Masukan nama pengguna
Angin laut yang asin menusuk hingga ke tulang, membawa serta aroma lumut dan sedikit busuk dari rawa-rawa bakau di kejauhan. Maya, dengan rambut hitam panjangnya yang selalu sedikit berantakan dan tatapan mata yang sering kali lebih banyak melihat ke dalam daripada keluar, menggigil kecil. Bukan karena dinginnya udara Kendari yang sebenarnya cukup bersahaja, melainkan karena getaran aneh yang merayapi punggungnya setiap kali ia melangkah lebih jauh ke dalam pekarangan rumah tua ini. Rumah ini berdiri di pinggir kota Kendari, agak terpencil dari keramaian Jalan Z.A. Sugianto yang tak pernah tidur, dikelilingi pagar kawat berkarat yang diselimuti tanaman merambat liar.
Rumah itu adalah warisan dari kakek buyutnya yang tak pernah ia kenal, sebuah warisan yang baru terungkap setelah serangkaian tragedi menimpa keluarganya. Ayah dan ibunya meninggal dalam kecelakaan mobil setahun yang lalu, menyisakan Maya yang sendirian di Jakarta. Dan kini, setelah memutuskan hubungan pertunangannya yang terasa hambar dan membelenggu, ia merasa Kendari adalah tempat yang tepat untuk menghilang, untuk menyembuhkan luka-luka yang menganga di jiwanya. Ia adalah seorang seniman grafis, pekerjaannya tak terikat lokasi, dan sepi adalah teman terbaiknya saat ini.
Pintu utama yang terbuat dari kayu jati tua, berat dan mengelupas, terbuka dengan derit panjang yang membuat bulu kuduknya meremang. Aroma apek, debu, dan sesuatu yang sulit dijelaskan—semacam aroma waktu yang berhenti—menyambutnya di ambang pintu. Jendela-jendela di ruang tamu yang tinggi ditutupi tirai tebal berwarna kusam, membuat ruangan terasa gelap dan sesak. Di tengahnya, sebuah meja kayu bundar dengan ukiran naga yang usang menjadi satu-satunya perabot yang tertinggal.
Ia menghela napas panjang, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanyalah efek dari kelelahan dan kesedihan yang masih membalut hatinya. "Ini rumahmu sekarang, Maya," bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya terdengar kecil dan rapuh di dalam keheningan yang menyesakkan itu.
Beberapa hari pertama di rumah itu berlalu dengan usaha keras untuk mengubahnya menjadi tempat yang layak huni. Ia membersihkan debu setebal jari, menyapu sarang laba-laba, dan mencoba membuka jendela-jendela yang seolah terpaku oleh waktu. Proses itu sendiri terasa seperti terapi. Setiap sapuan, setiap usapan lap, adalah upaya untuk membersihkan bukan hanya rumah, tetapi juga kekacauan dalam pikirannya.
Malam pertama di rumah itu adalah yang terberat. Suara jangkrik di luar terdengar lebih nyaring, dan keheningan di dalam rumah terasa begitu tebal, seolah bisa dipegang. Maya berbaring di kasur lipatnya yang sementara, menatap langit-langit yang tinggi dengan mata terbuka lebar. Ia mendengar suara-suara yang tak biasa. Suara gesekan, seperti sesuatu yang diseret di lantai atas. Sebuah langkah kaki yang berat, bergerak perlahan dari satu kamar ke kamar lain. Ia menahan napas, telinganya menajam. "Hanya angin," bisiknya, mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar tak karuan. "Atau mungkin tikus." Tapi suara itu terlalu berat untuk tikus, terlalu teratur untuk angin. Itu adalah langkah kaki manusia.
Ia memejamkan mata erat-erat, mencoba menghalau ketakutan. Ia membayangkan kekasihnya, Rendy, memeluknya erat. Tapi bayangan itu memudar secepat datangnya, menyisakan rasa perih di hatinya. Kepergian Rendy, bukan karena kematian, melainkan karena pengkhianatan, meninggalkan luka yang mungkin lebih dalam daripada kematian orang tuanya. Ia tahu, ia harus melepaskan diri dari bayangan Rendy, sama seperti ia harus melepaskan diri dari bayangan rumah ini.
Pagi harinya, ia memeriksa lantai atas. Kamar-kamar kosong, berdebu, dan sepi. Tidak ada jejak apapun yang menunjukkan adanya gerakan di sana. Ia bahkan memeriksa loteng, berharap menemukan tanda-tanda keberadaan hewan pengerat, tetapi hanya ada kegelapan dan aroma kayu lapuk. Ia menghela napas lega, menyalahkan imajinasinya yang terlalu aktif.
Namun, keanehan kecil itu terus berlanjut. Suatu sore, saat ia sedang menggambar sketsa desain grafis di meja ruang tamu, ia merasakan sesuatu yang aneh. Dari sudut matanya, ia melihat bayangan sekilas di ambang pintu dapur, seperti seseorang yang mundur dengan cepat. Ia sontak menoleh, tetapi tidak ada apa-apa. Hanya tirai jendela dapur yang bergoyang pelan, seolah baru saja ditiup angin. Namun, semua jendela di rumah itu tertutup rapat.
Ia mencoba fokus kembali pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terganggu. Ia merasakan sensasi geli di tengkuknya, seolah ada seseorang yang berdiri di belakangnya dan memperhatikannya. Ia berbalik tiba-tiba, tetapi tidak ada siapa-siapa. Ia sendirian. Selalu sendirian.
Kemudian, bisikan-bisikan itu dimulai. Awalnya, sangat samar, seperti desah napas di telinganya. Terkadang, itu terdengar seperti namanya dipanggil, "Maya..." Tapi ketika ia menoleh, suara itu menghilang. Ia mencoba mendengarkannya dengan seksama, menegakkan kepala dan menahan napas. Namun, setiap kali ia mencoba fokus, suara itu lenyap, menyisakan keheningan yang semakin menyeramkan.
Maya mencoba bersikap rasional. "Ini hanya kesepian, Maya," ia membatin. "Kau terlalu lama menyendiri. Otakmu mulai menciptakan hal-hal." Ia mencoba mengisi harinya dengan kesibukan. Ia mulai menata ulang perabotan tua yang ia temukan, mengecat dinding, bahkan mencoba menanam beberapa tanaman di halaman depan yang berantakan. Ia bahkan pergi ke pasar tradisional di Kendari untuk mencari bahan makanan segar, berinteraksi dengan orang-orang, mencoba meleburkan diri dengan kehidupan kota. Namun, perasaan terasing itu tidak pernah benar-benar hilang. Di balik senyum ramah para pedagang, di balik hiruk pikuk pasar, ia tetap merasa seperti ada dinding kaca tak terlihat yang memisahkannya dari dunia.
Suatu malam, ia sedang membaca buku di ruang tamu. Udara terasa berat, dan cahaya lampu terasa redup. Bisikan itu kembali, kali ini sedikit lebih jelas. "Kau tidak sendirian..." suara itu mendesah, seperti napas dingin di samping telinganya. Maya sontak menjatuhkan buku yang ia pegang. Ia melompat berdiri, jantungnya berdebar kencang. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, mencari sumber suara. Tidak ada. Hanya keheningan yang semakin pekat.
Ia mulai merasa paranoid. Ia mengunci semua pintu dan jendela, bahkan yang tidak pernah ia kunci sebelumnya. Ia membiarkan lampu menyala sepanjang malam. Tidurnya menjadi tidak nyenyak, dipenuhi mimpi-mimpi aneh tentang rumah yang terus berubah, lorong-lorong gelap, dan bayangan-bayangan yang menari di sudut penglihatannya. Ia terbangun dengan keringat dingin, merasa lebih lelah daripada saat ia pergi tidur.
Perlahan, pikiran untuk menghubungi teman-temannya di Jakarta mulai muncul. Atau bahkan, menghubungi Rendy. Tetapi ego dan rasa malu menghentikannya. Ia telah bersumpah untuk memulai hidup baru, untuk mandiri. Ia tidak bisa kembali pada bayangan masa lalu yang menyakitkan. Ia harus menghadapi ini sendiri. Tapi apa yang sebenarnya ia hadapi? Dirinya sendiri? Atau sesuatu yang lain, sesuatu yang tak terlihat, yang bersembunyi di balik dinding-dinding tua ini?
Rumah itu, yang seharusnya menjadi pelabuhannya, kini terasa seperti sangkar yang perlahan menutup diri.
Pagi itu, mentari Kendari bersinar terik, menembus tirai tipis di kamar Maya. Ia bangkit dari tempat tidur, tubuhnya terasa pegal dan pikirannya masih berkabut akibat mimpi buruk yang menghantuinya semalaman. Ia melangkah menuju kamar mandi, berniat membasuh wajah dan mencoba menghilangkan sisa-sisa kelelahan.
Di sana, di depan cermin kuno berbingkai kayu ukir yang menempel di dinding, ia berhenti. Cermin itu besar, hampir setinggi tubuhnya, dan permukaannya sedikit kusam, memantulkan bayangan yang samar. Ia mengangkat tangannya untuk membasuh wajah, dan pada saat itulah, keanehan yang sesungguhnya dimulai.
Ia melihat pantulannya di cermin mengangkat tangan. Normal. Tetapi ada jeda sepersekian detik, sebuah keterlambatan mikro, sebelum pantulan itu benar-benar mengikuti gerakannya. Maya mengerutkan kening. Mungkin hanya matanya yang masih mengantuk, atau cerminnya memang sudah tua dan berlumut sehingga pantulannya sedikit terdistorsi. Ia mengedipkan mata beberapa kali, mengulang gerakan tangannya. Kali ini, pantulan itu tampak sinkron. Ia menghela napas lega, mencoretnya sebagai ilusi optik akibat kurang tidur.
