalah sebuah benteng ilusi yang dibangun oleh pikiran Ardi yang terluka parah?

Video itu berakhir. Layar menjadi hitam. Tapi kegelapan itu tidak membawa kedamaian. Justru sebaliknya. Kegelapan itu dipenuhi dengan gaung suara Ardi yang adalah suaranya sendiri, pengakuan yang menghancurkan semua yang Rahmat yakini tentang dirinya.

Dia berdiri di tengah ruangan kecil itu, dunia berputar di sekelilingnya. Napasnya tercekat, dadanya sesak. Ia melihat sekeliling ruangan, dan tiba-tiba, ia menyadari sesuatu. Di sudut ruangan, tergeletak di lantai, ada sebuah tas usang. Sebuah tas ransel sederhana yang ia kenali. Tas ransel yang ia gunakan saat remaja. Tas itu ada di gudang pribadinya di apartemennya. Bagaimana bisa ada di sini?

Dengan tangan gemetar, ia membuka tas itu. Di dalamnya, ada beberapa buku pelajaran sekolah lama dengan nama "Ardi" tertulis di sampulnya, sebuah foto keluarga yang hangus di bagian tepinya, menunjukkan wajah orang tua yang tidak ia kenali, dan… sebuah kotak musik kecil. Kotak musik yang dulunya milik ibunya. Kotak musik yang dulu ia mainkan saat merasa ketakutan. Kotak musik yang, ia yakini, sudah lama hilang dalam kebakaran.

Kebenaran, yang selama ini ia hindari, kini menghantamnya dengan kekuatan brutal. Dia bukan Dr. Rahmat Santosa. Dia adalah Ardi. Pasien yang mengalami delusi identitas, yang berhasil memanifestasikan fantasinya menjadi realitas, menciptakan kehidupan seorang dokter terkemuka untuk dirinya sendiri. Selama ini, dia telah menjalani kebohongan yang begitu sempurna, sehingga ia sendiri pun tidak menyadarinya.

Kengerian yang mematikan kini berubah menjadi realisasi yang menghancurkan. Ia merasa kosong, hampa, seolah-olah seluruh eksistensinya telah dihapus. Siapa dia? Siapa Ardi? Dan apakah ini hanya ilusi baru, yang lebih dalam dari yang sebelumnya?

Bab 6: Kebenaran Terbelah

Gelombang kepanikan luar biasa menghantam Dr. Rahmat. Atau Ardi? Ia tak tahu lagi harus memanggil dirinya siapa. Seluruh tubuhnya bergetar tak terkendali. Tenggorokannya tercekat, dan ia merasa seperti akan muntah. Keheningan di ruang arsip yang tersembunyi itu tiba-tiba terasa memekakkan, dipenuhi oleh gemuruh darah di telinganya dan detak jantungnya yang menggila.

Ia nyaris tersandung saat keluar dari ruangan rahasia itu, meninggalkan proyektor yang masih menyala dan kaset video yang telah mengungkap kebenaran paling pahit dalam hidupnya. Pintu kayu berderit menutup di belakangnya, mengunci rahasia itu kembali, seolah-olah untuk sesaat ia bisa berpura-pura semua ini tidak pernah terjadi.

Ia tidak berlari. Ia hanya berjalan gontai, kakinya terasa seperti jeli, melewati rak-rak arsip yang menjulang, yang kini terasa seperti monumen kebohongan yang telah ia bangun. Setiap berkas di sana, setiap nama pasien yang pernah ia tangani, terasa seperti ejekan. Ia telah menasihati mereka, membantu mereka menemukan diri mereka sendiri, padahal dirinya sendiri adalah ilusi berjalan.

Ia keluar dari ruang arsip utama, mematikan lampu, dan mengunci pintu di belakangnya dengan kunci yang kini terasa menghangatkan di telapak tangannya. Kunci itu bukan hanya membuka sebuah ruangan, tetapi juga membuka kotak Pandora dalam jiwanya.

Malam itu, Jakarta terasa lebih asing dari sebelumnya. Lampu-lampu jalan memudar, suara klakson mobil terdengar seperti dengungan aneh, dan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tampak seperti struktur asing yang mengancam. Rahmat/Ardi berjalan tanpa arah, pikirannya kosong namun dipenuhi oleh citra dirinya di video, tangisan Ardi, dan pengakuan Dr. Wijoyo.

