Masukan nama pengguna
Bab 1: Kedatangan yang Kelam
Malam itu, desa terasa lebih sunyi dari biasanya. Maya memacu mobilnya pelan, melewati jalanan berbatu yang terasa akrab sekaligus asing. Ia sudah hampir sepuluh tahun tidak menginjakkan kaki di desa ini. Desa Wening, namanya, sebuah desa terpencil yang terjepit di antara hutan pinus dan jurang dalam. Nama itu ironis, karena yang Maya rasakan sekarang bukanlah ketenangan, melainkan kecemasan yang menggerogoti.
Ia kembali bukan karena keinginannya, melainkan karena kewajiban. Telepon dari bibinya dua minggu lalu seperti petir di siang bolong. “Ayahmu, Maya… dia tidak baik-baik saja.” Ayahnya, Pak Herman, menderita demensia. Penyakit yang pelan-pelan merenggut ingatannya, merenggut jati dirinya. Maya tahu ia harus pulang. Namun, ada bagian dari dirinya yang menolak. Bagian yang masih menyimpan luka lama, luka yang ditinggalkan desa ini.
Mobilnya berhenti di depan sebuah rumah tua berarsitektur khas Jawa, yang dindingnya mulai lapuk dimakan usia. Jendela-jendela kayu yang usang tampak seperti mata yang memandang kosong. Maya menelan ludah. Rumah ini, rumah masa kecilnya, adalah saksi bisu dari semua hal yang ia coba lupakan. Ia menarik napas dalam-dalam, menguatkan diri.
Seorang wanita paruh baya dengan rambut yang disanggul rapi menyambutnya di depan pintu. Itu Bibi Siti, adik dari ibunya yang sudah lama meninggal. Raut wajahnya tegang dan matanya memancarkan kesedihan.
“Maya, kau akhirnya pulang,” katanya, suaranya serak. Ia memeluk Maya erat, seolah menyalurkan semua bebannya.
“Bagaimana ayah?” tanya Maya, melepaskan pelukan.
Bibi Siti menggeleng pelan. “Demensianya semakin parah. Ia sering mengigau, menyebut-nyebut nama yang tidak kita kenal. Kadang, ia hanya duduk di depan jendela, menatap ke luar seharian.”
Hati Maya mencelos. Ia mengikuti Bibi Siti masuk ke dalam. Bau apak dan jamur langsung menyergap indranya. Semua perabotan masih sama seperti dulu. Foto ibunya yang tersenyum hangat masih tergantung di dinding ruang tamu. Maya tersenyum pahit. Ibu pergi terlalu cepat, meninggalkan ia dan ayahnya berdua. Setelah itu, ayahnya berubah. Ia menjadi pendiam, sering melamun, dan terkadang, tatapannya menjadi kosong, seperti orang yang kehilangan jiwanya.
Bibi Siti membawanya ke sebuah kamar di ujung koridor. Kamar itu gelap, dengan tirai tebal yang menutup jendela. Di sana, di sebuah dipan, terbaring seorang pria tua dengan rambut memutih dan wajah yang kurus. Pak Herman. Maya nyaris tidak mengenalinya. Pria tegap dan ceria yang selalu menggendongnya dulu, kini hanya tinggal bayangan.
Maya mendekat, duduk di samping ayahnya, dan menggenggam tangannya yang keriput. Tangannya terasa dingin dan gemetar. Pak Herman tidak bereaksi. Matanya terpejam.
“Ayah… ini Maya,” bisik Maya.
Perlahan, mata Pak Herman terbuka. Ia menatap Maya, seolah mencoba mengenali siapa wanita di depannya. Ada secercah ingatan, lalu lenyap lagi. Ia hanya menatap Maya dengan mata kosong. Lalu, ia tiba-tiba berbisik, suaranya parau.
“Jangan buka jendelanya… jangan biarkan dia masuk…”
Maya terkejut. “Siapa, Ayah?”
Pak Herman tidak menjawab. Ia hanya terus mengulang kalimat itu, dengan nada yang semakin panik. “Dia… bayangan hitam di jendela… dia… dia melihat…”
Bibi Siti buru-buru mendekat. “Sudah, Nak, jangan didengarkan. Itu hanya omong kosongnya. Biarkan Ayahmu istirahat.”
Maya menatap Bibi Siti dengan bingung. Tapi ia tidak bisa menanyakan lebih lanjut, karena ayahnya kembali tertidur, napasnya terdengar berat. Ia merasakan bulu kuduknya meremang. Siapa bayangan hitam yang ayahnya maksud?
Malam pertama di rumah itu terasa mencekam. Angin berdesir, membuat jendela berderit-derit. Maya tidak bisa tidur. Ia duduk di ruang tamu, hanya ditemani cahaya lampu pijar yang redup. Kepalanya dipenuhi pikiran tentang ayahnya, tentang desa ini, dan tentang masa lalunya yang kelam.
Ia teringat sebuah kejadian saat ia masih kecil. Saat itu, ia sedang bermain di halaman belakang dan melihat ayahnya duduk di depan jendela kamar, dengan tatapan yang sama kosongnya seperti sekarang. Ayahnya duduk diam, hanya menatap ke luar. Saat itu, ia mengira ayahnya sedang melamun. Tapi kini, setelah mendengar bisikan ayahnya, ia mulai bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya ayah lihat di luar jendela itu?
Tiba-tiba, ia mendengar suara aneh dari kamar ayahnya. Suara langkah kaki yang berat dan menyeret. Jantungnya berdebar kencang. Ia bangkit, berjalan perlahan menuju kamar ayahnya. Pintu kamar itu sedikit terbuka.
Dari celah pintu, ia melihat sebuah pemandangan yang membuat darahnya berdesir. Pak Herman, yang seharusnya terbaring lemah, kini berdiri di depan jendela, dengan tirai yang tersingkap. Tangannya memegang gagang jendela, tapi ia tidak membukanya. Ayahnya hanya menatap ke luar, ke arah kegelapan.
Maya mendekat, lalu ia ikut menatap ke luar jendela. Jantungnya nyaris berhenti. Di sana, di balik semak-semak, ia melihat sebuah bayangan hitam. Bayangan itu tinggi, kurus, dan berdiri tegak, membelakangi mereka. Ia tidak bisa melihat wajahnya. Ia hanya bisa melihat siluetnya yang mengerikan.
Siapa itu? Mengapa ia berdiri di sana? Dan mengapa ayahnya menatapnya begitu intens?
Maya memberanikan diri untuk bersuara. “Ayah?”
Bayangan itu tidak bergerak. Ayahnya juga tidak. Mereka seperti dua patung, saling memandang dalam diam. Maya merasakan hawa dingin yang menusuk tulang. Ia teringat bisikan ayahnya. “Jangan buka jendelanya…”
Perlahan, bayangan hitam itu berbalik. Ia tidak memiliki wajah yang jelas. Wajahnya hanya seperti gumpalan kegelapan yang pekat. Namun, Maya bisa merasakan matanya. Sepasang mata yang kosong, tanpa pupil, tanpa emosi, hanya kegelapan yang menatap lurus ke arahnya.