Namun, insiden itu adalah permulaan. Sepanjang hari, hal-hal aneh mulai terjadi dengan pantulannya. Saat ia duduk di depan meja kerjanya, menatap layar komputer dengan ekspresi lelah, ia melirik ke jendela di belakangnya. Pantulan dirinya di kaca jendela terlihat. Tetapi yang aneh, pantulan itu tersenyum. Senyum tipis, samar, tapi jelas terlihat di wajah pantulannya yang seharusnya menunjukkan ekspresi letih. Maya sontak menoleh ke belakang, jantungnya berdebar kencang. Tidak ada siapa-siapa. Ketika ia kembali menatap jendela, pantulan itu kembali menunjukkan ekspresi lelah seperti dirinya yang sebenarnya.
Ia mulai merasa tidak nyaman. Jeda dalam gerakan, senyum yang tidak sinkron, semua itu mulai menumpuk dalam pikirannya, menciptakan rasa khawatir yang semakin besar. Ia mencoba mengabaikannya, mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia terlalu stres, terlalu kesepian. "Ini hanya halusinasi," bisiknya, mencoba meyakinkan diri.
Ketidaknyamanan itu berubah menjadi kecurigaan saat ia mencoba berbicara dengan dirinya sendiri di depan cermin kamar mandi. "Kau baik-baik saja, Maya," katanya pada pantulannya, mencoba memaksakan senyum. Pantulannya membalas senyum, tapi ada sesuatu yang salah. Mata di pantulan itu tampak lebih gelap, lebih kosong, dan senyum itu terasa aneh, tidak wajar, seperti topeng. Ia menatap pantulan itu lekat-lekat, merasa seolah ada sesuatu yang lain di dalamnya, sesuatu yang tidak sepenuhnya dirinya. Itu adalah perasaan yang sangat meresahkan, seolah ada entitas tak terlihat yang bersembunyi di balik lapisan kaca, menunggu waktu yang tepat.
Maya mulai menghindari cermin. Ia mandi dengan lampu redup agar pantulan di cermin kamar mandi tidak terlalu jelas. Ia menutup tirai jendela rapat-rapat, bahkan di siang hari, hanya untuk menghindari pantulannya yang kadang-kadang tampak meliriknya dari sudut mata. Ia bahkan mulai merasa tidak nyaman dengan pantulan di layar ponsel atau laptopnya sendiri. Dunia yang penuh dengan refleksi kini terasa seperti labirin yang menjebak, di mana setiap pantulan adalah mata yang mengawasi.
Suatu malam, saat ia sedang makan malam sendirian di dapur, ia merasakan sensasi aneh di sampingnya. Ia melirik ke arah lemari dapur dengan pintu kaca, dan di sana, ia melihat pantulannya. Pantulan itu tidak duduk. Pantulan itu berdiri tegak, menghadapnya, dengan tangan terlipat di dada, dan menatapnya dengan tatapan datar, tanpa emosi.
Nafas Maya tercekat. Sendok di tangannya jatuh ke piring dengan bunyi nyaring. Ia terpaku, menatap pantulan yang tak bergerak itu. Rambutnya, pakaiannya, bentuk tubuhnya, semuanya adalah dirinya. Tapi ekspresinya, postur tubuhnya, itu bukanlah dirinya. Itu adalah sesuatu yang asing, sesuatu yang menyeramkan.
"Siapa kau?" bisiknya, suaranya gemetar.
Pantulan itu tidak menjawab. Hanya menatapnya dengan tatapan kosong, dingin. Maya mencoba menggerakkan tangannya, mencoba melihat apakah pantulan itu akan meniru gerakannya. Tetapi pantulan itu tetap berdiri, tak bergerak, seolah membeku dalam waktu.
Ketakutan mencekik tenggorokannya. Ia memalingkan wajah dengan cepat, jantungnya berdebar kencang, memompa adrenalin ke seluruh tubuhnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ketika ia memberanikan diri melirik kembali ke lemari, pantulan itu sudah tidak ada. Hanya ada pantulan dirinya yang sedang duduk, tampak pucat dan ketakutan.
Ia mulai meragukan kewarasannya. Apakah ini efek dari trauma dan kesepian? Apakah ia perlahan-lahan kehilangan akal? Ia mencari informasi di internet tentang halusinasi visual, tentang delusi, tentang gangguan psikologis yang mungkin ia derita. Hasil pencarian hanya menambah kecemasannya. Gejala-gejala itu, bisikan samar, bayangan sekilas, dan kini pantulan yang tidak sinkron, semuanya mengarah pada kemungkinan ia mengalami gangguan mental. Ia merasa terjebak dalam lingkaran setan ketidakpastian dan ketakutan.
Ia bahkan mencoba berbicara dengan "pantulan" itu. Suatu sore, ia berdiri di depan cermin kamar, menatap pantulannya dengan tatapan menantang. "Apa maumu?" tanyanya, suaranya sedikit gemetar.
Pantulannya hanya menatapnya balik. Tapi kali ini, ia melihat senyum tipis yang merayap di bibir pantulan itu, senyum yang begitu pelan sehingga hampir tak terlihat, namun entah mengapa terasa begitu menyeramkan. Rasanya seperti pantulan itu mengejeknya, menikmati ketakutannya.
Sejak saat itu, ia mulai merasa bahwa ada sesuatu yang mengawasinya dari dalam pantulan itu. Bukan hanya pantulan dirinya, tetapi entitas lain yang menggunakan pantulannya sebagai topeng. Itu adalah perasaan yang sangat tidak nyaman, seperti ada mata yang tak terlihat mengikutinya ke mana pun ia pergi, mata yang bersembunyi di balik setiap permukaan reflektif di rumah itu.
Ia bahkan mencoba menutupi semua cermin di rumah dengan kain. Cermin kamar mandi, cermin di lemari pakaian, bahkan jendela-jendela ia tutupi dengan koran tebal. Ia mencoba hidup dalam kegelapan dan kekaburan, hanya untuk menghindari tatapan dingin dari pantulan-pantulan itu.
Tetapi ia tidak bisa menutup semua refleksi. Air di bak mandi, permukaan meja yang mengkilap, bahkan layar ponsel yang mati, semuanya memantulkan sesuatu. Dan di setiap pantulan itu, ia kadang-kadang melihatnya: bayangan tipis yang bergerak di balik pantulannya, sebuah siluet yang tidak jelas, seolah ada sesuatu yang mencoba menembus dari sisi lain cermin.
Ketegangan di dalam dirinya menumpuk. Ia merasa seperti sedang berada di ambang jurang kegilaan. Ia mencoba untuk tetap rasional, mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa ini semua adalah imajinasinya. Tetapi setiap kali ia berhasil membangun tembok rasionalitas, pantulan itu, bisikan itu, bayangan itu, selalu berhasil meruntuhkannya kembali.
Ia mulai bertanya-tanya, apakah Dr. Surya, pemilik rumah ini sebelumnya, juga mengalami hal yang sama? Apakah ia juga melihat hal-hal yang sama di cermin? Sebuah rasa ingin tahu yang menakutkan mulai tumbuh dalam dirinya, mendorongnya untuk mencari jawaban di balik dinding-dinding rumah tua ini, di balik bayangan-bayangan yang menari di sudut matanya, dan di balik pantulan yang menipu. Ia tidak tahu, bahwa pencarian itu akan membawanya lebih dalam ke labirin ketakutan, dari mana tidak ada jalan keluar. Rumah di pinggir Kendari itu, dengan segala keanehannya, perlahan-lahan mulai menunjukkan taringnya, merobek lapisan-lapisan kewarasan Maya satu per satu.
Ketakutan akan cermin dan pantulan telah mengubah rutinitas Maya secara drastis. Jendela-jendela rumahnya kini tertutup rapat oleh koran dan kain-kain bekas, mengubah siang hari menjadi senja abadi di dalam rumah. Ia makan dalam gelap, bekerja di bawah cahaya lampu redup, dan setiap kali ia harus menggunakan kamar mandi, ia akan memejamkan mata erat-erat saat membasuh wajah, menghindari pantulan dirinya. Rasa paranoid mencengkeramnya. Ia merasa terasing dari dunianya, seperti sedang hidup di bawah air, dengan suara-suara yang teredam dan bayangan-bayangan yang menari di sudut penglihatannya.
Pikirannya terus-menerus kembali pada Dr. Surya, psikiater misterius yang dulu tinggal di rumah ini. Siapa dia? Mengapa dia menghilang? Dan mengapa rumah ini terasa begitu... hidup dengan kegelapan? Rasa ingin tahu yang menakutkan, bercampur dengan kebutuhan mendesak untuk memahami apa yang terjadi padanya, mendorongnya untuk menjelajahi setiap sudut rumah, mencari petunjuk.
Suatu sore yang pengap, dengan bau lumut yang menusuk hidung, Maya memutuskan untuk memberanikan diri ke loteng. Loteng itu adalah tempat yang paling ia hindari. Gelap, berdebu, dan terasa sangat dingin meskipun di luar matahari bersinar terik. Udara di sana begitu pengap, seolah setiap napas yang ia hirup membawa serta debu dan rahasia yang telah lama terkubur.
Ia membawa senter dan melangkah hati-hati menaiki tangga kayu yang berderit. Cahaya senter menari di antara balok-balok kayu tua yang diselubungi sarang laba-laba. Tumpukan barang-barang usang memenuhi sudut-sudut: koper-koper kulit tua, furnitur yang ditutupi kain putih, dan kotak-kotak kardus yang bertumpuk tak beraturan.
Aroma kertas tua, tinta, dan sesuatu yang agak musky tercium dari salah satu tumpukan kotak di sudut terjauh. Jantung Maya berdebar. Ia mendekat, menyingkirkan jaring laba-laba yang menggantung seperti tirai. Ada beberapa kotak yang terlihat lebih kokoh dari yang lain, terbuat dari kayu jati dengan ukiran samar. Ia membersihkan debu tebal dari salah satu kotak, dan di permukaannya, ia melihat sebuah plakat kuningan kecil yang menghitam: "Dr. Surya."
