Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,762
Bayang Bayang Kaktus Berdarah Seri 04
Misteri


Bab 7: Jaringan Laba-laba Jenderal Wiryo

Penangkapan Bayu, meskipun menjadi berita utama di seluruh Semarang, meninggalkan rasa pahit bagi Rendra. Ia tahu mereka belum sampai pada akarnya. Jenderal Wiryo. Nama itu berulang kali terngiang, membawa serta bayangan masa lalu yang menghantuinya. Berkas-berkas yang diberikan Clara membuktikan bahwa Jenderal Wiryo bukanlah sekadar pensiunan biasa; ia adalah seorang dalang, seorang arsitek kejahatan yang tersembunyi di balik kekuasaan dan pengaruh.

"Kita harus lebih dalam, Alya," Rendra berkata, menunjuk papan putih yang kini telah dipenuhi jaring-jaring nama dan koneksi. "Bayu hanyalah bidak. Jenderal Wiryo adalah pemainnya."

Alya, yang juga merasakan hal yang sama, mengangguk. "Saya sedang menggali semua koneksi Jenderal Wiryo, Pak. Dari catatan keuangan, kepemilikan aset, hingga hubungan pribadi. Pria ini seperti gurita. Cabang-cabangnya ada di mana-mana."

Mereka memulai penyelidikan intensif terhadap Jenderal Wiryo. Tantangannya sangat besar. Jenderal Wiryo adalah sosok yang sangat dihormati, dengan jaringan kuat di kalangan elit politik, militer, dan bisnis. Setiap kali mereka mencoba menggali, mereka menemukan tembok birokrasi atau informasi yang sengaja disamarkan.

"Dia punya orang di setiap lini," desah Alya frustrasi, menunjuk layar komputernya yang menampilkan diagram rumit. "Pengacara top, mantan anak buah di kepolisian, bahkan beberapa jurnalis. Clara benar, dia sangat licik."

Rendra melamun. "Dia tahu bagaimana bermain. Dia selalu tahu bagaimana melindungi dirinya. Inilah yang membuatnya begitu berbahaya."

Dalam proses penyelidikan, Rendra menemukan beberapa hal yang mengganggu. Ia mencoba mencari kembali berkas kasus kematian adiknya, Reza, lima belas tahun yang lalu. Namun, berkas itu ternyata "hilang" dari arsip kepolisian. Sebuah kebetulan yang terlalu mencurigakan. Rendra menghubungi beberapa koneksi lamanya di intelijen, dan mereka memberikan petunjuk samar tentang "tekanan tingkat tinggi" untuk menutup kasus Reza secepat mungkin.

"Jenderal Wiryo..." gumam Rendra, tinjunya mengepal. Semakin dalam ia menggali, semakin jelas bahwa Jenderal Wiryo adalah benang merah yang menghubungkan seluruh tragedi ini.

Sementara itu, Clara terus memberikan informasi rahasia. Ia mendapatkan data tentang pertemuan-pertemuan rahasia antara Jenderal Wiryo dan ketiga korban pembunuhan, yang terjadi beberapa bulan sebelum pembunuhan pertama. Pertemuan-pertemuan itu selalu diadakan di lokasi terpencil, dan tidak pernah tercatat secara resmi.

"Mereka membahas sesuatu yang besar, Detektif," Clara menjelaskan. "Bukan hanya soal proyek Permata Pesisir, tapi juga proyek-proyek lain yang lebih baru. Ada desas-desus tentang pengembangan lahan baru di daerah yang seharusnya menjadi konservasi. Jenderal Wiryo adalah investor utama di balik semua itu."

Informasi ini memberikan dimensi baru pada motif Jenderal Wiryo. Bukan hanya menutupi jejak masa lalu, tetapi juga membersihkan jalan untuk proyek-proyek masa depannya. Para korban mungkin tahu terlalu banyak, atau mereka mulai menjadi batu sandungan.

"Bagaimana dengan tukang kebunnya, Clara?" Rendra bertanya, teringat pada laporan Clara sebelumnya. "Mantan tentara bayaran itu."

"Namanya Surya. Dia adalah bayangan Jenderal Wiryo. Sangat loyal, dan kabarnya, sangat mematikan. Dia tidak punya catatan kriminal resmi, tapi ia adalah ahli pisau dan bela diri. Dia bisa melakukan pekerjaan itu tanpa meninggalkan jejak," jawab Clara. "Saya sedang mencoba melacaknya."

Rendra yakin Surya adalah eksekutor sebenarnya. Ia adalah tangan Jenderal Wiryo. Rendra membayangkan Jenderal Wiryo menggunakan Bayu, memanfaatkan obsesi dan kepedihan pemuda itu sebagai topeng, sementara Surya melakukan pekerjaan kotor.

