Masukan nama pengguna
Bab 1: Undangan dari Masa Lalu
Matahari bulan Juni terasa terik, menembus kaca mobil tua yang berderak melintasi jalan tanah berlubang. Debu mengepul di belakang, melukis siluet kendaraan itu seperti hantu di siang bolong. Di dalam, Ardi, si pengemudi, sesekali menyeka keringat di dahinya. Kemeja flanelnya sudah terasa lengket. Di kursi penumpang, Lila asyik memelototi peta digital di ponselnya, jarinya sesekali memperbesar detail, mengonfirmasi jalur. Di belakang, Fajar—selalu dengan kameranya—merekam setiap pemandangan yang terlewat, sementara Reva sibuk dengan buku catatannya, sesekali berbisik pada dirinya sendiri, merangkum poin-poin riset.
Mereka berempat adalah mahasiswa arkeologi tingkat akhir dari universitas terkemuka di ibu kota. Bukan sekadar mahasiswa biasa, mereka adalah tim inti proyek riset “Jejak Kolonial Jepang di Pedalaman Jawa Barat”. Seharusnya ini adalah kesempatan emas, puncak dari studi mereka. Mereka membawa izin riset resmi yang dicap tebal, plus surat rekomendasi dari Profesor Hadi, dosen pembimbing yang sangat mereka hormati. Tujuan mereka: Desa Wanaresmi, sebuah titik kecil di peta yang hampir tidak terlihat, tempat tersembunyi sebuah bunker peninggalan Jepang.
"Menurut GPS, kita sudah hampir sampai, Ardi," kata Lila, nadanya sedikit lega. Perjalanan dari kota besar memakan waktu berjam-jam, melewati jalan berliku yang semakin sempit dan sepi. Pepohonan besar menjulang tinggi di sisi jalan, menciptakan terowongan hijau yang dingin, kontras dengan suhu di luar.
"Akhirnya," gumam Fajar, menurunkan kamera dari matanya. "Aku mulai berpikir kita tersesat di dimensi lain."
Reva hanya tersenyung tipis. "Justru di tempat-tempat tersembunyi seperti ini, kita bisa menemukan jejak sejarah yang paling otentik. Mungkin ada hal-hal yang belum pernah tercatat di buku manapun." Matanya berbinar penuh antusiasme, seperti biasa. Baginya, setiap artefak, setiap situs tua, adalah teka-teki yang menunggu untuk dipecahkan.
Mereka tiba di Wanaresmi sekitar pukul dua siang. Desa itu kecil, hanya terdiri dari beberapa rumah panggung kayu yang berjejer rapi di sepanjang jalan utama. Suasana begitu sunyi, hanya terdengar suara ayam berkokok dan angin berdesir di antara dedaunan. Beberapa pasang mata tua menatap mereka dari beranda rumah, penuh rasa ingin tahu dan sedikit kecurigaan.
Mobil Ardi berhenti di depan sebuah balai desa sederhana. Begitu mereka turun, seorang pria paruh baya dengan sarung yang melilit pinggang dan kopiah usang di kepala, berjalan mendekat. Wajahnya keriput, mencerminkan kerasnya hidup di desa, namun sorot matanya tajam dan ramah.
"Selamat siang, Nak," sapanya dengan suara serak. "Kalian yang dari kota itu, kan? Yang mau lihat bunker?"
Ardi maju selangkah, mengulurkan tangan. "Betul, Pak. Saya Ardi, ini teman-teman saya, Lila, Fajar, dan Reva. Kami dari Universitas Nasional, ingin melakukan penelitian di bunker peninggalan Jepang di sini." Ardi menyerahkan surat-surat izin yang sudah disiapkan.
Pria itu, yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Pak Karim, Kepala Dusun Wanaresmi, menerima surat itu dan membacanya sekilas. Dahinya mengernyit tipis. "Silakan masuk dulu, Nak. Minum teh hangat. Kalian pasti lelah."
Di dalam balai desa yang sederhana, mereka disuguhi teh panas dan ubi rebus. Pak Karim duduk di seberang mereka, mengamati satu per satu. Sorot matanya berhenti lama pada Reva, yang masih memegang buku catatannya.
"Jadi, kalian ingin meneliti bunker itu ya?" tanya Pak Karim, suaranya kini terdengar lebih serius.
"Betul, Pak. Kami tertarik dengan sejarah konstruksi dan fungsi bunker tersebut selama masa pendudukan Jepang," jelas Lila, yang memang paling ahli dalam hal birokrasi riset. "Kami mendengar bunker ini cukup besar dan belum banyak terekspos."
Pak Karim menghela napas panjang, tatapannya menerawang jauh, seolah melihat ke masa lalu. "Bunker itu... sudah lama sekali ada di sini. Dibangun tahun 1943, Nak. Tentara Jepang datang ke sini, memaksa warga desa bekerja. Mereka bilang itu untuk pertahanan, tapi kami tahu itu bukan sekadar itu."
Ardi menyimak dengan saksama. "Maksud Bapak?"
"Bunker itu bukan cuma tempat sembunyi, Nak," lanjut Pak Karim, suaranya merendah. "Itu pusat interogasi. Banyak warga desa kami, dan juga orang-orang dari desa sebelah yang dituduh mata-mata atau pembangkang, dibawa ke sana. Setelah itu... mereka tak pernah kembali." Sebuah getaran kecil melintas di suaranya. "Tempat itu juga menjadi tempat eksekusi. Kami sering mendengar suara tembakan, jeritan... terutama menjelang malam."
Fajar, yang tadinya hanya merekam, kini menunda kameranya. Bahkan Reva, yang biasanya paling bersemangat, menghentikan coretannya. Suasana di ruangan itu menjadi tegang.
"Setelah Jepang kalah perang," Pak Karim melanjutkan, "bunker itu ditutup. Pintu bajanya digembok, lalu sebagian terkubur oleh tanah longsor dan semak belukar. Warga desa sengaja membiarkannya. Kami tak mau mengingatnya. Ada cerita-cerita, Nak... tentang suara-suara yang masih terdengar dari dalam, tentang bayangan-bayangan yang melintas di sekitar sana saat senja."
Ardi menatap teman-temannya. Ini jauh lebih kelam dari yang mereka bayangkan.
"Tapi yang paling penting," Pak Karim menekankan, menatap mereka satu per satu dengan tatapan serius, "kalau kalian memang nekat mau masuk ke sana, ada satu aturan yang harus kalian patuhi. Aturan dari leluhur kami, yang sudah terbukti benar berulang kali."
Semua mata tertuju pada Pak Karim.