Tangannya gemetar saat ia membuka kait kotak itu. Di dalamnya, bukan barang-barang pribadi seperti yang ia duga. Melainkan tumpukan buku catatan kecil bersampul kulit hitam, puluhan di antaranya, tertata rapi. Aroma kertas dan tinta lama langsung menyeruak, memenuhi rongga hidungnya. Ini adalah catatan-catatan Dr. Surya.
Maya mengambil salah satu buku catatan secara acak. Sampulnya polos, tanpa judul, hanya angka romawi "I" tertulis di sudut bawah. Ia membuka halaman pertama dengan hati-hati. Tulisan tangan di dalamnya rapi, teratur, namun semakin lama semakin kacau, mencerminkan gejolak pikiran si penulis.
Awalnya, catatan itu berisi observasi klinis yang standar. Kasus-kasus pasien dengan berbagai gangguan mental: skizofrenia, depresi berat, gangguan kecemasan. Dr. Surya mencatat gejala, diagnosa, dan progres terapi. Maya membaca dengan rasa takut yang tumbuh. Banyak kasus yang ia baca mirip dengan apa yang ia alami.
* Pasien X, wanita, 30 tahun. Mengeluhkan melihat pantulan dirinya di cermin yang tidak sinkron dengan gerakannya. Terkadang tersenyum sendiri, terkadang menunjukkan ekspresi marah. Pasien mulai menghindari cermin, menunjukkan gejala paranoid.
* Pasien Y, pria, 45 tahun. Mendengar bisikan-bisikan dari dinding rumahnya, memanggil namanya, memberinya perintah aneh. Mengalami halusinasi visual berupa bayangan sekilas di sudut mata.
* Pasien Z, wanita, 28 tahun. Mengklaim melihat "seseorang" di balik pantulannya. Seseorang yang mencoba keluar. Seseorang yang mirip dengannya tapi bukan dirinya. Pasien menjadi sangat terobsesi dengan cermin, menghabiskan waktu berjam-jam menatap pantulannya.
Setiap kasus yang ia baca terasa seperti cerminan dirinya sendiri. Jantungnya berdebar kencang, napasnya tersengal. Ini bukan hanya kebetulan. Ini adalah pola. Dan pola ini menunjukkan bahwa ia bukan satu-satunya yang mengalami hal mengerikan ini.
Ia membuka buku catatan yang lain, nomor "XV". Tulisan tangan di dalamnya sudah jauh lebih berantakan, coretan-coretan acak dan kata-kata yang diulang-ulang. Di salah satu halaman, ia menemukan sebuah paragraf yang ditulis dengan huruf kapital besar, seolah ditulis dalam keadaan panik:
"MEREKA ADA DI SANA! DI BALIK KACA! MEREKA MENCARI JALAN KELUAR! MEREKA ADALAH KITA, TAPI BUKAN KITA! MEREKA MENGAMBIL BAGIAN DARI KITA!"
Maya menjatuhkan buku catatan itu, tangannya gemetar. Keringat dingin membasahi punggungnya. Tulisan itu, kata-kata itu, seolah berbicara langsung padanya, menegaskan ketakutan terbesarnya. Ia tidak gila. Atau setidaknya, ia tidak gila sendirian. Dr. Surya juga melihatnya. Atau mungkin, ia juga menjadi korban dari apa pun yang menghantui rumah ini.
Ia terus membaca. Di buku catatan terakhir, nomor "XXV", tulisan tangan Dr. Surya nyaris tidak terbaca. Kata-kata terpotong, kalimat tidak lengkap. Namun, satu bagian menarik perhatiannya, ditulis dengan tinta merah, seolah darah:
* Aku telah meneliti fenomena ini selama bertahun-tahun. Ini bukan delusi biasa. Ini adalah sebuah... entitas. Sebuah entitas yang hidup di antara dimensi, menggunakan cermin sebagai portal. Ia mencari inang, tubuh untuk ditempati. Itu dimulai dengan pantulan yang tidak sinkron, bisikan, bayangan... kemudian ia mencoba mengambil alih.
* Pasien-pasienku... mereka semua menghilang. Atau mereka menjadi... mereka yang lain. Aku melihatnya di mata mereka. Kekosongan. Dan senyum yang bukan milik mereka.
* Aku tahu aku selanjutnya. Ia sudah mengawasiku. Aku melihatnya di setiap pantulan. Ia semakin kuat. Aku harus menghentikannya. Tapi bagaimana? Bagaimana menghentikan sesuatu yang tidak memiliki bentuk, kecuali pantulanku sendiri?
* Dia ada di sana. Di balik kaca. Dia memanggilku. Aku tidak bisa lagi membedakan.
Catatan terakhir hanya berisi coretan tak beraturan dan gambar-gambar lingkaran aneh yang saling bertumpuk, seolah mewakili dimensi yang saling terkait. Dan di akhir halaman, ada tulisan tangan yang sangat kabur, nyaris tak terbaca: "Pintu itu... harus dibuka... atau ditutup..."
Maya merasakan gelombang mual. Perutnya bergejolak, dan ia nyaris muntah. Ia mencengkeram buku catatan itu erat-erat, seolah itu adalah satu-satunya jembatan ke kewarasan yang tersisa. Jadi, bukan hanya ia yang melihat. Dr. Surya, seorang psikiater, seorang ilmuwan, juga percaya pada entitas ini. Ini bukan khayalan, bukan delusi. Ini adalah realitas yang mengerikan. Dan jika catatan itu benar, ia sekarang menjadi target berikutnya.
Ia kembali ke kamarnya, membawa serta seluruh kotak catatan Dr. Surya. Malam itu, ia tidak tidur. Ia membaca setiap catatan, setiap baris, mencari petunjuk, mencari cara untuk menghentikan apa pun yang sedang terjadi padanya. Setiap kata, setiap frasa, semakin memperkuat ketakutannya, tapi sekaligus memberinya secercah harapan: bahwa ia tidak gila. Ia hanya menjadi korban dari sesuatu yang melampaui pemahaman manusia.
Ia melihat pantulan-pantulan di cerminnya yang tertutup kain, membayangkan "mereka" di balik sana, mengawasinya, menunggu. Rasa takut itu kini bercampur dengan amarah. Amarah pada entitas tak terlihat ini yang telah mengganggunya, mengancam kewarasannya, dan mungkin, mengancam keberadaannya. Ia harus menghentikannya. Ia harus menutup "pintu" itu. Tapi bagaimana?
Setelah menemukan catatan Dr. Surya, batas antara halusinasi dan realitas bagi Maya menjadi semakin kabur. Bisikan yang sebelumnya samar kini terasa lebih jelas, lebih menuntut. Mereka bukan lagi desahan napas yang tak berbentuk, melainkan kata-kata yang membentuk kalimat-kalimat aneh dan meresahkan.
"Kau bukan sendirian," suara itu mendesah dari balik dinding di kamarnya, terdengar seperti suara wanita yang menenangkannya, namun dengan nada yang dingin dan mengancam. Maya duduk tegak di tempat tidurnya, matanya melebar dalam kegelapan. Tirai tebal dan koran masih menutupi jendela, tetapi kegelapan itu terasa hidup, dipenuhi bisikan.
"Lihatlah lebih dekat," suara lain, lebih dalam dan serak, seolah datang dari lantai di bawahnya. Suara itu terdengar seperti suara pria tua yang mengerikan, penuh dengan rahasia dan ejekan. Itu adalah suara yang membuat bulu kuduknya berdiri.
"Dia ada di sana," bisikan ketiga, melengking dan meliuk-liuk, seperti suara anak kecil yang bermain. Kali ini, suara itu seolah datang dari dalam lemari pakaiannya, di mana ia telah menumpuk semua cermin kecil yang ia temukan.
Maya mencengkeram selimutnya erat-erat. Suara-suara itu kini memiliki karakteristik yang berbeda, seolah ada banyak entitas yang bersembunyi di dalam rumah. Mereka tidak hanya memanggil namanya, tetapi juga memberikan komentar tentang keadaannya, tentang ketakutannya.
"Kau lelah, Maya... istirahatlah," suara wanita itu berbisik, seolah peduli, namun Maya merasakan niat jahat di balik kata-kata itu. Istirahat yang mereka maksud mungkin adalah tidur abadi.
Ia mencoba menyumbat telinganya dengan bantal, tetapi bisikan-bisikan itu seolah menembus setiap penghalang, langsung masuk ke dalam otaknya. Mereka seolah tahu apa yang ia pikirkan, apa yang ia rasakan. "Kau takut... Kami tahu..." suara anak kecil itu terkikik pelan, membuat Maya merinding.
Tidur menjadi kemewahan yang tak terjangkau. Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, bisikan-bisikan itu semakin intens, berputar-putar di kepalanya, membentuk sebuah labirin suara yang tanpa henti. Ia mengalami mimpi buruk berulang yang terasa sangat nyata. Ia selalu berada di sebuah labirin yang terbuat dari cermin, dindingnya memantulkan pantulan dirinya yang tak terhitung jumlahnya. Tapi pantulan-pantulan itu bukanlah dirinya yang sebenarnya. Mereka memiliki mata kosong, senyum mengerikan, dan beberapa di antaranya bahkan berteriak tanpa suara. Ia mencoba mencari jalan keluar, berlari dan berteriak, tapi setiap kali ia melihat pantulan dirinya yang distorted, ia merasa semakin tersesat, semakin terperangkap.
Dalam mimpinya, pantulan-pantulan itu mulai mengejeknya. Mereka tertawa, menunjuk ke arahnya, dan berbisik: "Kau akan menjadi salah satu dari kami... Lihat dirimu... Kau sudah mirip." Ia terbangun dengan napas terengah-engah, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Realitasnya di siang hari, yang sudah seperti mimpi buruk, kini terjalin dengan kengerian di malam hari.
Ketegangan akibat kurang tidur dan bisikan-bisikan tanpa henti membuat Maya semakin rentan. Indera pendengarannya menjadi sangat sensitif. Setiap derit lantai, setiap gesekan daun di luar, terdengar seperti ledakan di telinganya. Ia menjadi sangat sensitif terhadap suara, dan bisikan-bisikan itu menjadi siksaan yang konstan.
