Cerpen
Disukai
2
Dilihat
1,747
Bayang Bayang Dokter
Horor

Klinik Terapi Harapan Baru

Aroma lavender dan antiseptik menyeruak begitu Aria melangkah masuk, aroma yang terlalu manis untuk menjadi alami, seperti mencoba menutupi bau busuk yang tersembunyi. Di balik pintu kaca buram bertuliskan “Klinik Harapan Baru”, terpampang lobi minimalis serba putih, dengan beberapa lukisan abstrak yang dingin. Warna putih dominan, dari dinding hingga lantai keramik yang memantulkan cahaya lampu LED, menciptakan kesan bersih yang berlebihan, steril sampai-sampai terasa hampa. Aria, seorang jurnalis investigasi yang terkenal berani, mengencangkan genggaman pada tas selempangnya. Hari ini, ia bukan Aria, sang pemburu berita. Hari ini, ia adalah seorang wanita muda rapuh dengan trauma masa lalu yang dalam, mencari kesembuhan.

Ia telah mendengar desas-desus. Bisikan-bisikan di kalangan komunitas jurnalis tentang “Klinik Harapan Baru” yang aneh, tempat pasien datang dengan beban mental dan pulang dengan... kedamaian yang terlalu sempurna. Bahkan, beberapa mengatakan, dengan tatapan mata yang kosong, seolah ada sesuatu yang telah dicuri dari mereka. Informasi ini awalnya hanya gumaman samar, namun semakin hari semakin banyak laporan dari keluarga pasien yang merasa ada "sesuatu yang salah" dengan orang terdekat mereka setelah menjalani terapi di sana. Ini cukup aneh untuk menarik minat Aria, cukup mengerikan untuk membuatnya rela menyamar.

Seorang resepsionis berambut pirang sebahu, dengan tatanan rambut yang terlalu rapi dan senyum beku, menyambutnya. Matanya yang biru jernih tidak memancarkan kehangatan apa pun. “Selamat datang di Klinik Harapan Baru, Nona Wijaya. Kami menantikan kehadiran Anda.” Nona Wijaya adalah nama samaran yang ia gunakan, sebuah identitas yang telah ia bangun dengan cermat, lengkap dengan riwayat medis palsu yang cukup meyakinkan.

Aria duduk di salah satu sofa kulit putih di ruang tunggu, mencoba terlihat gelisah namun di dalam hati ia adalah seorang pengamat yang cermat. Ia mengamati setiap detail. Lampu gantung kristal yang mewah, namun sinarnya terlalu terang, menusuk mata. Rak buku diisi dengan judul-judul tentang mindfulness dan penyembuhan diri, namun semua terlihat tak tersentuh, seperti properti belaka. Beberapa pasien lain tampak gelisah, ada yang terus-menerus menunduk dalam-dalam, ada yang menggerakkan kaki tanpa henti, manifestasi dari kecemasan yang mendalam. Mereka adalah pasien baru, seperti dirinya.

Namun, ada segelintir yang lain. Mereka adalah pasien yang sudah lama berada di sini, atau yang sudah menjalani sesi terapi. Seorang wanita paruh baya dengan gaun bunga yang ceria, namun wajahnya tanpa ekspresi, duduk tegak dengan punggung lurus, tatapannya terpaku pada sebuah majalah yang ia genggam tanpa membalik halamannya, bahkan tanpa berkedip. Senyum tipis yang tak sampai ke mata, seolah terpahat di wajahnya. Lalu seorang pria muda bertubuh kekar, yang seharusnya memancarkan vitalitas, duduk diam di sudut, seperti patung marmer, hanya bernapas, matanya kosong menatap kekosongan di depannya. Mereka semua memiliki aura ketenangan yang mengganggu, semacam mati rasa yang menyelimuti. Sebuah kedamaian yang bukan ketenangan, melainkan kehampaan yang menakutkan.

“Nona Wijaya, Dr. Reinhardt siap menerima Anda.” Suara suster jaga itu lembut, nyaris berbisik, namun memiliki resonansi yang aneh. Aria menoleh. Suster itu, seorang wanita berusia empat puluhan dengan seragam putih bersih, memiliki senyum yang sama beku dengan resepsionis, dan yang paling mengkhawatirkan, mata yang sama kosongnya dengan pasien-pasien “sembuh” itu.

Aria mengikuti suster itu, melewati koridor-koridor yang terasa sejuk, hening, nyaris tanpa suara. Bahkan langkah kaki pun terasa diredam oleh karpet tebal, menciptakan suasana yang menekan, seperti berjalan di dalam kotak kedap suara. Ia menyadari bahwa di sini, segala bentuk suara keras atau ekspresi emosi akan terasa sangat asing, bahkan mengganggu.