"Kalau kalian mau masuk bunker," ujarnya, suaranya mengandung peringatan tegas, "jangan sampai magrib masih di dalam. Jangan pernah. Dulu banyak yang hilang di sana... terutama mereka yang keras kepala, yang meremehkan peringatan ini. Kami menemukan mereka keesokan harinya, di luar bunker, dengan mata terbuka lebar, seolah melihat sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Dan kami tak pernah tahu apa yang mereka lihat."
Hening menggantung di ruangan itu. Angin di luar tiba-tiba berembus kencang, menggoyangkan dedaunan di pohon nangka dekat balai desa, seolah ikut mengamini peringatan Kepala Dusun. Meskipun mereka berempat adalah para akademisi yang cenderung berpikir logis dan ilmiah, kisah yang baru saja mereka dengar, ditambah sorot mata Pak Karim yang tulus, meninggalkan jejak kekhawatiran yang samar di benak mereka.
Ardi adalah yang pertama pulih. "Baik, Pak Karim. Kami mengerti. Terima kasih banyak atas peringatannya. Kami akan sangat berhati-hati."
Pak Karim mengangguk, namun raut wajahnya tetap menyimpan kekhawatiran. "Semoga penelitian kalian lancar. Tapi ingat, Nak. Kadang, ada hal-hal yang lebih tua dari buku, lebih kuat dari logika. Di tempat itu, terutama."
Bab 2: Di Balik Pintu Baja
Pagi berikutnya, tepat pukul 10 pagi, keempat mahasiswa itu sudah berdiri di depan bunker. Lokasinya tidak jauh dari desa, tersembunyi di balik rerimbunan pohon beringin tua dan semak belukar yang lebat. Udara pagi masih terasa sejuk, namun bayangan gelap hutan seolah menyerap kehangatan mentari.
Ardi menatap struktur di hadapannya. Bunker itu memang terkubur sebagian, hanya menyisakan bagian atas dan pintu utama yang terlihat. Sebuah gundukan tanah dan akar-akar pohon besar melilit kuat di sekelilingnya, seolah alam sendiri berusaha menelannya kembali. Namun, pintu baja besar itu—berkarat dan kusam, tapi kokoh—menjadi bukti kuat keberadaannya. Di sana-sini terdapat coretan cat piloks yang samar, mungkin peninggalan orang-orang iseng, namun sebagian besar permukaannya polos dan menyeramkan.
"Pak Karim benar, ini bukan bunker biasa," gumam Fajar, mengayunkan kameranya. "Lihat ketebalan bajanya. Pasti dirancang untuk sesuatu yang sangat penting... atau sangat rahasia."
Reva sudah mengeluarkan alat ukur dan buku catatannya. "Secara arsitektur, ini unik. Desainnya sangat fungsional, tapi ada detail-detail yang terasa aneh." Ia menunjuk ke pola ukiran samar di sisi pintu, yang mirip dengan simbol kuno Jepang.
Membuka pintu baja itu tidak mudah. Kunci asli sudah lama hilang, dan engselnya berkarat parah. Ardi dan Fajar harus menggunakan alat dongkrak hidrolik mini yang mereka bawa, dibantu dengan sedikit paksaan dari linggis. Bunyi kriek-kriek panjang dan memekakkan telinga mengiringi perjuangan mereka. Begitu ada celah, mereka berdua serentak mendorong. Dengan suara berderak dan gemuruh yang menggema, pintu baja itu perlahan berayun terbuka, menyingkap kegelapan di baliknya.
Seketika, udara pengap dan aroma besi karat yang kuat langsung menyeruak keluar, menerpa wajah mereka seperti embusan napas dari masa lalu. Bau tanah basah, lumut, dan sesuatu yang pahit, seperti bau darah kering atau cairan kimia tua, juga tercium samar. Fajar langsung memundurkan langkah, hidungnya mengerut. Lila mengeluarkan masker dari ranselnya.
"Astaga, baunya..." Lila terbatuk kecil. "Seperti kuburan yang baru dibuka."
"Itulah aroma sejarah, Lila," Reva tersenyum masam, tapi ia juga memasang masker. "Ayo, nyalakan senter kalian."
Begitu lampu senter diaktifkan, berkas cahaya membelah kegelapan total di dalam. Mereka melangkah masuk satu per satu. Lantai beton terasa dingin dan licin di bawah sepatu bot mereka.
Koridor sempit menyambut mereka. Dinding-dindingnya lembap, dihiasi lumut tipis dan jamur putih yang menjalar. Udara di dalam jauh lebih dingin daripada di luar, seolah panas matahari tak mampu menembusnya. Suara langkah kaki mereka menggema, menciptakan pantulan aneh yang membuat suasana makin mencekam.
"Desainnya seperti labirin," komentar Ardi, mengarahkan senternya ke setiap sudut. "Ada beberapa jalur yang bercabang."
Mereka menjelajahi ruangan-ruangan pertama. Ada bekas ruang tahanan berjeruji, di mana dindingnya masih menyisakan goresan-goresan panjang, seolah bekas cakaran tangan yang putus asa. Beberapa jeruji sudah bengkok, sementara yang lain masih kokoh tak tergoyahkan. Di salah satu sel, mereka menemukan sebuah ember berkarat dan rantai yang menempel di dinding. Aroma pengap dan berat terasa paling pekat di sini, seolah penderitaan masa lalu masih berdiam di udara.
Fajar merekam semuanya. "Kita harus hati-hati. Tempat ini punya energi yang aneh," bisiknya, tak biasanya. Fajar adalah orang yang paling skeptis di antara mereka, namun kali ini ia merasakan sesuatu yang berbeda.
Reva, dengan kepekaannya yang tinggi terhadap detail, mencondongkan senternya ke dinding. "Lihat ini," katanya, menunjuk pada simbol-simbol Jepang yang bercampur dengan tulisan aneh yang tidak mereka kenali. Simbol itu seperti kaligrafi rumit yang digoreskan dengan kasar, seolah terburu-buru. Beberapa di antaranya menyerupai tanda mantra atau segel.
"Ini bukan tulisan Jepang biasa," ujar Reva, mencoba menelusuri simbol-simbol itu dengan jarinya. "Ini lebih mirip... simbol ritual. Atau semacam kode."
Mereka terus bergerak lebih dalam. Suasana semakin sunyi, hanya suara tetesan air di kejauhan yang memecah keheningan. Kemudian, di sebuah sudut gelap di salah satu ruangan yang lebih besar, Reva melihat sebuah tabung besi kecil yang sebagian terkubur di reruntuhan. Dengan hati-hati, ia membersihkan tanah di sekitarnya dan menarik tabung itu keluar. Tabung itu berat dan tertutup rapat.