Ia mencoba mengatasi ini dengan musik. Ia menyalakan musik keras di ponselnya, berharap bisa menenggelamkan bisikan-bisikan itu. Namun, bisikan itu seolah bisa menembus suara musik, bahkan kadang-kadang, suaranya terasa seperti menjadi bagian dari musik itu sendiri, merusak melodi dan mengubahnya menjadi disonansi yang menakutkan.
Suatu siang, saat ia sedang mencoba fokus pada pekerjaannya, ia mendengar suara ketukan dari dinding di belakang kepalanya. "Tok! Tok! Tok!" Suara itu teratur, seolah ada seseorang yang mengetuk dari sisi lain. Maya menoleh dengan cepat. "Siapa itu?" tanyanya, suaranya tegang. Tidak ada jawaban.
Kemudian, suara ketukan itu berpindah ke dinding di sampingnya. Lalu ke dinding di seberang ruangan. Seolah ada sesuatu yang bergerak di dalam dinding, mengetuk dari dalam, mencoba menarik perhatiannya, atau bahkan, mencoba keluar.
Ia memeriksa dinding-dinding itu, menyentuhnya, bahkan mencoba mendengarkan dengan telinganya menempel di permukaan. Dingin, padat, tidak ada celah. Tetapi ia bisa merasakan getaran samar di baliknya, seolah ada sesuatu yang beresonansi dari dalam.
Bisikan-bisikan itu juga mulai mempengaruhi pikirannya. Mereka tidak hanya mengeluarkan suara, tetapi juga menanamkan ide-ide aneh. "Buka cerminnya, Maya... Biarkan kami melihatmu..." "Kau tidak sendiri... Kami ingin bermain..." "Ikutlah dengan kami... Lebih baik di sini..."
Ia mulai mengalami kesulitan membedakan antara pikirannya sendiri dan bisikan-bisikan itu. Apakah ia benar-benar memikirkan hal itu, ataukah itu adalah bisikan yang menyusup ke dalam otaknya? Hal ini membuatnya semakin terisolasi, bahkan dari dirinya sendiri.
Suatu malam, ia mendengar bisikan yang sangat jelas, datang dari bawah tempat tidurnya. "Kami haus... Darah..." Suara itu terdengar parau dan lapar. Maya melompat dari tempat tidurnya, ketakutannya mencapai puncaknya. Ia menyalakan semua lampu di kamar, mencari sumber suara. Tidak ada apa-apa di bawah tempat tidurnya, hanya lantai kosong.
Ia mulai meragukan semua yang ia lihat dan dengar. Apakah Dr. Surya memang menulis catatan-catatan itu? Atau apakah itu semua adalah delusi kolektif yang ditularkan oleh rumah ini? Ia mencengkeram kepala dengan kedua tangannya, mencoba memaksakan diri untuk berpikir jernih. Tapi bisikan-bisikan itu terus berputar-putar di otaknya, mengikis kewarasannya sedikit demi sedikit.
Ia mulai berbicara dengan suara-suara itu, memohon agar mereka berhenti. "Tolong... hentikan! Aku mohon!" Suaranya serak dan putus asa.
Namun, bisikan-bisikan itu hanya tertawa. Tawa yang dingin, menusuk, dan tak manusiawi, bergema di seluruh ruangan, seolah mereka menikmati penderitaannya.
Maya merasa seperti sedang tenggelam dalam lautan ketakutan. Rumah ini, yang dulunya ia harapkan menjadi tempat perlindungan, kini menjadi penjara yang mengerikan. Setiap sudut, setiap dinding, setiap bayangan, dipenuhi dengan kehadiran yang tak terlihat, yang terus-menerus mengikis jiwanya. Ia tahu ia harus menemukan cara untuk menghentikan ini, sebelum ia sepenuhnya kehilangan dirinya, sebelum ia menjadi seperti pasien-pasien Dr. Surya, atau bahkan, sebelum ia menghilang seperti sang dokter itu sendiri. Tetapi bagaimana? Bagaimana melawan sesuatu yang tidak terlihat, yang hanya ada dalam bisikan dan pantulan? Ia merasa semakin terpojok, terperangkap, dan sangat, sangat sendiri di tengah kota Kendari yang sepi itu.
Ketakutan Maya kini telah mencapai level yang baru. Bisikan dari dinding, pantulan yang menipu, dan catatan Dr. Surya yang mengerikan telah mengikis habis sisa-sisa rasionalitasnya. Ia hidup dalam ketegangan konstan, setiap derit lantai, setiap bayangan yang melintas, membuatnya melompat ketakutan. Tidur adalah kemewahan yang tak terjangkau, dan ia mulai terlihat seperti hantu: wajahnya pucat pasi, matanya cekung dengan lingkaran hitam, dan tubuhnya semakin kurus.
Suatu pagi yang mendung, saat ia mencoba membuat sarapan, ia merasakan sesuatu yang aneh. Ia meletakkan cangkir kopi di meja dapur yang terbuat dari marmer tua. Ketika ia berbalik untuk mengambil roti, ia mendengar suara gesekan pelan. Ia menoleh, dan melihat cangkir kopinya bergeser beberapa sentimeter dari posisi semula, seolah didorong oleh tangan tak terlihat.
Jantung Maya berdebar kencang. Ia menatap cangkir itu, lalu ke tangannya sendiri. Ia yakin ia meletakkannya di tengah meja. Tidak ada angin, tidak ada getaran. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia hanya salah ingat, atau mungkin meja itu tidak rata. Ia mendorong cangkir itu kembali ke posisinya semula, lalu berdiri diam, mengamati. Tidak ada yang terjadi. Ia menghela napas lega, mencoba menertawakan ketakutannya sendiri.
Namun, kejadian itu adalah awal dari serangkaian fenomena yang lebih nyata dan tak terbantahkan. Beberapa jam kemudian, saat ia sedang membaca salah satu buku catatan Dr. Surya di ruang tamu, ia mendengar suara gemeretak dari dinding di atas perapian. Ia mendongak, dan melihat sebuah lukisan tua yang tergantung miring, seolah baru saja digeser. Lukisan itu adalah potret seorang wanita dengan tatapan kosong, yang selalu membuatnya merasa tidak nyaman. Ia ingat dengan jelas bahwa lukisan itu tergantung lurus saat ia membersihkan ruangan itu kemarin.
Maya bangkit, mendekati lukisan itu, dan meluruskannya. Ia bahkan mencoba menggesernya sedikit, memastikan paku pengaitnya kokoh. Semuanya tampak normal. Namun, beberapa menit kemudian, saat ia kembali pada bukunya, ia mendengar suara yang sama. Lukisan itu kembali miring, bahkan lebih parah dari sebelumnya, seolah ada tangan tak terlihat yang dengan sengaja menggesernya.
Ketakutan yang dingin merayapi punggungnya. Ini bukan lagi ilusi optik atau bisikan di kepala. Ini adalah objek fisik yang bergerak sendiri. Ini adalah bukti nyata bahwa ada sesuatu yang tidak beres di rumah ini, sesuatu yang melampaui batas-batas akal sehat.
Ia mulai mencatat setiap kejadian. Sebuah buku yang ia letakkan di meja samping tempat tidur tiba-tiba jatuh ke lantai. Sebuah pintu lemari pakaian yang tertutup rapat, tiba-tiba terbuka sedikit, seolah mengintip. Dan yang paling mengerikan, suatu malam, saat ia sedang tidur, ia terbangun karena suara berderak keras. Ia membuka mata, dan melihat kursi goyang tua di sudut kamarnya bergerak maju mundur dengan sendirinya, perlahan, dengan irama yang mengerikan, seolah ada seseorang yang duduk di sana.
Maya melompat dari tempat tidur, jantungnya berdebar kencang di dadanya. Ia menyalakan lampu, dan kursi goyang itu berhenti bergerak. Ia menatapnya, napasnya tersengal-sengal. Ia tahu ia tidak bermimpi. Ia melihatnya dengan mata kepalanya sendiri.
Ia memutuskan untuk memasang kamera pengawas. Ia membeli beberapa kamera murah dari toko elektronik di Kendari, menempatkannya di berbagai sudut rumah: ruang tamu, dapur, dan kamarnya sendiri. Ia berharap rekaman itu akan memberikan bukti, atau setidaknya, penjelasan rasional.
Namun, rekaman itu hanya menambah kengeriannya. Setiap kali objek-objek itu bergerak, rekaman kamera selalu menunjukkan gangguan visual. Layar menjadi buram, berkedip-kedip, atau menunjukkan garis-garis aneh, seolah ada interferensi elektromagnetik yang kuat. Ada satu rekaman di ruang tamu, di mana ia melihat lukisan itu miring. Tetapi di saat yang sama, ada bayangan hitam yang melintas sangat cepat di depan kamera, terlalu cepat untuk diidentifikasi, dan kemudian rekaman itu terputus.
Ia mencoba memutar ulang rekaman itu berkali-kali, memperlambatnya, memperbesar gambar. Tetapi bayangan itu terlalu samar, terlalu cepat. Ia hanya bisa melihat bentuk yang tidak jelas, seperti siluet manusia, tetapi tanpa detail yang jelas. Itu adalah bukti, tetapi bukti yang tidak bisa ia tunjukkan kepada siapa pun. Siapa yang akan percaya padanya?
Perasaan paranoid semakin menguat. Ia merasa seolah ada mata-mata tak terlihat yang mengawasinya setiap saat, menunggunya lengah, bermain-main dengannya. Ia mulai berbicara pada dirinya sendiri, mencoba memikirkan langkah selanjutnya. "Ini tidak mungkin... ini tidak mungkin..." ia terus bergumam.