"Kita perlu bukti yang tidak terbantahkan, Alya," kata Rendra. "Sesuatu yang mengikat Jenderal Wiryo langsung pada pembunuhan, bukan hanya korupsi."

Alya terus menggali data, mencari celah dalam jaringan Jenderal Wiryo. Ia memfokuskan pencariannya pada transaksi keuangan yang mencurigakan, terutama yang terkait dengan pembelian tanah di lokasi perkebunan kaktus pribadi Jenderal Wiryo. Ia menemukan serangkaian transfer dana dalam jumlah besar, yang tampaknya disamarkan sebagai investasi dalam "proyek botani langka."

"Ini dia, Pak," Alya berseru, matanya terpaku pada layar. "Ada transfer dana dari rekening Jenderal Wiryo ke rekening Dr. Ardi Wijaya, ayah Bayu, lima belas tahun lalu. Jumlahnya sangat besar, jauh di atas harga ganti rugi tanah yang sebenarnya."

Rendra terkejut. "Jadi Jenderal Wiryo secara langsung terlibat dalam penggusuran tanah Dr. Ardi Wijaya? Dan dia juga yang 'membayar' Dr. Ardi Wijaya secara ilegal?"

"Sepertinya begitu, Pak. Ini bisa jadi awal dari semua dendam ini," Alya menyimpulkan. "Mungkin Jenderal Wiryo mencoba menyingkirkan Dr. Ardi Wijaya dan keluarganya dari tanah itu dengan cara yang tidak sah, memanfaatkan kekuasaannya."

Fakta ini mengubah segalanya. Dendam Bayu bukan hanya soal penggusuran, tapi juga soal pengkhianatan langsung oleh Jenderal Wiryo terhadap ayahnya. Jenderal Wiryo tidak hanya dalang korupsi, tapi juga penyebab langsung dari kehancuran keluarga Bayu. Itu menjelaskan mengapa Bayu begitu mudah dimanipulasi; ia adalah korban yang sempurna untuk dibentuk menjadi alat pembalasan dendam.

"Kita harus memancing Jenderal Wiryo keluar," kata Rendra, rencana mulai terbentuk di benaknya. "Dia tidak akan mengakui apa pun di interogasi biasa. Kita butuh sebuah jebakan."

Clara, yang juga ada di ruangan itu, mendengarkan dengan saksama. "Bagaimana caranya? Dia punya mata dan telinga di mana-mana."

"Kita akan menggunakan umpan," Rendra tersenyum tipis, senyum yang jarang terlihat di wajahnya yang biasanya kaku. "Sesuatu yang sangat berharga baginya. Sesuatu yang dia tidak bisa biarkan jatuh ke tangan kita."

Bab 8: Jebakan Kaktus Berdarah

Rencana Rendra adalah sebuah perjudian berisiko tinggi. Ia memutuskan untuk menggunakan informasi tentang "Kaktus Darah Merah" dan "Tumbak Bumi" yang Bayu yakini sebagai motifnya, serta berkas korupsi yang Clara berikan, sebagai umpan.

"Jenderal Wiryo sangat menghargai reputasinya, dan lebih dari itu, dia menghargai kekuasaannya," Rendra menjelaskan rencananya kepada Alya dan Clara. "Kita akan mengirimkan sinyal bahwa kita akan merilis semua bukti korupsinya ke publik, dan juga bukti bahwa kaktus-kaktus yang ditemukan di TKP berasal dari perkebunan kaktus pribadinya."

Alya mengerutkan kening. "Bukankah itu terlalu berbahaya, Pak? Dia bisa saja langsung menyerang kita."

"Itulah gunanya," Rendra membalas. "Kita akan mengatur skenario seolah-olah kita telah menemukan 'Kaktus Darah Merah' yang paling langka, kaktus yang konon hanya tumbuh di tempat yang dicemari darah pengkhianat, dan kaktus itu ada di rumah kaca Jenderal Wiryo. Kita akan menyebar rumor bahwa kaktus itu akan dianalisis secara publik, mengungkap semua rahasianya."

Clara mengangguk. "Itu akan memancingnya keluar dari persembunyiannya. Dia tidak akan membiarkan rahasianya terbongkar."

Rendra menunjuk ke peta di dinding. "Kita akan gunakan rumah kaca Dr. Ardi Wijaya sebagai lokasi jebakan. Kita akan membuat seolah-olah kita akan melakukan 'investigasi ilmiah' di sana, dan akan membawa beberapa media untuk meliput. Ini akan menciptakan urgensi baginya."