Dengan susah payah, Reva berhasil membuka tabung itu. Di dalamnya, ada beberapa lembar perkamen tua yang menguning, terbungkus kain sutra yang sudah rapuh. Ia membentangkannya di lantai yang relatif bersih, cahaya senter mereka berpusat padanya.
Mata Reva membelalak saat membaca isinya. Ia membaca keras-keras, suaranya bergetar.
"Ini... ini catatan lama. Ditulis dalam bahasa Jepang kuno, tapi ada beberapa frasa dalam bahasa yang sangat aneh. Sepertinya... ini adalah catatan tentang eksperimen spiritual."
Ardi, Lila, dan Fajar mengerumuni Reva, berusaha membaca di bawah cahaya senter yang berkedip-kedip.
"Tentara Jepang... mereka melakukan ritual di sini," Reva melanjutkan, nada suaranya campur aduk antara kaget dan ngeri. "Mereka mencoba 'mengikat roh tahanan' yang meninggal di sini. Agar... agar tetap menjaga bunker, bahkan setelah mati. Sebagai penjaga abadi."
Hening. Kali ini, keheningan itu jauh lebih berat, dipenuhi oleh implikasi yang mengerikan. Konsep tentang sebuah bunker yang tidak hanya menjadi tempat penahanan dan eksekusi, tetapi juga sebuah penjara bagi arwah-arwah yang terpaksa melayani, mengirimkan gelombang dingin di tulang punggung mereka.
Fajar tanpa sadar menghentikan rekamannya. "Mengikat roh? Itu... itu gila."
"Ini bukan sekadar bunker militer," gumam Lila, matanya menyapu kegelapan di sekitar mereka. "Ini... tempat pemujaan? Atau... sesuatu yang lain."
Peringatan Pak Karim kembali terngiang di benak Ardi: "Dulu banyak yang hilang di sana..."
Kini, mereka tahu mengapa. Ini bukan sekadar kecelakaan atau kesalahpahaman. Ada sesuatu yang jauh lebih gelap, lebih purba, dan lebih mengerikan bersembunyi di balik pintu baja ini.
Bab 3: Ruang Tertutup Waktu
Penemuan catatan eksperimen spiritual itu menggantung berat di udara, membuat napas setiap orang terasa lebih pendek. Konsep roh yang terikat, yang dipaksa menjadi penjaga abadi, jauh lebih mengerikan dari sekadar hantu atau makhluk kasat mata. Ini adalah penindasan yang melampaui kematian.
Meskipun begitu, rasa ingin tahu profesional mereka, bercampur dengan keberanian—atau mungkin kenekatan—akademisi muda, mendorong mereka untuk terus maju. Mereka menyadari bahwa mereka telah menemukan sesuatu yang jauh lebih signifikan daripada yang mereka perkirakan. Ini bukan hanya jejak sejarah militer, melainkan juga situs horor spiritual.
"Kita harus lebih dalam," kata Reva, suaranya mantap meskipun tangannya masih gemetar tipis saat memegang perkamen. "Catatan ini menyebutkan 'Ruangan Penjara Roh'. Aku rasa itu bukan sekadar metafora."
Ardi mengangguk, senternya menyapu koridor yang kini terasa lebih gelap dan memanjang. "Tetap waspada. Jangan ada yang terpisah."
Mereka melanjutkan perjalanan menyusuri koridor sempit yang berkelok-kelok, seolah sengaja dirancang untuk membingungkan penyusup. Udara semakin dingin, dan kelembapannya meningkat drastis. Lumut di dinding semakin tebal, dan di beberapa tempat, tetesan air menetes dari langit-langit, menciptakan genangan kecil di lantai. Suara tetesan itu terdengar berirama, seolah detak jam yang menghitung mundur sesuatu.
Setelah beberapa belokan dan lorong yang terasa tanpa ujung, mereka menemukan sebuah ruangan kecil di kedalaman bunker. Pintu ruangan itu terbuat dari kayu tebal, namun sudah lapuk dan hampir roboh. Begitu Ardi mendorongnya, pintu itu terbuka dengan decitan mengerikan yang menggema di seluruh bunker, seolah jeritan dari masa lalu.
Cahaya senter mereka menyorot ke dalam. Ruangan itu berbentuk persegi panjang, jauh lebih kecil dari sel-sel tahanan sebelumnya. Dindingnya tampak aneh. Mereka dilapisi lilin yang sudah meleleh dan mengering, membentuk lapisan tebal yang menguning, bercampur dengan noda merah seperti darah yang sudah mengering dan menghitam di beberapa tempat. Aroma lilin terbakar dan sesuatu yang amis bercampur di udara, membuat perut mual.
"Apa-apaan ini?" Fajar bergumam, kameranya terpaku pada dinding.
Lila tiba-tiba memegangi kepalanya. "Aku seperti mendengar suara bisikan," katanya, suaranya pelan dan tegang. "Banyak suara... saling tumpang tindih."
Fajar mengerutkan kening. "Mungkin itu cuma efek akustik bunker tua, Lila. Suara kita sendiri atau tetesan air yang bergema." Ia mencoba meyakinkan Lila, dan mungkin juga dirinya sendiri. Sebagai seorang saintis, ia selalu mencari penjelasan logis.
Namun, Lila menggeleng. "Tidak, ini bukan gema. Ini... seperti suara-suara yang terperangkap. Suara orang-orang yang menderita." Wajahnya pucat pasi.
Reva, yang lebih peka terhadap hal-hal semacam itu, juga terlihat gelisah. Ia mengamati dinding dengan seksama, memindai setiap detail. Matanya berhenti pada salah satu bagian dinding yang tertutup lapisan lilin paling tebal. Dengan hati-hati, ia mengikis lilin itu dengan ujung pisau lipatnya. Di bawah lapisan lilin, tersembunyi sebuah ukiran.
"Aku menemukannya," bisik Reva, suaranya penuh antisipasi. "Ini adalah simbol berbentuk lingkaran dengan lima segitiga yang menghadap ke dalam."
Ardi segera mendekat, mengarahkan senternya. Simbol itu diukir dengan presisi, meskipun tersembunyi di balik lilin. Ada aura aneh yang memancar darinya, dingin dan berat.
"Ini... ini 'Segel Penyegel Jiwa'," Reva berkata, suaranya tercekat. "Aku pernah membacanya dalam literatur kuno Jepang tentang ritual Onmyōdō. Itu adalah ritual yang digunakan untuk memenjarakan jiwa, mencegahnya pergi ke alam baka, atau untuk mengikatnya pada suatu objek atau tempat tertentu agar menjadi penjaga abadi."
