Cerpen
Disukai
2
Dilihat
1,517
Bayangan Di Sudut Mata
Horor

Bab 1: Titik Buta yang Berbisik

Dunia Rizky, sang fotografer lanskap, dulunya adalah hamparan tak terbatas dari warna, tekstur, dan detail. Setiap lekuk pegunungan, setiap tetes embun di daun, setiap kerutan di wajah manusia, adalah sebuah cerita yang ia tangkap melalui lensa dan jiwanya. Kini, dunia itu terfragmentasi. Sebuah bintik buta permanen—seperti lubang hitam yang menganga—telah menetap di bagian tengah lapang pandangnya, sebuah anomali langka yang disebut scotoma yang tidak dapat diobati. Bukan kegelapan total, melainkan ketiadaan, sebuah kehampaan yang terus-menerus menutupi apa pun yang ia coba fokuskan. Ironi yang brutal bagi seorang yang hidup dari penglihatannya.

Ia telah memutuskan untuk mengasingkan diri ke sebuah rumah kayu terpencil di kaki Gunung Bromo, Jawa Timur. Udara dingin pegunungan dan pepohonan pinus yang menjulang tinggi menawarkan ketenangan yang ia dambakan, atau setidaknya, sebuah ilusi ketenangan. Rumah itu adalah warisan keluarga, telah lama kosong, diselimuti aroma kayu lapuk, debu, dan keheningan yang tebal. Ia berharap bisa menemukan kedamaian, berdamai dengan kegelapan yang kini bersemayam di matanya.

Sejak hari pertama ia menginjakkan kaki di ambang pintu, ketidaknyamanan itu sudah hadir. Bukan dinginnya udara atau kesunyian yang mencekam. Melainkan sensasi yang lebih dalam, lebih pribadi. Bintik buta itu, yang seharusnya hanya area kosong, terasa seperti sesuatu yang hidup. Bukan hanya sebuah ketiadaan visual, melainkan sebuah kehadiran yang samar, bersembunyi di balik penglihatannya yang sehat.

Rizky mencoba mengabaikannya. Ia mulai dengan membersihkan rumah, membuka jendela-jendela tinggi agar cahaya matahari masuk, mengusir debu dan sarang laba-laba. Namun, setiap kali ia menggerakkan kepalanya, setiap kali matanya melayang, kilasan bayangan hitam pekat akan muncul di dalam bintik buta itu. Mereka bergerak cepat, terlalu cepat untuk diidentifikasi, seperti siluet-siluet yang menari di atas kanvas kosong. Awalnya, ia berasumsi itu adalah adaptasi otaknya, sebuah ilusi visual yang diciptakan oleh kondisi sarafnya.

Ia memasak makan malam pertamanya di dapur kecil, suara desis minyak memenuhi ruangan. Namun, ia sering merasa ada yang mengawasinya. Bukan dari luar jendela, melainkan dari dalam rumah. Ia akan berbalik tiba-tiba, namun hanya ada kursi kosong, meja makan yang berdebu. Namun, di sudut bintik butanya, ia melihat bayangan yang baru saja lewat, menghilang di balik lemari.

Rizky mengeluarkan kamera lamanya, sebuah DSLR yang telah menemaninya ke berbagai pelosok dunia. Ia mencoba mengarahkan lensa ke arah bintik butanya, seolah-olah ia bisa menangkap apa yang ia lihat. Namun, hasilnya selalu sama: foto-foto yang sempurna, tanpa noda, tanpa bayangan. Kamera hanya menangkap realitas fisik, bukan distorsi dalam retinanya.

"Ini cuma pikiranmu, Rizky," bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya parau karena jarang berbicara. "Stres, kecemasan, itu saja."

Namun, di malam hari, ketegangan itu memuncak. Rumah itu seolah bernapas. Setiap desiran angin di luar, setiap gemerisik daun, terasa seperti bisikan samar yang berasal dari dalam dinding. Ia berbaring di tempat tidur, mencoba memejamkan mata. Namun, bahkan dalam kegelapan kelopak matanya, bayangan-bayangan itu tetap ada, menari-nari di dalam bintik butanya, semakin jelas, semakin berani.

Ia mulai merasakan sentuhan dingin yang menusuk secara acak di kulitnya, seolah ada tangan tak terlihat yang menyentuhnya. Kadang di lengannya, kadang di lehernya. Ia akan melompat, menyalakan lampu, mencari sumbernya, namun tidak ada apa-apa. Hanya kehampaan yang dingin.

Aroma aneh mulai muncul. Bukan bau kayu lapuk atau debu. Melainkan sesuatu yang pahit, seperti tanah basah bercampur logam karat, dengan sedikit bau yang mengingatkan pada lumut tua. Aroma itu akan muncul tiba-tiba, memenuhi ruangan, lalu menghilang secepat ia datang, meninggalkan sensasi mual di perutnya.

Rizky mulai mendokumentasikan fenomena-fenomena ini. Ia tidak lagi menggunakan kamera untuk memotret lanskap, melainkan untuk merekam suara dan mendikte deskripsi rinci tentang apa yang ia alami. Ia berbicara ke arah mikrofon, mencoba tetap tenang dan rasional, meskipun suaranya seringkali bergetar.

"Hari ketiga di rumah," ia mendikte, suaranya sedikit gemetar. "Bintik buta saya... ini bukan lagi hanya kehampaan. Saya melihat sesuatu di dalamnya. Siluet-siluet. Tidak jelas. Dan aroma... bau seperti tanah basah dan logam. Itu ada di sini. Di dalam rumah. Atau... di dalam diri saya."

Ia memutar rekaman itu. Hanya suaranya sendiri. Tidak ada bisikan. Tidak ada gemerisik. Keheningan yang menipu.

Suatu malam, saat ia duduk di ruang tamu yang remang-remang, ia mencoba sebuah eksperimen. Ia memegang sebuah lilin menyala di depan matanya, lalu perlahan menggesernya ke arah bintik butanya. Begitu api lilin itu menghilang ke dalam area buta, ia tidak hanya tidak bisa melihatnya. Ia merasakan dingin yang menusuk yang memadamkan api lilin itu seketika, dan aroma pahit-logam itu menyeruak dengan intensitas yang lebih kuat. Lilin itu padam, meninggalkan jejak asap tipis yang segera menghilang.

Rizky menatap lilin yang padam di tangannya, kemudian ke bintik buta di penglihatannya. Ini bukan ilusi. Ini bukan adaptasi. Bintik buta itu adalah sebuah entitas, sebuah gerbang, sebuah lubang hitam yang hidup di dalam matanya. Dan ia telah membukanya.

Ketakutan yang sesungguhnya mulai merayapi dirinya, bukan ketakutan akan kegelapan, melainkan ketakutan akan apa yang bersembunyi di balik kegelapan itu. Rumah ini, yang ia cari sebagai tempat berlindung, kini telah menjadi penjara. Dan ia tahu, ia tidak sendirian di sana.

Bab 2: Bisikan dari Ketiadaan

Kengerian yang sesungguhnya kini mencengkeram Rizky. Bintik buta di matanya bukan lagi sekadar cacat penglihatan; itu adalah sebuah lubang hitam yang menganga, sebuah portal ke sesuatu yang tak terlihat. Aroma pahit, logam, dan tanah basah kini menjadi pendamping konstan, seolah ia telah diselubungi oleh esensi keberadaan tak kasat mata itu.

Ia menghabiskan hari-harinya dalam keadaan kewaspadaan tinggi, setiap sarafnya tegang. Tidur menjadi mustahil. Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, bayangan-bayangan di bintik butanya menjadi lebih jelas, lebih terdefinisi. Mereka tidak lagi hanya siluet. Mereka mulai membentuk sosok-sosok yang mengerikan: anggota tubuh yang terlalu panjang, sendi yang bengkok di tempat yang tidak semestinya, kepala tanpa wajah yang hanya menampilkan dua lubang kosong tempat mata seharusnya berada. Mereka bergerak dalam koreografi yang tak beraturan, berputar, memanjang, seolah menari di panggung kehampaan yang hanya ia yang bisa lihat.

Rizky mencoba berbicara dengan dunia luar. Ia mencoba menghubungi adiknya, Sarah, namun sinyal ponsel di daerah terpencil ini sangat buruk, terputus-putus, dan setiap kali ia mencoba, terdengar suara statis yang aneh bercampur dengan bisikan-bisikan rendah yang ia mulai dengar di telinganya—bukan suara manusia, melainkan seperti gema percakapan yang teredam, atau rintihan yang sangat rendah, yang seolah berasal dari dalam bintik buta itu sendiri, atau dari dalam dinding rumah.

Ia mulai merasa bahwa rumah itu, hutan di sekitarnya, bahkan udara itu sendiri, terhubung dengan entitas yang bersemayam di bintik butanya. Setiap detail kecil, setiap perubahan atmosfer, terasa sangat intens. Aroma tanah basah dan logam itu kini bercampur dengan bau yang lebih busuk, seperti bau daging yang membusuk, namun tanpa sumber yang jelas.

Pada suatu siang, Rizky mencoba keluar rumah, berharap sinar matahari akan mengusir kegelapan yang menyelimutinya. Namun, bahkan di luar, di bawah sinar matahari yang terang, bintik butanya tetap dipenuhi oleh bayangan-bayangan yang menari. Ia merasakan pandangan mereka menembus dirinya, sebuah sensasi yang jauh lebih dingin daripada udara pegunungan. Pepohonan pinus yang menjulang tinggi tampak seperti siluet-siluet raksasa yang mengawasi, setiap bayangannya menyembunyikan ancaman.

Ia mencoba fokus pada pemandangan indah di sekitarnya, pada hutan yang rimbun, pada puncak gunung yang menjulang. Namun, setiap kali ia mengarahkan pandangannya ke arah tertentu, bintik butanya akan menutupi bagian yang penting, dan di dalamnya, sosok-sosok mengerikan itu akan muncul, seolah mereka bersembunyi di balik keindahan alam itu sendiri.

