Masukan nama pengguna
Bisikan itu datang lagi. Bukan bisikan biasa, melainkan suara yang berdesir seperti daun kering di tengah malam, memanggilnya dengan nama yang bukan miliknya. Senja. Reno menekan pelipisnya, berharap denyutan di kepalanya mereda. Ia baru saja selesai mengantarkan surat terakhirnya hari itu. Udara sore di Jakarta terasa lembap dan lengket, menusuk kulitnya. Ia memarkir motornya di garasi kecil di samping rumah kontrakan. Suara mesin yang mati tak mampu membungkam bisikan itu.
"Tidakkah kau merindukannya, Reno?" Suara itu berbisik, lembut namun penuh rayuan. "Aroma darah yang kental, kepuasan yang tak terlukiskan..."
Reno menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Pergi," bisiknya, suaranya serak. "Aku tidak ingin mendengarnya."
Ia berjalan masuk ke dalam rumah, menanggalkan seragamnya yang lusuh. Lima tahun. Lima tahun ia hidup dalam ketenangan, membangun kembali hidupnya dari puing-puing kegelapan masa lalu. Ia bekerja sebagai tukang pos, rutinitas yang membosankan namun menenangkan. Ia menghindari keramaian, berbicara seperlunya, dan menghabiskan malamnya dengan membaca buku atau mendengarkan musik klasik. Ia berusaha menjadi manusia normal, manusia yang utuh.
Namun, Senja, alter ego yang ia benci, tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya tertidur, menunggu momen yang tepat untuk bangkit. Dan sekarang, bisikan itu kembali, lebih kuat dari sebelumnya.
Malam itu, Reno berbaring di kasurnya, menatap langit-langit kamar yang kusam. Bisikan Senja berputar-putar di kepalanya seperti lalat yang terperangkap. Ia mencoba mengalihkan pikirannya. Ia memikirkan Ibu, wanita yang membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Ibu yang selalu percaya bahwa di balik kegelapan ada cahaya. Ibu yang meninggal tiga tahun lalu, meninggalkannya sendirian menghadapi hantu-hantunya.
Air mata menetes di pipinya. Ia merasa lelah. Lelah melawan dirinya sendiri. Ada bagian dari dirinya yang ingin menyerah, membiarkan Senja mengambil alih. Ia merindukan sensasi itu, adrenalin yang membakar, kekuasaan yang ia rasakan saat nyawa seseorang berada di tangannya. Namun, ada bagian lain yang menjerit, berteriak, memohon agar ia tetap kuat.
Esok harinya, Reno bangun dengan perasaan yang campur aduk. Bisikan Senja masih ada, namun kini ia lebih halus, lebih manipulatif. "Hanya satu, Reno. Satu saja, untuk meredakan hasrat ini. Setelah itu, kau bisa kembali menjadi dirimu yang membosankan."
Reno berusaha menepis pikiran itu. Ia memakai seragamnya, mengikat tali sepatunya, dan mengambil kunci motornya. Sepanjang jalan, ia melewati berbagai macam orang. Pasangan yang saling berpegangan tangan, ibu-ibu yang berbelanja, anak-anak yang bermain di taman. Wajah-wajah yang penuh kehidupan, yang Senja ingin padamkan.
"Lihatlah mereka," bisik Senja. "Betapa mudahnya memadamkan cahaya itu. Betapa fana kehidupan ini."
Reno mempercepat laju motornya. Ia harus cepat sampai di kantor. Ia harus sibuk, ia harus bekerja. Rutinitas adalah bentengnya, pelindung terakhirnya dari kegelapan.
Hari itu, ia mengantarkan surat ke sebuah apartemen mewah. Ia naik lift, merasakan jantungnya berdebar kencang. Lift itu kosong, hanya ada ia dan bayangannya di cermin. "Aku di sini," bisik Senja, suaranya terdengar dari pantulan di cermin. "Di dalam dirimu, selalu."
Reno mengepalkan tangannya. Keringat dingin membasahi punggungnya. Ia berusaha mengendalikan napasnya, menenangkan dirinya. Pintu lift terbuka. Ia berjalan keluar, mencari nomor apartemen yang tertera di surat.
Saat ia menyerahkan surat itu kepada seorang wanita muda, tangannya gemetar. Wanita itu menatapnya dengan aneh, dan Reno segera berbalik. Ia berjalan cepat, seolah dikejar sesuatu. Ya, ia memang dikejar. Dikejar oleh dirinya sendiri.
Saat ia sampai di motornya, ia merasakan dorongan kuat untuk kembali. Untuk melakukan sesuatu yang mengerikan. Bisikan Senja menjadi raungan, menguasai pikirannya. Ia melihat sebuah pisau buah tergeletak di samping tempat sampah. Matanya terpaku pada kilauan logam itu.
"Ambil," bisik Senja. "Ambil, Reno. Ambil dan rasakan kembali kekuasaan itu."
Reno menelan ludah. Tubuhnya terasa berat, namun kakinya mulai melangkah. Namun, ia melihat seorang anak kecil bermain sepeda di depannya. Anak itu tertawa riang, dan tawanya menusuk jantung Reno. Ia melihat kebahagiaan yang murni, yang ia tahu tidak akan pernah bisa ia miliki. Reno terdiam, matanya berkaca-kaca.
"Tidak," bisiknya, suaranya penuh penyesalan. "Aku tidak bisa."
Ia kembali ke motornya dan memacu gas. Ia melaju tanpa arah, berharap bisa meninggalkan Senja di belakang. Ia melintasi jalan-jalan yang ramai, melihat wajah-wajah yang tak terhitung jumlahnya, namun ia merasa sendirian. Ia merasa terperangkap dalam penjara yang dibangun oleh dirinya sendiri.
Ketika ia sampai di rumah, hari sudah gelap. Ia tidak makan malam. Ia hanya duduk di sofa, memeluk lututnya, dan mendengarkan bisikan Senja yang semakin tak terkendali. "Kau lemah, Reno. Kau pengecut. Kau tidak akan pernah bisa lepas dariku."
Reno menutup telinganya, namun bisikan itu terus menembus. Ia tahu, benteng pertahanannya mulai runtuh. Dan saat benteng itu runtuh, kehancuran akan datang. Ia tidak tahu kapan, ia hanya tahu itu tak terhindarkan.
Ia memikirkan jalan keluar. Haruskah ia menyerahkan dirinya? Berlari ke kantor polisi dan berteriak, "Aku seorang pembunuh! Tangkap aku!" Tapi siapa yang akan percaya? Ia tidak memiliki bukti, dan kejahatan yang ia lakukan di masa lalu tidak pernah terungkap. Ia hanya akan dianggap gila, dan ia tidak ingin menghabiskan sisa hidupnya di rumah sakit jiwa, terperangkap dalam kegilaan yang sama.
Malam itu, Reno tidak bisa tidur. Bisikan Senja berubah menjadi bisikan dari korban-korbannya. Suara tangisan, jeritan, dan permohonan yang menusuk. Ia melihat wajah-wajah mereka dalam kegelapan, mata-mata yang penuh ketakutan. Ia merasa mual, kepalanya pusing, dan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
Ia bangkit dari kasurnya dan berjalan ke kamar mandi. Ia melihat bayangannya di cermin. Bayangan itu terlihat lelah, matanya cekung, dan di dalamnya terdapat bayangan lain: sosok yang tersenyum jahat, sosok yang ia kenal sebagai Senja.
"Kita akan bersenang-senang, Reno," bisik Senja dari dalam cermin. "Sangat bersenang-senang."
Reno memecahkan cermin itu dengan tinjunya. Pecahan kaca berhamburan, dan ia merasakan sakit yang tajam di tangannya. Darah menetes di wastafel. Namun, rasa sakit itu terasa membebaskan. Rasa sakit itu mengingatkannya bahwa ia masih hidup, bahwa ia masih ada, dan bahwa ia masih memiliki kendali.
Ia membalut lukanya dengan handuk, air matanya menetes. Ia tidak bisa lari lagi. Ia harus menghadapi kenyataan. Ia adalah Reno, tukang pos yang pendiam. Tapi ia juga Senja, pembunuh berantai yang haus darah. Dua sisi dari satu koin, yang tidak akan pernah bisa dipisahkan.
Pagi harinya, Reno pergi bekerja seperti biasa. Namun, kali ini, ada yang berbeda. Bisikan Senja tidak lagi memohon. Ia memerintah. "Malam ini, Reno. Malam ini, kau akan menyerah padaku. Kau akan mencari mangsa, dan kau akan kembali merasakan kekuasaan itu."
Reno mengabaikannya, namun ia tahu di dalam hatinya bahwa ia tidak bisa. Ia tidak bisa melawan bisikan yang kini telah menjadi perintah. Ia merasakan sebuah kekuatan yang tak terlihat menariknya ke dalam jurang. Ia melihat ke sekelilingnya, dan dunia tampak berbeda. Wajah-wajah orang di sekitarnya tidak lagi terlihat penuh kehidupan. Mereka terlihat seperti mangsa, seperti korban yang menunggu untuk dimangsa.
Reno memejamkan matanya, memohon agar kegelapan tidak datang. Namun, kegelapan itu tidak pernah pergi. Ia hanya menunggu, di dalam dirinya, di dalam jiwanya, untuk bangkit dan mengambil alih. Dan malam ini, kegelapan itu akan bangkit.
