Masukan nama pengguna
Bab 1: Bayangan di Kaca
Reno adalah perwujudan sempurna dari seorang mahasiswa teknik tingkat akhir: kantung mata yang menghitam karena begadang, aroma kopi instan yang melekat pada kausnya, dan otak yang dirancang untuk memecahkan masalah, bukan menciptakan masalah. Dunia baginya adalah serangkaian rumus, logika, dan sistem yang bekerja dengan presisi. Anomali adalah sesuatu yang harus dianalisis, dipecahkan, dan kemudian dilupakan. Namun, anomali yang satu ini, yang kini perlahan merayap ke dalam kesadarannya, adalah anomali yang menolak logika, mengejek rumus, dan mengancam untuk meruntuhkan seluruh sistem kepercayaannya.
Keanehan itu bermula dari hal-hal kecil, nyaris tak terlihat, seperti tetesan air yang jatuh pelan tapi konsisten, mengikis batu hingga berlubang. Minggu pertama, Reno mengira matanya lelah. Siang itu, ia berdiri di depan cermin kamar mandi, menyikat gigi dengan gerakan otomatis yang sudah dilakukannya ribuan kali. Matanya menangkap pantulannya, siluet familiar dari dirinya yang sedikit kurus, dengan rambut acak-acakan dan ekspresi kuyu. Saat ia selesai menyikat, ia meludahkan busa pasta gigi ke wastafel. Namun, di pantulan cermin, bayangannya tidak meludah. Bayangan itu hanya berdiri tegak, dengan senyum tipis, nyaris tak kentara, yang terukir di bibirnya. Senyum itu bukan senyum Reno. Reno tidak tersenyum. Ia terlalu mengantuk untuk tersenyum.
Ia mengerjap, menggosok matanya. Mungkin ia hanya salah lihat. Cahaya di kamar mandi kosan memang agak remang-remang, dan ia kurang tidur. Ia kembali menatap cermin, kali ini dengan mata memicing, mencari-cari sisa-sisa halusinasi. Bayangan itu ada di sana, meniru gerakannya dengan sempurna. Ia mengangkat tangan kanannya, bayangan itu juga. Ia menggaruk kepala, bayangan itu pun. Lega, Reno menghela napas. "Pasti cuma efek kurang tidur," gumamnya, meyakinkan diri sendiri.
Namun, kejadian itu mulai terulang. Beberapa hari kemudian, saat ia sedang belajar di perpustakaan kampus, otaknya dipenuhi dengan diagram sirkuit dan kode-kode rumit. Ia mengambil jeda sebentar, meregangkan punggungnya yang pegal. Di salah satu pilar marmer yang dipoles mengkilap, ia melihat pantulannya. Saat itu, ia sedang memikirkan deadline tugas yang semakin mepet, raut wajahnya serius dan sedikit tegang. Namun, pantulan di pilar itu, entah bagaimana, tampak lebih santai, bahkan kepalanya sedikit miring seolah sedang berpikir keras namun dalam cara yang berbeda. Reno buru-buru mengubah posisinya, mencoba meniru bayangannya, tapi pantulan itu menghilang, tertelan kerumunan mahasiswa lain yang lalu-lalang.
Reno mulai merasakan kegelisahan yang aneh, seolah ada sesuatu yang mengawasinya dari dalam dirinya sendiri. Ia mencoba untuk mengabaikannya, membenamkan diri lebih dalam ke dalam buku dan proyek. Logika adalah benteng pertahanannya. Semua bisa dijelaskan secara rasional. Mungkin pantulan di permukaan yang tidak rata menciptakan ilusi optik. Mungkin kelelahan memang telah mencapai titik di mana otaknya mulai bermain-main dengan persepsi. Teman-teman dekatnya, seperti Dika, seorang mahasiswa Teknik Mesin yang pragmatis, hanya menertawakan ceritanya, menganggapnya lebay karena kebanyakan ngopi dan begadang. "Mungkin lo butuh liburan, Ren," kata Dika sambil menepuk pundaknya, "otak lo udah korslet."
Kata-kata Dika, alih-alih menenangkan, justru menusuk Reno. Korslet. Itulah yang ditakutkan Reno. Kehilangan kendali atas pikirannya sendiri. Ia mulai mengamati lebih cermat. Di lift kampus yang berdinding cermin, Reno pura-pura sibuk dengan ponselnya. Tapi dari sudut matanya, ia mencuri pandang ke pantulannya. Ia bisa bersumpah, saat ia melangkah masuk, bayangannya sedikit terlambat mengikuti, seolah ada jeda sepersekian detik. Dan ketika ia menghela napas panjang, bayangannya tampak mengembuskan napas lebih dulu, seolah sudah tahu apa yang akan Reno lakukan. Sensasi yang merayap di kulitnya bukan lagi hanya kelelahan, melainkan ketakutan yang dingin dan merayap.
Ketakutan itu semakin menjadi ketika suatu malam, ia terbangun di tengah kegelapan, merasa haus. Ia bangkit, menyalakan lampu kamar. Di dinding yang putih bersih, bayangannya muncul. Reno mengusap matanya. Ia berjalan ke arah dapur kecil di kosannya, dan bayangannya mengikutinya. Namun, ketika Reno mengambil segelaskah air, bayangannya tampak menoleh ke arah jendela yang terbuka. Tidak ada apapun di sana, hanya kegelapan malam dan suara jangkrik. Reno tidak menoleh ke jendela. Tapi bayangannya menoleh, dengan kepala sedikit condong, seolah mendengarkan sesuatu yang tak bisa didengar Reno. Reno berhenti, menatap bayangannya. Bayangan itu kembali menatapnya, lalu tersenyum tipis lagi, senyum yang sama yang ia lihat di cermin kamar mandi, senyum yang bukan miliknya.
Reno buru-buru mematikan lampu, kegelapan menjadi selimut yang entah bagaimana terasa lebih aman daripada pantulan yang mengganggu itu. Ia berbaring di tempat tidur, jantungnya berdegup kencang. Pikiran-pikiran berpacu dalam kepalanya. Apakah ia gila? Apakah ini awal dari sesuatu yang lebih buruk? Ia mencoba mencari penjelasan logis lagi. Mungkin itu hanya bayangan yang tidak sempurna karena sumber cahaya yang terbatas dan permukaan yang tidak rata. Tapi perasaan bahwa bayangannya memiliki kesadarannya sendiri, sebuah entitas terpisah, mulai menancap kuat di benaknya.
Keesokan harinya, paranoia Reno semakin memuncak. Ia mulai menghindari tempat-tempat dengan cermin atau permukaan reflektif lainnya. Ia berjalan dengan menunduk saat melewati etalase toko. Ia sengaja memilih duduk di pojok kelas yang tidak memiliki jendela besar. Teman-temannya mulai menyadari perubahan perilakunya. "Lo kenapa sih, Ren? Kelihatan pucat banget," tanya Mira, teman sekelompok tugasnya, dengan nada khawatir. Reno hanya menggelengkan kepala, tidak sanggup menjelaskan apa yang ia rasakan. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ia takut pada bayangannya sendiri?
Saat makan siang di kantin, sebuah insiden kecil terjadi. Reno sedang asyik mendengarkan Dika bercerita tentang mata kuliah baru. Di belakang Dika, tepat di dinding kantin yang dilapisi keramik mengkilap, Reno melihat bayangan Dika dan bayangannya sendiri. Saat Dika tertawa terbahak-bahak, bayangannya juga. Namun, ketika Reno mengambil garpu untuk menusuk baksonya, bayangannya tidak meniru. Alih-alih, bayangannya mengangkat tangan kanannya, menunjuk ke arah seorang mahasiswi yang sedang lewat di dekat mereka. Mahasiswi itu tersandung, menjatuhkan nampan makanannya, dan isinya berhamburan di lantai.
Semua orang menoleh. Mahasiswi itu tersipu malu sambil membereskan kekacauan. Dika dan Reno ikut menoleh, dan saat pandangan Reno kembali ke dinding, bayangannya sudah kembali meniru gerakannya dengan sempurna, seolah tidak pernah melakukan apa-apa. Jantung Reno berdegup kencang. Ia bisa merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Kali ini, ia yakin. Ini bukan ilusi optik, bukan kelelahan. Bayangannya bergerak sendiri. Bayangannya memiliki niat. Dan bayangan itu baru saja menunjuk seseorang, dan orang itu tersandung. Apakah itu kebetulan? Reno tidak percaya pada kebetulan lagi.
Malam harinya, Reno mencoba melakukan eksperimen kecil. Di kamar kosannya, ia mematikan lampu, lalu menyalakan senter ponselnya dan menyorotkannya ke dinding. Bayangannya muncul, hitam pekat, mengikuti setiap gerakannya. Reno mengangkat tangan kirinya perlahan. Bayangannya meniru. Ia menurunkan tangannya. Bayangannya juga. Kemudian, dengan jantung berdebar, Reno diam. Ia menahan napas, matanya terpaku pada bayangan di dinding.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik.
Lalu, pelan-pelan, sangat pelan, bayangan itu mulai bergerak. Kakinya sedikit bergeser. Kepalanya miring ke kiri. Kemudian, jemari di tangan kanan bayangan itu, yang seharusnya diam seperti Reno, mulai menggulirkan sesuatu yang tak terlihat. Seolah-olah bayangan itu sedang memutar-mutar koin di antara jari-jarinya. Sebuah gerakan yang Reno tidak lakukan. Reno bahkan tidak memikirkan koin. Ia hanya berdiri diam, terpaku.
Rasa takut yang mencekam merayap naik ke tenggorokannya. Ia menjatuhkan ponselnya, cahaya senter mati, dan kamar kembali diselimuti kegelapan. Reno terkesiap, mundur hingga punggungnya membentur dinding. Ia terdiam dalam kegelapan, gemetar, membiarkan detak jantungnya yang keras memenuhi telinganya.
Selama ini, ia selalu percaya bahwa bayangan adalah refleksi pasif dari keberadaan fisik. Sebuah ketiadaan yang dibentuk oleh cahaya dan objek. Tapi bayangan ini... bayangan ini punya kehendak sendiri. Bayangan ini bukan sekadar pantulan. Bayangan ini adalah sesuatu yang lain. Sesuatu yang terpisah. Sesuatu yang, entah bagaimana, hidup.
