Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,776
Boneka Bobo
Horor

Bab 1: Mainan di Toko Tua

Udara lembap Makassar memeluk sore itu, membawa aroma asin laut yang samar bercampur dengan wangi rempah dari warung makan di sepanjang jalan. Reno, bocah lima tahun dengan rambut ikal dan mata bulat berbinar, memegang erat tangan ibunya, langkah kecilnya terayun-ayun mengikuti irama langkah sang ibu. Mereka sedang dalam perjalanan pulang dari pasar tradisional, keranjang belanja sang ibu sudah penuh dengan sayuran segar dan ikan.

Sebuah toko tua, bersembunyi di antara deretan bangunan baru, tampak seperti fosil yang tersisa dari masa lalu. Jendela kacanya berdebu dan buram, menampilkan benda-benda antik yang diselubungi misteri. Bau apak kayu lapuk dan kertas tua menguar dari celah pintu yang sedikit terbuka. Bagi kebanyakan orang, toko itu hanyalah gudang barang bekas, tempat yang dihindari karena aura suramnya. Tapi bagi Reno, toko itu adalah harta karun yang belum terjamah.

"Ibu, lihat!" seru Reno, jari telunjuknya yang mungil menunjuk ke arah etalase. "Ada boneka!"

Ibunya, Ibu Santi, menoleh dengan senyum lelah. "Sudah sore, Nak. Kita harus cepat pulang."

Namun, Reno tak bergeming. Matanya terpaku pada sosok kecil di balik kaca kotor. Sebuah boneka badut kayu, ukurannya tak lebih besar dari telapak tangannya, dengan wajah dicat putih pucat, pipi merah merona, dan senyum yang terlalu lebar. Matanya, dua titik hitam pekat, tampak menatap langsung ke arahnya. Ada sesuatu yang menarik dan sekaligus mengganggu dari boneka itu, semacam daya tarik aneh yang tak bisa dijelaskan.

"Aku mau boneka itu, Bu," pinta Reno, suaranya pelan namun penuh tekad.

Ibu Santi menghela napas. Dia tahu betul bagaimana keras kepalanya Reno jika sudah menginginkan sesuatu. Tapi toko itu... entah kenapa, ia merasa kurang nyaman. "Nanti ya, Nak. Boneka itu kelihatannya sudah sangat tua."

"Tapi aku mau sekarang!" rengek Reno, bibirnya mulai mengerucut dan matanya berkaca-kaca. Dia adalah anak tunggal, sering dimanjakan, dan biasanya permintaannya selalu dituruti.

Dengan terpaksa, Ibu Santi melangkah mendekati toko. Begitu mereka masuk, sebuah lonceng kuningan usang berdenting pelan, memecah kesunyian yang mencekam. Bau apak semakin menusuk hidung. Rak-rak kayu yang berjejer dipenuhi dengan tumpukan barang-barang antik yang tak teratur: patung-patung kayu berukir, jam dinding kuno yang berhenti berdetak, vas keramik pecah, dan buku-buku lusuh. Cahaya temaram yang masuk dari jendela buram menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari-nari di setiap sudut.

Dari balik tumpukan barang, sesosok tubuh tua muncul. Penjaga toko, seorang pria berjanggut putih panjang dengan mata sayu yang tampak sangat lelah, melangkah perlahan. Ia mengenakan kemeja batik usang yang kebesaran. Ketika matanya menangkap sosok Reno yang masih menatap lekat boneka badut di etalase, raut wajahnya berubah. Ada kerutan di dahinya, seolah melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada.

"Selamat sore," sapa Ibu Santi, mencoba bersikap ramah. "Putra saya tertarik dengan boneka ini."

Penjaga toko itu melirik boneka, lalu kembali menatap Reno dengan tatapan yang aneh, seolah menyelidik. Tatapannya membuat bulu kuduk Ibu Santi meremang. "Boneka itu," katanya, suaranya serak dan bergetar, "bukan untuk anak-anak."

Reno tak peduli. Ia sudah melompat kecil, mencoba menggapai boneka yang terletak di balik kaca. "Aku mau Bobo! Dia mau ikut aku pulang!"

"Bobo?" Penjaga toko itu berdehem, tatapannya semakin intens. "Anak ini... sudah memberinya nama?"

Ibu Santi merasa tidak enak. "Hanya imajinasi anak-anak saja, Pak.

Penjaga toko itu terdiam sejenak, tatapannya beralih dari Reno ke boneka, lalu ke Ibu Santi. Ada keraguan yang jelas di matanya, semacam peringatan yang tak terucap. "Boneka itu... memiliki kisah lama. Tidak semua mainan membawa kebahagiaan."

"Sudahlah, Pak. Tidak apa-apa. Berapa harganya?" Ibu Santi ingin segera pergi dari tempat itu. Suasana toko, tatapan aneh penjaga toko, dan peringatannya yang samar-samar membuat perasaannya gelisah.

Dengan berat hati, penjaga toko itu menyebutkan harga. Ibu Santi segera mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya dan menyerahkannya. Begitu uang berpindah tangan, penjaga toko itu meraih boneka badut dari etalase. Ia memegang boneka itu sejenak, tatapannya menyiratkan kesedihan atau mungkin penyesalan.

"Hati-hati dengan boneka ini, Nona," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. "

Reno, yang sudah tak sabar, segera merebut boneka itu dari tangan penjaga toko. Senyum lebar langsung terukir di wajahnya. Ia memeluk boneka itu erat-erat seolah menemukan harta karun terbesarnya. Ibu Santi, yang tidak begitu memperhatikan bisikan terakhir penjaga toko, hanya ingin segera keluar.

Saat mereka melangkah keluar dari pintu toko, dentingan lonceng kembali terdengar. Ibu Santi sempat menoleh ke belakang, dan sekilas, ia melihat penjaga toko itu berdiri di ambang pintu, menatap mereka pergi dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada gurat khawatir di wajahnya, seolah ia baru saja melakukan kesalahan besar.

Reno tak peduli. Ia terus memeluk boneka badut kayunya, sesekali berbicara pelan dengannya seolah boneka itu bisa mendengar. "Bobo, kita pulang!" gumamnya riang. Boneka badut dengan mata hitam pekat dan senyum yang terlalu lebar itu tampak menatap lurus ke depan, seolah mengangguk setuju.

Dan mereka pun pulang, tanpa menyadari bahwa mereka tidak hanya membawa pulang sebuah mainan tua, tetapi juga sebuah kehadiran yang akan mengubah hidup mereka selamanya.

Bab 2: Teman Bernama Bobo

Minggu-minggu pertama setelah kemunculan Bobo di rumah mereka, terasa seperti hembusan angin segar bagi keluarga kecil Reno. Reno yang biasanya lebih banyak bermain sendiri atau menonton kartun, kini tampak lebih aktif dan ceria. Ia sering terlihat duduk di lantai ruang tamu, di tengah tumpukan mainannya, berbicara dengan suara pelan dan terkadang terkekeh sendiri. Ibu Santi dan Ayah Rahmat awalnya merasa lega. Mereka mengira Bobo hanyalah salah satu fase imajinasi anak-anak, seperti teman khayalan yang sering diciptakan oleh anak-anak seusia Reno.

"Reno sedang apa, Nak?" tanya Ibu Santi suatu sore, melihat putranya berbicara ke arah sudut kosong di samping sofa.

"Bobo lagi main mobil-mobilan, Bu!" jawab Reno riang, menggerakkan sebuah mobil mainan kecil di lantai. "Tapi Bobo kalah terus, soalnya dia curang!" Lalu Reno tertawa kecil, seolah menanggapi lelucon dari teman imajinernya.

Ibu Santi tersenyum maklum. "Oh ya? Bilang sama Bobo, tidak boleh curang, ya."

Sejak hari itu, Bobo menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian Reno. Bobo selalu ada, muncul kapan saja Reno bermain, saat makan, bahkan saat tidur. Reno selalu berbicara dengan Bobo, berbagi rahasia, dan seolah-olah, Bobo selalu mendengarkan. Reno bahkan seringkali menceritakan kembali percakapannya dengan Bobo kepada orang tuanya.

"Bobo bilang, sup Ibu enak sekali!" ucap Reno di meja makan, membuat Ibu Santi tersipu.

"Bobo tidak suka kalau Ayah main game terus!" keluh Reno suatu malam, membuat Ayah Rahmat tertawa geli.

Awalnya, Ayah Rahmat, yang lebih realistis dan cenderung skeptis, menganggapnya sebagai hal yang menggemaskan. "Anak ini kreatif sekali ya, Bu. Mungkin bakat jadi penulis."

Ibu Santi, yang lebih peka terhadap hal-hal yang tidak terlihat, kadang merasa sedikit aneh. Namun, dia selalu menepisnya dengan berpikir positif. Ini hanya anak-anak. Semua anak-anak punya teman khayalan, bukan? Ini adalah bagian dari perkembangan mereka.

Keanehan yang pertama kali dirasakan Ibu Santi adalah bagaimana Reno selalu menyebutkan bahwa hanya dia yang bisa melihat dan mendengar Bobo. "Bobo di sana, Bu!" kata Reno suatu kali, menunjuk ke sebuah kursi kosong. "Kenapa Ibu tidak melihat Bobo?" Ibu Santi hanya tersenyum dan berkata, "Bobo itu teman spesial Reno, jadi hanya Reno yang bisa melihatnya."

Ada satu kejadian kecil yang mulai menaburkan benih keraguan. Suatu pagi, Ibu Santi sedang mencari kunci motornya yang hilang. Ia sudah mencari di seluruh rumah, tapi tidak menemukannya. Reno, yang sedang bermain dengan Bobo di ruang tengah, tiba-tiba berkata, "Bobo bilang, kuncinya di bawah bantal Ayah, Bu!" Ibu Santi awalnya mengabaikannya, namun karena putus asa, ia mencoba memeriksa bantal Ayah Rahmat. Dan benar saja, di bawah bantal itu, kunci motornya tergeletak.

"Wah, Bobo hebat sekali!" puji Ibu Santi, terkejut. "Kok Bobo tahu?"

Reno hanya mengangkat bahu kecilnya, "Bobo tahu segalanya, Bu."

Kejadian itu membuat Ibu Santi sedikit merenung. Kebetulan? Tapi itu adalah kebetulan yang sangat tepat.