Ia akhirnya sampai di apartemennya, yang terasa lebih jauh dari biasanya. Apartemen modern, mewah, dengan pemandangan kota yang menakjubkan. Sebuah apartemen yang seharusnya menjadi miliknya. Namun kini, setiap sudutnya terasa seperti rumah orang lain, sebuah set panggung yang dirancang dengan cermat untuk drama kebohongan ini.

Dia masuk, melemparkan kunci di meja, dan terhuyung-huyung ke kamar tidur. Di sana, keganjilan yang selama ini samar-samar ia abaikan, kini menghantamnya dengan jelas.

Semua cermin di apartemennya—cermin di kamar mandi, cermin rias di meja, bahkan cermin besar di ruang tamu—semuanya tertutup kain putih. Kain itu bersih, tidak berdebu, seolah-olah baru saja diletakkan. Kapan? Siapa?

Napas Rahmat/Ardi tercekat. Dia ingat catatan Ardi yang pertama: Ada cermin dalam diriku. Ia menunjukkan wajah yang bukan milikku. Sebuah topeng. Dan juga ketakutannya terhadap cermin yang disebutkan dalam sesi terapi dengan Dr. Wijoyo.

Dia mendekati cermin besar di ruang tamu, tangannya gemetar. Kain itu terasa dingin di bawah sentuhannya. Dia menarik kain itu ke bawah.

Sebuah pantulan muncul.

Untuk sesaat, ia melihat wajahnya, wajah Dr. Rahmat Santosa yang rapi dan tampan. Namun, kemudian, di balik matanya, ada sesuatu yang berubah. Matanya tampak lebih sayu, lebih ketakutan, seperti mata seorang anak yang kehilangan segalanya. Rambutnya terasa lebih kusam, dan garis-garis kelelahan muncul di wajahnya.

Lalu, perlahan tapi pasti, fitur-fitur itu bergeser. Wajah Dr. Rahmat mulai samar-samar berubah, menipis, dan di baliknya, muncul sebuah wajah lain. Wajah yang lebih muda, lebih kurus, dengan mata yang dipenuhi trauma dan keputusasaan yang mendalam. Sebuah bekas luka kecil di pelipis kiri yang ia tak pernah sadari ada di wajahnya, kini terlihat jelas. Wajah itu adalah wajah yang sama dengan yang ia lihat di video, wajah Ardi.

Rahmat/Ardi menjerit. Bukan jeritan keras, melainkan jeritan yang tertahan, tercekat di tenggorokan, sebuah suara keputusasaan yang mengiris. Ia menyentuh cermin itu, dan jari-jarinya terasa menembus ke dalam pantulan. Wajah Ardi di cermin juga mengangkat tangan, menyentuh jari-jari Rahmat/Ardi. Tatapan mata mereka bertemu, dan di mata Ardi, ada campuran antara rasa takut, kesedihan, dan… pengertian. Seperti Ardi sudah lama menunggu momen ini.

Ia menarik tangannya, terhuyung mundur, jantungnya berpacu seperti drum yang dipukul gila-gilaan. Ini nyata. Bukan delusi. Bukan mimpi. Ini adalah dirinya.

Dengan langkah sempoyongan, ia berjalan ke meja, tempat ia biasa meletakkan dompetnya. Dompet kulit hitam yang elegan, dengan inisial "R.S." terukir di sana. Ia membukanya, tangannya gemetar.

Ada beberapa kartu kredit atas nama Dr. Rahmat Santosa. Kartu identitas klinik. Sebuah kartu nama dengan titel "Psikiater Utama".

Lalu, di sebuah kantong tersembunyi, ia menarik keluar sebuah Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang sudah usang, terlipat di beberapa bagian. Ia membukanya.

Di sana, sebuah foto dirinya yang jauh lebih muda, dengan senyum kaku dan mata yang masih polos. Di bawah foto, tertera nama: Ardi Permata Ramadan. Dan di kolom alamat, sebuah alamat di daerah pinggiran kota yang sudah tidak ada lagi, tempat terjadinya kebakaran itu. Tanggal lahir yang tertera di KTP itu sama persis dengan tanggal lahir yang ia temukan di catatan Ardi di map biru.