Dan yang paling menakutkan, bayangan itu sepertinya semakin sering bertindak sendiri. Frekuensi anomali itu meningkat. Dari senyum tipis di cermin, kini menjadi gerakan-gerakan halus yang terpisah. Reno mulai merasa bahwa ia bukan hanya mengamati bayangannya, tetapi bayangannya juga mengamati dirinya. Mungkin menunggu waktu yang tepat. Atau mungkin, bayangan itu sudah mulai bertindak, jauh sebelum Reno menyadarinya.
Malam itu, Reno tidak bisa tidur. Ia berbaring meringkuk di tempat tidurnya, matanya terbuka lebar menatap kegelapan. Setiap kali ia memejamkan mata, ia melihat senyum tipis bayangannya, atau gerakan jari-jarinya yang memutar koin tak terlihat. Dinginnya paranoia meresap ke dalam tulangnya. Ia adalah seorang mahasiswa teknik, manusia logika dan rasionalitas. Namun, semua yang ia tahu, semua yang ia pahami, kini dipertanyakan oleh entitas tak berwujud yang melekat padanya, bayangannya sendiri. Dan ia tahu, jauh di lubuk hatinya, ini hanyalah permulaan. Apa lagi yang bisa dilakukan oleh bayangan yang bukan lagi dirinya? Pertanyaan itu berputar-putar di benaknya, tanpa jawaban, hanya ketakutan yang mendalam.
Bab 2: Gerakan yang Tak Sama
Ketakutan memiliki gravitasi tersendiri. Semakin Reno mencoba melarikan diri, semakin kuat tarikannya. Setelah insiden senter semalam, tidur adalah kemewahan yang tak terjangkau. Ia menghabiskan sisa malam berbaring kaku, mata terpejam rapat, berharap bayangannya tak akan muncul di balik kelopak matanya. Pagi tiba, membawa serta cahaya yang seharusnya menenangkan, namun bagi Reno, cahaya kini adalah ancaman. Setiap permukaan reflektif, setiap jendela toko yang dilewati, setiap genangan air di jalan, berpotensi memunculkan sosok hitam yang bukan lagi sekadar pantulan dirinya.
Puncaknya adalah di kampus, di mana cermin dan kaca menjadi bagian tak terpisahkan dari arsitektur modern. Reno berusaha keras menghindarinya. Ia berjalan menunduk, pandangannya terpaku pada ubin lantai yang kusam. Namun, di koridor panjang Fakultas Teknik, yang dindingnya sebagian besar dilapisi kaca, ia tak bisa lari. Dari sudut matanya, ia melihat bayangannya bergerak, lebih dulu darinya. Reno berjalan perlahan, mencoba menguji. Ia memperlambat langkah, tetapi bayangannya di kaca terus melangkah dengan ritme normal, seolah tak terpengaruh. Bayangan itu bahkan sesekali menoleh, seolah mengamati keramaian mahasiswa di belakangnya, sementara Reno sendiri terus menunduk.
Jantung Reno berdebar kencang. Ini bukan lagi ilusi optik atau kelelahan. Ini adalah entitas. Sebuah keberadaan terpisah yang melekat padanya. Keringat dingin membasahi punggungnya. Ia buru-buru memalingkan muka, bergegas masuk ke dalam kelas seolah dikejar sesuatu. Kelas Kimia Industri, biasanya menjadi tempat pelariannya dari realitas yang membingungkan, kini terasa seperti sangkar. Ia tidak bisa fokus. Otaknya terus mengulang-ulang gerakan bayangan itu: bagaimana ia berjalan sendiri, bagaimana ia menoleh.
Paranoia mulai meracuni setiap interaksinya. Saat dosennya, Pak Anwar, sedang menjelaskan tentang reaksi katalis, Reno tak sengaja melihat pantulan Pak Anwar di layar proyektor yang sedikit memantul. Bayangan Pak Anwar terlihat mengacungkan jari tengahnya ke arah Reno. Reno terkesiap, nyaris menjerit. Ia buru-buru mengalihkan pandangan. Saat ia memberanikan diri melirik lagi, pantulan itu normal. Apakah ia berhalusinasi lagi? Atau apakah bayangannya... mempengaruhi apa yang ia lihat? Pertanyaan itu menghantamnya seperti gelombang.
Pulang dari kampus, Reno mencoba sebuah eksperimen yang lebih berani. Di kamar kosannya, ia sengaja menyiapkan beberapa cermin kecil di sudut ruangan, menyalakannya dengan pencahayaan yang cukup. Ia berdiri di tengah ruangan, membelakangi cermin-cermin itu. Ia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian. Lalu, ia berbalik.
Di salah satu cermin, ia melihat pantulannya. Reno mengangkat tangan kanannya secara perlahan. Bayangannya meniru. Ia mengangkat tangan kirinya. Bayangannya juga. Kemudian, Reno diam, mematung. Matanya terpaku pada bayangannya.
Lima detik berlalu. Sepuluh detik. Tidak ada gerakan. Reno mulai merasa lega. Mungkin ia terlalu paranoid. Mungkin ia memang lelah.
Tiba-tiba, di cermin yang lain, pantulan bayangan Reno itu terlihat menunjuk tajam ke arah lemari pakaiannya. Jari telunjuknya terentang lurus, kaku, seolah menunjukkan sesuatu yang mengerikan di dalamnya. Reno terkesiap, reflek menoleh ke arah lemari. Tidak ada apa-apa di sana selain pakaian-pakaiannya yang tergantung rapi. Saat ia kembali menatap cermin, bayangan itu sudah kembali ke posisi semula, meniru gerakannya yang terkesiap, dengan wajah kaget.
Kali ini, tidak ada keraguan. Bayangannya bergerak sendiri. Bayangannya menunjuk. Dan bayangan itu, seolah, ingin menyampaikan sesuatu. Atau, lebih menakutkan, mengendalikan sesuatu.
Reno mulai berbicara dengan bayangannya. Awalnya hanya gumaman pelan, "Kamu siapa? Apa yang kamu mau?" Kemudian menjadi lebih frustrasi, "Berhenti! Jangan bergerak!" Suaranya bergetar, nyaris putus asa. Ia tahu itu terdengar gila. Ia berbicara pada pantulan di cermin. Tapi ia merasa harus. Perasaan terisolasi ini, rasa tak berdaya ini, mendorongnya ke batas kewarasan.
Reno mencoba merekam kejadian itu. Ia mengambil ponselnya, mengaktifkan kamera video. Ia berdiri di depan cermin besar di lorong kosannya, cermin yang ia hindari mati-matian selama ini. Dengan tangan gemetar, ia menekan tombol rekam. "Oke, kamu bisa lihat?" gumamnya pada kamera, mengarahkannya ke cermin. "Aku akan diam. Lihat bayanganku."
Reno berdiri kaku, menatap bayangannya di layar ponsel yang sempit. Di video itu, bayangannya tampak normal. Tidak ada gerakan aneh. Tidak ada senyum tipis. Tidak ada jari menunjuk. Hanya pantulan dirinya yang sempurna, pasif, dan hampa. Ia mengulanginya beberapa kali, mencoba sudut yang berbeda, pencahayaan yang berbeda. Hasilnya sama. Di rekaman video, bayangannya tidak terlihat berbeda sama sekali. Itu hanya bayangan Reno.
Frustrasi melanda Reno seperti gelombang pasang. Bagaimana mungkin? Mengapa hanya ia yang melihatnya? Apakah ini artinya ia benar-benar gila? Atau apakah bayangan itu... cukup pintar untuk menyembunyikan diri dari teknologi? Pikiran itu lebih menakutkan dari yang pertama. Jika bayangan itu bisa bersembunyi dari kamera, berarti ia memiliki semacam kesadaran, kecerdasan, dan mungkin, kekuatan yang tidak dapat dijelaskan.
Kejadian ini membuat Reno semakin menarik diri. Ia mulai menghindari orang lain, takut bayangannya akan melakukan sesuatu di depan mereka, dan hanya Reno yang melihatnya. Ia takut bayangannya akan mempermalukannya, atau lebih buruk, melukai orang lain. Tidurnya semakin parah, dihantui mimpi buruk tentang sosok hitam yang menari-nari di dinding kamarnya, menatapnya dengan mata kosong.
Suatu malam, ia terjaga karena suara aneh dari luar kamarnya. Suara gesekan, seperti sesuatu yang diseret. Ia menoleh ke jendela. Di balik kaca jendela yang gelap, ia melihat pantulan dirinya. Bayangannya berdiri di sana, dengan punggung menghadapnya, seolah sedang sibuk dengan sesuatu di luar. Reno tidak sedang berdiri. Reno terbaring di tempat tidur.
Bayangan itu mengangkat sesuatu yang panjang dan ramping di tangannya. Sesuatu yang memantulkan cahaya rembulan. Sebuah pisau.
Jantung Reno berhenti berdetak. Ia tidak bisa bergerak, seluruh tubuhnya kaku karena teror. Bayangan itu menoleh sedikit, menatap Reno melalui pantulan. Senyum tipis yang dingin itu kembali terlihat di wajah bayangan. Lalu, dengan gerakan perlahan, bayangan itu mulai mengayunkan pisau, menebas udara kosong di luar jendela. Reno bisa mendengar suara gesekan pelan, seperti pisau yang mengikis sesuatu.
Reno memejamkan mata rapat-rapat, berharap semua ini hanya mimpi. Ketika ia memberanikan diri membukanya lagi, bayangan itu sudah tidak ada. Jendela menampilkan pantulan gelapnya sendiri, tanpa sosok mengerikan itu. Namun, di ambang jendela, terukir goresan-goresan panjang, dangkal namun jelas terlihat, seolah ada sesuatu yang tajam baru saja menggores permukaan kayu.
Itu nyata. Bayangan itu tidak hanya bergerak, tidak hanya menunjuk, tetapi juga bisa berinteraksi dengan dunia fisik. Dan ia memegang pisau. Pertanyaan yang dulunya hanya berupa kecurigaan kini berubah menjadi teror murni: apakah bayangan itu akan melukai seseorang? Atau lebih mengerikan, apakah bayangan itu sudah melukai seseorang, tanpa Reno sadari? Kegelisahan ini, dibumbui dengan rasa bersalah yang menusuk, mulai memakan Reno dari dalam. Ia merasa seperti boneka yang talinya ditarik oleh entitas tak kasat mata, hanya ia yang bisa melihatnya, dan hanya ia yang menanggung beban ketakutan ini sendirian.