Maya mundur selangkah. Ia menahan napas. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Ia menutup matanya erat-erat, berharap ini hanya mimpi buruk.
Saat ia membuka matanya, bayangan itu sudah tidak ada. Yang ada hanya ayahnya, yang kini kembali duduk di dipan, dengan mata terpejam dan napas yang teratur. Seolah-olah kejadian tadi tidak pernah terjadi.
Maya tidak bisa tidur sama sekali malam itu. Ia meyakinkan dirinya bahwa itu hanya halusinasi akibat kelelahan. Tapi ia tidak bisa melupakan sepasang mata kosong yang menatapnya dari kegelapan. Ia juga tidak bisa melupakan fakta bahwa ayahnya, yang sedang sakit, bisa berdiri dan menyingkap tirai tebal itu.
Keesokan paginya, Maya bangun dengan mata panda. Ia mencuci muka, lalu pergi ke dapur untuk membuat sarapan. Bibi Siti sudah pergi ke pasar. Rumah itu terasa sepi. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan mencuci piring dan membersihkan rumah. Saat ia sedang menyapu halaman depan, ia melihat sesuatu yang aneh.
Di depan pintu rumah, tergeletak sebuah boneka kain usang. Boneka itu kotor dan robek. Maya mengambilnya. Jantungnya berdebar kencang. Boneka itu tidak memiliki mata. Di tempat yang seharusnya ada mata, hanya ada dua lubang kosong.
Maya merasa tak nyaman. Siapa yang menaruh boneka ini di depan rumahnya? Dan mengapa mata boneka itu dicungkil? Ia merasa ini adalah pesan, tapi ia tidak tahu pesan apa. Ia membuang boneka itu ke tempat sampah di belakang rumah.
Beberapa jam kemudian, saat ia ingin mengambil jemuran di halaman belakang, ia melihat boneka itu lagi. Boneka itu sudah keluar dari tempat sampah, tergeletak di dekat sumur tua yang sudah tidak terpakai. Maya merinding. Ia yakin, ia sudah membuangnya dengan benar.
Dengan perasaan ngeri, ia kembali mengambil boneka itu. Kali ini, ia membawanya ke depan rumah, lalu membakarnya. Ia tidak tahu mengapa, tapi ia merasa harus melakukannya. Ia merasa ada aura jahat yang menguar dari boneka itu.
Setelah boneka itu menjadi abu, ia kembali masuk ke dalam rumah, mengunci semua pintu, dan menutup semua jendela. Ia merasa paranoid. Seolah-olah ada seseorang yang mengawasinya, mengintai setiap gerak-geriknya.
Sore harinya, saat ia sedang duduk di ruang tamu, ia mendengar suara ketukan pelan di jendela. Ia menoleh, tapi tidak ada siapa-siapa. Jantungnya berdebar kencang. Ia mencoba menenangkan dirinya, mengatakan pada dirinya sendiri bahwa itu hanya ranting pohon yang terkena angin.
Tapi suara ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras. Ia bangkit, berjalan perlahan menuju jendela. Ia mengintip dari balik tirai. Di luar, di antara semak-semak, ia melihatnya lagi. Bayangan hitam yang ia lihat semalam. Ia berdiri di sana, diam, menatap lurus ke arah jendela.
Maya tidak bisa melihat wajahnya. Tapi ia bisa merasakan tatapan kosongnya. Tatapan yang menusuk, seolah-olah bisa menembus kaca dan menembus jiwanya. Ia mundur, lalu ia melihat ke arah kaki bayangan itu. Ia melihat sesuatu yang ia kenali. Sebuah boneka. Boneka kain usang yang ia bakar tadi. Boneka itu utuh, tidak terbakar sama sekali.
Napas Maya tercekat. Ia menutup mulutnya, menahan jeritan. Ia merasa terperangkap. Ia merasa dikejar. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres di desa ini, dan ia adalah bagian dari teka-teki itu. Ia harus pergi. Ia harus membawa ayahnya pergi dari desa ini. Tapi ia tahu, ayahnya tidak akan mau. Ayahnya terikat dengan rumah ini. Dan Maya pun begitu. Luka masa lalu masih membelenggunya.
Ia menoleh ke arah ayahnya, yang kini duduk di kursi roda, menatap jendela kamar, dengan tatapan kosong yang sama. Ia kembali mengigau. “Jangan buka jendelanya… dia… dia melihat…”
Maya menelan ludah. Ia merasa, ia tidak hanya merawat ayahnya. Ia juga merawat rahasia gelap yang disembunyikan oleh desa ini. Rahasia yang kini, perlahan-lahan, mulai terkuak dan menggerogoti kewarasannya.
Bab 2: Boneka Tanpa Mata
Malam berikutnya, Maya tidak bisa tidur. Bayangan hitam di jendela dan boneka tanpa mata terus menghantuinya. Ia mencoba menenangkan diri dengan membaca buku, tapi setiap kali ia membalik halaman, ia merasa ada seseorang yang mengawasinya. Ia bangkit, pergi ke dapur untuk membuat secangkir teh hangat. Saat ia sedang merebus air, ia mendengar suara aneh dari luar. Suara anak kecil yang tertawa.
Maya menajamkan telinganya. Di desa ini, hampir tidak ada anak-anak yang bermain di malam hari. Suara itu terdengar lagi, lebih dekat. Ia berjalan perlahan ke pintu belakang, mengintip dari celah kecil. Di sana, di halaman belakang, di dekat sumur tua, seorang anak kecil sedang bermain. Anak itu mengenakan piyama biru dan rambutnya berantakan. Ia sedang bermain dengan sebuah boneka.
Jantung Maya berdebar kencang. Anak itu… itu Rio. Anak laki-laki dari tetangganya, Pak Danu. Anak itu seharusnya sudah tidur. Mengapa ia bermain di luar sendirian, di malam hari?
Maya membuka pintu, berniat memanggilnya. Tapi saat ia membuka pintu, Rio menoleh. Ia tersenyum, lalu mengangkat boneka yang ia pegang. Boneka itu… boneka kain usang yang ia bakar tadi. Dan boneka itu, kini, memiliki mata. Mata yang terbuat dari kancing hitam.
Maya merasa lututnya lemas. Ia tidak bisa bergerak. Ia hanya bisa menatap anak itu, yang terus tersenyum, lalu menatap boneka di tangannya. Tiba-tiba, Rio berlari ke arah hutan di belakang rumah. Ia tidak menghilang. Ia hanya berjalan, menembus pepohonan, seolah-olah ada jalan yang hanya ia yang tahu.