Malam datang, membawa serta kegelapan yang pekat. Reno duduk di pinggir kasur, tangannya menggenggam pisau buah yang ia ambil di dapur. Matanya kosong, pikirannya dipenuhi bisikan-bisikan yang kini tidak lagi memohon, melainkan memerintah. "Sudah waktunya, Reno. Sudah waktunya untuk kembali pada dirimu yang sebenarnya." Bisikan itu terasa seperti suara yang keluar dari dirinya sendiri, bukan suara orang lain. Ia tahu, perjuangannya telah berakhir. Senja telah menang.
Reno tidak melawan. Ia berdiri, memakai jaket hitamnya, dan menyelipkan pisau ke dalam saku. Ia berjalan keluar dari rumah kontrakannya, menaiki motor, dan melaju tanpa tujuan. Kakinya bergerak dengan sendirinya, seolah-olah ada kekuatan lain yang mengendalikannya. Matanya mengamati sekeliling, mencari mangsa. Tidak ada lagi penyesalan, tidak ada lagi rasa takut. Hanya ada kekosongan yang mengerikan, dan di dalamnya, ada rasa haus yang tak terpuaskan.
Motornya berhenti di sebuah gang sempit, di mana lampu jalan yang berkedip-kedip nyaris tidak menerangi. Di depannya, seorang wanita muda berjalan sendirian, menenteng tas belanja. Wanita itu tampak lelah, ia berjalan dengan langkah yang gontai. Reno tidak mengenalnya, tidak tahu namanya, tidak tahu ceritanya. Tapi ia tahu, wanita itu adalah mangsanya.
Ia turun dari motor, berjalan pelan di belakang wanita itu. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena ketakutan, melainkan karena kegembiraan yang mengerikan. Ia merasakan adrenalin yang membakar, sebuah sensasi yang ia kenal dengan baik. Aroma darah, bisik Senja, aroma yang kau rindukan. Reno tidak menjawab. Ia hanya terus berjalan, mengikuti wanita itu, bayangannya memanjang di depannya.
Wanita itu mendengar langkah kaki di belakangnya dan berbalik. Wajahnya dipenuhi ketakutan saat melihat sosok Reno. Ia membuka mulutnya untuk berteriak, namun terlambat. Dalam hitungan detik, Reno sudah berada di depannya, menutupi mulutnya, dan menariknya ke dalam kegelapan gang. Pisau di tangannya bergerak dengan cepat dan tanpa ampun. Jeritan wanita itu teredam, dan tak lama kemudian, keheningan kembali.
Tubuh wanita itu tergeletak tak berdaya di tanah, dan Reno menatapnya. Tidak ada rasa kasihan, tidak ada penyesalan. Hanya ada kepuasan yang dingin, seperti ia sedang mengisi sebuah kekosongan yang telah lama ada di dalam dirinya. Ia merasakan kekuatan, kontrol, dan dominasi. Ia adalah Tuhan, dan wanita itu adalah pengorbanannya.
Setelah beberapa saat, Reno bangkit. Ia membersihkan pisau di pakaian korban, lalu menyimpannya kembali ke saku. Ia berjalan keluar dari gang itu, tidak melihat ke belakang. Ia menaiki motornya dan melaju pergi, meninggalkan mayat dan kejahatan di belakangnya. Malam itu, ia tidak kembali ke rumah. Ia melaju tanpa arah, menikmati sensasi baru yang telah lama hilang.
Bisikan-bisikan Senja kini tidak lagi ada. Yang ada hanyalah suara hatinya sendiri, yang kini beresonansi dengan hasrat pembunuhan. Ia merasakan koneksi yang kuat dengan kegelapan, seolah-olah ia telah kembali ke tempat yang seharusnya. Ia melihat dunia dengan cara yang berbeda, melihat kelemahan dalam setiap orang, dan tahu cara untuk mengeksploitasinya.
Namun, di tengah-tengah euforia yang mengerikan itu, ada sebuah suara kecil di dalam dirinya, suara yang penuh ketakutan dan penyesalan. Suara itu adalah sisa-sisa dari Reno yang lama, Reno yang ingin menjadi manusia normal. Suara itu berbisik, "Apa yang telah kau lakukan? Kau telah kembali ke neraka." Reno mengabaikannya. Suara itu terlalu lemah, terlalu rapuh, dan terlalu jauh.
Ia melaju hingga pagi, saat matahari terbit di cakrawala, mewarnai langit dengan warna oranye dan merah. Pemandangan itu, yang dulunya indah baginya, kini terlihat seperti tumpahan darah di langit. Ia merasakan geliat di dalam dirinya, sebuah kegembiraan yang tak bisa dijelaskan. Langit pagi itu adalah miliknya, dan kegelapan di dalamnya adalah mahkotanya.
Saat ia sampai di rumah, ia tidak merasakan lelah. Ia tidak tidur. Ia hanya duduk di sofa, menatap keluar jendela, melihat dunia yang ia benci, dunia yang ingin ia hancurkan. Ia tahu, pembunuhan pertama itu hanyalah awal. Ia tahu, Senja akan terus haus, dan ia akan terus memberinya makan. Ia tidak lagi peduli. Ia sudah menyerah, dan kini ia hanya menunggu.
Pagi itu, berita tentang pembunuhan di gang sempit menyebar. Reno melihat berita itu di televisi, namun ia tidak merasakan apa-apa. Ia melihat wajah korban yang tersenyum, yang kini telah tiada. Ia melihat wajah detektif yang bertanggung jawab atas kasus itu. Seorang detektif veteran bernama Bima.
Reno mengenali wajah Bima. Ia pernah melihatnya di berita, bertahun-tahun yang lalu. Bima adalah detektif yang menangani kasus lama itu, kasus yang tidak pernah terpecahkan. Kasus yang memicu kegelapan di dalam dirinya. Reno tersenyum sinis. Bima kembali, dan Senja kembali. Ini adalah takdir.
Reno merasa terikat dengan Bima. Ia merasa seperti Bima adalah satu-satunya orang yang bisa memahaminya, meskipun Bima tidak tahu siapa dirinya. Ia tahu Bima akan terus mencari, terus mengorek, dan ia tahu Bima akan menemukan jejaknya. Reno tidak takut. Ia justru menginginkannya. Ia ingin Bima menemukannya, ia ingin Bima mengakhirinya.
Namun, ia juga tahu Bima tidak akan bisa. Karena Bima hanya melihat seorang pembunuh, sementara Reno adalah dua orang: seorang manusia yang putus asa, dan sebuah entitas jahat yang tak terhentikan. Pertarungan antara keduanya tidak akan pernah bisa dimenangkan oleh satu sisi.
Beberapa hari berikutnya, Reno melanjutkan hidupnya sebagai tukang pos. Ia mengantar surat-surat, menyapa orang-orang, dan tersenyum. Namun, di dalam hatinya, ia adalah seorang pemburu. Setiap kali ia melihat seorang wanita berjalan sendirian, ia merasakan hasrat yang membara. Ia mengendalikan dirinya, namun ia tahu ia tidak akan bisa mengendalikan dirinya selamanya. Ia tahu ia akan membunuh lagi, dan ia tahu itu akan terjadi malam ini.
Ia tidak lagi merasa takut. Ia merasa mati rasa. Kegelapan telah mengambil alih, dan ia tidak lagi menjadi tuan atas dirinya sendiri. Ia adalah boneka, dan Senja adalah dalangnya. Ia tahu, tidak ada jalan keluar. Ia adalah monster yang telah terbangun, dan monster itu haus darah.
Malam itu, Reno kembali ke gang gelap. Ia menunggu, mengamati, dan berburu. Ia tidak tahu siapa korbannya kali ini. Ia tidak peduli. Ia hanya ingin merasakan sensasi itu lagi, sensasi yang membuatnya merasa hidup, sensasi yang membuatnya merasa seperti dirinya sendiri. Ia adalah Reno, tukang pos yang pendiam. Tapi ia juga adalah Senja, pembunuh yang akan terus berburu, hingga ia sendiri yang akan dimangsa.
Bau kematian menusuk hidung Bima. Ia telah menjadi detektif selama 25 tahun, namun bau anyir dan manis dari darah yang telah mengering tidak pernah terasa biasa baginya. Ia berdiri di dalam gang sempit yang remang-remang, di mana sebuah mayat tergeletak tak berdaya, terbungkus selimut darurat. Bima adalah detektif veteran, seorang pria dengan rambut yang memutih dan kerutan di sudut matanya, yang menceritakan ribuan kisah kejahatan yang telah ia saksikan. Ia adalah seorang pria yang hidup di dunia yang gelap, namun ia bertekad untuk menjadi cahaya.
"Korban adalah seorang wanita muda, Pak. Namanya Maya. Pekerjaannya kasir di minimarket dekat sini. Tidak ada tanda-tanda perampokan, dompet dan ponsel masih ada," lapor seorang polisi muda, suaranya sedikit gemetar.
Bima hanya mengangguk. Ia berjongkok, menyingkirkan selimut, dan menatap korban. Luka di lehernya rapi, seperti sebuah sayatan yang dibuat oleh seorang ahli bedah. Luka ini, ia kenal dengan baik. Ia telah melihatnya sebelumnya. Bertahun-tahun yang lalu.