Rahmat/Ardi menjatuhkan KTP itu ke lantai, seolah-olah itu adalah serangga menjijikkan. Seluruh dunianya runtuh dalam sekejap. Segala yang ia yakini, segala yang membangun identitasnya sebagai Dr. Rahmat Santosa, kini terbukti sebagai kebohongan yang rumit dan sempurna. Ia adalah seorang pasien, yang melarikan diri dari traumanya dengan membangun identitas baru yang sama sekali tidak ada. Ia telah menjadi pasiennya sendiri. Ia telah mengelabui seluruh sistem, seluruh dunia, bahkan dirinya sendiri.

Kini, ia berdiri di tengah apartemen yang asing, menatap pantulan dirinya yang terbelah di cermin. Wajah Ardi yang ketakutan kini bercampur dengan wajah Rahmat yang bingung. Dua identitas yang saling bersaing, berebut ruang dalam satu tubuh.

Dia tidak tahu harus ke mana. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Realitasnya telah hancur berkeping-keping, seperti pecahan cermin di lantai. Dan ia, Ardi, atau Rahmat, atau siapa pun ia, kini harus menghadapi kepingan-kepingan itu, tanpa tahu cara merekatkannya kembali.

Bab 7: Diagnosa Diri Sendiri

Dunia Dr. Rahmat Santosa, yang dulu kokoh dan teratur, kini telah hancur menjadi serpihan. Ia terduduk di lantai, di depan cermin yang kini memperlihatkan wajah Ardi yang lebih jelas, namun tetap dengan bayangan samar Dr. Rahmat di baliknya. KTP Ardi tergeletak di sampingnya, sebuah bukti fisik yang tak terbantahkan. Udara di apartemennya terasa dingin dan hampa, memantulkan kekosongan di dalam dirinya.

Tubuhnya gemetar hebat, bukan karena dingin, melainkan karena kengerian dan realisasi yang mengguncang jiwanya. Ia meraih map biru tua itu, yang selama ini menjadi sumber petunjuk, dan kini menjadi catatan kebenaran yang kejam. Dengan tangan gemetar, ia mulai membaca kembali setiap halaman, setiap kata, setiap detail.

Setiap baris yang dulu ia baca dengan rasa ingin tahu seorang psikiater, kini terasa seperti autobiografi mengerikan yang ia lupakan. Catatan tentang kecenderungan melukai diri, tentang delusi identitas, tentang trauma masa kecil yang melibatkan api dan cermin. Itu semua adalah bagian dari dirinya, Ardi.

Ia membaca transkrip sesi terapi dengan Dr. Wijoyo. Setiap pertanyaan Dr. Wijoyo, setiap jawaban Ardi, kini terasa seperti dialog antara masa lalu dan masa kini dirinya.

Dr. Wijoyo: "Mengapa Anda merasa perlu menciptakan identitas lain?"

Ardi (suara Rahmat): "Saya tidak bisa menjadi diri saya sendiri. Itu terlalu sakit. Saya ingin menjadi kuat. Saya ingin menjadi penyelamat. Saya ingin menjadi seperti dokter yang mengobati saya."

Air mata mengalir di pipi Rahmat/Ardi. Bukan air mata kesedihan, melainkan air mata kelegaan yang pahit. Akhirnya, ia mengerti. Semua keanehan, semua deja vu, semua mimpi buruk, semua itu adalah serpihan memori Ardi yang mencoba merangkak kembali ke permukaan.

Ia menemukan bagian di mana Ardi menggambarkan bagaimana ia mulai membangun identitas Dr. Rahmat. Ia membaca buku-buku medis secara obsesif, menirukan gaya bicara para dokter, mempelajari setiap detail tentang profesi psikiater. Ia bahkan mengingat bagaimana ia memalsukan catatan sekolah, mengikuti ujian masuk universitas dengan identitas palsu yang ia rekayasa, dan secara ajaib, berhasil melewati semuanya dengan gemilang. Sebuah ironi yang kejam: seorang pasien dengan gangguan disosiatif yang begitu parah, mampu merekayasa seluruh hidupnya hingga menjadi psikiater terkemuka.

