Masukan nama pengguna
Bab 1: Terminal Senja
Raka berlari, napasnya memburu, paru-parunya serasa mau meledak. Kakinya seolah tak lagi menjejak bumi, hanya melayang di atas trotoar Terminal Batu Ampar yang sudah mulai sepi. Lampu-lampu merkuri yang temaram di tiang-tiang tinggi memancarkan cahaya kekuningan, menciptakan bayangan panjang yang meliuk-liuk seperti monster di depannya. Pukul setengah sembilan malam, dan suara deru bus yang satu per satu meninggalkan terminal terdengar seperti detak jam kematian yang semakin dekat.
"Bus malam tujuan Surabaya!" teriak Raka putus asa, suaranya tercekat di tenggorokan yang kering. Matanya menyapu deretan peron yang kini hanya menyisakan beberapa bus yang terparkir kosong. Di loket-loket, para petugas sudah mulai merapikan meja, siap-siap pulang. Ada bau sisa asap rokok, debu, dan sedikit aroma solar yang masih menyengat di udara dingin malam.
Hatinya mencelos. Seharusnya dia sudah berangkat dari tadi. Tapi kemacetan sore di Balikpapan seperti sengaja bersekongkol menahannya. Pesan singkat dari Lina, adiknya, terus berputar di kepalanya: Mama makin parah, Kak. Tadi sempat nggak sadar lagi. Ibu. Satu-satunya orang yang paling penting di dunia ini. Dan kini, Ibu terbaring lemah di rumah sakit di Surabaya, berjuang melawan penyakit yang perlahan menggerogoti.
"Permisi, Pak! Bus malam tujuan Surabaya?" Raka menghampiri seorang petugas loket yang tampak kelelahan, sibuk mengunci laci.
Petugas itu mendongak, tatapannya kosong sesaat. "Sudah habis, Mas. Tinggal satu, itu juga hampir jalan." Ia menunjuk dengan dagunya ke arah peron paling ujung, di mana sebuah bus tua dengan warna biru kusam tampak menyala redup, mesinnya sudah meraung pelan. "Bus Putra Jaya Abadi. Tapi dia lewat Pantura, mutar jauh. Terakhir itu."
Raka tak peduli lagi soal Pantura atau mutar jauh. Yang penting, sampai. Ia mengangguk cepat, "Baik, Pak! Terima kasih!"
Tanpa membuang waktu, Raka berlari lagi, melintasi genangan air bekas hujan sore tadi. Jaket denimnya terasa berat, tas ransel di punggungnya bergoyang-goyang dengan setiap langkah. Di balik kaca depan bus, sopir sudah duduk di balik kemudi, tak sabar menunggu. Raka bisa melihat ada beberapa penumpang yang sudah duduk di dalam, siluetnya tampak samar di balik kaca yang sedikit berembun.
Ia tiba di depan pintu bus yang masih sedikit terbuka, terengah-engah. Seorang kondektur berkumis tipis, dengan seragam biru lusuh, berdiri di ambang pintu, menatap Raka dengan tatapan datar.
"Surabaya, Mas?" tanyanya tanpa ekspresi.
Raka mengangguk, masih mencoba mengatur napasnya. "Iya, Pak. Tiketnya berapa?"
"Lima ratus ribu."
Mata Raka sedikit membelalak. Cukup mahal, pikirnya, apalagi untuk bus tua seperti ini dan lewat jalur Pantura. Tapi ini pilihannya. "Baik, Pak." Ia merogoh dompet, mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu. Kondektur menerima uang itu, melipatnya dengan gerakan cepat, dan tanpa mengeluarkan tiket, ia mempersilakan Raka masuk.
"Langsung saja, Mas. Duduk di mana saja yang kosong."
Raka melangkah masuk ke dalam bus. Aroma pengap bercampur bau karpet tua dan sedikit wangi pewangi ruangan yang aneh langsung menyergap indranya. Kursi-kursi berwarna biru tua dengan sandaran kepala kain putih tampak usang, beberapa bahkan sudah robek. Jendela-jendela bus tampak kotor, menghalangi pandangan ke luar.
Pandangannya menyapu seisi bus. Tidak terlalu ramai. Mungkin ada sekitar dua belas hingga lima belas penumpang. Kebanyakan dari mereka sudah tertidur atau menatap kosong ke depan.
Di bagian depan, dekat pintu, duduk seorang ibu-ibu paruh baya. Rambutnya disanggul rapi, mengenakan kebaya sederhana, dan memeluk erat sebuah tas belanjaan usang yang entah mengapa terlihat sangat kosong, seolah tidak ada isinya sama sekali. Matanya tampak menerawang, seperti memandang jauh ke suatu tempat yang tidak terlihat.
Di bangku tengah, agak ke belakang, ada pasangan muda. Mereka duduk terlalu dekat, nyaris menempel satu sama lain, namun anehnya mereka tidak berbicara, bahkan tidak berpegangan tangan. Yang perempuan menyandarkan kepalanya di bahu si laki-laki, matanya terpejam. Si laki-laki menatap lurus ke depan dengan ekspresi datar.
Tak jauh dari mereka, di bangku samping jendela, duduk seorang anak kecil. Mungkin berusia sekitar tujuh atau delapan tahun. Ia duduk diam, bukan bermain atau merengek. Di pangkuannya ada sebuah buku gambar usang dan pensil warna. Jemari mungilnya memegang pensil dengan erat, seolah hendak melukis sesuatu yang sangat penting. Ia tidak menoleh ketika Raka masuk.
Dan di bagian belakang, agak terpisah, duduk seorang pria tua yang terlihat ramah. Rambutnya memutih semua, kerutan menghiasi wajahnya, dan senyum tipis tersungging di bibirnya. Matanya jernih, namun ada sesuatu di sana yang membuat Raka merasa sedikit tidak nyaman—seolah pria itu tahu sesuatu yang tidak ia ketahui.
Raka memilih duduk di bangku tengah, dekat jendela, beberapa baris di belakang pasangan muda itu. Ia menjatuhkan tas ranselnya di samping kaki, lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi yang terasa sedikit keras. Bus itu terasa aneh. Bukan hanya karena tua, tapi ada semacam atmosfer sunyi yang terasa terlalu tebal.
Ia meraih ponselnya dari saku celana, berniat mengirim pesan pada Lina bahwa ia sudah di dalam bus. Namun, layar ponselnya menunjukkan "Tidak Ada Sinyal". Raka mengerutkan kening. Aneh. Biasanya, di terminal besar seperti ini, sinyal tidak pernah jadi masalah. Ia mencoba me-restart ponselnya, tapi hasilnya sama. Ia menghela napas. Mungkin di tengah jalan nanti sinyalnya akan kembali.
Di depan, sopir sudah menghidupkan mesin sepenuhnya. Deru diesel memenuhi kabin bus, sedikit meredakan keheningan mencekam. Kondektur menutup pintu bus dengan suara cekrek yang nyaring, seperti mengunci sebuah peti.
Bus mulai bergerak, pelan, perlahan meninggalkan peron yang gelap. Raka menoleh ke luar jendela, menatap lampu-lampu terminal yang semakin mengecil. Ia melihat sosok petugas loket yang tadi menghilang di balik kegelapan. Tidak ada lagi orang di luar sana. Hanya dia dan para penumpang misterius ini.