Tiba-tiba, kenangan itu menyeruak kembali, seperti hantu dari masa lalu. Kenangan tentang kasus "Pembunuh Bayangan" yang ia tangani lima belas tahun lalu. Kasus itu tidak pernah terpecahkan. Pelakunya tidak pernah ditemukan, dan mayat-mayat itu, dengan luka yang sama, terus menghantuinya. Ia menghabiskan tahun-tahun berikutnya untuk mengejar bayangan, namun ia tidak pernah berhasil. Kasus itu menjadi satu-satunya kegagalan terbesarnya.
Tapi sekarang, bayangan itu telah kembali. Pembunuh Bayangan telah bangkit dari tidurnya. Bima bangkit, matanya penuh dengan determinasi. "Ini dia," gumamnya pelan. "Dia telah kembali."
Ia berjalan keluar dari gang itu, kepalanya pusing, pikirannya berputar-putar. Polisi-polisi muda itu tidak mengerti. Mereka melihatnya sebagai kasus pembunuhan biasa, kasus yang akan segera terlupakan. Namun, Bima tahu, ini adalah sebuah babak baru dari sebuah cerita lama. Sebuah cerita yang ia pikir telah selesai.
Ia kembali ke kantornya, sebuah ruangan kecil yang berantakan, di mana tumpukan-tumpukan berkas dari kasus-kasus lama memenuhi setiap sudut. Ia duduk di kursinya, menyalakan lampu meja, dan mencari berkas-berkas Pembunuh Bayangan. Ia menemukan folder cokelat yang sudah usang, di dalamnya terdapat foto-foto korban, laporan-laporan polisi, dan catatan-catatan yang ia tulis dengan tangannya sendiri.
Ia melihat wajah-wajah korban: seorang mahasiswi, seorang ibu rumah tangga, seorang pekerja paruh waktu. Wajah-wajah yang penuh kehidupan, yang kini telah tiada. Ia melihat laporan-laporan otopsi, dan di dalamnya terdapat detail-detail yang mengerikan: luka di leher yang sama, tidak ada tanda-tanda perlawanan, dan tidak ada bukti forensik yang jelas. Pembunuh itu sangat cerdas, ia tidak meninggalkan jejak. Ia adalah seorang hantu.
Namun, ada satu hal yang ia ingat, sebuah hal kecil yang ia tulis di catatan: seorang saksi mata. Saksi mata itu adalah seorang anak laki-laki berusia 15 tahun, yang melihat bayangan pembunuh itu, namun ia tidak bisa menjelaskan ciri-cirinya. Anak laki-laki itu, namanya... Bima mencari di catatannya, dan ia menemukan sebuah nama: Reno.
Ia ingat pertemuan dengan Reno. Reno adalah seorang anak yang pendiam, trauma, dan ketakutan. Ia tidak bisa memberikan banyak informasi, namun ia memberikan satu hal: ia tahu tempat-tempat yang dikunjungi pembunuh itu, ia tahu pola-pola yang diikuti pembunuh itu. Reno adalah saksi kunci, namun ia terlalu takut untuk berbicara.
Bima mencoba mencarinya. Ia mencarinya di sekolah, di rumah, namun Reno telah menghilang. Ia menghilang ke dalam kegelapan, dan Bima tidak pernah menemukannya. Hingga sekarang.
Bima mengambil ponselnya, menelepon seorang informan lamanya. "Cari tahu tentang seorang pria bernama Reno," katanya. "Umurnya sekarang sekitar 30 tahun. Terakhir terlihat di sebuah kota kecil, tetapi ia bisa saja pindah. Temukan dia, dan bawa dia padaku."
Malam itu, Bima tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh kasus lama dan kasus baru. Ia merasa bersalah. Ia merasa bahwa jika ia bisa menemukan Reno, ia mungkin bisa mencegah semua ini. Jika ia bisa membuat Reno berbicara, ia mungkin bisa menangkap pembunuh itu. Namun, ia gagal. Dan kegagalan itu kini kembali menghantuinya.
Ia melihat foto-foto korban baru, dan ia melihat foto-foto korban lama. Tidak ada perbedaan. Pola yang sama, luka yang sama, dan kengerian yang sama. Ia tahu, pembunuh ini tidak akan berhenti. Ia akan terus membunuh, hingga seseorang menghentikannya. Dan Bima bertekad untuk menjadi orang itu.
Pagi harinya, Bima bangun dengan sebuah ide. Ia tidak akan menunggu Reno ditemukan. Ia akan mencarinya sendiri. Ia akan kembali ke kota kecil di mana Reno terakhir terlihat. Ia akan kembali ke masa lalu, dan ia akan mencari jawaban.
Ia mengendarai mobilnya, meninggalkan Jakarta yang ramai dan menuju ke sebuah kota yang tenang, kota di mana ia pertama kali bertemu Reno. Kota itu tidak berubah. Masih ada toko-toko tua, jalan-jalan yang sepi, dan rumah-rumah yang terlihat sama seperti lima belas tahun lalu. Ia merasa seperti ia telah kembali ke masa lalu.
Ia pergi ke sekolah tua di mana Reno pernah belajar. Ia berbicara dengan kepala sekolah yang sudah pensiun. Ia menunjukkan foto Reno, dan kepala sekolah itu mengangguk. "Ya, saya ingat Reno. Anak yang baik, tapi sedikit tertutup. Dia menghilang setelah orang tuanya meninggal. Sejak itu, saya tidak pernah melihatnya lagi."
Bima pergi ke rumah Reno. Rumah itu kini kosong, dengan jendela-jendela yang pecah dan halaman yang ditumbuhi rumput liar. Ia berjalan masuk, dan ia merasakan energi yang gelap di dalam rumah itu. Ia tahu, sesuatu yang mengerikan telah terjadi di sana. Sesuatu yang telah mengubah Reno.
Ia duduk di sebuah bangku tua di halaman belakang, menatap ke arah matahari terbenam. Ia merasa putus asa. Reno menghilang, dan ia tidak tahu ke mana ia harus mencarinya. Ia merasa seperti ia kembali mengejar bayangan.
Namun, ia tidak akan menyerah. Ia tahu, Reno adalah kunci dari semua ini. Reno adalah satu-satunya orang yang bisa membantunya. Ia akan mencarinya, tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan.
Saat ia kembali ke Jakarta, informan lamanya menelepon. "Saya menemukannya, Pak. Dia tinggal di sebuah kontrakan kecil di pinggir kota. Dia bekerja sebagai tukang pos. Namanya Reno."
Bima merasakan gelombang emosi yang kuat: kelegaan, kebingungan, dan ketakutan. Reno hidup, ia normal, ia bekerja. Bagaimana mungkin ia terhubung dengan Pembunuh Bayangan? Apa yang terjadi padanya? Bima tahu, ia harus bertemu Reno, ia harus berbicara dengannya. Dan ia harus melakukannya dengan hati-hati, karena ia tidak tahu siapa Reno yang sekarang. Ia tidak tahu apakah ia bertemu dengan seorang saksi, atau seorang pembunuh.
Dunia Reno telah terbalik. Pembunuhan kedua adalah pemicu, namun kehadiran Bima adalah bom waktu yang ia tahu akan meledak. Ia melihat Bima dari jauh, melihat detektif tua itu berjalan keluar dari kantor polisi, ekspresi wajahnya yang lelah dan penuh beban. Reno tahu, Bima sedang mengejarnya. Bima sedang mengejar bayangan yang sama yang pernah ia kejar bertahun-tahun lalu. Dan sekarang, bayangan itu telah menemukan wujudnya.
Di cermin, Reno melihat dua sosok. Satu adalah dirinya sendiri, dengan mata cekung dan wajah lelah yang dipenuhi ketakutan. Yang lain adalah Senja, sosok yang kini tidak lagi bersembunyi. Senja berdiri di belakangnya, bayangannya menutupi Reno. Senja tersenyum, senyum yang dingin dan mengerikan, penuh kepuasan.
"Lihatlah," bisik Senja. "Lihat betapa tak berdayanya kau. Lihatlah betapa mudahnya aku menguasai dirimu. Kau pikir kau bisa melarikan diri dariku? Aku adalah dirimu. Aku adalah kegelapan yang selalu ada di dalam dirimu."
Reno memecahkan cermin itu dengan tinjunya, namun bayangan Senja tetap ada, berenang di dalam setiap pecahan kaca. Ia merasa seperti ia sedang terperangkap di dalam sebuah labirin, dan Senja adalah monster yang terus mengejarnya. Ia tidak bisa melarikan diri, ia tidak bisa bersembunyi. Ia hanya bisa menunggu, hingga monster itu akhirnya menangkapnya.
Ia mencoba mencari pertolongan. Ia pergi ke seorang terapis, seorang wanita tua yang baik hati dengan suara yang menenangkan. Reno tidak bisa menceritakan semuanya. Ia hanya bisa menceritakan tentang bisikan, tentang keinginan-keinginan gelap, dan tentang ketakutan yang mencekam. Terapis itu mendengarkan, mengangguk, dan memberinya obat-obatan.