Ia memegang perkamen yang ia temukan sebelumnya, membandingkannya. "Lihat, di sini ada sketsa kasar segel ini. Catatan itu mengonfirmasi. Bunker ini rupanya bukan sekadar tempat interogasi, tapi juga situs ritual gaib rahasia yang dilakukan selama Perang Dunia II. Tentara Jepang yang bertanggung jawab di sini tidak hanya menghukum fisik, tetapi juga spiritual para tahanan."
Fajar menelan ludah. Wajah skeptisnya kini tergantikan oleh ekspresi horor. "Jadi... semua cerita itu bukan cuma mitos? Roh-roh yang diikat? Mereka benar-benar melakukan hal sekeji ini?"
"Tujuannya... untuk apa?" tanya Lila, suaranya bergetar. Ketakutan kini mulai merayap naik. Bisikan-bisikan yang ia dengar terasa semakin jelas, seolah mereka ingin bercerita.
"Mungkin untuk menjaga rahasia bunker ini agar tidak bocor," Ardi berteori, mencoba mencari logika di tengah kegilaan ini. "Atau mungkin mereka percaya bahwa roh-roh yang terikat akan menjadi pasukan pelindung gaib bagi mereka."
"Atau mungkin," Reva menambahkan, suaranya pelan, "mereka ingin membuat contoh. Bahwa siapa pun yang menentang mereka, bahkan setelah mati, akan tetap terikat pada penderitaan ini. Sebuah teror absolut."
Ruangan itu terasa dingin, namun Ardi merasakan keringat dingin menetes di punggungnya. Ia menatap simbol segel di dinding, lalu ke noda darah yang menghitam. Imajinasi Ardi mulai bekerja. Ia membayangkan para tentara Jepang, dalam seragam mereka yang kaku, melakukan ritual-ritual keji ini di bawah cahaya obor, sementara para tahanan yang sekarat atau sudah tak bernyawa menjadi objek dari eksperimen mengerikan mereka.
Lila memejamkan mata, berusaha mengabaikan bisikan-bisikan itu, yang kini terasa seperti rintihan dan erangan. "Kita harus keluar dari sini. Ini... ini terlalu banyak."
Ardi menghela napas. Dia tahu Lila benar. Mereka sudah mendapatkan lebih dari cukup data. Ini bukan lagi sekadar riset arkeologi. Ini adalah penyelaman ke dalam sisi gelap sejarah yang seharusnya tetap terkubur. Namun, jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 17:00. Mereka punya waktu. Cukup waktu untuk kembali ke desa sebelum magrib.
"Baiklah," kata Ardi, mengambil keputusan. "Kita foto semua ini, ambil sampel yang diperlukan, lalu kita keluar. Sepertinya kita sudah menemukan inti dari rahasia bunker ini."
Reva dan Fajar mengangguk, meskipun masih ada kilatan obsesi di mata Reva, seolah ia ingin menggali lebih dalam lagi. Fajar, yang awalnya meremehkan, kini menjadi yang paling gelisah. Ia berkali-kali menyapu pandangan ke belakang, seolah merasakan ada yang mengawasi mereka dari kegelapan.
Saat mereka bersiap untuk mengambil data, sebuah sensasi aneh mulai melingkupi mereka. Udara di dalam ruangan itu, yang tadinya terasa dingin dan pengap, kini terasa... berat. Seperti ada tekanan tak kasat mata yang memenuhi setiap inci kubik ruangan itu. Lilin-lilin tua di dinding seolah bergetar samar, dan noda darah itu seperti memancarkan aura yang lebih pekat. Mereka berempat merasakan bulu kuduk mereka berdiri serentak.
Bab 4: Detik-detik Senja
Waktu terasa berjalan lebih cepat di dalam bunker. Mungkin karena kegelapan yang pekat, atau mungkin karena aura menekan yang kini mengisi setiap celah. Jam tangan Ardi menunjukkan pukul 17:30. Lima belas menit lagi, matahari akan mulai terbenam di ufuk barat Wanaresmi, dan janji magrib akan tiba. Peringatan Pak Karim kembali terngiang di benaknya, lebih jelas dan lebih mendesak dari sebelumnya.
Ardi mulai merasa tidak nyaman. Bukan hanya karena dingin dan pengap, tapi ada sensasi aneh yang merayapi kulitnya, seperti ribuan mata tak terlihat yang mengawasi. Udara terasa lebih berat, seolah dipenuhi oleh entitas tak kasat mata yang memenuhi ruang. Suara-suara kecil mulai terdengar dari lorong belakang, suara seretan samar, bisikan yang terlalu halus untuk dipahami, dan kadang-kadang, suara seperti isakan lirih yang langsung terputus.
"Kita harus keluar sekarang," Ardi berucap, suaranya terdengar tegang. "Ini sudah terlalu sore. Kita tidak boleh di sini sampai magrib." Ia menatap teman-temannya yang masih sibuk. Reva masih menganalisis ukiran segel di dinding, sementara Fajar mencoba mengambil gambar-gambar sedetail mungkin dengan kameranya, mengabaikan ketidaknyamanan yang ia rasakan sebelumnya. Lila, di sisi lain, tampak pucat dan gelisah, sesekali meremas lengannya sendiri, berusaha menyingkirkan sensasi bisikan yang terus menghantuinya.
"Kita nggak bisa balik lagi besok," Fajar menjawab, tanpa mengangkat pandangannya dari lensa. "Kita sudah sampai sejauh ini, Ardi. Jarang sekali ada bunker peninggalan Jepang yang punya elemen ritual sejelas ini. Ini temuan besar! Harus sekarang kita kumpulkan semua datanya. Lagian, itu cuma mitos kampung. Mereka pasti hanya ingin kita takut."
Ardi ingin membantah, ingin menjelaskan bahwa perasaan tak nyaman ini jauh lebih dari sekadar "mitos". Ini adalah insting yang berteriak. Namun, Fajar terkenal keras kepala jika sudah berurusan dengan riset. Ia adalah seorang yang paling fokus pada bukti konkret, paling anti dengan hal-hal takhayul.
Lila ragu. Ia melirik Ardi, lalu ke Fajar. Bisikan-bisikan itu kini terasa lebih kuat, seolah ada tangan-tangan tak terlihat yang mencoba meraihnya. Ia ingin sekali keluar, namun ia juga tahu betapa pentingnya riset ini bagi Fajar, bagi mereka semua. Pada akhirnya, loyalitas pada tim dan obsesi akademik mengalahkan ketakutannya. Ia tetap ikut. "Tapi kita harus cepat," katanya, suaranya nyaris berbisik.