Rendra dan Alya bekerja sama dengan tim siber Polda untuk menyebarkan informasi palsu secara strategis, menargetkan sumber-sumber yang diyakini diawasi oleh Jenderal Wiryo. Mereka menciptakan narasi bahwa polisi telah menemukan "bukti kunci" di rumah kaca Dr. Ardi Wijaya yang akan "membongkar dalang sesungguhnya di balik pembunuhan berantai Kaktus Berdarah." Mereka bahkan membuat laporan palsu tentang konferensi pers mendadak di lokasi itu, yang akan mengungkap "Kaktus Darah Merah" sebagai simbol kejahatan Jenderal Wiryo.

Beberapa jam kemudian, ponsel Rendra berdering. Itu adalah panggilan dari Komandan Budi, suaranya panik. "Pak Rendra, Jenderal Wiryo marah besar. Dia menelepon langsung Kapolda, mengancam akan menuntut kita atas pencemaran nama baik. Dia bilang kita salah besar menargetkan orang yang salah."

Rendra tersenyum. "Berarti rencana kita berhasil. Dia bergerak."

"Tapi dia juga meminta pertemuan pribadi dengan Anda, Pak Rendra, di lokasi yang sama. Rumah kaca itu. Malam ini," Komandan Budi melanjutkan, nadanya khawatir. "Dia bilang dia ingin 'membersihkan nama baiknya' secara langsung. Jangan pergi sendirian, Pak."

Rendra tahu ini adalah jebakan di dalam jebakan. Jenderal Wiryo tidak akan datang untuk membersihkan namanya. Ia akan datang untuk membungkam mereka, terutama Rendra yang kini menjadi ancaman paling berbahaya baginya.

"Saya akan pergi," jawab Rendra tegas. "Tapi saya tidak akan sendirian. Alya, siapkan tim. Kita akan menyergapnya di sana."

Malam itu, bulan sabit menggantung tipis di atas perbukitan. Rumah kaca Dr. Ardi Wijaya tampak lebih angker dalam kegelapan. Udara dingin menyelimuti area itu, dan suara angin berdesir di antara pohon-pohon. Rendra mengenakan rompi anti-peluru di balik jaketnya, pistol di genggaman. Alya dan tim SWAT sudah bersiaga di posisi masing-masing, tersembunyi di balik semak belukar dan bebatuan, siap bertindak sesuai isyarat.

Rendra masuk ke dalam rumah kaca sendirian, senter menyorot ke sekeliling. Bau tanah basah dan tanaman-tanaman tua memenuhi indra penciumannya. Di tengah ruangan, sebuah meja tua yang telah mereka siapkan, di atasnya ada sebuah kotak kaca kecil yang berisi kaktus Ferocactus Histrix yang sama dengan yang ditemukan di TKP. Sebuah umpan yang sempurna.

Tidak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari luar. Pintu rumah kaca terbuka perlahan, dan seorang pria berpostur tegap masuk. Jenderal Wiryo. Ia mengenakan setelan gelap, tampak elegan namun matanya memancarkan aura dingin yang berbahaya. Di belakangnya, muncul sosok berbadan besar, dengan pisau tersembunyi di pinggangnya. Surya, tukang kebun sekaligus tangan kanan Jenderal Wiryo.

"Detektif Rendra," sapa Jenderal Wiryo, suaranya tenang namun penuh otoritas. "Saya dengar Anda telah menemukan 'bukti' yang akan menghancurkan reputasi saya."

"Jenderal," Rendra membalas, suaranya sama tenangnya. "Anda tahu apa yang saya punya. Semua berkas korupsi Anda, semua penggelapan dana. Dan sekarang, bukti bahwa kaktus-kaktus ini berasal dari perkebunan pribadi Anda."

Jenderal Wiryo melangkah mendekat, matanya menatap kotak kaca di atas meja. "Kaktus itu hanya hobi saya, Detektif. Tidak ada hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan itu. Dan berkas-berkas yang Anda miliki hanyalah fitnah murahan dari jurnalis tak bertanggung jawab."

"Lalu mengapa Anda datang ke sini malam ini, Jenderal?" Rendra menekan. "Anda tahu ini bukan sekadar fitnah. Anda tahu apa yang Anda lakukan."

Tiba-tiba, senyum dingin muncul di wajah Jenderal Wiryo. "Baiklah, Detektif. Anda cerdas. Terlalu cerdas untuk kebaikan Anda sendiri." Ia mengisyaratkan kepada Surya.

Surya bergerak cepat, mengeluarkan pisaunya yang berkilat dalam remang cahaya. Ia menerkam Rendra, namun Rendra sudah siap. Ia menghindar, melepaskan tembakan peringatan ke udara.