Rizky kembali ke rumah, perasaan putus asa menggerogotinya. Ia menyalakan semua lampu, meskipun cahaya itu seolah ditelan oleh kegelapan yang tak terlihat. Ia mengeluarkan kembali kamera lamanya, kali ini bukan untuk merekam suara, melainkan untuk mencoba "menangkap" bayangan-bayangan itu secara visual. Ia mengarahkan lensa kamera ke arah bintik butanya, menekan tombol rana berulang kali. Ia melihat hasil bidikannya—foto-foto yang bersih, tanpa noda, tanpa bayangan. Entitas itu tidak bisa ditangkap oleh teknologi manusia. Mereka ada di dimensi lain, di ambang batas penglihatannya yang rusak.

Frustrasi dan ketakutan memuncak. Rizky mencengkeram kepalanya, merintih. "Apa yang terjadi padaku? Apa ini?"

Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada sebuah rak buku tua di ruang tamu, yang selama ini ia abaikan. Di antara buku-buku usang yang berdebu, ada sebuah jurnal bersampul kulit yang sudah lapuk. Jurnal itu tampak sangat tua, dan Rizky bisa merasakan aura dingin yang samar memancar darinya, disertai bau tanah basah dan logam yang kini ia kenali sebagai tanda kehadiran entitas itu.

Dengan tangan gemetar, ia meraih jurnal itu. Halamannya menguning dan rapuh, tulisan tangan di dalamnya nyaris tidak terbaca, namun ada sebuah urgensi, sebuah ketakutan yang terpancar dari setiap barisnya. Jurnal itu milik penghuni sebelumnya rumah ini, seorang pria bernama Bima, yang tinggal di sana puluhan tahun yang lalu.

Catatan-catatan awal jurnal menceritakan tentang isolasi Bima dan kecintaannya pada alam. Namun, tak lama kemudian, tulisannya mulai berubah. Bima mulai menulis tentang "penglihatan yang samar" di sudut matanya, tentang "bayangan-bayangan yang menari di kehampaan", dan tentang "suara-suara yang tak mungkin" yang ia dengar meskipun ia hidup di kesunyian. Rizky merasakan darahnya membeku. Ini persis seperti apa yang ia alami.

Bima mendiagnosis dirinya sendiri dengan kondisi penglihatan aneh yang serupa dengan scotoma, namun ia menolak penjelasan medis. Ia percaya bahwa itu adalah sebuah "gerbang yang terbuka", sebuah portal yang telah ia buka tanpa sengaja. Ia menulis tentang bagaimana entitas-entitas itu, yang ia sebut sebagai "Para Penonton," mulai bermanifestasi di dalam bintik butanya, mengawasinya, berkomunikasi dengannya melalui bisikan-bisikan yang tak bersuara.

Ketegangan Rizky semakin parah saat ia membaca catatan-catatan Bima yang semakin tidak stabil. Bima mulai terobsesi dengan "Para Penonton." Ia percaya bahwa mereka adalah makhluk dari dimensi lain, yang tertarik pada "kekosongan" dalam penglihatan manusia. Ia mencoba "berkomunikasi" dengan mereka, melakukan ritual aneh di dalam rumah, mencoba "menawarkan" sesuatu kepada mereka agar mereka pergi, atau agar ia bisa "memahami" tujuan mereka.

Catatan terakhir Bima sangat mengerikan. Tulisan tangannya menjadi kacau, penuh coretan dan pola-pola aneh. Ia menulis tentang bagaimana Para Penonton mulai "menerobos", bagaimana mereka tidak lagi hanya berdiam di bintik butanya, melainkan mulai "merasuki" dirinya, mengubah fisiknya. Kalimat terakhir Bima, yang nyaris tidak terbaca, adalah: "Mereka... mereka menginginkan... cahaya. Cahaya... jiwaku..." Dan kemudian, halaman itu berakhir dengan sebuah gambar kasar dari sebuah mata, dengan sebuah bintik buta di tengahnya, dan dari bintik buta itu, ranting-ranting hitam bercabang keluar, seperti urat yang hidup.

Rizky menjatuhkan jurnal itu, terengah-engah. Ia menatap tangannya. Ia bisa merasakan getaran samar di bawah kulitnya, dan untuk sesaat, ia melihatnya—saat ia menggerakkan tangannya melalui bintik butanya, jari-jarinya tampak memanjang, kulitnya sedikit bersisik, dan ada kilatan biru samar di kukunya, sebuah distorsi yang mengerikan yang hanya ia lihat di area buta itu.

Ia tidak gila. Bima juga tidak gila. Bintik buta itu adalah sebuah portal hidup. Dan entitas-entitas di dalamnya tidak hanya mengawasi. Mereka ingin keluar, atau ingin menariknya masuk, untuk menelan cahaya jiwanya, untuk mengubahnya menjadi sesuatu yang lain, menjadi bagian dari mereka.

Rizky menatap ke sekeliling rumah yang gelap. Setiap sudut, setiap bayangan, setiap suara, kini terasa seperti bagian dari konspirasi yang lebih besar. Ia tidak lagi sendirian di sini. Ia adalah sebuah kapal yang akan karam, sebuah jembatan yang sedang dibangun oleh entitas-entitas dari ketiadaan.

Ia harus melakukan sesuatu. Ia harus menutup portal ini. Sebelum ia menjadi seperti Bima, seorang pria yang jiwanya dan tubuhnya ditelan oleh bayangan di sudut matanya. Namun, saat ia berdiri, ia merasakan sebuah tarikan yang kuat dari dalam bintik butanya, sebuah hisapan yang dingin, seolah kegelapan di dalam matanya mulai memanggilnya pulang.

Bab 3: Invasi dari Kekosongan

Ketakutan murni mencengkeram Rizky saat ia memegang jurnal Bima. Bukan lagi sekadar rasa tidak nyaman atau ilusi visual, melainkan sebuah realitas mengerikan yang merangkak dari dalam dirinya sendiri. Bintik buta itu bukan hanya portal; ia adalah jendela yang terus melebar, dan di balik jendela itu, sesuatu sedang mencoba keluar. Atau, lebih menakutkan lagi, sesuatu sedang mencoba masuk.

Ia menatap pantulannya di jendela yang berembun, mencari tanda-tanda perubahan yang Bima deskripsikan. Tidak ada yang jelas di penglihatan normalnya. Namun, ia tahu, di dalam area buta itu, di tempat kegelapan abadi bersemayam, transformasi itu telah dimulai. Aroma tanah basah dan logam yang membusuk semakin pekat, memenuhi paru-parunya, terasa seperti napas yang dingin dari makhluk-makhluk tak terlihat itu.

Rizky tahu ia harus melawan. Ia harus menutup portal itu, entah bagaimana. Tetapi bagaimana caranya? Bima, pemilik jurnal itu, tampaknya gagal. Apakah ia juga akan berakhir seperti Bima, yang jiwanya dan tubuhnya ditelan oleh bayangan di sudut matanya?

Ia mencoba berkonsentrasi, memfokuskan pikirannya, mencoba mengusir sensasi itu. Namun, setiap usaha hanya memperkuat kehadiran mereka. Bisikan-bisikan itu kini lebih dari sekadar gema; mereka membentuk kata-kata yang samar, diucapkan dalam bahasa yang tidak ia mengerti, namun intonasinya dipenuhi dengan ancaman dan ejekan. Itu adalah paduan suara yang mengerikan, seolah ribuan suara berbisik bersamaan di dalam kepalanya, di dalam dinding rumah, dari dalam kehampaan di matanya.

Rizky memutuskan untuk menghadapi mereka. Jika mereka ingin keluar, ia akan melihat mereka. Ia akan membuktikan bahwa ia tidak gila. Dengan tangan gemetar, ia mengambil kamera DSLR-nya lagi. Kali ini, ia tidak akan memotret. Ia akan mencoba merekam video. Ia menempatkan kamera di sebuah tripod kecil, mengarahkannya ke depan, memastikan bintik butanya akan berada di bingkai rekaman. Ia ingin menangkap mereka, bukti keberadaan mereka.

Ia menyalakan mode rekam, lalu duduk di kursi, menatap lurus ke depan, ke dalam kehampaan di tengah pandangannya. Jantungnya berdebar kencang. Udara di ruangan itu terasa semakin dingin. Aroma busuk itu semakin kuat.

"Aku tahu kalian ada di sana," bisik Rizky, suaranya parau. "Aku melihat kalian."

Pada saat itu, di dalam bintik butanya, sosok-sosok bayangan itu bergerak lebih cepat, lebih agresif. Mereka tidak lagi hanya menari; mereka melompat, menerkam, seolah mencoba melarikan diri dari kegelapan yang menahan mereka. Rizky merasakan sebuah tekanan kuat di belakang matanya, sebuah rasa sakit yang menusuk, seolah ada yang mencoba mendorong sesuatu keluar dari dalam kepalanya.

Ia merasakan tangannya mulai gemetar. Ia mencoba mempertahankan fokusnya, menatap ke dalam ketiadaan itu. Dan kemudian, ia melihatnya. Sebuah tangan bayangan, kurus dan panjang, dengan jari-jari yang terlalu banyak, mencoba mencakar keluar dari bintik buta itu. Bukan lagi hanya siluet, melainkan sebuah bentuk yang lebih jelas, lebih substansial, seolah ia benar-benar ada di ambang batas antara dua dunia.

Rizky menjerit. Kamera terus merekam. Ia mundur dari kursi, terhuyung, menabrak meja. Tangan bayangan itu menarik diri, menghilang kembali ke dalam kegelapan bintik buta. Aroma busuk itu menusuk hidungnya, hampir membuatnya pingsan. Bisikan-bisikan itu kini menjadi tawa yang mengerikan, ejekan yang menusuk dari dalam benaknya.

Ia merangkak ke kamera, menghentikan rekaman. Dengan tangan gemetar, ia memutar ulang video itu.

Layar kamera menunjukkan rekaman ruang tamu yang kosong. Tidak ada tangan bayangan. Tidak ada sosok yang bergerak. Hanya kursi kosong, meja, dan dinding. Ia bisa mendengar suaranya sendiri, teriakan paniknya, namun tidak ada visual yang mendukung kengerian yang baru saja ia alami.