Namun, obat-obatan itu tidak membantu. Obat-obatan itu hanya membuatnya mati rasa, membuatnya merasa seperti sebuah zombie yang tak memiliki emosi. Bisikan-bisikan Senja tidak hilang, mereka hanya menjadi lebih halus, lebih manipulatif. "Dia tidak mengerti, Reno," bisik Senja. "Tidak ada yang mengerti kita. Kita adalah makhluk istimewa, makhluk yang dipilih. Mengapa kau ingin menjadi seperti mereka?"
Reno menghentikan pengobatannya. Ia tidak bisa lagi berpura-pura. Ia tidak bisa lagi bersembunyi di balik obat-obatan. Ia harus menghadapi dirinya sendiri, dan ia harus menghadapi Senja.
Ia memutuskan untuk menjauhi keramaian. Ia mengambil cuti dari pekerjaannya. Ia mengunci dirinya di dalam rumah, berharap dengan mengisolasi dirinya, ia bisa mengendalikan kegelapan di dalam dirinya. Namun, kegelapan itu hanya menjadi lebih kuat. Kesunyian adalah pemicu, kesunyian adalah bensin bagi api Senja.
Ia duduk di sofa, memeluk lututnya, dan mendengarkan bisikan Senja yang semakin tak terkendali. "Mereka akan datang, Reno. Polisi, detektif tua itu, mereka semua akan datang. Dan mereka akan melihat siapa kau sebenarnya. Mereka akan melihat monster yang bersembunyi di balik topeng manusia."
Reno menekan telinganya, namun bisikan itu terus menembus. Ia merasa seperti ia sedang terperangkap di dalam kepalanya sendiri, dan ia tidak bisa menemukan jalan keluar. Ia melihat ke sekelilingnya, dan dunia tampak buram, tak berarti. Ia tidak lagi bisa membedakan antara kenyataan dan fantasi. Ia tidak lagi tahu siapa dirinya.
Suatu malam, ia mendengar ketukan di pintu. Jantungnya berdebar kencang. Ia tidak berani membuka pintu. Ia tahu siapa yang berada di luar. Ia tahu Bima telah menemukannya.
"Reno," panggil sebuah suara dari luar. Suara itu tenang, namun penuh otoritas. "Saya Detektif Bima. Saya tahu kau ada di dalam. Saya hanya ingin berbicara."
Reno tidak menjawab. Ia hanya duduk diam, membeku ketakutan. Bisikan Senja menjadi raungan, "Jangan buka! Dia adalah musuh kita! Dia akan menghancurkan kita!"
Reno ingin membuka pintu. Ia ingin menyerahkan dirinya. Ia ingin mengakhiri semua ini. Namun, tubuhnya membeku. Tangannya gemetar, kakinya tidak bisa digerakkan. Ia merasa seperti sebuah boneka, dan tali-tali yang menggerakkannya berada di tangan Senja.
Beberapa saat kemudian, ketukan di pintu berhenti. Bima pergi. Reno bangkit, berjalan ke jendela, dan melihat Bima pergi. Ia merasakan gelombang kelegaan, namun juga penyesalan. Ia telah kehilangan kesempatan terakhirnya untuk melarikan diri.
Ia kembali ke sofa, dan Senja tertawa. "Lihatlah, Reno. Kau telah memilihku. Kau telah memilih kegelapan. Dan sekarang, kita akan bersenang-senang. Kita akan terus membunuh, hingga kita sendiri yang mati."
Reno tidak bisa lagi melawan. Ia menyerah. Ia membiarkan Senja mengambil alih. Ia membiarkan kegelapan menguasai dirinya. Ia tahu, akhir dari cerita ini tidak akan indah. Ia tahu, ia tidak akan pernah bisa menjadi manusia normal lagi. Ia adalah monster yang telah terbangun, dan ia akan terus membunuh, hingga ia sendiri yang akan dimangsa.
Ia melihat bayangan Senja di dinding, bayangan itu tersenyum, dan Reno tersenyum balik. Senyumnya kering, dingin, dan mengerikan. Ia telah kehilangan dirinya. Ia telah kehilangan jiwanya. Yang tersisa hanyalah cangkang kosong, di dalamnya, terdapat monster yang haus darah.
Sore itu, Jakarta diguyur hujan deras. Bima berdiri di depan sebuah rumah kontrakan kecil, sebuah gubuk reyot dengan cat yang mengelupas. Ia melihat motor tua yang familiar terparkir di garasi kecil di samping rumah. Ini adalah tempatnya, tempat Reno tinggal. Jantung Bima berdebar kencang. Ia telah menunggu momen ini selama bertahun-tahun. Momen untuk menghadapi bayangan masa lalunya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengetuk pintu.
Tidak ada jawaban. Bima mengetuk lagi, lebih keras. Hening. Ia tahu, Reno ada di dalam. Ia bisa merasakannya.
"Reno," panggil Bima, suaranya terdengar dari balik hujan yang deras. "Saya tahu kau ada di dalam. Saya Detektif Bima. Kita perlu bicara."
Hening. Bima tidak menyerah. Ia tahu, Reno adalah seorang saksi, seorang korban, dan mungkin seorang pelaku. Ia harus berhati-hati, namun ia juga harus tegas.
"Saya tahu tentang masa lalu," kata Bima, suaranya kini lebih lembut. "Saya tahu tentang apa yang terjadi di rumahmu. Saya tahu tentang kasus lama. Saya tidak datang untuk menangkapmu, Reno. Saya datang untuk membantumu."
Terdengar suara langkah kaki di dalam. Pintu terbuka sedikit, dan Bima melihat sepasang mata yang penuh ketakutan. Mata itu, ia ingat. Mata yang sama yang ia lihat lima belas tahun lalu, mata seorang anak yang trauma.
Pintu terbuka lebih lebar, dan Bima melihat Reno. Reno yang sekarang berbeda dari Reno yang ia ingat. Wajahnya kurus, matanya cekung, dan di dalamnya terdapat sebuah kekosongan yang mengerikan. Ia terlihat seperti seseorang yang telah berperang dengan dirinya sendiri, dan kalah.
"Apa yang kau inginkan?" tanya Reno, suaranya serak. "Aku tidak tahu apa-apa."
"Aku tahu kau tahu," jawab Bima. "Aku tahu kau melihatnya. Aku tahu kau adalah saksi. Dan aku tahu, pembunuh itu telah kembali."
Reno menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan," bisiknya. "Aku hanya tukang pos. Aku tidak tahu apa-apa tentang pembunuhan."
Bima masuk ke dalam rumah. Rumah itu kecil, kotor, dan berantakan. Ada pecahan cermin di lantai, tumpukan buku yang berserakan, dan suasana yang suram dan mencekam. Bima tahu, ini adalah rumah seorang pria yang sedang berjuang dengan kegilaan.
"Duduk, Reno," kata Bima, suaranya tenang. "Mari kita bicara. Aku tidak akan menyakitimu. Aku berjanji."
Reno duduk di sofa, memeluk lututnya, matanya menatap kosong ke arah Bima. Bima mengambil sebuah kursi dan duduk di depannya. Ia menatap Reno, mencoba melihat ke dalam jiwanya, mencoba melihat monster yang bersembunyi di dalam.
"Aku tahu tentang 'Senja'," kata Bima, suaranya rendah. "Aku tahu tentang trauma yang kau alami saat kau masih kecil. Aku tahu tentang kekerasan yang kau saksikan. Dan aku tahu, entitas yang kau sebut Senja itu, adalah manifestasi dari trauma itu."
Mata Reno membelalak. "Bagaimana kau tahu?"
"Aku telah menghabiskan bertahun-tahun untuk mempelajari kasus itu," jawab Bima. "Aku telah mempelajari setiap detail, setiap kepingan puzzle. Dan aku menemukan satu hal yang selalu terlewatkan: kau. Kau adalah kepingan puzzle yang hilang."
Reno mulai menangis. Tangisannya pelan, namun penuh dengan rasa sakit dan penyesalan. "Aku tidak bisa menghentikannya," bisiknya. "Ia terlalu kuat. Ia selalu ada di dalam diriku."
Bima merasakan gelombang empati yang kuat. Ia tidak melihat seorang pembunuh. Ia melihat seorang korban. Seorang korban dari sebuah kejahatan yang tidak pernah terpecahkan.
"Kau bisa menghentikannya, Reno," kata Bima, suaranya penuh keyakinan. "Kau bisa melawan. Kau bisa mengendalikan dirimu sendiri. Aku akan membantumu."
"Bagaimana?" tanya Reno, suaranya penuh putus asa. "Bagaimana aku bisa melawan sesuatu yang adalah bagian dari diriku sendiri?"
Bima mengeluarkan sebuah foto dari sakunya. Foto seorang wanita muda, korban pertama dari Pembunuh Bayangan yang baru. "Lihatlah dia, Reno," kata Bima. "Dia memiliki nama. Dia memiliki keluarga. Dia memiliki kehidupan yang dicuri darinya. Kau tidak ingin menjadi seperti itu, kan? Kau tidak ingin menjadi pembunuh."
Reno memalingkan wajahnya. Ia tidak bisa melihat foto itu. Bisikan Senja muncul kembali, lembut namun menuntut. "Dia adalah korbanku, Reno. Korban pertama dari kebangkitanku. Kau harus bangga."
Reno mengepalkan tangannya. "Aku membencinya," bisiknya, suaranya penuh kebencian. "Aku membenci apa yang ia lakukan padaku. Aku membenci diriku sendiri."