Reva, dengan buku catatannya yang terbuka, justru tampak semakin tertarik. Ia bukan hanya menulis, tapi juga merasakan. "Aku merasakan perubahan yang signifikan," katanya, tanpa menoleh. "Suhu tiba-tiba menurun drastis, Ardi. Dan kelembapan udara juga. Ini bukan fluktuasi normal. Ada anomali energi di sini." Ia bahkan mengeluarkan termometer dan higrometer digital kecilnya untuk memverifikasi. Angka-angka di layar berkedip, mengonfirmasi perubahan yang ia rasakan.
"Reva, Fajar, ini bukan waktunya untuk anomali!" Ardi mencoba meninggikan suara. "Kita bisa melanjutkan besok pagi! Keselamatan lebih penting dari data!"
"Kita punya waktu sepuluh menit lagi," Fajar berkeras. "Kita hanya perlu lima menit lagi untuk mengambil sampel tanah dari area segel ini. Tolong, Ardi."
Ardi menghela napas panjang, frustrasi. Ia tahu tidak akan ada gunanya berdebat lebih lama. Sesuatu di dalam bunker ini terasa semakin jahat setiap detik. Keputusan harus dibuat, dan ia harus melindungi dirinya dan setidaknya sebagian data yang sudah mereka kumpulkan.
Jam tangannya menunjukkan 17:50. Cahaya senter mereka, yang sebelumnya terang, kini mulai berkedip-kedip. Bukan karena baterai lemah, tapi seolah ada gangguan energi yang tak terlihat. Suasana makin menyesakkan, seperti ada tangan raksasa tak terlihat yang mencengkeram paru-paru mereka. Aroma besi karat dan tanah basah kini bercampur dengan bau yang lebih pekat, bau apak yang aneh, seolah ada daging yang membusuk di suatu tempat yang tersembunyi.
"Aku tidak bisa lagi," Ardi berkata, suaranya penuh keputusan. "Aku keluar. Kalian sebaiknya ikut." Ia menatap teman-temannya satu per satu. Reva mengangkat kepalanya, sorot matanya kini bercampur antara antusiasme dan ketakutan. Lila nyaris menangis, tapi Fajar masih keras kepala.
"Aku akan tunggu di mobil kalau kalian sudah selesai. Bawa semua data yang kalian kumpulkan," Ardi memerintahkan, tahu bahwa ia tak bisa memaksa mereka. Ia merasa bertanggung jawab atas keselamatan mereka, namun ia juga tahu batas dirinya. Rasa takut yang begitu kuat telah mengalahkan rasa ingin tahu akademisnya.
Dengan langkah terburu-buru, Ardi memutar balik. Ia membawa serta catatan yang ia salin dari perkamen kuno tentang eksperimen spiritual, serta beberapa foto awal yang sempat ia ambil. Ia tidak ingin kehilangan semua bukti yang mereka temukan. Setiap langkah di koridor terasa seperti melarikan diri dari sesuatu yang tak terlihat. Bisikan-bisikan itu kini lebih jelas, seolah mereka ingin menyeret Ardi kembali ke kegelapan. Ia bisa merasakan tatapan dingin dari setiap sudut.
Sementara itu, di dalam, tiga temannya—Fajar, Lila, dan Reva—tetap melanjutkan eksplorasi mereka, terpikat oleh magnet misteri dan obsesi penelitian. Fajar, yang tadinya hanya ingin mengambil sampel tanah, tiba-tiba melihat sesuatu yang aneh. Sebuah bagian dinding di ruangan segel itu tampak sedikit menonjol, seolah ada rongga di baliknya.
"Hei, lihat ini!" seru Fajar, mengetuk dinding itu dengan gagang senter. Suaranya terdengar hampa di dalam kegelapan. Suara ketukan itu menghasilkan bunyi yang berbeda, bukan seperti dinding beton padat.
Dengan menggunakan linggis kecil yang mereka bawa, Fajar dan Reva mencoba mencongkel bagian dinding itu. Butuh beberapa usaha, tapi akhirnya, sebuah celah terbuka. Di balik celah itu, ada sebuah ruangan baru yang ditemukan di balik dinding berlubang. Ruangan itu lebih kecil dan lebih tersembunyi daripada yang lain, seolah dirancang untuk menyimpan rahasia paling kelam bunker ini.
Begitu cahaya senter menembus, ketiganya terpaku. Di tengah ruangan, terdapat kursi interogasi berlumur darah yang sudah mengering dan menghitam, dihiasi dengan noda-noda karat. Kursi itu terbuat dari kayu tebal, dengan tali-tali kulit yang kaku menjuntai di sisinya. Di depannya, di sebuah altar kecil yang terbuat dari batu hitam, berdiri patung kepala manusia dari tanah liat dengan mata terbuka lebar dan kosong, seolah menyaksikan kekejian yang tak terbayangkan. Bibir patung itu membentuk seringai yang menyeramkan.
Reva merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, lebih dingin dari suhu di dalam bunker. Ia melihat ke arah patung itu, dan untuk sesaat, ia bersumpah melihat mata patung itu bergerak, menatap langsung ke arahnya.
Bab 5: Lewat Batas
Detak jam Ardi menunjukkan pukul 18:00. Di luar bunker, langit barat mulai bermandikan jingga dan ungu, cahaya senja yang indah namun penuh firasat. Namun di dalam bunker, tidak ada cahaya yang tersisa selain dari senter mereka yang kini berkedip-kedip semakin intens.
Ardi, terengah-engah, akhirnya berhasil mencapai mulut bunker. Udara segar yang menerpa wajahnya terasa seperti penyelamat, namun rasa bersalah dan khawatir mencekiknya. Ia melirik ke belakang, ke dalam lubang gelap tempat teman-temannya masih berada. Ia tahu mereka telah lewat batas. Peringatan Pak Karim, yang awalnya ia anggap sebagai cerita rakyat biasa, kini terasa seperti kutukan yang nyata.
Sementara itu, di kedalaman bunker, Fajar, Lila, dan Reva terpaku di ruangan tersembunyi. Patung kepala manusia dari tanah liat dengan mata kosong yang terbuka lebar seolah memaku pandangan mereka. Darah kering di kursi interogasi tampak lebih gelap di bawah cahaya senter yang meredup, memancarkan aura dingin yang menusuk.
"Ini... ini bukan sekadar tempat interogasi," Lila berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. Bisikan-bisikan di telinganya kini berubah menjadi rintihan yang menyakitkan, seolah ribuan suara duka terperangkap di ruangan itu. Ia meremas lengannya, mencoba mengusir sensasi dingin yang merayapi kulitnya.
Fajar, yang awalnya berkeras, kini tampak pucat pasi. Obsesinya terhadap data telah berbenturan langsung dengan teror yang tak dapat dijelaskan. Ia menelan ludah, kameranya masih tergantung di lehernya namun tangannya gemetar terlalu hebat untuk mengambil gambar. "Bagaimana mungkin... ada tempat seperti ini?"
