Cerpen
Disukai
0
Dilihat
666
Bayang Dalam Cermin
Misteri

Raka, seorang psikolog ternama berusia 35 tahun, duduk di ruang praktiknya yang rapi, memandang keluar jendela ke arah rintik hujan yang membasahi jalanan Jakarta. Ruangan itu mencerminkan kepribadiannya: teratur, tenang, dan profesional. Di balik ketenangan itu, tersimpan masa lalu yang tersembunyi, sebuah trauma yang ia kubur dalam-dalam dan tidak pernah ia bagikan kepada siapa pun. Sejak kecil, ia sering merasa terasing, seolah ada bagian dari dirinya yang tidak ia kenal. Namun, bertahun-tahun menjalani terapi dan mengabdikan diri pada ilmu psikologi telah membantunya membangun dinding yang kokoh untuk melindungi dirinya dari bayang-bayang masa lalu.

Siang itu, asistennya mengantar seorang pasien baru masuk ke dalam ruangan. Mira, seorang wanita muda dengan mata yang cekung dan gelisah, duduk di hadapannya. Rambutnya yang kusut dan kuku-kukunya yang tergigit menunjukkan tingkat kecemasan yang ekstrem. Raka menyadari bahwa kasus ini akan menjadi tantangan yang berat, tetapi ia tidak pernah mundur dari tantangan. Ia memulai sesi dengan pertanyaan standar, mencoba menciptakan suasana yang nyaman.

Mira mulai berbicara dengan suara serak, "Saya... saya rasa ada yang salah dengan saya, Dok."

"Apa yang membuat Anda berpikir begitu, Mira?" Raka bertanya dengan nada lembut dan menenangkan.

"Saya sering melihat bayangan... bayangan seseorang di rumah saya. Di pojok ruangan, di balik pintu, bahkan di cermin. Saya tahu itu bukan saya, tapi bayangan itu selalu ada."

Raka mencatat di buku catatannya, mencoba mencari pola perilaku. "Apakah Anda bisa menjelaskan lebih detail tentang bayangan itu?"

"Tidak ada wujud yang jelas," jawab Mira, matanya berkedip panik. "Hanya... bayangan. Seperti seseorang berdiri di sana, mengawasi saya. Saya sudah periksa ke mana-mana, tapi tidak ada siapa-siapa. Saya bahkan mengunci semua pintu dan jendela, tapi bayangan itu tetap muncul."

Mira melanjutkan ceritanya, ia merasa dikejar dan diawasi setiap saat. Ia menunjukkan bekas luka memar di lengannya, mengklaim bahwa ia terjatuh saat mencoba melarikan diri dari bayangan itu. Raka mencatat semuanya, rasa penasaran mulai muncul di benaknya. Ia telah menangani ratusan pasien dengan paranoia, tetapi kasus Mira terasa berbeda. Ada sesuatu yang sangat nyata dalam ketakutannya, bukan hanya produk dari pikiran yang kacau.

Raka menjadwalkan sesi berikutnya untuk seminggu ke depan dan mengakhiri pertemuan. Setelah Mira pergi, ia duduk terdiam, memikirkan kasus ini. Ia merasa ada ikatan aneh dengan ketakutan Mira. Ikatan yang ia rasakan mengakar pada trauma yang tidak ia mengerti. Malam itu, Raka tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan kata-kata Mira, bayangan di pojok ruangan, dan rasa terperangkap yang dialami Mira.

Ia akhirnya terlelap, tetapi tidur itu tidak membawa ketenangan. Raka terjebak dalam mimpi yang mengerikan dan surreal. Ia melihat dirinya berdiri di dalam sebuah ruangan yang gelap, tangannya berlumuran darah. Di depannya, ada seorang wanita yang tergeletak tak berdaya. Ia melihat bayangan dirinya yang lain, versi dirinya yang kejam, tertawa dan melakukan tindakan kekerasan. Raka terbangun dengan napas terengah-engah, keringat dingin membasahi dahinya. Mimpinya terasa sangat nyata, seolah-olah itu adalah ingatan yang terkubur.

Keesokan harinya, Raka masih merasa tidak tenang. Ia mencoba menghubungi Mira, tetapi ponselnya tidak aktif. Setelah mencoba berulang kali tanpa hasil, ia memutuskan untuk mengunjungi rumah Mira, sebuah keputusan yang melanggar kode etik, tetapi dorongan yang tak bisa ia jelaskan mendorongnya. Ia harus memastikan Mira baik-baik saja.

Ia tiba di sebuah rumah bergaya Victoria yang tua, jauh dari hiruk pikuk kota. Rumah itu tampak sunyi dan mencekam. Raka menekan bel, tetapi tidak ada jawaban. Ia menggedor pintu, memanggil nama Mira, tetapi yang ia dengar hanyalah keheningan. Ia mencoba membuka pintu, tetapi pintu itu terkunci rapat dari dalam. Raka mengelilingi rumah itu, memeriksa setiap jendela, dan semuanya terkunci.

Saat ia berjalan di samping jendela yang besar, ia melihat bayangan bergerak di dalam rumah. Jantungnya berdebar kencang. Ia mengira itu adalah Mira, dan ia mengetuk kaca, "Mira, ini saya! Anda baik-baik saja?"

Bayangan itu berhenti bergerak, seolah menyadari kehadirannya. Raka menunggu, berharap Mira akan membuka pintu. Namun, yang ia dengar bukanlah suara Mira, melainkan bisikan yang sangat pelan dari luar jendela, seperti suara angin yang berdesir. Bisikan itu terdengar seperti namanya, "Raka..." Ia memutar kepalanya, melihat sekeliling, tetapi tidak ada seorang pun di sana.

Rasa dingin merayap di punggungnya. Ia kembali menoleh ke jendela, dan bayangan itu menghilang. Ia mencoba mengintip ke dalam melalui kaca, tetapi kegelapan di dalam rumah membuat ia tidak bisa melihat dengan jelas. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia melihat kembali ke sekeliling, dan sekali lagi, ia mendengar bisikan itu. Lebih jelas, lebih dekat. "Kamu tidak bisa lari..."

Rasa takut yang familiar mulai merayap di dalam dirinya. Ini adalah ketakutan yang sama yang ia rasakan saat kecil, yang memicu trauma yang tidak ia ingat. Raka kembali ke mobilnya, pikirannya kacau. Siapa yang membisikkan namanya? Siapa yang berada di dalam rumah? Apakah itu Mira, atau seseorang yang lain? Dan mengapa ia merasa sangat terhubung dengan apa yang terjadi? Ia merasa seperti ada yang mengawasi, bukan dari dalam rumah Mira, tetapi dari dalam dirinya sendiri.