Sebuah perasaan aneh merayap di dadanya. Perasaan gelisah, seolah ia baru saja melangkahkan kaki ke dalam sebuah kotak tertutup yang akan membawanya ke tempat yang tidak ia kenal. Ia mencoba menepis perasaan itu. Ini hanya kelelahan, dan pikiran tentang Ibu yang sakit. Ya, hanya itu.
Ia melirik ke depan. Di atas kepala sopir, ada sebuah jam dinding kecil yang usang. Jarinya tidak bergerak. Terpaku pada pukul 21.05. Raka mengabaikannya, mungkin jam itu rusak.
Bus terus melaju, meninggalkan keramaian kota. Perlahan, lampu-lampu jalanan mulai menipis, berganti dengan kegelapan pekat yang hanya sesekali diterangi oleh cahaya bulan di balik awan. Pohon-pohon di sisi jalan tampak seperti siluet raksasa yang menakutkan, membayangi setiap jengkal perjalanan. Raka menarik napas dalam, memejamkan mata. Semoga perjalanan ini cepat berakhir. Semoga ia bisa segera sampai di sisi Ibu.
Bab 2: Perjalanan Dimulai
Deru mesin diesel bus Putra Jaya Abadi menjadi irama tunggal yang mengisi keheningan malam. Bus melaju dengan mantap, membelah kegelapan jalanan Trans-Kalimantan yang jarang berlampu. Raka menyandarkan kepalanya ke jendela, pipinya menempel pada kaca yang dingin. Di luar, hanya ada bayangan hitam pepohonan yang sesekali disorot lampu jauh bus, menciptakan efek kilatan-kilatan bayangan yang menari di kegelapan. Tidak ada kendaraan lain yang melintas, seolah mereka adalah satu-satunya jiwa yang bergerak di antara dunia yang tidur.
Ia mencoba memaksa dirinya untuk tidur, memejamkan mata erat-erat, tapi pikiran tentang Ibu di Surabaya tak bisa disingkirkan. Kecemasan itu seperti simpul tak kasat mata yang mengikat perutnya. Raka melirik jam tangannya, menunjukkan pukul 21:40. Ia mendesah. Masih sangat jauh.
Sebuah gerakan kecil di bangku depannya menarik perhatian Raka. Anak kecil yang tadi ia perhatikan, kini mulai menggambar. Jemari mungilnya bergerak lincah di atas buku gambar usang. Rasa penasaran Raka sedikit terpicu. Ia condong ke depan, mencoba melihat apa yang digambar anak itu.
"Hai," sapa Raka pelan, mencoba tersenyum ramah. Anak itu menoleh, matanya besar dan hitam, menatap Raka tanpa ekspresi. "Apa yang kamu gambar?"
Anak perempuan itu, yang mungkin bernama Ayu, seperti yang ia dengar dari si ibu-ibu disampingnya, menggeser bukunya sedikit, memperlihatkan gambarnya. Itu adalah gambar sebuah bus. Sebuah bus yang sangat detail, dengan jendela-jendela kotak, lampu depan bulat, dan roda-roda yang besar. Bahkan ada tulisan samar di bagian depan: "Putra Jaya Abadi".
"Bagus sekali," puji Raka tulus. "Kamu suka menggambar bus, ya?"
Ayu mengangguk pelan, tanpa senyum. "Ini bus kami." Suaranya kecil, nyaris berbisik. Lalu ia kembali melanjutkan gambarnya, menambahkan garis-garis aneh di sekitar bus, seperti asap atau kabut. Ada sesuatu yang janggal dari anak ini. Raut wajahnya terlalu tenang, terlalu serius untuk anak seusianya. Seperti anak yang sudah lama tahu banyak hal.
Raka tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia kembali bersandar. Keheningan kembali melingkupi mereka, hanya dipecahkan oleh suara mesin.
Tak lama kemudian, Raka merasa ada seseorang yang menggeser duduknya di bangku depannya. Itu adalah pria tua yang ramah tadi, Pak Karta. Ia berbalik, menatap Raka dengan senyum hangat yang menenangkan.
"Belum tidur, Nak?" tanya Pak Karta, suaranya serak tapi lembut.
"Belum, Pak," jawab Raka. "Sulit tidur."
"Pikiranmu sedang ramai, ya?" Pak Karta terkekeh pelan. "Perjalanan memang seringkali menjadi waktu yang tepat untuk pikiran berkelana. Terkadang, kita menemukan jawaban di tengah keheningan."
Raka tersenyum tipis. "Mungkin begitu, Pak. Saya Raka." Ia mengulurkan tangan.
Pak Karta menyambut uluran tangan Raka, genggamannya terasa hangat dan kokoh. "Saya Karta, Nak. Senang bertemu denganmu." Matanya yang keriput menatap Raka lekat-lekat, seolah sedang membaca sesuatu. "Mau ke mana, Nak?"
"Ke Surabaya, Pak. Ibu saya sedang sakit." Nada suara Raka langsung berubah sendu.
"Oh, begitu..." Pak Karta mengangguk-angguk. "Semoga lekas membaik, Nak. Doa adalah obat yang paling mujarab." Ia terdiam sejenak, memandang ke luar jendela yang gelap. "Jalan ini memang panjang dan sunyi. Tapi percayalah, Nak, setiap perjalanan punya tujuannya sendiri."
Raka merasa sedikit lega berbicara dengan Pak Karta. Ada aura bijaksana dari pria tua itu yang entah mengapa memberikan sedikit ketenangan di tengah kegelisahannya. "Pak Karta mau ke mana?"
"Saya? Saya hanya... melakukan perjalanan," jawab Pak Karta, senyumnya kembali mengembang, namun kali ini ada sedikit kepasrahan di dalamnya. "Sudah lama saya melakukan perjalanan ini."
Jawaban itu sedikit aneh, pikir Raka, tapi ia tidak terlalu memikirkannya. Mungkin Pak Karta seorang musafir atau pedagang keliling. Mereka pun larut dalam percakapan ringan. Pak Karta bercerita tentang keindahan masa lalu, tentang desa-desa yang kini sudah hilang, dan tentang bagaimana waktu terus berjalan tanpa henti. Raka mendengarkan, mencoba mengusir kekhawatiran dari benaknya.
Sesekali, Raka melirik ke depan, ke arah sopir bus. Sosoknya tampak tegap dan fokus di balik kemudi. Namanya Bowo, seperti yang ia dengar dari percakapan samar penumpang lain. Sopir itu terlihat sangat pendiam, tidak pernah menoleh atau berbicara dengan penumpang. Ia hanya terus melaju, membelah kegelapan yang pekat. Bus terasa bergerak dengan kehalusan yang aneh, hampir tidak ada guncangan sama sekali, seolah melayang di atas rel yang tak terlihat.
Raka mencoba melihat jam dinding di depan bus lagi. Masih menunjukkan pukul 21:05. Ia menghela napas. "Ponsel saya juga tidak ada sinyal, Pak. Mungkin jamnya rusak."
Pak Karta hanya mengangguk pelan. "Di jalanan seperti ini memang sering begitu, Nak. Sinyal susah. Dan jam... ah, jam." Ia tersenyum lagi, "Kadang, kita tidak perlu terlalu peduli dengan waktu, bukan? Cukup nikmati saja perjalanannya." Ada nada filosofis yang ambigu dalam ucapannya, membuat Raka sedikit berpikir.