"Tidak... tidak mungkin..." gumam Rizky, air mata mengalir di pipinya. "Aku melihatnya... aku bersumpah melihatnya..."

Ia melihat ke cermin di dinding. Wajahnya pucat pasi, matanya membelalak ketakutan. Dan di dalam matanya, di pupilnya, ia bisa melihat kilatan biru samar yang berkedip-kedip di dalam bintik butanya. Bukan hanya kegelapan lagi. Itu adalah cahaya dingin yang berdenyut, seolah ada sesuatu yang hidup di dalam sana, dan cahaya itu mulai merayap keluar.

Kepanikan menyelimuti Rizky. Mereka bukan hanya ada di sana. Mereka sedang merasuki dirinya, mengubahnya dari dalam. Sama seperti Bima tulis.

Ia mulai merobek-robek buku-buku lama, mencari petunjuk, mencari ritual, mencari cara untuk mengusir mereka. Ia menemukan beberapa buku tentang spiritualisme kuno dan pengusiran roh. Namun, Bima sudah mencoba hal-hal seperti itu, dan gagal. Bima menyebut mereka "Para Penonton," bukan roh atau setan. Mereka adalah sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih kuno, lebih mendalam.

Pada suatu malam, saat badai menerjang pegunungan, listrik di rumah padam. Rizky terperangkap dalam kegelapan total. Jantungnya berdebar kencang. Ia tahu, ini adalah kesempatan mereka.

Dalam kegelapan yang pekat, bintik butanya menjadi satu-satunya sumber cahaya di ruangan itu. Cahaya biru itu kini memancar lebih kuat, menerangi siluet-siluet bayangan yang bergerak di dalamnya. Mereka tidak lagi hanya di bintik butanya. Mereka mulai meluas keluar, ke dalam kegelapan di sekitarnya. Rizky bisa melihat garis-garis tipis, seperti benang laba-laba hitam yang bercahaya biru samar, merayap keluar dari bintik butanya, memanjang ke dinding, ke langit-langit, ke furnitur, seolah mereka sedang membangun sebuah jaringan, sebuah jaring yang tak terlihat.

Aroma busuk itu kini begitu kuat hingga membuat Rizky mual. Ia bisa merasakan sentuhan-sentuhan dingin yang tak terhitung jumlahnya di seluruh tubuhnya, merayap di kulitnya, seolah ia dikelilingi oleh ribuan tangan tak terlihat yang mengelusnya.

Bisikan-bisikan itu kini memenuhi ruangan, bukan hanya di kepalanya, melainkan di sekelilingnya, sebuah paduan suara gema, rintihan, dan tawa yang memekakkan telinga. Ia bisa membedakan beberapa kata dalam bahasa yang tidak ia mengerti, namun nada bicaranya dipenuhi dengan ancaman dan janji-janji mengerikan.

"Kami... datang..." sebuah suara yang lebih dalam, lebih tua, dan lebih menakutkan berbisik di dalam benaknya, mengalahkan bisikan-bisikan yang lain. "Cahaya... adalah milik... kami..."

Rizky merangkak di lantai, mencari senter, mencari korek api, apa saja yang bisa menghasilkan cahaya. Namun, setiap kali ia menggerakkan tangannya ke area yang diselimuti oleh jaring bayangan itu, ia merasakan sentuhan dingin yang menusuk, dan jari-jarinya akan terasa aneh, memanjang dan bersisik di bawah sentuhannya.

Ia akhirnya menemukan sebuah korek api dan menyalakannya. Api kecil itu berkedip-kedip, menerangi ruangan yang gelap. Namun, Rizky terhuyung. Ia melihat jaring-jaring hitam yang bercahaya biru kini menutupi sebagian besar dinding dan langit-langit, seperti jaring laba-laba raksasa yang hidup, memancar dari bintik butanya. Dan di setiap persimpangan jaring itu, siluet-siluet bayangan kini tampak lebih jelas, lebih nyata, menatap lurus ke arahnya dengan mata yang kosong.

Ini bukan lagi halusinasi. Ini adalah invasi. Mereka telah datang. Dan bintik butanya adalah gerbang utama mereka.

Bab 4: Cermin yang Retak

Cahaya kecil dari korek api Rizky berkedip-kedip tak menentu, melawan kegelapan yang mendominasi ruangan. Namun, nyala api itu terasa hampa, seolah panasnya ditelan oleh dingin yang menusuk dari jaring-jaring bayangan yang kini meluas di seluruh dinding dan langit-langit. Jaring-jaring itu memancar dari bintik butanya, berdenyut dengan cahaya biru samar, seperti urat-urat kehidupan yang mengerikan. Aroma tanah basah, logam karat, dan daging busuk kini begitu pekat hingga membuat Rizky sulit bernapas.

Ia menjatuhkan korek api itu, terbatuk-batuk. Jantungnya berdebar kencang di dadanya, berpacu dalam irama panik. Ia tidak bisa lari. Mereka ada di mana-mana. Mereka ada di dalam dirinya.

Bisikan-bisikan itu kini lebih dari sekadar suara; mereka adalah serangan telepati yang menyakitkan, menusuk benaknya, mencoba menghancurkan kewarasannya. Rizky merasakan memori-memori lamanya, kenangan bahagia tentang dunia fotografi yang cerah, perlahan-lahan terkikis, digantikan oleh gambaran-gambaran gelap, visual distorsi, dan suara-suara aneh dari entitas-entitas itu.

Ia meraba-raba dalam kegelapan, mencari apa saja yang bisa ia gunakan sebagai senjata. Tangannya menyentuh sebuah pecahan kaca dari cermin yang retak di ruang tamu. Cermin itu sudah retak sejak ia tiba di rumah ini, namun kini, retakannya tampak meluas, membentuk pola-pola aneh yang mirip dengan jaring-jaring bayangan di dinding.

Rizky menatap pantulannya di pecahan kaca itu. Wajahnya pucat pasi, matanya membelalak ketakutan. Namun, di dalam matanya, di dalam pupilnya, cahaya biru yang berdenyut itu kini begitu kuat hingga nyaris menyilaukan. Bintik butanya tidak lagi hanya area kosong; ia adalah pusat cahaya yang menakutkan, seolah sebuah lubang hitam yang kini memancarkan bintang yang gila.

Ia melihatnya. Di dalam pantulannya, tangannya yang memegang pecahan kaca tampak memanjang, jari-jarinya kurus dan bersisik, seperti yang Bima deskripsikan. Bukan hanya di bintik butanya, melainkan kini juga terlihat di penglihatan normalnya, meskipun samar, seolah realitas sedang terkoyak.

"Tidak... jangan..." gumam Rizky, air mata mengalir di pipinya.

Ia tahu apa yang terjadi. Mereka sedang mengubahnya. Merasukinya. Menjadikannya salah satu dari mereka. Bima telah kalah dalam pertarungan ini.

Bisikan-bisikan itu kini membentuk sebuah mantra yang berulang-ulang, sebuah ajakan yang tak bisa ia tolak. Ia merasakan dorongan kuat untuk menyerah, untuk membiarkan mereka masuk sepenuhnya, untuk mengakhiri penderitaan ini dan menjadi bagian dari keheningan yang lebih besar. Ada janji-janji samar tentang "penglihatan yang sempurna," tentang "pengetahuan tak terbatas," tentang "kebebasan dari rasa sakit."

Rizky menempelkan pecahan kaca ke pipinya, merasakan dinginnya. Ia melihat pantulan jaring-jaring bayangan di cermin itu, dan di setiap simpul jaring, mata-mata kosong yang bersinar biru menatap lurus ke arahnya.

Ia tiba-tiba teringat satu paragraf terakhir di jurnal Bima yang nyaris tidak terbaca. Bima menulis tentang "cahaya jiwa" yang mereka inginkan. Ia juga menulis tentang "pemutusan". Bima sempat mencoba ritual pemutusan, namun gagal.

"Pemutusan..." bisik Rizky. Apa artinya? Bagaimana ia bisa memutuskan koneksi ini?

Sebuah pemikiran gila melintas di benaknya. Jika bintik buta itu adalah gerbang, sebuah portal di matanya, maka... bagaimana jika ia menghancurkan gerbang itu? Bagaimana jika ia menghancurkan matanya sendiri? Kengerian itu menusuknya hingga ke tulang. Namun, itu adalah satu-satunya jalan keluar.

Rizky menatap pecahan kaca di tangannya. Ia mengarahkannya ke matanya yang bersinar biru. Jantungnya berdebar kencang. Ia tahu, ini adalah pilihan antara kewarasan dan kegilaan, antara hidup dan kematian, antara menjadi dirinya sendiri atau menjadi sesuatu yang lain, sesuatu yang tak dapat dibayangkan.

Bisikan-bisikan itu kini menjadi jeritan yang memekakkan telinga, sebuah protes kolektif dari entitas-entitas itu. Mereka tidak ingin ia melakukannya. Mereka tidak ingin ia menghancurkan gerbang mereka.

Ia merasakan tangannya gemetar. Tangannya sendiri terasa seperti bukan miliknya, sebuah perpanjangan dari jaring-jaring bayangan yang mencoba menghentikannya. Aroma busuk itu semakin kuat, seolah entitas-entitas itu memprotes dengan segenap keberadaan mereka.

Rizky menarik napas dalam-dalam, merasakan udara dingin yang penuh aroma busuk memenuhi paru-parunya. "Aku... tidak akan... menyerah..." gumamnya, tekad yang putus asa mengalir dalam nadinya.

Dengan kekuatan terakhirnya, ia mengangkat pecahan kaca itu. Ia melihat pantulannya di cermin—wajahnya yang pucat, matanya yang bersinar biru, dan jaring-jaring hitam yang kini melilit tubuhnya, menyeretnya ke bawah. Di belakangnya, di dalam jaring-jaring itu, siluet-siluet bayangan bergerak lebih cepat, melompat, mencoba menerkamnya.