Maya membeku. Ia tidak bisa bergerak. Ia tidak bisa berteriak. Ia hanya bisa menatap kegelapan yang menelan anak itu.
Pagi harinya, desa gempar. Rio menghilang. Polisi desa, Letnan Budi, datang ke rumah Pak Danu. Letnan Budi adalah teman lama ayah Maya. Seorang pria paruh baya yang baik hati, tapi terlihat lelah.
“Apakah kamu melihat sesuatu, Maya?” tanyanya saat bertemu Maya di jalan.
Maya ragu. Apakah ia harus menceritakan tentang bayangan hitam dan boneka tanpa mata? Ia takut dianggap gila. Ia takut tidak ada yang percaya.
“Tidak… saya tidak melihat apa-apa, Letnan,” jawabnya.
Letnan Budi mengangguk. “Baiklah. Kami akan terus mencari. Semoga Rio hanya tersesat dan akan segera kembali.”
Maya merasa bersalah. Ia merasa ia seharusnya memberitahu Letnan Budi. Tapi ia tidak bisa. Ia tidak bisa mengucapkan kata-kata itu.
Ia kembali ke rumah dengan perasaan berat. Saat ia menyapu halaman belakang, ia menemukan sesuatu. Sebuah sepatu kecil. Sepatu yang dikenakan Rio tadi malam. Sepatu itu tergeletak di dekat sumur tua yang sudah tidak terpakai. Maya merasakan bulu kuduknya meremang.
Ia teringat cerita dari Letnan Budi. Puluhan tahun yang lalu, beberapa anak kecil di desa ini menghilang secara misterius. Kasus itu tidak pernah terpecahkan. Dan kini, hal yang sama terjadi lagi.
Maya kembali ke rumah, duduk di samping ayahnya. Ayahnya masih sama. Duduk di kursi roda, menatap jendela, dan bergumam. Tapi kali ini, gumamannya berbeda.
“Anwar… Anwar… anak itu… dia… dia mengambil matanya…”
Jantung Maya berdebar kencang. Siapa Anwar? Dan apa yang ia maksud dengan “mengambil matanya”?
Maya merasa semua ini saling terhubung. Bayangan hitam di jendela, boneka tanpa mata, dan sekarang, anak kecil yang menghilang. Ia merasa ada rahasia yang tersembunyi di balik semua ini. Rahasia yang bisa membuatnya gila.
Ia pergi ke loteng, tempat ia menyimpan barang-barang lama. Ia mencari sesuatu yang bisa memberinya petunjuk. Ia menemukan sebuah kotak tua. Di dalamnya, ada beberapa buku, foto-foto lama, dan sebuah lukisan.
Lukisan itu… membuat Maya terdiam. Lukisan itu adalah pemandangan desa dari jendela kamar ayahnya. Tapi ada yang aneh. Di balik pohon, ada sebuah bayangan hitam. Bayangan itu berdiri diam, menatap ke arah rumah. Dan di tangannya… di tangannya, ada sebuah boneka. Boneka yang sangat mirip dengan boneka tanpa mata yang ia temukan.
Maya menelan ludah. Ia merasa, ia tidak hanya sedang merawat ayahnya. Ia juga sedang menghadapi hantu dari masa lalu. Hantu yang kini kembali, untuk mengambil lebih banyak nyawa. Hantu yang kini, mengintai dari balik jendela, menunggu waktu yang tepat untuk mengambil matanya.
Ia menoleh ke arah ayahnya. Ayahnya kini menoleh ke arahnya, dengan tatapan yang penuh kesadaran. Ia tersenyum. Senyum yang membuat Maya merinding.
“Kau menemukannya, Maya?” bisiknya. “Kau menemukannya… mata itu… dia… dia akan mengambil matamu…”
Maya merasa terperangkap. Ia merasa, ia tidak bisa lari. Ia merasa, ia harus mengungkap rahasia ini, sebelum rahasia itu menguburnya hidup-hidup.
Bab 3: Jejak yang Menghilang
Malam itu, Maya tidak bisa memejamkan mata. Gambar-gambar mengerikan terus berkelebat di benaknya: boneka tanpa mata, senyum Rio yang tak wajar, dan tatapan kosong ayahnya yang seolah menyimpan rahasia kelam. Di tengah kegelisahannya, ia mendengar suara ketukan halus di pintu depan. Jantungnya berdebar kencang. Siapa yang datang malam-malam begini? Ia mengintip dari lubang kunci, tapi tidak ada siapa-siapa. Tepat di depan pintu, tergeletak sebuah kotak kayu kecil.
Dengan tangan gemetar, Maya membuka pintu dan mengambil kotak itu. Di dalamnya, ia menemukan sebuah kertas terlipat rapi dan sepasang kancing hitam mengilap. Kancing-kancing itu sama persis dengan yang ia lihat di mata boneka Rio. Pesan di kertas itu hanya terdiri dari satu kalimat, ditulis dengan tulisan tangan yang rapi dan indah: “Mata ini untuk melihatmu.”
Ketakutan menyergap Maya. Ini bukan lagi sekadar halusinasi. Ada seseorang di desa ini yang mengawasinya, yang mengetahui segalanya, dan yang sengaja menerornya. Ia segera menelepon Letnan Budi, tapi tidak ada jawaban. Saluran telepon desa terasa mati.
Keesokan paginya, Maya melihat Letnan Budi dan beberapa warga desa sedang berkumpul di depan rumah Pak Danu. Letnan Budi tampak kelelahan dan putus asa.
"Tidak ada jejak, Maya. Kami sudah mencari ke seluruh hutan, tapi Rio tidak ada di mana-mana," kata Letnan Budi, menggelengkan kepala.
Maya melihat kekhawatiran di mata Letnan Budi. "Letnan, ada sesuatu yang harus saya ceritakan," katanya, lalu menceritakan tentang boneka tanpa mata, boneka yang ia bakar tapi kembali lagi, dan bayangan hitam di jendela. Ia juga menceritakan tentang kancing dan pesan di kotak kayu yang ia temukan semalam. Letnan Budi menatapnya dengan tatapan campur aduk antara kebingungan dan keprihatinan.
"Maya, apakah kamu yakin tidak sedang berhalusinasi? Setelah kematian ibumu, kamu memang sering mengalami trauma," kata Letnan Budi.
Hati Maya mencelos. Luka lama kembali terbuka. Setelah ibunya meninggal, ia memang sempat mengalami depresi. "Ini bukan halusinasi, Letnan. Boneka itu nyata, dan ada yang mengirimnya ke saya," desaknya.
Letnan Budi menghela napas. "Baiklah, saya akan menyelidiki. Tapi tolong, jangan terlalu banyak berpikir. Mungkin itu hanya ulah iseng dari anak-anak desa."
Namun, Maya tahu itu bukan ulah iseng. Ia kembali ke rumah, kebingungan. Saat ia sedang memikirkan petunjuk apa lagi yang bisa ia dapatkan, ia mendengar suara ayahnya memanggil dari kamar. Ayahnya terlihat lebih sadar dari biasanya.