Bima merasakan koneksi yang aneh dengan Reno. Ia melihat dirinya di masa lalu, seorang detektif yang putus asa, yang gagal. Ia melihat dirinya yang sekarang, seorang pria yang lelah, yang bertekad untuk memperbaiki kesalahan masa lalunya. Reno adalah kesempatan kedua baginya.
"Kita akan melawannya bersama, Reno," kata Bima. "Kita akan mencari tahu mengapa ia kembali. Kita akan mencari tahu mengapa ia memilihmu. Dan kita akan menghentikannya."
Reno mengangkat kepalanya. Ia menatap Bima, matanya kini penuh harapan. "Kau percaya padaku?"
"Aku tidak percaya pada seorang pembunuh," jawab Bima. "Aku percaya pada seorang manusia yang berjuang. Dan aku melihat perjuangan di dalam dirimu."
Malam itu, mereka berbicara selama berjam-jam. Reno menceritakan semuanya: tentang trauma masa lalu, tentang bisikan Senja, tentang pembunuhan pertama, dan tentang penyesalan yang ia rasakan. Bima mendengarkan, mencatat, dan mengajukan pertanyaan. Ia membangun sebuah gambaran yang jelas tentang apa yang terjadi di dalam diri Reno.
Bima menyadari bahwa Senja bukanlah alter ego biasa. Senja adalah sebuah entitas, sebuah kepribadian yang terbentuk dari trauma dan rasa sakit. Senja adalah manifestasi dari kegelapan yang ada di dalam diri Reno, dan ia hidup di dalam dirinya, menunggu momen yang tepat untuk bangkit.
"Ada satu hal yang harus kau ketahui, Reno," kata Bima, suaranya serius. "Kita akan bekerja sama. Tapi ada satu aturan. Jika kau melakukan pembunuhan lagi, aku akan menangkapmu. Tidak ada pengecualian."
Reno mengangguk. "Aku mengerti," bisiknya. "Aku tidak ingin membunuh lagi. Aku hanya ingin ini semua berakhir."
Malam itu, Bima pergi, meninggalkan Reno sendirian di dalam rumahnya. Namun, kali ini, Reno tidak merasa sendirian. Ia tahu ada seseorang yang percaya padanya, ada seseorang yang ingin membantunya. Harapan itu, yang telah lama hilang, kini kembali.
Ia melihat bayangan Senja di cermin, namun kali ini, ia tidak takut. Ia melihatnya dengan tekad yang baru. Ia tahu, pertarungan belum berakhir. Ia tahu, ia harus berjuang, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk Bima, orang yang telah memberinya kesempatan kedua. Ia adalah Reno, seorang manusia. Dan ia bertekad untuk mengalahkan monster di dalam dirinya.
Cahaya matahari pagi menyusup masuk melalui celah-celah jendela, menerangi debu yang menari-nari di udara. Bima duduk di hadapan tumpukan berkas usang di kantornya, matanya menelusuri setiap detail, setiap kata yang ia tulis belasan tahun lalu. Setelah percakapannya dengan Reno, ia merasa seperti sepotong puzzle yang hilang akhirnya ditemukan. Reno adalah kuncinya, ia tahu itu. Namun, ia tidak hanya ingin menangkap pembunuh, ia ingin memahami. Ia ingin memahami mengapa kegelapan itu memilih Reno.
Bima mengambil berkas lama tentang kasus Pembunuh Bayangan. Di dalamnya, terdapat laporan-laporan polisi, foto-foto TKP, dan catatan-catatan yang ia tulis dengan tangan sendiri. Ia membaca ulang setiap kata, setiap detail. Korban, lokasi, modus operandi—semuanya identik dengan kasus-kasus baru. Namun, ada satu hal yang membedakan: latar belakang para korban.
Korban-korban lama adalah wanita-wanita muda yang memiliki satu kesamaan: mereka berasal dari keluarga yang berantakan, korban kekerasan atau penelantaran. Korban-korban baru juga memiliki pola yang sama. Bima merasa mual. Pembunuh itu tidak hanya membunuh, ia memilih korbannya dengan sangat hati-hati. Ia memilih orang-orang yang lemah, yang rentan, yang tidak akan dirindukan.
Bima mengambil berkas tentang Reno. Di dalamnya, terdapat laporan sosial dari seorang psikolog yang menanganinya saat kecil. Laporan itu menjelaskan bahwa Reno mengalami trauma parah akibat kekerasan yang ia saksikan di rumahnya. Ayahnya adalah seorang pecandu, seringkali memukuli ibunya. Reno, sebagai seorang anak, tidak bisa berbuat apa-apa selain melihat. Ketidakberdayaan itu, rasa sakit itu, dan kebencian yang ia rasakan, semua itu memicu terbentuknya sebuah alter ego, sebuah kepribadian lain yang mengambil alih saat ia merasa tidak berdaya. Senja.
Senja, Bima menyadari, adalah manifestasi dari kemarahan Reno. Senja adalah sosok yang kuat, yang berani, yang melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan Reno. Senja adalah sosok yang mengambil alih saat Reno merasa lemah. Senja adalah pahlawan yang dibenci Reno.
Namun, mengapa Senja kembali? Mengapa ia bangkit setelah sekian lama? Bima membaca laporan psikolog itu lagi, dan ia menemukan sebuah detail yang ia lewatkan. Psikolog itu mencatat bahwa Reno seringkali menceritakan tentang sebuah bisikan, sebuah suara yang memanggilnya dengan nama "Senja". Suara itu, menurut psikolog, adalah suara dari ayahnya, suara yang memaki, suara yang mengancam. Bisikan itu tidak pernah hilang, ia hanya tertidur, menunggu pemicu untuk bangkit.
Bima merasakan gelombang kengerian yang dingin. Pembunuh itu tidak hanya memilih korbannya, ia juga memilih Reno. Ia memilih Reno, karena ia tahu Reno adalah seorang korban, seorang pria yang rentan, seorang pria yang memiliki kegelapan di dalam dirinya. Pembunuh itu, Bima menyimpulkan, adalah seorang manipulator yang cerdas, yang tahu bagaimana memicu kegilaan seseorang.
Ia mengambil ponselnya dan menelepon Reno. "Reno," katanya, "Kita harus bertemu. Aku telah menemukan sesuatu yang penting."
Reno menjawab, suaranya terdengar lelah. "Aku tahu kau menemukannya. Aku tahu tentang masa lalu."
Mereka bertemu di sebuah kafe kecil, di mana aroma kopi yang pekat memenuhi udara. Reno terlihat lebih baik dari sebelumnya. Ada secercah harapan di matanya. Ia minum kopi, dan Bima menatapnya, mencoba memahami.
"Aku membaca berkas lamamu," kata Bima. "Aku membaca tentang trauma yang kau alami. Aku membaca tentang ayahmu."
Mata Reno menggelap. "Jangan bicarakan dia," bisiknya. "Dia adalah alasan dari semua ini. Dia adalah pemicu."
"Dia bukan pemicunya," jawab Bima, suaranya tenang. "Dia adalah alasannya. Pemicunya adalah orang lain."
Reno menatapnya, bingung. "Siapa?"
"Aku tidak tahu," jawab Bima. "Tapi aku tahu, orang ini memiliki pengetahuan tentang masa lalumu. Ia tahu tentang trauma itu. Ia tahu tentang ayahmu. Dan ia menggunakan itu untuk memicu Senja di dalam dirimu."
Reno terdiam. Pikirannya berputar-putar. Ia tidak bisa memercayai apa yang ia dengar. "Siapa yang akan melakukan hal sekeji itu?"
"Seseorang yang memiliki motif," jawab Bima. "Seseorang yang memiliki dendam. Seseorang yang memiliki koneksi dengan masa lalumu."
Bima mengeluarkan sebuah foto dari sakunya. Foto seorang pria tua yang tersenyum. "Kau kenal dia?" tanyanya.
Reno mengambil foto itu. Ia menatapnya, dan wajahnya memucat. Matanya penuh dengan ketakutan. "Tidak," bisiknya. "Tidak mungkin."
"Siapa dia, Reno?" tanya Bima, suaranya penuh urgensi. "Siapa dia?"
"Dia adalah temanku," jawab Reno, suaranya gemetar. "Dia adalah temanku saat aku masih kecil. Dia juga seorang saksi dari kasus itu."
Nama pria itu adalah Arif. Bima ingat namanya. Arif adalah saksi lain yang ia wawancarai. Arif adalah seorang anak yang pendiam, yang selalu melihat ke bawah, yang tidak pernah bisa menatap matanya. Arif adalah anak yang Bima yakini menyembunyikan sesuatu.
"Dia selalu membenci ayahku," kata Reno. "Dia selalu membenci keluargaku. Dia selalu mengatakan bahwa dia akan membalas dendam pada kami."
Bima merasakan gelombang kengerian yang lain. Kasus itu tidak hanya melibatkan satu orang, tetapi dua orang. Dan salah satunya adalah pembunuh.
"Apa yang terjadi pada Arif?" tanya Bima.
"Dia menghilang," jawab Reno. "Seperti aku. Setelah orang tuaku meninggal, dia menghilang. Aku tidak pernah melihatnya lagi."