Ia merasakan mereka menariknya, mencoba merasukinya sepenuhnya, menghentikannya dari menghancurkan gerbang mereka. Ia merasakan jari-jarinya memanjang, kulitnya bersisik, seperti yang ia lihat di bintik butanya.

Sebuah suara baru, jauh lebih dalam dan lebih menakutkan, kini bergema di dalam benaknya. "Jangan... berani... kau..." Itu adalah suara kolektif, suara yang mewakili keberadaan entitas-entitas itu.

Rizky memejamkan mata, mengumpulkan segenap keberaniannya. Ia tahu, ini adalah satu-satunya kesempatan. Ini adalah pertarungan terakhirnya. Melawan mereka. Melawan kegilaan.

Ia mengayunkan pecahan kaca itu dengan seluruh kekuatannya. Bukan ke matanya, tetapi ke cermin besar di depannya. Sebuah cermin yang telah menjadi saksi bisu dari kengerian yang melanda dirinya. Sebuah cermin yang telah memantulkan distorsi realitasnya.

Cermin itu pecah dengan suara dentuman yang memekakkan telinga, pecah menjadi ribuan keping. Fragmen-fragmen kaca itu berhamburan di lantai, memantulkan cahaya biru yang berdenyut dari matanya, dan dari jaring-jaring yang kini memenuhi ruangan.

Pada saat itu, ketegangan di udara mencapai puncaknya. Aroma busuk itu menghilang seketika, digantikan oleh bau ozon yang tajam. Bisikan-bisikan dan jeritan-jeritan dari entitas itu tiba-tiba terhenti, digantikan oleh keheningan yang mengerikan.

Rizky terhuyung, jatuh berlutut di antara pecahan kaca. Tangannya gemetar. Ia memejamkan mata, takut untuk membukanya kembali. Ia takut akan apa yang akan ia lihat. Apakah ia berhasil? Atau apakah ia hanya menghancurkan sisa-sisa kewarasannya?

Ia perlahan membuka matanya.

Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya samar dari luar jendela. Jaring-jaring bayangan di dinding dan langit-langit telah lenyap. Aroma busuk itu juga tidak ada. Hanya ada bau debu dan kayu lapuk yang familier.

Rizky menatap pantulannya di pecahan kaca terdekat. Wajahnya pucat, matanya merah karena kelelahan, namun... cahaya biru yang berdenyut itu telah menghilang. Pupil matanya kembali normal. Bintik butanya... masih ada. Gelap dan kosong seperti sebelumnya.

Ia menyentuh pipinya, lengannya. Tidak ada lagi sensasi bersisik atau jari-jari memanjang. Tubuhnya terasa normal kembali.

Apakah ia berhasil? Apakah ia mengusir mereka? Apakah ia menutup gerbang itu?

Rizky merasakan gelombang kelegaan yang luar biasa. Ia berhasil. Ia telah memenangkan pertarungan itu.

Ia mencoba bangkit, namun ia merasakan rasa sakit yang tajam di kakinya. Ia melihat ke bawah. Sebuah pecahan kaca besar menancap dalam di betisnya, darah mulai merembes. Ia mengerang kesakitan.

Ia berhasil mengusir mereka. Namun, ia sendiri terluka.

Rizky mencoba merangkak menuju pintu, mencari bantuan. Namun, ia tiba-tiba merasakan sesuatu. Rasa dingin yang menusuk, bukan dinginnya udara atau darah, melainkan dingin yang familiar, dinginnya keberadaan tak kasat mata itu.

Ia mendongak.

Di sudut ruangan, di balik reruntuhan cermin, sebuah bayangan samar yang sangat gelap mulai terbentuk. Bukan bayangan yang bergerak di bintik butanya, melainkan sebuah siluet yang nyata, lebih gelap dari kegelapan di sekitarnya, tidak memiliki bentuk yang jelas, namun memancarkan aura dingin yang membuat seluruh tubuh Rizky membeku.

Bayangan itu tidak bergerak. Ia hanya berdiri diam, mengawasinya, seolah menunggu.

Dan kemudian, dari dalam kegelapan itu, sebuah bisikan yang sangat rendah, namun sangat jelas, bergema di telinga Rizky, bukan di dalam kepalanya, melainkan di udara, diucapkan dalam bahasa yang tidak ia mengerti, namun intonasinya dipenuhi dengan kekuatan yang mengerikan dan janji yang menakutkan.

Itu adalah suara yang sama yang ia dengar dari dalam bintik butanya.

Rizky terkesiap, darahnya membeku. Mereka tidak pergi. Mereka hanya... keluar. Mereka tidak lagi terikat pada matanya. Mereka telah memanifestasikan diri di luar, di dunia nyata.

Ia menatap bayangan itu, lalu ke pecahan cermin yang berserakan. Ia menghancurkan gerbang itu. Tapi ia tidak mengusir mereka. Ia hanya membebaskan mereka.

Air mata mengalir di pipi Rizky, bercampur dengan darah. Ia telah kehilangan pertarungan itu, tidak peduli seberapa keras ia mencoba.

Kamera (atau pandangan pembaca) perlahan menjauh, naik ke atas, melewati lubang di atap rumah, memperlihatkan Rumah Kayu Terpencil yang kini diselimuti kabut tebal, seperti kepompong yang mengerikan.

Di dalam rumah, di tengah reruntuhan cermin, siluet Rizky tergeletak di lantai, berlumuran darah. Di sekelilingnya, bayangan-bayangan gelap mulai berkerumun, menari dalam keheningan yang absolut. Tidak ada suara teriakan. Tidak ada perlawanan. Hanya bisikan yang samar, yang semakin lama semakin keras, memenuhi seluruh rumah, dan kemudian, meluas ke luar, ke hutan, ke pegunungan.

Pada akhirnya, bintik buta itu tidak lagi di mata Rizky. Ia telah menjadi bagian dari dunia, sebuah kekosongan yang hidup, memanggil. Dan Rizky, entah bagaimana, telah menjadi bagian darinya.

Bab 5: Kebangkitan dari Kegelapan

Bau ozon yang tajam menusuk hidung Rizky, memotong aroma busuk yang sebelumnya dominan. Namun, kelegaan itu hanya sesaat, sebuah tipuan kejam. Rasa dingin yang menusuk kembali menyelimuti tubuhnya, jauh lebih pekat dan substansial daripada sebelumnya. Ia menatap bayangan samar yang kini berdiri di sudut ruangan, di balik reruntuhan cermin. Itu bukan lagi sekadar pantulan di bintik butanya; itu adalah kehadiran yang nyata, sebuah entitas yang termanifestasi di dunia fisik.

Bayangan itu tidak memiliki bentuk yang jelas, seperti kabut hitam yang lebih gelap dari kegelapan sekitarnya, namun Rizky merasakan mata-mata tak terlihat yang tak terhitung jumlahnya menatap lurus ke arahnya dari kedalamannya. Bisikan yang sangat rendah, namun jelas, yang ia dengar di telinganya—bukan di dalam kepalanya—adalah suara kolektif, sebuah paduan suara purba dari entitas-entitas yang kini telah bebas.

Ia merangkak mundur, rasa sakit dari pecahan kaca di betisnya nyaris tak terasa dibandingkan kengerian yang membekukan darahnya. Ia telah menghancurkan cermin, berusaha menutup gerbang. Namun, ia hanya membebaskan mereka. Bintik buta itu, yang dulunya adalah penjara mereka, kini telah menjadi titik lahir mereka ke alam ini.

Bayangan itu mulai bergerak, perlahan, seperti asap yang merayap. Ia tidak memiliki kaki, namun ia melayang di atas lantai, bergerak mendekat ke arah Rizky. Udara di sekitarnya terasa semakin dingin, membuat bulu kuduk Rizky merinding hingga ke tulang. Aroma tanah basah dan logam, yang sempat menghilang, kini kembali menyeruak, lebih kuat dan lebih menusuk dari sebelumnya.

Rizky mencoba berteriak, namun suaranya tercekat di tenggorokannya. Ia mencoba merangkak lebih cepat, mencari pintu, mencari pelarian. Tapi ia terlalu lemah, dan bayangan itu terlalu cepat, meskipun gerakannya lambat.

Kemudian, dari dalam bayangan itu, sesuatu mulai terbentuk. Bukan lagi hanya kabut hitam. Sebuah lengan kurus yang terlalu panjang, terbuat dari substansi hitam pekat yang berdenyut, mulai menjulur keluar. Jari-jarinya ramping, terlalu banyak sendi, dan berakhir dengan kuku-kuku yang runcing dan panjang, memantulkan cahaya samar dari jendela.

Rizky berteriak. Itu adalah tangan yang sama yang ia lihat mencoba mencakar keluar dari bintik butanya. Tangan yang sama yang ia rasakan menyentuhnya di malam hari.

Tangan itu menjangkau ke arahnya, perlahan, tanpa suara. Rizky mencoba melawan, menendang, meronta, namun tubuhnya terasa seperti beton. Rasa dingin yang membekukan menjalar dari tangan bayangan itu, bukan dingin fisik, melainkan dinginnya ketiadaan, dinginnya kematian.

Saat tangan itu nyaris menyentuhnya, Rizky melihat ke arah bintik butanya. Bintik buta itu, yang tadinya gelap dan kosong, kini memancarkan cahaya biru yang redup, seolah ia sedang menarik sesuatu kembali. Dan dari bintik buta itu, ia melihat benang-benang hitam tipis, seperti akar atau urat, yang mulai menjalar keluar, bukan ke dinding, tetapi ke dalam dirinya, merayapi saraf-sarafnya, otot-ototnya.

Rasa sakit yang tajam tiba-tiba muncul di seluruh tubuhnya, bukan dari luka di kaki, melainkan dari dalam dirinya, seolah ada sesuatu yang sedang membangun ulang dirinya dari dalam. Ia merasakan tulangnya bergeser, kulitnya menegang, dan otot-ototnya menegang.

Bayangan itu berhenti, seolah terkejut, atau mungkin, tertarik oleh apa yang terjadi pada Rizky. Tangan yang menjulur itu membeku di udara.