Bab 3: Luka dan Tanda
Ketakutan Reno kini memiliki wajah. Wajah bayangannya sendiri, yang tersenyum dingin dan mengacungkan pisau di malam hari. Setiap goresan di ambang jendela adalah bukti yang tak terbantahkan: bayangan itu nyata, ia berbahaya, dan ia kini aktif di dunia fisik. Malam itu Reno tidak tidur. Ia duduk bersandar di dinding, memelototi jendela, seolah bisa menangkap bayangan itu jika ia kembali. Namun bayangan itu tak muncul, meninggalkan Reno dalam bayangan gelap ketidakpastian, bertanya-tanya kapan dan di mana bayangan itu akan menyerang lagi.
Pagi harinya, kepalanya terasa berdenyut, berat oleh kurang tidur dan kecemasan. Reno memutuskan untuk tidak masuk kuliah. Ia tak sanggup menghadapi keramaian, takut bayangannya akan bertindak impulsif di depan banyak orang. Ia hanya ingin bersembunyi di dalam kamar, mengurung diri dari ancaman yang melekat padanya. Namun, ancaman itu tak bisa dihindari hanya dengan mengurung diri.
Ponselnya berdering. Nama Dika muncul di layar. Reno ragu mengangkatnya. Ia takut Dika akan menanyakan keadaannya, dan Reno tak tahu bagaimana menjelaskan kegilaan yang ia alami. Akhirnya, ia mengangkat.
"Ren, lo kenapa nggak masuk kuliah?" suara Dika terdengar cemas. "Dosen Pak Suryo kecelakaan tadi pagi."
Jantung Reno mencelos. Pak Suryo adalah dosen Kimia Industri yang sempat ia lihat pantulannya di layar proyektor. "Kecelakaan? Gimana?" tanyanya, suaranya tercekat.
"Tadi pagi, katanya kepeleset di tangga utama kampus. Kepalanya kebentur lumayan keras, berdarah-darah. Udah dibawa ke rumah sakit," jelas Dika. "Untungnya nggak fatal, tapi lumayan parah katanya."
Tangan Reno gemetar memegang ponsel. Ia mengingat bayangannya yang mengacungkan jari tengah ke arah Pak Suryo di layar proyektor. Itu terjadi beberapa hari yang lalu, namun perasaan dingin merayapinya. Apakah ini... ulah bayangannya? Itu hanyalah jari tengah, sebuah isyarat kecil. Tapi bukankah bayangannya juga menunjuk seorang mahasiswi yang kemudian tersandung? Apakah ini hanyalah permulaan?
Reno mencoba menyingkirkan pikiran mengerikan itu. Itu hanya kebetulan. Pak Suryo memang sudah tua dan sering ceroboh. Tapi ada bagian dari dirinya yang berteriak, tahu bahwa ini bukan kebetulan. Ini adalah pola.
Keesokan harinya, kecelakaan aneh lainnya terjadi. Kali ini lebih dekat, lebih pribadi. Reno sedang berada di dapur kosan, membuat mie instan. Suara teriakan keras mengejutkannya dari lantai atas. Ia berlari keluar kamar dan melihat beberapa penghuni kosan lainnya mengerumuni tangga.
"Ada apa?!" teriak Reno panik.
"Andri jatuh!" kata seorang penghuni. Andri adalah teman sekamarnya, seorang mahasiswa akuntansi yang pendiam. Reno melihat Andri tergeletak di dasar tangga, kakinya tertekuk di sudut yang tidak wajar, wajahnya meringis kesakitan.
"Tadi dia mau ke bawah, terus tiba-tiba kayak ada yang dorong," kata penghuni lain, suaranya gemetar. "Dia kehilangan keseimbangan terus jatuh."
Pandangan Reno secara otomatis tertuju pada dinding yang memantulkan cahaya di dekat tangga. Dan di sana, untuk sepersekian detik, ia melihatnya: bayangannya berdiri di puncak tangga, tangannya terentang ke depan, seolah baru saja mendorong sesuatu. Lalu, seperti biasa, bayangan itu langsung menghilang, digantikan oleh pantulan kosong dinding.
Darah Reno berdesir dingin. Rasa bersalah menghantamnya seperti palu godam. Ini bukan kebetulan. Pak Suryo, mahasiswi di kantin, dan sekarang Andri. Semua itu terjadi setelah bayangannya melakukan gerakan aneh, atau menunjuk, atau, seperti sekarang, mendorong. Ia adalah penyebabnya. Bukan, bukan ia. Bayangannya adalah penyebabnya.
Rasa takut bercampur amarah meledak dalam diri Reno. Amarah pada bayangan itu, yang bertindak sesukanya, melukai orang-orang tak bersalah. Dan amarah pada dirinya sendiri, karena tidak berdaya, tidak bisa menghentikan entitas yang melekat padanya itu.
Ia kembali ke kamarnya, gemetar hebat. Ia merasa sesak, seperti ada tangan tak terlihat yang mencekik lehernya. Ia harus melakukan sesuatu. Tapi apa? Melapor ke polisi? Bagaimana ia akan menjelaskan bahwa bayangannya sendiri yang melakukan kejahatan? Mereka pasti akan mengira ia gila.
Reno mulai mengurung diri sepenuhnya. Ia melewatkan kuliah, menolak panggilan telepon dari Dika dan teman-teman lainnya. Ia bahkan tidak berani menatap cermin atau permukaan reflektif, meskipun ia tahu itu tak akan menghentikan bayangannya. Jika bayangan itu bisa muncul di jendela atau dinding, ia bisa muncul di mana saja. Ancaman itu ada di mana-mana.
Reno mulai menghabiskan waktunya mencoret-coret di jurnalnya. Ia menggambar sketsa bayangannya: hitam pekat, dengan senyum tipis yang selalu menghantuinya, atau tangan yang menunjuk, atau tangan yang mendorong. Ia menuliskan semua kejadian aneh yang ia alami, mencoba mencari pola, mencari alasan. Apakah bayangan itu melukai orang secara acak? Atau adakah target tertentu?
Saat ia menulis, ia menyadari sesuatu yang mengerikan. Setiap kali bayangan itu bertindak, ada semacam perasaan aneh yang menyertainya. Bukan hanya ketakutan, tetapi juga... rasa puas. Seperti Reno sendiri yang mendapatkan pembalasan. Tapi pembalasan untuk apa? Ia tidak punya dendam pada Pak Suryo, atau mahasiswi itu, atau Andri. Mereka semua orang baik. Atau setidaknya, orang-orang yang tidak pernah ia benci.
Ia mencoba mengingat-ingat lagi. Pak Suryo pernah memberinya nilai rendah di ujian. Mahasiswi di kantin itu pernah mengambil meja yang ingin ia tempati. Andri... Andri pernah meminjam bukunya dan mengembalikannya dengan sedikit terlipat. Hal-hal kecil. Keluhan-keluhan sepele yang Reno lupakan segera setelahnya. Tapi apakah bayangannya mengingatnya? Apakah bayangannya bertindak atas dasar keluhan-keluhan kecil yang bahkan Reno sendiri sudah melupakan?
Pikiran itu lebih menakutkan daripada yang lain. Jika bayangan itu adalah manifestasi dari sisi gelap dirinya, sisi yang memendam dendam atas hal-hal kecil, sisi yang kejam dan impulsif... itu berarti bayangan itu adalah bagian dari dirinya. Bagian yang ia takuti, bagian yang ia tekan.
Reno mencoba berargumen dengan bayangannya dalam hati. "Kenapa kamu melakukan ini? Kenapa kamu menyakiti mereka?" Ia tak mendapat jawaban. Hanya bisikan paranoia yang semakin kuat.
Suatu sore, Reno kehabisan makanan. Ia terpaksa harus keluar. Ia memakai topi dan kacamata hitam, berharap bisa mengurangi pantulan dan menghindari pandangan orang lain. Ia berjalan tergesa-gesa ke minimarket terdekat. Di rak minuman, ia melihat seorang bapak-bapak sedang mencari-cari sesuatu. Bapak itu tampak sedikit kesal, menggerutu karena tak menemukan merek minumannya.
Reno mengambil susu, berusaha cepat-cepat pergi. Namun, di lemari pendingin yang memantul, ia melihat bayangannya. Bayangannya berdiri di belakang bapak itu, lalu, dengan gerakan cepat yang Reno tak lakukan, bayangannya mencengkeram bahu bapak itu, lalu mendorongnya ke depan.
Bapak itu oleng, menabrak rak dan beberapa botol minuman jatuh berserakan. Bapak itu terkesiap, menoleh ke belakang, namun tak melihat siapa-siapa. Ia hanya melihat Reno, yang mematung di dekatnya dengan wajah pucat. Bapak itu menatap Reno dengan curiga, seolah Reno lah yang mendorongnya.
"Maaf, Pak!" Reno buru-buru mengucapkan. Ia tak peduli bapak itu menganggapnya aneh. Ia hanya ingin pergi. Ia buru-buru membayar belanjaannya dan lari dari minimarket.
Di jalan pulang, Reno hampir menangis. Ia merasa jijik pada dirinya sendiri. Ia merasa seperti monster, meskipun ia tahu ia tidak melakukan apa-apa. Bayangan itu yang melakukannya. Bayangan itu kejam, impulsif, dan tanpa belas kasihan.
Ia merasa terperangkap dalam perangkap psikologis yang ia tak bisa keluar darinya. Bayangan itu adalah musuhnya, tapi juga bagian dari dirinya. Bagaimana cara melawan sesuatu yang berasal dari dalam diri sendiri? Reno tak tahu. Ia hanya tahu bahwa ia harus menghentikan bayangan itu, sebelum bayangan itu melukai seseorang lebih parah, atau bahkan membunuh. Namun, setiap usaha yang ia lakukan untuk memahami atau mengendalikan bayangan itu hanya memperdalam lubang ketakutannya, menariknya semakin jauh ke dalam kegelapan.
Bab 4: Mencari Bukti
Rasa bersalah dan panik adalah kombinasi yang mematikan, menggerogoti Reno dari dalam. Setiap kali ia memejamkan mata, ia melihat wajah Pak Suryo yang berdarah, kaki Andri yang tertekuk aneh, dan ekspresi bingung bapak-bapak di minimarket. Semua itu adalah ulah bayangannya, namun masyarakat akan melihatnya sebagai ulah Reno. Ketidakberdayaan ini lebih menyakitkan daripada rasa takut itu sendiri. Ia tidak bisa melarikan diri dari bayangannya, dan ia tidak bisa membuktikannya kepada siapa pun.