Ketika ia menyalakan mobilnya, pandangannya tidak sengaja tertuju pada kaca spion. Ia melihat bayangan di kursi belakang. Ia langsung berbalik, tetapi tidak ada siapa-siapa. Jantungnya berdebar kencang. Apakah ia mulai berhalusinasi seperti Mira? Atau apakah ia benar-benar melihat sesuatu? Ia mengendarai mobilnya menjauh, tetapi bayangan di kaca spion terus mengikutinya, sebuah bisikan yang memudar, "Bayanganmu akan datang mencarimu..."

Pagi itu, Raka tidak lagi melihat dunia dengan cara yang sama. Insiden di rumah Mira telah mengikis dinding rasionalitas yang selama ini ia bangun. Ia duduk di mejanya, memandang kosong ke arah layar komputer yang menampilkan file-file pasiennya. Namun, pikirannya terus kembali pada bisikan dan bayangan yang ia lihat. Ia merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar paranoia. Sesuatu yang terhubung dengannya secara pribadi. Rasa penasaran dan ketakutan itu bercampur aduk, mendesaknya untuk mencari tahu lebih dalam. Ia harus menyingkirkan semua keraguan profesionalnya. Ini bukan lagi tentang pasien, ini tentang dirinya.

Raka memutuskan untuk memulai penyelidikannya. Ia menghubungi kontak-kontak lamanya di kepolisian dan rumah sakit tempat Mira pernah dirawat. Ia mencari informasi, menggali masa lalu Mira yang tidak pernah ia ceritakan. Informasi yang ia temukan sangat mengejutkan. Mira telah dirawat di beberapa institusi kesehatan mental, tetapi catatan medisnya tidak konsisten. Terdapat beberapa catatan tentang luka fisik yang unexplained, memar, dan bahkan tulang yang retak. Dokter-dokter yang merawatnya mencatat bahwa Mira tidak pernah mengakui bahwa ia melukai dirinya sendiri, tetapi juga tidak bisa menjelaskan bagaimana luka itu muncul. Ini adalah pola kekerasan tersembunyi yang Mira sendiri tidak sadari.

Raka menelusuri jejak digital Mira, memeriksa akun media sosialnya, mencari tahu tentang teman dan keluarganya. Ia menemukan bahwa Mira adalah seorang seniman yang berbakat, tetapi karyanya sangat gelap dan mengganggu. Gambar-gambar yang ia lukis penuh dengan sosok-sosok yang kabur, wajah yang terdistorsi, dan bayangan yang mengintip. Di antara semua gambar itu, Raka melihat satu gambar yang sangat familiar: sebuah cermin retak dengan bayangan yang tidak jelas di dalamnya.

Saat ia terus menggali, Raka menemukan sesuatu yang lebih aneh lagi. Sebuah postingan lama di blog pribadi Mira, yang berisi foto-foto benda-benda pribadi Mira yang tertinggal di lokasi-lokasi misterius. Sebuah boneka rusak di pinggir danau yang tidak jauh dari rumahnya, sebuah jam tangan yang ia beli bersama teman-temannya yang ditemukan di sebuah taman, dan sebuah liontin yang ia kenakan setiap hari yang ditemukan di atas makam yang tidak ia kenal. Mira menulis bahwa ia tidak ingat pernah meninggalkan benda-benda itu di sana. Ia merasa seperti ada orang lain yang mengendalikan tubuhnya saat ia tidak sadar. Raka merasa ngeri. Perilaku Mira yang tidak disadari itu sangat mirip dengan mimpi yang ia alami, di mana ia melihat dirinya sendiri melakukan tindakan kekerasan.

Kecurigaan Raka semakin kuat. Ia mulai percaya bahwa Mira menderita gangguan disosiatif identitas, tetapi ia merasa ada sesuatu yang lain di balik itu semua. Sesuatu yang lebih gelap dan supernatural. Rasa ketidaknyamanan mulai merayap di dalam dirinya, ia merasa ada yang tidak beres dengan ruangan praktiknya. Ia melihat bayangan di sudut ruangan, di balik kursi, tetapi ketika ia menoleh, bayangan itu menghilang. Ia mencoba mengabaikannya, tetapi bayangan itu terus muncul.

Suatu malam, Raka sedang menyikat giginya di depan cermin kamar mandi. Ia memandang dirinya sendiri, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia baik-baik saja, bahwa semua ini hanyalah ilusi. Tiba-tiba, ia melihat bayangan di cermin. Bukan pantulan dirinya, melainkan sosok misterius yang berdiri di belakangnya. Sosok itu memiliki mata merah menyala dan senyum yang menyeramkan. Jantung Raka berdebar kencang, ia langsung berbalik. Tidak ada siapa pun di belakangnya. Ia kembali menoleh ke cermin, dan sosok itu masih di sana. Sosok itu seolah mengintip dari kehidupan lain. Raka menutup matanya, mengambil napas dalam-dalam, dan ketika ia membukanya lagi, pantulan dirinya kembali normal.

Kisah-kisah horor yang ia baca sebagai anak kecil mulai terasa nyata. Garis antara realita dan ilusi mulai memudar. Ia mulai merasa gila. Halusinasi itu tidak hanya muncul di cermin, tetapi juga di ponselnya. Ia menerima pesan-pesan misterius dari nomor yang tidak dikenal, berisi gambar-gambar yang menyeramkan. Raka mencoba melacaknya, tetapi setiap kali ia melacaknya, pesan itu menghilang.

Ia memutuskan untuk kembali ke rumah Mira. Ia ingin mencari tahu lebih banyak. Ia mengendarai mobilnya, menembus hujan yang deras. Ketika ia sampai di sana, rumah itu tampak sunyi seperti kuburan. Ia memberanikan diri untuk masuk, memecahkan jendela dan membuka kunci dari dalam. Aroma apek menyambutnya. Rumah itu terasa dingin dan kosong, seolah tidak ada yang tinggal di sana selama bertahun-tahun.

Raka berjalan di koridor, membuka setiap pintu. Semua ruangan kosong, kecuali satu ruangan di ujung koridor. Ia melihat sebuah meja kerja yang berantakan, penuh dengan buku sketsa dan cat. Di tengah meja, ia melihat sebuah catatan kecil. Catatan itu ditulis dengan tulisan tangan Mira, tetapi dengan tinta darah. Raka mendekat, hatinya berdebar kencang. Ia membaca tulisan itu: “Aku akan membawamu bersamaku.”

Ia merasa ngeri. Apa maksudnya? Ia kembali melihat catatan-catatan lain yang ada di meja. Catatan-catatan itu menceritakan tentang perasaannya, bayangannya, dan rasa terperangkap yang ia rasakan. Terdapat beberapa catatan yang menyebutkan nama "Raka." Mira menulis bahwa ia merasa Raka adalah satu-satunya orang yang bisa memahaminya, tetapi juga merasa takut padanya. Mira menyebutkan bahwa ia tidak tahu mengapa, tetapi ia merasa Raka adalah bagian dari bayangan yang mengejarnya.