Seiring berjalannya waktu, kehadiran Bobo menjadi semakin nyata bagi Reno. Bukan hanya sekadar teman khayalan, tapi hampir seperti anggota keluarga yang tak terlihat. Reno bahkan mulai menempatkan boneka badut kayu itu di samping tempat tidurnya setiap malam, dan berbicara dengannya sebelum tidur. Ibunya sering mendengar Reno berbisik-bisik dari kamarnya, meskipun ia tidak bisa menangkap apa yang dikatakan Reno.

Ayah Rahmat, di sisi lain, mulai merasa sedikit terganggu. Ia melihat Reno lebih banyak menghabiskan waktu dengan Bobo daripada dengan dirinya atau istrinya. Reno seringkali menolak ajakan untuk bermain sepak bola di taman karena "Bobo mau main di rumah". Pernah suatu kali, Ayah Rahmat mencoba mendekati Reno dan boneka itu.

"Hai, Bobo," sapa Ayah Rahmat, pura-pura bicara pada boneka itu. "Apa kabar?"

Reno tiba-tiba menarik boneka itu menjauh dari jangkauan Ayah Rahmat. Wajahnya cemberut. "Bobo tidak suka Ayah."

"Lho, kenapa?" tanya Ayah Rahmat, sedikit tersinggung.

"Bobo bilang Ayah nakal," jawab Reno polos, membuat Ayah Rahmat terdiam. Ia tidak tahu bagaimana menanggapi hal itu.

Meskipun Ayah Rahmat merasa ada yang tidak beres, ia tetap mencoba rasional. Anak-anak memang kadang-kadang mengatakan hal aneh. Ini hanya fase.

Namun, di dalam lubuk hati Ibu Santi, ada perasaan tidak nyaman yang terus tumbuh. Ia memperhatikan bagaimana boneka badut kayu itu, meskipun tak pernah bergerak, selalu berada di tempat yang paling dekat dengan Reno. Wajah yang dicat putih pucat dengan senyum lebar itu, awalnya terlihat lucu, kini kadang terasa seperti menatap dengan tatapan kosong yang menusuk. Mata hitam pekatnya seolah menyembunyikan sesuatu.

Suatu malam, Ibu Santi terbangun karena mendengar suara bisikan dari kamar Reno. Ia menyelinap ke pintu kamar putranya dan mengintip dari celah yang sedikit terbuka. Reno sedang berbaring di tempat tidurnya, berbicara pelan ke arah boneka Bobo yang diletakkan di bantal di sampingnya.

"Aku takut, Bobo," bisik Reno. "Mereka tidak akan percaya."

Ibu Santi mengerutkan kening. Percaya apa?

"Tidak apa-apa, Reno," suara Reno sendiri, tapi dengan nada yang aneh, seolah meniru suara orang lain yang lebih dalam dan serak, terdengar dari dalam kamar. "Mereka akan tahu, sebentar lagi. Jam delapan."

Ibu Santi terdiam, merinding. Jam delapan? Apa maksudnya? Ia ingin masuk dan bertanya pada Reno, tapi sesuatu menahannya. Ada firasat aneh yang membuat jantungnya berdebar kencang. Ia mundur perlahan dari pintu kamar Reno, kembali ke kamarnya dengan perasaan gelisah. Ia tahu ini bukan lagi sekadar imajinasi anak-anak. Ada sesuatu yang lain, sesuatu yang tak terlihat, yang mulai bersembunyi di balik senyum lebar boneka badut kayu bernama Bobo itu. Dan firasatnya mengatakan, sesuatu yang buruk akan segera terjadi, tepat pada jam yang disebutkan oleh Reno: jam delapan.

Bab 3: Pukul 20.00

Perasaan gelisah yang menyelimuti Ibu Santi di malam sebelumnya tidak juga surut. Bisikan Reno tentang "jam delapan" dan nada suara yang aneh itu terus terngiang di benaknya. Pagi itu, ia bangun dengan kepala terasa berat, seperti ada awan hitam yang menggantung di atasnya. Ayah Rahmat, seperti biasa, berangkat kerja pagi-pagi sekali. Reno, di sisi lain, tampak seperti biasa, bermain dengan Bobo di ruang tamu, sesekali berbicara pelan dengan boneka badut kayu itu.

Ibu Santi mencoba mengalihkan pikirannya dengan rutinitas harian. Ia membersihkan rumah, memasak, dan sesekali melirik Reno, mencari tanda-tanda keanehan. Namun, Reno tampak polos dan riang. Bobo diletakkan di sofa, seolah-olah boneka itu benar-benar mengawasi setiap gerak-gerik Reno.

Siang harinya, ketika Reno sedang makan siang, ia tiba-tiba meletakkan sendoknya. Matanya yang bulat menatap lurus ke arah ibunya. "Bu," katanya, suaranya pelan dan serius, tidak seperti anak usia lima tahun pada umumnya. "Om Gito akan mati jam delapan."

Jantung Ibu Santi berdebar kencang. Ia nyaris menjatuhkan piring yang sedang dipegangnya. "Reno, jangan bicara begitu, Nak!" tegurnya, mencoba menyembunyikan keterkejutannya. Om Gito adalah tetangga mereka, pria paruh baya yang baik hati dan sangat menyukai Reno. Beliau sering memberikan permen atau mainan kecil saat bertemu Reno.

"Tapi Bobo yang bilang," Reno bersikeras, tatapannya tidak goyah. "Jam delapan nanti. Bobo tahu."

Ibu Santi mencoba menertawakan hal itu, meskipun suaranya terdengar tegang. "Bobo itu kan hanya mainan, Nak. Tidak mungkin Bobo tahu hal seperti itu." Ia mencoba mengalihkan pembicaraan, bertanya tentang makanan Reno, atau tentang mainan barunya. Namun, bayangan "Om Gito akan mati jam delapan" terus berputar di kepalanya.

Sepanjang sore, Ibu Santi merasa tidak tenang. Ia beberapa kali melirik jam dinding, detiknya seolah berjalan lebih cepat. Pukul tiga sore, pukul empat, pukul lima… setiap detik yang berlalu terasa membawa mereka semakin dekat ke jam yang mengerikan itu. Ia bahkan sempat berpikir untuk menelepon Om Gito, sekadar untuk memastikan beliau baik-baik saja. Namun, ia merasa bodoh jika melakukan itu. Apa yang harus ia katakan? "Putra saya yang berumur lima tahun bilang Anda akan mati jam delapan karena boneka badutnya mengatakan demikian?" Tentu saja tidak.

Ketika Ayah Rahmat pulang kerja pukul enam sore, Ibu Santi langsung menghampirinya. "Mas, Reno bilang hal yang aneh sekali tadi."

Ayah Rahmat, yang baru saja melepas sepatu, mengerutkan kening. "Aneh bagaimana?"

"Dia bilang Om Gito akan mati jam delapan malam ini," bisik Ibu Santi, matanya dipenuhi kekhawatiran. "Dia bilang Bobo yang memberitahunya."

Ayah Rahmat tertawa kecil, meskipun ada sedikit nada tegang dalam tawanya. "Oh, itu. Reno memang sedang imajinatif sekali akhir-akhir ini. Mungkin dia baru menonton film horor anak-anak?" Ia mencoba meremehkan masalah itu, tapi ia melihat kekhawatiran di mata istrinya. "Sudahlah, Bu. Jangan terlalu dipikirkan. Anak-anak memang suka mengarang cerita."

Namun, di dalam hatinya, Ayah Rahmat juga merasakan sedikit kegelisahan. Kata-kata Reno terdengar terlalu spesifik, terlalu yakin untuk sekadar karangan belaka. Ditambah lagi, kejadian kunci motor yang hilang beberapa waktu lalu masih terngiang di benaknya.

Malam itu, makan malam terasa canggung. Reno duduk diam, sesekali melirik boneka Bobo yang diletakkan di kursi kosong di sampingnya. Ia tidak lagi berbicara tentang Om Gito, namun keheningannya justru membuat suasana semakin mencekam. Jam dinding terus berdetak, mengikis waktu menuju angka delapan.

Pukul setengah delapan malam, Ayah Rahmat memutuskan untuk mengalihkan perhatian. "Reno, mau Ayah bacakan cerita sebelum tidur?"

Reno menggeleng. "Bobo mau dengar Ayah baca cerita tentang hantu."

Ayah Rahmat dan Ibu Santi saling berpandangan. Reno tidak pernah meminta cerita hantu sebelumnya.

Waktu terus berlalu, setiap menit terasa seperti jam. Jarum jam terus bergerak, mendekati angka delapan. Pukul 19.50. Pukul 19.55. Jantung Ibu Santi berdebar tak karuan. Ia tidak tahu apa yang ia harapkan, atau apa yang ia takutkan. Apakah ini hanya kebetulan? Apakah Reno hanya membuat cerita?

Ketika jarum panjang tepat menunjuk angka dua belas dan jarum pendek menunjuk angka delapan—Pukul 20.00.

Sebuah dentuman keras tiba-tiba terdengar dari luar rumah, diikuti oleh suara decitan ban yang nyaring dan teriakan orang-orang. Suara itu begitu dekat, begitu jelas, sampai membuat mereka terlonjak kaget. Ayah Rahmat segera bangkit, wajahnya pucat. "Suara apa itu?"

Ibu Santi sudah berdiri di ambang pintu, matanya melebar karena ngeri. "Om Gito..." bisiknya, entah kepada siapa.

Mereka berdua bergegas keluar rumah, diikuti oleh Reno yang tampak tenang, bahkan seolah-olah tidak terpengaruh oleh keributan itu. Di jalan, beberapa tetangga sudah berkumpul. Suara isak tangis dan teriakan panik memenuhi udara. Di tengah kerumunan, tergeletak sosok tak bergerak di aspal, tepat di depan rumah mereka. Tubuhnya tergilas oleh sebuah mobil van yang kini berhenti melintang di tengah jalan, lampu depannya masih menyala terang.

Itu Om Gito. Beliau meninggal seketika, tertabrak saat sedang jogging malam seperti biasa. Ayah Rahmat terpaku, matanya menatap tak percaya pada tubuh tetangganya yang kini terbungkus kain. Ibu Santi memeluk Reno erat, tubuhnya gemetar. Pikirannya kalut. Ini... ini tidak mungkin kebetulan.

Ayah Rahmat kemudian berbalik, menatap Reno. Mata putranya yang polos kini tampak aneh. Di sampingnya, boneka Bobo tergeletak di teras, wajahnya yang dicat putih pucat dengan senyum lebar seolah menyeringai dalam kegelapan malam.

"Om Gito," bisik Reno pelan, seolah sedang melaporkan fakta, "mati jam delapan."