"Maya... ada sesuatu yang harus kamu tahu," katanya, suaranya lemah.
Maya mendekat. "Apa itu, Ayah?"
"Lukisan itu... lukisan di loteng... ada yang aneh dengan lukisan itu," kata Pak Herman.
Maya teringat lukisan pemandangan desa dengan bayangan hitam yang memegang boneka. "Apa maksud Ayah?"
"Itu bukan lukisan biasa. Itu... pemandangan yang dia lihat," bisik ayahnya, dengan matanya yang kembali kosong. "Dia... Anwar... dia dulu suka membuat lukisan dari mata yang ia ambil..."
Darah Maya berdesir. Kata-kata ayahnya terdengar seperti omong kosong yang mengerikan. "Siapa Anwar, Ayah?"
"Anwar... dia... dia adalah teman Ayah. Dia suka membuat boneka. Boneka dengan mata yang indah. Tapi suatu hari... matanya... matanya... hilang," katanya, tiba-tiba terdengar panik. "Ayah... Ayah melihatnya, Maya. Ayah melihat Anwar mengambil mata itu. Ayah melihatnya..."
Maya menatap ayahnya, tidak mengerti. Ia merasa ada kepingan-kepingan teka-teki yang mulai saling terhubung, tapi ia tidak tahu bagaimana merangkainya. Ia merasa, rahasia di desa ini jauh lebih gelap dari yang ia bayangkan.
Bab 4: Kenangan Buruk
Setelah mendengar cerita ayahnya, Maya kembali ke loteng. Ia mengambil lukisan itu dan memeriksanya lebih saksama. Lukisan itu terlihat tua dan usang. Di balik lukisan, ia menemukan tulisan kecil yang hampir tidak terlihat. Tulisan itu berbunyi, “Anwar… dia melihat dengan mataku.” Tulisan itu adalah tulisan tangan ayahnya.
Maya merasa seluruh dunia berputar. Ia merasakan mual. Apakah ayahnya tahu sesuatu tentang Anwar? Mengapa ia tidak pernah memberitahunya? Ia teringat akan kenangan masa kecilnya, saat ia dan ibunya menemukan ayahnya duduk di depan jendela dengan tatapan kosong, seperti sekarang. Saat itu, ia mengira ayahnya hanya sedang merenung. Tapi kini, ia menyadari, mungkin ayahnya sedang melihat sesuatu yang mengerikan. Sesuatu yang ia tidak ingin Maya ketahui.
Tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin yang menusuk. Ia menoleh ke arah jendela loteng. Di sana, di balik kaca, ia melihat bayangan hitam yang berdiri tegak. Wajahnya tidak terlihat, tapi ia bisa merasakan tatapan kosongnya. Bayangan itu mengangkat tangannya, menunjuk ke arah lukisan. Maya melempar lukisan itu, ketakutan. Ia berlari keluar dari loteng, jantungnya berdebar kencang. Ia mengunci pintu loteng, lalu terduduk di lantai, terengah-engah.
Ia harus pergi. Ia harus membawa ayahnya pergi dari desa ini. Ia tidak bisa lagi menanggung teror ini. Tapi ia tahu, ayahnya tidak akan mau. Ia merasa seperti terperangkap, dalam sebuah labirin yang penuh dengan rahasia dan ketakutan.
Beberapa hari kemudian, Letnan Budi kembali ke rumah Maya. Ia membawa kabar buruk. "Kami menemukan sesuatu di dekat sumur tua di belakang rumahmu," katanya, suaranya berat. "Kami menemukan... boneka kecil. Boneka itu... boneka itu persis seperti yang kamu ceritakan."
Maya menatap Letnan Budi, mata mereka bertemu. Ia tahu, sekarang Letnan Budi percaya padanya. "Boneka itu... apakah boneka itu memiliki mata?" tanya Maya, suaranya bergetar.
Letnan Budi menggeleng pelan. "Tidak. Boneka itu tidak memiliki mata. Dan di samping boneka itu, kami menemukan..." Ia berhenti sejenak, menelan ludah. "Kami menemukan sebuah jaket kecil. Jaket yang dikenakan Rio saat ia menghilang."
Air mata Maya mengalir. Ia merasa hancur. Ia merasa bersalah. Ia merasa, ia seharusnya bisa mencegah semua ini terjadi.
"Kami juga menemukan sesuatu di jaket itu," kata Letnan Budi. "Sebuah pesan. Pesan yang sama persis seperti yang kamu ceritakan. 'Mata ini untuk melihatmu.'"
Maya merasakan seluruh tubuhnya merinding. "Letnan, siapa Anwar? Ayah saya terus menyebut namanya," tanyanya, desperate.
Letnan Budi menatap Maya dengan tatapan yang penuh kekhawatiran. "Anwar... dia adalah teman lama ayahmu. Mereka berdua sering bermain bersama saat kecil. Anwar adalah anak yang aneh. Ia terobsesi dengan mata. Ia suka membuat boneka, dan selalu mengatakan bahwa mata boneka itu harus sempurna. Suatu hari, ia menghilang. Dan bersamaan dengan itu, ada beberapa anak kecil yang juga menghilang."
"Apa yang terjadi pada Anwar?"
"Tidak ada yang tahu. Ada yang bilang ia meninggal. Ada juga yang bilang ia pergi ke kota. Tapi tidak ada yang tahu pasti."
Maya merasa, ia sudah terlalu dalam. Ia sudah masuk ke dalam labirin yang tidak ada jalan keluarnya. Ia merasa, teror yang ia alami sekarang adalah akibat dari rahasia yang disimpan ayahnya selama bertahun-tahun.
Di tengah kegelisahannya, ia mendengar suara ayahnya memanggil dari kamar. Maya berjalan masuk, dan melihat ayahnya duduk di kursi roda, memegang sebuah foto tua. Itu adalah foto Pak Herman dan seorang anak laki-laki dengan mata yang besar.
"Anwar..." bisik ayahnya, menunjuk anak laki-laki di foto itu. "Mata itu... mata itu indah. Dia akan mengambilnya."
Maya merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia mengambil foto itu, lalu ia melihat ke arah mata anak laki-laki itu. Mata itu... mata itu memang indah. Dan di samping mata anak laki-laki itu, ada sebuah bekas luka kecil. Bekas luka yang sama persis dengan yang ia lihat di wajah ayahnya.
Maya menatap ayahnya, lalu menatap foto itu lagi. Ia tidak bisa bernapas. Ia tidak bisa berpikir. Siapa Anwar? Mengapa ia terobsesi dengan mata? Dan apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu?
Maya merasa, ia harus mencari tahu. Ia harus mengungkap rahasia yang disimpan desa ini. Tapi ia tahu, ia harus melakukannya dengan hati-hati. Ia merasa, ia sedang bermain dengan api. Dan jika ia salah langkah, ia akan terbakar.