Raka merasa pusing. Ia duduk di kursi, mencoba mencerna semua informasi yang ia temukan. Ia mulai meragukan kewarasannya sendiri. Apakah ia benar-benar seorang psikolog yang mencoba membantu seorang pasien, atau apakah ia adalah bagian dari kegilaan itu sendiri? Ia melihat ke sekeliling, dan matanya tertuju pada sebuah cermin besar yang tergantung di dinding. Ia melihat pantulan dirinya yang ketakutan dan bingung. Tiba-tiba, ia melihat sebuah bayangan bergerak di belakangnya. Ia langsung berbalik, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Ia kembali menoleh ke cermin, dan bayangan itu menghilang.

Ia mendengar suara dari luar, suara seseorang yang berjalan di koridor. Raka langsung bersembunyi di balik pintu, jantungnya berdebar kencang. Ia mengintip keluar, dan ia melihat bayangan seseorang berjalan di depannya. Bayangan itu tinggi dan kurus, dan ia memiliki mata merah menyala yang ia lihat di cermin sebelumnya. Raka melihat ke sekeliling, dan ia melihat bayangan itu berjalan ke arahnya. Ia menutup matanya, mengambil napas dalam-dalam, dan ketika ia membukanya, bayangan itu menghilang. Ia keluar dari ruangan, berjalan di koridor, dan ia melihat cermin di ujung koridor. Ia melihat pantulan dirinya yang ketakutan, dan ia melihat bayangan di belakangnya. Bayangan itu tertawa dan melambai ke arahnya. Ia kembali berbalik, tetapi tidak ada siapa-siapa di sana.

Raka memutuskan untuk pergi. Ia tidak bisa tinggal di sana lebih lama lagi. Rumah itu terasa seperti perangkap yang siap menelannya. Ia berlari keluar, kembali ke mobilnya, dan mengendarainya menjauh dari rumah itu secepat mungkin. Ia memandang ke belakang, dan ia melihat bayangan di kaca spion. Bayangan itu tersenyum ke arahnya. Raka menutup matanya, dan ketika ia membukanya, bayangan itu menghilang.

Ia tiba di rumahnya, merasa sangat lega. Ia langsung masuk ke dalam, mengunci pintu, dan menghela napas. Ia merasa aman, tetapi rasa takut itu masih ada. Ia tidak bisa melarikan diri dari bayangannya sendiri. Ia berjalan ke ruang tamu, dan ia melihat cermin di dinding. Ia melihat pantulan dirinya yang pucat dan ketakutan. Ia melihat bayangan yang sama yang ia lihat di rumah Mira. Bayangan itu menatapnya, dan ia melihat tulisan di cermin yang berbunyi, "Aku akan membawamu bersamaku." Raka menoleh ke belakang, tetapi tidak ada siapa-siapa. Ia kembali menatap cermin, dan ia melihat pantulan dirinya yang tersenyum jahat, meski ia sedang sendirian. Ia tahu, bayangan itu bukan Mira. Itu adalah dirinya sendiri. Dan ia tidak tahu siapa di antara mereka yang asli.

Raka terbangun di kasurnya, napasnya tersengal. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Kejadian semalam di rumah Mira dan bayangan di cermin rumahnya sendiri terasa begitu nyata. Ia menatap sekeliling kamarnya, memastikan tidak ada siapa-siapa. Namun, rasa dingin yang menusuk tulang masih melekat. Ia melihat pantulan dirinya di jendela, samar dan terdistorsi. Apakah ia benar-benar melihat bayangan itu, ataukah pikirannya yang kini retak?

Pikiran Raka kalut, terjebak antara realita dan ilusi. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua itu adalah halusinasi akibat kelelahan dan stres. Sebagai psikolog, ia tahu betul mekanisme pertahanan diri pikiran. Namun, kali ini, ia adalah subjeknya sendiri. Raka melangkah ke kamar mandi, menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia terlihat lelah dan putus asa. Saat ia menunduk untuk membasuh wajah, ia melihat pantulan di cermin tidak bergerak. Ia mendongak, dan pantulan itu menatapnya dengan tatapan kosong, seolah bukan dirinya. Ia berkedip, dan pantulan itu kembali normal. Getaran dingin menjalari tulang punggungnya. Raka mulai meragukan kewarasannya sendiri.

Dorongan untuk mencari tahu lebih dalam semakin kuat, meskipun ketakutan menggerogotinya. Ia harus mencari tahu apa yang terjadi pada Mira, dan yang lebih penting, apa yang terjadi pada dirinya. Ia kembali ke kantor, memaksakan diri untuk bekerja. Di tengah tumpukan berkas dan catatan, ia menemukan sebuah arsip pasien yang tidak ia kenali. Sebuah file yang tiba-tiba muncul di mejanya, dengan tulisan tangan yang sama persis dengan yang ada di catatan Mira: "Catatan Pembelajaran."

Raka membukanya dengan tangan bergetar. Di dalamnya, terdapat foto-foto korban yang hilang dalam beberapa bulan terakhir. Orang-orang yang dikabarkan menghilang tanpa jejak. Ada foto seorang mahasiswa yang terakhir terlihat di perpustakaan kampus, seorang ibu muda yang hilang saat sedang jogging, dan seorang penjual bunga yang menghilang dari tokonya. Raka merasa familiar dengan beberapa wajah itu. Ia mengenali mahasiswa itu sebagai seorang mantan pasiennya, ibu muda itu sebagai tetangga yang sering ia sapa, dan penjual bunga itu sebagai wanita yang sering ia temui saat membeli bunga untuk menghiasi ruang praktiknya.

Di bawah setiap foto, ada tulisan tangan yang mendeskripsikan secara detail bagaimana setiap korban dihilangkan. Catatan itu sangat mengerikan, menjelaskan metode manipulasi psikologis yang digunakan untuk membuat korban mengikuti pelakunya. Teks itu begitu rinci, seperti ditulis oleh seseorang yang benar-benar ada di sana. Ada juga gambar-gambar coretan yang menyerupai sketsa, menunjukkan bagaimana korban dijerat secara perlahan-lahan. Raka melihat tanda-tanda kekerasan dan manipulasi psikologis yang terlihat di setiap kasus, yang sesuai dengan apa yang ia pelajari di universitas.

Satu foto menarik perhatiannya: seorang wanita yang sangat mirip dengan Mira. Di bawahnya tertulis, "Objek terdekat." Hati Raka mencelos. Apakah Mira adalah korban atau pelaku? Atau apakah ada kekuatan lain yang mengendalikan mereka berdua?

Raka mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Ia langsung menoleh, tetapi tidak ada siapa-siapa. Ia kembali melihat foto-foto itu, dan ia melihat bayangan yang bergerak di belakangnya. Ia langsung berbalik, dan ia melihat bayangan yang sama yang ia lihat di cermin. Ia menutup matanya, mengambil napas dalam-dalam, dan ketika ia membukanya, bayangan itu menghilang. Ia merasa ada yang menempel di kantornya, seolah-olah mengawasi setiap gerak-geriknya.