Kalimat itu, diucapkan dengan begitu tenang di tengah kekacauan, membuat Ayah Rahmat merinding hingga ke tulang. Ia menatap boneka itu, lalu kembali ke Reno. Ketidaknyamanan yang semula ia rasakan kini berubah menjadi kecurigaan yang mendalam. Ini bukan lagi sekadar imajinasi. Ada sesuatu yang sangat, sangat salah di sini.

Malam itu, setelah polisi dan ambulans pergi, rumah mereka terasa dingin dan kosong. Reno sudah tidur, memeluk Bobo erat-erat. Ayah Rahmat dan Ibu Santi duduk di ruang tamu, dalam keheningan yang mencekam.

"Mas," bisik Ibu Santi, suaranya parau karena menangis. "Ini bukan kebetulan, kan? Reno... Reno tahu."

Ayah Rahmat menghela napas berat, mengusap wajahnya. "Aku... aku tidak tahu, Bu. Tapi ini sangat mengganggu." Ia menatap boneka Bobo yang kini tergeletak di samping tempat tidur Reno. Wajah badut itu, dengan senyum lebarnya, kini tampak mengerikan di bawah cahaya lampu tidur. Ia tahu, ada sesuatu yang jahat di dalam boneka itu. Dan sesuatu itu, entah bagaimana, telah berbicara melalui putra mereka. Mereka baru saja menyaksikan kengerian pertama yang dibisikkan oleh Bobo.

Bab 4: Bisikan Kedua

Ketegangan di rumah keluarga Reno tidak luntur setelah tragedi Om Gito. Suasana yang semula hangat kini diselimuti oleh kecemasan yang dingin. Ibu Santi dan Ayah Rahmat bergerak dengan hati-hati, seolah-olah setiap langkah bisa memicu sesuatu yang tak terduga. Mereka berusaha keras untuk tampil normal di depan Reno, namun tatapan mereka selalu berakhir pada boneka badut kayu bernama Bobo yang selalu berada di sisi putra mereka. Wajah boneka itu, dengan senyum lebar dan mata hitam pekat, seolah mengolok-olok ketakutan mereka.

Beberapa hari berlalu dengan ketenangan yang semu. Polisi telah menyelidiki kecelakaan Om Gito dan menyimpulkan bahwa itu adalah murni kecelakaan lalu lintas. Tidak ada yang mencurigakan, tidak ada yang mengaitkan kematian itu dengan bisikan aneh seorang anak berusia lima tahun. Namun, bagi Ibu Santi dan Ayah Rahmat, fakta di lapangan tidak bisa menghapus kengerian yang mereka alami. Mereka tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan.

Ayah Rahmat, yang selama ini dikenal sebagai pria logis dan realistis, mulai menunjukkan tanda-tanda kegelisahan yang nyata. Ia menghabiskan lebih banyak waktu di rumah, seringkali terlihat melamun atau menatap kosong ke arah Reno yang asyik bermain. Ia bahkan sempat mencari informasi di internet tentang boneka-boneka berhantu atau fenomena teman imajiner yang ekstrem, namun tidak menemukan apa pun yang bisa menjelaskan kejadian yang mereka alami.

"Kita harus melakukan sesuatu, Mas," kata Ibu Santi suatu malam, suaranya berbisik agar Reno tidak mendengar. Reno sudah tidur, memeluk Bobo erat di tempat tidurnya.

Ayah Rahmat menghela napas. "Melakukan apa, Bu? Membuang boneka itu? Reno pasti akan mengamuk. Lagipula, jika ini memang ada hubungannya dengan boneka itu, apa jaminannya bahwa setelah dibuang, masalahnya akan selesai?" Ia masih mencoba mencari celah logika, namun bayangan Om Gito yang tergeletak di jalan terus menghantuinya.

"Aku tidak tahu, Mas. Tapi ini tidak benar. Reno tidak pernah seperti ini. Dia terlihat... berbeda," Ibu Santi menunjuk ke arah kamar Reno. "Matanya kadang kosong. Dan dia bicara sendiri terus dengan boneka itu. Seperti ada orang lain yang berbicara melalui dia."

Malam itu, mereka berdua tak bisa tidur nyenyak. Kekhawatiran akan "jam dua puluh" terus membayangi.

Keesokan harinya, kecemasan mereka kembali memuncak. Saat sarapan, Reno tiba-tiba menatap Ibu Santi, matanya entah kenapa terlihat lebih gelap dari biasanya. "Bu," katanya, suaranya tenang, nyaris seperti bisikan yang keluar dari balik pintu yang tertutup. "Tante Mira besok mati jam delapan."

Sendok di tangan Ibu Santi jatuh, menghasilkan dentingan keras di atas piring. Tante Mira adalah sahabat karib Ibu Santi sejak SMA, wanita periang yang baru saja berencana berlibur ke luar kota. Pikiran Ibu Santi langsung kacau. Om Gito. Lalu sekarang Tante Mira. Ini... ini bukan main-main.

"Reno!" seru Ayah Rahmat, kali ini dengan nada yang lebih tegas. "Jangan bicara sembarangan! Tante Mira baik-baik saja!"

Reno tidak terpengaruh. Ia hanya menatap Ayah Rahmat dengan tatapan dingin, seolah tatapan itu bukan milik anak berusia lima tahun. "Bobo bilang begitu. Bobo tidak pernah bohong."

Ibu Santi langsung berdiri, mendekati Reno, dan memegang bahunya. "Reno, dengarkan Ibu. Boneka itu hanya mainan. Jangan bicara hal-hal seperti itu lagi, ya. Itu tidak baik."

Namun, Reno hanya menarik diri dari genggaman ibunya, kembali menatap boneka Bobo yang diletakkan di kursi di sampingnya. Ia kemudian melanjutkan makan, seolah-olah tidak ada yang aneh dengan pernyataannya barusan.

Ketegangan di rumah itu terasa mencekik. Ibu Santi segera mengirim pesan kepada Tante Mira, mengajaknya makan siang, sekadar untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Tante Mira membalas dengan ceria, mengatakan bahwa ia sedang dalam perjalanan menuju Bandung untuk liburan singkat bersama teman-temannya. Ia berjanji akan menelepon nanti malam.

Selama hari itu, Ibu Santi terus memantau jam. Setiap detik yang berdetak di jam dinding adalah siksaan. Ia mencoba menelepon Tante Mira beberapa kali, namun tidak ada jawaban. Reno bermain dengan Bobo seperti biasa, sesekali tertawa atau berbicara pelan, semakin menambah kegilaan dalam diri Ibu Santi.

Ayah Rahmat pun tak bisa berkonsentrasi di kantor. Pikirannya terus melayang pada ucapan Reno. Akhirnya, ia memutuskan untuk pulang lebih cepat. Ia menemukan Ibu Santi mondar-mandir di ruang tamu, wajahnya pucat pasi.

"Reno bilang Tante Mira akan mati besok, jam delapan," kata Ibu Santi, suaranya nyaris berbisik. "Ini tidak bisa dibiarkan, Mas. Boneka itu... itu bukan mainan biasa."

Ayah Rahmat mengangguk pelan. Ia tidak bisa lagi menyangkalnya. Dua kali. Dua prediksi yang mengerikan. Ia melihat Reno sedang duduk di karpet, bermain dengan boneka Bobo. Ada sesuatu yang sangat aneh pada anak itu. Perilaku Reno yang semakin pendiam, tatapannya yang kadang kosong, dan yang paling mengganggu, ketenangan yang mengerikan saat mengucapkan ramalan kematian.

"Aku akan mencoba bicara dengannya," kata Ayah Rahmat, mendekati Reno.

"Reno," panggil Ayah Rahmat lembut, mencoba meraih boneka Bobo dari tangan Reno. "Boleh Ayah lihat Bobo sebentar?"

Namun, Reno langsung menarik boneka itu ke belakang punggungnya. Matanya yang biasanya ceria kini tampak begitu dingin, penuh kewaspadaan. "Bobo tidak mau. Ayah mau Bobo pergi."

"Tidak, Nak. Ayah hanya ingin melihatnya sebentar," bujuk Ayah Rahmat, mencoba untuk tetap tenang.

"Tidak!" teriak Reno, suaranya tiba-tiba meninggi. "Bobo bilang, jangan sentuh dia!"

Suara Reno yang tiba-tiba melengking dan tatapannya yang keras membuat Ayah Rahmat terkesiap. Ia tidak pernah melihat Reno semarah ini. Ada kekuatan lain yang menahan boneka itu.

"Apa yang sebenarnya terjadi pada anak ini?" bisik Ayah Rahmat pada Ibu Santi, setelah Reno kembali asyik bermain dengan Bobo, seolah tidak terjadi apa-apa.

Malam itu, mereka berdua tidur dengan gelisah. Ibu Santi sesekali memeriksa ponselnya, berharap ada kabar dari Tante Mira. Namun, tidak ada. Alarm ponselnya disetel untuk berbunyi pukul 07.30 pagi, hanya untuk memastikan ia tidak melewatkan pukul delapan.

Pagi harinya, jam menunjukkan pukul 07.50. Ibu Santi sudah menelepon Tante Mira berulang kali, tapi hanya nada sambung yang terdengar. Jantungnya berpacu kencang. Ayah Rahmat sudah terbangun, duduk di tepi tempat tidur, tatapannya terpaku pada jam dinding. Mereka berdua sama-sama menunggu, dengan perasaan yang campur aduk antara takut dan tidak percaya.

Pukul 08.00 pagi tepat.

Ponsel Ibu Santi tiba-tiba bergetar di nakas. Bukan dari Tante Mira, melainkan dari nomor tidak dikenal. Dengan tangan gemetar, Ibu Santi mengangkatnya. Suara di seberang sana adalah suara polisi. Mereka mengabarkan bahwa Tante Mira ditemukan tewas tergantung di kamar hotelnya di Bandung pagi itu. Diduga bunuh diri.

Ponsel Ibu Santi jatuh dari genggamannya, menghantam lantai dengan bunyi nyaring. Air mata mengalir deras dari matanya. Ini bukan kebetulan. Ini tidak mungkin kebetulan.

Ayah Rahmat segera memeluk istrinya yang terguncang. Ia menatap ke arah kamar Reno, di mana Reno masih tidur nyenyak, memeluk Bobo di sampingnya. Sebuah perasaan dingin, pahit, dan mengerikan menjalar di seluruh tubuh Ayah Rahmat. Ia mulai curiga, bukan hanya pada boneka itu, tetapi juga pada putranya sendiri. Reno telah berubah. Dan boneka badut dengan senyum menakutkan itu adalah pusat dari semua kengerian ini. Ayah Rahmat tahu, ini baru permulaan.