Ia melihat ke arah jendela. Di sana, di balik semak-semak, ia melihat bayangan hitam yang berdiri tegak. Bayangan itu menatapnya, seolah-olah ia tahu apa yang sedang ia pikirkan. Ia tersenyum. Senyum yang membuat Maya merinding. Ia merasa, ia tidak lagi sendirian. Ia merasa, ia sedang diawasi. Setiap langkahnya, setiap gerak-geriknya, setiap napasnya. Ia merasa, ia sedang bermain dalam permainan yang dibuat oleh seorang psikopat. Dan ia adalah targetnya.
Bab 5: Petunjuk di Balik Lukisan
Setelah menemukan foto masa kecil ayahnya dan Anwar, Maya diliputi rasa ingin tahu yang tak terbendung. Ia kembali ke loteng, kali ini dengan tekad untuk mencari tahu lebih banyak tentang rahasia yang tersembunyi di sana. Ia membuka pintu loteng yang tadi ia kunci dengan tergesa-gesa, dan melangkah masuk ke dalam kegelapan yang pekat. Udara di loteng terasa dingin dan berbau apak. Ia menyalakan senter ponselnya, mengarahkan cahayanya ke setiap sudut ruangan.
Ia menemukan tumpukan buku-buku tua yang sudah menguning. Ia mulai membacanya satu per satu. Sebagian besar buku itu adalah catatan harian ayahnya, yang ia tulis sejak ia masih remaja. Ayahnya menulis tentang masa kecilnya, tentang persahabatannya dengan Anwar, dan tentang hobi mereka berdua yang unik: membuat boneka. Namun, ada satu buku harian yang paling menarik perhatian Maya. Buku harian itu berisi tentang Anwar.
Ayahnya menulis bahwa Anwar adalah anak yang aneh, pendiam, dan terobsesi dengan mata. Anwar percaya bahwa mata adalah jendela jiwa, dan ia ingin mengoleksi mata dari setiap orang yang ia kenal. Ayahnya mengira itu hanya candaan, tapi suatu hari, ia menemukan boneka-boneka yang dibuat oleh Anwar. Boneka-boneka itu memiliki mata yang dicungkil, dan di tempat yang seharusnya ada mata, ada kancing hitam yang menyeramkan. Ayahnya merasa tidak nyaman, tapi ia tidak pernah curiga bahwa Anwar akan melakukan sesuatu yang lebih mengerikan.
Hingga suatu hari, seorang anak kecil bernama Sinta menghilang. Sinta adalah teman sekelas mereka. Ayahnya menulis bahwa ia melihat Anwar berdiri di dekat jendela, melihat Sinta bermain di halaman belakang. Keesokan harinya, Sinta menghilang. Dan seminggu kemudian, Anwar juga menghilang. Ayahnya merasa bersalah karena ia tidak pernah melaporkan hal itu. Ia merasa, ia telah membiarkan sesuatu yang jahat terjadi.
Maya menutup buku harian itu, tangannya gemetar. Ia tidak bisa percaya. Ayahnya menyimpan rahasia ini selama bertahun-tahun. Ia tahu bahwa Anwar adalah seorang psikopat, tapi ia tidak pernah memberitahu siapa-siapa. Ia membiarkan teror ini terjadi lagi, dan kini, ia adalah korbannya.
Maya kembali melihat lukisan yang tadi ia lempar. Ia mengangkat lukisan itu dan melihatnya lagi. Kali ini, ia melihat sesuatu yang berbeda. Ia melihat tulisan kecil yang tersembunyi di balik bingkai lukisan. Tulisan itu berbunyi, “Mata ini untuk melihatnya. Mata ini untuk mengenang Sinta.”
Maya merasakan darahnya berdesir. Ia merasa, lukisan itu bukan hanya sebuah lukisan. Lukisan itu adalah petunjuk. Petunjuk yang akan membawanya pada kebenaran. Ia berbalik, dan matanya tertuju pada sebuah kotak kayu kecil di sudut ruangan. Kotak itu terkunci. Ia mencoba membukanya, tapi tidak bisa.
Ia ingat tulisan di balik lukisan. “Mata ini untuk melihatnya.” Ia teringat akan mata ayahnya, yang dulu selalu memandang jendela dengan tatapan kosong. Ia teringat akan mata boneka tanpa mata yang ia temukan. Ia merasa, mata adalah kunci. Dan ia harus menemukan kunci itu untuk membuka kotak kayu ini.
Maya kembali ke kamar ayahnya. Ayahnya masih duduk di kursi roda, memandang jendela dengan tatapan kosong. Maya mendekat, dan berbisik. “Ayah… katakan pada saya, di mana saya bisa menemukan kuncinya?”
Ayahnya tidak merespons. Ia hanya terus bergumam, “Mata itu… mata itu… dia akan mengambilnya…”
Maya merasa frustrasi. Ia mencoba bertanya lagi, tapi ayahnya tetap diam. Ia merasa, ia sudah terlalu dekat dengan kebenaran, tapi ia tidak bisa meraihnya. Ia merasa, ia sedang bermain dalam permainan kucing-kucingan, dan ia adalah tikusnya.
Tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin yang menusuk. Ia menoleh ke arah jendela. Di sana, di balik semak-semak, ia melihatnya lagi. Bayangan hitam yang berdiri tegak, memandangnya dengan tatapan kosong. Ia tidak bisa melihat wajahnya, tapi ia bisa merasakan tatapannya. Tatapan yang menusuk, seolah-olah ia bisa melihat ke dalam jiwanya. Bayangan itu mengangkat tangannya, dan perlahan, ia menunjuk ke arah ayahnya.
Maya membeku. Ia tidak bisa bergerak. Ia tidak bisa berteriak. Ia merasa, ia sudah terperangkap. Ia merasa, ia harus mengungkap rahasia ini, sebelum ia menjadi korban selanjutnya.
Bab 6: Teror di Balik Jendela
Setelah malam itu, teror yang dialami Maya semakin intens. Bayangan hitam di jendela tidak lagi hanya muncul di malam hari. Ia kini muncul kapan saja, mengintainya dari balik setiap jendela di rumahnya. Saat Maya sedang mencuci piring, ia melihatnya dari jendela dapur. Saat ia sedang membaca buku di ruang tamu, ia melihatnya dari jendela ruang tamu. Ia merasa, ia tidak lagi memiliki tempat yang aman. Ia merasa, ia sedang diawasi setiap saat.
Maya tidak bisa lagi menahan rasa takutnya. Ia pergi ke kantor Letnan Budi, berniat untuk menceritakan semuanya. Tapi saat ia tiba, Letnan Budi sedang berbicara dengan seorang pria tua yang mengenakan pakaian seragam polisi. Pria itu adalah Komandan Markas Besar Kepolisian, yang datang untuk menyelidiki kasus hilangnya Rio.