Reno memutuskan untuk mengambil tindakan. Jika kamera tidak bisa menangkapnya, mungkin ada cara lain. Ia mulai mengumpulkan segala bentuk "bukti" yang bisa ia temukan. Pertama, jurnalnya. Ia menuliskan setiap detail kecil yang ia ingat tentang kejadian-kejadian itu: waktu, lokasi, tindakan bayangan, dan akibatnya. Ia menggambar sketsa bayangannya, mencoba menangkap esensi mengerikan dari senyum dingin dan gerakannya yang terpisah. Halamannya dipenuhi coretan histeris dan panik, dengan tanda tanya besar di sana-sini.
Kemudian, ia fokus pada bukti fisik. Reno kembali ke ambang jendela kamarnya. Goresan-goresan tipis yang ia lihat malam itu masih ada, meskipun samar. Ia mengambil fotonya dengan ponsel, memperbesar gambar berkali-kali, berharap detail pisau atau sidik jari aneh bisa terlihat. Namun, itu hanya goresan kayu, tidak ada yang menunjuk pada sesuatu yang tidak wajar.
Ia juga mencoba mencari di sekitar tangga kosan. Mungkin ada tanda-tanda gesekan, jejak kaki yang aneh, atau sidik jari yang tidak biasa. Namun, lantai dan tangga kosan selalu bersih, dan jejak-jejak itu, jika memang ada, sudah lenyap tertelan aktivitas penghuni lain. Setiap usaha untuk menemukan bukti fisik yang konkret berakhir dengan kekecewaan, memperkuat keyakinannya bahwa bayangannya itu cerdas dan berhati-hati, atau, yang lebih mengerikan, hanya terlihat olehnya.
Ketidakmampuan untuk membuktikan keberadaan bayangan itu mendorongnya ke ambang batas. Reno tahu ia tidak bisa menyimpan ini sendiri. Ia butuh seseorang untuk mempercayainya, seseorang yang bisa melihat apa yang ia lihat. Pilihannya jatuh pada Dika, teman dekatnya yang pragmatis namun loyal. Dika adalah satu-satunya yang tidak akan langsung menertawakannya, atau setidaknya akan mendengarkan.
Sore itu, Reno mengajak Dika untuk makan di luar. Ia memilih tempat yang sepi, jauh dari keramaian dan, yang terpenting, jauh dari permukaan reflektif. Dika menyadari perubahan pada Reno. Mata Reno cekung, kulitnya pucat, dan ia terus-menerus melihat ke sekeliling, seolah mengharapkan sesuatu muncul dari balik bayangan.
"Ren, lo beneran harus istirahat," kata Dika, suaranya dipenuhi kekhawatiran yang tulus. "Kelihatan banget lo kurang tidur."
Reno menggeleng. "Bukan cuma kurang tidur, Dik. Ada yang... terjadi padaku." Ia ragu-ragu, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku tahu ini bakal kedengaran gila, tapi... bayanganku. Bayanganku bergerak sendiri."
Dika mengerutkan kening, ekspresinya berubah dari khawatir menjadi bingung. "Maksud lo... bayangan di cermin?"
Reno mengangguk cepat. "Bukan cuma di cermin. Di dinding, di genangan air, di mana pun ada pantulan. Dia bergerak. Dia menunjuk. Dia... dia yang membuat Pak Suryo jatuh. Dia yang mendorong Andri."
Dika terdiam. Ia menatap Reno dengan tatapan yang Reno kenali: campuran simpati dan keraguan. Reno mengeluarkan jurnalnya yang penuh coretan dan sketsa. "Lihat ini. Aku menuliskan semuanya. Aku merekamnya." Ia menunjukkan foto goresan di ambang jendela. "Ini bekas pisau yang dia pakai."
Dika mengambil ponsel Reno, mengamati foto goresan itu. Lalu ia membuka jurnal Reno, membolak-balik halamannya, matanya mengikuti coretan-coretan panik Reno. Ekspresinya semakin sulit diuraikan. Ada kerutan di dahinya, tanda ia sedang berpikir keras.
"Ren..." Dika meletakkan jurnal dan ponsel Reno di meja, menatapnya lurus. "Aku... aku nggak melihat apa yang kamu lihat di video. Goresan ini... bisa jadi bekas apa aja. Dan coretanmu ini..." Ia menunjuk jurnal, "ini kayaknya... kamu terlalu stres."
Jantung Reno mencelos. Ia berharap Dika akan mengerti. "Tapi, Dik, aku bersumpah! Aku melihatnya! Aku melihat bayanganku mendorong Andri! Aku melihat dia memegang pisau!" Suara Reno meninggi, nyaris histeris. Ia tidak peduli jika orang lain mendengar. Ia hanya ingin Dika percaya.
"Aku percaya kamu merasakan ini, Ren," kata Dika lembut, nada suaranya berubah menjadi lebih hati-hati, seperti berbicara dengan anak kecil yang ketakutan. "Tapi mungkin... mungkin pikiran kamu cuma terlalu lelah. Kamu terlalu banyak begadang, terlalu banyak mikir. Aku pernah dengar ada kasus orang halusinasi karena stres berlebihan. Atau... kamu harusnya coba konsultasi ke psikolog kampus. Mereka bisa bantu."
Kata "halusinasi" dan "psikolog" menghantam Reno seperti tamparan keras. Jadi, Dika mengira ia gila. Reno mengepalkan tangannya di bawah meja, berusaha menahan amarah yang membuncah. Ia tidak gila. Ia tidak halusinasi. Ia melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Dika, teman kepercayaannya, tidak mempercayainya.
"Aku nggak gila, Dik!" suara Reno bergetar. "Ini nyata! Aku tahu ini nyata!"
Dika menghela napas. "Ren, aku temanmu. Aku peduli sama kamu. Tapi dari yang aku lihat, kamu butuh bantuan profesional. Kamu udah berubah. Kamu nggak pernah kayak gini sebelumnya."
Reno merasa dikhianati. Dika tidak percaya padanya. Tak ada yang akan percaya padanya. Ia sendirian menghadapi entitas tak berwujud ini. "Aku nggak butuh psikolog," kata Reno dingin, meraih jurnalnya kembali. "Aku butuh kamu percaya padaku."
Dika hanya menatapnya dengan tatapan penuh simpati yang terasa seperti belas kasihan. "Aku akan selalu percaya kamu, sebagai temanku. Tapi aku juga percaya kamu butuh bantuan, Ren."
Percakapan itu berakhir dengan tegang. Reno membayar makanan dan pergi, meninggalkan Dika duduk sendiri dengan wajah khawatir. Rasa frustrasi dan putus asa melanda Reno. Ia telah mencoba mencari bukti, ia telah mencoba mencari bantuan, dan hasilnya nol besar. Bahkan satu-satunya orang yang ia percaya mengira ia telah kehilangan akal sehatnya.
Kembali di kosan, Reno mengunci dirinya di kamar. Ia membanting jurnalnya ke lantai. Amarahnya meluap, bercampur dengan kesedihan yang mendalam. Ia benar-benar sendirian.
Ia menatap pantulan dirinya di jendela yang gelap. Bayangannya ada di sana, menatapnya balik. Bayangan itu tidak bergerak, hanya berdiri diam, dengan senyum tipis yang kini terasa seperti ejekan. Reno merasa ada ledakan energi dalam dirinya, sebuah kemarahan murni yang tak tertahankan.
"Kamu mau apa?!" teriak Reno pada bayangannya, suaranya serak dan putus asa. "Kamu mau membuatku gila?! Itu maumu?!"
Bayangan itu tidak menjawab. Hanya senyum itu, yang semakin lebar, semakin dingin.
Reno merasa terpojok. Terperangkap. Ia tidak punya tempat berlindung. Ia tidak punya siapa pun yang bisa ia andalkan. Ia adalah mangsa bagi entitas tak berwujud ini, yang kini telah mengisolasi dirinya dari dunia luar. Dan dalam kesendirian yang pahit itu, Reno tahu bahwa pertarungan dengan bayangannya baru saja dimulai. Pertarungan yang mungkin akan ia kalahkan. Pertarungan yang mungkin akan merenggut kewarasannya sepenuhnya.
Bab 5: Serangan Malam
Malam itu, setelah konfrontasinya yang pahit dengan Dika, Reno terjebak dalam pusaran keputusasaan yang dalam. Penolakan Dika, satu-satunya orang yang ia harapkan akan mempercayainya, adalah pukulan telak. Dunia terasa menyempit, dan ia merasa seperti terperangkap dalam jebakan kaca, di mana hanya ia yang bisa melihat ancaman yang mendekat. Kamarnya, yang dulunya adalah tempat perlindungan, kini terasa seperti sangkar. Setiap bayangan yang menari di dinding karena lampu jalan yang berkedip di luar jendela, setiap pantulan samar di layar ponsel yang mati, mengirimkan gelombang ketakutan.
Reno mencoba mengalihkan pikirannya dengan belajar. Ia memaksa dirinya membuka buku-buku teknik yang penuh rumus dan diagram. Otaknya, yang biasanya mampu menyerap informasi kompleks dengan mudah, kini terasa seperti saringan. Kata-kata mengambang di halaman, tak bermakna. Konsentrasinya terus terpecah oleh bisikan paranoia. Ia terus menoleh ke belakang, ke arah jendela, ke arah pintu yang terkunci, seolah bayangannya bisa muncul dari celah mana pun.
Waktu merangkak lambat. Jarum jam berputar seolah enggan bergerak. Reno tak tahu pukul berapa, tapi kegelapan di luar jendela sudah sangat pekat, dan keheningan kosan adalah tanda bahwa sebagian besar penghuni sudah terlelap. Tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin yang menusuk. Bukan dinginnya AC atau angin malam, tapi dingin yang lebih dalam, seperti kehadiran yang tak kasat mata. Bulu kuduknya merinding.
Ia menoleh perlahan ke ujung kamarnya, ke sudut di mana tumpukan buku dan tas tergeletak. Dan di sana, berdiri tegak, adalah bayangannya.
Bukan di cermin. Bukan di dinding. Bukan di jendela. Bayangan itu berdiri di tengah ruangan, hitam pekat, konturnya jelas meskipun tidak ada sumber cahaya langsung yang membentuknya. Ia tampak lebih substansial, lebih padat daripada sebelumnya, seolah kegelapan telah memberinya bentuk. Jantung Reno berdebar kencang, menggila di dalam dadanya. Ia tidak bisa bernapas. Ia tidak bisa berteriak. Seluruh tubuhnya lumpuh oleh teror murni.
