Masukan nama pengguna
Bab 3: Segitiga Berdarah dan Jejak Digital
Dua pembunuhan dalam hitungan hari. Semarang dicekam ketakutan. Media mulai menjuluki pembunuhnya sebagai "Pembunuh Kaktus," dan setiap sudut kota terasa lebih dingin, lebih waspada. Rendra dan Alya bekerja tanpa henti, aroma kopi instan dan rokok menjadi teman setia mereka. Papan putih di ruangan mereka kini lebih mirip sebuah diagram rumit: foto korban, peta kota dengan penanda merah di lokasi pembunuhan, dan teori-teori yang terangkum dalam tulisan tangan Rendra yang kadang sulit dibaca.
"Pembunuhan ketiga. Ini pasti akan terjadi," ujar Rendra, matanya terpaku pada peta. Ia menarik garis imajiner dari titik lokasi pembunuhan Suryo Nugraha dan Bu Indah Lestari. Dua titik itu kini membentuk sebuah sisi dari segitiga. "Jika ini pola, maka titik ketiga akan berada di suatu tempat yang melengkapi segitiga ini."
Alya mengangguk, jari-jarinya menari di atas keyboard laptopnya. "Saya sedang memeriksa semua nama yang terlibat dalam proyek Permata Pesisir lima belas tahun lalu, Pak. Dari kontraktor, pejabat perizinan, hingga pemasok material. Juga nama-nama warga yang paling vokal menentang proyek tersebut."
"Fokus pada mereka yang punya kekuasaan atau keuntungan besar dari proyek itu," saran Rendra. "Dan juga mereka yang mungkin punya akses ke kaktus langka seperti Ferocactus Histrix."
Data yang dihimpun Alya sangat banyak. Rendra menduga pembunuh ini bukan orang sembarangan. Ia punya akses, pengetahuan, dan sumber daya untuk melancarkan aksinya dengan begitu rapi. Peretasan CCTV yang canggih menunjukkan jejak seorang profesional.
"Saya menemukan sesuatu yang menarik, Pak Rendra," Alya tiba-tiba berseru, matanya terpaku pada layar. "Ada satu nama lagi yang sangat menonjol dalam proyek Permata Pesisir: Pak Budi Santoso. Dia adalah arsitek utama proyek itu. Bertanggung jawab atas desain dan tata letak seluruh kawasan."
"Pak Budi Santoso," Rendra mengulang nama itu, mencoba mengingat. "Bagaimana latar belakangnya?"
"Sekarang ia adalah seorang arsitek senior yang sangat disegani. Kantornya di pusat kota. Dulunya, ia dikenal sebagai arsitek visioner yang sering mencetuskan desain-desain kontroversial. Termasuk desain proyek Permata Pesisir yang mengabaikan sebagian besar wilayah resapan air dan jalur hijau," jelas Alya. "Dia juga punya riwayat sengketa kecil dengan beberapa seniman lingkungan yang mengkritik desainnya."
Rendra merasa ada firasat buruk. "Apa alamat kantornya?"
Alya segera menampilkannya di layar. Rendra menarik garis dari dua titik pembunuhan sebelumnya ke alamat kantor Pak Budi Santoso. Ketiga titik itu, secara mengejutkan, membentuk segitiga sama kaki yang nyaris sempurna di peta kota.
"Sial," Rendra memukul meja. "Ini bukan lagi tebak-tebakan. Ini adalah pola yang disengaja. Dia memberi kita petunjuk, Alya. Dan kita baru saja menemukan target berikutnya."
Mereka segera melapor ke Komandan Budi, menyarankan untuk segera mengirim perlindungan ke kantor Pak Budi Santoso. Namun, birokrasi kepolisian memiliki alur sendiri yang lambat. Rendra tahu, setiap detik sangat berarti. Ia merasakan desakan di dadanya, sebuah firasat yang semakin kuat. Pembunuh ini tidak akan menunggu.
Pukul 11 malam. Rendra dan Alya duduk di mobil patroli, memantau dari kejauhan gedung kantor Pak Budi Santoso. Gedung itu gelap, hanya menyisakan cahaya remang dari lampu jalan. Keheningan malam diselingi deru mobil yang melintas sesekali.