Otaknya, dalam upaya putus asa untuk melindungi dirinya dari trauma yang tak tertahankan, telah menciptakan sebuah alter ego yang begitu meyakinkan, sehingga ia sendiri pun percaya. Identitas Dr. Rahmat Santosa adalah mekanisme pertahanan tingkat tinggi, sebuah benteng psikologis yang dirancang untuk melindunginya dari rasa sakit dan kengerian menjadi Ardi.

Gangguan identitas disosiatif. Amnesia disosiatif. Inilah diagnosisnya. Diagnosis yang selama ini ia pelajari, ia obati pada pasien lain, kini ia terapkan pada dirinya sendiri.

Rahmat/Ardi tertawa getir. Tawa itu terdengar aneh di telinganya, bercampur dengan isakan. Ia telah menjadi pasien yang paling rumit dan paling ironis yang pernah ada. Ia telah mengobati banyak orang, menyelamatkan banyak jiwa, dengan identitas yang bukan miliknya. Segala pencapaiannya, segala yang ia banggakan, adalah hasil dari ilusi.

Ia membolak-balik halaman demi halaman. Ada laporan dari psikiater lain yang menangani Ardi sebelum Dr. Wijoyo. Mereka semua mencatat gejala serupa, namun tidak ada yang bisa menembus benteng yang dibangun oleh pikiran Ardi. Dr. Wijoyo adalah satu-satunya yang mendekati kebenaran, yang melihat celah di balik topeng "Dr. Rahmat".

Pertanyaan-pertanyaan lain mulai bermunculan. Bagaimana ia bisa mempertahankan kebohongan ini selama bertahun-tahun? Bagaimana ia bisa lulus dari sekolah kedokteran, melewati ujian lisensi, dan membangun klinik yang sukses tanpa ada yang curiga? Apakah semua orang di sekitarnya, dari teman kuliah hingga staf kliniknya, juga telah terpengaruh oleh delusinya? Atau apakah mereka hanya melihat apa yang mereka harapkan untuk dilihat?

Ia teringat kembali percakapannya dengan Sari dan Ibu Lastri, ekspresi aneh mereka, dan jawaban samar mereka. Mereka tidak tahu. Mereka hanya merasakan ada yang aneh, ada yang tidak sinkron. Mereka melihat Dr. Rahmat Santosa yang profesional, tetapi Ardi yang tersembunyi mungkin sesekali muncul ke permukaan, meninggalkan jejak-jejak kecil yang membingungkan.

Kilasan memori mulai datang, lebih jernih dari sebelumnya. Bukan lagi mimpi samar, tetapi fragmen-fragmen nyata. Ia melihat dirinya sebagai anak kecil, Ardi, berlari di tengah api, suara teriakan ibunya, dan sentuhan dingin pecahan cermin di tangannya. Ia melihat dirinya di rumah sakit, bingung, tidak tahu siapa dirinya, merasa ada sesuatu yang patah di dalam. Ia melihat dirinya mempelajari buku-buku medis, meniru gerakan dan ekspresi seorang dokter, berusaha keras untuk "menjadi" Dr. Rahmat.

Rahmat/Ardi merasakan nyeri yang luar biasa di kepalanya. Realitas ganda ini terlalu berat untuk ditanggung. Di satu sisi, ada Ardi, anak yang terluka, yang ingin melarikan diri dari rasa sakitnya. Di sisi lain, ada Dr. Rahmat, sosok ideal yang ia ciptakan sebagai perisai, seorang penyembuh yang ironisnya tidak bisa menyembuhkan dirinya sendiri.

Dia melihat KTP Ardi di lantai. Wajah di foto itu menatapnya, seolah meminta pengakuan.

"Aku… aku Ardi," gumamnya, suaranya parau. Mengucapkan nama itu terasa asing sekaligus membebaskan. Seperti melepaskan beban yang tidak ia sadari telah ia pikul seumur hidupnya.

Namun, pengakuan itu tidak membawa kedamaian sepenuhnya. Ia adalah Ardi. Tapi siapa Ardi sekarang? Anak yang ketakutan? Atau psikiater yang terhormat? Atau keduanya, terjebak dalam satu tubuh yang lelah?