Bayangan itu tidak bergerak. Ia hanya berdiri di sana, mengarah ke dinding yang berbatasan langsung dengan kamar tetangganya, Ardi, seorang mahasiswa Hukum yang ramah dan sering menyapa Reno. Reno bisa mendengar dengkuran halus Ardi dari balik dinding.
Lalu, pelan-pelan, sangat pelan, bayangan itu mulai mengangkat tangan kanannya. Jemarinya, yang sebelumnya terlihat pasif, kini tampak lebih ramping, lebih tajam. Gerakannya sangat lambat, nyaris disengaja, seolah bayangan itu ingin Reno melihat setiap detail. Ia melihat bayangan itu menyentuh dinding, tepat di atas kepala Ardi yang sedang tertidur.
Reno menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan suara ketakutan yang mencekiknya. Ia memejamkan mata erat-erat, berharap ketika ia membukanya lagi, bayangan itu akan lenyap. Tapi ketika ia memberanikan diri membuka mata, bayangan itu masih di sana. Tangannya masih menempel di dinding. Dan Reno bisa mendengar suara aneh dari balik dinding: suara gesekan pelan, seperti sesuatu yang tajam mengikis permukaan.
Suara itu berhenti. Bayangan itu menarik tangannya dari dinding. Kemudian, ia perlahan-lahan berbalik, menatap Reno. Mata Reno melebar. Ia tidak bisa melihat detail mata di bayangan hitam pekat itu, tapi ia merasakan tatapannya, tatapan kosong yang menusuk ke dalam jiwanya. Dan di bibir bayangan itu, terukir senyum tipis yang kini terasa seperti seringai jahat, senyum yang mengatakan, 'Aku di sini. Dan aku melakukan ini.'
Reno tidak tahan lagi. Rasa takut bercampur mual membanjirinya. Ia muntah di lantai, isi perutnya keluar tanpa bisa ia kendalikan. Bayangan itu masih berdiri di sana, mengawasinya, senyumnya tidak memudar.
Tiba-tiba, bayangan itu mulai melayang maju, perlahan tapi pasti, mendekati Reno. Reno mundur, merangkak mundur hingga punggungnya membentur dinding, memeluk lututnya, gemetar tak terkendali. Ia merasa terjebak, terpojok. Apakah bayangan itu akan menyentuhnya? Melukainya?
Namun, sebelum bayangan itu mencapai dirinya, suara teriakan nyaring yang memekakkan telinga terdengar dari kamar Ardi. Disusul oleh suara benda jatuh, dan kemudian, suara rintihan kesakitan yang sangat jelas.
Bayangan itu berhenti melayang. Ia menoleh ke arah dinding kamar Ardi lagi, seolah puas dengan suara yang ia dengar. Kemudian, dalam sekejap mata, bayangan itu menghilang, larut kembali ke dalam kegelapan yang tak terlihat.
Reno terdiam. Suara rintihan Ardi terus terdengar. Jantungnya berdebar kencang, bukan lagi karena takut pada bayangan itu, melainkan karena rasa bersalah yang membakar. Bayangan itu telah melakukan sesuatu pada Ardi. Ia tahu itu. Ia melihat bayangan itu menyentuh dinding, ia mendengar suara gesekan, dan kemudian teriakan.
Ia harus melakukan sesuatu. Ia harus menolong Ardi. Dan ia harus menghentikan bayangan ini.
Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Reno memaksa dirinya bangkit. Kakinya gemetar, namun ia menyeret langkahnya ke pintu. Ia membuka pintu kamarnya, keluar ke lorong yang gelap. Lampu darurat di ujung lorong memberikan cahaya remang-remang. Ia mendengar suara langkah kaki dari kamar-kamar lain yang mulai terbuka.
Ia melesat ke pintu kamar Ardi. Pintu itu sedikit terbuka. Reno mendorongnya dan melihat pemandangan yang mengerikan. Ardi tergeletak di lantai, di dekat tempat tidurnya. Ada bercak darah di bantalnya, dan lengannya tergores panjang, dalam, dan berdarah, seolah baru saja diserang dengan benda tajam. Wajah Ardi pucat pasi, menahan rasa sakit.
"Ardi! Kamu kenapa?!" teriak Reno, melupakan semua ketakutannya pada bayangan. Ia berlutut di samping Ardi, mencoba melihat lukanya.
"Aku... aku nggak tahu," suara Ardi lemah, napasnya terputus-putus. "Tiba-tiba... ada yang menyerangku di kegelapan. Aku nggak lihat apa-apa."
Saat itu, penghuni kosan lain mulai berdatangan, menyalakan lampu lorong. Mereka melihat Reno berlutut di samping Ardi yang terluka parah. Pandangan mereka tertuju pada Reno, lalu pada luka Ardi, lalu kembali ke Reno, dengan tatapan yang penuh pertanyaan dan kecurigaan.
"Reno, kamu... kamu ngapain?" tanya salah satu penghuni, suaranya dipenuhi ketidakpercayaan.
Reno tahu apa yang mereka pikirkan. Ia yang berada di sana, di samping korban. Ia yang terlihat mencurigakan. Ia yang selama beberapa hari terakhir menunjukkan perilaku aneh. Kepanikan yang dingin merayapinya lagi.
"Bukan aku! Itu... bayangan! Aku melihatnya! Ada bayangan yang menyerang Ardi!" teriak Reno, suaranya putus asa, nyaris tak terkontrol.
Tentu saja, tidak ada yang percaya. Ekspresi di wajah mereka berubah menjadi jijik dan ketakutan. Mereka memandang Reno seolah ia adalah ancaman, bukan korban.
Seorang penghuni buru-buru mengambil ponselnya. "Kita harus panggil polisi!"
Reno tahu ini akan terjadi. Ia sudah memperkirakannya. Tapi ia tidak menyangka betapa cepatnya. Bagaimana ia akan menjelaskan kepada polisi? Bagaimana ia akan membuktikan keberadaan bayangan yang tak terlihat oleh siapa pun selain dirinya?
Dalam kekacauan itu, Reno hanya bisa menatap Ardi yang merintih kesakitan, dan kemudian ke arah dinding di kamar Ardi, tempat bayangan itu berdiri dan menyentuh. Rasa bersalah menghimpitnya begitu kuat hingga ia merasa akan pingsan. Bayangan itu sudah terlalu jauh. Ia telah melukai orang. Dan sekarang, Reno adalah yang akan menanggung akibatnya. Ia adalah sang tersangka.
Bab 6: Hasil Penyelidikan
Lorong kosan yang remang-remang berubah menjadi panggung drama yang suram. Teriakan Reno tentang "bayangan" hanya disambut tatapan ngeri dan curiga dari penghuni lain. Dalam beberapa menit, suara sirene polisi memecah keheningan malam Makassar, dan tak lama kemudian, lampu biru-merah memenuhi area kosan dengan pantulan berkedip-kedip. Reno tahu, saat itulah garis antara realitas dan kegilaan akan ditarik paksa oleh hukum.
Dua orang polisi tiba, seorang bintara muda yang tampak tegang dan seorang polisi senior bertubuh besar dengan ekspresi lelah. Mereka segera mengamankan area. Ardi, dengan lengan berdarah dan wajah pucat, sudah dikerumuni beberapa teman yang membantunya menahan sakit. Polisi senior, dengan lencana nama Iptu Sudir, langsung menghampiri Reno.
"Anda yang ada di sini saat kejadian?" tanya Iptu Sudir, suaranya berat dan tanpa basa-basi. Matanya meneliti Reno dari ujung kepala hingga kaki.
Reno, yang masih gemetar karena syok dan panik, berusaha mengendalikan diri. "Saya... saya yang menemukan dia, Pak. Saya mendengar teriakannya."
"Dan Anda melihat apa yang terjadi?" Sudir melanjutkan, tatapannya tajam.
Reno ragu. Bagaimana ia bisa menjelaskan tentang bayangan? Namun, ia juga tidak bisa berbohong. "Saya... saya melihatnya, Pak. Ada... ada bayangan. Dia yang menyerang Ardi." Kata-katanya keluar dengan cepat, terbata-bata.
Wajah Iptu Sudir sedikit berkerut. Ia menoleh ke arah penghuni lain yang masih berbisik-bisik, beberapa di antaranya menunjuk ke arah Reno. "Apakah ada saksi lain yang melihat 'bayangan' ini?" tanyanya keras pada kerumunan.
Tentu saja, tidak ada yang bersuara. Hanya gelengan kepala dan tatapan penuh prasangka pada Reno. Salah seorang penghuni bahkan berani berucap, "Dia bilang sendiri, Pak, bayangan yang serang. Padahal cuma dia yang ada di situ."
Mendengar itu, Iptu Sudir menghela napas panjang. Ia menatap Reno lagi, kali ini dengan ekspresi yang lebih serius, lebih skeptis. "Baiklah, Saudara Reno. Anda harus ikut ke kantor untuk dimintai keterangan lebih lanjut."
Reno tak punya pilihan. Ia digiring ke mobil polisi, meninggalkan kosan yang kini terasa dingin dan asing. Sepanjang perjalanan, otaknya berpacu. Ia mencoba menyusun cerita yang masuk akal, tapi setiap skenario selalu berakhir dengan orang-orang menganggapnya gila.
Di kantor polisi, Reno ditempatkan di sebuah ruangan interogasi yang minim, hanya ada meja dan dua kursi. Lampu neon di atas kepala berkedip-kedip, menambah pusing di kepalanya. Iptu Sudir dan bintara muda itu masuk, membawa berkas catatan.
"Baik, Saudara Reno," kata Sudir, meletakkan berkas di meja. "Ceritakan dari awal, apa yang Anda lihat."
Reno mengulang ceritanya. Tentang bagaimana bayangannya mulai bergerak sendiri, senyum yang bukan miliknya, gerakan menunjuk di kantin, dorongan di minimarket, dan puncaknya, bayangan yang muncul di kamarnya dan menyerang Ardi dengan pisau. Ia berusaha sesekali berhenti, memberikan detail, mencari reaksi di wajah polisi. Tapi mereka hanya mencatat, tanpa ekspresi, tanpa tanda-tanda percaya.
Setelah Reno selesai, Iptu Sudir hanya menatapnya lurus. "Kami sudah berbicara dengan beberapa penghuni kosan Anda. Mereka semua bilang, Anda sudah menunjukkan perilaku aneh beberapa hari terakhir. Mengurung diri, terlihat panik, dan sering berbicara sendiri."