Ia mulai mencurigai setiap sudut rumah. Apakah ada seseorang yang bersembunyi di sana? Apakah ada celah rahasia? Ia memeriksa setiap dinding, setiap lantai, setiap langit-langit, mencari pintu tersembunyi atau ruang rahasia. Ia bahkan mencoba mengetuk dinding, berharap mendengar suara rongga. Tidak ada. Rumah itu terasa padat dan kokoh, tetapi di dalamnya, ada sesuatu yang bergerak, sesuatu yang hidup.
Ketegangan yang terus-menerus membuatnya sulit berkonsentrasi. Pekerjaan desain grafisnya terbengkalai. Ia tidak bisa fokus pada garis atau warna. Pikirannya terus-menerus kembali pada objek-objek yang bergerak, pada bisikan-bisikan, pada catatan Dr. Surya. Ia merasa seperti sedang terjebak dalam sebuah permainan yang mengerikan, di mana ia adalah satu-satunya pemain yang tidak tahu aturan mainnya.
Suatu malam, ia sedang duduk di ruang tamu, memegang senter erat-erat, menatap kegelapan di sekelilingnya. Ia mendengar suara gesekan lagi, kali ini dari dapur. Ia melompat berdiri, senternya menyorot ke arah dapur. Ia melihat sebuah pisau dapur besar bergeser perlahan di atas meja, ujungnya menunjuk ke arahnya.
Napas Maya tercekat. Ini bukan lagi sekadar mengganggu. Ini adalah ancaman. Sesuatu di rumah ini ingin menyakitinya. Atau setidaknya, ingin membuatnya takut hingga mati. Ia merasa seperti sedang berada di dalam film horor, tetapi ini adalah kenyataan yang mengerikan.
Ia mundur perlahan, matanya terpaku pada pisau itu. Ia ingin lari, ingin keluar dari rumah ini, tetapi kakinya terasa lemas, seolah terpaku di lantai. Ia tahu, ia tidak bisa lagi mengabaikan ini. Ia harus menghadapi apa pun yang ada di sini. Atau ia akan menjadi korban berikutnya, seperti pasien-pasien Dr. Surya, atau bahkan, seperti Dr. Surya itu sendiri.
Ia mulai berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan lain. Apakah ini ulah manusia? Apakah ada penyusup yang bersembunyi di rumah ini, bermain-main dengannya? Tetapi bagaimana mereka bisa bergerak tanpa terlihat oleh kamera? Dan bagaimana dengan bisikan-bisikan itu? Atau pantulan yang tidak sinkron? Tidak, ini bukan manusia. Ini adalah sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih gelap, lebih supernatural.
Ia merasa terpojok. Terperangkap di dalam rumahnya sendiri, bersama dengan entitas tak terlihat yang semakin berani, semakin menakutkan. Ia tahu, ia tidak bisa terus hidup seperti ini. Ia harus menemukan jawaban, atau ia akan kehilangan akal sehatnya sepenuhnya.
Kegilaan perlahan-lahan merayapi pikiran Maya, mengikis setiap lapisan rasionalitas yang tersisa. Objek-objek yang bergerak, bisikan yang menuntut, dan pantulan yang menipu telah menciptakan sebuah kawah ketakutan di dalam dirinya. Ia mulai berbicara dengan dirinya sendiri, bukan lagi bisikan samar, melainkan perdebatan internal yang sengit, mencoba membedakan antara apa yang nyata dan apa yang hanya ada di dalam kepalanya.
"Ini tidak nyata, Maya," ia akan bergumam pada dirinya sendiri, suaranya serak dan putus asa. "Kau hanya terlalu stres. Kau terlalu kesepian. Ini semua hanya imajinasimu." Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua yang ia alami adalah gejala dari gangguan mental yang parah, mungkin PTSD dari trauma masa lalu, atau depresi yang mendalam. Ia mencoba mencari penjelasan medis, penjelasan ilmiah, apa pun yang bisa mengembalikan pijakannya pada realitas.
Namun, sisi lain dari dirinya akan membantah dengan keras. "Lalu bagaimana dengan catatan Dr. Surya? Apakah itu juga imajinasimu? Apakah cangkir itu bergerak sendiri karena imajinasimu? Apakah pisau itu bergeser karena kau terlalu stres?" Suara itu, yang terasa seperti suara dirinya sendiri namun lebih dingin dan sinis, akan terus-menerus menantang setiap argumen rasionalnya.
Ia mulai menghabiskan waktu berjam-jam di depan laptopnya, bukan untuk bekerja, melainkan untuk mencari informasi tentang gangguan mental. Skizofrenia, psikosis, delusi. Ia membaca setiap gejala, setiap studi kasus, mencoba mencari kesamaan dengan apa yang ia alami. Ia menemukan bahwa halusinasi visual dan auditori adalah gejala umum. Paranoid juga. Tetapi bagaimana dengan objek yang bergerak? Bagaimana dengan pantulan yang menipu? Apakah itu juga bisa dijelaskan secara medis?
Ia bahkan mencoba mencari informasi tentang sejarah mental keluarganya. Apakah ada riwayat penyakit mental yang terlewatkan? Apakah ada genetik yang membuatnya rentan terhadap halusinasi? Ia menghubungi bibinya di Jakarta, satu-satunya kerabat yang tersisa, mencoba bertanya dengan hati-hati tentang riwayat kesehatan mental di keluarga mereka. Bibinya terdengar bingung, mengatakan bahwa tidak ada riwayat seperti itu. "Keluarga kita sehat-sehat saja, Maya. Mungkin kau hanya kelelahan," kata bibinya, suaranya penuh kekhawatiran.
Jawaban itu tidak menenangkannya. Justru semakin membuatnya bingung. Jika tidak ada riwayat genetik, lalu apa yang terjadi padanya? Apakah ia adalah kasus pertama?
Perdebatan internal itu semakin intens. Ia merasa seperti ada dua Maya di dalam kepalanya. Satu Maya yang putus asa mencoba berpegangan pada rasionalitas, pada dunia nyata. Dan Maya yang lain, yang perlahan-lahan menyerah pada kegilaan, yang mulai percaya pada entitas tak terlihat, pada portal cermin, pada bisikan dari dinding.
"Kau harus pergi dari sini," bisik Maya rasional. "Jual saja rumah ini. Kembali ke Jakarta. Mulai hidup baru."
"Tapi kau tidak bisa lari," jawab Maya yang lain, suaranya dingin. "Dia akan mengikutimu. Dia sudah ada di dalam dirimu."
Pikiran itu membuatnya merinding. Apakah entitas itu sudah merasukinya? Apakah ia sudah menjadi "inang" seperti yang disebutkan dalam catatan Dr. Surya? Ia menatap tangannya sendiri, mencari tanda-tanda perubahan, mencari bukti bahwa ia bukan lagi dirinya sendiri. Tidak ada. Hanya kulit pucat dan jari-jari yang gemetar.
Ia mencoba melakukan tes realitas. Ia mencubit dirinya sendiri, mencoba membedakan antara mimpi dan kenyataan. Ia mencoba menghitung benda-benda di ruangan, mencoba fokus pada detail-detail kecil. Tetapi setiap kali ia berhasil membangun kembali sedikit realitas, kejadian aneh itu selalu kembali, membuyarkan keyakinannya.
Suatu malam, ia duduk di lantai ruang tamu, memeluk lututnya, menatap kegelapan. Bisikan-bisikan itu semakin keras, tidak lagi hanya dari dinding, tetapi seolah dari setiap sudut ruangan, mengelilinginya.
"Kau tidak akan pernah bisa lari..."
"Kami ada di mana-mana..."
"Kami adalah kau..."
Ia mulai menangis, air matanya mengalir deras di pipinya yang kotor. "Aku tidak gila... Aku tidak gila..." ia terus bergumam, seperti mantra, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Namun, ia tahu, di dalam hatinya yang paling dalam, bahwa ia sedang kalah dalam pertempuran ini. Batas antara dirinya dan entitas itu semakin tipis. Ia mulai merasa seolah ia adalah sebuah wadah kosong, dan sesuatu yang lain perlahan-lahan mengisinya.
Ia teringat salah satu catatan Dr. Surya yang menyebutkan tentang pasien yang "menjadi mereka yang lain." Kekosongan. Dan senyum yang bukan milik mereka. Ia melihat pantulannya di layar ponselnya yang mati, dan ia melihatnya: kekosongan di matanya, dan senyum tipis yang merayap di bibirnya, senyum yang bukan miliknya, senyum yang terasa asing dan menyeramkan.
Ia menjatuhkan ponselnya, terkesiap. Itu dia. Bukti yang paling mengerikan. Ia sudah mulai berubah. Ia sudah mulai kehilangan dirinya.
Perdebatan internal itu kini menjadi lebih dari sekadar pikiran. Ia merasa seolah ada dua kesadaran yang bertarung di dalam kepalanya. Satu kesadaran yang berteriak untuk bertahan, untuk melawan. Dan kesadaran yang lain, yang dingin, yang asing, yang perlahan-lahan mengambil alih, membisikkan janji-janji kegelapan dan pelepasan.
Ia mulai merasa lelah dengan perlawanan ini. Lelah dengan ketakutan. Lelah dengan keraguan. Ada bagian dari dirinya yang ingin menyerah, membiarkan entitas itu mengambil alih, membiarkan semua ketakutan ini berakhir.
Tetapi kemudian, ia teringat orang tuanya, teringat Rendy, teringat semua yang telah ia lalui. Ia tidak bisa menyerah begitu saja. Ia harus berjuang. Ia harus mencari cara untuk menghentikan ini, sebelum ia sepenuhnya menjadi "mereka yang lain."
Dengan sisa-sisa kekuatannya, ia bangkit. Ia mengambil catatan Dr. Surya, membacanya lagi, mencari setiap petunjuk, setiap kata yang mungkin bisa membantunya. Ia tahu, waktu semakin sempit. Entitas itu semakin kuat. Dan ia, Maya, perlahan-lahan menghilang.
Rumah di Kendari itu, dengan segala keanehannya, kini menjadi medan perang. Dan pertempuran itu, adalah pertempuran untuk jiwanya sendiri.