Dia tahu ia harus mengambil keputusan. Apakah ia akan terus bersembunyi di balik topeng Dr. Rahmat, membiarkan ilusi ini menguasainya, dan mungkin terus hidup dalam kebohongan yang menyakitkan? Atau apakah ia akan mencari bantuan, menghadapi trauma masa lalunya sebagai Ardi, dan mencoba merekatkan kembali kepingan-kepingan dirinya yang hancur?

Masa depannya tergantung pada pilihan ini. Sebuah pilihan yang hanya bisa dibuat oleh Ardi, dan mungkin juga oleh Rahmat. Kedua sisi dirinya harus berdamai, atau ia akan selamanya tenggelam dalam labirin identitas yang tak berujung.

Bab 8: Catatan Terakhir

Pagi datang. Bukan dengan janji kedamaian, melainkan dengan beban realitas yang baru saja terungkap. Cahaya matahari yang menembus jendela apartemen Dr. Rahmat, atau lebih tepatnya Ardi, terasa menusuk. Setiap sudut ruangan, setiap objek yang selama ini ia anggap miliknya, kini memancarkan aura keasingan. Kain putih yang menutupi cermin-cermin masih tergeletak di lantai, seperti lembaran kain kafan yang menyelimuti kebohongan yang telah lama terkubur.

Rahmat/Ardi berdiri di depan cermin yang kini terbuka, menatap pantulannya. Wajah itu adalah wajah yang sama, namun ia melihat dua sosok di sana. Ardi, dengan mata yang dipenuhi kesedihan dan trauma masa kecil yang baru terungkap. Dan Dr. Rahmat, dengan tatapan tajam seorang psikiater yang cerdas, namun kini juga diliputi kebingungan dan keputusasaan. Kedua identitas itu kini berdialog dalam keheningan yang menyakitkan.

Kau Ardi. Anak yang ketakutan. Anak yang kehilangan segalanya, bisik sebuah suara di benaknya, suara yang familiar dengan tangisan.

Aku Dr. Rahmat. Aku membangun semua ini. Aku menyembuhkan orang. Aku punya karier. Aku punya nama, jawab suara lain, suara yang tegas dan penuh harga diri.

Ardi/Rahmat berjalan ke meja kerjanya. Pena dan kertas masih tergeletak di sana. Map biru tua itu juga. Ia mengambil pena, dan merasakan getaran aneh di tangannya. Bukan getaran takut, melainkan getaran keharusan. Keharusan untuk menulis, untuk mencatat, untuk memahami.

Ia mulai menulis, bukan untuk pasien, tetapi untuk dirinya sendiri. Gaya penulisannya bergeser. Ada perpaduan antara formalitas seorang psikiater dan keputusasaan mentah seorang pasien.

Catatan Terapi Diri Sendiri.

Tanggal: 19 Juni 2025.

Pasien: Ardi Permata Ramadan (nama asli), yang selama bertahun-tahun hidup sebagai Dr. Rahmat Santosa.

Diagnosis: Gangguan Identitas Disosiatif (DID), dengan alter ego yang dominan dan berfungsi tinggi sebagai mekanisme pertahanan terhadap trauma kompleks masa kecil (kebakaran, kehilangan orang tua, amnesia disosiatif).

Ia berhenti sejenak, menatap kata-kata itu. Menuliskan diagnosisnya sendiri, dengan tangannya sendiri, adalah sebuah proses yang menyakitkan namun juga katarsis.

Kronologi singkat trauma:

Kebakaran rumah tahun 1987. Satu-satunya penyintas, ditemukan di dekat pecahan cermin. Trauma mendalam memicu amnesia total dan fragmentasi identitas.

Pembentukan identitas Dr. Rahmat Santosa sebagai benteng pertahanan. Motif: keinginan untuk menjadi kuat, menyembuhkan, dan melarikan diri dari rasa sakit Ardi.

Kehidupan Dr. Rahmat Santosa yang sukses adalah hasil dari delusi yang dieksekusi secara sempurna, namun ironisnya, juga menjadi penjara bagi identitas asli.

Ardi/Rahmat merasakan sensasi deja vu lagi, namun kali ini berbeda. Ini bukan lagi kilasan yang membingungkan, melainkan potongan-potongan puzzle yang kini mulai terangkai. Ia bisa melihat benang merah yang menghubungkan masa lalu Ardi dengan keberadaan Dr. Rahmat.