"Sekarang!" Rendra berteriak, memberikan isyarat kepada timnya.

Dari kegelapan, tim SWAT menyerbu masuk. Alya memimpin dari depan, menodongkan senjatanya ke arah Jenderal Wiryo. "Jenderal Wiryo, Anda terkepung! Menyerah!"

Jenderal Wiryo terkejut. Wajahnya yang tenang kini menunjukkan kemarahan. "Sialan!"

Surya mencoba melawan, tetapi ia dengan cepat dilumpuhkan oleh tim SWAT yang terlatih. Jenderal Wiryo, menyadari situasinya, mencoba melarikan diri, namun Alya berhasil memblokir jalannya.

"Tidak ada jalan keluar, Jenderal," kata Alya, suaranya mantap.

Jenderal Wiryo mengamati sekeliling. Ia melihat Bayu, yang dibawa oleh beberapa polisi, sedang berdiri di ambang pintu, matanya kosong. Sebuah senyum sinis muncul di wajah Jenderal Wiryo.

"Kau pikir kau sudah menang, Detektif?" Jenderal Wiryo mencibir. "Aku hanya bagian kecil dari permainan yang lebih besar. Ada banyak orang sepertiku, berkuasa di balik bayangan. Kau hanya menggaruk permukaan."

Rendra mendekati Jenderal Wiryo. "Tidak. Kali ini tidak. Kami punya cukup bukti. Kami punya Bayu sebagai saksi kunci. Dan kami punya semua berkas yang membuktikan kejahatan Anda."

Jenderal Wiryo tertawa sinis. "Bayu? Dia hanya anak yang mudah dipengaruhi. Dia sudah gila sejak ayahnya kehilangan tanahnya. Dia tidak akan menjadi saksi yang kredibel. Dan berkas-berkas itu... mudah dihilangkan."

Rendra menatap Jenderal Wiryo, amarah menggelegak di dadanya. "Reza... adik saya. Apakah Anda juga di balik kematiannya, Jenderal?"

Wajah Jenderal Wiryo berubah. Ada kilatan pengakuan di matanya, yang dengan cepat ia tutupi dengan ekspresi acuh tak acuh. "Adikmu? Dia hanya seorang aktivis bodoh yang terlalu banyak bicara. Itu bukan urusanku."

Namun, kilatan itu sudah cukup bagi Rendra. Ia tahu. Jenderal Wiryo terlibat. Baik secara langsung maupun tidak langsung.

"Anda membayar Dr. Ardi Wijaya secara ilegal, mengusirnya dari tanahnya, dan Anda memanfaatkan Bayu untuk melancarkan dendam Anda sendiri," Rendra menekan. "Anda menggunakan mitos kaktus dan kesucian tanah untuk menyamarkan motif keji Anda."

Jenderal Wiryo akhirnya menyerah, namun dengan tatapan menantang. "Kau tidak bisa membuktikan apa pun, Detektif. Aku akan bebas. Selalu begitu."

Dengan bantuan Clara yang merekam seluruh percakapan secara diam-diam dan berhasil mengirimkannya ke media lain, ditambah dengan kesaksian Bayu yang akhirnya runtuh setelah ditunjukkan bukti-bukti manipulasi Jenderal Wiryo, serta bukti forensik dari rumah kaca Jenderal Wiryo dan kesaksian Surya yang akhirnya didapatkan setelah negosiasi panjang, kasus itu terungkap sepenuhnya.

Jenderal Wiryo ditangkap. Surya, tangan kanannya, juga ditahan. Bayu, yang terbukti dimanipulasi dan menderita gangguan mental akibat trauma masa lalu, mendapatkan keringanan hukuman dan dirujuk ke rumah sakit jiwa untuk mendapatkan perawatan. Kasus pembunuhan berantai Kaktus Berdarah akhirnya terpecahkan.

Rendra menatap langit pagi yang mulai memerah. Ia merasa beban di pundaknya sedikit terangkat. Keadilan untuk para korban. Dan keadilan untuk adiknya, Reza. Nama Jenderal Wiryo akan dicoreng, kejahatannya akan terungkap, dan ia akan membayar semua dosanya.

Meskipun pertarungan melawan jaringan Jenderal Wiryo masih panjang, Rendra tahu ini adalah awal yang baik. Ia menoleh ke Alya, yang berdiri di sampingnya. Mereka berhasil. Bersama-sama. Aroma kaktus itu mungkin akan selalu tercium di benaknya, namun kini ia tidak lagi membawa bayangan kematian, melainkan aroma keadilan yang akhirnya mekar.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)