Obrolan mereka berlanjut beberapa saat, hingga akhirnya rasa kantuk yang begitu dalam menyerang Raka. Mungkin karena kelelahan seharian dan deru mesin yang monoton. Ia merasa kelopak matanya semakin berat. Pak Karta pamit kembali ke bangkunya, dan Raka pun tak mampu menahan diri. Ia menyandarkan kepala ke jendela yang bergetar samar, membiarkan tubuhnya rileks.
Saat itu, ia sempat mendengar samar-samar suara tangis bayi dari bagian belakang bus, namun suara itu lenyap secepat kilat. Ia juga sempat mencium aroma aneh, seperti bunga melati yang sangat pekat, tercium sekilas lalu menghilang. Raka hanya menganggapnya sebagai bagian dari imajinasi karena ia mulai tertidur.
Ia terlelap.
Dalam mimpinya, Raka melihat kabut putih tebal. Ia berdiri sendirian di tengah kabut itu, tidak bisa melihat apa pun di sekelilingnya. Lalu, tiba-tiba, sebuah bus muncul dari kabut, melaju pelan ke arahnya. Bukan bus Putra Jaya Abadi, tapi sebuah bus yang sama persis, namun dengan warna abu-abu kusam dan jendela-jendela yang pecah. Ia mencoba lari, tapi kakinya terasa berat, seperti terikat. Bus itu melintas di sampingnya, dan Raka bisa melihat siluet-siluet wajah di balik jendela yang pecah, wajah-wajah yang tampak samar dan kabur, melambai kepadanya. Ia terbangun dengan napas terengah-engah, jantungnya berdegup kencang.
Ia menyeka keringat dingin di dahinya. "Hanya mimpi buruk," gumamnya, mencoba menenangkan diri.
Bus masih melaju dalam keheningan yang sama. Di luar, pemandangan tetaplah hutan yang gelap, tanpa tanda-tanda permukiman. Raka melihat jam tangannya lagi. Pukul 00:15. Ia merasa sudah tidur cukup lama, mungkin satu jam lebih. Tapi, ketika ia melirik jam di depan bus, jarumnya masih menunjukkan 21:05.
Sebuah perasaan aneh, campuran antara dingin dan gelisah, mulai merayap di punggung Raka. Ia mencoba menepisnya, menganggap jam itu benar-benar rusak. Tapi ia tidak bisa mengabaikan bisikan kecil di benaknya yang berkata: Ada yang tidak beres di sini.
Bab 3: Kisah di Dalam Bus
Deru monoton mesin bus seolah menjadi selimut tebal yang membungkus seluruh kabin. Raka mencoba kembali tidur, namun matanya tak mau terpejam. Mimpi aneh tentang bus abu-abu tadi masih membekas. Ia melirik jam tangannya lagi. Pukul 00:30. Kemudian ia mengalihkan pandangannya ke jam dinding di depan bus. Jarumnya tetap terpaku di angka 21:05. Frustrasi mulai merayapi benaknya. Ini bukan hanya rusak, pikirnya. Ini janggal. Sangat janggal.
Ia meraih ponselnya sekali lagi. Tidak ada sinyal. Sama sekali. Bahkan ikon baterai menunjukkan tanda silang merah. Padahal, ia yakin baterainya penuh saat ia mengisi daya di terminal tadi. Bus ini seperti sebuah kotak mati yang terputus dari dunia luar. Raka menyandarkan kepalanya lagi, mencoba mencari penjelasan rasional. Mungkin karena sudah terlalu jauh masuk hutan, sinyal memang hilang. Atau mungkin ini adalah bus tua yang memang bermasalah dengan kelistrikan. Ya, itu saja. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Suasana di dalam bus mulai menghangat, bukan secara harfiah, melainkan dalam interaksi antarpenumpang. Mungkin kebosanan dan perjalanan panjang mulai mendorong mereka untuk berbagi cerita.
Dari barisan depan, suara seorang wanita terdengar lirih namun jelas. Itu adalah Ibu Berta, ibu-ibu yang memeluk tas belanjaan kosong tadi. Ia sedang berbicara dengan pasangan muda di depannya.
"Anak saya... hilang begitu saja," kata Ibu Berta, suaranya bergetar. "Saat itu, kami sedang di pasar. Ramai sekali. Saya menggenggam tangannya, tapi entah bagaimana, hanya dalam sekejap, dia sudah tidak ada."
Raka mendengarkan, merasa iba. Kisah kehilangan anak selalu menyayat hati.
"Sudah dicari kemana-mana, Bu?" tanya si perempuan dari pasangan muda itu, suaranya terdengar prihatin.
Ibu Berta menghela napas panjang. "Sudah, Nak. Polisi, relawan, sudah semua. Tapi tak ada jejak. Hanya tas kecilnya yang tertinggal di tumpukan sampah." Ia terdiam sejenak. "Itu terjadi... di tahun 1998."
Raka menoleh. 1998? Tadi Pak Karta juga menyebut tahun 1998. Sebuah kebetulan? Raka mencoba mengabaikannya. Mungkin tahun itu memang punya kenangan khusus bagi mereka.
Di bangku depannya, Raka melirik Ayu. Anak itu masih sibuk menggambar. Kali ini, ia menambahkan detail-detail kecil yang menyerupai wajah di jendela bus, namun wajah-wajah itu terlihat samar dan berantakan. Raka merasa ngeri melihatnya.
Tak lama setelah Ibu Berta selesai bercerita, giliran pria muda yang duduk di samping Pak Karta, yang mulai berbicara. Namanya Diki, seperti yang ia dengar dari percakapan mereka. Ia tampak gelisah, sesekali menggaruk lengannya.
"Saya juga punya cerita, Pak," kata Diki, suaranya sedikit bergetar. "Tentang rumah lama saya. Itu rumah nenek moyang, besar sekali. Tapi sudah lama kosong. Angker."
Raka melirik Diki. Ia tahu banyak orang suka bercerita tentang rumah angker. Ini hal yang biasa.
"Dulu, saya sering dengar suara-suara aneh dari dalam. Pintu terbuka sendiri, barang jatuh. Tapi yang paling mengerikan... sering ada yang memanggil nama saya," lanjut Diki, suaranya tercekat. "Padahal, tidak ada siapa-siapa di rumah itu. Hanya saya. Lama-lama, saya tidak tahan. Saya harus pergi."
Ada sesuatu dalam cerita Diki yang membuat Raka sedikit merinding. Bukan hanya kisah angkernya, tapi cara Diki menceritakannya, seolah ia benar-benar terjebak di sana, terisolasi. Dan cara ia berkata "saya harus pergi" terasa seperti sebuah pernyataan final, bukan sekadar pindah rumah.
Raka memutuskan untuk mencoba sekali lagi. Ia mengeluarkan ponselnya, menyalakannya. Tidak ada sinyal. Baterai masih menunjukkan tanda silang. Ia menatap ke luar jendela. Pemandangan masih gelap gulita, hutan yang sama, jalanan yang sama. Tidak ada tanda-tanda kota atau desa.
"Hei, Pak!" Raka memanggil kondektur yang sedang berdiri di dekat pintu depan, menatap kosong ke luar. "Kenapa ponsel saya tidak ada sinyal sama sekali, ya? Dari tadi begini."