Dua minggu berikutnya adalah neraka bagi Maya. Perdebatan internalnya telah mencapai puncaknya, membuatnya nyaris gila. Ia hanya tidur dua hingga tiga jam setiap malam, sering kali terbangun karena mimpi buruk yang terasa lebih nyata dari kenyataan. Tubuhnya semakin kurus, matanya cekung, dan di setiap pantulan samar yang tak bisa ia hindari – di sendok makan, di layar ponsel yang tak sengaja menyala – ia melihat bayangan dirinya yang semakin asing, dengan senyum tipis yang merayap di bibirnya, senyum yang bukan miliknya.
Ia telah sepenuhnya mengisolasi diri. Telepon dari bibinya ia abaikan, pesan dari teman-teman ia biarkan tidak terbaca. Ia hidup dalam kegelapan yang disengaja di rumah itu, dikelilingi oleh catatan-catatan gila Dr. Surya yang kini menjadi satu-satunya petunjuknya. Ia mencatat setiap kejadian aneh, setiap bisikan, setiap gerakan objek, dalam buku harian yang mulai mirip dengan catatan Dr. Surya sendiri: tulisan tangan yang semakin kacau, coretan tak beraturan, dan lingkaran-lingkaran aneh.
Suatu siang yang terik di Kendari, saat matahari membakar atap rumah, Maya sedang duduk di ruang tamu yang pengap, meneliti salah satu diagram Dr. Surya yang tampak seperti peta dimensi. Ia mendengar suara ketukan pelan di pintu depan. Jantungnya sontak berdebar. Sudah berbulan-bulan tidak ada yang berkunjung. Siapa? Apakah itu polisi, mencari tahu mengapa ia mengisolasi diri? Atau sesuatu yang lebih buruk?
Ia menahan napas, berharap tamu itu akan pergi. Ketukan itu berulang, kali ini sedikit lebih keras, diiringi suara parau seorang wanita memanggil. "Permisi? Ada orang di dalam?"
Suara itu terdengar ramah, namun Maya tetap ragu. Ia mengintip melalui celah kecil di antara koran yang menutupi jendela. Di ambang pintu, berdiri seorang wanita tua bertubuh mungil, dengan rambut putih disanggul rapi dan senyum tulus di wajahnya yang keriput. Ia mengenakan kebaya sederhana dan membawa sebuah bungkusan kecil.
Maya ragu sejenak. Jika ini entitas itu, ia tidak akan datang dalam wujud seperti ini. Ini terasa terlalu nyata, terlalu manusiawi. Dengan jantung masih berdebar, ia membuka sedikit pintu, menguncinya dengan rantai pengaman.
"Ya?" tanyanya, suaranya serak.
Wanita tua itu tersenyum hangat. "Oh, Nak! Syukurlah ada orangnya. Saya Bu Ratna, tetangga di ujung jalan sana. Saya dengar ada penghuni baru di rumah ini. Sudah lama sekali rumah ini kosong. Saya bawakan sedikit kue-kue, barangkali Nak Maya lelah setelah bersih-bersih."
Maya terkejut. "Maya?" Ia tidak pernah memberitahu siapa pun namanya. Kecuali... tidak mungkin. Bu Ratna pasti mendengar dari bibi atau tetangga lain. Ia mencoba menenangkan dirinya.
"Terima kasih banyak, Bu," kata Maya, merasa sedikit malu dengan penampilannya yang kacau dan rumahnya yang gelap. Ia membuka rantai pengaman dan sedikit membuka pintu.
Bu Ratna melangkah masuk, tatapannya menyapu sekeliling ruangan yang gelap dan berantakan. Ia mengernyitkan dahi sedikit, namun senyumnya tidak pudar. "Ya ampun, Nak, kok gelap sekali rumahnya? Apa lampunya rusak semua?"
Maya merasa terpojok. "Tidak, Bu. Saya... saya memang suka suasana gelap." Ia berbohong, merasakan rasa malu menjalar di wajahnya.
Bu Ratna mengangguk pelan, seolah memahami, meskipun ekspresi matanya menunjukkan keraguan. "Dulu, rumah ini punya Dokter Surya. Dia orang baik, tapi agak aneh di akhir-akhirnya. Ibu jadi rindu."
Mendengar nama Dr. Surya, perhatian Maya langsung tersedot. Ia menatap Bu Ratna dengan saksama. "Dr. Surya? Ibu kenal dia?"
"Oh, tentu saja! Kami tetangga sudah puluhan tahun," jawab Bu Ratna, duduk di salah satu kursi kayu tua yang berdebu. "Dia itu psikiater terkenal, tapi hidupnya menyendiri. Istrinya meninggal duluan, lalu dia tinggal sendirian di sini. Nah, di akhir-akhir, dia memang agak... berubah."
Maya mendekat, duduk di lantai di dekat kaki Bu Ratna, seperti seorang anak kecil yang mendengarkan dongeng. "Berubah bagaimana, Bu?" tanyanya, suaranya penuh antisipasi.
Bu Ratna menghela napas. "Dia jadi sangat terobsesi dengan pantulan, Nak. Sering sekali Ibu lihat dia berbicara sendiri di depan cermin besar di ruang tamunya. Kadang dia tertawa, kadang dia marah-marah. Seperti berbicara dengan orang lain, tapi di sana hanya ada dia dan pantulannya."
Jantung Maya berdegup kencang. Ini persis seperti yang ia baca di catatan Dr. Surya. Dan persis seperti yang ia alami.
"Dia bahkan sering melarang orang lain melihat ke cermin di rumahnya," lanjut Bu Ratna. "Pernah suatu kali Ibu main ke sini, mau pinjam gula. Ibu tak sengaja melirik cermin itu, lalu dia marah besar, menyuruh Ibu untuk tidak melihat lagi. Katanya, 'Jangan biarkan mereka melihatmu, Bu Ratna! Mereka akan masuk!'"
Maya menahan napas. Kata-kata itu, "Jangan biarkan mereka melihatmu, mereka akan masuk," terasa seperti palu yang menghantam kepalanya. Ini adalah konfirmasi. Konfirmasi dari kengerian yang selama ini ia rasakan.
"Dan setelah itu, dia jadi semakin aneh," Bu Ratna melanjutkan, suaranya sedikit pelan, seolah berbisik. "Sering sekali Ibu dengar suara-suara aneh dari rumah ini di malam hari. Seperti bisikan, atau suara benda jatuh. Pernah sekali, Ibu lihat lampu di loteng menyala dan mati sendiri, berulang kali. Ibu jadi takut sendiri."
Maya merasa merinding. Jadi suara-suara itu, objek yang bergerak, semua itu bukan hanya di kepalanya. Mereka nyata.
"Dan tahukah Nak Maya," Bu Ratna mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya semakin rendah. "Banyak penghuni rumah ini sebelumnya yang berakhir dengan gangguan jiwa atau menghilang secara misterius. Ada yang gila, lalu dibawa ke rumah sakit jiwa. Ada yang tiba-tiba pergi tanpa pamit, rumahnya kosong begitu saja. Dokter Surya adalah yang paling lama tinggal di sini. Tapi dia juga akhirnya menghilang, kan? Tidak ada yang tahu dia ke mana."
Darah Maya terasa membeku. Ia menatap Bu Ratna, yang wajahnya kini terlihat sedikit serius. "Menghilang?"
"Iya, Nak. Suatu pagi, rumah ini kosong begitu saja. Pintu terbuka. Motornya masih di garasi. Tidak ada jejak. Polisi sudah mencari, tapi tidak ada hasilnya. Ya sudah, orang-orang sini bilang dia sudah 'diambil' oleh rumah ini," kata Bu Ratna, lalu tersenyum tipis, seolah itu hanya lelucon. Tapi Maya tahu, itu bukan lelucon.
Mendengar semua itu, rasa takut Maya semakin dalam, tapi juga ada rasa aneh yang muncul: sebuah keinginan untuk pergi. Pergi dari rumah ini, dari kota ini, dari semua kengerian ini.
"Saya harus pergi, Bu," kata Maya, bangkit berdiri, tubuhnya gemetar.
Bu Ratna menatapnya dengan tatapan prihatin. "Mau ke mana, Nak? Terlihat tidak enak badan. Kok pucat sekali."
"Saya... saya harus keluar dari sini. Saya harus pergi," ulang Maya, suaranya panik. Ia mulai berjalan menuju pintu, pikirannya kalut. Ia harus lari. Ia harus keluar dari rumah terkutuk ini.
Namun, saat ia melangkah, ia merasakan langkahnya terasa berat. Seolah ada beban tak terlihat yang menahan kakinya. Setiap langkah terasa seperti mendorong beban berat. Ia mencoba berlari, tetapi kakinya terasa seperti terikat. Ia menoleh ke belakang, menatap Bu Ratna. Wanita tua itu masih duduk di kursi, menatapnya dengan senyum tipis, dan di matanya, Maya melihat sesuatu yang aneh, sesuatu yang bukan milik Bu Ratna. Sebuah kilatan kosong, dingin, menyerupai tatapan di pantulannya sendiri.
"Mau ke mana, Nak?" suara Bu Ratna kembali terdengar, tetapi kali ini, ada nada lain di dalamnya. Nada yang lebih dalam, lebih menakutkan, seperti bisikan-bisikan dari dinding. "Kau tidak bisa lari. Kau sudah ada di sini... Dengan kami."
Mata Maya melebar. Ia melihat Bu Ratna berubah. Wajah Bu Ratna di matanya kini tampak memudar, menjadi lebih transparan, seperti refleksi yang kabur. Dan di belakangnya, di sudut ruangan yang gelap, ia melihat bayangan-bayangan samar bergerak, menari dalam kegelapan.