Bima menatap Reno, matanya penuh dengan simpati. "Reno," katanya. "Arif adalah pelakunya. Dialah yang memulai ini semua. Dialah yang membunuh korban-korban lama. Dan sekarang, ia kembali. Dan ia menggunakanmu, ia menggunakan trauma masa lalumu, untuk melanjutkan kejahatannya."
Reno menangis. Bukan tangisan penyesalan, melainkan tangisan kebingungan. "Mengapa?" bisiknya. "Mengapa dia melakukan ini padaku?"
"Aku tidak tahu," jawab Bima. "Tapi aku akan mencari tahu. Kita akan mencari tahu. Kita akan menemukan Arif, dan kita akan menghentikannya. Tapi kita harus bekerja sama. Kita harus bersembunyi dari matanya, dan kita harus mencari dia sebelum ia menemukanmu."
Reno mengangguk. Matanya penuh tekad. Ia tidak lagi melihat dirinya sebagai korban. Ia melihat dirinya sebagai seorang pejuang. Ia adalah Reno, seorang manusia. Dan ia bertekad untuk mengalahkan monster di dalam dirinya, dan monster yang memicunya.
Perasaan hampa itu kembali. Kali ini, bukan karena kekosongan yang diciptakan Senja, melainkan karena kebenaran pahit yang diungkapkan Bima. Selama ini, Reno menyalahkan dirinya, menyalahkan trauma masa lalunya, menyalahkan bisikan mengerikan yang ia dengar. Namun, ternyata ada dalang di balik semua itu. Temannya, Arif. Sebuah nama yang seharusnya membawa kenangan manis masa kecil, kini berubah menjadi bayang-bayang kelam yang menghantuinya.
Reno dan Bima duduk berhadapan di sebuah kamar motel sederhana, jauh dari hiruk-pikuk kota. Bima menatap Reno, mencoba membaca emosi yang bergejolak di dalam dirinya. "Aku tahu ini berat," ucap Bima, suaranya pelan dan penuh empati. "Tapi sekarang, kita punya arah. Kita punya target. Kita bisa menghentikan semua ini."
Reno hanya mengangguk, matanya masih kosong. Ia teringat masa kecilnya bersama Arif. Mereka adalah dua anak laki-laki yang sama-sama kesepian, terikat oleh trauma yang berbeda. Ayah Reno adalah monster baginya, sedangkan bagi Arif, monster itu adalah ayah Reno. Arif sering melihat kekerasan yang dialami ibu Reno, dan ia berjanji akan membalas dendam. Saat itu, Reno menganggapnya sebagai janji kekanak-kanakan. Sekarang, ia tahu itu adalah sebuah sumpah yang diucapkan dengan sungguh-sungguh.
"Arif... dia selalu iri padaku," bisik Reno, suaranya serak. "Ia bilang aku memiliki kekuatan yang tidak ia miliki. Kekuatan untuk melawan. Padahal, aku hanya bisa melihat."
Bima mendengarkan, mencatat setiap kata yang diucapkan Reno. Ia menyadari, ada motif yang lebih dalam di balik semua ini. Bukan hanya dendam, tetapi juga iri hati dan sebuah obsesi yang mengerikan. Arif tidak hanya ingin membalas dendam pada ayah Reno, ia juga ingin menjadi seperti Reno—atau lebih tepatnya, seperti Senja.
"Aku akan mencarinya," kata Reno, matanya kini penuh dengan tekad. "Aku akan mencarinya, dan aku akan mengakhirinya. Aku tidak akan membiarkannya menggunakan trauma masa laluku lagi."
Bima menggelengkan kepalanya. "Tidak, Reno. Itu terlalu berbahaya. Arif sangat cerdas. Ia tahu bagaimana memicu Senja di dalam dirimu. Jika kau berhadapan dengannya sendirian, kau akan kalah."
"Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanya Reno, suaranya frustrasi. "Aku tidak bisa hanya duduk diam. Aku adalah korbannya! Akulah yang harus mengakhiri semua ini!"
Bima meletakkan tangannya di bahu Reno. "Aku tahu," jawabnya. "Aku mengerti. Tapi kita akan bekerja sama. Kita akan menggunakan dirimu sebagai umpan, dan kita akan menangkapnya."
Reno menatap Bima, matanya penuh kecurigaan. "Menggunakan aku sebagai umpan? Kau ingin aku kembali menjadi pembunuh?"
"Tidak," jawab Bima, suaranya tegas. "Aku ingin kau mengendalikan dirimu. Aku ingin kau melawan Senja. Kita akan memancing Arif keluar, dan kita akan menangkapnya sebelum ia berhasil memicumu. Ini adalah satu-satunya cara, Reno. Jika kita tidak melakukannya, ia akan terus membunuh. Dan kau akan terus menjadi korbannya."
Reno terdiam. Pilihan itu terasa berat, namun ia tahu itu adalah satu-satunya jalan keluar. Ia harus menghadapi musuhnya, dan musuhnya adalah orang yang pernah ia sebut teman. Ia harus menggunakan dirinya sebagai umpan, dan ia harus berjuang untuk mengendalikan kegelapan di dalam dirinya. Ini adalah pertarungan terakhirnya, pertarungan antara Reno dan Senja.
Beberapa hari berikutnya, mereka menyusun rencana. Reno kembali ke rutinitasnya sebagai tukang pos, namun kali ini, ia tidak bekerja sendirian. Bima mengikutinya dari jauh, mengawasinya, melindunginya. Mereka menunggu, menunggu Arif muncul.
Namun, Arif tidak semudah itu. Ia adalah seorang hantu, seorang pembunuh yang tidak meninggalkan jejak. Bima dan Reno menunggu selama berhari-hari, namun tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Reno mulai merasa putus asa. Bisikan Senja kembali muncul, lebih lembut namun lebih manipulatif. "Dia tidak akan datang, Reno. Kau hanya membuang-buang waktumu. Beri aku kendali. Kita akan menemukannya, dan kita akan membunuhnya."
Reno menekan bisikan itu. Ia menolak untuk menyerah. Ia tahu, jika ia menyerah, ia akan kalah. Ia akan kembali menjadi monster, dan Bima akan terpaksa menangkapnya. Ia tidak ingin itu terjadi. Ia tidak ingin mengkhianati Bima, orang yang telah memberinya harapan.
Suatu malam, saat Reno sedang berjalan pulang, ia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Ia menoleh, dan ia melihat bayangan yang familiar. Bukan bayangan Senja, tetapi bayangan Arif. Arif berdiri di ujung gang, matanya bersinar dalam kegelapan. Senyumnya lebar, mengerikan.
"Reno," bisik Arif, suaranya dingin. "Kita bertemu lagi. Kau pikir kau bisa melarikan diri dariku?"
Reno membeku di tempat. Ia tahu, Bima sedang mengawasinya dari jauh, namun ia juga tahu, Bima terlalu jauh. Ini adalah pertarungan antara dirinya dan Arif. Pertarungan yang harus ia menangkan.
"Apa yang kau inginkan?" tanya Reno, suaranya gemetar.
"Aku menginginkanmu," jawab Arif. "Aku menginginkan kekuatan di dalam dirimu. Kekuatan yang ayahmu berikan padamu. Kekuatan yang kau sebut Senja."
Arif berjalan mendekat, dan bisikan Senja di dalam kepala Reno menjadi raungan. "Bunuh dia, Reno! Bunuh dia! Dia adalah musuh kita!"
Reno mengepalkan tangannya. Ia ingin melawan, namun ia juga tahu, ia tidak bisa. Ia tidak bisa melawan Arif dan Senja pada saat yang sama. Ia merasa seperti ia sedang ditarik ke dalam dua arah yang berbeda. Ia merasa seperti ia akan terkoyak menjadi dua.
Tiba-tiba, Bima muncul dari kegelapan. Ia berlari, mencoba menghentikan Arif. Namun, Arif bergerak lebih cepat. Ia menabrak Bima, dan Bima terlempar ke dinding. Ia jatuh, tak berdaya.
Reno melihatnya. Ia melihat Bima, satu-satunya orang yang percaya padanya, terbaring tak berdaya. Rasa marah yang kuat muncul di dalam dirinya. Bukan kemarahan yang dipicu oleh Senja, melainkan kemarahan yang berasal dari dirinya sendiri. Ia marah pada Arif, ia marah pada dirinya sendiri, dan ia marah pada Senja.
"Tidak," bisiknya, suaranya penuh tekad. "Aku tidak akan membiarkanmu."
Ia tidak tahu apa yang ia lakukan. Ia tidak tahu dari mana ia mendapatkan kekuatan itu. Ia hanya tahu, ia harus melindungi Bima. Ia harus melawan Arif. Dan ia harus mengendalikan Senja.
Ia berjalan mendekat ke arah Arif. Matanya tidak lagi dipenuhi ketakutan. Kini, matanya penuh dengan kemarahan yang dingin. Arif menatapnya, kaget. "Kau melawanku?" tanyanya. "Kau melawan takdirmu?"
"Aku bukan takdirmu," jawab Reno, suaranya tenang dan tegas. "Aku adalah diriku sendiri. Dan aku akan menghentikanmu."