Kondektur menoleh, menatap Raka dengan tatapan yang nyaris tanpa emosi. "Oh, sinyal, Mas?" Suaranya terdengar seperti gema di ruangan yang kosong. "Memang begitu, Mas. Di jalan ini, sinyal susah. Kami sudah terbiasa."
"Tapi jam di depan itu juga mati, Pak. Apa bus ini sudah sangat tua?" Raka mencoba bertanya lagi, berharap mendapat jawaban yang masuk akal.
Kondektur itu tersenyum tipis, senyum yang tidak sampai ke matanya. "Ah, itu, Mas. Jam itu... tidak pernah berjalan. Sudah lama. Anggap saja sebagai hiasan." Ia berbalik, kembali menatap ke luar, seolah percakapan sudah selesai.
Raka terdiam. Tidak pernah berjalan? Itu bukan rusak. Itu... permanen. Dingin yang aneh menusuk Raka, bukan dingin dari udara luar, melainkan dingin dari dalam, dari kesadaran bahwa ada sesuatu yang sangat tidak normal. Ia melirik Pak Karta yang duduk di depannya. Pria tua itu kini hanya menatap ke depan, wajahnya tenang, seolah tidak ada yang aneh.
Raka mulai merasa terisolasi, meskipun ia berada di tengah beberapa orang. Ia melihat sekeliling. Ibu Berta masih memeluk tasnya. Pasangan muda itu masih duduk berdekatan, diam seribu bahasa. Diki memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Dan Ayu, anak kecil itu, masih terus menggambar bus yang sama, lagi dan lagi, dengan detail yang semakin aneh.
Raka menoleh lagi ke luar jendela. Ia bersumpah melihat sesuatu. Sesosok bayangan putih melintas cepat di antara pepohonan. Terlalu cepat untuk dipastikan. Ia mengedipkan mata, mencoba fokus. Hanya gelap dan kehampaan.
Ia menyandarkan punggungnya ke kursi. Perjalanan ini terasa tidak seperti biasanya. Ada keganjilan dalam setiap detail, setiap percakapan. Sinyal yang mati, jam yang berhenti, kisah-kisah yang aneh, dan ekspresi-ekspresi kosong dari para penumpang. Raka mencoba menyangkal perasaannya. Ia lelah. Ia panik. Ini semua hanya ilusi dari pikiran yang kacau.
Namun, di kedalaman hatinya, sebuah bisikan mulai terdengar jelas: Ini bukan perjalanan biasa.
Bab 4: Hal-Hal Kecil yang Janggal
Raka tidak bisa lagi tidur. Setiap kali ia memejamkan mata, wajah-wajah samar dari mimpinya atau bayangan aneh di luar jendela kembali muncul. Ia merasa lelah, bukan karena kurang tidur, tapi karena beban pikiran. Jam di depan bus tetap di angka 21:05. Jam tangannya sendiri juga mati, baterainya habis entah kenapa. Dan ponselnya, ikon sinyalnya masih kosong, seolah bus ini adalah kapsul waktu yang terpisah dari realitas.
Bus terus melaju dalam keheningan yang menyesakkan, hanya suara mesin yang memecah kesunyian. Di luar, hutan tak berujung tetaplah pemandangan dominan. Tidak ada kota, tidak ada desa, bahkan rambu-rambu jalan pun jarang terlihat. Hanya kegelapan dan pepohonan yang siluetnya menakutkan.
Raka memutuskan untuk mencoba mengalihkan perhatian. Ia melirik ke depan, di mana Ayu, anak kecil itu, masih sibuk dengan buku gambarnya. Rasa penasaran Raka kembali. Ia mengamati Ayu lebih saksama. Gerakan tangannya monoton, seperti seorang robot. Terlalu presisi untuk anak seusianya.
Perlahan, Raka beranjak dari tempat duduknya, berjalan pelan ke arah bangku Ayu. Ia berdiri di sampingnya, mencondongkan badan sedikit untuk melihat gambar-gambar yang sudah diselesaikannya. Jantung Raka berdegup lebih kencang saat melihatnya.
Gambar-gambar itu bukan lagi sekadar bus. Ada banyak gambar bus yang sama, tetapi dengan detail yang mengerikan. Di salah satu gambar, bus itu terguling, dengan warna merah gelap yang menyerupai darah mengalir dari jendelanya. Di gambar lain, siluet orang-orang di dalam bus tampak samar, seperti hantu. Dan yang paling mengganggu, di beberapa gambar terbaru, Ayu menggambar pemandangan di luar jendela bus: pepohonan gelap yang tak berujung, kabut tebal, dan di kejauhan, bayangan menyerupai siluet yang melambai-lambai. Itu persis seperti yang Raka lihat dalam mimpinya, atau yang ia rasakan tadi di luar jendela.
"Ayu... kamu menggambar ini semua?" tanya Raka pelan, suaranya sedikit tercekat.
Ayu mendongak, matanya yang besar dan kosong menatap Raka. Ia mengangguk. "Ini rumah kami," bisiknya lagi, menunjuk gambar bus. "Ini jalan kami." Jari mungilnya menunjuk ke gambar hutan gelap. "Dan ini... ini teman-teman baru." Ia menunjuk siluet-siluet samar di dalam bus.
Raka merasa bulu kuduknya meremang. Kata-kata Ayu, tatapannya yang hampa, dan gambar-gambarnya yang aneh, semua terasa seperti sebuah teka-teki yang mengerikan. Ia ingin bertanya lebih banyak, tapi rasanya ada sesuatu yang menahannya.
Ia kembali ke bangkunya, otaknya berputar cepat. Ini bukan hanya imajinasi anak-anak. Ini terlalu spesifik, terlalu akurat dengan apa yang ia rasakan.
Tak lama kemudian, Raka mendengar suara Pak Karta berbicara dengan Diki di bangku depan. Raka mencoba tidak menguping, tapi suara mereka cukup jelas di tengah keheningan.
"Waktu itu, di tahun 1998, aku sedang perjalanan pulang dari Makassar," kata Pak Karta, suaranya terdengar nostalgia. "Hujan deras sekali. Jalan licin. Mobil tergelincir..." Ia terdiam, suaranya tercekat, seperti menahan kesedihan.
Diki mengangguk-angguk. "Saya tahu rasanya, Pak. Saya sendiri waktu itu... di tahun itu juga. Ada kecelakaan di jalan itu. Truk rem blong."
Raka menoleh dengan cepat. Lagi-lagi tahun 1998. Ini bukan kebetulan. Ini sudah tiga orang yang menyebut tahun itu. Ibu Berta, Pak Karta, dan Diki. Mereka semua menyebut tahun 1998 dengan nada yang sama, seolah itu adalah "tahun ini", tahun di mana sesuatu terjadi pada mereka. Raka tahu sekarang adalah tahun 2025. Jurang waktu hampir tiga puluh tahun. Mustahil.
Keringat dingin mulai membasahi punggung Raka. Ia mencoba menyangkal. Mungkin mereka semua punya kenangan buruk di tahun yang sama. Ya, itu saja. Sebuah trauma kolektif.
Kemudian, sesuatu yang lebih aneh terjadi. Mbak Ratna, wanita dari pasangan muda yang tadi duduk terlalu mesra, berdiri dari tempat duduknya. Ia berjalan pelan menuju toilet di bagian belakang bus. Raka mengikutinya dengan pandangan mata. Wanita itu masuk ke toilet, pintunya tertutup.