"Apakah kita sudah menghubungi Pak Budi?" tanya Rendra, matanya tak lepas dari gedung.
"Sudah, Pak. Asistennya bilang Pak Budi sedang berada di Jakarta untuk urusan bisnis dan baru kembali besok pagi," jawab Alya, nadanya cemas. "Mudah-mudahan dia aman di sana."
Tiba-tiba, firasat dingin melanda Rendra. "Apakah Pak Budi punya rumah lain di Semarang, Alya? Atau tempat peristirahatan?"
Alya segera mencari di databasenya. "Ada! Sebuah vila di daerah perbukitan, pinggiran kota. Biasanya ia gunakan untuk menyendiri atau bekerja di akhir pekan. Alamatnya..."
Rendra langsung tancap gas, meninggalkan Alya yang terkejut. "Kita ke sana sekarang!"
Perjalanan menuju perbukitan terasa panjang. Pikiran Rendra dipenuhi bayangan mengerikan. Ia terlalu sering melihat pola ini, terlalu sering merasa terlambat. Jantungnya berdebar kencang, memacu adrenalin. Alya di sampingnya mencoba melacak keberadaan Pak Budi melalui sinyal ponsel, namun tidak berhasil.
Saat mereka tiba di vila, suasana di sana gelap gulita, sunyi, dan sepi. Hanya suara jangkrik yang memecah kesunyian. Rendra turun dari mobil, pistol di tangan, diikuti Alya. Mereka bergerak hati-hati, lampu senter membelah kegelapan. Aroma tanah basah dan dedaunan memenuhi udara.
Pintu depan vila tidak terkunci. Sebuah kejanggalan. Rendra menendang pintu, siap menghadapi apa pun. Namun, yang mereka temukan hanyalah kegelapan yang pekat dan bau aneh, seperti campuran tanah dan sesuatu yang amis.
"Pak Budi!" panggil Alya. Tidak ada jawaban.
Mereka menyalakan senter. Ruangan utama vila itu luas dan berantakan. Kursi terbalik, beberapa buku berserakan di lantai. Di tengah ruangan, tepat di bawah lampu gantung yang mati, tergeletak tubuh Pak Budi Santoso.
Rendra mengutuk. Terlambat. Lagi.
Pemandangan itu serupa dengan dua kasus sebelumnya. Sayatan presisi di leher. Dan di samping kepalanya, sebuah kaktus mini berduri panjang, tampak menonjol di lantai marmer. Darah segar belum sepenuhnya mengering.
"Sialan!" Alya berteriak, meninju dinding. "Bagaimana dia tahu?!"
Rendra membungkuk di samping tubuh Pak Budi, matanya tajam. Ia mengamati kaktus itu. Kali ini, ia melihat ada sedikit bercak merah yang lebih jelas di beberapa duri. Bukan darah korban, tapi seperti... pewarna alami. Ia juga memperhatikan sesuatu yang baru. Di salah satu buku yang berserakan, ada sebuah penanda buku yang terbuat dari benang rami.
"Perhatikan buku ini, Alya," Rendra menunjuk. "Ini bukan buku arsitektur. Ini buku tentang botani kuno."
Alya memeriksanya. "Judulnya 'Tanaman Sakral Nusantara'. Ada beberapa halaman yang ditandai. Tentang simbolisme tumbuhan, tentang ritual pengobatan kuno, dan..." Alya terdiam, matanya melebar. "...dan tentang 'Kaktus Darah Merah' yang disebutkan Profesor Kunto."
"Dia sengaja meninggalkan ini," Rendra berbisik. "Dia ingin kita membaca ini. Dia ingin kita tahu bahwa ini bukan kebetulan."
Tim forensik tiba tak lama kemudian, menginterupsi keheningan malam dengan sirene mobil dan lampu sorot. Saat para petugas mulai bekerja, Rendra menjauh sedikit, memejamkan mata. Rasa bersalah menggerogotinya. Ia telah melihat pola itu, ia telah memprediksi pembunuhan ketiga, namun tetap saja terlambat.