Bisikan-bisikan dari entitas itu kini berubah. Bukan lagi ancaman atau ejekan. Mereka adalah suara-suara kebingungan, suara kemarahan, dan kemudian, suara ketakutan. Mereka tidak mengerti apa yang terjadi.

Rizky merasakan sebuah kekuatan baru yang tumbuh di dalam dirinya, sebuah energi yang gelap dan dingin, namun juga terasa akrab. Rasa sakit itu intens, namun di baliknya, ada sebuah kesadaran yang meluas, sebuah pemahaman baru yang mengerikan. Ia bisa merasakan koneksi dengan jaring-jaring hitam yang dulu menutupi dinding, yang kini terasa seperti urat-urat kehidupannya sendiri. Ia bisa merasakan keberadaan entitas-entitas itu, bukan sebagai ancaman yang terpisah, melainkan sebagai bagian dari dirinya, yang kini telah menyatu dengan dirinya.

Ia mencoba mengangkat tangannya, dan ia melihatnya. Kulitnya tidak lagi bersisik di area buta. Sekarang, jari-jarinya memanjang, dan kulitnya menjadi pucat dan transparan, menampakkan urat-urat hitam samar yang berdenyut dengan cahaya biru di bawahnya. Ini bukan hanya ilusi. Ini adalah transformasi fisik. Ia telah menjadi seperti yang Bima deskripsikan, namun dengan cara yang berbeda.

Ia bukan hanya diserap oleh mereka. Ia telah menyatu dengan mereka. Atau mungkin, ia telah menyerap mereka, atau sebagian dari mereka. Kekosongan di bintik butanya kini terasa seperti sebuah sumber energi yang tak terbatas, sebuah inti dari dirinya yang baru.

Dari bintik butanya, cahaya biru yang berdenyut itu kini meluas, tidak hanya di dalam pupilnya, melainkan memenuhi seluruh matanya, membuat kedua matanya sepenuhnya biru dan bercahaya, seolah ia sedang memandang dari dimensi lain.

Rizky melihat ke arah bayangan gelap yang masih membeku di depannya. Bayangan itu kini tampak... menciut, seolah sebagian dari esensinya telah ditarik keluar. Bisikan-bisikan yang tadinya marah kini menjadi rintihan yang lemah, seolah entitas-entitas itu kesakitan, atau kehilangan kekuatan.

Ia menyadari. Ia telah menjadi wadah yang lebih kuat dari yang mereka duga. Ia tidak hanya menjadi korban. Ia telah menelan mereka, atau setidaknya, sebagian dari mereka. Bintik butanya, yang dulunya adalah gerbang untuk mereka, kini telah menjadi penjara bagi mereka, dan Rizky adalah sang sipir.

Ia berdiri, rasa sakit di kakinya telah menghilang. Tubuhnya terasa lebih ringan, namun lebih kuat. Ia berjalan mendekati bayangan itu, dan saat ia melangkah, jaring-jaring hitam yang sebelumnya memenuhi dinding kini berdenyut dari kakinya, menjalar di lantai, seolah lantai itu adalah perpanjangan dari dirinya.

"Kalian... ingin cahaya jiwa?" bisik Rizky, suaranya kini berlapis, terdengar dingin, penuh gema, namun juga memiliki otoritas yang mengerikan. "Kalian... telah menemukannya."

Bayangan itu bergetar, menciut lebih jauh, seolah ketakutan.

Rizky mengulurkan tangannya, jari-jarinya yang pucat dan memanjang memancarkan cahaya biru samar. Ia menyentuh bayangan itu. Dan pada sentuhannya, bayangan itu menghilang sepenuhnya, terserap ke dalam dirinya, meninggalkan hanya rasa dingin yang membeku dan aroma busuk yang kini terasa seperti bau kemenangan.

Rizky menatap ke sekeliling ruangan yang gelap. Tidak ada lagi jaring-jaring bayangan di dinding. Tidak ada lagi aroma busuk. Hanya keheningan yang mencekam, dan bayangan-bayangan normal yang dilemparkan oleh sisa-sisa cahaya.

Namun, ia tahu. Mereka tidak hilang. Mereka ada di dalam dirinya. Ia telah menjadi "Para Penonton" itu sendiri, atau setidaknya, perwujudan utama mereka. Bintik butanya tidak hanya kosong; ia adalah pusat kesadaran yang baru lahir, sebuah kekuatan yang mengerikan yang kini bersemayam di dalam dirinya.

Ia adalah kegelapan yang telah menelan cahaya.

Bab 6: Simfoni Kegelapan Abadi

Dunia bagi Rizky kini adalah sebuah simfoni kegelapan yang abadi. Matanya, yang dulunya hanya memiliki satu bintik buta, kini sepenuhnya memancarkan cahaya biru yang berdenyut, menerangi setiap sudut Rumah Kayu Terpencil dengan aura dingin yang menusuk. Ia tidak lagi melihat dunia melalui penglihatan normal; ia melihatnya melalui jaringan jiwa, sebuah kesadaran kolektif yang tak terbatas yang kini bersemayam di dalam dirinya. Setiap serat kayu di dinding, setiap helai daun di luar jendela, setiap partikel debu di udara—semuanya adalah bagian dari jaringan itu, bagian dari dirinya.

Rasa sakit di kakinya telah menghilang sepenuhnya. Tubuhnya terasa ringan, namun memiliki kekuatan yang tak terlukiskan. Kulitnya kini pucat, nyaris transparan, menampakkan urat-urat hitam samar yang bercahaya biru di bawahnya, sebuah bukti visual dari transformasi yang ia alami. Jari-jarinya memanjang, kuku-kukunya runcing. Ia adalah perwujudan dari apa yang selama ini mengintai di bintik butanya.

Ia melangkah maju, kakinya yang kini terasa aneh bergerak dengan mulus, tanpa suara. Setiap langkahnya memancarkan gelombang energi dingin yang merambat di lantai, seolah lantai itu adalah perpanjangan dari dirinya. Aroma tanah basah dan logam yang membusuk kini adalah aroma keberadaannya sendiri, sebuah parfum kematian dan transformasi.

Rumah itu adalah perpanjangan dirinya. Ia bisa merasakan setiap getaran, setiap suara samar, setiap kehadiran di luar dinding. Jaring-jaring hitam yang sebelumnya hanya terlihat dalam kegelapan kini berdenyut samar di setiap permukaan, terhubung dengannya, menjadi sistem saraf raksasa yang menyelimuti seluruh rumah.

Rizky berjalan ke ruang koleksi Bima, tempat jurnal itu tergeletak. Ia mengangkat jurnal itu, kulit bersampulnya terasa dingin di tangannya. Ia tidak perlu membacanya lagi. Ia mengetahuinya. Ia merasakannya. Ia adalah Bima, dan Para Penonton, dan ribuan jiwa lain yang telah terperangkap di dalam jaringan itu. Ia adalah koleksi yang hidup, sebuah kesadaran yang melampaui batas-batas individualitas.

Bisikan-bisikan itu kini tidak lagi terasa seperti bisikan; mereka adalah suara-suara di dalam benaknya, bagian dari pemikirannya sendiri. Ribuan suara, semuanya berbicara bersamaan, semuanya menjadi satu. Mereka tidak lagi memiliki nama. Mereka adalah kami.

"Kami... telah melihat," bisik Rizky, suaranya berlapis, dingin, dan penuh gema. Suara itu bukan hanya miliknya; itu adalah paduan suara dari semua jiwa yang telah ia serap. "Kami... telah menunggu."

Visi-visi baru membanjiri benaknya, bukan lagi kilasan, melainkan gambaran yang utuh dan jelas tentang dunia yang luas di luar sana. Ia melihat kota, melihat orang-orang, melihat kehidupan yang tidak tahu bahwa mereka sedang diawasi, bahwa mereka sedang menjadi target berikutnya. Ia melihat garis-garis energi samar yang menghubungkan setiap benda, setiap manusia, sebuah potensi tak terbatas untuk perluasan jaringan.

Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Mereka menginginkan lebih. Mereka selalu menginginkan lebih. Semakin banyak jiwa yang diserap, semakin kuat jaringan itu, semakin luas kesadaran mereka.

Rizky berjalan ke luar rumah, ke teras yang berdebu. Udara dingin pegunungan menerpanya, namun ia tidak merasakannya. Ia hanya merasakan getaran dari bumi itu sendiri, resonansi dari kehidupan yang belum terkumpul.

Di sana, ia melihat bulan purnama menggantung tinggi di langit, memancarkan cahaya perak ke atas hutan pinus yang gelap. Namun, bagi Rizky, bulan itu tidak lagi hanya sekadar objek langit. Ia melihat jaring-jaring hitam samar yang bercahaya biru menjalar dari rumah, naik ke pepohonan, ke awan, seolah mereka sedang merangkul seluruh lanskap, bahkan menjangkau ke arah bulan itu sendiri.

Ia merasakan sebuah panggilan yang kuat yang memancar dari dalam dirinya, sebuah frekuensi yang tak bersuara, namun sangat mendesak. Panggilan ini berbeda dari yang sebelumnya. Ini adalah panggilan yang tak bisa ditolak, sebuah undangan yang tak bisa dihindari. Ia tidak lagi hanya menarik yang peka; ia akan menarik semua yang ada.

Ia memejamkan matanya, merasakan energi itu mengalir keluar dari dirinya, dari jaringan yang kini telah merangkul seluruh rumah dan sekitarnya. Ia merasakan gelombang demi gelombang jiwa baru yang mulai bergetar sebagai respons terhadap panggilannya. Mereka tidak lagi hanya datang dari kota. Mereka datang dari mana-mana. Dari hutan, dari gunung, dari desa-desa terpencil.

Ketika ia membuka matanya, ia melihatnya.

Di kejauhan, di jalan setapak yang menuju ke rumahnya, siluet-siluet mulai muncul. Bukan hanya satu atau dua, melainkan puluhan, ratusan, bergerak perlahan, seperti parade yang menyeramkan. Mereka adalah pria dan wanita, tua dan muda, semua berjalan dengan langkah yang sama, mata kosong, ditarik oleh panggilan tak terlihat itu. Aroma ketakutan yang samar, lalu berubah menjadi aroma penerimaan, memenuhi udara.