Ia mencoba menghubungi polisi, tetapi ia tidak memiliki bukti yang cukup kuat. Foto-foto dan catatan itu bisa saja merupakan bagian dari delusi, atau bahkan ulah iseng seseorang. Ia juga takut jika ia melapor, ia akan dicurigai sebagai pelakunya. Catatan-catatan itu seolah-olah ditulis oleh seorang profesional yang mengerti psikologi, dan hanya ada beberapa orang yang bisa melakukannya.

Raka kembali ke rumah, merasa paranoid. Ia mengunci semua pintu dan jendela, memasang kamera pengawas, dan duduk di ruang tamu, memegang segelas anggur. Ia melihat pantulan dirinya di layar televisi yang mati. Ia melihat bayangan yang bergerak di belakangnya. Ia langsung berbalik, tetapi tidak ada siapa-siapa. Ia merasa seperti ada yang mengawasinya dari dalam rumahnya sendiri.

Malam itu, Raka tidak bisa tidur. Ia berjalan ke dapur untuk mengambil air. Saat ia melewati koridor, ia melihat bayangan di cermin yang tergantung di dinding. Ia melihat bayangan itu tertawa dan melambai ke arahnya. Ia langsung berbalik, tetapi tidak ada siapa-siapa di belakangnya. Ia kembali menatap cermin, dan ia melihat pantulan dirinya yang ketakutan dan putus asa. Tiba-tiba, ia melihat bayangan itu muncul lagi di belakangnya. Raka melangkah mundur, dan ia menjatuhkan gelas yang ada di tangannya. Pecahan kaca berserakan di lantai. Ia melihat bayangan itu, dan ia melihat bayangan itu menunjuk ke arahnya, seolah-olah menuduhnya.

Raka tidak bisa menahan rasa takutnya lagi. Ia berteriak, memanggil nama Mira. Ia menyalakan semua lampu di rumahnya. Ia mencari di setiap sudut ruangan, di bawah tempat tidur, di dalam lemari. Tetapi tidak ada siapa-siapa. Ia kembali ke ruang tamu, dan ia melihat pantulan dirinya di jendela. Ia melihat bayangan yang bergerak di belakangnya. Ia langsung menyalakan lampu, dan ia melihat tidak ada siapa-siapa di sana.

Ia merasa ada yang tidak beres. Ia berjalan ke arah cermin, dan ia melihat bayangan yang sama yang ia lihat di kantor. Bayangan itu menatapnya dengan senyum jahat, dan ia melihat bayangan itu melambaikan tangannya. Ia kembali berbalik, tetapi tidak ada siapa-siapa. Ia merasa ada yang salah dengan cermin itu. Ia menyentuh cermin itu, dan ia merasa dingin yang menusuk. Ia melihat pantulan dirinya yang ketakutan, dan ia melihat bayangan yang bergerak di belakangnya. Ia langsung berbalik, dan ia melihat tidak ada siapa-siapa di sana.

Raka menyadari sesuatu. Bisikan-bisikan yang ia dengar, bayangan-bayangan yang ia lihat, semuanya selalu muncul di cermin atau di pantulan. Cermin itu adalah portal. Bukan untuk dimensi lain, tetapi untuk sisi lain dari dirinya sendiri. Sisi yang ia kubur dalam-dalam, sisi yang ia coba lupakan. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia adalah Raka, seorang psikolog yang baik dan profesional. Tetapi, bayangan itu seolah membantah semua itu.

Raka kembali ke kamar tidurnya, duduk di kasur, dan memegang kepalanya. Ia merasa gila. Ia merasa ada yang mengendalikan pikirannya. Ia merasa ada yang merusak hidupnya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak tahu harus pergi ke mana. Ia merasa terjebak di dalam rumahnya sendiri.

Saat ia duduk di sana, ia mendengar suara langkah kaki di luar. Ia langsung berdiri, mengambil pisau dapur. Ia berjalan ke jendela, mengintip keluar. Ia tidak melihat siapa-siapa. Ia kembali ke kasur, dan ia mendengar suara langkah kaki yang sama di luar. Ia langsung berjalan ke jendela, mengintip keluar. Ia tidak melihat siapa-siapa. Ia kembali ke kasur, dan ia mendengar suara langkah kaki yang sama di luar. Ia langsung berjalan ke jendela, mengintip keluar. Dan ia melihat seseorang berdiri di luar rumahnya. Seseorang yang mengenakan pakaian yang sama dengan yang ia pakai. Raka menyalakan lampu luar, dan ia melihat tidak ada siapa-siapa di sana. Ia kembali menoleh ke jendela, dan ia melihat bayangan di luar yang berdiri di sana, menatapnya. Ia memejamkan matanya, mengambil napas dalam-dalam, dan ketika ia membukanya, bayangan itu menghilang.

Raka menyadari bahwa seseorang menempel di rumahnya, tetapi ketika ia menyalakan lampu, tidak ada siapa-siapa. Ia merasa takut, ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia kembali ke kamar tidurnya, duduk di kasur, dan ia melihat pantulan dirinya di jendela. Ia melihat bayangan di belakangnya. Bayangan itu menatapnya, dan ia melihat bayangan itu tersenyum. Raka tahu, ini bukan Mira, ini adalah dirinya sendiri. Dan ia tidak tahu mana yang asli.Malam-malam berlalu tanpa tidur. Raka kini hidup di bawah bayang-bayang ketakutan. Ia terus-menerus mendengar bisikan, melihat bayangan di sudut mata, dan merasakan kehadiran yang tak terlihat di sekitarnya. Setiap cermin di rumahnya ia tutupi dengan kain, setiap permukaan yang memantulkan bayangan ia hindari. Ia hidup dalam kegelapan, takut melihat pantulan dirinya sendiri. Teleponnya terus berdering dengan panggilan tanpa identitas, dan setiap kali ia angkat, yang ia dengar hanya suara desisan dan tawa yang menggema, seolah-olah ia sedang berbicara dengan kegilaannya sendiri.

Ketakutan itu tidak hanya menyerang Raka secara psikologis. Ia mulai mengalami serangan fisik. Ia terbangun dengan memar-memar di tubuhnya, goresan yang dalam di lengannya, dan ia tidak memiliki ingatan bagaimana semua itu terjadi. Ia merasa seperti ada orang lain yang mengendalikan tubuhnya saat ia tidak sadar. Perasaannya semakin kuat bahwa ia adalah bagian dari kegilaan itu sendiri.