Dunia Reno runtuh. Dika pasti menceritakan kekhawatirannya, dan penghuni kosan lainnya juga telah mengamati perilakunya. Reputasinya sebagai mahasiswa teknik yang logis dan waras kini hancur berkeping-keping.
"Kami juga sudah memeriksa TKP," lanjut Sudir. "Tidak ada jejak kaki asing, tidak ada tanda-tanda penerobosan. Hanya Anda dan korban yang berada di sana." Ia menunjuk ke berkasnya. "Luka pada korban, dari hasil pemeriksaan awal tim medis, konsisten dengan serangan menggunakan benda tajam berukuran kecil, seperti pisau dapur. Apakah Anda memiliki pisau di kamar Anda, Saudara Reno?"
Reno ingat. Ia memang punya pisau buah kecil di laci dapurnya. "Iya, Pak. Tapi saya tidak menggunakannya."
"Bagaimana kami bisa yakin?" Iptu Sudir mencondongkan tubuhnya sedikit. "Keterangan Anda tentang 'bayangan' ini... sulit kami terima, Saudara Reno. Tidak ada saksi, tidak ada bukti fisik."
"Tapi saya melihatnya, Pak!" Reno bersikeras, suaranya naik. "Saya bahkan punya bukti di ponsel saya!" Ia buru-buru mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan video yang ia rekam di Bab 4, di mana bayangannya terlihat normal. Ia juga menunjukkan foto goresan di ambang jendela.
Iptu Sudir mengambil ponsel Reno, memutar video itu. Ia menontonnya beberapa kali, lalu mengangguk-angguk. "Ya, ini memang bayangan Anda. Normal. Tidak ada yang aneh." Ia menyerahkan ponsel itu kembali. "Dan goresan ini," ia menunjuk foto, "tidak menunjukkan karakteristik goresan pisau. Bisa jadi bekas gesekan furnitur, atau apa pun."
Reno merasa frustrasi yang luar biasa. Ia sudah tahu ini akan terjadi. Kamera tidak bisa menangkapnya. Bayangan itu terlalu cerdas, terlalu licik.
"Kami juga sudah memeriksa rekaman CCTV di sekitar kosan dan minimarket tempat kejadian sebelumnya yang Anda sebutkan," tambah Iptu Sudir, seolah membaca pikiran Reno. "Di minimarket, hanya Anda yang terlihat terburu-buru keluar setelah Bapak tua itu tersandung. Tidak ada orang lain yang mendekatinya. Dan di tangga kampus, dari CCTV yang kami dapat dari kampus, hanya Pak Suryo yang terpeleset sendiri. Tidak ada orang yang mendorongnya, apalagi 'bayangan'."
Setiap argumen Reno dipatahkan oleh fakta, oleh bukti yang tidak terlihat olehnya namun terlihat oleh semua orang. Ia terdengar seperti orang gila. Ia diperlakukan seperti penipu.
"Saudara Reno," kata Iptu Sudir, suaranya kini terdengar lebih berwibawa dan final, "dari semua bukti yang kami kumpulkan, dan dari keterangan saksi yang kami dapatkan, yang terlihat hanya Anda. Perilaku Anda yang aneh, tidak adanya saksi 'bayangan' ini, dan luka korban yang konsisten dengan serangan fisik... Kami memiliki dasar kuat untuk menduga Anda adalah pelakunya."
"Tidak! Bukan saya! Itu bayangan!" teriak Reno, memukul meja. Rasa takutnya kini bercampur dengan amarah pada ketidakadilan ini.
Bintara muda itu segera melangkah maju, siap menahan Reno. "Tenang, Saudara!"
Iptu Sudir mengangkat tangan, menghentikan bintara itu. Ia menatap Reno dengan tatapan yang kini bukan lagi curiga, melainkan campuran iba dan keprihatinan. "Saudara Reno, kami akan menahan Anda untuk sementara waktu. Kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut, termasuk pemeriksaan kejiwaan. Ini demi kebaikan Anda juga."
"Pemeriksaan kejiwaan?!" Reno menatap Iptu Sudir dengan mata melebar. Jadi mereka benar-benar mengira ia gila. "Saya tidak gila! Saya tidak melakukannya!"
Namun, suara Reno hanya bergema di ruangan yang kosong dan dingin itu. Kata-katanya tak didengar, kebenarannya tak dipercaya. Ia digiring keluar dari ruangan, diborgol. Saat borgol dingin itu melingkari pergelangan tangannya, Reno merasa terputus sepenuhnya dari dunia. Ia sendirian, menghadapi tuduhan kejahatan yang tidak ia lakukan, dan entitas gelap yang sebenarnya bertanggung jawab, bayangannya sendiri, tetap berkeliaran bebas, tak terlihat oleh siapa pun, hanya tersenyum dalam kegelapan.
Pintu sel berjeruji besi tertutup di belakangnya dengan bunyi keras. Reno merosot ke lantai, punggungnya membentur dinding yang dingin. Dalam kesendirian itu, ia melihat pantulan dirinya di genangan air kecil di lantai sel. Bayangannya muncul. Ia tidak tersenyum. Ia hanya menatap Reno, dengan tatapan yang kosong, namun di mata Reno, tatapan itu terasa seperti kemenangan.
Bab 7: Pengungkapan Mengejutkan
Kegelapan sel tahanan adalah teman yang kejam. Tidak ada cermin, tidak ada permukaan reflektif, hanya dinding semen yang dingin dan bau apak. Namun, bagi Reno, ketiadaan bayangan itu tidak membawa kelegaan. Malah, ketiadaannya terasa seperti bayangan itu kini berada di mana-mana, mengawasinya dari setiap sudut yang tak terlihat. Malam-malam di dalam sel adalah siksaan. Pikiran-pikiran berkejaran tanpa henti: Apakah ia benar-benar gila? Bagaimana jika semua yang ia lihat hanyalah delusi? Tapi bagaimana dengan goresan di jendela? Bagaimana dengan rasa puas yang aneh itu?
Pagi hari kedua penahanannya, jeruji sel terbuka. Seorang petugas memberitahu Reno bahwa seorang psikiater akan menemuinya. Jantung Reno berdebar kencang. Ini adalah momen yang ia takutkan, saat ia akan dihakimi atas kewarasannya. Ia digiring ke sebuah ruangan kecil yang lebih terang, tanpa jendela, tanpa cermin. Di sana, seorang wanita paruh baya berambut abu-abu rapi, dengan kacamata bertengger di hidungnya, sudah menunggunya. Ia memperkenalkan diri sebagai Dr. Karina, seorang psikiater forensik yang ditunjuk oleh kepolisian.
"Selamat pagi, Reno," kata Dr. Karina dengan suara tenang dan lembut, nadanya tidak menghakimi. "Saya Dr. Karina. Saya di sini untuk berbicara dengan Anda. Tidak ada yang akan merekam atau menghakimi Anda. Saya hanya ingin memahami apa yang Anda alami."
Reno menatapnya curiga. Ia sudah lelah dengan simpati palsu dan tatapan meragukan. "Saya tidak gila," ucap Reno, suaranya serak karena jarang bicara.
Dr. Karina tersenyum tipis. "Saya tidak pernah mengatakan Anda gila, Reno. Saya di sini hanya untuk membantu Anda memahami apa yang terjadi. Bisakah Anda ceritakan dari awal?"
Reno mengulang ceritanya. Kali ini, ia menceritakannya dengan lebih tenang, lebih detail, seolah ia sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri lebih dari Dr. Karina. Ia menceritakan setiap gerakan aneh bayangannya, setiap insiden, setiap rasa takut dan frustrasi yang ia alami. Ia bahkan menceritakan bagaimana ia mencoba merekamnya, dan kegagalan yang ia alami.
Dr. Karina mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali membuat catatan di buku kecilnya. Ia tidak menyela, tidak menunjukkan ekspresi terkejut atau skeptis. Wajahnya tetap datar, namun matanya yang cerdas terlihat menganalisis setiap kata.
Setelah Reno selesai, Dr. Karina menutup buku catatannya. "Terima kasih, Reno. Saya menghargai kejujuran Anda." Ia menghela napas perlahan. "Sebelum Anda melanjutkan, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan tentang masa lalu Anda."
Reno mengerutkan kening. "Masa lalu saya? Apa hubungannya?"
"Sangat berhubungan," jawab Dr. Karina. "Kami melakukan pemeriksaan latar belakang Anda. Ditemukan bahwa Anda pernah dirawat di rumah sakit sebagai remaja. Ada catatan tentang 'delusi visual' setelah... insiden traumatis."
Dunia Reno berhenti berputar. Kejadian itu... kejadian itu sudah ia kubur dalam-dalam, jauh di sudut paling gelap ingatannya. Ia tidak pernah membicarakannya dengan siapa pun, bahkan dengan Dika.
"Apa yang Anda maksud?" Reno bertanya, suaranya tiba-tiba tegang.
"Orang tua Anda, Ibu Anda, meninggal dunia secara tragis ketika Anda berusia lima belas tahun," kata Dr. Karina, nada suaranya tetap tenang. "Kecelakaan mobil. Anda adalah satu-satunya saksi. Setelah kejadian itu, Anda sempat dirawat karena trauma berat dan... mengalami halusinasi penglihatan. Anda melihat Ibu Anda, atau bayangan Ibu Anda, selama berbulan-bulan."
Kilasan kenangan yang menyakitkan menusuk pikiran Reno. Ya. Ia ingat. Setelah kecelakaan mengerikan itu, ia sering melihat siluet ibunya di sudut ruangan, di balik pintu, bahkan di pantulan kaca jendela. Sosok yang samar, kadang tersenyum, kadang menangis. Ia yakin itu ibunya, kembali untuk mengawasinya. Dokter saat itu mengatakan itu adalah cara otaknya mengatasi trauma, sebuah mekanisme pertahanan yang menciptakan delusi visual. Seiring waktu, halusinasi itu memudar, dan Reno tumbuh menjadi pribadi yang logis, yang menekan semua kenangan menyakitkan itu jauh di dalam dirinya.
"Itu... itu sudah lama," gumam Reno, suaranya melemah. "Itu beda. Itu Ibu saya. Ini... ini bayangan saya sendiri."