Pemicu kebangkitan identitas Ardi:

Penemuan catatan Ardi (yang ditulis oleh diri sendiri dalam sesi terapi yang terlupakan).

Rekaman video sesi terapi dengan Dr. Wijoyo, yang mengungkap kebenaran yang tertahan.

Reaksi staf klinik (Sari, Ibu Lastri) yang menunjukkan ketidaksesuaian dalam interaksi mereka, mengindikasikan adanya inkonsistensi dalam identitas Dr. Rahmat.

Penemuan cermin-cermin yang tertutup kain di apartemen—simbol penolakan diri dan upaya untuk menyembunyikan identitas asli.

Penemuan KTP asli Ardi.

Tangannya tidak lagi gemetar. Ia menulis dengan kecepatan yang mantap, seolah-olah semua informasi ini telah menunggu untuk dibebaskan dari kurungan.

Prognosis:

Sangat sulit. Integrasi identitas memerlukan terapi intensif dan penerimaan diri yang mendalam. Risiko depersonalisasi, derealisasi, dan krisis identitas akut sangat tinggi.

Pertanyaan yang belum terjawab: Bagaimana mempertahankan karier sebagai Dr. Rahmat Santosa ketika kebenaran telah terungkap? Bagaimana menghadapi masyarakat, kolega, dan pasien yang selama ini menganggapnya sebagai orang lain?

Di akhir catatan, ia menuliskan sebuah pertanyaan besar, sebuah dilema yang akan mendefinisikan masa depannya:

Apa selanjutnya? Apakah aku akan membiarkan Ardi mengambil alih, ataukah aku bisa mengintegrasikan kedua identitas ini menjadi satu kesatuan yang utuh? Apakah ada jalan untuk "sembuh" dari realitas yang telah aku ciptakan sendiri?

Ia meletakkan pena, menatap catatan terakhir itu. Tulisannya, entah mengapa, terasa lebih lugas, lebih jujur, tanpa hiasan metafora yang rumit. Ini adalah suara Ardi, yang kini mulai berani bicara.

Tidak ada jawaban yang jelas. Tidak ada resolusi yang instan.

Rahmat/Ardi berjalan kembali ke cermin. Ia menarik kain terakhir dari cermin kamar mandi. Ia menatap pantulan dirinya, yang kini terlihat lebih lelah, namun juga lebih… nyata.

Ardi melihat bekas luka di pelipisnya. Bekas luka yang dulu ia sembunyikan di balik ilusi Dr. Rahmat. Kini, ia tidak lagi menyembunyikannya. Itu adalah bagian dari ceritanya, bagian dari Ardi.

Ia menyentuh cermin itu. Permukaannya terasa dingin, namun pantulan di sana tidak lagi menakutkan. Ia melihat wajah Ardi, namun di matanya, ada kilatan kecerdasan dan ketenangan yang ia kenal sebagai milik Dr. Rahmat. Kedua identitas itu tidak lagi saling bersaing. Mereka… berdampingan.

Mungkin, pikir Ardi/Rahmat, ini adalah langkah pertama. Bukan langkah terakhir. Ini adalah permulaan. Permulaan dari sebuah perjalanan yang panjang dan sulit, menuju integrasi, menuju penerimaan diri.

Cerita berakhir dengan ambiguitas yang disengaja. Rahmat/Ardi masih memegang pena, di depan catatan terakhirnya. Apakah ia telah menerima kebenaran? Atau apakah ia hanya menciptakan lapisan ilusi yang lebih dalam, dengan diagnosis dirinya sendiri sebagai cara baru untuk bersembunyi?

Ia tidak tahu. Ia hanya tahu, cermin itu tidak lagi hanya menunjukkan satu wajah. Ia menunjukkan pantulan diri yang terpecah, yang mungkin, suatu hari nanti, akan menemukan cara untuk merekat kembali. Atau mungkin tidak.

Suara gemericik air dari kolam di taman belakang klinik, yang dulu selalu menenangkan Dr. Rahmat, kini terdengar lagi. Namun, bagi Ardi, suara itu adalah pengingat akan realitas yang mengalir, tak pernah berhenti berubah, dan tak pernah berhenti menghadirkan cerminan baru dari diri yang sejati.

Dan ia, entah sebagai Ardi atau sebagai Rahmat, harus belajar untuk melihatnya.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)