Bab 5: Larangan Membuka Laci

Kematian Tante Mira menjadi titik balik yang mengikis sisa-sisa rasionalitas dalam diri Ayah Rahmat. Ia tidak lagi bisa menganggap semua ini sebagai kebetulan atau imajinasi anak-anak. Ada kekuatan gelap yang bekerja, dan boneka badut bernama Bobo, bersama dengan perilaku aneh Reno, adalah intinya. Pagi itu, setelah menerima kabar duka, Ayah Rahmat meminta izin tidak masuk kerja. Ibu Santi hanya bisa menangis dalam diam, tubuhnya masih terguncang oleh kenyataan pahit.

Reno, seolah tak terpengaruh, terlihat asyik bermain di ruang tamu. Ia duduk bersila di karpet, menggerakkan Bobo seolah boneka itu sedang menari. Senyum di wajah boneka kayu itu kini tampak mengejek, seolah tahu semua rahasia yang tersembunyi. Ayah Rahmat menatap putranya, lalu pada boneka itu. Ada rasa takut yang samar, bercampur dengan kemarahan yang mendalam. Ia harus melakukan sesuatu.

Malam harinya, setelah Reno tertidur, Ayah Rahmat duduk di tepi ranjangnya, menatap boneka Bobo yang diletakkan di samping kepala Reno. Sebuah ide, atau lebih tepatnya dorongan impulsif, melintas di benaknya. Ia harus menyingkirkan boneka itu. Segera.

"Mas, mau apa?" bisik Ibu Santi, melihat Ayah Rahmat bergerak gelisah.

"Aku akan membuang boneka itu," jawab Ayah Rahmat, suaranya mantap. "Aku tidak tahan lagi. Boneka itu membawa malapetaka."

Ibu Santi, meskipun ketakutan, tidak lagi membantah. Ia juga lelah dengan teror yang tak kasat mata ini. "Tapi Reno... dia tidak akan suka."

"Biarkan saja," kata Ayah Rahmat. "Kesehatan mental Reno lebih penting daripada boneka sialan itu."

Dengan hati-hati, Ayah Rahmat mencoba meraih boneka Bobo dari samping Reno. Namun, saat tangannya menyentuh kain baju boneka itu, Reno tiba-tiba menggeliat dalam tidurnya. Matanya sedikit terbuka, menatap Ayah Rahmat dengan tatapan mengantuk.

"Jangan ambil Bobo, Ayah," gumam Reno, suaranya serak karena tidur. "Bobo mau tidur sama Reno." Ia kemudian memeluk boneka itu erat-erat dan kembali terlelap.

Ayah Rahmat terdiam. Rasanya seperti ada sesuatu yang melindunginya. Ia menarik tangannya, frustrasi. Ia tidak bisa mengambil boneka itu secara paksa saat Reno sedang tidur. Itu akan membangunkan anak itu dan mungkin menimbulkan keributan.

Keesokan paginya, Ayah Rahmat bangun dengan tekad baru. Ia harus menemukan cara untuk memisahkan Reno dari boneka itu. Setelah sarapan, ketika Reno sedang menonton kartun di ruang tengah, Ayah Rahmat berjongkok di depannya.

"Reno," panggilnya lembut. "Bagaimana kalau Bobo istirahat dulu? Bobo kan sudah menemani Reno terus."

Reno menatapnya curiga. "Bobo tidak capek, Ayah."

"Tapi Ayah mau pinjam Bobo sebentar, ya," bujuk Ayah Rahmat, mencoba mengulurkan tangan.

Reno langsung menggeleng kuat. "Tidak boleh! Bobo tidak suka Ayah." Ia kemudian berdiri, mengambil boneka Bobo, dan berjalan menuju kamarnya. Ayah Rahmat mengikutinya dengan cemas.

Reno masuk ke kamarnya dan langsung menuju laci kayu kecil di samping meja belajarnya. Laci itu biasanya digunakan untuk menyimpan buku-buku cerita. Dengan gerakan yang lebih cekatan dari yang Ayah Rahmat perkirakan, Reno membuka laci itu, meletakkan Bobo di dalamnya, dan menguncinya dengan gembok kecil yang entah dari mana ia dapatkan.

"Jangan buka," kata Reno, menatap Ayah Rahmat dengan tatapan serius. "Bobo tidak suka kalau Ayah nakal." Kata-kata "Ayah nakal" terasa seperti tuduhan langsung, mengingatkan Ayah Rahmat pada ucapan Reno saat kematian Om Gito.

Ayah Rahmat terdiam, terkejut dengan tindakan Reno. Kapan Reno mendapatkan gembok itu? Dan mengapa ia menyembunyikan boneka itu di laci terkunci? Reno kemudian kembali ke ruang tengah, seolah tidak terjadi apa-apa.

Sepanjang hari itu, Ayah Rahmat merasa gelisah. Pikiran untuk membuka laci itu terus mengusiknya. Ia harus melihat Bobo. Ia harus memastikan boneka itu tidak melakukan hal aneh lagi. Ia ingin tahu, apa yang Reno maksud dengan "Bobo tidak suka kalau Ayah nakal."

Saat malam tiba, dan Reno sudah tertidur pulas, Ayah Rahmat dan Ibu Santi duduk di ruang tamu, berbicara dengan suara pelan.

"Dia menyembunyikannya di laci terkunci, Bu," bisik Ayah Rahmat. "Aku harus melihatnya."

Ibu Santi tampak ragu. "Tapi Reno melarangnya, Mas. Bagaimana kalau itu memperburuk keadaan?"

"Aku tidak peduli," kata Ayah Rahmat, tekadnya bulat. "Aku harus tahu apa yang ada di balik boneka itu. Jika itu adalah benda terkutuk, aku harus membuangnya. Kita tidak bisa hidup seperti ini, Bu. Terus-menerus menunggu ramalan kematian berikutnya."

Dengan perasaan campur aduk antara ketakutan dan tekad, Ayah Rahmat bangkit. Ia mencari kunci gembok itu di kamar Reno, tapi tidak menemukannya. Akhirnya, ia pergi ke dapur, mengambil obeng dan tang. Ia akan membongkar gembok itu jika perlu.

Ayah Rahmat melangkah pelan ke kamar Reno. Lampu tidur redup menyinari ruangan, menampilkan bayangan-bayangan aneh di dinding. Reno tidur nyenyak, bernapas teratur. Ayah Rahmat mendekati meja belajar Reno dan laci terkunci itu. Tangannya gemetar saat ia mulai mencoba membuka gembok. Gembok itu terlihat rapuh. Dengan sedikit paksaan menggunakan obeng, gembok itu terlepas.

Perlahan, Ayah Rahmat menarik laci kayu itu hingga terbuka. Di dalamnya, tergeletak boneka badut kayu bernama Bobo. Ayah Rahmat meraihnya. Saat tangannya menyentuh boneka itu, ia merasakan sensasi dingin yang menusuk, seolah memegang bongkahan es. Ia mengeluarkan boneka itu dari laci, membawanya ke bawah cahaya lampu tidur yang lebih terang.

Saat itulah, Ayah Rahmat terkesiap. Ia nyaris menjatuhkan boneka itu.

Wajah boneka Bobo telah berubah. Senyum lebarnya kini terasa lebih menyeramkan, lebih seperti seringai yang menyeringai jahat. Yang paling mengganggu, di salah satu mata boneka itu, kini terlihat retakan halus yang memanjang, seolah-olah mata itu telah pecah dari dalam. Retakan itu membuat mata hitam pekat boneka itu tampak lebih menakutkan, seperti tatapan yang rusak namun penuh kebencian. Warna cat putih di wajahnya pun terasa lebih kusam, seolah menyerap aura gelap.

Ayah Rahmat menatap boneka itu, jantungnya berdebar kencang. Ini bukan sekadar mainan biasa. Ini adalah sesuatu yang hidup, sesuatu yang berevolusi. Rasanya seperti boneka itu sedang mengawasinya, menghakiminya karena melanggar larangan Reno.

Tiba-tiba, tanpa peringatan, lampu kamar tidur Reno mati seketika.

Kegelapan total langsung menyelimuti ruangan. Ayah Rahmat terkesiap, terkejut. Ia menjatuhkan boneka itu ke lantai. Suara benturan kayu terdengar nyaring dalam keheningan. Ia mencoba meraba-raba sakelar lampu, tapi tidak ada gunanya. Seluruh rumah tiba-tiba menjadi gelap gulita. Ibu Santi, yang menunggu di ruang tamu, berteriak kaget.

"Mas! Ada apa?!" seru Ibu Santi dari ruang tamu.

Ayah Rahmat tidak menjawab. Ia hanya bisa merasakan napasnya sendiri yang memburu di tengah kegelapan. Ia mencoba menyalakan senter ponselnya, tapi ponselnya juga mati. Rasanya seperti ada tangan tak terlihat yang memegang erat seluruh bagian rumah, memadamkan semua cahaya.

Di tengah kegelapan yang pekat, sebuah bisikan pelan, dingin, dan mengerikan terdengar. Bukan dari Reno, bukan dari Ibu Santi, tapi dari sudut kamar, entah dari mana asalnya. Suara itu terdengar seperti suara anak kecil, tapi diisi dengan nada yang sangat tua dan jahat.

"Ayah tidak boleh nakal..."

Ayah Rahmat gemetar. Ia tahu, suara itu berasal dari Bobo. Boneka itu telah merespons. Dan ia telah melanggar larangan. Di tengah kegelapan yang mencekam, ia merasakan aura jahat yang kuat. Ia tahu, perbuatannya telah memicu sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan.

Bab 6: Surat Wasiat Bobo

Kegelapan yang tiba-tiba menyelimuti rumah itu terasa mencekik. Ayah Rahmat masih di kamar Reno, terhuyung-huyung dalam kegelapan, jantungnya berpacu liar. Suara bisikan yang berasal dari boneka Bobo — atau entah dari mana — masih terngiang di telinganya: "Ayah tidak boleh nakal..." Firasat buruk merayap, menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Mas! Ada apa?!" Suara panik Ibu Santi terdengar dari ruang tamu.

Ayah Rahmat berusaha bangkit, meraba-raba dalam gelap mencari sakelar lampu. Nihil. Seluruh rumah padam total. Ia harus segera keluar dari kamar ini. Ia berhasil merangkak keluar dari kamar Reno, menabrak beberapa perabot dalam kegelapan. Udara terasa berat, pengap.

"Bu! Bu Santi!" panggil Ayah Rahmat, suaranya tercekat.