Raka menoleh ke depan, lalu kembali melirik ke bangku pasangan muda itu. Wanita itu sudah duduk kembali di samping pasangannya. Dengan posisi yang sama persis seperti sebelum ia bangun, kepalanya bersandar di bahu si pria, matanya terpejam.
Raka mengucek matanya kuat-kuat. Ia pasti salah lihat. Tidak mungkin. Ia baru saja melihat wanita itu masuk ke toilet. Ia pasti mengantuk, atau ia hanya berhalusinasi. Otaknya pasti sedang kacau karena kurang tidur dan kecemasan.
Ia memejamkan mata, mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Ketika ia membuka mata, ia melirik ke arah kaca jendela. Di sana, pantulan samar wajahnya terlihat. Namun, ada yang aneh. Refleksinya tampak sedikit kabur, seperti terdistorsi, nyaris tidak terlihat. Raka menggerakkan tangannya ke wajah, dan refleksi itu bergerak, tapi samar dan transparan.
Raka menarik tangannya. Jantungnya bergemuruh. Ini... ini tidak benar. Ia bukan hantu. Ia masih hidup.
Ia mencoba melihat penumpang lain. Wajah-wajah mereka tampak normal di bawah cahaya remang bus. Tapi, sesekali, ketika Raka berkedip, ia menangkap perubahan yang sangat halus:
* Pak Karta: Kerutan di wajahnya seolah semakin dalam, seperti retakan di tanah kering.
* Ibu Berta: Kulit tangannya tampak lebih pucat, nyaris keabu-abuan.
* Pasangan muda: Wajah mereka berdua terlihat sedikit lebih cekung, seperti orang yang sangat kelaparan.
* Ayu: Mata anak itu tampak lebih gelap, nyaris seperti lubang hitam yang dalam.
Perubahan itu sangat cepat, hanya sepersekian detik, seolah Raka salah lihat. Namun, ia tidak bisa mengabaikannya lagi. Terlalu banyak hal yang janggal. Sinyal mati, jam mati, tahun 1998, wanita yang muncul entah dari mana, dan sekarang... refleksi samar dirinya sendiri, serta perubahan fisik pada penumpang.
Sebuah bisikan dingin mulai merayap di benak Raka, bukan bisikan dari luar, melainkan dari dalam jiwanya sendiri: Apa yang terjadi? Apa sebenarnya tempat ini? Rasa panik yang samar mulai berubah menjadi ketakutan yang dingin. Namun, ia masih mencoba menepisnya. Ini semua pasti hanya efek perjalanan panjang, kurang tidur, dan kecemasan akan ibunya.
Ia memaksakan senyum tipis, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi senyum itu terasa pahit. Di luar jendela, gelap semakin pekat, dan Raka merasa seolah bus ini tidak melaju menuju Surabaya, melainkan menuju sebuah tempat yang tidak ada di peta mana pun.
Bab 5: Pintu ke Dimensi Lain
Bus melaju. Suara mesinnya kini terasa seperti dengungan yang memekakkan telinga, bukan lagi irama yang menenangkan. Raka tidak bisa lagi menyangkal. Semua keanehan itu—jam yang mati, sinyal ponsel yang lenyap, tahun 1998 yang terus muncul, wanita yang menghilang dan muncul lagi, gambar-gambar Ayu, hingga refleksinya yang samar—semuanya menyatu menjadi sebuah kesimpulan mengerikan: ini bukan bus biasa.
Di luar jendela, pemandangan berubah drastis. Hutan gelap yang tadi seolah tak berujung kini berganti dengan sesuatu yang lebih mengerikan. Pohon-pohon menjulang tinggi, dahan-dahannya meliuk-liuk aneh seperti jari-jari kurus raksasa yang mencengkeram langit. Daun-daunnya berwarna gelap, bahkan di bawah cahaya remang bus. Jalanan yang mereka lalui kini tampak tidak beraspal, melainkan sebuah jalur tanah yang digenangi lumpur hitam, berkelok-kelok di antara formasi batuan aneh yang menyerupai gigi-gigi tajam. Udara di dalam bus tiba-tiba berubah dingin, menusuk tulang, meskipun pendingin udara tidak menyala. Aroma aneh yang sempat tercium Raka tadi, kini semakin kuat: bau tanah basah bercampur aroma anyir yang samar, seperti bau besi berkarat atau darah kering.
Raka menoleh ke belakang, lalu ke depan. Para penumpang lainnya tampak tak terganggu. Mereka duduk diam, sebagian memejamkan mata, yang lain menatap kosong ke depan. Mereka semua terlihat pasrah, seolah pemandangan di luar adalah hal yang wajar.
Kemudian, terdengar suara. Samar pada awalnya, seperti bisikan jauh yang dibawa angin. Tapi kemudian semakin jelas, menggema di dalam kabin bus. Jeritan. Bukan jeritan panik biasa, melainkan jeritan kesakitan, ketakutan, dan keputusasaan yang mendalam. Suara itu terdengar seperti datang dari luar bus, dari kegelapan yang menelan segalanya. Raka merinding. Ia yakin bukan hanya dia yang mendengarnya, tapi para penumpang lain tetap tidak bereaksi.
Raka tidak tahan lagi. Ia harus mencoba. Ia berdiri, berjalan cepat ke arah pintu depan bus. Sopir, Bowo, tetap terpaku di balik kemudi, seolah patung.
"Pak! Pak Sopir!" panggil Raka, suaranya tegang. "Ini jalan apa? Kenapa dingin sekali? Ada suara apa di luar?"
Bowo tidak menoleh. Ia hanya menatap lurus ke depan, wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa pun. "Kita akan sampai," katanya, suaranya datar, tanpa emosi.
"Sampai di mana? Ini bukan jalan menuju Surabaya! Ini jalan aneh!" Raka mencoba memegang gagang pintu bus. Dingin, seperti es. Ia mencoba memutar, mendorong, tapi pintu itu terkunci rapat. Tak bergerak sedikit pun. Ia mencoba menggedornya, tapi tidak ada suara yang dihasilkan, seolah pintu itu terbuat dari bahan yang menyerap suara.
Panik melandanya. Raka berbalik, matanya liar mencari seseorang yang bisa membantunya. Ia melihat ke arah penumpang. Dan saat itulah, kengerian sejati menyergapnya.
Wajah-wajah yang tadi terlihat normal, kini berubah.
Ayu, anak kecil itu, kini menatap Raka. Wajahnya tidak lagi polos. Kulitnya pucat pasi, seperti kertas yang mengering, dan mata besarnya kini kosong melompong, seperti dua lubang hitam tanpa pupil. Bibirnya sedikit terbuka, dan Raka bersumpah melihat gigi-giginya yang kecil tumbuh lebih panjang, sedikit runcing. Ia tidak lagi menggambar. Buku gambarnya tergeletak di pangkuannya, menunjukkan gambar Raka, dengan wajah yang berlumuran darah.
Ibu Berta yang duduk di depan, menoleh perlahan ke arah Raka. Satu sisi wajahnya hancur, berdarah, dengan tulang pipi yang tampak remuk. Rambutnya yang tersanggul rapi kini terlihat acak-acakan dan basah oleh sesuatu yang menyerupai lumpur dan darah kering. Mata kanannya tertutup oleh luka yang mengerikan, sementara mata kirinya memancarkan tatapan kosong yang membeku.