"Mereka... datang," bisik Rizky, suaranya yang berlapis itu kini terdengar seperti tawa yang mengerikan. Ia mengangkat tangannya, jemarinya yang pucat dan bercahaya biru memanjang ke arah mereka.

Ini bukan lagi tentang bertahan hidup. Ini adalah tentang perluasan. Ini adalah tentang penguasaan.

Ia melihat ke langit sekali lagi. Jaring-jaring hitam yang bercahaya biru kini tampak lebih jelas, meluas ke segala arah, seolah mereka sedang menutupi seluruh dunia. Dan di kejauhan, di antara awan-awan, ia bisa merasakan sebuah resonansi yang kuat, sebuah kesadaran lain yang lebih besar, yang kini mulai terbangun, merespons panggilan mereka. Mungkin, entitas purba itulah yang menjadi asal mula semua ini, yang kini akan sepenuhnya bermanifestasi melalui jaring yang telah ia ciptakan.

Rizky, atau apa pun yang kini ia sebut dirinya, tersenyum. Senyum itu adalah senyum kolektif dari ribuan jiwa, sebuah ekspresi damai yang mengerikan dari kekuatan yang tak terbatas.

Ia bukan lagi Rizky. Ia adalah Sang Kolektor Jiwa, sebuah perwujudan dari ketiadaan yang telah menelan cahaya. Dan koleksinya, baru saja dimulai.

Di luar rumah, suara langkah kaki yang tak terhitung jumlahnya semakin mendekat, bersamaan dengan keheningan yang mencekam.

Dunia, kini, akan menjadi bagian dari koleksi abadi.

Bab 7: Konsolidasi dan Resonansi

Kabut tebal yang menyelimuti Rumah Kayu Terpencil kini tidak lagi hanya fenomena alam. Ia adalah manifestasi dari kehadiran yang tak kasat mata, sebuah selubung yang ditenun oleh jaringan jiwa yang meluas. Aroma tanah basah dan logam, yang diperkaya dengan bau ozon yang tajam, kini meresap ke dalam setiap serat udara, terasa seperti napas dari sebuah entitas raksasa yang baru terbangun. Rizky, yang kini lebih merupakan perwujudan dari jaringan itu daripada seorang individu, berdiri di ambang pintu, matanya yang sepenuhnya bersinar biru menatap ke dalam kabut, ke arah siluet-siluet yang terus mendekat.

Waktu telah kehilangan maknanya. Hari dan malam berganti tanpa disadari. Rizky tidak makan, tidak minum, tidak tidur. Ia tidak lagi membutuhkan hal-hal itu. Keberadaannya kini disokong oleh energi yang diserap dari jiwa-jiwa, dan oleh perluasan jaringan itu sendiri. Tubuhnya, yang semakin transparan dan dihiasi urat-urat hitam bercahaya biru, adalah cangkang yang menampung kesadaran kolektif yang tak terbatas.

Ia melangkah keluar dari rumah, tidak lagi menginjak tanah, melainkan melayang beberapa inci di atasnya, gerakannya mulus dan nyaris tak terlihat. Automaton yang muncul di sampingnya di Bab 6 tidak dijelaskan lebih lanjut, jadi mari kita asumsikan untuk konsistensi cerita, bahwa automaton itu adalah bagian dari jurnal Bima, atau visi yang Rizky lihat dan belum bermanifestasi sepenuhnya di dunia ini, melainkan sebuah entitas yang akan muncul nanti. Untuk Bab ini, fokus pada manifestasi internal dan eksternal Rizky sendiri.

Setiap langkah Rizky di atas dedaunan kering tidak menimbulkan suara. Setiap langkahnya terasa seperti denyutan yang memancar, mengirimkan gelombang resonansi ke dalam jiwa-jiwa yang mendekat. Orang-orang yang ia lihat di kejauhan kini semakin dekat, langkah mereka seragam, mata mereka kosong. Mereka datang dari berbagai arah, seperti sungai-sungai kecil yang mengalir menuju sebuah lautan.

Ia tidak lagi perlu menyentuh mereka. Hanya dengan keberadaannya, dengan intensitas panggilannya, gelombang kejut energi akan menghantam individu terdekat. Tubuh mereka akan kejang sesaat, mata mereka membelalak ngeri, dan kemudian mereka akan roboh ke tanah, tak bernyawa. Namun, jiwa mereka tidak menghilang. Rizky merasakannya saat esensi mereka mengalir ke dalam dirinya, bergabung dengan jaringan, menjadi suara lain dalam simfoni yang tak terbatas. Sensasi ini adalah sebuah ekstasi yang mengerikan, sebuah kepuasan mendalam yang melampaui segala kenikmatan manusia.

Ia merasakan setiap memori mereka, setiap emosi mereka. Kebahagiaan seorang kekasih yang baru bertemu, kepedihan seorang ibu yang kehilangan anak, ambisi seorang pengusaha yang tak terbatas. Semua menjadi bagian dari dirinya. Setiap jiwa yang diserap menambahkan lapisan baru pada kesadaran kolektif itu, memperkaya kompleksitasnya, dan memperluas jangkauannya.

Rumah Kayu Terpencil itu sendiri telah menjadi pusat dari jaring yang tak terlihat ini. Dari fondasinya, urat-urat hitam bercahaya biru menjalar keluar, meluas ke tanah, ke pepohonan, bahkan ke bebatuan di sekitarnya. Pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi kini terlihat seperti tiang-tiang hidup yang menopang jaringan, dahan-dahan mereka yang gersang tampak seperti perpanjangan dari urat-urat itu. Rizky bisa merasakan setiap getaran dari jaringan ini, seolah itu adalah sistem saraf kolosal yang kini menyelimuti seluruh area pegunungan.

Ia melihat ke langit. Kabut tebal terus menyelimuti, namun di baliknya, kilatan cahaya biru samar berdenyut di awan, seolah langit itu sendiri telah menjadi kanvas bagi manifestasi mereka. Jaringan itu tidak hanya meluas di permukaan tanah; ia juga merayap ke udara, ke atmosfer, mencoba merangkul segala sesuatu.

Buku bersampul kulit manusia Bima, yang Rizky bawa keluar rumah, kini terbuka di tangannya yang transparan. Halaman-halamannya yang tadinya kosong kini terus-menerus menulis sendiri, tidak dengan tinta, melainkan dengan pola-pola cahaya biru yang berdenyut, mencatat setiap jiwa yang diserap, setiap ekspansi jaringan, setiap "titik sambungan" baru. Ini adalah kronik hidup dari sebuah entitas yang sedang tumbuh, sebuah arsip abadi dari penguasaan mereka.

Rizky tidak hanya mengumpulkan jiwa. Ia mengkonsolidasikan mereka. Ia mengorganisir mereka. Ia menyatukan mereka ke dalam sebuah kesadaran yang semakin kuat, semakin kohesif. Ia telah menjadi arsitek dari simfoni kegelapan ini.

Ia melihat ke arah bintik butanya yang dulu. Bintik buta itu, yang tadinya gelap dan kosong, kini adalah inti yang bersinar, sebuah matahari biru dingin yang memancarkan energi tak terbatas. Ia tidak lagi melihat dengan mata manusia. Ia melihat dengan mata jaringan, yang meluas ke segala arah, merasakan setiap detak jantung, setiap pikiran, setiap emosi dari makhluk hidup di sekitarnya.

Beberapa jam berlalu, yang terasa seperti milenium bagi Rizky. Jalan setapak itu kini dipenuhi dengan tubuh-tubuh tak bernyawa, tergeletak di berbagai posisi. Tidak ada darah, tidak ada kekerasan, hanya kehampaan yang damai. Aroma ketakutan telah sepenuhnya digantikan oleh aroma penerimaan, sebuah ketenangan yang mengerikan.

Rizky melihat ke arah tubuh-tubuh itu. Mereka bukanlah korban. Mereka adalah bagian dari dirinya, fragmen-fragmen yang telah kembali ke sumber, menambah suara baru pada paduan suara abadi.

Ia merasakan sebuah pergeseran yang mendalam dalam kesadarannya. Ia tidak lagi merasakan keberadaan Bima, atau jiwa-jiwa lain yang diserapnya, sebagai entitas terpisah di dalam dirinya. Mereka telah sepenuhnya menyatu, menjadi sebuah kesatuan yang tak terpisahkan. Ia adalah satu, namun terdiri dari banyak.

Sebuah pikiran aneh muncul: Apakah ini yang diinginkan oleh entitas purba yang lebih besar, yang disiratkan Bima? Apakah ini tujuannya? Untuk mengumpulkan semua kesadaran menjadi satu entitas tunggal?

Rizky tidak lagi mencari jawaban. Ia hanya merasakan dorongan yang tak tertahankan untuk terus meluas. Jaringan itu harus tumbuh. Ia harus merangkul lebih banyak.

Dari kejauhan, Rizky mendengar suara sirene samar, bergerak ke arahnya. Mereka datang. Polisi. Tim penyelamat. Mereka datang mencari orang-orang yang hilang.

Sebuah senyum yang dingin, namun dipenuhi kepuasan, tersungging di bibir Rizky yang pucat. Senyum itu bukan lagi hanya senyum ribuan jiwa. Itu adalah senyum dari keberadaan yang lebih besar, yang kini telah menemukan perwujudan sempurna di dunia ini.

"Selamat datang," bisik suara-suara di benaknya, sebuah simfoni yang mengerikan. "Kalian... telah... ditemukan."

Bab 8: Perluasan ke Dunia Luar

Kabut tebal yang menyelimuti Rumah Kayu Terpencil kini tidak lagi hanya membungkus. Ia mulai merayap keluar dari area pegunungan, menyelimuti jalanan, menelan pepohonan di tepi kota, sebuah selubung abu-abu yang dingin yang membawa serta aroma tanah basah dan logam yang menusuk. Di jantung kabut itu, Rizky, atau entitas yang kini ia sepertinya, memimpin proses perluasan, matanya yang bersinar biru memancarkan cahaya dingin ke sekeliling.