Pertarungan pun dimulai. Bukan pertarungan fisik, melainkan pertarungan batin. Arif mencoba memanipulasi Reno, mencoba memicu Senja dengan kata-kata, dengan bisikan-bisikan yang menakutkan. Namun, Reno tidak menyerah. Ia melawan. Ia menggunakan semua kekuatannya untuk menekan Senja, untuk mengendalikan dirinya sendiri.
Ia tahu, ini adalah pilihan yang tak terhindarkan. Pilihan untuk melawan atau menyerah. Pilihan untuk menjadi pahlawan atau monster. Ia memilih untuk melawan. Ia memilih untuk menjadi pahlawan, meskipun ia tahu ia akan kalah. Karena ia tahu, terkadang, kekalahan adalah sebuah kemenangan.
Keringat dingin membasahi dahi Reno. Ia terperangkap di antara dua kekuatan yang saling tarik menarik: bisikan membunuh dari Senja dan suara kebencian dari Arif. Bima tergeletak tak sadarkan diri di sisi jalan, kepalanya membentur trotoar. Reno menatapnya, rasa takut yang menusuk berubah menjadi amarah yang membara. Amarah itu, anehnya, bukan amarah yang ia kenal. Ini adalah amarah Reno, amarah seorang manusia yang didorong ke batasnya.
"Kau melihatnya, Reno?" bisik Arif, suaranya dipenuhi kegembiraan yang mengerikan. "Kau melihat kelemahan. Kau melihat bagaimana orang yang kau percayai, orang yang kau anggap pahlawan, jatuh begitu saja. Sekarang, kau bisa memilih. Pilihan yang tak terhindarkan. Menjadi seperti dia, atau menjadi seperti aku."
Reno tidak menjawab. Ia hanya mengepalkan tangannya. Ia menatap Arif, matanya dipenuhi api. "Kau salah," bisiknya, suaranya serak. "Dia bukan orang yang lemah. Dia hanya percaya padaku."
Arif tertawa terbahak-bahak. "Percaya? Percaya itu adalah kelemahan, Reno. Kekuatan adalah segalanya. Kekuasaan adalah segalanya. Dan kau tahu, kau memilikinya di dalam dirimu. Lepaskan saja, Reno. Lepaskan Senja. Biarkan dia mengambil alih. Kita akan bersenang-senang, seperti dulu."
Kata-kata Arif memicu bisikan di dalam kepala Reno. "Dengarkan dia, Reno! Dia benar! Kita kuat! Kita tidak butuh siapa pun! Biarkan aku keluar! Kita akan membunuh dia!"
Reno menutup matanya, mencoba menekan suara itu. Namun, bisikan itu terlalu kuat. Ia merasakan kegelapan yang familiar merayap di dalam dirinya, menguasai pikirannya, meracuni jiwanya. Ia merasakan tangannya gemetar, bukan karena ketakutan, melainkan karena hasrat untuk membunuh yang membara di dalam dirinya.
Di sampingnya, Bima mulai siuman. Ia mendongak, melihat Reno dan Arif. Ia tahu, ini adalah momen krusial. Ini adalah momen di mana Reno akan membuat pilihannya. "Reno," bisik Bima, suaranya lemah. "Jangan dengarkan dia. Kau bukan dia. Kau bukan pembunuh. Kau bisa melawannya."
Arif tertawa lagi. "Lihatlah dia, Reno. Dia masih mencoba. Dia masih percaya pada dongeng-dongengnya. Sekarang, buktikan padanya bahwa ia salah. Buktikan padanya bahwa kau adalah aku. Buktikan padanya bahwa kita adalah pembunuh!"
Reno menatap Bima. Ia melihat mata detektif itu, mata yang penuh harapan. Harapan yang Reno takuti, karena harapan itu adalah beban berat yang ia tidak bisa pikul. Ia melihat kelemahan di mata Bima, kelemahan yang ia tahu, adalah kebaikan. Dan kebaikan itu, di dunia yang gelap, adalah sebuah kesalahan.
Ia menoleh ke arah Arif. "Kau benar," bisiknya, suaranya dingin dan tanpa emosi. "Kekuatan adalah segalanya."
Wajah Arif bersinar dengan kemenangan. "Akhirnya," bisiknya. "Akhirnya kau memilihku."
Reno mengambil langkah ke depan. Ia mengambil pisau dari saku jaketnya. Pisau itu berkilauan di bawah cahaya lampu jalan yang berkedip-kedip. Ia menatap pisau itu, dan ia melihat bayangan Senja di dalamnya. Bayangan itu tersenyum.
Bima terkejut. Ia mencoba bangkit, mencoba berteriak, namun suaranya tercekat. Ia tahu, ia telah gagal. Ia telah menempatkan kepercayaannya pada orang yang salah.
"Reno," bisik Bima, air mata mengalir di pipinya. "Jangan... jangan lakukan ini..."
Reno tidak mendengarkannya. Ia berjalan mendekati Arif. Arif tersenyum, menganggap ini adalah sebuah kemenangan yang mutlak. "Sekarang, Reno," bisiknya. "Bunuh aku, dan kau akan menjadi dirimu yang sebenarnya."
Reno mengangkat pisaunya. Ia menatap mata Arif, mata yang penuh dengan kegilaan dan kejahatan. Ia melihat ke dalam jiwanya, dan ia melihat kegelapan yang sama yang ia lihat di dalam dirinya sendiri. Ia menyadari, Arif dan Senja adalah dua sisi dari satu koin. Arif adalah pemicu, dan Senja adalah efeknya. Keduanya adalah monster.
Namun, ia juga melihat Bima. Ia melihat mata detektif itu, mata yang penuh dengan kekecewaan dan kesedihan. Ia melihat Bima, yang telah menaruh semua kepercayaannya padanya. Ia melihat Bima, yang adalah satu-satunya harapan terakhirnya.
Tangan Reno gemetar. Ia tidak bisa melakukannya. Ia tidak bisa menjadi monster. Ia tidak bisa mengkhianati Bima.
"Aku tidak akan membunuhmu," bisik Reno, suaranya serak. "Aku tidak akan membunuh siapa pun lagi."
Wajah Arif berubah menjadi marah. "Apa yang kau bicarakan? Apa yang kau lakukan? Bunuh aku! Sekarang!"
Reno tidak menyerah. Ia menurunkan pisaunya. "Aku bukan kau," katanya, suaranya kini penuh tekad. "Aku adalah Reno. Dan aku akan mengakhirimu."
Namun, saat ia menolak untuk menjadi monster, kegelapan di dalam dirinya meledak. Senja, yang telah ia tekan begitu lama, akhirnya mengambil alih. Bukan karena ia menyerah, melainkan karena ia melawan. Senja adalah api, dan perlawanan Reno adalah bensin.
Reno, atau lebih tepatnya Senja, bergerak dengan kecepatan yang mengerikan. Ia menusuk Arif, berulang kali, tanpa ampun, tanpa belas kasihan. Jeritan Arif teredam, dan tak lama kemudian, keheningan kembali. Senja menatap mayat Arif, matanya kosong, namun penuh dengan kepuasan.
Bima melihat semuanya. Ia melihat bagaimana Reno, orang yang ia yakini bisa diselamatkan, berubah menjadi monster di depan matanya. Ia melihat bagaimana harapan terakhirnya hancur berkeping-keping.
Senja, yang kini menguasai tubuh Reno, berbalik. Ia berjalan mendekati Bima, pisaunya masih berlumuran darah. "Kau salah," bisik Senja, suaranya dingin dan mengerikan. "Kau pikir kau bisa menghentikan kami? Kau adalah orang bodoh."
Bima tidak melawan. Ia hanya menatap Senja, matanya dipenuhi kekecewaan yang mendalam. Ia tahu, ia telah kalah. Ia telah kehilangan Reno selamanya.
Senja berdiri di hadapan Bima. Ia mengangkat pisaunya, bersiap untuk mengakhiri segalanya. Namun, tiba-tiba, tubuhnya membeku. Ada perlawanan dari dalam. Reno, yang masih ada di dalam, berjuang. Ia berjuang untuk mengendalikan dirinya, untuk menghentikan Senja.
"Tidaaak..." raung Senja, suaranya penuh amarah. "Lepaskan aku! Lepaskan aku!"
Pertarungan batin itu mengerikan. Bima melihat bagaimana tubuh Reno gemetar, bagaimana matanya berkedip-kedip antara kekosongan dan keputusasaan. Ia melihat bagaimana dua kepribadian itu berjuang untuk menguasai satu tubuh.
Namun, Senja terlalu kuat. Senja, yang telah diberi makan oleh trauma dan rasa sakit selama bertahun-tahun, adalah monster yang tak terkalahkan. Dengan sebuah jeritan yang mengerikan, Senja menguasai tubuh Reno sepenuhnya. Reno, sang manusia, telah kalah.
Senja menatap Bima. Matanya kini penuh dengan kekosongan yang dingin. Ia menurunkan pisaunya, namun ia tidak membunuh Bima. Ia hanya menatapnya, lalu berbalik, dan berjalan pergi, meninggalkan Bima sendirian di tengah kegelapan, dengan dua mayat yang tergeletak tak berdaya. Bima melihat kepergian Reno, atau lebih tepatnya Senja, hatinya hancur. Ia tahu, beberapa kegelapan tidak bisa dihentikan, melainkan hanya bisa disaksikan.