"Pak Rendra, saya menemukan sesuatu," suara Alya memecah lamunannya. Alya menunjukkan layar ponselnya. "Ini adalah email yang dikirim dari akun Pak Budi sekitar dua jam yang lalu. Isinya undangan untuk 'pertemuan mendesak' di vila ini. Undangan itu dikirim ke dua korban sebelumnya, Suryo Nugraha dan Bu Indah Lestari, dan juga ke beberapa nama lain yang terlibat dalam proyek Permata Pesisir."
"Jadi dia memancing korban," Rendra menyimpulkan. "Dia tahu Pak Budi akan kembali ke vila ini, dan dia mengirim undangan palsu dari akun Pak Budi untuk memancingnya keluar, atau untuk memastikan dia sendirian. Tapi bagaimana dia bisa mengakses akun email Pak Budi?"
"Hacker yang sama, Pak. Yang menghapus rekaman CCTV," Alya menjawab. "Ini semua terhubung. Dan ini bukan hanya tentang dendam perampasan tanah. Ini jauh lebih personal, lebih rapi, dan lebih terencana."
Di tengah keramaian TKP, Rendra melihat seorang wanita berambut keriting dengan kamera besar di lehernya. Clara. Jurnalis investigasi yang gigih itu. Ia selalu menjadi yang pertama di setiap TKP pembunuhan besar. Rendra tahu Clara tidak akan datang hanya untuk mencari berita biasa. Ia pasti punya agenda tersembunyi.
Clara melihat Rendra, dan pandangan mata mereka bertemu. Ada sesuatu yang tak terucap di sana, sebuah pengertian diam-diam bahwa mereka berdua sama-sama sedang memburu kebenaran di balik kegelapan. Rendra tahu, Clara mungkin punya informasi yang tidak bisa ia dapatkan dari sumber resmi.
Bab 4: Jejak Tanah dan Jaringan Rahasia
Dini hari setelah pembunuhan ketiga, kantor Rendra dipenuhi asap rokok dan aroma kopi pahit. Kelelahan terpancar jelas di wajah Rendra dan Alya. Namun, tidak ada waktu untuk beristirahat. Pembunuhan ketiga ini, dengan pola segitiga yang kini sempurna, membuat kasus ini melonjak ke prioritas tertinggi. Tekanan dari atasan dan masyarakat semakin meningkat.
"Tiga korban. Semuanya terkait proyek Permata Pesisir," Rendra menunjuk peta. "Suryo Nugraha, kontraktor. Bu Indah Lestari, kepala perizinan. Pak Budi Santoso, arsitek. Mereka adalah tulang punggung proyek itu."
"Dan semua tewas dengan cara yang sama: sayatan presisi di leher, kaktus Ferocactus Histrix di dekat tubuh, dan rekaman CCTV yang terhapus," Alya menambahkan, sambil memutar-mutar pulpennya. "Ini adalah tanda tangan yang jelas. Dan yang paling menarik, Pak, tim forensik menemukan jejak tanah yang sangat spesifik di duri kaktus yang ditemukan di vila Pak Budi."
Rendra mengangkat alis. "Tanah spesifik?"
"Ya. Tim ahli geologi kami menganalisis sampel tanah dari ketiga kaktus itu. Ada kesamaan pola mineral yang sangat langka. Mereka menduga kaktus-kaktus itu berasal dari lokasi yang sama. Sebuah tempat dengan komposisi tanah vulkanik yang kaya mineral, namun juga memiliki kelembaban tinggi dan iklim mikro tertentu. Mereka memperkirakan lokasi itu ada di daerah perbukitan di luar kota Semarang, dekat dengan area hutan lindung."
Otak Rendra berputar cepat. Daerah perbukitan... hutan lindung... tempat terpencil. Ini cocok dengan cerita Profesor Kunto tentang habitat Ferocactus Histrix dan komunitas adat yang terasing. "Mungkinkah ada semacam perkebunan kaktus langka di sana?"
"Mungkin. Atau rumah kaca. Sebuah tempat tersembunyi," Alya menyarankan. "Saya akan menyusun tim untuk melakukan pencarian di area itu."
Saat Alya keluar untuk berkoordinasi, Rendra menyandarkan punggungnya ke kursi, memejamkan mata. Pikirannya melayang kembali ke masa lalu. Proyek Permata Pesisir. Bentrokan. Dan kematian adiknya.