Reva, meskipun ketakutan, masih mencoba mencatat. Namun, ia menyadari bahwa pena di tangannya terasa sangat berat, dan tulisan yang ia torehkan di kertas tampak bergetar tak keruan. Ia merasakan tekanan udara yang semakin meningkat, seolah dinding-dinding ruangan itu mendekat, mencoba meremukkan mereka.
Tiba-tiba, suara lengkingan nyaring yang memekakkan telinga menggema dari lorong di belakang mereka, disusul oleh suara gemuruh yang keras, seolah ada sesuatu yang besar dan berat bergeser.
"Apa itu?" Fajar berteriak, panik.
Lampu senter mereka berkedip lebih cepat, hampir mati. Ruangan itu sesekali tenggelam dalam kegelapan total, lalu kembali terang dengan kilatan cahaya yang lemah. Dalam salah satu kilatan itu, Reva melihat sebuah bayangan hitam melintas di tepi penglihatan mereka, secepat kedipan mata. Bayangan itu tinggi, ramping, dan entah mengapa terasa familiar.
"Kita harus pergi!" Lila menjerit, suaranya pecah. Ia berusaha menarik tangan Fajar, yang masih membatu di tempatnya, menatap patung kepala manusia itu.
"Lorongnya..." Fajar bergumam, matanya membelalak. "Lorongnya berubah..."
Benar. Lorong yang tadi mereka lalui untuk sampai ke ruangan tersembunyi itu kini tampak berbeda. Lebih panjang, berbelok ke arah yang tidak mereka ingat, dan tidak ada tanda-tanda cahaya di ujungnya. Kegelapan di sana terasa seperti jurang yang menganga.
Suara-suara bisikan yang Lila dengar kini semakin jelas, bukan lagi rintihan, tapi jeritan penuh kebencian yang datang dari segala arah, seolah berteriak di telinganya. Mereka juga mendengar suara seretan langkah kaki yang berat di lorong, semakin mendekat. Rasanya seperti ada sesuatu yang besar dan tak terlihat sedang bergerak di dalam kegelapan, mengelilingi mereka.
"Ada yang mengejar kita," Reva berbisik, suaranya bergetar hebat. Ia bisa merasakan hawa dingin menusuk punggungnya, seolah ada napas dingin di tengkuknya.
Mereka bertiga saling berpandangan, mata mereka dipenuhi kengerian yang nyata. Mereka tahu, dengan kepastian yang menakutkan, bahwa mereka telah melakukan kesalahan fatal. Mereka telah mengabaikan peringatan, melampaui batas yang tak seharusnya dilanggar, dan kini mereka harus membayar harganya.
Bab 5 ini memperkuat elemen horor supernatural dengan efek visual (senternya berkedip, bayangan melintas) dan audio (lengkingan nyaring, jeritan kebencian, seretan langkah kaki). Kepanikan mulai merasuki para karakter, dan penemuan lorong yang "berubah" menunjukkan bahwa mereka telah terjebak di dalam bunker.
Bab 6: Nafas yang Hilang
Kepanikan telah merebut akal sehat mereka. Lorong yang berubah, jeritan yang menggema, dan sensasi kehadiran tak kasat mata yang semakin kuat membuat Fajar, Lila, dan Reva limbung. Mereka tidak bisa lagi membedakan mana imajinasi dan mana kenyataan.
"Ini bukan jalan keluarnya!" Lila berteriak, suaranya parau karena ketakutan. Ia mencoba berlari menyusuri lorong yang tampak tak berujung itu, namun setiap langkah terasa seperti berenang di lumpur tebal. Kakinya terasa berat, dan udara di sekitarnya seolah mengental.
Fajar terhuyung, senternya jatuh dari tangannya yang gemetar, menggelinding di lantai beton dan padam total. Kegelapan pekat menyelimuti mereka, menusuk mata. Hanya senter Reva yang tersisa, namun cahayanya pun semakin redup, berkedip-kedip putus asa, seolah kehabisan napas.
Tiba-tiba, Fajar tersedak. Suara napasnya berubah menjadi serak, seolah tenggorokannya tertutup. Ia terbatuk-batuk hebat, lalu memegangi lehernya dengan kedua tangan, mata membelalak penuh kengerian. Kuku-kukunya mencakar-cakar kulitnya sendiri, seolah mencoba melepaskan sesuatu yang tak terlihat.
Lila dan Reva membeku di tempat. Mereka bisa mendengar perjuangan Fajar, suara terengah-engah dan rintihan yang menyakitkan.
"Fajar! Ada apa?!" Lila menjerit, mencoba meraihnya dalam kegelapan yang hampir total.
Ia jatuh ke lantai sambil mencakar udara seolah sedang dicekik sesuatu yang tak terlihat. Kakinya menendang-nendang tak beraturan, tubuhnya kejang-kejang. Bisikan-bisikan dan jeritan-jeritan yang tadi memenuhi bunker kini terasa seperti tertawa, mengejek penderitaan Fajar.
"Fajar!" Reva berteriak, menyorotkan senternya yang redup ke arah temannya. Dalam cahaya yang temaram dan berkedip, ia bisa melihat wajah Fajar yang membiru, matanya melotot keluar, dan urat-urat di lehernya menonjol. Gelembung darah kecil muncul dari bibirnya.
Lila dan Reva menjerit histeris. Mereka mencoba menyeret Fajar, menarik tangannya, tapi tubuhnya terasa dingin dan membiru. Beratnya seolah bertambah berkali-kali lipat, terpaku di tempatnya. Mereka bisa merasakan hawa dingin yang menusuk dari tubuh Fajar, seolah seluruh kehangatan hidupnya telah direnggut paksa.
"Dia... dia tidak bernapas!" Lila menangis, jari-jarinya merasakan nadi Fajar yang sudah tidak berdenyut.
Keputusasaan menyelimuti mereka. Mereka panik dan mencoba keluar, berlari menyusuri lorong, namun seperti yang Fajar katakan, lorong yang mereka lalui tadi berubah: lebih panjang, berbelok, dan tak ada ujungnya. Setiap tikungan membawa mereka ke lorong baru yang serupa, seolah bunker ini adalah labirin yang tak terbatas, dirancang untuk memerangkap mereka.
Bisikan semakin jelas, kini seperti teriakan penuh kebencian. Suara-suara itu bukan lagi rintihan, melainkan paduan kemarahan dan dendam. Mereka mendengar suara langkah kaki yang berat dan menyeret, semakin dekat, seolah ada entitas-entitas tak terlihat yang bergerak cepat di belakang mereka. Aroma apak dan amis yang tadi samar, kini terasa sangat pekat, menusuk hidung.