“Kami menemukan beberapa petunjuk di dekat sumur tua di belakang rumahmu,” kata Komandan itu. “Petunjuk-petunjuk itu mengarah pada seorang pria bernama Anwar. Apakah kamu mengenal pria ini?”
Maya merasa seluruh dunia berputar. Komandan itu menatapnya dengan tatapan yang penuh curiga. “Maya, apakah kamu menyembunyikan sesuatu?”
Maya menggeleng. “Tidak… saya tidak menyembunyikan apa-apa.”
Komandan itu menghela napas. “Kami menemukan foto lama, yang menunjukkan kamu dan Anwar sedang bermain bersama saat kecil. Foto itu disembunyikan di bawah bantal di tempat tidurmu.”
Maya terkejut. Ia tidak ingat pernah memiliki foto seperti itu. Ia tidak ingat pernah bermain dengan Anwar. Ia hanya ingat bahwa Anwar adalah teman ayahnya.
“Maya, apakah kamu yakin tidak ada yang kamu lupakan?” tanya Komandan itu. “Tolong, jujur pada saya.”
Maya merasakan hawa dingin yang menusuk. Ia merasa, ia tidak hanya sedang berhadapan dengan seorang psikopat. Ia juga sedang berhadapan dengan masa lalunya, masa lalu yang ia tidak ingat. Ia merasa, ia telah menjadi bagian dari permainan ini sejak awal.
Ia pulang ke rumah dengan perasaan hancur. Ia tidak bisa lagi membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya halusinasi. Ia merasa, ia sudah mulai gila. Ia menoleh ke arah jendela. Di sana, ia melihat bayangan hitam itu lagi. Bayangan itu menatapnya, lalu mengangkat tangannya, seolah-olah ia sedang memanggilnya.
Maya merasakan lututnya lemas. Ia duduk di lantai, lalu menangis. Ia merasa, ia tidak bisa lagi menanggung semua ini. Ia merasa, ia harus menyerah.
Tiba-tiba, ia mendengar suara ayahnya memanggil. Ayahnya kini berdiri di depan jendela, dengan mata yang terbuka lebar. Matanya tidak kosong lagi. Matanya bersinar dengan kilatan aneh. Ia menatap Maya, lalu tersenyum. Senyum yang membuat Maya merinding.
“Kau menemukannya, Maya?” bisik ayahnya. “Kau menemukannya… mata itu… mata itu adalah miliknya.”
Maya menatap ayahnya, tidak mengerti. “Apa maksud Ayah?”
“Mata itu… mata di lukisan itu… mata itu adalah miliknya,” kata ayahnya, dengan suara yang parau. “Mata itu… adalah matamu, Maya.”
Maya merasakan jantungnya berhenti. Ia menatap ayahnya, lalu menatap lukisan yang ia letakkan di lantai. Ia melihat lukisan itu dengan lebih saksama. Lukisan itu… lukisan itu adalah gambaran dirinya, saat ia masih kecil, sedang bermain di halaman belakang. Dan di balik lukisan itu… ia melihatnya lagi. Bayangan hitam itu. Bayangan itu memegang boneka dengan mata yang indah.
Maya merasakan darahnya berdesir. Ia merasa, ia sudah terlalu dalam. Ia sudah masuk ke dalam labirin yang tidak ada jalan keluarnya. Ia merasa, ia sedang bermain dalam permainan yang dibuat oleh seorang psikopat. Dan ia adalah targetnya.
Ia melihat ke arah jendela. Di sana, ia melihat bayangan hitam itu lagi. Bayangan itu menatapnya, lalu mengangkat tangannya, seolah-olah ia sedang memanggilnya. Ia merasa, ia harus pergi. Ia harus pergi dari desa ini. Ia harus membawa ayahnya pergi. Tapi ia tahu, ia tidak bisa. Ayahnya tidak akan mau. Ayahnya terikat dengan desa ini. Dan Maya pun begitu. Luka masa lalu masih membelenggunya.
Ia menoleh ke arah ayahnya, yang kini menatap jendela, dengan tatapan kosong yang sama. Ia kembali mengigau. “Jangan buka jendelanya… dia… dia melihat…”
Maya menelan ludah. Ia merasa, ia tidak hanya merawat ayahnya. Ia juga merawat rahasia gelap yang disembunyikan oleh desa ini. Rahasia yang kini, perlahan-lahan, mulai terkuak dan menggerogoti kewarasannya.
Bab 7: Rahasia dari Masa Lalu
Maya tidak bisa lagi menanggung teror yang menggerogotinya. Ia memutuskan untuk menghadapi Letnan Budi, menuntut jawaban atas semua misteri yang terjadi. Di kantor polisi yang sederhana, ia menumpahkan semua yang ia ketahui: boneka tanpa mata, lukisan di loteng, pengakuan ayahnya tentang Anwar, dan foto masa kecil yang tiba-tiba muncul di bawah bantalnya.
Letnan Budi mendengarkan dengan saksama. Ia menatap Maya dengan tatapan yang penuh keprihatinan, tapi kali ini bukan karena ia meragukan Maya, melainkan karena ia tahu bahwa Maya sudah terperangkap dalam sebuah rahasia yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan.
"Maya, duduklah," kata Letnan Budi, suaranya lembut. "Ada sesuatu yang harus kamu tahu, sesuatu yang seharusnya tidak pernah kamu ketahui."
Letnan Budi mulai bercerita. Puluhan tahun yang lalu, di desa ini, ada seorang pria bernama Anwar. Ia adalah seorang pengrajin boneka yang sangat terobsesi dengan mata. Ia percaya bahwa mata adalah jendela jiwa, dan ia ingin mengoleksi mata dari setiap orang yang ia kenal. Ia adalah anak yang aneh, pendiam, dan seringkali menyendiri. Tapi ada satu orang yang bisa ia ajak bicara, yaitu ayah Maya, Pak Herman.
Anwar dan Herman adalah teman sejak kecil. Mereka sering bermain bersama, dan Anwar selalu menunjukkan boneka-boneka buatannya kepada Herman. Herman tahu bahwa Anwar terobsesi dengan mata, tapi ia tidak pernah menyangka bahwa obsesi itu akan berujung pada sesuatu yang mengerikan.
Suatu hari, seorang anak kecil bernama Sinta menghilang. Sinta adalah teman sekelas mereka. Herman melihat Anwar berdiri di dekat jendela, melihat Sinta bermain di halaman belakang. Keesokan harinya, Sinta menghilang. Dan seminggu kemudian, Anwar juga menghilang. Herman merasa bersalah karena ia tidak pernah melaporkan hal itu. Ia merasa, ia telah membiarkan sesuatu yang jahat terjadi.
Maya mendengarkan dengan napas tertahan. "Tapi… mengapa ayah tidak pernah bilang kepada siapa-siapa?"