"Memang terlihat berbeda, Reno," kata Dr. Karina dengan lembut. "Namun, ada pola yang mengkhawatirkan. Setelah trauma besar, otak Anda bereaksi dengan menciptakan 'proyeksi visual' untuk mengatasi beban emosional. Sekarang, dengan tekanan yang Anda alami sebagai mahasiswa, dengan kurang tidur, kecemasan, dan mungkin beberapa peristiwa kecil yang menumpuk di pikiran bawah sadar Anda... otak Anda mungkin bereaksi lagi."
Dr. Karina mengambil napas dalam-dalam. "Saya meyakini bahwa Anda tengah mengalami apa yang kami sebut psikosis dengan proyeksi diri destruktif. Bayangan yang Anda lihat itu, Reno... itu bukan entitas eksternal. Itu adalah proyeksi dari sisi gelap diri Anda sendiri. Emosi yang tertekan, frustrasi, kemarahan yang tidak Anda sadari, dendam atas hal-hal kecil yang Anda abaikan... semua itu menjelma menjadi 'bayangan' yang bertindak sesuai dengan keinginan bawah sadar Anda."
Reno menatapnya, syok. "Sisi gelap? Saya tidak punya sisi gelap seperti itu!"
"Setiap orang memilikinya, Reno," Dr. Karina menjelaskan. "Ada hal-hal yang membuat kita kesal, marah, atau iri, tapi kita tidak bisa mengungkapkannya secara langsung karena norma sosial atau karena kita tidak ingin menjadi orang yang 'buruk'. Emosi-emosi itu tidak hilang, mereka terpendam. Dan dalam kasus Anda, di bawah tekanan ekstrem, alam bawah sadar Anda memproyeksikannya menjadi entitas terpisah yang bertindak sesuai dorongan-dorongan itu."
"Jadi... saya yang melakukannya?" Suara Reno bergetar. "Saya yang melukai mereka?"
Dr. Karina mengangguk perlahan, tatapannya penuh empati. "Berdasarkan semua bukti yang kami dapatkan, ya, Reno. Anda yang melakukannya. Anda yang tersandung mahasiswi di kantin secara tidak sadar, Anda yang mendorong Andri, Anda yang menggoreskan pisau itu di ambang jendela. Dan Anda yang menyerang Ardi. Bayangan itu adalah cara otak Anda untuk memisahkan diri Anda dari tindakan itu, agar Anda tidak harus menghadapi kenyataan bahwa Anda mampu melakukan hal-hal tersebut."
Pengakuan itu menghantam Reno seperti gelombang raksasa. Rasanya seperti seluruh tubuhnya dibalik, semua keyakinannya dihancurkan. Ia bukan korban. Ia adalah pelaku. Bayangan itu bukan musuh dari luar, melainkan monster yang bersembunyi di dalam dirinya sendiri. Rasa bersalah yang ia rasakan sebelumnya berlipat ganda, membebani jiwanya hingga nyaris remuk. Ia telah melukai orang. Orang-orang yang tak bersalah.
"Saya... saya tidak sadar," bisik Reno, matanya berkaca-kaca. "Saya... saya tidak ingat melakukan itu."
"Amnesia disosiatif adalah bagian dari kondisi ini," jelas Dr. Karina. "Otak Anda menekan ingatan itu untuk melindungi Anda dari trauma psikologis yang lebih besar. 'Bayangan' itu adalah mekanisme pertahanan diri Anda yang sangat kompleks."
Air mata mulai mengalir di pipi Reno. Bukan karena takut, tapi karena rasa bersalah, malu, dan penyesalan yang mendalam. Selama ini, ia menyalahkan entitas tak berwujud, padahal musuh itu ada di dalam dirinya. Semua penderitaan, semua ketakutan, semua isolasi yang ia alami... adalah hasil dari pertarungannya dengan dirinya sendiri.
"Bagaimana... bagaimana saya bisa menghentikannya?" tanya Reno, suaranya parau.
Dr. Karina mengulurkan tangan, meraih tangan Reno dengan lembut, sebuah sentuhan yang terasa begitu nyata di tengah kehancuran mentalnya. "Dengan menerima, Reno. Dengan memahami dan menerima bahwa 'bayangan' itu adalah bagian dari Anda. Kemudian, kita bisa mulai terapi untuk mengatasi emosi-emosi terpendam itu, untuk menyatukan kembali diri Anda. Ini akan menjadi perjalanan yang panjang dan sulit, tapi Anda tidak sendirian."
Kata-kata "Anda tidak sendirian" terasa seperti mercusuar di tengah badai. Meskipun kebenaran itu menyakitkan, ada setitik harapan. Harapan bahwa ia bisa pulih, bahwa ia bisa mengendalikan dirinya lagi. Namun, beban dari apa yang telah ia lakukan, atas nama 'bayangan' yang ia ciptakan sendiri, akan selamanya menghantuinya. Ia, mahasiswa teknik yang logis dan rasional, telah menjadi monster dalam ceritanya sendiri.
Bab 8: Kebenaran yang Menyakitkan
Pengungkapan dari Dr. Karina adalah sebuah pisau bermata dua. Di satu sisi, ada kelegaan pahit karena akhirnya ia memiliki penjelasan. Tidak ada hantu, tidak ada entitas supernatural. Hanya dirinya sendiri, atau lebih tepatnya, sisi gelap yang selama ini ia sangkal. Namun, di sisi lain, kebenaran itu datang dengan beban yang jauh lebih berat: ia adalah pelaku. Bukan korban. Rasa bersalah menghimpit Reno begitu kuat, memaksanya menerima kenyataan mengerikan dari tindakan-tindakannya yang tidak ia sadari.
Reno tidak lagi di sel tahanan polisi. Berdasarkan rekomendasi Dr. Karina, ia dipindahkan ke fasilitas khusus, sebuah rumah sakit jiwa dengan tingkat keamanan sedang, di salah satu pinggiran kota Makassar yang tenang. Ruangan yang ia tempati memang lebih nyaman dari sel, dengan ranjang yang bersih dan jendela berteralis yang menghadap ke taman. Tapi bagi Reno, kebebasan semu itu tidak ada artinya. Ia tetap terpenjara, bukan oleh jeruji besi, melainkan oleh kebenaran yang baru saja ia terima.
Terapi dimulai segera. Setiap hari, Dr. Karina akan datang mengunjunginya. Sesi-sesi itu panjang dan melelahkan, memaksa Reno untuk menggali kembali ingatan-ingatan yang telah ia kubur dalam-dalam, terutama tragedi kematian ibunya. Ia harus menceritakan detail kecelakaan itu, perasaannya saat itu, dan bagaimana ia mulai melihat "bayangan" ibunya. Semakin ia berbicara, semakin ia menyadari betapa kuatnya mekanisme pertahanan dirinya. Otaknya telah menciptakan bayangan, entah itu ibunya atau kini dirinya sendiri, sebagai cara untuk menanggung trauma dan menyangkal bagian-bagian dirinya yang sulit diterima.
"Ingatan adalah sesuatu yang rumit, Reno," jelas Dr. Karina suatu sore, saat mereka duduk di ruang terapi yang sederhana. "Otak kita seringkali melindungi diri dengan mengubah, bahkan menghapus, hal-hal yang terlalu menyakitkan untuk dihadapi. Anda tidak mengingat tindakan-tindakan itu bukan karena Anda berbohong, tetapi karena alam bawah sadar Anda telah menguncinya, menjauhkan Anda dari rasa sakit dan bersalah."
Kata-kata itu sedikit melegakan, namun rasa bersalah tetap menggerogoti. Reno melihat wajah Ardi yang terluka, wajah Pak Suryo yang berdarah, dan tatapan curiga bapak di minimarket. Semua itu adalah perbuatannya. Tangannya sendiri.
"Bagaimana saya bisa hidup dengan ini, Dok?" tanya Reno, suaranya parau. "Saya sudah melukai orang-orang."
"Langkah pertama adalah penerimaan," jawab Dr. Karina. "Anda sudah melaluinya. Langkah berikutnya adalah pertanggungjawaban dan penyembuhan. Kita akan bekerja untuk menyalurkan emosi-emosi negatif itu dengan cara yang sehat, sehingga 'bayangan' itu tidak lagi memiliki kekuatan untuk mengendalikan Anda."
Selama terapi, Reno mulai memahami. Kemarahan kecilnya pada Pak Suryo yang memberinya nilai rendah, kejengkelannya pada mahasiswi di kantin, frustrasinya pada Andri yang ceroboh dengan bukunya—semua itu adalah emosi normal. Tapi alih-alih diungkapkan atau diselesaikan, ia menekan semuanya. Ia, sebagai seorang yang logis dan rasional, selalu menghindari konflik dan emosi "negatif." Dan penekanan itulah yang memberi kekuatan pada "bayangan" itu. Bayangan itu adalah wujud dari dorongan-dorongan terlarangnya, sisi dirinya yang tak terkendali.
Pada suatu sesi, Dr. Karina membawanya ke sebuah ruangan yang memiliki cermin besar di salah satu dinding. Reno menatap pantulannya. Ia melihat dirinya, kurus, pucat, dengan mata lelah. Ia menunggu. Menunggu bayangan itu bergerak sendiri, tersenyum jahat, menunjuk. Tapi bayangan itu hanya diam, menirunya dengan sempurna.
"Saya masih melihatnya," bisik Reno, suaranya gemetar. "Saya tahu itu saya, tapi... rasanya masih ada sesuatu yang terpisah."
Dr. Karina mengangguk. "Itu normal. Proses penyatuan ini membutuhkan waktu. Anda telah memproyeksikan bagian dari diri Anda sebagai entitas terpisah untuk waktu yang lama. Dibutuhkan upaya sadar untuk mengambil kembali bagian itu."
Reno mulai berlatih. Dr. Karina mengajarkannya teknik meditasi dan mindfulness, fokus pada pernapasan, pada sensasi tubuh, pada pikiran-pikiran yang muncul dan membiarkannya pergi tanpa penghakiman. Ia juga mulai menulis lagi, bukan jurnal berisi ketakutan, melainkan surat permintaan maaf yang tidak akan pernah ia kirimkan. Ini adalah cara untuk menyalurkan rasa bersalahnya, mengakui kesalahannya, dan mulai memaafkan dirinya sendiri.
Puncaknya terjadi ketika ia mengalami insiden penyerangan terhadap seorang penjaga di rumah sakit itu. Reno sedang berjalan di koridor, menuju ruang makan, ditemani oleh seorang perawat dan seorang penjaga keamanan, Bapak Rudi, seorang pria paruh baya yang ramah. Tiba-tiba, Reno merasakan dorongan aneh, sebuah bisikan halus di benaknya, sebuah hasrat untuk melarikan diri, untuk memberontak. Lalu, ia melihatnya. Di pantulan jendela koridor, bayangannya tiba-tiba melesat maju, mengarah ke penjaga itu. Bayangan itu tampak mengangkat tangan, mencengkeram leher penjaga itu.