Ia mulai mencurigai semua orang di sekitarnya. Teman-temannya yang mencoba menghubunginya ia hindari. Ia bahkan curiga pada asistennya di kantor, merasa bahwa asistennya terlibat dalam semua ini. Rasa paranoia yang ekstrem ini membuat Raka terisolasi sepenuhnya. Ia tidak lagi bisa membedakan antara teman dan musuh. Ia tidak bisa lagi membedakan antara apa yang nyata dan apa yang hanya ada di dalam pikirannya.

Suatu sore, saat Raka sedang duduk di ruang kerjanya, ia menerima pesan dari nomor yang tidak dikenal. Pesan itu hanya berisi sebuah foto. Foto itu adalah cermin di rumahnya yang telah ia tutupi. Kain yang menutupi cermin itu sedikit tersingkap, dan Raka melihat bayangan dirinya di cermin itu, tersenyum jahat ke arah kamera. Raka langsung berlari ke cermin, menyibak kain itu, dan ia melihat pantulan dirinya. Pantulan dirinya itu tampak ketakutan, tetapi senyum jahat itu masih ada di sana, seolah-olah terukir di wajahnya.

Ia panik, mencari-cari di sekeliling rumah, tetapi tidak ada siapa-siapa. Ia tahu ada seseorang di rumahnya. Seseorang yang memotretnya. Seseorang yang mengawasinya. Ia merasa tidak aman di rumahnya sendiri. Ia mulai menyalahkan Mira atas semua ini, tetapi ia juga merasa bersalah. Ia merasa bahwa ia adalah bagian dari kegilaan itu. Ia adalah bagian dari bayangan itu.

Beberapa hari kemudian, polisi datang ke rumah Raka. Mereka memberitahunya bahwa Mira menghilang tanpa jejak. Mereka tidak menemukan catatan atau bukti, hanya sebuah rumah yang kosong dan sunyi. Raka pura-pura terkejut, tetapi di dalam hatinya, ia merasa takut. Ia merasa bahwa ia tahu ke mana Mira pergi. Ia merasa bahwa ia adalah bagian dari hilangnya Mira.

Raka kembali ke rumahnya, dan ia melihat sebuah amplop di depan pintu. Amplop itu tidak memiliki nama pengirim. Ia membukanya, dan di dalamnya ia menemukan sebuah catatan kecil. Catatan itu ditulis dengan tulisan tangan Mira, dan berisi kalimat yang sangat menyeramkan: “Kamu tidak bisa lari dari bayanganmu sendiri.”

Raka merasa pusing. Ia duduk di kursi, mencoba mencerna semua informasi itu. Mira menghilang. Ia adalah orang terakhir yang bertemu dengan Mira. Ia adalah orang terakhir yang melihat Mira. Apakah ia yang melakukannya? Apakah ia yang menyembunyikan Mira? Apakah ia adalah bagian dari kegilaan itu?

Ia mulai meragukan identitasnya sendiri. Ia merasa seperti ada dua orang di dalam dirinya. Satu adalah Raka, seorang psikolog yang baik dan profesional. Yang lainnya adalah bayangan, sisi gelap yang melakukan tindakan-tindakan kejam tanpa ia sadari. Ia merasa seperti ia adalah boneka yang dikendalikan oleh bayangan itu.

Malam itu, Raka tidak bisa tidur. Ia berjalan ke ruang tamu, dan ia melihat sebuah cermin yang belum ia tutupi. Ia menatap pantulan dirinya, mencoba melihat Raka yang asli. Tetapi yang ia lihat hanyalah bayangan yang tersenyum jahat. Bayangan itu menatapnya, dan ia melihat bayangan itu bergerak. Bayangan itu mengambil pisau yang ada di meja dan mengarahkannya ke lehernya sendiri. Raka langsung berteriak, ia langsung menjatuhkan pisau itu. Ia menutup matanya, mengambil napas dalam-dalam, dan ketika ia membukanya, pantulan di cermin kembali normal.

Ia merasa takut, ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia mencoba menghubungi polisi, tetapi ia tidak memiliki bukti yang cukup kuat. Ia tidak bisa menceritakan tentang bayangan-bayangan dan bisikan-bisikan itu, karena ia tahu ia akan dicurigai sebagai orang gila. Ia merasa terjebak, sendirian di dalam rumahnya sendiri.

Ia berjalan ke kamar tidurnya, duduk di kasur, dan ia melihat pantulan dirinya di jendela. Ia melihat bayangan itu, dan ia melihat bayangan itu menatapnya, seolah-olah mengawasi setiap gerak-geriknya. Ia memejamkan matanya, mengambil napas dalam-dalam, dan ketika ia membukanya, bayangan itu menghilang. Ia mencoba melarikan diri, tetapi ia tidak tahu harus pergi ke mana. Ia merasa bahwa ia tidak bisa melarikan diri dari bayangannya sendiri.

Raka memutuskan untuk pergi. Ia mengambil kunci mobilnya, dan ia langsung keluar. Ia mengendarai mobilnya, menembus malam yang gelap. Ia tidak tahu ke mana ia harus pergi. Ia hanya ingin melarikan diri dari bayangannya sendiri. Ia memandang ke belakang, dan ia melihat bayangan di kaca spion. Bayangan itu menatapnya, dan ia melihat bayangan itu tersenyum. Raka merasa takut, ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia merasa bahwa ia adalah bagian dari bayangan itu.

Raka mengendarai mobilnya, dan ia melihat sebuah cermin yang tergantung di dinding. Ia melihat pantulan dirinya yang ketakutan, dan ia melihat bayangan di belakangnya. Bayangan itu menatapnya, dan ia melihat bayangan itu melambaikan tangannya. Raka langsung memejamkan matanya, mengambil napas dalam-dalam, dan ketika ia membukanya, bayangan itu menghilang. Ia terus mengendarai mobilnya, mencoba melarikan diri dari bayangannya sendiri. Namun, ia tidak tahu bahwa ia tidak bisa melarikan diri dari apa yang ada di dalam dirinya.

Ia tiba di sebuah rumah yang tidak ia kenal. Ia keluar dari mobilnya, dan ia berjalan ke pintu. Ia membuka pintu, dan ia masuk ke dalam. Rumah itu terasa sangat familiar. Ia berjalan ke ruang tamu, dan ia melihat sebuah cermin besar yang tergantung di dinding. Ia melihat pantulan dirinya, dan ia melihat bayangan di belakangnya. Bayangan itu menatapnya, dan ia melihat bayangan itu tersenyum jahat. Raka berteriak, ia langsung berlari ke luar. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Ia tidak tahu di mana ia berada. Ia hanya ingin melarikan diri dari bayangannya sendiri. Ia kembali ke mobilnya, dan ia mengendarainya menjauh dari rumah itu. Namun, ia tidak tahu bahwa rumah itu adalah rumah Mira. Ia tidak tahu bahwa ia yang mengendarai mobilnya ke sana. Ia tidak tahu bahwa ia yang membuka pintu. Ia tidak tahu bahwa ia adalah bagian dari kegilaan itu sendiri.Raka tidak bisa melarikan diri. Entah bagaimana, ia selalu kembali ke tempat yang sama: rumah Mira. Ia mengemudi selama berjam-jam tanpa tujuan, menembus malam yang pekat, tetapi setiap kali ia berhenti, ia menyadari bahwa ia berada di jalan yang sama yang mengarah ke rumah tua itu. Seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang mengendalikan setir mobilnya, memaksa ia untuk menghadapi kegilaan yang ia coba hindari. Ia akhirnya menyerah, mematikan mesin mobil, dan menatap ke arah rumah yang sunyi itu. Ia tahu ia tidak akan bisa bersembunyi. Satu-satunya jalan keluar adalah menghadapi apa pun yang menunggu di dalam.