Letnan Budi menghela napas. "Herman… dia terlalu takut. Ia takut tidak ada yang percaya. Dan ia takut, ia juga akan menjadi target selanjutnya. Ia takut Anwar akan kembali dan mengambil matanya."
"Lalu… apa yang terjadi pada Anwar?"
"Tidak ada yang tahu. Ada yang bilang ia meninggal. Ada juga yang bilang ia pergi ke kota. Tapi tidak ada yang tahu pasti. Kasus itu tidak pernah terpecahkan. Dan kini… hal yang sama terjadi lagi. Anak-anak kecil menghilang, dan boneka tanpa mata muncul di depan rumahmu."
Maya merasa seluruh dunia berputar. Ia merasa, ia sudah terlalu dalam. Ia sudah masuk ke dalam labirin yang tidak ada jalan keluarnya. Ia merasa, ia sedang bermain dalam permainan yang dibuat oleh seorang psikopat. Dan ia adalah targetnya.
"Tapi… mengapa saya, Letnan?" tanya Maya, suaranya bergetar. "Mengapa boneka itu muncul di depan rumah saya? Mengapa Anwar mengincar saya?"
Letnan Budi menatap Maya dengan tatapan yang penuh kekhawatiran. "Anwar… dia tidak mengincar kamu, Maya. Dia mengincar ayahnya. Kamu hanya... umpan."
Hati Maya mencelos. Ia merasa hancur. Ia merasa, ia sudah menjadi korban. Ia merasa, ia harus mengungkap rahasia ini, sebelum rahasia itu menguburnya hidup-hidup.
Bab 8: Kebenaran yang Terungkap
Malam itu, Maya tidak bisa tidur. Ia memutuskan untuk kembali ke loteng, mencari petunjuk lain yang bisa membawanya pada kebenaran. Ia tahu bahwa ia tidak bisa lagi mengandalkan orang lain. Ia harus melakukannya sendiri.
Ia kembali ke loteng, dan menemukan sebuah buku harian tua yang ia belum baca. Buku harian itu adalah buku harian ibunya. Ia membacanya dengan saksama. Di dalamnya, ibunya menulis tentang masa lalu yang kelam. Ibunya menulis tentang sebuah malam yang mengerikan, malam di mana ia melihat Herman, suaminya, duduk di depan jendela, memegang sebuah pisau kecil.
Ibunya menulis bahwa ia melihat Herman berbicara sendiri, mengigau tentang "mata" dan "Anwar." Ibunya merasa takut. Ia merasa, ada sesuatu yang tidak beres dengan suaminya. Ia mencoba bertanya, tapi Herman hanya diam.
Hingga suatu hari, ia menemukan sebuah kotak kayu kecil di loteng. Di dalamnya, ada sebuah boneka tanpa mata, dan sebuah buku harian tua. Buku harian itu… buku harian itu adalah buku harian Anwar. Ibunya membacanya, dan ia merasa seluruh dunia berputar.
Buku harian itu berisi tentang obsesi Anwar dengan mata. Anwar menulis bahwa ia ingin mengoleksi mata yang indah. Dan suatu hari, ia menemukan mata yang paling indah. Mata yang ia tidak bisa temukan di mana-mana. Mata itu… mata itu adalah mata Maya, putrinya.
Ibunya merasa takut. Ia menyembunyikan buku harian itu, dan ia tidak pernah memberitahu siapa-siapa. Ia takut, rahasia ini akan menghancurkan keluarganya.
Maya menutup buku harian itu, tangannya gemetar. Ia tidak bisa bernapas. Ia tidak bisa berpikir. Ia merasa, ia sudah terlalu dalam. Ia sudah masuk ke dalam labirin yang tidak ada jalan keluarnya.
Ia menoleh ke arah jendela loteng. Di sana, ia melihat bayangan hitam itu lagi. Bayangan itu menatapnya, lalu mengangkat tangannya, seolah-olah ia sedang memanggilnya. Ia merasa, ia tidak bisa lari. Ia merasa, ia harus mengungkap rahasia ini, sebelum ia menjadi korban selanjutnya.
Ia kembali ke kamar ayahnya. Ayahnya masih duduk di kursi roda, memandang jendela dengan tatapan kosong. Maya mendekat, dan berbisik. “Ayah… katakan pada saya, siapa Anwar sebenarnya?”
Ayahnya tidak merespons. Ia hanya terus bergumam, “Mata itu… mata itu… dia akan mengambilnya…”
Maya merasa frustrasi. Ia mencoba bertanya lagi, tapi ayahnya tetap diam. Ia merasa, ia sudah terlalu dekat dengan kebenaran, tapi ia tidak bisa meraihnya.
Tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin yang menusuk. Ia menoleh ke arah jendela. Di sana, ia melihat bayangan hitam itu lagi. Bayangan itu menatapnya, lalu mengangkat tangannya, seolah-olah ia sedang memanggilnya.
Maya membeku. Ia tidak bisa bergerak. Ia tidak bisa berteriak. Ia merasa, ia sudah terperangkap. Ia merasa, ia harus mengungkap rahasia ini, sebelum ia menjadi korban selanjutnya.
Ia melihat ke arah jendela. Di sana, ia melihat bayangan hitam itu lagi. Bayangan itu menatapnya, lalu mengangkat tangannya, seolah-olah ia sedang memanggilnya. Ia merasa, ia harus pergi. Ia harus pergi dari desa ini. Ia harus membawa ayahnya pergi. Tapi ia tahu, ia tidak bisa. Ayahnya tidak akan mau. Ayahnya terikat dengan desa ini. Dan Maya pun begitu. Luka masa lalu masih membelenggunya.
Ia menoleh ke arah ayahnya, yang kini menatap jendela, dengan tatapan kosong yang sama. Ia kembali mengigau. “Jangan buka jendelanya… dia… dia melihat…”
Maya menelan ludah. Ia merasa, ia tidak hanya merawat ayahnya. Ia juga merawat rahasia gelap yang disembunyikan oleh desa ini. Rahasia yang kini, perlahan-lahan, mulai terkuak dan menggerogoti kewarasannya.
Bab 9: Perangkap dalam Kegelapan
Setelah membaca buku harian ibunya, Maya merasa terperangkap dalam jaring laba-laba yang rumit. Kenyataan bahwa ia tidak mengingat masa kecilnya dengan Anwar, dan fakta bahwa ayahnya menyembunyikan buku harian itu, membuatnya merasa ada kepingan memori yang hilang dari dirinya. Ia kembali ke kamar ayahnya. Ayahnya masih duduk di kursi roda, memandang jendela dengan tatapan kosong. Namun kali ini, Maya melihat sesuatu yang berbeda di mata ayahnya. Ada ketakutan yang mendalam, seolah-olah ia sedang melihat monster yang nyata.