Pasangan muda itu. Si pria, kepalanya terbelah di bagian samping, menunjukkan gumpalan otak yang menghitam. Matanya melotot, menatap kosong ke depan. Si wanita, yang tadinya bersandar padanya, kini wajahnya memucat pasi, bibirnya kebiruan, dan ada noda ungu gelap di lehernya yang terlihat seperti bekas cekikan.
Bahkan Pak Karta yang ramah itu, kini terlihat berbeda. Kerutan di wajahnya kini menyerupai retakan dalam, seperti tanah kering yang pecah. Matanya yang tadi jernih, kini terlihat cekung dan gelap, seolah sudah terlalu lama melihat kegelapan.
Raka menjerit. Bukan jeritan kecil, tapi jeritan yang keluar dari inti jiwanya. Ia mundur terhuyung-huyung, menabrak kursi di belakangnya. "Apa ini?! Kalian siapa?! Lepaskan aku! Ini bukan nyata!"
Ia mencoba memukul jendela. Keras. Tapi kaca itu terasa tebal dan dingin, tak bergerak. Suara jeritannya teredam oleh deru mesin bus dan jeritan-jeritan samar dari luar. Tidak ada yang menanggapi. Para penumpang itu, dengan wajah-wajah yang termutilasi dan mengerikan, hanya menatapnya tanpa ekspresi, atau kembali menatap ke depan seolah Raka adalah bagian dari pemandangan yang biasa mereka lihat.
Perasaan terperangkap, putus asa, dan horor yang murni merayapi Raka. Ia tidak lagi berpikir tentang Ibu atau Surabaya. Ia hanya ingin keluar. Tapi bus ini, dengan para penumpangnya yang menyeramkan, seperti penjara bergerak yang membawanya menuju kehampaan yang tak terbayangkan. Ia ambruk di lorong bus, napasnya tersengal-sengal, air mata mengalir deras. Ini bukan mimpi. Ini bukan halusinasi. Ini... nyata.
Bab 6: Penumpang yang Sudah Pergi
Raka tergeletak di lorong bus, napasnya memburu, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Wajah-wajah mengerikan para penumpang terpatri dalam benaknya, mengulangi kengerian yang baru saja ia saksikan. Ini bukan mimpi. Ini adalah realitas yang jauh lebih buruk. Bus ini bukan kendaraan biasa, dan para penumpangnya... mereka bukan orang hidup.
Ia mencoba bangkit, lututnya gemetar. Perasaan mual mendesak kerongkongan. Ia melirik lagi. Anehnya, wajah-wajah para penumpang kini kembali terlihat "normal", atau setidaknya, kembali ke kondisi mereka saat pertama kali Raka naik: Pak Karta yang ramah, Ibu Berta dengan kebaya usangnya, pasangan muda yang terlalu dekat, dan Ayu yang tenang dengan buku gambarnya. Tapi Raka tahu. Ia tahu apa yang baru saja ia lihat. Mereka hanya menunjukkan kepadanya apa yang ingin mereka tunjukkan.
Raka merangkak kembali ke bangkunya, merasa sangat kecil dan tak berdaya. Bus masih melaju, menembus kabut tebal yang kini menyelimuti jalanan di luar. Jeritan-jeritan samar dari luar pun kini seolah menghilang, digantikan oleh keheningan yang mencekam, hanya dipecahkan oleh suara mesin bus.
Tak lama kemudian, Raka mendengar suara bisikan dari bangku di depannya. Itu Pak Karta dan Mbak Ratna—wanita yang tadi menghilang dan muncul kembali. Mereka berbicara sangat pelan, namun di tengah keheningan, setiap kata terasa seperti gema di telinga Raka.
"Bagaimana dengan yang satu ini?" bisik Mbak Ratna, suaranya kering seperti dedaunan mati. "Dia sudah mulai melihat."
"Belum waktunya dia tahu sepenuhnya," sahut Pak Karta, nadanya dipenuhi kesedihan yang mendalam. "Dia masih sangat terikat."
"Terikat pada apa? Dunia yang sudah tidak ada untuk kita?" Mbak Ratna mendesah. "Kasihan sekali. Dia masih berpikir bisa kembali."
Jantung Raka berdebar kencang. Mereka membicarakannya. Mereka tahu apa yang terjadi pada Raka. Dan yang lebih penting, mereka tahu apa yang terjadi pada diri mereka sendiri.
Raka memberanikan diri untuk berdiri lagi, kakinya masih goyah. Ia melangkah ke depan, ke arah sopir. Ini adalah satu-satunya orang yang belum menunjukkan wujud mengerikan. Mungkin dialah kuncinya.
"Pak Sopir!" panggil Raka, suaranya parau. "Apa yang mereka bicarakan? Apa yang terjadi? Bus ini mau ke mana sebenarnya?"
Sopir Bowo tidak bereaksi sedikit pun. Matanya tetap fokus pada jalan yang kini hampir tak terlihat di balik kabut. Ia tidak menoleh.
"Pak, tolong jawab saya! Saya mohon!" Raka menggedor kursi sopir pelan. "Kenapa ponsel saya tidak ada sinyal? Kenapa jam di sana mati? Kenapa mereka semua..." Raka berhenti, tak sanggup mengucapkan apa yang ia lihat.
Setelah keheningan panjang, sopir Bowo akhirnya berbicara, suaranya tetap datar dan tanpa emosi, seolah datang dari balik kubur. "Tugas saya hanya mengantar, Nak. Semua pertanyaanmu akan terjawab pada waktunya."
"Waktu apa?" Raka putus asa. "Saya harus menemui ibu saya! Dia sakit!"
Sopir itu akhirnya menoleh sedikit, matanya yang terlihat dingin menatap Raka melalui kaca spion. Ada sedikit kilatan aneh di sana, seperti pantulan cahaya yang sudah lama mati. "Ibumu... sudah tenang."
Ucapan sopir itu menusuk Raka seperti belati. "Apa maksudmu?! Ibumu baik-baik saja! Dia menunggu saya!" Raka berteriak, suaranya memantul di dalam kabin bus yang sunyi.
Tidak ada jawaban lagi dari sopir. Ia kembali menatap jalan di depannya.
Raka frustrasi, panik, dan bingung. Ia merogoh saku celananya, mencari dompetnya. Ia ingin mengeluarkan KTP, menunjukkan identitasnya, membuktikan bahwa ia adalah Raka, pemuda yang masih hidup dan punya tujuan.
Dompet itu ada di tangannya. Ia membukanya, menarik keluar semua kartu. Kartu ATM, kartu anggota perpustakaan, kartu diskon kafe langganan—semua ada. Tapi, ketika ia mencari kartu identitasnya, KTP-nya tidak ada. Kosong. Slot KTP di dompetnya kosong melompong, seolah tidak pernah ada isinya.
Raka merasa kepalanya berputar. Ia yakin, seingatnya, KTP-nya selalu ada di dompet. Ia bahkan sempat menunjukkan KTP-nya saat membeli tiket kereta sebulan yang lalu. Bagaimana bisa hilang?
Ia memeriksa lagi ponselnya. Tidak ada sinyal. Ia membuka daftar kontak. Kosong. Tidak ada nomor telepon ibunya, Lina, teman-temannya, atau siapa pun. Galeri fotonya pun sama. Hanya beberapa gambar default yang tidak ia kenali. Semua kontak, semua kenangan digitalnya, lenyap tanpa jejak. Seolah ia tidak pernah memiliki riwayat hidup yang terhubung dengan orang lain.