Dengan tangan gemetar, Raka keluar dari mobil dan berjalan ke arah pintu depan. Kali ini, ia tidak perlu mendobraknya. Pintu itu terbuka sedikit, seolah menunggunya. Aroma apek dan lembap yang sama menyambutnya, namun kali ini bercampur dengan bau yang lebih busuk, bau tanah dan sesuatu yang menyerupai karat. Raka melangkah masuk, merasakan energi dingin merayap di kulitnya. Ruangan-ruangan di lantai satu tampak kosong seperti sebelumnya, tetapi ia merasakan kehadiran yang tak terlihat. Ia memutuskan untuk naik ke lantai dua, mengikuti dorongan yang tak bisa ia jelaskan.

Di lantai atas, ia menemukan sebuah ruangan yang sebelumnya ia lewatkan. Pintu ruangan itu terbuat dari kayu tebal dan terkunci. Raka mencari cara untuk membukanya, dan ia menemukan sebuah kunci tua tersembunyi di bawah keset di depan pintu. Ia membuka kunci itu, dan ia terkejut melihat apa yang ada di dalamnya.

Ruangan itu dipenuhi dengan foto-foto yang ditempel di dinding, seperti sebuah museum kejahatan. Foto-foto itu menunjukkan wajah-wajah orang yang hilang yang ia lihat di catatan-catatan di kantornya. Ada foto-foto korban, lengkap dengan detail waktu, lokasi, dan metode yang digunakan untuk "menghilangkan" mereka. Raka melihat foto seorang pria tua yang ia kenali sebagai tetangganya, seorang wanita muda yang ia lihat di taman, dan seorang anak kecil yang ia lihat di toko buku. Semua foto itu memiliki tanda-tanda kekerasan, tetapi yang membuat Raka ngeri adalah, ia melihat dirinya sendiri di setiap foto itu. Tidak dalam bentuk pantulan, melainkan ia yang ada di samping para korban. Di satu foto, ia terlihat sedang berbicara dengan korban; di foto lain, ia terlihat sedang mendorong korban ke dalam mobil; dan di foto lainnya, ia terlihat sedang tersenyum jahat ke arah kamera.

Raka tidak bisa bernapas. Ia tidak mengingat semua ini. Ia tidak bisa percaya bahwa ia melakukan semua itu. Ia melihat ke sekeliling ruangan, dan ia melihat foto-foto yang ditempel di dinding, menunjukkan bahwa Mira dan ia terhubung secara psikologis lebih dalam daripada yang ia sadari. Ada foto-foto mereka berdua saat kecil, di taman bermain, di pesta ulang tahun, dan di sekolah. Raka tidak mengingat semua itu. Ia tidak pernah bertemu Mira sebelum Mira menjadi pasiennya. Ia merasa otaknya sedang dipermainkan. Ia merasa bahwa ia tidak bisa membedakan antara ingatan asli dan ingatan palsu.

Di sudut ruangan, ada sebuah meja kerja yang berantakan, penuh dengan buku sketsa dan catatan-catatan. Di antara tumpukan itu, ia menemukan sebuah catatan yang ditulis dengan tulisan tangan Mira. Catatan itu menceritakan tentang bagaimana Mira merasa ia adalah bayangan yang menguasai dirinya. Mira menulis bahwa ia tidak tahu mengapa, tetapi ia merasa ia dan Raka adalah dua sisi dari satu koin. Mira juga menulis bahwa ia mencoba melawan bayangan itu, tetapi ia terlalu kuat. Ia menulis bahwa ia telah membunuh semua orang itu, tetapi ia tidak mengingatnya. Ia menulis bahwa ia ingin membunuh dirinya sendiri, tetapi bayangan itu selalu mencegahnya.

Raka merasa pusing. Ia duduk di kursi, mencoba mencerna semua informasi itu. Ia mulai meragukan identitasnya sendiri. Apakah ia adalah Raka yang ia kenal? Apakah ia adalah bayangan yang mengendalikan Mira? Apakah ia adalah pembunuh yang tidak sadar? Ketegangan mencapai puncak, pikiran Raka terasa seperti kaca yang retak, siap pecah kapan saja. Ia melihat bayangan yang bergerak di belakangnya. Ia langsung berbalik, tetapi tidak ada siapa-siapa.

Ia melihat ke sekeliling, dan ia melihat sebuah cermin besar yang berdiri di sudut ruangan. Ia tidak bisa menahan rasa penasarannya. Ia berjalan ke arah cermin itu, dan ia melihat pantulan dirinya yang pucat dan ketakutan. Tiba-tiba, ia melihat bayangan di cermin itu berubah. Pantulan dirinya menghilang, dan yang ada di sana adalah pantulan Mira. Mira menatapnya, matanya cekung dan kosong, seolah menatapnya dari kehidupan lain. Raka berteriak, ia langsung menoleh ke belakang. Ruangan itu kosong. Ia kembali menoleh ke cermin, dan ia melihat pantulan Mira. Mira tersenyum, dan ia melihat Mira melambaikan tangannya. Raka menjauh dari cermin, dan ia melihat pantulan Mira yang tersenyum jahat. Raka tahu, ini bukan Mira, ini adalah bayangan yang mengendalikan Mira.

Raka tidak bisa melarikan diri. Ia tidak bisa keluar dari ruangan itu. Ia merasa seperti ada yang mengunci pintu dari luar. Ia menggedor pintu, tetapi tidak ada jawaban. Ia merasa terperangkap, sendirian di dalam ruangan itu. Ia merasa bahwa ia tidak bisa melarikan diri dari bayangannya sendiri. Ia berjalan ke arah cermin, dan ia melihat pantulan Mira. Mira menatapnya, dan ia melihat Mira menunjuk ke arahnya. Raka menoleh ke belakang, dan ia melihat sebuah catatan kecil di meja. Catatan itu ditulis dengan tulisan tangan Mira, dan berisi kalimat yang sangat menyeramkan: “Aku akan membawamu bersamaku.” Raka tahu, Mira tidak akan membawanya. Bayangan itu yang akan membawanya.