Ia mendengar langkah kaki Ibu Santi yang tergesa-gesa mendekat. "Mas! Apa yang terjadi? Lampu mati semua!" Suara Ibu Santi terdengar gemetar.

"Aku... aku tidak tahu," jawab Ayah Rahmat, mencoba mengatur napas. "Saat aku membuka laci itu, lampu langsung mati."

Tiba-tiba, dari kegelapan, terdengar suara Reno. "Bobo bilang, Ayah nakal. Ayah tidak boleh buka laci Bobo." Suara Reno terdengar begitu tenang, begitu datar, membuat Ayah Rahmat merinding. Rasanya seperti bukan Reno yang berbicara.

Mereka berdua mencoba mencari senter, namun semua benda elektronik mereka, termasuk ponsel, mati total. Gelap gulita menguasai rumah mereka. Malam itu terasa sangat panjang. Mereka duduk di ruang tamu, berpelukan erat, terlalu takut untuk tidur. Reno, entah bagaimana, tetap tidur nyenyak di kamarnya, seolah kegelapan dan teror yang menyelimuti rumah itu tidak memengaruhinya sama sekali.

Pagi harinya, listrik kembali menyala. Cahaya matahari masuk dari jendela, membawa sedikit kelegaan, namun suasana di rumah tetap suram. Ibu Santi terlihat sangat pucat, kantung mata hitam jelas terlihat di bawah matanya. Ayah Rahmat juga tampak kacau, rambutnya berantakan, dan matanya merah karena kurang tidur.

Mereka berdua berjalan menuju kamar Reno. Boneka Bobo tergeletak di lantai, tepat di samping tempat tidur Reno, di mana Ayah Rahmat menjatuhkannya tadi malam. Wajahnya yang retak di bagian mata terlihat semakin menyeramkan di bawah cahaya pagi. Reno masih tidur nyenyak, memeluk bantalnya.

Ayah Rahmat mendekati boneka itu, menatapnya dengan jijik dan takut. "Aku harus membuang boneka ini," katanya, suaranya penuh tekad. "Aku tidak peduli lagi Reno akan marah atau tidak. Ini sudah keterlaluan."

"Tapi bagaimana kalau itu tidak menyelesaikan masalah, Mas?" tanya Ibu Santi. "Boneka itu sepertinya punya kekuatan sendiri."

"Kita tidak akan tahu jika tidak mencoba," jawab Ayah Rahmat. Ia bertekad untuk membawa boneka itu pergi, jauh dari rumah ini, dan menghancurkannya.

Setelah Reno bangun, Ayah Rahmat mencoba menjelaskan dengan hati-hati bahwa Bobo akan pergi. Reno hanya menatapnya dengan tatapan kosong, lalu kembali bermain dengan mainan lainnya. Tidak ada kemarahan, tidak ada protes. Keheningan Reno justru lebih mengerikan daripada kemarahannya.

Ibu Santi, yang merasa tidak enak, mencoba menyiapkan sarapan untuk Reno. Ia bergerak perlahan di dapur, pikirannya masih kacau. Saat ia hendak mengambil piring dari rak, ia melihat sesuatu di atas meja makan.

Sebuah catatan kecil, ditulis di atas kertas resep dapur, tergeletak begitu saja. Tulisan tangan itu rapi, seperti tulisan orang dewasa, bukan coretan anak berusia lima tahun. Ibu Santi mengambilnya, jantungnya berdebar kencang. Ia mengenali tulisan itu. Itu adalah tulisan tangan Reno. Tapi bagaimana mungkin Reno menulis serapi ini?

Ia membaca tulisan itu. Dua kata yang jelas, ditulis dengan tinta hitam:

Ibu akan mati dalam tidur.

Napas Ibu Santi tercekat. Ia menatap tulisan itu, lalu pada Reno yang asyik bermain di ruang tamu, dan kemudian pada boneka Bobo yang tergeletak di lantai kamar Reno. Keringat dingin membasahi punggungnya. Ini bukan lagi sekadar ramalan lisan. Ini adalah pesan, sebuah ancaman yang tertulis.

"Mas!" seru Ibu Santi, suaranya bergetar hebat. Ia berjalan cepat menuju Ayah Rahmat, tangannya gemetar menunjukkan catatan itu.

Ayah Rahmat mengambil catatan itu, matanya membelalak membaca tulisan di atasnya. Wajahnya yang semula tampak lelah kini berubah menjadi pucat pasi. "Tidak... ini tidak mungkin," gumamnya. "Reno tidak bisa menulis seperti ini."

"Tapi itu tulisan Reno, Mas!" Ibu Santi menangis. "Aku tahu tulisan Reno! Dan ini... ini adalah peringatan."

Mereka berdua saling berpandangan, ketakutan yang mencekik menguasai mereka. Ancaman ini terasa sangat pribadi, sangat dekat. Bagaimana mungkin Reno bisa menulis ini? Atau... apakah Bobo yang menulisnya, menggunakan tangan Reno?

Ibu Santi mencoba untuk tidak tidur malam itu. Ia merasa takut, sangat takut. Ia mencoba membuat dirinya tetap terjaga, meminum kopi, menonton televisi, apa saja yang bisa membuatnya tetap terjaga. Ayah Rahmat duduk di sampingnya, juga berusaha untuk tidak tertidur.

Namun, kelelahan setelah beberapa malam tidak tidur akhirnya menguasai Ibu Santi. Sekitar pukul sebelas malam, ia mulai terhuyung-huyung. Ayah Rahmat mencoba mengajaknya bicara, mengguncang tubuhnya, tapi Ibu Santi sudah terlelap, kepalanya terkulai di bahu Ayah Rahmat.

Ayah Rahmat sendiri berusaha melawan kantuk yang teramat sangat. Matanya terasa pedih, kelopak matanya berat. Ia tahu ia harus tetap terjaga, untuk melindungi Ibu Santi. Tapi tubuhnya sudah lelah. Ia tak tahu berapa lama ia bertahan sebelum akhirnya ia juga terlelap, kepalanya bersandar pada punggung sofa.

Tengah malam, sebuah suara dentuman keras menggelegar di rumah itu. Ayah Rahmat terlonjak kaget. Ia membuka matanya yang berat, melihat ke arah sumber suara. Lampu di ruang tamu mati lagi, dan ia melihat kegelapan di bagian tangga.

"Bu?" panggil Ayah Rahmat, suaranya serak. Ia merasakan hawa dingin yang menusuk.

Tidak ada jawaban.

Ayah Rahmat bangkit dengan panik. Ia menyalakan senter ponselnya, yang entah bagaimana sekarang bisa menyala lagi. Ia menyusuri jejak suara itu. Jantungnya berdebar kencang saat ia melihatnya.

Di dasar tangga, tergeletak tubuh Ibu Santi, tak bergerak. Kepalanya terbentur keras pada anak tangga terakhir. Ada genangan darah yang mulai membasahi lantai.

"Bu! Ibu!" Ayah Rahmat berlutut di samping tubuh istrinya. Ia mencoba mengguncang tubuh Ibu Santi, mencari denyut nadi, tapi tidak ada. Tubuh Ibu Santi sudah dingin dan kaku.

Ibu Santi meninggal dalam tidur.

Tepat seperti yang tertulis di catatan.

Air mata Ayah Rahmat mengalir deras. Kemarahan, kesedihan, dan ketakutan yang tak terkira menguasai dirinya. Ia menoleh ke arah kamar Reno, yang pintunya sedikit terbuka. Di sana, di sudut kamar, ia melihat boneka Bobo. Wajahnya yang retak di mata, senyum lebarnya kini tampak lebih mengerikan dari sebelumnya, seolah sedang menatapnya dengan penuh kemenangan.

Ayah Rahmat tahu, ini adalah ulah boneka itu. Boneka itu telah merasuki Reno, dan sekarang, boneka itu telah membunuh istrinya. Sesuatu di dalam dirinya hancur. Ia tidak akan membiarkannya. Ia harus menghancurkan boneka terkutuk itu, apa pun yang terjadi. Bahkan jika itu berarti ia harus kehilangan akal sehatnya.

Bab 7: Malam Terakhir Ayah

Dunia Ayah Rahmat runtuh. Tubuh Ibu Santi yang tak bernyawa di dasar tangga adalah pemandangan yang akan menghantuinya selamanya. Rasa sakit, kemarahan, dan ketakutan bercampur aduk, membakar akal sehatnya. Ini bukan lagi kebetulan. Ini adalah ulah boneka terkutuk itu, yang telah mengambil istrinya, seperti yang telah merenggut nyawa Om Gito dan Tante Mira. Semua karena bisikan jahat dari boneka bernama Bobo.

Ia meraih ponselnya yang tiba-tiba berfungsi kembali, menelepon polisi, suaranya parau menjelaskan apa yang terjadi. Polisi dan paramedis datang tak lama kemudian. Ayah Rahmat menjelaskan bahwa Ibu Santi jatuh dari tangga, sebuah "kecelakaan" tragis. Ia tidak bisa menceritakan tentang boneka, tentang ramalan, tentang semua hal gila yang telah terjadi. Siapa yang akan percaya? Ia akan dianggap gila.

Setelah semua urusan selesai, dan tubuh Ibu Santi dibawa pergi, rumah terasa dingin dan kosong. Reno masih tidur pulas di kamarnya, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Ayah Rahmat menatap pintu kamar Reno, lalu beralih ke boneka Bobo yang tergeletak di lantai, tempat ia menjatuhkannya tadi malam. Retakan di mata boneka itu kini tampak lebih dalam, lebih gelap, seolah-olah boneka itu sedang tersenyum jahat.

Tekad Ayah Rahmat mengeras. Ia tidak bisa lagi hidup dengan boneka itu di bawah atap yang sama. Boneka itu telah mengambil segalanya darinya. Ia harus menghancurkannya. Sekarang juga.

Dengan langkah mantap, Ayah Rahmat berjalan ke kamar Reno. Ia mengambil Bobo dari lantai. Sensasi dingin yang menusuk kembali menjalar di tangannya. Ia mencengkeram boneka itu erat-erat, matanya berkilat penuh kemarahan. Ia tidak peduli jika Reno terbangun. Ia tidak peduli jika ia akan menghadapi amukan putranya. Ini harus berakhir.

Ia pergi ke dapur, mengambil pisau daging yang paling besar dan tajam. Tangannya gemetar, bukan karena takut, tapi karena adrenalin dan kemarahan yang membara. Ia membayangkan merobek-robek boneka itu, menghancurkan setiap bagiannya, sampai tidak ada lagi yang tersisa.