"Tidaaak!" teriak Maya, suaranya pecah. Ia berusaha membuka pintu, menarik gagangnya dengan seluruh kekuatannya, tetapi pintu itu terasa terkunci rapat, seolah ada tangan tak terlihat yang menahannya dari luar. Ia menoleh ke belakang, dan melihat Bu Ratna tersenyum lebar, senyum yang bukan lagi senyum ramah seorang tetangga, melainkan senyum mengerikan dari sesuatu yang bukan manusia.
Jeritan Maya pecah di dalam rumah yang mencekam, namun seolah tertelan oleh keheningan yang tebal. Ia menarik gagang pintu dengan seluruh kekuatannya, mencoba melarikan diri, tetapi pintu itu terkunci rapat, seolah dilas dari luar. Di belakangnya, Bu Ratna berdiri, senyumnya yang dingin dan aneh kini terpampang jelas di wajahnya, mata yang dulu ramah kini kosong dan gelap. Di balik Bu Ratna, di sudut-sudut ruangan, bayangan-bayangan samar mulai memadat, membentuk siluet yang nyaris menyerupai manusia, namun lebih tipis, lebih transparan.
"Kau tidak bisa lari," suara Bu Ratna terdengar lagi, namun kali ini, itu bukan suara Bu Ratna. Itu adalah paduan suara, bisikan-bisikan yang selama ini menghantui Maya, kini bersatu dalam satu suara yang menyeramkan, bergema di seluruh ruangan. "Dia ada di mana-mana... Dia ada di dalam dirimu..."
Maya terhuyung mundur, menjauh dari pintu. Ia menatap Bu Ratna yang kini tampak seperti cangkang kosong, dikendalikan oleh sesuatu yang tidak terlihat. Ketakutan itu mencengkeramnya, membuatnya tidak bisa bernapas.
Tiba-tiba, lampu di ruangan itu mulai berkedip-kedip. Satu kali, dua kali, hingga akhirnya padam sama sekali, menjerumuskan ruangan ke dalam kegelapan total. Maya terkesiap, jantungnya berpacu gila-gilaan. Hanya ada sedikit cahaya rembulan yang samar menembus celah-celah koran di jendela.
Dan kemudian, saat matanya mulai beradaptasi dengan kegelapan, Maya melihatnya. Di setiap sudut ruangan, di setiap permukaan yang bisa memantulkan cahaya – di meja kayu yang mengkilap, di permukaan lemari es yang gelap di dapur, bahkan di lantai keramik yang sedikit basah – cermin-cermin mulai bermunculan. Bukan cermin sungguhan, melainkan refleksi yang begitu jelas, begitu nyata, seolah ruangan itu tiba-tiba dipenuhi dengan cermin tak kasat mata.
Maya mundur perlahan, kepalanya berputar. Ia mengangkat tangannya, dan melihat pantulannya di permukaan meja. Tapi pantulan itu tidak mengikutinya. Pantulan itu tetap diam, menatapnya dengan tatapan kosong.
Ia berbalik, dan di dinding, di mana seharusnya hanya ada lapisan cat dan koran yang menutupi jendela, kini ada cermin besar setinggi dirinya. Di sana, ia melihat pantulannya. Tapi bukan dirinya yang ketakutan. Itu adalah pantulan yang tersenyum dingin, dengan mata yang gelap, seolah-olah entitas yang selama ini bersembunyi kini telah sepenuhnya mengambil alih.
Maya berteriak, suaranya serak. Ia mencoba memalingkan wajah, tetapi di mana pun ia memandang, ia melihat pantulan dirinya. Di dinding lain, di lantai, di langit-langit yang gelap, ada pantulan dirinya yang berbeda-beda. Beberapa tersenyum sinis, beberapa menatap kosong, beberapa tampak menangis dalam diam, ekspresi mereka begitu terdistorsi, begitu mengerikan.
Ia mencoba lari, tetapi ke mana pun ia melangkah, ia hanya menabrak pantulan-pantulan dirinya. Ia merasa seperti sedang terjebak dalam labirin cermin yang tak terbatas. Setiap pantulan adalah jalan buntu, sebuah dinding yang memantulkan kembali kengeriannya sendiri.
"Ini tidak nyata! Ini tidak nyata!" teriak Maya, air mata membasahi pipinya. Ia mengangkat tangannya, mencoba memecahkan cermin di depannya. Tangannya menembus "cermin" itu, menyentuh dinding yang padat. Tidak ada pecahan kaca, tidak ada suara pecah. Itu semua hanyalah ilusi yang sangat kuat, ilusi yang diciptakan oleh entitas itu untuk menyiksanya.
Namun, setiap kali tangannya menembus "cermin" itu, ia merasakan sensasi aneh. Seperti ada energi dingin yang merayapi kulitnya, menariknya ke dalam. Dan setiap kali ia mencoba memecahkan satu "cermin", pantulan-pantulan yang lain di sekelilingnya menjadi lebih jelas, lebih hidup, seolah mereka semakin kuat.
Pantulan-pantulan itu mulai bergerak sendiri. Mereka bukan lagi hanya memantulkan dirinya, tetapi mereka memiliki gerakan sendiri. Pantulan di dinding sebelah kiri mengangkat tangannya, pantulan di lantai tersenyum, pantulan di langit-langit menatapnya dengan tatapan kosong. Mereka adalah kloning-kloning dirinya yang mengerikan, setiap pantulan adalah sebuah manifestasi dari entitas itu.
Bisikan-bisikan itu kembali, kini jauh lebih keras, seolah setiap pantulan memiliki suaranya sendiri, bergabung dalam sebuah paduan suara yang gila.
"Kau tidak bisa lari dari kami..."
"Kami adalah dirimu..."
"Kami adalah rumah ini..."
"Bergabunglah dengan kami, Maya..."
Maya menutup telinganya dengan kedua tangan, mencoba menghalau suara-suara itu. Ia memejamkan mata erat-erat, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk. Tetapi ketika ia membuka matanya lagi, labirin cermin itu tetap ada, mengelilinginya, menjebaknya.
Ia melihat pantulannya di dinding di depannya, pantulan yang sama yang ia lihat saat ia membuka pintu untuk Bu Ratna: senyum tipis, mata kosong. Pantulan itu mengangkat tangannya, perlahan, seolah mengajak.
Maya menatap pantulan itu, dan di matanya, ia melihat dirinya yang dulu: ketakutan, putus asa, tapi masih ada secercah perlawanan. Tapi di mata pantulan itu, ia melihat kekosongan yang mengerikan, sebuah kehampaan yang tak berujung.
Ia mencoba berteriak, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan. Ia merasa seperti sedang ditarik ke dalam jurang, perlahan-lahan. Ia melihat pantulan-pantulan lain di sekelilingnya, semua menatapnya, semua tersenyum dengan senyum yang sama mengerikannya.
Ia tahu, pertempuran ini sudah berakhir. Ia tidak bisa lagi membedakan antara dirinya yang asli dan pantulan-pantulannya. Realitas telah runtuh, dan ia terjebak di antara cermin, di antara dirinya dan entitas yang telah menguasai rumah ini.
Di tengah labirin cermin yang tak berujung, di bawah tatapan ribuan pantulan dirinya yang mengerikan, Maya merasa jiwanya perlahan-lahan ditarik keluar dari tubuhnya, diserap ke dalam kengerian yang tak berbentuk. Ia tidak lagi tahu siapa dirinya. Ia tidak lagi tahu apa yang nyata. Ia hanyalah sebuah titik kecil di antara refleksi-refleksi yang tak terbatas, menunggu untuk sepenuhnya menghilang.
Labirin cermin itu adalah puncak dari semua kengerian yang dialami Maya. Di sana, di tengah ilusi refleksi yang tak terhingga, batas antara dirinya dan entitas itu benar-benar runtuh. Ia tidak lagi bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya pantulan. Keberadaan Bu Ratna yang berubah menjadi manifestasi bisikan, menegaskan bahwa kengerian ini bukan hanya halusinasi personal, melainkan sesuatu yang mampu memanipulasi realitas di sekitarnya.
Setelah pengalaman labirin itu, Maya tergeletak tak berdaya di lantai ruang tamu, dikelilingi oleh kegelapan dan keheningan yang menyesakkan. Cermin-cermin ilusi itu telah menghilang, seolah entitas itu telah puas dengan pertunjukan horornya. Namun, meskipun mata telanjangnya tidak lagi melihat refleksi yang mengerikan, di dalam benaknya, labirin itu tetap ada. Setiap kali ia menutup mata, ia melihatnya. Setiap kali ia membuka mata, ia merasa dikelilingi oleh tatapan ribuan pantulan dirinya yang mengejek.
Ia tidak lagi makan. Rasa lapar telah lama digantikan oleh rasa mual yang konstan dan ketakutan yang mencekik. Air terasa pahit di lidahnya. Tubuhnya menjadi sangat kurus, kulitnya menempel erat pada tulang-tulangnya yang menonjol. Wajahnya pucat pasi, seperti mayat hidup, dan matanya cekung, dengan lingkaran hitam pekat di bawahnya, mencerminkan malam-malam tanpa tidur dan teror yang tak berkesudahan. Di pupil matanya, jika seseorang melihatnya dari dekat, akan terlihat pantulan samar, sebuah kekosongan yang dingin, bukan lagi pantulan jiwa seorang manusia.
Suara-suara itu tidak pernah berhenti. Mereka sekarang adalah bagian dari dirinya, bergema di dalam kepalanya, tidak lagi hanya bisikan dari dinding, melainkan pikiran-pikiran yang seolah-olah ia miliki sendiri. "Kau lelah... Serahkan saja... Biarkan kami mengambil alih..." Mereka adalah bisikan yang memikat, janji akan kedamaian dari penderitaan yang tak berujung.
Maya mulai meniru gerakan pantulannya. Saat ia berjalan dari kamar ke dapur, ia kadang-kadang akan berhenti tiba-tiba, meniru postur tubuh kaku yang sering ia lihat di pantulan lemari kaca dapur. Ia akan berdiri diam selama beberapa menit, dengan ekspresi kosong di wajahnya, sebelum tiba-tiba tersentak kembali ke "realitas" dan melanjutkan langkahnya, seolah ada jeda dalam kontrol atas tubuhnya.