Adiknya, Reza, adalah seorang mahasiswa idealis yang sangat peduli lingkungan. Ia aktif dalam gerakan penolakan proyek Permata Pesisir, berargumen bahwa proyek itu akan menghancurkan ekosistem mangrove dan mata pencarian nelayan lokal. Rendra, yang saat itu masih menjadi perwira muda di intelijen, sudah memperingatkan Reza tentang bahaya terlibat dalam aksi-aksi yang terlalu radikal. Namun Reza tidak pernah mendengarkan. Ia percaya pada keadilan dan kebenaran.
Seminggu setelah bentrokan besar antara demonstran dan aparat, Reza ditemukan tewas di sebuah gang sempit, diklaim sebagai kecelakaan karena jatuh dan membentur kepala. Namun Rendra selalu merasa ada yang janggal. Tidak ada luka perlawanan, tidak ada saksi. Kasus itu ditutup terlalu cepat, dengan alasan "kurangnya bukti". Rendra mencoba menyelidiki sendiri, namun ia hanyalah seorang perwira muda tanpa koneksi yang kuat. Rasa bersalah karena tidak bisa melindungi adiknya, dan kegagalan mengungkap kebenaran, menjadi beban berat di pundaknya.
Kini, dengan pola pembunuhan yang jelas-jelas terkait proyek Permata Pesisir, Rendra merasakan korelasi yang menyakitkan. Mungkinkah pembunuh ini adalah seseorang yang juga dirugikan oleh proyek itu, seseorang yang dendamnya terpendam selama lima belas tahun, dan kini muncul dengan kekuatan yang lebih besar? Mungkinkah ada hubungan antara kasus ini dan kematian Reza?
Pintu ruangan Rendra terbuka. Clara, jurnalis investigasi, masuk tanpa permisi. Wajahnya serius, lebih dari sekadar mencari berita. Ia membawa sebuah berkas tebal di tangannya.
"Ada apa, Clara? Kupikir kau sibuk di TKP," Rendra bertanya, tanpa membuka mata.
"Saya sudah di sana. Dan saya punya sesuatu yang mungkin Anda butuhkan, Detektif," Clara meletakkan berkas itu di meja. "Ini bukan hanya tentang pembunuhan. Ini tentang kekuasaan dan korupsi yang jauh lebih besar."
Rendra membuka mata, menatap Clara. Ia tahu Clara adalah jurnalis yang cerdas dan berani. Mereka pernah bekerja sama dalam beberapa kasus kecil, dan Rendra tahu Clara tidak akan membuang waktunya dengan hal-hal sepele.
"Apa yang kau punya?"
Clara duduk di kursi di depan Rendra, matanya tajam. "Proyek Permata Pesisir, lima belas tahun lalu. Itu bukan hanya soal penggusuran lahan, Detektif. Itu adalah skema pencucian uang dan penggelapan dana yang masif. Dana yang seharusnya untuk pembangunan infrastruktur kota, dialihkan ke rekening pribadi beberapa pejabat dan pengusaha. Suryo Nugraha, Bu Indah Lestari, dan Pak Budi Santoso hanyalah sebagian kecil dari jaringan itu."
Rendra merasakan jantungnya berdebar. "Kau punya buktinya?"
"Ini," Clara mendorong berkas itu. "Ini adalah salinan beberapa dokumen keuangan yang bocor, rekaman percakapan, dan laporan internal yang disembunyikan. Saya sudah menyelidiki ini selama berbulan-bulan. Saya mencurigai ada seorang tokoh besar di balik semua ini, yang selama ini tidak pernah tersentuh hukum."
Rendra membuka berkas itu. Matanya menyapu deretan angka, nama, dan tanggal. Ini adalah bukti yang bisa menghancurkan karier banyak orang. "Siapa tokoh besarnya?"
Clara mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya berbisik. "Seorang pensiunan militer, mantan pejabat tinggi di masa itu. Jenderal Wiryo. Dia adalah sosok yang sangat berpengaruh dan selalu di balik layar. Selalu bersih di permukaan, tapi dikenal sebagai dalang banyak skema ilegal. Saya yakin dia adalah otak di balik penggelapan dana proyek Permata Pesisir. Dan entah bagaimana, dia juga terhubung dengan kasus pembunuhan ini."