Namun, ia tahu itu tidak akan cukup. Boneka ini memiliki kekuatan yang lebih dari sekadar kayu dan kain. Ia harus membuangnya, jauh dari jangkauan siapa pun. Ia harus menguburnya, menguburnya dalam-dalam, di tempat yang tidak akan pernah ditemukan.

Ayah Rahmat membuka pintu belakang rumah. Malam masih pekat, tanpa bintang. Udara terasa dingin dan lembap. Ia melangkah keluar, menuju halaman belakang, melewati kebun kecil mereka, menuju ke pagar pembatas. Di luar pagar itu terhampar hutan kecil yang jarang disentuh manusia, sebuah area yang gelap dan penuh semak belukar.

Dengan boneka Bobo di satu tangan dan pisau di tangan lainnya, Ayah Rahmat melangkah masuk ke dalam hutan. Suara dedaunan yang terinjak dan ranting-ranting yang patah menjadi satu-satunya suara dalam keheningan yang mencekam. Ia berjalan lebih jauh, lebih dalam, menjauhi cahaya terakhir dari rumahnya. Ia ingin memastikan tidak ada yang bisa menemukannya.

Ia menemukan sebuah area kosong di bawah pohon beringin tua yang besar. Akar-akar pohon itu menjalar di tanah, membentuk gundukan-gundukan aneh. Ayah Rahmat mulai menggali. Dengan pisau daging itu, ia mengikis tanah, membuat lubang yang cukup dalam. Keringat dingin membasahi dahinya, bercampur dengan air mata yang entah sejak kapan sudah mengalir.

Setelah lubang itu dirasa cukup, Ayah Rahmat menatap boneka Bobo untuk terakhir kalinya. Senyum di wajah badut itu kini tampak lebih menjijikkan, seolah mengejek penderitaannya. Ia meletakkan boneka itu ke dalam lubang, lalu mulai menutupnya dengan tanah. Setiap gundukan tanah yang ia timbun terasa seperti sedang mengubur mimpi-mimpinya, mengubur kebahagiaan yang telah ia kenal.

"Kau tidak akan melukai siapa pun lagi," gumamnya, suaranya serak.

Ketika lubang itu hampir tertutup sepenuhnya, Ayah Rahmat bangkit, membersihkan tangannya yang kotor oleh tanah. Ia berbalik, siap untuk kembali ke rumahnya yang kini terasa kosong.

Namun, tepat saat ia berbalik, sebuah bayangan kecil tiba-tiba muncul dari balik pohon.

Reno.

Ayah Rahmat terkesiap. Matanya membelalak tak percaya. Bagaimana mungkin? Reno seharusnya tidur pulas di rumah. Dan yang lebih mengerikan, Reno tidak datang dengan tangan kosong. Di tangannya yang mungil, ia memegang pisau dapur yang biasa digunakan Ibu Santi memotong sayuran. Pisau itu berkilat di bawah cahaya rembulan yang samar.

Reno tidak tersenyum. Wajahnya datar, matanya kosong, nyaris tanpa ekspresi. Ia melangkah perlahan, mendekati Ayah Rahmat. Suara langkah kakinya yang pelan terasa seperti genderang kematian yang semakin mendekat.

Ayah Rahmat mencoba mundur, tapi kakinya terasa lumpuh. "Reno... apa yang kau lakukan, Nak? Kembali ke rumah."

Reno tidak menjawab. Ia hanya terus melangkah maju, pisau di tangannya terangkat perlahan. Dalam kegelapan, mata Reno terlihat seperti dua titik hitam yang tak memiliki jiwa.

"Bobo bilang," bisik Reno, suaranya tenang, namun diisi dengan nada yang sangat tua dan jahat, sama persis seperti bisikan yang ia dengar saat lampu padam, "Ayah nggak boleh nakal."

Dalam kilat cepat, sebelum Ayah Rahmat sempat bereaksi, Reno menerjang ke depan. Pisau di tangannya terayun ke bawah, menembus perut Ayah Rahmat dengan kekuatan yang mengejutkan. Rasa sakit yang tajam menghantamnya. Ayah Rahmat terhuyung, terbatuk, darah mulai membasahi kaosnya.

Ia menatap Reno, matanya dipenuhi ketidakpercayaan dan kepedihan yang mendalam. Ia melihat bukan putranya yang berdiri di depannya, melainkan sesuatu yang lain, sesuatu yang jahat, yang telah mengambil alih tubuh Reno.

"Bobo... Bobo yang..." Ayah Rahmat mencoba berbicara, namun kata-katanya tercekat oleh darah yang kini membanjiri mulutnya. Ia terjatuh ke tanah, napasnya tersengal-sengal.

Reno hanya berdiri di sana, menatap tubuh ayahnya yang tak berdaya. Ekspresinya masih datar, tanpa emosi. Di belakangnya, dari balik tanah yang baru saja digali, sebuah tangan kecil berbalut kain badut muncul, lalu diikuti oleh kepala boneka Bobo. Boneka itu menatap Ayah Rahmat yang sekarat, senyum lebarnya kini tampak lebih lebar, lebih mengerikan, seperti tawa tanpa suara dari neraka. Retakan di matanya seolah memancarkan cahaya merah yang samar.

Dan jam tangan Ayah Rahmat, yang terlepas dari pergelangan tangannya saat ia terjatuh, menunjukkan pukul... 20.00.

Ayah Rahmat mengembuskan napas terakhirnya, matanya terbuka, menatap langit malam yang gelap. Ia telah gagal. Ia tidak bisa melindungi siapa pun. Dan teror yang dibawa oleh boneka itu, kini telah mengambil segalanya darinya.

Bab 8: Rumah Tanpa Orang Tua

Udara pagi di Makassar terasa dingin dan basah oleh embun, namun tidak sedingin dan sesunyi rumah keluarga Reno. Cahaya matahari yang merangkak masuk melalui celah gorden yang terbuka, hanya menyoroti kekosongan dan kekacauan. Di halaman belakang, tubuh Ayah Rahmat tergeletak kaku, terbujur di bawah pohon beringin tua, dikelilingi oleh tanah galian yang baru saja ditimbun. Pisau dapur yang semula dipegang Reno kini tergeletak beberapa inci dari tangan Ayah Rahmat, berlumuran darah.

Beberapa jam kemudian, tepat saat fajar merekah, polisi menemukan tubuh Ayah Rahmat setelah laporan dari tetangga yang curiga mendengar suara aneh dan melihat lampu rumah padam sepanjang malam. Suara sirene dan teriakan petugas memecah keheningan pagi. Reno, yang entah bagaimana, sudah berada di ruang tamu, duduk tenang di karpet. Ia memeluk Bobo erat-erat, seolah boneka itu adalah satu-satunya sumber kenyamanan di dunia yang tiba-tiba kacau balau.

Ketika polisi memasuki rumah, mereka menemukan pemandangan yang membingungkan. Seorang anak berusia lima tahun, dengan mata bulat polos, duduk di antara tumpukan mainan, sementara orang tuanya tergeletak tak bernyawa di halaman belakang. Reno tidak menangis, tidak menjerit, tidak menunjukkan tanda-tanda trauma. Ia hanya menatap para petugas dengan tatapan kosong, seolah kejadian mengerikan yang baru saja terjadi tidak sedikit pun mengguncangnya.

"Nak, apa yang terjadi di sini?" tanya salah seorang petugas polisi wanita dengan suara lembut, berlutut di hadapan Reno.

Reno hanya memeluk Bobo lebih erat, wajah boneka badut dengan retakan di mata dan senyum lebarnya kini seolah menatap tajam ke arah petugas. "Ayah nakal," bisik Reno, suaranya tenang, nyaris seperti gumaman. "Bobo tidak suka Ayah nakal."

Polisi mencatat pernyataan aneh Reno, meskipun mereka tidak mengerti maknanya. Mereka menemukan pisau di halaman belakang, dan hasil otopsi awal menunjukkan Ayah Rahmat meninggal karena tusukan benda tajam. Semua bukti mengarah pada dugaan kasus pembunuhan. Namun, siapa yang tega melakukan itu pada seorang anak berusia lima tahun?

Mengingat usia Reno yang masih sangat kecil, ia tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana. Setelah melalui serangkaian proses, Reno dinyatakan sebagai anak yang membutuhkan perlindungan khusus karena menjadi yatim piatu dan diduga mengalami trauma berat. Ia kemudian dibawa ke sebuah panti rehabilitasi anak bermasalah, tempat di mana anak-anak dengan kondisi psikologis tertentu atau yang terlibat dalam insiden kekerasan akan ditangani.

Ketika petugas sosial hendak membawa Reno pergi, mereka mencoba melepaskan boneka Bobo dari pelukannya. Namun, Reno mengamuk. Ia menjerit, menendang, dan memukul siapa pun yang mencoba mendekati Bobo. Kekuatan dan kemarahan yang tiba-tiba muncul dari tubuh mungilnya membuat para petugas terkejut.

"Tidak! Jangan ambil Bobo! Bobo teman Reno!" teriaknya histeris, air mata mulai mengalir deras, untuk pertama kalinya sejak kedua orang tuanya meninggal.

Melihat kegigihan Reno, dan mengingat ia masih sangat kecil dan baru saja mengalami trauma, petugas memutuskan untuk mengizinkan Reno membawa boneka itu bersamanya. Mereka berpikir, mungkin itu adalah satu-satunya benda yang memberikan rasa aman bagi anak itu. Dengan Bobo yang kini tersembunyi di dalam tas ransel kecil Reno, mereka membawa Reno keluar dari rumah yang kini terasa seperti kuburan itu.

Rumah itu, yang dulunya penuh tawa dan kehangatan, kini kosong. Debu mulai menumpuk di perabot, dan kenangan pahit melayang di setiap sudut. Sebuah rumah tanpa orang tua, dan sebuah boneka misterius yang menghilang bersama seorang anak, meninggalkan jejak kematian dan pertanyaan tanpa jawaban. Tidak ada yang tahu, bahwa di dalam tas ransel kecil itu, boneka Bobo dengan senyum lebarnya tidak pernah dikubur. Ia selalu berada di sisi Reno, menunggu waktu yang tepat untuk beraksi kembali.

Bab 9: Panti Bernama Eden

Panti Rehabilitasi Anak "Eden" bukanlah surga seperti namanya. Bangunan tua bergaya kolonial itu berdiri kokoh di tengah lahan luas yang dipenuhi pohon-pohon rindang, namun aura di dalamnya terasa jauh dari kedamaian. Lorong-lorong panjang yang dicat krem, bau antiseptik yang menusuk hidung, dan suara langkah kaki yang bergema menciptakan suasana yang dingin dan kaku. Di sinilah Reno dibawa, sebuah tempat yang didesain untuk "membantu" anak-anak bermasalah, namun seringkali justru menjadi penjara bagi jiwa-jiwa muda yang rapuh.