Reno berteriak. Ia mencoba menahan dirinya, mencoba menarik dirinya kembali. Ia berjuang dengan kekuatan tak terlihat yang menarik lengannya. Perawat yang bersamanya terkejut melihat Reno tiba-tiba meronta dan meraih ke arah penjaga. Penjaga itu, Rudi, terkejut dan sedikit oleng. Reno merasa tubuhnya bergerak sendiri, tangannya merayap, mencengkeram kerah baju Rudi, mendorongnya ke dinding.
"Reno, berhenti!" teriak perawat itu, panik.
Reno melawan dirinya sendiri. Satu sisi dirinya ingin berhenti, sisi lain merasa terpaksa bergerak. Ia melihat bayangannya tersenyum puas di pantulan jendela, senyum yang sama, yang kini terasa begitu menjijikkan karena ia tahu itu adalah senyumnya sendiri. Ia melihat kebingungan dan ketakutan di mata Rudi.
"Bukan aku! Itu dia!" teriak Reno, menunjuk ke jendela. "Bayangan itu!"
Perawat dan beberapa staf lain yang segera datang melumpuhkan Reno. Ia meronta, berteriak, masih mencoba menjelaskan tentang bayangan yang melawannya. Dalam kekacauan itu, Reno merasakan semacam dorongan gila untuk menyerang. Ia yakin ia sedang diselamatkan dari "bayangannya," yang kini mencoba mengendalikan seluruh tubuhnya. Namun, semua bukti menunjukkan bahwa Reno sendirilah yang meronta dan mencoba menyerang.
Ia akhirnya dibawa ke ruang isolasi, diikat ke tempat tidur, disuntik penenang. Saat obat itu mulai bekerja, dan kesadarannya memudar, Reno melihat bayangannya lagi, berdiri di sudut ruangan. Kali ini, bayangan itu tidak tersenyum. Ia hanya menatap Reno, dengan tatapan kosong, seolah menunggu.
Ketika ia terbangun, Dr. Karina sudah ada di sampingnya. "Apa yang terjadi?" bisik Reno, kepalanya berdenyut.
"Anda mengalami episode lain, Reno," kata Dr. Karina dengan wajah serius. "Anda mencoba menyerang salah satu penjaga. Tapi jangan khawatir, tidak ada yang terluka parah. Dan mereka semua tahu Anda sedang dalam perawatan."
Reno menangis. "Saya tidak mau melakukan itu, Dok! Bayangan itu yang membuat saya melakukannya! Dia mendorong saya!"
Dr. Karina memegang tangannya. "Saya tahu rasanya seperti itu, Reno. Dan itu adalah bagian yang paling sulit dari penyakit ini. Anda merasa seperti dikendalikan. Tapi percayalah, Reno, Anda tidak dikendalikan oleh sesuatu di luar diri Anda. Anda sedang bertarung dengan bagian dari diri Anda yang paling gelap. Dan kita akan mengalahkan itu. Bersama-sama."
Kata-kata Dr. Karina adalah sebuah janji. Meskipun ia baru saja melakukan kekerasan, meskipun rasa bersalahnya kini menggunung, ada secercah harapan. Ia melihat wajah bayangannya dalam benaknya. Ia tidak akan membiarkan bayangan itu mengendalikan dirinya lagi. Ia akan melawan. Ia akan menerima kebenaran yang menyakitkan ini, dan ia akan berjuang untuk menyatukan kembali dirinya. Perjalanan ini baru saja dimulai, dan ia tahu ini akan menjadi pertarungan terberat dalam hidupnya.
Bab 9: Di Balik Cermin
Waktu mengalir lambat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. I.B. Putra. Hari-hari Reno kini diisi dengan sesi terapi intensif, kombinasi konseling individu dengan Dr. Karina dan terapi kelompok yang fokus pada pengelolaan emosi. Prosesnya lambat, menyakitkan, dan seringkali membuat frustrasi. Ada hari-hari ketika Reno merasa ia membuat kemajuan, bisa mengidentifikasi pemicu emosinya dan memahami bagaimana "bayangan" itu dulu muncul. Namun, ada juga hari-hari ketika ia merasa bayangan itu masih mengintai, siap melompat keluar dari kegelapan dalam benaknya.
Ia tidak lagi melihat bayangan itu secara fisik, bergerak di cermin atau dinding. Setelah insiden dengan penjaga, dan suntikan penenang yang kuat, frekuensi halusinasi visualnya menurun drastis. Namun, kehadiran bayangan itu masih terasa, sebuah bisikan samar di sudut pikirannya, sebuah dorongan impulsif yang harus ia lawan dengan kesadaran penuh. Itu adalah pertarungan internal yang tak terlihat oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri.
Suatu siang yang cerah di Makassar, Dr. Karina membawa Reno ke ruang terapi yang menjadi tempat favoritnya. Sebuah ruangan yang didominasi oleh jendela besar menghadap taman, dipenuhi tanaman hijau subur. Cahaya matahari masuk dengan hangat, dan dari kejauhan, samar-samar terdengar suara lalu lintas kota yang sibuk, sebuah pengingat akan dunia di luar tembok ini.
"Bagaimana perasaanmu hari ini, Reno?" tanya Dr. Karina, duduk di kursi di hadapannya.
Reno menghela napas. "Lebih baik, Dok. Saya tidak melihatnya. Tapi... saya masih merasakannya. Seperti ada bisikan yang menyuruh saya melakukan sesuatu yang konyol. Misalnya, tadi saat makan siang, saya ingin sekali melempar sendok ke arah perawat karena dia salah memberi saya lauk. Saya tahu itu pikiran konyol, tapi dorongan itu ada."
Dr. Karina mengangguk. "Itu kemajuan, Reno. Anda sudah bisa mengidentifikasi dorongan itu, dan yang terpenting, Anda bisa melawannya. Itu artinya Anda mulai mengambil kembali kendali atas diri Anda. 'Bayangan' itu adalah manifestasi dari dorongan-dorongan impulsif itu, dan sekarang Anda belajar bagaimana mengintegrasikannya kembali ke dalam diri Anda, bukan menekannya."
Reno menatap ke luar jendela. Di pantulan kaca, ia melihat refleksi dirinya yang kurus dan pucat. Ia menatap pantulan itu lama, mencoba mencari senyum tipis yang dulu menghantuinya, atau gerakan-gerakan aneh yang membuatnya nyaris gila. Tidak ada. Hanya wajahnya sendiri. Wajah yang lelah, tapi kini juga menunjukkan tanda-tanda ketenangan.
"Saya... saya ingin meminta maaf," kata Reno, suaranya pelan. Ia tidak berbicara pada Dr. Karina. Ia berbicara pada pantulan dirinya di kaca jendela. "Maaf, karena saya tidak menyadarimu. Maaf karena saya menekanmu. Maaf karena saya membiarkanmu menyakiti orang lain."
Air mata mulai mengalir di pipi Reno. Itu adalah air mata penyesalan, air mata kesedihan atas apa yang telah ia lakukan, dan air mata pemahaman yang baru. Ia menangis untuk Pak Suryo, untuk Andri, untuk bapak-bapak di minimarket, dan bahkan untuk penjaga di rumah sakit. Ia menangis untuk dirinya sendiri, untuk tahun-tahun yang ia habiskan menyangkal bagian dari dirinya, menciptakan monster yang hampir menghancurkan hidupnya.
"Aku tahu kamu marah," lanjut Reno, suaranya bergetar. "Aku tahu kamu terluka. Tapi kita bisa sembuh. Kita bisa jadi lebih baik." Ia menyentuh kaca jendela, jari-jarinya menempel pada pantulannya sendiri. "Aku... aku akan menjagamu. Aku tidak akan menyangkalmu lagi."
Dr. Karina hanya mengamati, membiarkan Reno meluapkan perasaannya. Ini adalah momen krusial dalam terapinya: pengakuan penuh, penerimaan, dan awal dari proses integrasi.
"Kita akan belajar bagaimana menyalurkan emosi-emosi itu dengan cara yang sehat," ujar Dr. Karina lembut. "Menggambar, menulis, berolahraga. Ada banyak cara untuk mengakui 'bayangan' itu tanpa membiarkannya merusak hidup Anda atau orang lain."
Reno mengangguk, masih menatap pantulannya. Ia menghapus air matanya dengan punggung tangan. Perasaannya campur aduk: lega, sedih, dan sedikit harapan. Ia telah mencapai titik terendah, kehilangan segalanya, dan kini ia harus membangun kembali dirinya dari nol.
"Saya... saya akan mencoba, Dok," ucap Reno, suaranya sedikit lebih mantap. "Saya harus."
Dr. Karina tersenyum. "Ya, Anda harus. Dan Anda akan berhasil. Ini adalah perjalanan panjang, Reno, tapi Anda tidak sendirian."
Sesi itu berakhir. Reno berdiri, merasa sedikit ringan, seolah beban berat telah terangkat dari pundaknya. Ia melangkah keluar ruangan, diikuti oleh Dr. Karina.
Saat ia berjalan melewati koridor, menuju kamarnya, ia berhenti sejenak di depan sebuah jendela kaca yang lebih kecil. Jendela itu memantulkan siluetnya dengan jelas. Reno menatapnya. Ia tidak lagi mencari gerakan aneh. Ia tidak lagi mencari senyum jahat.
Ia hanya menatap pantulannya.
Untuk pertama kalinya sejak krisis ini dimulai, Reno menatap ke kaca... dan bayangannya tidak muncul sama sekali. Tidak ada sosok hitam pekat. Tidak ada entitas terpisah. Hanya refleksi transparan dari dunia di luar, dan di atasnya, pantulan samar cahaya dari dalam koridor, yang membentuk siluet dirinya yang kini utuh. Bukan bayangan yang terpisah, melainkan dirinya yang menyatu. Sebuah tanda kecil, namun sangat berarti, bahwa proses penyembuhan telah dimulai. Bayangan itu mungkin belum sepenuhnya menghilang dari benaknya, namun setidaknya, di pantulan fisik, ia telah kembali menjadi bagian dari dirinya. Reno tersenyum, senyum yang tulus, miliknya sendiri.