"Ayah... kenapa kamu menyembunyikan semua ini?" tanya Maya, suaranya bergetar. "Kenapa kamu tidak pernah memberitahu saya?"
Ayahnya tidak merespons. Ia hanya terus bergumam, "Mata itu... mata itu... dia akan mengambilnya..."
Maya merasa frustrasi. Ia mencoba bertanya lagi, tapi ayahnya tetap diam. Ia merasa, ia sudah terlalu dekat dengan kebenaran, tapi ia tidak bisa meraihnya.
Tiba-tiba, ia mendengar suara aneh dari dalam lemari ayahnya. Suara itu seperti desisan pelan, seperti suara ular yang sedang merayap. Ia mendekat, lalu membuka lemari itu perlahan. Di dalamnya, ia menemukan sebuah kotak kayu kecil yang ia belum pernah lihat. Kotak itu terkunci. Ia mencoba membukanya, tapi tidak bisa.
Ia ingat tulisan di balik lukisan. “Mata ini untuk melihatnya.” Ia teringat akan mata ayahnya, yang dulu selalu memandang jendela dengan tatapan kosong. Ia teringat akan mata boneka tanpa mata yang ia temukan. Ia merasa, mata adalah kunci. Dan ia harus menemukan kunci itu untuk membuka kotak kayu ini.
Maya kembali ke kamar ayahnya. Ayahnya masih duduk di kursi roda, memandang jendela dengan tatapan kosong. Maya mendekat, dan berbisik. “Ayah… di mana saya bisa menemukan kuncinya?”
Ayahnya tidak merespons. Ia hanya terus bergumam, “Mata itu… mata itu… dia akan mengambilnya…”
Maya merasa frustrasi. Ia mencoba bertanya lagi, tapi ayahnya tetap diam. Ia merasa, ia sudah terlalu dekat dengan kebenaran, tapi ia tidak bisa meraihnya.
Tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin yang menusuk. Ia menoleh ke arah jendela. Di sana, ia melihat bayangan hitam itu lagi. Bayangan itu menatapnya, lalu mengangkat tangannya, seolah-olah ia sedang memanggilnya.
Maya membeku. Ia tidak bisa bergerak. Ia tidak bisa berteriak. Ia merasa, ia sudah terperangkap. Ia merasa, ia harus mengungkap rahasia ini, sebelum ia menjadi korban selanjutnya.
Ia melihat ke arah jendela. Di sana, ia melihat bayangan hitam itu lagi. Bayangan itu menatapnya, lalu mengangkat tangannya, seolah-olah ia sedang memanggilnya. Ia merasa, ia harus pergi. Ia harus pergi dari desa ini. Ia harus membawa ayahnya pergi. Tapi ia tahu, ia tidak bisa. Ayahnya tidak akan mau. Ayahnya terikat dengan desa ini. Dan Maya pun begitu. Luka masa lalu masih membelenggunya.
Ia menoleh ke arah ayahnya, yang kini menatap jendela, dengan tatapan kosong yang sama. Ia kembali mengigau. “Jangan buka jendelanya… dia… dia melihat…”
Maya menelan ludah. Ia merasa, ia tidak hanya merawat ayahnya. Ia juga merawat rahasia gelap yang disembunyikan oleh desa ini. Rahasia yang kini, perlahan-lahan, mulai terkuak dan menggerogoti kewarasannya.
Bab 10: Akhir yang Menggantung
Malam itu, teror mencapai puncaknya. Listrik padam, dan rumah itu diselimuti kegelapan yang pekat. Maya berteriak, tapi tidak ada yang mendengar. Ia mencoba menyalakan senter ponselnya, tapi ponselnya mati. Ia merasa, ia sudah terperangkap. Ia merasa, ia sedang bermain dalam permainan yang dibuat oleh seorang psikopat. Dan ia adalah targetnya.
Ia mendengar suara langkah kaki dari luar. Suara langkah kaki yang berat dan menyeret. Jantungnya berdebar kencang. Ia tahu, ia harus lari. Tapi ke mana? Pintu rumahnya terkunci dari luar. Jendela-jendela rumahnya terkunci dari luar. Ia merasa, ia sudah tidak memiliki harapan lagi.
Ia kembali ke kamar ayahnya. Ayahnya masih duduk di kursi roda, memandang jendela dengan tatapan kosong. Namun kali ini, ia tidak bergumam. Ia hanya diam, menatap ke arah Maya, lalu tersenyum. Senyum yang membuat Maya merinding.
"Kau menemukannya, Maya?" bisik ayahnya, suaranya parau. "Kau menemukannya... mata itu... mata itu adalah miliknya."
Maya merasakan jantungnya berhenti. Ia menatap ayahnya, tidak mengerti.
"Mata itu... mata di lukisan itu... mata itu adalah miliknya," kata ayahnya, dengan suara yang parau. "Mata itu... adalah matamu, Maya."
Maya merasakan darahnya berdesir. Ia menatap ayahnya, lalu menatap lukisan yang ia letakkan di lantai. Ia melihat lukisan itu dengan lebih saksama. Lukisan itu... lukisan itu adalah gambaran dirinya, saat ia masih kecil, sedang bermain di halaman belakang. Dan di balik lukisan itu... ia melihatnya lagi. Bayangan hitam itu. Bayangan itu memegang boneka dengan mata yang indah.
Maya merasakan darahnya berdesir. Ia merasa, ia sudah terlalu dalam. Ia sudah masuk ke dalam labirin yang tidak ada jalan keluarnya. Ia merasa, ia sedang bermain dalam permainan yang dibuat oleh seorang psikopat. Dan ia adalah targetnya.
Ia melihat ke arah jendela. Di sana, ia melihat bayangan hitam itu lagi. Bayangan itu menatapnya, lalu mengangkat tangannya, seolah-olah ia sedang memanggilnya. Ia merasa, ia harus pergi. Ia harus pergi dari desa ini. Ia harus membawa ayahnya pergi. Tapi ia tahu, ia tidak bisa. Ayahnya tidak akan mau. Ayahnya terikat dengan desa ini. Dan Maya pun begitu. Luka masa lalu masih membelenggunya.
Ia menoleh ke arah ayahnya, yang kini menatap jendela, dengan tatapan kosong yang sama. Ia kembali mengigau. “Jangan buka jendelanya… dia… dia melihat…”
Maya menelan ludah. Ia merasa, ia tidak hanya merawat ayahnya. Ia juga merawat rahasia gelap yang disembunyikan oleh desa ini. Rahasia yang kini, perlahan-lahan, mulai terkuak dan menggerogoti kewarasannya.
Di saat yang bersamaan, layar monitor televisi yang mati menyala, menampilkan sosoknya sedang berdiri di samping boneka dengan mata yang sama, sementara ayahnya tergeletak di lantai. Layar TV pun kembali gelap. Siapakah Anwar? Apakah Anwar itu ayahnya, atau bayangan yang menghantui Maya adalah dirinya sendiri?