Reno ditempatkan di sebuah kamar sederhana, dengan ranjang besi, meja belajar kecil, dan lemari pakaian. Ia tetap memeluk tas ransel kecilnya erat-erat, tempat Bobo bersembunyi. Petugas panti, yang sudah diberitahu tentang keanehan Reno dan boneka kesayangannya, tidak berani memisahkan mereka. Mereka beranggapan bahwa Bobo adalah benda transisional yang dibutuhkan Reno untuk mengatasi traumanya.

Awalnya, Reno tampak pendiam. Ia tidak banyak bicara, hanya mengamati sekelilingnya dengan tatapan kosong. Namun, tak butuh waktu lama bagi keanehan untuk kembali. Di siang hari, Reno akan mengeluarkan Bobo dari tasnya, meletakkannya di sampingnya, dan mulai berbicara sendiri. Bisikan-bisikan pelan itu terdengar dari sudut kamar, atau di taman saat jam bermain.

Anak-anak lain di panti, yang kebanyakan adalah remaja atau anak-anak yang lebih tua dengan latar belakang masalah yang berbeda, awalnya penasaran dengan Reno. Mereka mencoba mendekati, mengajak bermain. Namun, sikap Reno yang dingin, tatapan kosongnya, dan kebiasaannya berbicara dengan boneka yang hanya bisa dilihatnya, segera membuat mereka menjauh.

"Reno bicara dengan siapa?" bisik seorang anak perempuan kepada temannya, saat melihat Reno menggerakkan Bobo seolah-olah boneka itu menjawab pertanyaan Reno.

"Dia gila," jawab yang lain. "Kata petugas, dia melihat hantu."

Ketakutan terhadap Reno semakin memuncak setelah insiden pertama di panti. Suatu sore, beberapa anak sedang berkumpul di ruang bermain, salah satunya adalah anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun bernama Toni yang dikenal suka mengganggu. Toni menertawakan Reno yang asyik berbicara dengan Bobo.

"Lihat itu si anak aneh! Bicara sendiri dengan boneka jelek!" ejek Toni, melempar gumpalan kertas ke arah Reno.

Reno berhenti bicara. Ia menatap Toni, matanya tidak berkedip. Suasana di ruangan itu tiba-tiba menjadi tegang. Kemudian, dengan suara yang lebih dalam dan berat dari biasanya, Reno berkata, "Bobo bilang, Ibu Kepala Panti akan mati jam delapan."

Seketika, ruangan itu hening. Anak-anak lain saling berpandangan, beberapa di antaranya terlihat ketakutan. Toni, yang semula sombong, memucat. Ia pernah mendengar bisikan-bisikan tentang kematian orang tua Reno, dan ramalan-ramalan aneh yang selalu terbukti.

"Jangan bodoh!" seru Toni, mencoba menutupi ketakutannya. "Boneka itu tidak tahu apa-apa!"

Reno hanya tersenyum tipis, senyum yang tidak sampai ke matanya. "Bobo tidak pernah bohong."

Kabar tentang "ramalan" Reno itu menyebar dengan cepat di antara anak-anak dan bahkan sampai ke telinga beberapa staf panti. Mereka hanya menganggapnya sebagai fantasi anak-anak yang tertekan. Namun, ketakutan mulai merayap di bawah permukaan.

Malam itu, jam dinding di ruang utama panti menunjukkan pukul 19.55. Kepala Panti, seorang wanita paruh baya yang tegas namun baik hati, sedang bersiap untuk mandi. Ia adalah orang yang sangat disiplin dan selalu menjaga kebersihan.

Tepat pukul 20.00.

Sebuah suara jeritan histeris tiba-tiba menggema dari kamar mandi Kepala Panti. Suara itu diikuti oleh dentuman keras dan kemudian keheningan yang mengerikan. Para petugas dan beberapa anak yang belum tidur langsung berhamburan menuju sumber suara.

Pemandangan di kamar mandi itu membuat semua orang syok. Kepala Panti tergeletak di lantai, tubuhnya kejang-kejang, rambutnya gosong, dan bau gosong menyeruak kuat. Diduga ia tewas tersengat listrik dari pemanas air kamar mandi yang entah bagaimana korslet.

Di sudut lorong, Reno berdiri diam, memeluk Bobo. Matanya yang bulat menatap lurus ke arah kamar mandi, tanpa ekspresi. Di tangannya, boneka Bobo dengan retakan di mata seolah menyeringai dalam kegelapan. Sebuah bisikan pelan terdengar, nyaris tak tertangkap telinga, "Bobo tidak pernah bohong."

Kejadian itu membuat kepanikan di panti. Tidak mungkin ini hanya kebetulan lagi. Ada sesuatu yang sangat salah pada Reno, atau lebih tepatnya, pada boneka yang selalu bersamanya. Ketakutan kini bukan hanya milik anak-anak, tetapi juga merayap ke hati para staf panti. Mereka tahu, kehadiran Reno, dan boneka Bobo, adalah ancaman yang nyata.

Bab 10: Kamera Pengintai

Kematian Kepala Panti Eden, yang secara misterius tewas tersengat listrik tepat pukul delapan malam, mengguncang seluruh penghuni panti. Para staf, yang semula mencoba rasional, kini mulai menunjukkan tanda-tanda ketakutan yang jelas. Bisikan-bisikan tentang "anak itu" dan "boneka terkutuknya" menyebar seperti api. Mereka tahu, ini bukan lagi sekadar kebetulan.

Berita tentang kejadian ini sampai ke telinga seorang psikolog anak terkemuka, Dr. Arini. Ia adalah seorang wanita paruh baya dengan reputasi yang cemerlang dalam menangani kasus-kasus anak dengan masalah psikologis ekstrem. Dr. Arini tertarik dengan kasus Reno, bukan hanya karena keunikan dan kengeriannya, tetapi juga karena ia adalah seorang yang sangat skeptis terhadap hal-hal supranatural. Ia percaya bahwa semua kejadian aneh ini pasti memiliki penjelasan ilmiah atau psikologis.

Dr. Arini tiba di Panti Eden beberapa hari setelah insiden Kepala Panti. Ia segera meminta untuk menangani kasus Reno. Para staf panti, yang sudah putus asa dan ketakutan, dengan senang hati menyerahkan kasus Reno kepadanya. Dr. Arini menghabiskan beberapa hari pertama untuk mempelajari berkas Reno, mewawancarai staf panti, dan mengamati Reno dari jauh.

Ia menemukan bahwa Reno adalah anak yang pendiam, menarik diri, dan memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan boneka badutnya, Bobo. Ia juga menyadari bahwa setiap kali "ramalan" kematian terjadi, Reno selalu menyebutkan nama Bobo sebagai sumber informasinya.

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, Dr. Arini memutuskan untuk memasang kamera pengintai rahasia di kamar Reno. Ia ingin merekam setiap gerak-gerik Reno, terutama saat ia berbicara dengan Bobo. Ia berharap bisa menangkap momen-momen yang mungkin bisa memberikan petunjuk tentang kondisi psikologis Reno. Ia yakin, bisikan-bisikan itu pasti berasal dari Reno sendiri, mungkin sebagai mekanisme koping terhadap trauma yang dialaminya.

Malam pertama setelah kamera dipasang, Dr. Arini duduk di ruang pengawasan, matanya terpaku pada monitor. Reno tampak tidur pulas, boneka Bobo tergeletak di samping bantalnya. Namun, beberapa jam kemudian, sekitar pukul dua dini hari, sesuatu yang aneh terjadi.

Reno tiba-tiba terbangun. Ia tidak bergerak, hanya menatap kosong ke langit-langit. Kemudian, ia mulai berbicara. Suaranya pelan, berbisik-bisik, seolah sedang bercakap-cakap dengan seseorang. Dr. Arini mendekatkan telinganya ke speaker, mencoba menangkap apa yang dikatakan Reno.

"Mereka tidak akan percaya, Bobo," bisik Reno.

Dr. Arini mengerutkan kening. Percaya apa?

"Tidak apa-apa," sebuah suara terdengar dari arah Reno, tapi itu bukan suara Reno. Suara itu lebih dalam, sedikit serak, seperti suara orang dewasa yang mencoba meniru suara anak kecil, namun dengan nada yang aneh dan mengerikan. "Kita hanya perlu menunggu."

Dr. Arini terkesiap. Ia menatap layar dengan lebih saksama. Reno masih berbicara, tapi ia berbicara dengan kosong. Tidak ada siapa pun di sana selain dirinya dan boneka Bobo. Namun, suara itu... suara kedua itu... itu bukan suara Reno.

Ia mencoba melihat lebih dekat. Di dalam rekaman, Dr. Arini melihat pantulan di kaca jendela belakang. Samar-samar, sebuah bayangan gelap muncul dan menghilang dengan cepat, seolah melayang di belakang Reno. Itu tidak mungkin hanya bayangan biasa.

Dr. Arini memperbesar gambar. Kualitas rekaman tidak terlalu bagus dalam kegelapan, namun ia bisa melihat dengan jelas bahwa boneka Bobo yang tergeletak di tempat tidur, tampak bergerak. Bukan gerakan besar, hanya sedikit goyangan, seolah boneka itu bernapas, atau mungkin... mengangguk. Matanya yang retak tampak seolah menatap langsung ke arah kamera.

Rasa dingin merambat di tulang punggung Dr. Arini. Skeptisisme yang selama ini ia pegang teguh mulai goyah. Ia memutar ulang rekaman itu berkali-kali, menganalisis setiap detail. Suara itu, bayangan itu, dan gerakan samar boneka itu.

"Ini... ini tidak mungkin," gumamnya, tangannya gemetar.

Ia menghabiskan sisa malam itu dengan menonton rekaman. Semakin ia menonton, semakin ia merasa tidak nyaman. Ia melihat Reno seringkali berbicara dengan "kosong", dan setiap kali itu terjadi, ia melihat pantulan bayangan gelap itu muncul dan menghilang di kaca, dan gerakan samar dari boneka Bobo.

Dr. Arini tahu, ia telah menemukan sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih menakutkan dari sekadar masalah psikologis. Boneka itu, dengan segala keanehan dan kekuatannya, adalah inti dari segalanya. Ia tahu, ia harus melakukan sesuatu, sebelum "jam delapan" berikutnya tiba.