Nama Jenderal Wiryo memicu alarm di benak Rendra. Jenderal Wiryo. Nama itu beresonansi dengan samar di benaknya, terkait dengan sesuatu yang lebih dalam di masa lalu. Reza pernah menyebut nama itu dalam salah satu diskusinya tentang mafia tanah.
"Bagaimana Jenderal Wiryo terhubung dengan pembunuhan ini?" Rendra bertanya, mencoba menahan emosinya.
"Saya belum punya bukti langsung. Tapi logikanya, Detektif, jika ada yang ingin membersihkan jejak dari skandal lama, atau balas dendam karena merasa dikhianati dalam skema itu, Jenderal Wiryo punya semua motif dan kekuatan untuk melakukannya," Clara menjelaskan. "Para korban ini mungkin tahu terlalu banyak. Atau mungkin, ada bagian dari kesepakatan mereka di masa lalu yang tidak ditepati."
Rendra menatap berkas di tangannya. "Ini informasi yang sangat berharga, Clara. Tapi ini juga berbahaya. Kau tahu konsekuensinya jika ini bocor ke publik tanpa bukti yang kuat?"
"Itu sebabnya saya datang ke Anda, Detektif. Saya butuh keadilan, bukan hanya berita. Pembunuh ini mungkin adalah alat, atau mungkin dia juga korban dari permainan yang lebih besar ini," Clara menegaskan. "Saya yakin pembunuh ini punya alasan yang kuat, tapi dia mungkin tidak sendirian."
Analisis Clara membuat Rendra teringat kembali pada motif dendam yang dibicarakan Profesor Kunto. Jika Jenderal Wiryo adalah dalang, dan pembunuh kaktus adalah pion, maka ada semacam benang merah yang menghubungkan keduanya. Sebuah dendam yang jauh lebih kompleks, bukan hanya soal penggusuran tanah, tetapi juga pengkhianatan dan perebutan kekuasaan.
Saat Alya kembali, Rendra langsung menyuruhnya memeriksa setiap koneksi antara Jenderal Wiryo dengan ketiga korban, serta hubungannya dengan proyek Permata Pesisir secara detail. Alya terkejut melihat berkas yang dibawa Clara, namun profesionalismenya membuatnya segera bekerja.
"Jejak tanah spesifik, Detektif," Alya mengingatkan. "Kita harus menemukan lokasi itu."
Rendra mengangguk. "Itu akan menjadi petunjuk kunci kita. Jika kaktus itu berasal dari satu tempat, berarti pelaku sering ke sana. Mungkin itu tempat persembunyiannya, atau tempat dia menanam kaktus-kaktus itu."
Rendra memejamkan mata lagi. "Dan Alya, coba cari informasi tentang orang-orang yang hilang secara misterius di sekitar proyek Permata Pesisir. Terutama mereka yang punya pengetahuan mendalam tentang botani, atau orang-orang yang terpinggirkan secara sosial." Ia teringat cerita Profesor Kunto tentang anak botaniwan yang hilang dan 'Penjaga Kaktus'.
Alya mencatatnya. "Siap, Pak."
Keesokan paginya, tim pencarian yang dipimpin Alya berangkat menuju area perbukitan yang diidentifikasi oleh tim geologi. Rendra menunggu di kantor, membaca ulang berkas yang diberikan Clara. Setiap halaman membuka tabir kejahatan masa lalu yang terorganisir dengan rapi. Jenderal Wiryo muncul sebagai bayangan di balik setiap transaksi ilegal, setiap keputusan yang merugikan rakyat kecil. Rendra merasakan amarahnya membuncah. Dendamnya terhadap pembunuh adiknya kini bercampur dengan keinginan untuk membongkar jaringan busuk ini.
Ia merasakan secercah harapan. Jika Jenderal Wiryo benar-benar terlibat, maka mungkin ia akhirnya bisa menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya selama lima belas tahun. Mungkin, kematian adiknya bukan hanya sekadar kecelakaan. Mungkin, ini adalah kesempatan untuk membersihkan nama Reza, dan menemukan keadilan yang dulu tidak pernah ia dapatkan. Ia harus menemukan 'sarang' kaktus itu. Dan ia harus menemukan siapa yang menari di balik bayang-bayang Jenderal Wiryo.