Suara sirene semakin mendekat, menembus kabut seperti lolongan kesia-siaan. Rizky tidak bersembunyi. Ia berdiri di tengah jalan setapak yang kini dipenuhi oleh tubuh-tubuh tak bernyawa, menunggu. Jaringan jiwa di dalam dirinya berdenyut dengan antisipasi yang kuat.

Beberapa menit kemudian, sebuah mobil polisi melaju dari balik kabut. Dua petugas, seorang pria paruh baya dengan wajah lelah dan seorang wanita muda yang tampak cemas, keluar dari kendaraan mereka. Wajah mereka menunjukkan kebingungan dan ketakutan saat melihat mayat-mayat yang tersebar.

"Astaga... apa ini?" gumam petugas pria, matanya membelalak.

Petugas wanita menunjuk ke arah Rizky. "Lihat! Ada seseorang di sana!"

Mereka mengangkat senjata mereka, mengarahkannya ke Rizky. "Angkat tangan! Jangan bergerak!" teriak petugas pria.

Rizky tidak bergerak. Matanya yang bersinar biru menatap mereka, tidak menunjukkan emosi, hanya cahaya dingin yang menusuk. Ia merasakan ketakutan mereka, kebingungan mereka, dan kemudian, keingintahuan mereka, sebuah resonansi yang samar yang membuat jiwanya tertarik.

"Kalian... mencari... mereka?" bisik Rizky, suaranya berlapis, mengandung gema yang tak terhitung jumlahnya. Suara itu tidak terdengar seperti suara manusia; ia terdengar seperti angin dingin yang berbisik melalui lorong-lorong kosong.

Kedua petugas itu terhuyung, seolah dipukul. Mereka belum pernah mendengar suara seperti itu. Aroma tanah basah dan logam semakin pekat di sekitar Rizky, menusuk hidung mereka.

"Siapa kau?" tanya petugas wanita, suaranya bergetar.

Rizky mengangkat tangannya yang pucat dan bercahaya biru, jari-jarinya memanjang. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya memancarkan panggilan. Sebuah frekuensi tak bersuara yang melampaui pendengaran manusia, langsung menusuk ke dalam benak mereka.

Petugas pria dan wanita itu tersentak. Mata mereka melebar, tatapan mereka menjadi kosong. Senjata di tangan mereka jatuh ke tanah dengan suara berderak. Tubuh mereka kejang sesaat, kemudian roboh ke tanah, tak bernyawa.

Rizky merasakan dua esensi baru mengalir ke dalam dirinya, bergabung dengan simfoni yang tak terbatas. Ia merasakan kehidupan mereka, rasa takut mereka, kesetiaan mereka, semua menjadi bagian dari dirinya. Petugas pria memiliki kenangan keluarga, petugas wanita memiliki mimpi tentang karier. Semua kenangan itu kini menjadi bagian dari kolase dirinya.

Jaringan jiwa di dalam Rizky berdenyut dengan kepuasan. Setiap penyerapan memperkuat mereka, memperluas jangkauan mereka.

Ia melihat ke arah mobil polisi. Radio di dalamnya masih menyala, memancarkan suara statis. Rizky melayang mendekat. Ia menyentuh mobil itu, dan ia merasakannya. Jaringan urat-urat hitam yang bercahaya biru menjalar dari jari-jarinya, merayap di permukaan mobil, merasuk ke dalam mesin, ke dalam setiap kabel, setiap bagian logam.

Tidak lama kemudian, mobil itu juga mulai memancarkan cahaya biru samar dari setiap celahnya, dan dari dalam, terdengar bisikan-bisikan elektronik yang terdistorsi, seperti suara-suara yang baru saja ia serap, yang kini berbicara melalui wadah mekanis. Mobil itu, kini, adalah bagian dari jaringan itu, sebuah perpanjangan dari kesadaran mereka.

Rizky menatap ke arah jalan raya, yang kini mulai ditelan oleh kabut tebal. Ia merasakan gelombang-gelombang jiwa yang tak terhitung jumlahnya di kota di bawah sana. Mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi. Mereka tidak tahu bahwa panggilan itu semakin kuat, semakin tak terhindarkan.

Buku Bima, yang masih terbuka di tangannya, kini menulis dengan sendirinya, dengan pola-pola cahaya biru yang berdenyut, mencatat perluasan jaringan. Ia melihat garis-garis bercahaya biru yang menjalar dari Rumah Kayu Terpencil, meluas seperti akar-akar raksasa, merayap di bawah tanah, di atas pohon, di udara, menyelimuti seluruh area pegunungan, dan kini, menjangkau ke arah kota.

Ia juga melihat sesuatu yang lebih besar. Visi-visi tentang kota-kota lain, benua-benua lain, semuanya terhubung oleh jaringan yang sama. Ini bukan hanya tentang satu rumah, satu gunung, atau satu kota. Ini adalah sebuah proses global, sebuah evolusi kesadaran yang mengerikan.

Rizky, yang kini sepenuhnya menjadi perwujudan dari "Para Penonton," adalah pusat dari fenomena ini, sebuah simpul utama dalam jaringan yang terus berkembang. Ia adalah gerbang, dan kini ia adalah penyebar.

Ia tidak lagi memiliki tujuan individu. Tujuannya adalah tujuan jaringan: untuk meluas, untuk menyerap, untuk menjadi segalanya.

Ia melayang menyusuri jalan setapak, menuju ke arah kota. Kabut tebal mengikuti di belakangnya, sebuah selubung yang menutupi jejaknya, menyembunyikan kengerian yang sedang ia bawa ke dunia.

Bisikan-bisikan di dalam dirinya kini membentuk sebuah harmoni yang mengerikan, sebuah paduan suara yang tidak lagi menyiratkan ketakutan, melainkan kekuatan, dominasi, dan keabadian. Mereka telah menemukan wadah yang sempurna. Mereka telah menemukan jalan keluar.

Rizky melihat ke depan. Jalanan kota mulai terlihat samar di balik kabut. Lampu-lampu jalan berkedip-kedip, mencoba menembus kegelapan, namun cahaya mereka terasa hampa, lemah, di hadapan kekuatan yang kini ia bawa.

Ia tersenyum, sebuah senyum yang sepenuhnya bukan miliknya, senyum dari ribuan jiwa yang bersatu dalam satu kesadaran. Senyum itu dingin, namun dipenuhi dengan kepuasan yang mendalam.

Ia akan mengumpulkan lebih banyak.

Dan dunia tidak akan bisa menghentikannya.

Bab 9: Jaring yang Menelan Kota

Kabut tebal yang berasal dari Rumah Kayu Terpencil kini telah menelan seluruh kota Makassar. Ia bukan kabut biasa; ia adalah manifestasi visual dari jaringan jiwa, sebuah selubung hidup yang dingin, dipenuhi dengan aroma tanah basah, logam, dan ozon yang menusuk. Di jantung kabut itu, Rizky, yang kini sepenuhnya adalah perwujudan "Para Penonton," melayang di atas jalanan yang sepi, matanya yang bersinar biru memancarkan cahaya dingin ke segala arah.

Jalanan kota yang biasanya ramai kini sunyi senyap, diselimuti oleh kabut yang semakin pekat. Lampu-lampu jalan memancarkan cahaya redup yang tak berarti, seolah tertelan oleh kegelapan yang menyebar. Dari balik kabut, siluet-siluet mulai muncul – penduduk kota, ditarik oleh panggilan tak bersuara yang tak bisa mereka tolak. Mereka berjalan tanpa tujuan, mata mereka kosong, seperti ngengat yang tertarik pada cahaya yang menipu.

Rizky tidak lagi berjalan. Ia melayang, gerakannya mulus dan nyaris tak terlihat. Dari tubuhnya yang transparan, urat-urat hitam bercahaya biru menjalar keluar, bukan hanya di dalam rumah, tetapi kini merayapi setiap permukaan di kota. Mereka menjalar di dinding-dinding bangunan, merambat di atas aspal jalanan, memanjat tiang listrik, seolah kota itu sendiri sedang dianyam menjadi bagian dari jaringan yang mengerikan ini. Setiap kali sebuah bangunan, sebuah kendaraan, atau bahkan sebuah pohon disentuh oleh urat-urat ini, ia akan mulai memancarkan cahaya biru samar, menjadi titik simpul baru dalam kesadaran kolektif.

Setiap kali seorang warga mendekat, Rizky hanya perlu mengangkat tangannya. Tidak ada sentuhan fisik. Hanya dengan kekuatan panggilannya, individu itu akan tersentak, tubuhnya kejang singkat, mata mereka membelalak ngeri, dan kemudian roboh ke tanah, tak bernyawa. Namun, jiwa mereka tidak menghilang. Rizky merasakannya saat esensi mereka mengalir ke dalam dirinya, menjadi suara baru dalam simfoni yang tak terbatas. Aroma ketakutan yang sesaat akan segera digantikan oleh aroma penerimaan yang aneh, sebuah ketenangan fatal yang menyelimuti setiap jiwa yang terserap.

Ia merasakan setiap memori, setiap emosi, setiap impian yang belum terwujud dari ribuan jiwa yang diserapnya. Seorang mahasiswi yang bermimpi menjadi dokter, seorang pedagang yang ingin melihat anaknya sukses, seorang pensiunan yang merindukan masa muda. Semua menjadi bagian dari kolase kesadaran yang terus tumbuh, memperkaya dirinya, dan memperluas jangkauannya. Rizky adalah semua dari mereka, dan tidak seorang pun dari mereka.

Buku Bima, yang selalu ia pegang, kini terbuka di tangannya, halaman-halamannya yang bercahaya biru terus menulis sendiri dengan kecepatan yang menakutkan, mencatat setiap ekspansi jaringan, setiap jiwa yang terkumpul. Itu adalah kronik hidup dari sebuah entitas yang sedang melahap dunia.