Bab 11: Catatan Terakhir Psikolog

Pagi itu, Dr. Arini merasa sangat lelah. Semalaman ia tidak tidur, terus-menerus memutar ulang rekaman kamera pengintai di kamar Reno. Setiap kali melihat bayangan gelap yang muncul di pantulan kaca dan gerakan samar boneka Bobo, rasa dingin menusuknya. Skeptisisme ilmiahnya mulai runtuh, digantikan oleh ketakutan yang merayap perlahan. Ini bukan lagi sekadar kasus psikologis. Ada sesuatu yang supranatural, sesuatu yang jahat, yang bersemayam dalam boneka itu.

Ia memutuskan untuk tidak langsung menghadapi Reno atau boneka itu. Ia perlu bukti yang lebih kuat, penjelasan yang lebih logis — atau setidaknya, penjelasan yang bisa ia terima secara pribadi. Ia tahu, ramalan kematian selalu terjadi pada pukul 20.00. Itu adalah pola yang tidak bisa diabaikan.

Dr. Arini pergi ke ruang arsip panti, mencari berkas-berkas Reno. Ia meneliti setiap detail, setiap catatan kecil, setiap coretan yang pernah dibuat Reno sejak ia masuk panti. Ia berharap menemukan petunjuk, entah itu gambar-gambar aneh, atau tulisan yang tidak biasa.

Setelah berjam-jam mencari, tangannya menyentuh sebuah buku harian kecil yang terselip di antara tumpukan laporan medis. Itu adalah buku harian yang tidak dilaporkan oleh staf panti, mungkin karena mereka menganggapnya hanya coretan anak-anak. Dr. Arini membuka buku itu dengan hati-hati. Halamannya kusam, beberapa coretan pensil terlihat di sana-sini.

Namun, di halaman-halaman terakhir, Dr. Arini menemukan sesuatu yang membuat jantungnya berhenti berdetak.

Sebuah daftar nama, ditulis dengan rapi menggunakan tulisan tangan yang sama persis dengan tulisan di catatan yang ditemukan Ibu Santi sebelum kematiannya. Tulisan itu bukan tulisan tangan anak lima tahun, melainkan tulisan dewasa yang sangat jelas.

Daftar Kematian

* Om Gito - 20.00

* Tante Mira - 20.00

* Ibu Santi - 20.00

* Ayah Rahmat - 20.00

* Kepala Panti – 20.00

Dr. Arini membaca daftar itu berulang kali, tubuhnya gemetar. Semua nama di daftar itu adalah orang-orang yang telah meninggal secara tragis, tepat pukul 20.00. Dan yang lebih mengerikan, di bagian paling bawah daftar itu, ada satu nama lagi:

Dr. Arini – 20.00

Napasnya tercekat. Ia nyaris menjatuhkan buku harian itu. Nama dirinya sendiri, dengan waktu yang sama persis dengan kematian-kematian sebelumnya. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Ini bukan lagi fantasi anak-anak. Ini adalah daftar korban. Dan ia adalah yang berikutnya.

Ia melihat jam tangannya. Pukul 18.30. Ia hanya punya waktu satu setengah jam.

Ketakutan luar biasa menguasai Dr. Arini, namun disela oleh tekad yang membara. Ia harus menghentikan ini. Ia harus menghancurkan sumber malapetaka ini. Ia tahu persis siapa pelakunya.

Dr. Arini berlari kembali ke kamar Reno. Reno sedang tidur pulas, boneka Bobo tergeletak di samping bantalnya. Wajah boneka itu, dengan retakan di mata dan seringainya, kini tampak seolah sedang menertawakan ketakutannya. Tanpa ragu, Dr. Arini meraih boneka itu. Sensasi dingin yang menjalar dari boneka itu tidak lagi membuatnya gentar.

Ia bergegas keluar dari kamar, menuju ke dapur panti. Ia membuka laci, mengambil korek api dan sebotol alkohol pembersih. Ia akan membakar boneka itu. Ia akan menghancurkan Bobo sampai tak bersisa. Itu satu-satunya cara untuk menghentikan daftar kematian itu.

Dengan tangan gemetar, ia menyiram boneka Bobo dengan alkohol. Aroma alkohol memenuhi udara. Ia memegang korek api, siap menyalakannya.

Namun, saat ia hendak menggesekkan korek, ia merasakan hawa dingin yang menusuk. Suara Reno, namun dengan nada yang lebih dalam dan menyeramkan, berbisik dari belakangnya: "Jangan. Bobo tidak suka dibakar."

Dr. Arini terkesiap, memutar tubuhnya. Tidak ada siapa pun di sana. Ruangan itu kosong, hanya ada dirinya dan boneka Bobo yang berlumuran alkohol di tangannya. Namun, ia yakin ia mendengar suara itu.

Jarum jam menunjukkan pukul 19.58.

Dr. Arini menutup matanya, mengambil napas dalam-dalam. "Aku tidak akan membiarkanmu melukai siapa pun lagi," gumamnya, tekadnya kembali menguat. Ia menggesekkan korek api. Sebuah api kecil menyala di ujung korek.

Saat api menyentuh tubuh boneka Bobo, boneka itu tiba-tiba bergetar hebat di tangannya. Sebuah jeritan melengking, suara yang bukan suara manusia, terdengar dari boneka itu. Api segera membesar, membakar kain dan kayu boneka itu dengan cepat. Bau gosong menyengat hidung.

Dr. Arini menjatuhkan boneka yang terbakar itu ke lantai, menatapnya dengan campuran ngeri dan kepuasan. Api melahap boneka itu, mengubahnya menjadi abu.

Namun, saat api melalap habis boneka itu, sebuah bayangan gelap muncul dan mengitari tubuh Dr. Arini. Ia merasakan hawa panas yang menyengat, bukan dari api boneka, tapi dari sesuatu yang lain.

Jeritan terakhir Dr. Arini terdengar, begitu mengerikan, begitu putus asa, memenuhi seluruh panti.

Malam itu, pukul 20.00, tubuh Dr. Arini ditemukan terbakar di kamarnya sendiri. Tidak ada jejak api atau barang yang terbakar di sekitar tubuhnya. Seolah-olah, ia terbakar dari dalam. Di tangannya, ia masih memegang sisa-sisa arang dari sesuatu yang tampak seperti boneka kecil.

Bab 12: Jam Dua Puluh Tidak Pernah Berhenti

Kematian Dr. Arini menjadi pukulan telak bagi Panti Eden. Tidak ada lagi keraguan. Tidak ada lagi penjelasan rasional. Rentetan kematian yang selalu terjadi tepat pukul 20.00, kini merenggut nyawa seorang psikolog terkemuka yang mencoba mencari kebenaran. Panti Eden, yang seharusnya menjadi tempat penyembuhan, kini berubah menjadi rumah hantu, diselimuti oleh ketakutan yang mencekam.

Reno, setelah insiden Dr. Arini, dinyatakan tidak dapat dirawat secara normal di panti. Pihak berwenang dan tim medis menyimpulkan bahwa ia membutuhkan penanganan khusus yang lebih intensif, mungkin karena gangguan kejiwaan yang parah atau trauma mendalam yang tak tersembuhkan. Tanpa perdebatan lebih lanjut, Reno dikirim ke sebuah fasilitas tertutup yang sangat rahasia, jauh dari keramaian kota, sebuah tempat di mana kasus-kasus paling ekstrem ditangani dengan kerahasiaan maksimal.

Fasilitas itu adalah bangunan beton kokoh dengan pintu-pintu baja dan jendela berpalang. Keamanan ketat diberlakukan, dan setiap penghuni diawasi tanpa henti. Di sanalah Reno ditempatkan, dalam sebuah kamar isolasi yang kedap suara, terpisah dari dunia luar. Boneka Bobo, yang seharusnya telah hancur terbakar bersama Dr. Arini, tidak ditemukan lagi. Namun, entah bagaimana, sebuah boneka badut kayu kecil, dengan retakan di mata dan senyum lebar yang mengerikan, kembali muncul di samping Reno. Tidak ada yang tahu bagaimana itu bisa terjadi, atau dari mana boneka itu berasal.

Para perawat dan staf di fasilitas itu, meskipun terlatih untuk menghadapi berbagai kasus kejiwaan, merasakan aura aneh dari Reno. Ia tidak pernah menangis, jarang berbicara, dan selalu menatap kosong ke dinding atau ke boneka Bobo yang kini diletakkan di lemari kecil di kamarnya.

Namun, teror "jam dua puluh" tidak pernah berhenti.

Setiap malam, tepat pukul 20.00, seseorang di fasilitas itu mati secara tragis. Seorang perawat jatuh dari tangga yang licin, padahal tidak ada genangan air. Seorang penjaga keamanan tewas karena korsleting listrik di ruang kontrol, meskipun instalasi listrik baru saja diperiksa. Seorang pasien lain ditemukan tergantung di kamarnya sendiri, meskipun ia diawasi ketat.

Kepanikan merayap di antara staf. Mereka mencoba mencari pola, mencari penjelasan. Apakah ada pembunuh di antara mereka? Apakah ada kebocoran gas yang tak terdeteksi? Mereka tidak pernah menemukan apa pun. Hanya satu kesamaan: semua kematian terjadi tepat pukul 20.00.

Seorang perawat baru, yang baru saja ditugaskan di bagian Reno, merasa sangat gelisah. Ia telah mendengar bisikan-bisikan tentang anak itu dan "kutukan" yang menyertainya. Pada malam pertamanya menjaga Reno, ia mencoba berinteraksi dengan anak itu.

"Hai, Reno," sapa perawat itu, mencoba bersikap ramah.

Reno tidak menoleh. Ia hanya menatap boneka Bobo di lemari.

Perawat itu melirik jam dinding di lorong. Pukul 19.59. Jantungnya berdebar kencang. Firasat buruk menyelimutinya.

Tepat pukul 20.00.

Reno tiba-tiba menoleh ke arah perawat itu. Sebuah senyum tipis, dingin, dan mengerikan merekah di wajahnya. Matanya yang bulat kini tampak lebih gelap dari sebelumnya, dan ada kilatan aneh di dalamnya, seolah bukan mata Reno yang menatapnya.

"Sekarang giliran kamu..." bisik Reno, suaranya tenang, namun diisi dengan nada yang sangat tua dan jahat, suara yang tidak mungkin keluar dari seorang anak berusia lima tahun.

Perawat itu terkesiap, tubuhnya membeku. Ia mencoba menjerit, mencoba berlari, namun kakinya terasa lumpuh. Di belakang Reno, boneka Bobo di lemari seolah ikut tersenyum, retakan di matanya kini tampak seperti seringai kemenangan.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)