Lila tersandung, jatuh di lantai yang licin dan berlumut. Reva mencoba membantunya berdiri, namun kakinya sendiri terasa goyah. Mereka merasa ada yang mengejar, sebuah kehadiran yang dingin dan membekukan, yang menginginkan lebih dari sekadar ketakutan mereka. Itu menginginkan jiwa mereka, sama seperti jiwa-jiwa yang terikat oleh "Segel Penyegel Jiwa."
"Mereka datang," bisik Reva, air mata mengalir di pipinya. "Para penjaga. Roh-roh yang terikat. Mereka datang untuk kami."
Senter Reva akhirnya padam. Kegelapan total menyelimuti mereka, menelan segalanya. Hanya suara napas terengah-engah mereka sendiri, teriakan-teriakan dari lorong, dan suara seretan langkah kaki yang semakin dekat yang tersisa. Dalam kegelapan yang mutlak itu, mereka merasakan sentuhan dingin, seperti jari-jari es yang mencengkeram pergelangan kaki mereka, menyeret mereka ke dalam kehampaan yang tak berujung.
Bab 7: Penyesalan yang Terlambat
Matahari pagi menyapa Desa Wanaresmi dengan sinarnya yang hangat, namun kehangatan itu tidak mampu menembus dinginnya kecemasan yang menggantung di udara. Ardi, yang menghabiskan malam dengan gelisah di dalam mobil, tak bisa tidur barang semenit pun. Setiap suara di luar, setiap hembusan angin, seolah membawa bisikan teman-temannya yang terperangkap. Ia mencoba menelepon, namun sinyal ponsel tak tembus di sini. Ketakutan itu nyata, menyesakkan.
Begitu fajar menyingsing, Ardi segera berlari kembali ke balai desa. Ia menemukan Pak Karim dan beberapa warga desa sudah berkumpul, wajah mereka tegang. Dua polisi dari kota terdekat juga sudah tiba, dipanggil Pak Karim melalui telepon desa sejak semalam, setelah Ardi menjelaskan situasinya dengan panik.
"Mereka belum kembali, Pak," kata Ardi, suaranya serak karena khawatir. "Saya tahu mereka masih di dalam. Saya tidak bisa meninggalkan mereka."
Pak Karim menghela napas berat, tatapannya penuh penyesalan. "Saya sudah peringatkan, Nak. Tapi sudahlah, mari kita cari mereka. Polisi juga sudah siap."
Pagi hari, Ardi bersama warga desa dan dua polisi berjalan menuju bunker. Hati Ardi berdebar kencang, antara harapan dan ketakutan yang mencekik. Ia berharap menemukan teman-temannya yang masih hidup, meskipun pucat dan ketakutan. Ia takut menemukan mereka... seperti yang dikatakan Pak Karim.
Pintu baja bunker yang ditinggalkan Ardi terbuka semalam kini menganga, seolah menjadi mulut gua yang menelan kegelapan. Udara pagi yang sejuk di luar berbenturan dengan hawa dingin yang menusuk dari dalam. Bau apak dan anyir yang tercium semalam kini terasa lebih kuat, menusuk hidung.
"Senter kalian sudah siap?" tanya salah satu polisi, Pak Budi, mencoba bersikap tenang meski raut wajahnya juga menyimpan ketegangan.
Mereka melangkah masuk. Kegelapan di dalam bunker begitu pekat, seolah malam tidak pernah pergi dari sana. Setiap langkah kaki mereka menghasilkan gema yang panjang dan menyeramkan. Ardi memimpin, memegang senter dengan tangan gemetar. Ia mengenali koridor-koridor yang mereka jelajahi kemarin, namun kali ini terasa berbeda, lebih dingin, lebih asing.
Mereka menyusuri lorong yang Fajar dan Lila klaim telah "berubah." Kali ini, lorong itu tampak normal, tidak ada keanehan seperti yang mereka alami semalam. Namun, Ardi tahu itu hanyalah tipuan. Roh-roh yang menghuni tempat ini pasti ingin bermain-main dengan pikiran mereka.
Tiba-tiba, Pak Budi berteriak. "Itu! Di sana!"
Cahaya senter mereka menyorot ke sebuah ruangan kecil. Di sana, tergeletak jasad Fajar. Ia dalam posisi meringkuk, seperti mencoba melindungi dirinya. Mulutnya membiru, mata terbuka lebar, dan jari-jarinya menggenggam tanah keras seperti mencakar lantai. Wajahnya menunjukkan ekspresi teror yang tak terlukiskan. Ardi langsung terduduk lemas, lututnya tak mampu menopang.
"Fajar!" teriak Ardi, suaranya pecah. Ia merangkak mendekati tubuh kaku temannya, mencoba meraih, namun salah satu polisi menghentikannya.
"Jangan disentuh dulu, Nak. Biar kami identifikasi."
Mereka terus bergerak lebih dalam. Suasana semakin mencekam. Bau anyir semakin kuat. Tak jauh dari tempat Fajar ditemukan, di sebuah ruangan lain yang lebih luas, mereka menemukan jasad kedua.
Itu adalah Lila. Ia tergeletak telentang, tangannya terentang ke atas seolah mencoba meraih sesuatu. Mulutnya juga membiru, mata terbuka lebar, dan jari-jarinya mencengkeram tanah dengan kuat. Wajahnya menunjukkan campuran rasa sakit dan ketakutan yang mendalam. Ardi menunduk, tak kuasa melihat pemandangan itu. Air matanya mengalir deras.
Polisi dan warga desa menggelengkan kepala. Mereka tahu, ini bukan kematian biasa.
Pencarian terus berlanjut, meskipun harapan semakin menipis. Akhirnya, di ruangan tersembunyi yang pernah mereka temukan—tempat kursi interogasi berlumur darah dan patung kepala manusia dengan mata kosong—mereka menemukan jasad terakhir.
Reva. Ia tergeletak di depan patung kepala manusia itu, seolah mencoba melarikan diri darinya. Posisi tubuhnya aneh, sedikit terpuntir. Seperti kedua temannya, mulutnya membiru, mata terbuka lebar, dan jari-jarinya menggenggam tanah keras seperti mencakar lantai. Sebuah buku catatan kecil dan pena tergeletak di samping tangannya yang kaku. Catatan terakhir di sana hanyalah coretan tak beraturan yang membentuk simbol-simbol aneh, mirip dengan "Segel Penyegel Jiwa."
Polisi melakukan pemeriksaan awal. "Tidak ada tanda-tanda kekerasan fisik, Pak," kata Pak Budi kepada rekannya. "Tidak ada luka tusuk, tembakan, atau pukulan."