"Tidak mungkin..." gumam Raka, suara putus asa.
Ia kembali menoleh ke arah penumpang. Mereka semua kini memandangnya, dengan mata-mata yang kosong.
Pak Karta tersenyum samar. "Kamu baru saja datang, Nak. Belum lama."
Ibu Berta mengangguk. "Ya, seperti kami. Tidak ada yang bisa kamu ingat dari sana."
Diki menunjuk ke luar jendela yang gelap. "Dunia lama sudah tidak ada untuk kita."
Ayu mengangkat buku gambarnya. Kali ini, ia tidak menggambar bus. Ia menggambar sosok Raka, dengan wajah yang buram dan transparan, seperti refleksi yang samar. Di bawahnya, ia menulis satu kata dengan tulisan tangan anak-anak: "Baru".
Raka tidak bisa bernapas. Semua penumpang seolah sepakat mengatakan hal yang sama. "Baru saja datang." Mereka semua bertingkah aneh, seolah ia adalah pendatang baru di sebuah komunitas yang sudah lama ada. Mereka tahu apa yang terjadi pada Raka, lebih dari Raka sendiri.
Perasaan terisolasi semakin kuat. Mereka bukan orang yang sama lagi. Mereka tahu rahasia yang Raka belum pahami. Dan rahasia itu, sepertinya, berhubungan dengan dirinya sendiri. Ia merasa seperti boneka yang tali-tali kehidupannya perlahan diputus satu per satu. Tidak ada identitas, tidak ada kenangan, tidak ada koneksi. Hanya ada bus ini, dan para penumpangnya yang misterius, menuju entah ke mana.
Raka mundur selangkah demi selangkah, kembali ke bangkunya, merasakan udara di sekelilingnya semakin dingin, meskipun bus terus melaju menembus kegelapan yang tak berujung.
Bab 7: Menyadari yang Tidak Pernah Hidup
Ketakutan yang dingin kini telah menggantikan kepanikan Raka. Ia tidak lagi berteriak atau mencoba membuka pintu. Ia hanya duduk, kaku, menatap kosong ke depan. Dompetnya yang hampa dan ponselnya yang mati adalah bukti tak terbantahkan. Ia bukan lagi dirinya yang dulu. Ia adalah "yang baru", seperti kata Ayu.
Bus masih melaju, namun kini terasa lebih cepat. Deru mesinnya semakin keras, seperti raungan monster yang lapar. Kabut di luar jendela semakin tebal, menelan pepohonan dan batu-batuan aneh, membuat pandangan menjadi putih pekat. Rasanya seperti melaju menembus kehampaan.
Tiba-tiba, bus melambat, lalu berhenti total dengan suara desisan rem yang panjang. Jantung Raka berdebar kencang. Apakah ini akhirnya? Apakah mereka sudah sampai di 'tujuan' yang misterius ini?
Para penumpang lain tetap diam, tidak ada yang bergerak. Mereka semua menatap ke depan, ke arah kabut putih yang kini menyelimuti seluruh kaca depan bus. Raka merasa udara di dalam bus semakin dingin, membuatnya menggigil.
Sebuah dorongan kuat tiba-tiba datang padanya. Sebuah keinginan untuk keluar, untuk melihat apa yang ada di balik kabut ini. Mungkin ini adalah kesempatannya untuk lari, meskipun akal sehatnya tahu itu mustahil. Ia harus mencoba.
Raka berdiri perlahan, melangkah gemetar menuju pintu bus. Ia menekan tombol darurat yang ada di dekat pintu. Tidak ada respons. Ia mencoba menarik tuas pintu manual, sekuat tenaga. Pintu itu sedikit berderit, lalu terbuka sedikit, mengeluarkan suara klik yang memilukan.
Ia melangkah keluar dari bus.
Hanya ada kabut putih. Tidak ada tanah, tidak ada pepohonan, tidak ada jalan. Hanya hamparan putih yang tak terbatas, tanpa batas, tanpa suara. Suara-suara dari dalam bus lenyap seketika, seolah bus itu terisolasi dari dunia luar. Raka melangkah satu, dua, tiga langkah. Kakinya tidak menapak tanah, melainkan terasa seperti melayang di atas awan, dingin dan hampa. Ia tidak bisa melihat ujung kabut. Di mana pun ia melihat, hanya ada putih yang membutakan.
Ketakutan mencekik Raka. Ini bukan jalan. Ini bukan tempat. Ini... ketiadaan.
Tiba-tiba, dari dalam kabut, ia mendengar bisikan. Bukan bisikan jahat, melainkan suara yang akrab, namun samar. Ia mendengar suara ibunya, memanggil namanya, "Raka... Nak..." Suara itu kemudian bercampur dengan suara sirine ambulans yang melengking. Lalu, ada suara lain, suara seorang wanita yang mengumumkan: "Korban... kecelakaan lalu lintas... tidak sadarkan diri..."
Raka tersentak. Ia berbalik, panik, mencari sumber suara. Ia melihat bayangan samar bus di balik kabut. Ia harus kembali. Ia tidak bisa sendiri di tempat ini.
Ia melangkah mundur, kembali naik ke dalam bus. Pintu bus menutup sendiri di belakangnya dengan suara desisan pelan. Begitu ia masuk, suara kabut putih lenyap, dan suara mesin bus kembali menderu, meski bus masih diam.
Raka melihat sekeliling. Para penumpang menatapnya, kali ini dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada kesedihan, ada pemahaman, dan ada semacam kepasrahan di mata mereka.
Lalu, sebuah suara mulai terdengar di dalam bus, suara yang samar-samar akrab. Seperti sebuah rekaman yang diputar ulang.
"Perhatian kepada seluruh penumpang... Bus malam Putra Jaya Abadi tujuan Surabaya... harap segera naik..."
Suara itu adalah suara pengumuman terminal, tapi terdengar terdistorsi, seperti kaset rusak. Jeda-jeda di antara kata-kata itu diisi oleh suara statis dan desisan.
Raka menoleh ke sopir Bowo, tapi sopir itu tetap diam. Lalu, ia mendengar lanjutan dari rekaman itu, sebuah bagian yang tidak pernah ia dengar di terminal.
"...telah terjadi... kecelakaan fatal... di depan Terminal Batu Ampar... seorang pemuda... tertabrak... bus..."
Jantung Raka serasa berhenti berdetak. Seluruh udara dari paru-parunya lenyap. Rekaman itu terus berlanjut, suaranya kini bergetar, seperti suara orang menangis.
"...korban... atas nama Raka... tidak... selamat..."
Dunia Raka runtuh. Kilasan-kilasan ingatan yang samar mulai menyerbu benaknya, kini bukan lagi halusinasi, melainkan kebenaran yang mengerikan. Ia ingat berlari terburu-buru. Ia ingat menerima telepon dari Lina tentang ibunya. Ia ingat lampu bus yang melaju cepat. Ia ingat teriakan orang-orang. Ia ingat benturan keras. Ia ingat tubuhnya yang terpental, berguling-guling di aspal yang panas dan kasar.
Ia ingat rasa sakit yang luar biasa, dingin yang merayap, lalu... kegelapan.