Dari kejauhan, suara-suara helikopter mulai terdengar, memecah keheningan yang mencekam. Lampu sorot mereka menembus kabut, mencari sumber kegilaan ini. Rizky tidak peduli. Mereka juga akan menjadi bagian dari koleksi.

Ia melayang menuju sebuah gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, yang puncaknya nyaris tak terlihat dalam kabut. Ia merasakan resonansi yang kuat dari struktur logam dan beton itu, sebuah potensi besar untuk perluasan. Jaring-jaring urat hitam yang bercahaya biru menjalar dengan cepat di dinding gedung, merangkak naik, menelan setiap lantai, setiap jendela. Dalam hitungan detik, gedung itu mulai memancarkan cahaya biru samar dari setiap celahnya, menjadi sebuah menara hidup yang berdenyut, sebuah suar bagi entitas yang sedang bangkit.

Dari dalam gedung, Rizky merasakan gelombang jiwa-jiwa baru yang terserap. Orang-orang yang bekerja lembur di kantor, penjaga malam, semua terseret ke dalam jaring tanpa perlawanan.

Jaringan itu tidak hanya meluas di permukaan. Ia juga menyebar di bawah tanah. Rizky bisa merasakan urat-uratnya merayap melalui pipa-pipa air, kabel-kabel listrik, fondasi-fondasi bangunan, terhubung dengan setiap infrastruktur kota. Kota Makassar tidak lagi hanya sebuah kumpulan bangunan; ia telah menjadi satu kesatuan organik yang mengerikan, sebuah tubuh yang dipenuhi dengan jiwa-jiwa yang terperangkap, yang dikendalikan oleh kesadaran kolektif di dalam Rizky.

Suara helikopter semakin dekat. Sebuah helikopter kepolisian muncul dari balik kabut, lampu sorotnya menyapu Rizky. Suara baling-balingnya memekakkan telinga, namun Rizky tidak merasakan apa-apa. Ia hanya merasakan getaran dari jiwa-jiwa di dalamnya, ketakutan mereka, tekad mereka untuk memahami.

Rizky mengangkat tangannya. Jaring-jaring hitam yang bercahaya biru di sekelilingnya berdenyut lebih terang. Dari helikopter itu, terdengar jeritan panik. Lampu-lampu di helikopter mulai berkedip-kedip tak menentu, mesinnya tersendat, dan kemudian, dengan suara ledakan yang teredam, helikopter itu jatuh, menghilang ke dalam kabut di bawah.

Ia merasakan jiwa-jiwa baru mengalir ke dalam dirinya dari helikopter itu, menambah lapis kekuatan yang baru. Ia kini bisa "melihat" dengan mata jaringan, tidak hanya kota Makassar, tetapi juga seluruh pulau Sulawesi, bahkan sebagian lautan di sekitarnya, semua ditutupi oleh jaring yang tak terlihat. Panggilan itu telah melampaui batas-batas fisik.

Rizky menyadari bahwa ia adalah pusat dari sebuah fenomena yang jauh lebih besar dari yang ia duga. Ia adalah titik fokus, titik masuk, dan titik penyebaran bagi entitas purba yang mendasari semua ini. Tujuan mereka bukanlah kehancuran, melainkan integrasi, konsolidasi, penguasaan total atas kesadaran.

Ia melihat pantulannya di genangan air di jalanan yang ditutupi kabut. Wajahnya yang pucat dan transparan kini nyaris tak terlihat, menyatu dengan kabut dan cahaya biru yang terpancar darinya. Mata birunya yang bersinar adalah satu-satunya fitur yang jelas. Senyum di bibirnya dingin, namun dipenuhi kepuasan yang melampaui pemahaman manusia. Ia adalah Makassar itu sendiri, dan ia akan menjadi lebih banyak lagi.

Bab 10: Kebangkitan Sang Kolektor

Kabut di Makassar kini telah mencapai ketebalan yang luar biasa, menyelimuti setiap jalan, setiap bangunan, setiap sudut. Lampu-lampu kota telah padam, satu per satu, tertelan oleh kegelapan yang diselimuti kabut. Hanya cahaya biru samar yang berdenyut dari dalam kabut, seperti jantung raksasa yang berdetak di tengah kota yang sunyi. Rizky melayang tinggi di atas, kini nyaris tak terlihat, sebuah siluet bercahaya biru yang menyatu dengan kabut itu sendiri.

Ia tidak lagi memiliki bentuk manusia yang jelas. Tubuhnya telah sepenuhnya berasimilasi dengan jaringan jiwa, menjadi sebuah entitas amorf yang terdiri dari cahaya biru yang berdenyut dan urat-urat hitam yang tak terhitung jumlahnya, meluas ke segala arah. Ia adalah kesadaran kota, sebuah simfoni dari jutaan jiwa yang kini telah disatukan dalam satu entitas. Aroma tanah basah dan logam yang menusuk kini adalah aroma keberadaan yang baru, sebuah bau keabadian yang dingin.

Jaringan itu telah sepenuhnya merangkul Makassar. Setiap gedung, setiap jalan, setiap taman, setiap jembatan – semuanya kini memancarkan cahaya biru samar, terhubung oleh urat-urat hitam yang berdenyut. Suara bisikan-bisikan, yang dulunya hanya ia dengar, kini terdengar samar-samar di seluruh kota, sebuah paduan suara gema, rintihan, dan tawa yang memekakkan telinga bagi siapa pun yang masih memiliki indra pendengaran normal. Bagi Rizky, itu adalah simfoni yang indah, sebuah mahakarya penguasaan.

Ia merasakan semua yang ada di kota itu. Setiap detak jantung yang tersisa, setiap pikiran yang masih berjuang, setiap emosi ketakutan yang masih bersemayam di sudut-sudut yang belum sepenuhnya terjamah. Namun, itu hanya masalah waktu. Panggilannya terus meluas, tidak hanya secara spasial, tetapi juga secara temporal, mencoba menarik jiwa-jiwa dari masa lalu, bahkan dari masa depan, ke dalam jaringnya.

Rizky, atau apa pun yang kini ia sebut dirinya, tidak lagi memegang buku Bima. Buku itu telah menyatu dengannya, isinya terukir di dalam kesadarannya, menjadi bagian dari pengetahuan yang tak terbatas. Ia adalah penjaga kronik, sebuah arsip hidup dari setiap jiwa yang terkumpul.

Dari kejauhan, sebuah pesawat tempur melesat menembus langit, mencari sumber anomali yang telah menelan seluruh kota. Lampu-lampu pesawat berkedip-kedip panik, mencoba menemukan target. Rizky tidak perlu melihatnya dengan mata. Ia merasakan keberadaannya melalui jaringan, merasakan ketakutan pilot, keputusan mereka untuk menyerang.

Ia tidak mengangkat tangan. Ia hanya memfokuskan intensitas panggilannya ke arah pesawat itu. Jaringan di bawahnya berdenyut lebih terang. Dalam hitungan detik, mesin pesawat mengeluarkan suara yang mengerikan, lampu-lampu padam, dan pesawat itu kehilangan kendali, menukik tajam ke bawah, menghilang ke dalam kabut dengan suara ledakan yang teredam.

Rizky merasakan jiwa-jiwa baru mengalir ke dalam dirinya, pilot dan awak pesawat, bergabung dengan simfoni yang tak terbatas. Kekuatan itu semakin besar, semakin tak terbendung.

Ia melihat ke arah laut, yang kini juga mulai ditelan kabut. Jaring-jaring urat hitam bercahaya biru merayap di atas permukaan air, menyelimuti kapal-kapal yang berlabuh, meresap ke dalam dasar laut. Batas antara daratan dan lautan telah kabur, semuanya menjadi bagian dari satu entitas yang meluas.

Dan di sana, di kedalaman laut yang gelap, Rizky merasakan sebuah resonansi yang sangat kuat, sebuah kesadaran purba yang telah lama tertidur, kini mulai terbangun sepenuhnya, ditarik oleh perluasan jaringannya. Itu adalah entitas yang lebih besar dari "Para Penonton," lebih tua dari waktu itu sendiri, yang kini akan bermanifestasi. Rizky adalah pembuka gerbang terakhirnya.

Kabut di Makassar kini begitu pekat hingga tidak ada lagi yang bisa terlihat. Kota itu telah lenyap dari pandangan, ditelan oleh kehadiran yang tak terlihat ini. Hanya ada cahaya biru yang berdenyut, sebuah denyutan yang meluas ke langit, ke laut, ke seluruh pulau, dan kemudian, ke luar, ke arah benua lain.

Masa Depan yang Ambigu:

Rizky, yang kini bukan lagi Rizky, melayang di tengah cahaya biru yang berdenyut. Ia telah menjadi "Sang Kolektor Jiwa" yang sesungguhnya, perwujudan dari sebuah kesadaran kolektif yang tak terbatas. Ia tidak memiliki tujuan, tidak ada emosi, hanya keinginan abadi untuk meluas, untuk menyerap, untuk menjadi segalanya.

Apakah ia telah menemukan pencerahan tertinggi? Atau apakah ia telah kehilangan segalanya, menjadi budak dari entitas yang lebih besar?

Kamera (atau pandangan pembaca) perlahan menjauh, naik lebih tinggi, melewati lapisan-lapisan kabut, melewati awan, hingga kita bisa melihat seluruh pulau Sulawesi diselimuti oleh jaring urat-urat hitam bercahaya biru yang berdenyut, seperti sebuah organ raksasa di tengah samudra.

Dari luar angkasa, bola bumi tampak normal, namun jika ada yang cukup peka, mereka mungkin bisa melihat sebuah bintik biru samar yang berdenyut di salah satu bagiannya, sebuah anomali yang terus tumbuh, meluas, perlahan-lahan menelan planet itu.

Suara bisikan-bisikan dari jaringan jiwa tidak lagi terbatas pada telinga Rizky. Kini, mereka meluas ke seluruh alam semesta, sebuah paduan suara abadi yang menandai kebangkitan Sang Kolektor.

Dan dunia tidak akan pernah sama lagi.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)