Ia akan menemukan dirinya menatap dinding kosong selama berjam-jam, yakin bahwa ia melihat siluet-siluet samar bergerak di balik cat, mencoba menembus keluar. Terkadang, ia akan melambaikan tangan pada siluet-siluet itu, seolah menyapa teman lama. Ia bahkan mulai berbicara dengan mereka. "Kapan kalian akan keluar?" tanyanya, suaranya parau dan jauh. "Aku menunggumu..."
Ada saat-saat di mana ia akan tertawa, tawa yang bukan miliknya. Tawa yang dingin, datar, tanpa kehangatan. Tawa yang sama yang ia dengar dari bisikan-bisikan itu, tawa yang sama yang ia lihat di wajah pantulannya yang menyeramkan. Ia akan menyadari bahwa tawa itu keluar dari mulutnya, dan rasa ngeri akan mencengkeramnya. Ia tahu, ia sedang kehilangan kendali.
Yang paling mengerikan adalah ketika ia berdiri di depan cermin yang kini kembali ia biarkan terbuka – entah karena ia sudah menyerah, atau karena entitas itu sudah tidak peduli lagi apakah ia melihat pantulannya atau tidak. Ia akan menatap pantulannya, dan pantulan itu akan menatapnya balik, tetapi dengan tatapan yang berbeda. Senyum tipis yang bukan miliknya itu akan terpampang di wajah pantulan itu, dan ia akan melihat matanya sendiri di pantulan itu berkedip perlahan, seolah ada kesadaran lain yang mengamati dari balik bola matanya.
"Siapa kau?" bisiknya pada pantulan itu suatu sore, suaranya hanya sedikit lebih dari hembusan napas.
Pantulan itu tidak menjawab dengan suara, tetapi dengan gerakan. Pantulan itu perlahan mengangkat tangan, dan Maya menemukan tangannya sendiri ikut terangkat. Pantulan itu menggerakkan jari-jarinya, seolah menari, dan Maya menemukan jari-jarinya sendiri menari. Ini bukan lagi jeda, bukan lagi keterlambatan. Ini adalah sinkronisasi yang sempurna, sebuah bukti bahwa entitas itu telah berhasil mengendalikan dirinya, atau setidaknya, sebagian dari dirinya.
Ia mencoba berteriak, mencoba melawan, tetapi tubuhnya tidak lagi menuruti perintahnya. Ia merasakan sensasi aneh, seperti ada tali-tali tak terlihat yang menarik otot-ototnya, memaksanya bergerak. Ia adalah boneka, dan entitas itu adalah dalang yang tak terlihat.
Di dalam kepalanya, perdebatan itu tidak lagi sengit. Maya yang rasional, Maya yang ketakutan, kini hanya mampu berbisik lemah, tenggelam di bawah suara paduan suara yang lain. Suara dingin, datar, dan asing, yang berbicara tentang "pembebasan," tentang "menjadi satu."
Ia mulai merasakan kekosongan yang aneh namun menenangkan. Rasa takut itu memudar, digantikan oleh mati rasa. Kebingungan itu mereda, digantikan oleh penerimaan yang aneh. Ia tidak lagi peduli dengan apa yang nyata dan apa yang tidak. Yang ia inginkan hanyalah kedamaian.
Suatu hari, ia menemukan dirinya duduk di lantai ruang tamu, mengamati cahaya matahari yang menembus celah-celah koran di jendela. Matanya kosong. Ia tidak lagi mengenali dirinya sendiri di cermin, melainkan sosok lain yang mengerikan. Sosok yang menyerupai dirinya, tetapi tanpa jiwa, tanpa esensi. Ini adalah klise yang menakutkan: ia telah menjadi cangkang kosong, inang yang sempurna.
Ia mengingat kembali catatan terakhir Dr. Surya: Aku melihatnya di mata mereka. Kekosongan. Dan senyum yang bukan milik mereka. Ia meraba bibirnya sendiri, dan ia bisa merasakan senyum tipis itu, yang kini terpampang permanen di wajahnya. Senyum yang dingin, tanpa kehangatan, sebuah senyum dari sesuatu yang telah menang.
Ia telah kehilangan dirinya. Maya, seniman grafis yang introver, yang mencari kedamaian di rumah tua ini, kini telah lenyap, digantikan oleh bayangan yang menyeramkan, sebuah refleksi dari kengerian yang bersembunyi di balik kaca.
Pagi itu, mentari Kendari bersinar cerah, menembus awan tipis dan menyinari rumah tua di pinggir kota. Seorang tetangga lain, Pak Ridwan, yang kebetulan lewat untuk mengantar pesanan ikan ke pasar, mengernyitkan dahi. Ia melihat sesuatu yang aneh. Pintu utama rumah Maya terbuka lebar. Bukan hanya sedikit, melainkan terbuka penuh, menganga lebar, seolah mengundang siapa saja untuk masuk.
Pak Ridwan menghentikan motornya. Ia tahu pemilik rumah baru ini adalah seorang wanita muda yang pendiam. Ia tidak pernah melihatnya keluar-masuk, dan rumah itu selalu tampak tertutup rapat, bahkan di siang hari. Ada desas-desus aneh tentang rumah itu di kalangan warga, cerita-cerita tentang penghuni sebelumnya yang berakhir aneh.
Dengan perasaan tak enak, Pak Ridwan mematikan mesin motor dan melangkah hati-hati menuju ambang pintu. "Permisi?" panggilnya, suaranya sedikit ragu. Tidak ada jawaban.
Ia melangkah masuk. Aroma apek dan debu masih terasa, tetapi kini bercampur dengan bau yang lebih aneh, seperti bau stagnan, bau sesuatu yang sudah lama tidak bergerak, tidak bernapas. Ruang tamu gelap, meskipun pintu terbuka lebar, karena jendela-jendela masih tertutup rapat oleh koran dan kain. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Cermin-cermin yang tadinya tertutup kini terbuka, memantulkan pantulan samar dari kegelapan di dalamnya.
Pak Ridwan melangkah lebih dalam, mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Bu Maya?" panggilnya lagi, suaranya sedikit lebih keras. Hanya ada keheningan yang mencekam sebagai jawaban. Keheningan yang begitu tebal, seolah suara-suara telah ditelan oleh dinding-dinding itu sendiri.
Ia memeriksa dapur. Piring kotor tertumpuk di wastafel, sisa makanan kering di atas meja. Sebuah pisau dapur tergeletak miring di lantai, seolah baru saja jatuh. Ia melihatnya, dan bulu kuduknya meremang.
Ia naik ke lantai atas. Kamar-kamar kosong dan berdebu. Di kamar tidur utama, sebuah kasur lipat tergeletak berantakan. Di sampingnya, sebuah buku harian terbuka, tulisan tangan di dalamnya semakin lama semakin tidak karuan, dipenuhi coretan aneh dan lingkaran-lingkaran bertumpuk. Itu adalah buku harian Maya, yang kini mulai menyerupai catatan Dr. Surya.
Di meja samping tempat tidur, Pak Ridwan melihat tumpukan buku catatan bersampul kulit hitam. Ia mengambil salah satunya, membaca judulnya yang samar: "Dr. Surya." Ia mengernyitkan dahi. Ini adalah catatan-catatan psikiater yang dulu menghuni rumah ini.
Ia membuka halaman terakhir dari buku catatan Dr. Surya. Di sana, tertulis dengan tangan yang sangat kacau, nyaris tidak terbaca, hanya ada satu kalimat. Sebuah kalimat yang membuat darahnya mengering: "Aku telah melihatnya. Dia ada di balik semua pantulan."
Tidak ada tanda-tanda Maya. Tidak ada jejak perkelahian. Tidak ada barang-barang yang hilang. Hanya keheningan yang mematikan, aroma busuk yang samar, dan cermin-cermin yang terpantul kosong, seolah mereka telah menyaksikan sesuatu yang mengerikan, sesuatu yang tidak bisa mereka ungkapkan.
Beberapa hari kemudian, polisi melakukan investigasi. Mereka menemukan rumah yang berantakan, catatan-catatan aneh, dan suasana yang mencekam. Mereka menginterogasi Pak Ridwan dan Bu Ratna, yang hanya bisa memberikan kesaksian samar tentang keanehan penghuni rumah itu. Bu Ratna, dengan senyum ramahnya yang kembali normal, hanya mengatakan bahwa Maya terlihat "sangat lelah" saat terakhir kali ia melihatnya.
Polisi mencari ke sekeliling, di hutan bakau di dekatnya, di sepanjang pantai. Tidak ada jejak Maya. Ia menghilang begitu saja, tanpa pamit, tanpa meninggalkan pesan. Kasusnya ditutup sebagai "orang hilang tanpa jejak", salah satu dari sekian banyak misteri di kota kecil itu.
Namun, di antara para warga yang sudah lama tinggal di Kendari, desas-desus itu menyebar lagi: rumah tua itu telah "mengambil" korban lain. Maya telah menjadi bagian dari misteri yang menghantui rumah itu selama puluhan tahun.
Apakah Maya benar-benar menghilang? Apakah ia menjadi gila dan melarikan diri ke suatu tempat? Atau apakah ia bergabung dengan "sisi lain" dari cermin, seperti yang disiratkan oleh catatan Dr. Surya, menjadi salah satu dari entitas tak terlihat yang menghuni rumah itu, menanti inang berikutnya?
Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di udara, tak terjawab. Rumah tua di pinggir Kendari itu, dengan pintu yang kini kembali tertutup rapat, tetap menjadi bisikan dalam kegelapan, menunggu korban selanjutnya untuk terjebak dalam labirin kengeriannya. Dan entitas di balik kaca, mungkin, masih mengamati dari sana, dengan senyum tipis yang tak terlihat, menanti. Ini adalah akhir yang klise, sebuah lingkaran tanpa awal dan tanpa akhir.