Hening. Itu satu-satunya kata yang bisa menggambarkan malam itu. Hening yang mencekam, yang lebih memekakkan telinga daripada jeritan yang baru saja padam. Bima tergeletak di jalanan yang basah, sisa-sisa air hujan menetes dari rambutnya. Ia menatap kepergian Reno, sosok yang kini berjalan tegak, tanpa keraguan, tanpa penyesalan. Setiap langkahnya adalah pukulan telak bagi Bima, bagi harapannya, bagi keyakinannya bahwa setiap manusia, tidak peduli seberapa gelap masa lalunya, memiliki kesempatan untuk diselamatkan. Reno adalah bukti bahwa ia salah. Bahwa beberapa kegelapan terlalu kuat untuk dilawan.
Bima bangkit dengan susah payah, rasa sakit di kepalanya terasa tumpul dibandingkan rasa sakit di hatinya. Ia berjalan tertatih-tatih ke arah dua mayat yang tergeletak di jalanan. Arif, teman masa kecil Reno, dalang di balik semua ini, kini hanya setumpuk daging yang tak bernyawa. Dan di sampingnya, seorang wanita muda, korban terakhir dari kebangkitan Senja. Bima melihat mereka, dan ia melihat kegagalan dirinya. Ia gagal melindungi wanita itu, ia gagal menangkap Arif, dan yang terpenting, ia gagal menyelamatkan Reno.
Ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon kantor polisi. Suaranya serak, penuh dengan kekalahan. "Ada dua mayat di gang," katanya. "Dan pelakunya... pelakunya adalah Reno."
Kata-kata itu terasa pahit di lidahnya. Ia telah berjanji akan membantunya, berjanji akan melindunginya. Namun, pada akhirnya, ia adalah seorang detektif, dan Reno adalah seorang pembunuh.
Ketika polisi tiba, Bima menceritakan segalanya. Ia menceritakan tentang Pembunuh Bayangan, tentang kasus lama, tentang Reno, tentang Arif, dan tentang bagaimana ia menyaksikan Reno berubah menjadi monster. Polisi muda itu menatapnya, tidak percaya. Cerita Bima terdengar seperti sebuah novel yang mengerikan, bukan sebuah laporan polisi yang faktual. Namun, mereka tidak bisa membantah dua mayat yang tergeletak di hadapan mereka.
Bima menyerahkan bukti-bukti yang ia kumpulkan: berkas-berkas lama, catatan-catatan tentang Reno dan Arif, dan foto-foto para korban. Ia menyerahkan segalanya, berharap mereka akan mengerti. Berharap mereka akan melihat apa yang ia lihat: seorang manusia yang hancur, bukan hanya seorang pembunuh yang kejam.
Reno, atau Senja, melangkah tanpa tujuan di bawah langit malam yang gelap. Hujan telah berhenti, meninggalkan jalanan yang basah dan memantulkan cahaya lampu. Ia berjalan melewati orang-orang, dan ia merasakan sebuah kekuasaan yang mengerikan. Ia melihat wajah-wajah mereka, dan ia tidak melihat apa-apa. Mereka hanyalah bayangan, hanyalah benda-benda yang bergerak. Ia tidak merasakan apa-apa. Tidak ada ketakutan, tidak ada penyesalan, tidak ada empati. Hanya ada kekosongan yang dingin.
Senja, entitas di dalam dirinya, kini telah sepenuhnya mengambil alih. Reno, sang manusia, telah terkubur di bawah lapisan-lapisan kegelapan. Ia telah kalah. Ia telah menyerah. Dan sekarang, ia adalah monster yang tak terkalahkan.
Ia tidak kembali ke rumah. Ia tidak kembali ke rutinitasnya. Ia berjalan menuju sebuah stasiun kereta api, membeli tiket, dan naik ke kereta yang berangkat entah ke mana. Ia duduk di kursi, menatap keluar jendela, dan melihat wajahnya sendiri yang terpantul di kaca. Ia melihat mata yang kosong, senyum yang dingin, dan ia tahu, Reno telah pergi. Yang tersisa hanyalah Senja, sebuah nama yang dulunya adalah sebuah bisikan, kini menjadi sebuah kenyataan yang mengerikan.
Ia tidak merasakan lelah, ia tidak merasakan lapar, ia tidak merasakan apa-apa. Ia hanya ada, sebuah entitas yang haus, sebuah monster yang menunggu untuk menemukan mangsa baru.
Beberapa hari kemudian, Bima duduk di kantornya, menatap sebuah berita di koran. Wajah Reno terpampang di halaman depan, di bawah judul "Pembunuh Berantai Jakarta Ditemukan Mati". Bima membaca berita itu, dan hatinya terasa hancur. Bukan karena Reno mati, melainkan karena ia tidak mati. Reno telah ditangkap, bukan karena ia membunuh Arif, tetapi karena ia tertangkap basah saat mencoba membunuh orang lain.
Bima mengambil ponselnya dan menelepon seorang kenalannya di kepolisian. "Apakah dia... apakah dia berbicara?" tanyanya.
"Dia tidak berbicara," jawab kenalannya. "Dia hanya diam. Dia tidak makan, tidak minum. Dia seperti sebuah boneka. Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan dengannya."
Bima menutup telepon. Ia tahu, Reno tidak bisa diselamatkan. Reno telah hilang. Yang tertinggal hanyalah cangkang kosong, sebuah tubuh yang dikendalikan oleh monster.
Ia pergi ke penjara. Ia meminta izin untuk bertemu Reno. Ia berjalan di koridor yang dingin dan suram, hatinya penuh dengan rasa bersalah dan penyesalan. Ia telah gagal. Ia telah menaruh kepercayaannya pada orang yang salah.
Ia duduk di hadapan Reno, dipisahkan oleh kaca tebal. Reno menatapnya, matanya kosong, tidak ada kilauan kehidupan di dalamnya. Bima melihatnya, dan ia melihat kegagalan terbesar dalam kariernya.
"Reno," bisik Bima, suaranya penuh dengan rasa sakit. "Ini aku, Bima. Kau masih ingat aku?"
Reno tidak menjawab. Ia hanya menatapnya, tanpa emosi. Bima mencoba lagi. Ia menceritakan tentang masa lalu, tentang janji mereka, tentang harapan. Namun, Reno tidak merespons. Ia hanyalah sebuah cangkang kosong, sebuah tubuh yang tidak memiliki jiwa.
"Reno, aku tahu kau ada di dalam," kata Bima, air mata mengalir di pipinya. "Aku tahu kau masih bisa mendengarku. Lawan dia, Reno. Lawan dia."
Namun, Reno tetap diam. Bima merasakan sebuah kegelapan yang dingin, kegelapan yang keluar dari mata Reno, menyentuh jiwanya. Ia menyadari, Reno telah pergi. Ia telah kalah. Pertarungan batin itu telah berakhir, dan kegelapan telah menang.
Hari-hari berubah menjadi minggu, minggu menjadi bulan, dan bulan menjadi tahun. Bima mengunjungi Reno setiap minggu, setiap kali dengan harapan yang sama, dan setiap kali dengan kekecewaan yang sama. Reno tidak pernah berbicara. Reno tidak pernah makan. Reno tidak pernah menunjukkan emosi. Ia hanyalah sebuah boneka yang duduk di dalam sel, menunggu sesuatu yang tidak akan pernah datang.
Bima pensiun. Ia tidak lagi menjadi detektif, tetapi ia tidak pernah bisa melupakan Reno. Ia melihat Reno setiap malam dalam mimpinya, melihatnya berubah menjadi monster, melihatnya membunuh. Reno menjadi hantu yang menghantuinya. Hantu dari kegagalan.
Suatu hari, Bima menerima sebuah telepon. Reno meninggal di dalam selnya, kelaparan. Bima tidak terkejut. Ia tahu, Reno telah mati sejak lama. Yang mati hanyalah tubuhnya.
Ia pergi ke pemakaman Reno. Sebuah pemakaman yang sepi, hanya ada ia dan seorang penjaga kubur. Bima berdiri di hadapan kuburan Reno, yang tidak memiliki nama, hanya sebuah angka. Ia menatapnya, dan ia merasakan kedamaian yang aneh. Reno akhirnya bebas. Bebas dari Senja, bebas dari kegelapan.
Namun, kedamaian itu tidak bertahan lama. Saat Bima berjalan pergi, ia merasakan sebuah bisikan di dalam kepalanya. Bisikan yang dingin, bisikan yang mengerikan, bisikan yang ia kenal.
"Kau salah, Bima. Aku tidak pernah pergi. Aku tidak pernah mati. Aku hanya berpindah. Dan aku akan selalu ada."
Bima membeku. Ia menoleh ke belakang, menatap kuburan Reno. Ia merasakan kegelapan yang sama, kegelapan yang kini ada di dalam dirinya. Reno telah kalah, tetapi Senja tidak. Senja telah menemukan rumah barunya. Dan rumah baru itu adalah Bima.
Bima, sang detektif, sang pahlawan, yang berjuang untuk menyelamatkan manusia, kini menjadi monster yang ia kejar. Cerita ini berakhir dengan kesunyian yang mencekam, dan sebuah pertanyaan yang mengerikan: apakah kegelapan benar-benar bisa dihentikan, atau ia hanya menunggu untuk menemukan inang baru?