Raka merasa pusing, ia merasa ingin muntah. Ia berjalan ke arah cermin, dan ia melihat pantulan Mira. Mira menatapnya, dan ia melihat Mira tersenyum. Raka merasa takut, ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak tahu harus pergi ke mana. Ia merasa bahwa ia adalah bagian dari kegilaan itu sendiri. Ia kembali menatap cermin, dan ia melihat pantulan Mira. Mira menatapnya, dan ia melihat Mira tersenyum. Raka menutup matanya, mengambil napas dalam-dalam, dan ketika ia membukanya, ia melihat pantulan Mira menghilang. Yang ia lihat adalah pantulan dirinya, yang tersenyum jahat ke arahnya. Raka tahu, ia adalah bagian dari kegilaan itu. Ia adalah bayangan yang ia coba lupakan. Dan ia tidak bisa melarikan diri dari bayangannya sendiri.

Raka tidak bisa lagi membedakan antara dirinya dan bayangan itu. Setelah melihat pantulan Mira yang kemudian berubah menjadi pantulan dirinya yang tersenyum jahat, kesadaran Raka pecah. Ia duduk di lantai, bersandar di dinding, matanya kosong menatap cermin besar di depannya. Di satu sisi, ia adalah Raka, psikolog yang berintegritas, yang selalu berusaha membantu orang. Di sisi lain, ia adalah bayangan itu, sisi gelap yang kejam dan tak terkendali. Ia tidak tahu siapa di antara mereka yang asli.

Ia mencoba mengingat masa lalunya, mencari ingatan yang bisa membuktikan bahwa ia adalah Raka yang asli. Ia mencoba mengingat momen-momen indah, tawa, dan kebahagiaan. Tetapi setiap kali ia mencoba, yang muncul adalah bayangan-bayangan gelap, kilasan-kilasan kekerasan yang tidak ia sadari. Ia melihat dirinya sendiri di taman, bersembunyi di balik semak-semak, mengawasi seorang anak kecil yang bermain. Ia melihat dirinya sendiri di sebuah gang gelap, mendorong seorang pria tua ke tanah. Ia melihat dirinya sendiri di sebuah mobil, menertawakan seorang wanita yang ketakutan. Semua itu terasa nyata, seolah-olah itu adalah ingatannya sendiri, tetapi ia tidak bisa menerimanya.

Raka tidak bisa lagi menolak kenyataan yang retak. Ia adalah pembunuh yang tidak sadar. Semua korban yang ia lihat di foto-foto itu, semua catatan yang ia baca, semua itu adalah perbuatannya. Mira bukanlah pembunuh, ia adalah korban. Ia adalah korban yang tidak berdaya, yang dikendalikan oleh bayangan yang sama yang kini mengendalikan Raka. Mira mencoba memperingatkannya, tetapi ia terlalu buta untuk melihatnya.

Rasa bersalah dan penyesalan itu begitu besar, Raka merasa seperti ia akan tenggelam di dalamnya. Ia ingin melarikan diri, tetapi ia tidak tahu harus pergi ke mana. Ia merasa terjebak di dalam rumah itu, di dalam kegilaannya sendiri. Ia mendengar suara bisikan, yang kali ini bukan dari Mira, tetapi dari dirinya sendiri. Bisikan itu tertawa, "Kamu tidak bisa lari dari bayanganmu sendiri."

Tiba-tiba, Raka melihat sesuatu di lantai, di bawah cermin besar itu. Sebuah alat perekam suara kecil. Ia mengambilnya, dan ia melihat lampu merah yang berkedip. Ia menekan tombol putar, dan ia mendengar suara yang sangat familiar. Suara itu adalah suaranya sendiri, tetapi dengan nada yang berbeda, nada yang dingin dan tanpa emosi.

Rekaman itu berisi percakapan antara Raka dan Mira. Raka yang asli, yang mencoba membantu Mira. Tetapi, ada suara lain di dalam rekaman itu, suara yang menyeramkan dan penuh dengan kekerasan. Suara itu adalah suara bayangan. Suara itu memerintahkan Mira untuk melakukan hal-hal yang tidak ia sadari. Suara itu mengancam Mira, dan ia mendengar Mira berteriak, meminta tolong. Tetapi, ia tidak bisa menolongnya.

Rekaman itu juga berisi pengakuan-pengakuan Raka yang tidak ia sadari. Ia mendengar suaranya sendiri, menjelaskan bagaimana ia membunuh para korban itu. Ia mendengar suaranya sendiri, tertawa, dan membanggakan dirinya. Ia mendengar suaranya sendiri, mengakui bahwa ia telah mengendalikan Mira selama ini. Raka merasa jijik. Ia merasa mual. Ia merasa bahwa ia adalah monster.

Raka tidak bisa lagi menyangkalnya. Ia adalah bayangan itu. Ia adalah monster yang ia coba lupakan. Ia adalah pembunuh yang tidak sadar. Ia adalah Mira, dan Mira adalah dirinya. Mereka adalah dua sisi dari satu koin. Raka tidak bisa lagi menahannya. Ia ingin melarikan diri dari dirinya sendiri. Ia berlari ke arah pintu, mencoba membukanya, tetapi pintu itu terkunci rapat dari dalam. Ia berlari ke jendela, mencoba memecahkannya, tetapi jendela itu tidak bisa pecah. Ia merasa seperti dunia di sekitarnya telah dikendalikan. Dinding-dindingnya seolah-olah bergerak, koridor-koridornya berputar, dan pintu-pintu yang tadinya ada sekarang tidak ada.

Raka merasa terjebak. Ia tidak bisa melarikan diri dari rumah itu. Ia tidak bisa melarikan diri dari kegilaannya sendiri. Ia kembali ke ruangan itu, duduk di depan cermin besar itu. Ia melihat pantulan dirinya yang ketakutan dan putus asa. Ia melihat bayangan yang tersenyum jahat. Ia tidak tahu harus berbuat apa.

Tiba-tiba, Raka merasa seperti ada yang mendorongnya. Ia jatuh ke lantai bawah, menembus lantai yang terasa seperti es yang rapuh. Ia jatuh, dan ia melihat pantulan di cermin besar itu yang retak. Ia melihat pantulan dirinya yang ketakutan. Ia melihat pantulan Mira yang tersenyum. Dan ia melihat mereka berdua, saling menatap, dengan senyum yang menakutkan. Raka tahu, ini adalah akhir. Ini adalah akhir dari Raka yang asli. Ini adalah akhir dari Mira yang tidak berdaya. Dan ini adalah awal dari bayangan yang akan menguasai mereka berdua.