Raka menoleh ke kaca jendela bus. Ada pantulan dirinya di sana. Tapi bukan dirinya yang utuh. Itu adalah bayangan transparan, seperti asap tipis yang nyaris tak terlihat. Ia mencoba menyentuh pipinya, tapi tangannya terasa tembus pandang, seolah tidak ada substansi. Ia melihat bayangan itu, dan di balik bayangan itu, ia bisa melihat pemandangan di luar bus, tembus pandang.
Ia tidak bisa melihat refleksi tubuhnya sendiri. Ia melihat kehampaan.
Sebuah suara datang dari sampingnya. Pak Karta kini menatap Raka dengan mata yang penuh kesedihan. Ia mengulurkan tangannya, menyentuh lengan Raka. Sentuhan itu dingin, seperti udara di dalam bus.
"Sudah waktumu tahu, Nak," bisik Pak Karta, suaranya lembut, namun berat. "Kita semua sudah lama di sini. Kamu baru bergabung."
Raka menoleh ke penumpang lain. Ayu, Ibu Berta, Diki, pasangan muda itu... wajah mereka kini tampak lebih jernih, namun tatapan mereka tetap sama: tatapan hampa dari jiwa-jiwa yang telah lama menerima takdir mereka. Mereka semua adalah bagian dari kejadian serupa, korban yang tidak menyadari bahwa mereka telah tiada. Bus ini... adalah 'penjemput' mereka.
"Tidak..." Raka berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. Ia mencoba berdiri, namun kakinya terasa seperti karet, tak mampu menopang. "Tidak mungkin... Aku... aku harus ke Surabaya..."
Raka melihat tangannya yang transparan, lalu menatap wajah-wajah hampa di sekelilingnya. Mereka adalah cermin dari dirinya sendiri. Jiwa-jiwa yang terperangkap dalam perjalanan abadi.
Bab 8: Bus Tanpa Tujuan
Jeritan pecah dari tenggorokan Raka, membelah keheningan mencekam di dalam bus. Itu bukan jeritan amarah, melainkan jeritan keputusasaan yang murni, terlahir dari pengakuan pahit yang kini menghantamnya seperti gelombang pasang. Ia menjerit, berteriak, menyangkal setiap kata yang terucap dari rekaman itu, setiap kilasan ingatan yang menusuk.
"Tidak! Tidak mungkin! Aku masih hidup! Aku harus ke Surabaya! Ibu menungguku!" Raka mencoba bangkit, kakinya bergetar hebat, namun ia tak bisa lagi merasakan pijakan yang kokoh. Ia melayang, tubuhnya terasa ringan, transparan, tak berbobot. Ia mencoba meraih kursi di depannya, tangannya menembusnya, seolah tidak ada apa pun di sana.
Para penumpang lain menatapnya. Wajah mereka, yang kini terlihat jelas dan tanpa distorsi, bukanlah wajah-wajah menyeramkan seperti yang Raka lihat sebelumnya. Mereka adalah wajah-wajah yang lelah, kosong, dan sedih. Mata mereka memancarkan pemahaman yang mendalam, sebuah penerimaan yang telah lama mereka miliki.
Ibu Berta menghela napas, tatapannya dipenuhi iba. "Nak... kami juga pernah begitu. Menyangkal. Mencari."
Pak Karta tersenyum samar, senyum yang kini terasa lebih seperti kesedihan daripada keramahan. "Tidak ada lagi 'ke sana', Nak. Hanya 'di sini'."
Diki mengangguk lemah, menunjuk ke luar jendela yang kini sepenuhnya diselimuti kabut putih pekat, seperti batas antara ada dan tiada. "Tidak ada lagi tempat kembali."
Ayu, anak kecil itu, kini tidak lagi menggambar. Ia hanya menatap Raka, dengan mata yang polos namun mengharukan. Ia mengangkat tangan kecilnya, seolah ingin meraih Raka, namun kemudian menurunkan tangannya lagi, seolah tahu ia tidak bisa menyentuh.
Raka menoleh ke sopir Bowo, satu-satunya sosok yang masih memegang kendali atas mimpi buruk yang ia alami. Sopir itu menatapnya melalui kaca spion, tatapannya kosong namun seolah memiliki kedalaman yang tak terhingga. Tidak ada jawaban, tidak ada penyesalan. Hanya sebuah misi.
"Kau... kau penjemput," bisik Raka, suaranya parau, penuh penyesalan. "Ini... bus arwah."
Bowo tidak membalas. Ia hanya kembali fokus ke jalan di depannya, atau lebih tepatnya, kehampaan putih di depannya.
Tiba-tiba, dengan sentakan halus, bus kembali melaju. Bukan melaju di atas aspal, melainkan melayang, meluncur tanpa suara di antara kabut putih yang tak berujung. Kecepatannya semakin meningkat, semakin cepat, seolah tanpa tujuan dan tanpa rem.
Raka memejamkan mata, membiarkan ingatannya menyerbu:
*Ia melihat kembali sore itu di Terminal Batu Ampar. Sore yang cerah namun dipenuhi kegelisahan. Ponselnya bergetar di saku, menampilkan nama Lina. "Mama makin parah, Kak. Cepatlah..." Suara Lina yang bergetar.
*Ia berlari, bergegas menyeberang jalanan padat menuju pintu terminal. Matanya fokus pada pintu masuk.
*Lalu, kilatan cahaya dari arah kanan. Suara klakson yang memekakkan telinga. Ia menoleh, melihat siluet bus besar melaju ke arahnya.
*Teriakan-teriakan panik dari orang-orang di sekitarnya.
*Bantingan yang keras. Tubuhnya terpental, melayang di udara, lalu terhempas ke aspal yang kasar.
Gelap. Dingin. Lalu... cahaya putih yang menyilaukan. Dan ia terbangun di dalam bus ini.
Itu semua nyata. Setiap detail. Ia tidak mengendarai bus. Ia ditabrak bus. Bukan bus Putra Jaya Abadi yang ia tumpangi, tapi bus lain. Mungkin bus yang sama persis seperti yang Ayu gambar, bus abu-abu yang rusak dalam mimpinya.
Raka membuka matanya. Ia melihat sekeliling. Wajah-wajah penumpang yang kosong. Sopir yang diam. Dan di luar, kabut putih yang pekat. Ia menjerit lagi, tapi kali ini jeritannya tak bersuara, hanya bisikan hampa yang lenyap ditelan kebisingan mesin bus. Air mata mengalir di pipinya, namun ia tak bisa merasakan tetesannya.
Bus terus melaju. Jalan di depannya kini benar-benar lenyap dalam kegelapan yang pekat. Bukan lagi kabut putih, melainkan jurang hitam tanpa batas. Tidak ada tujuan. Tidak ada harapan. Mereka semua adalah jiwa-jiwa yang tersesat, terjebak dalam perjalanan abadi ini, menunggu penerimaan yang mungkin tak akan pernah datang.
Tawa hampa, kering, dan kosong, mulai terdengar dari para penumpang. Bukan tawa gembira, melainkan tawa kepasrahan, tawa dari jiwa-jiwa yang telah kehilangan segalanya, termasuk air mata. Raka mendengar tawa itu, dan perlahan, tawa itu mulai merayap ke dalam dirinya, mengikis sisa-sisa kemanusiaan dan harapan yang ia miliki.
Bus Putra Jaya Abadi, bus tanpa tujuan, terus melaju, membawa Raka dan para penumpang jiwanya, semakin jauh ke dalam kegelapan yang tak berujung.