Polisi menyimpulkan mereka meninggal karena “hipoksia” atau kekurangan oksigen. Sebuah penjelasan logis untuk kematian di dalam bunker tertutup. Namun, Pak Karim dan warga desa saling berpandangan. Mereka tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar penjelasan medis.
"Roh-roh marah para tahanan," bisik seorang warga desa tua, suaranya gemetar. "Yang dikurung tanpa upacara arwah, mereka telah menyeret nyawa anak-anak muda ini sebagai gantinya."
Ardi mendengarkan, namun pikirannya kosong. Ia hanya bisa menatap wajah pucat teman-temannya, mata mereka yang kosong seolah masih terpaku pada kengerian terakhir yang mereka lihat. Penyesalan menggerogoti hatinya. Ia seharusnya memaksa mereka keluar. Ia seharusnya tidak meninggalkan mereka. Kata-kata Fajar yang keras kepala, "Itu cuma mitos kampung," kini terasa seperti ejekan kematian. Mereka telah meremehkan sesuatu yang jauh lebih tua, jauh lebih kuat dari akal manusia.
Bab 8: Tidak Semua Bisa Dijelaskan
Waktu berputar, namun bagi Ardi, setiap detik setelah tragedi di bunker terasa seperti beban. Pemakaman Fajar, Lila, dan Reva dilakukan di desa Wanaresmi, sesuai permintaan keluarga. Ardi berdiri di sana, di bawah terik matahari, menyaksikan peti-peti itu diturunkan ke liang lahat. Ia adalah satu-satunya yang selamat, satu-satunya yang membawa beban kenangan dan kengerian yang tak terucapkan.
Ardi kembali ke kota, kembali ke apartemennya yang kini terasa hampa. Kampus, tempat yang dulunya penuh semangat dan ambisi, kini terasa asing dan dingin. Setiap kali ia melihat sesosok mahasiswa dengan tas punggung penuh buku, ia teringat Fajar dengan kameranya, Lila dengan peta, dan Reva dengan buku catatannya.
Ia mencoba melanjutkan hidup. Ia mengirimkan laporan singkat ke kampus, sebuah ringkasan formal tentang penemuan bunker dan peristiwa yang menimpa teman-temannya. Ia menulis tentang "hipoksia" sebagai penyebab kematian, mengikuti kesimpulan polisi. Namun, ia tidak pernah membagikan hasil catatannya yang lebih detail ke publik—catatan tentang perkamen kuno, "Segel Penyegel Jiwa," atau bisikan-bisikan yang didengar Lila. Ada bagian dari dirinya yang tahu bahwa dunia akademik tidak akan siap menerima kebenaran mengerikan yang ia saksikan. Atau lebih tepatnya, dunia akademik akan menertawakannya, meremehkan pengalamannya sebagai delusi yang disebabkan oleh trauma.
Sejak hari itu, kehidupan Ardi berubah drastis. Ia kini dihantui mimpi berulang. Setiap malam, begitu ia memejamkan mata, ia kembali ke bunker. Kegelapan pekat menyelimutinya, udara pengap mencekiknya. Ia bisa mendengar suara Fajar memanggil dari kejauhan, suaranya serak dan putus asa, "Ardi... tolong aku..." Kemudian, ia mendengar Lila menangis minta tolong, rintihannya pilu, seolah masih terjebak di suatu tempat di dalam dinding-dinding dingin itu. Ia melihat bayangan-bayangan melintas, dan merasakan sentuhan dingin yang menusuk.
Mimpi-mimpi itu selalu berakhir dengan Ardi terjebak di dalam bunker, sendirian, dengan suara jeritan yang memekakkan telinga dan mata-mata kosong yang mengawasinya dari setiap sudut kegelapan. Ia akan terbangun dengan keringat dingin membanjiri tubuhnya, napas terengah-engah, dan jantung berdebar kencang. Ketakutan itu nyata, bahkan di bawah sinar matahari.
Beberapa kali ia mencoba mencari artikel atau jurnal tentang ritual Onmyōdō dan eksperimen spiritual di masa Perang Dunia II. Ia menemukan beberapa referensi, tapi tidak ada yang secara gamblang menjelaskan "Segel Penyegel Jiwa" atau pengikatan roh dengan detail yang ia baca di perkamen. Rasanya seperti pengetahuan itu sengaja disembunyikan, atau memang tidak ada yang berani menulisnya secara terbuka.
Ia sering termenung, memikirkan kata-kata Pak Karim. Tentang bagaimana ada hal-hal yang "lebih tua dari buku, lebih kuat dari logika." Dulu ia menganggapnya takhayul, namun kini ia tahu kebenarannya. Ia adalah saksi dari kebenaran yang mengerikan itu.
Beberapa bulan kemudian, dalam jurnal pribadinya yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun, Ardi menuliskan perasaan dan kesimpulannya. Tulisannya bergetar, mencerminkan trauma yang masih menggerogotinya.
Catatan terakhir dari jurnal Ardi:
"Hari ini adalah genap enam bulan sejak... insiden itu. Mimpi-mimpi itu tidak pernah berhenti. Mereka masih di sana, di bunker itu, atau mungkin... mereka juga ada di sini, bersamaku. Aku tidak tahu lagi mana yang lebih menakutkan."
"Polisi bilang hipoksia. Warga desa bilang roh marah. Aku... aku tidak tahu harus percaya yang mana. Tapi aku tahu, ada sesuatu yang mengambil mereka. Sesuatu yang kejam, yang tidak bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan manapun."
"Aku menyimpan semua catatan yang aku salin dari perkamen itu. Simbol-simbolnya, ritualnya... aku tak berani membacanya lagi. Rasanya setiap huruf yang aku lihat memancarkan energi dingin yang sama seperti di dalam bunker."
"Mungkin benar, mereka bukan mati karena oksigen. Mereka diambil... karena kami membangunkan sesuatu yang tak ingin diingat. Sesuatu yang seharusnya tetap terkubur dalam kegelapan dan dilupakan sejarah. Dan mungkin, ini adalah penyesalanku seumur hidup, karena aku adalah orang yang membukakan pintu itu."
"Dan mungkin, mereka akan terus memanggilku, sampai aku juga... kembali ke sana."
Ardi menutup jurnalnya, matanya menatap kosong ke dinding kamar. Udara terasa dingin, meskipun jendela tertutup rapat. Di kejauhan, ia bersumpah mendengar bisikan-bisikan samar, seperti nyanyian sedih dari masa lalu. Ia tahu, bunker itu tidak hanya mengambil nyawa teman-temannya, tapi juga bagian dari jiwanya. Ia adalah korban yang selamat, namun selamanya terperangkap dalam teror Bunker Terlarang Sebelum Magrib.