Raka tidak bisa bergerak. Ia hanya bisa menatap pantulan dirinya di cermin yang retak. Ia melihat pantulan Mira. Ia melihat mereka berdua, saling menatap dengan senyum menakutkan. Ia tahu, ia adalah monster itu. Ia adalah bayangan yang ia coba lupakan. Ia tidak bisa melarikan diri dari dirinya sendiri. Ia tidak bisa lari dari bayangannya sendiri. Dan ia tahu, ia akan tinggal di sana selamanya. Ia akan tinggal di sana, terjebak di dalam kegilaannya sendiri.

Raka terbangun. Bukan di lantai rumah tua itu, melainkan di ranjang yang bersih dan putih. Lampu neon di atasnya menyilaukan mata. Aroma disinfektan menyeruak. Ia melihat ke sekeliling, dan ia melihat dinding-dinding putih, peralatan medis, dan perawat yang mengenakan seragam putih. Ia berada di rumah sakit. Kepalanya terasa pusing dan ia tidak bisa mengingat apa-apa.

"Anda sudah bangun, Pak Raka?" tanya seorang perawat dengan suara lembut.

Raka mencoba berbicara, tetapi suaranya serak. "Apa... apa yang terjadi?"

Perawat itu tersenyum, "Anda ditemukan di dalam mobil Anda, di depan sebuah rumah kosong. Anda tidak sadarkan diri, dan kami membawa Anda ke sini."

Raka mencoba mengingat, tetapi pikirannya kosong. Ia hanya bisa mengingat kilasan-kilasan gelap, bisikan-bisikan, dan bayangan-bayangan di cermin. Ia mencoba mengingat Mira, tetapi wajahnya kabur. Ia mencoba mengingat rumah tua itu, tetapi ia tidak bisa.

Beberapa saat kemudian, seorang detektif polisi datang. Ia duduk di samping Raka, menatapnya dengan tatapan tajam. "Pak Raka, kami ingin bertanya beberapa hal."

"Saya... saya tidak ingat apa-apa," kata Raka dengan suara bergetar.

"Kami menemukan beberapa catatan dan foto di mobil Anda," kata detektif itu, "dan kami juga menemukan alat perekam suara."

Jantung Raka berdebar kencang. Ia mencoba mengingat rekaman itu, tetapi ia tidak bisa. Ia mencoba mengingat catatan-catatan itu, tetapi ia tidak bisa. Ia merasa seperti ada yang mengunci ingatannya.

"Kami juga menemukan laporan orang hilang," kata detektif itu, "dan kami menemukan jejak kaki Anda di setiap lokasi. Kami menemukan darah Anda di beberapa lokasi. Kami juga menemukan DNA Anda di beberapa lokasi," kata detektif itu, "dan kami menemukan sidik jari Anda di beberapa lokasi."

Raka tidak bisa berbicara. Ia hanya bisa menatap detektif itu, merasa ketakutan. Ia adalah seorang psikolog, bukan seorang pembunuh. Ia tidak bisa melakukan semua itu. Ia tidak bisa melukai siapa pun. Ia tidak bisa membunuh siapa pun.

"Kami menemukan catatan yang menjelaskan bagaimana Anda membunuh para korban," kata detektif itu, "dan kami menemukan catatan yang menjelaskan bagaimana Anda mengendalikan mereka. Kami juga menemukan catatan yang menjelaskan bagaimana Anda mengendalikan Mira. Dan kami menemukan catatan yang menjelaskan bagaimana Anda membunuh Mira."

Raka merasa pusing. Ia merasa ingin muntah. Ia adalah monster. Ia adalah pembunuh. Ia adalah bayangan itu. Ia adalah Mira. Dan Mira adalah dirinya. Mereka adalah dua sisi dari satu koin. Raka tidak bisa lagi menyangkalnya. Ia adalah monster yang ia coba lupakan. Ia adalah pembunuh yang tidak sadar.

Detektif itu melanjutkan, "Kami tidak menemukan bukti kejahatan yang nyata, tidak ada mayat, tidak ada senjata, tidak ada apa-apa selain catatan dan foto-foto itu. Tidak ada sidik jari Anda di lokasi kejadian, tidak ada DNA Anda di lokasi kejadian, tidak ada apa-apa. Kami tidak bisa menahan Anda, tetapi kami akan terus mengawasi Anda."

Detektif itu pergi, meninggalkan Raka sendirian. Raka merasa lega, tetapi rasa takut itu masih ada. Ia merasa bahwa ia adalah bagian dari kegilaan itu sendiri. Ia melihat pantulan dirinya di jendela rumah sakit, dan ia melihat bayangan yang tersenyum jahat. Ia tahu, ia tidak bisa lari dari bayangannya sendiri. Ia adalah bayangan itu.

Beberapa hari kemudian, Raka diizinkan pulang. Ia kembali ke rumahnya, dan ia melihat rumahnya kosong dan sunyi. Ia berjalan ke ruang tamu, dan ia melihat cermin yang telah ia tutupi. Ia menyibak kain itu, dan ia melihat pantulan dirinya yang ketakutan. Ia melihat bayangan yang bergerak di belakangnya. Ia langsung berbalik, tetapi tidak ada siapa-siapa.

Ia mendengar bisikan yang sama dari bab pertama, seolah Mira masih ada. "Kamu tidak bisa lari dari bayanganmu sendiri."

Raka tidak bisa lagi menahannya. Ia berlari ke kamar mandi, dan ia melihat cermin di dinding. Ia melihat pantulan dirinya yang ketakutan, dan ia melihat bayangan yang tersenyum jahat. Ia mengambil pisau cukur, dan ia mengarahkannya ke lehernya. Ia tidak bisa hidup dengan kegilaan ini lagi. Ia tidak bisa hidup dengan bayangan ini lagi. Ia tidak bisa hidup dengan monster ini lagi.

Tiba-tiba, ia mendengar suara yang sangat familiar. Suara itu adalah suara Mira. "Raka... jangan... jangan lakukan itu..."

Raka menjatuhkan pisau itu. Ia melihat ke sekeliling, tetapi tidak ada siapa-siapa. Ia melihat ke cermin, dan ia melihat pantulan Mira. Mira menatapnya, dan ia melihat Mira tersenyum. Raka tahu, ini bukan Mira, ini adalah bayangan yang mengendalikan Mira.

Raka kembali ke ruang tamu, dan ia duduk di depan cermin besar itu. Ia menatap pantulan dirinya, dan ia melihat pantulan Mira. Ia melihat mereka berdua, saling menatap, dengan senyum menakutkan. Raka tahu, ia adalah bagian dari kegilaan itu. Ia adalah monster yang ia coba lupakan. Ia adalah pembunuh yang tidak sadar.

Di akhir, Raka menatap pantulan dirinya di cermin selnya. Di balik pantulan itu, ada pantulan Mira, tersenyum dan melambaikan tangan, seolah berkata, "Selamat datang di dunia kami." Raka akhirnya mengerti. Mereka tidak pernah berbeda. Mereka adalah satu. Ia adalah Mira, dan Mira adalah dirinya.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)