Pintu kantor Dr. Reinhardt terbuka dengan desis hidrolik yang lembut, seolah menyambut ke dalam dunia lain. Pria itu berdiri menyambutnya, tinggi dan berwibawa, dengan rambut perak rapi yang disisir ke belakang, dan kacamata berbingkai tipis yang menambah kesan intelek sekaligus misterius. Matanya yang tajam seolah bisa menembus jiwa, menganalisis setiap detail keberadaan seseorang. Senyumnya ramah, terlalu ramah, seperti topeng yang terpasang sempurna untuk menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih gelap.

“Selamat datang, Nona Wijaya. Saya Dr. Reinhardt,” katanya, suaranya dalam dan menenangkan, seolah setiap kata telah diukur dan ditimbang. “Silakan duduk.” Ia menunjuk ke kursi kulit empuk di hadapan meja kerja yang sangat rapi, tanpa setumpuk kertas pun, hanya sebuah tablet digital dan pena stylus.

Aria duduk, mencoba menampilkan aura kecemasan yang ia persiapkan. Dr. Reinhardt duduk berhadapan dengannya, memancarkan aura karisma yang sulit ditolak. Aura seorang pemimpin, seorang visioner.

“Saya mengerti Anda datang dengan beban trauma yang berat,” lanjutnya, menatap Aria seolah melihat langsung ke jiwanya, mencari celah, mencari kelemahan. “Di Klinik Harapan Baru, kami percaya bahwa trauma adalah belenggu yang menahan potensi sejati manusia. Sebuah beban yang tidak perlu Anda pikul. Dengan metode gelombang neuro harmonik kami, kami tidak hanya menghapus trauma, kami mengembalikan esensi diri Anda yang sebenarnya. Membebaskan Anda dari belenggu masa lalu.”

Aria mengangguk, memainkan perannya dengan cermat. “Saya… saya lelah hidup dalam ketakutan, Dokter. Kilasan-kilasan itu… mimpi buruk… Saya hanya ingin kembali normal.” Aria sengaja menciptakan riwayat trauma palsu tentang kecelakaan tragis yang mengakibatkan hilangnya orang terdekatnya, lengkap dengan detail emosional yang meyakinkan.

Dr. Reinhardt tersenyum, senyum yang tidak sampai ke matanya. “Normal adalah definisi yang relatif, Nona Wijaya. Bagi kami, normal adalah kebebasan dari gejolak emosi yang merusak, dari ingatan yang membelenggu. Di sini, kami menawarkan kebebasan mutlak dari masa lalu yang menyakitkan. Sebuah awal yang baru. Sebuah halaman yang benar-benar kosong.”

Selama sesi konsultasi pertama, Dr. Reinhardt mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendalam tentang "trauma" Aria, tidak hanya tentang peristiwa itu sendiri, tetapi juga bagaimana hal itu memengaruhi setiap aspek kehidupannya. Ia mencatat setiap detail dengan cermat di tabletnya, ekspresinya selalu tenang, tak terbaca. Aria harus berjuang keras untuk mempertahankan perannya, meneteskan air mata di saat yang tepat, menunjukkan gestur tangan yang gelisah.

“Anda memiliki ingatan yang sangat jelas, Nona Wijaya. Detail yang begitu kaya. Itu bagus,” komentar Dr. Reinhardt, suaranya seolah ada nada kepuasan tersembunyi. “Ini akan mempermudah proses kami. Kami akan mulai dengan fase observasi dan penyesuaian lingkungan selama beberapa hari, lalu masuk ke terapi gelombang neuro harmonik. Anda akan terkejut dengan hasilnya. Sebuah kehidupan baru menanti Anda.”

Aria ditempatkan di sebuah kamar pasien yang luas dan nyaman, namun steril. Furnitur minim, warna-warna netral, tidak ada benda pribadi yang bisa menonjolkan identitas. Jendela menatap ke taman yang tertata rapi dengan pola geometris yang presisi, namun terasa hampa, tanpa bunga yang mekar, hanya rumput hijau yang dipangkas sempurna. Sepanjang hari, ia diperlakukan dengan sangat baik, hampir terlalu baik. Makanan disajikan dengan porsi sempurna dan nutrisi seimbang, disajikan di nampan bersih oleh suster yang selalu tersenyum. Musik klasik instrumental mengalun lembut dari pengeras suara tersembunyi, konstan, tanpa jeda, menciptakan latar belakang yang menenangkan namun menekan.

Namun, ketidaknyamanan itu terus merayapi. Setiap kali ia melihat pasien-pasien yang telah menjalani terapi, ia merasakan merinding yang mendalam. Mereka makan dalam keheningan yang aneh di ruang makan komunal, tidak ada percakapan, tidak ada tawa spontan, hanya suara sendok beradu dengan piring. Mereka bergerak dengan efisiensi yang mengerikan, tanpa emosi, tanpa ekspresi. Seperti boneka yang diisi, bergerak karena kebiasaan, bukan keinginan. Mereka "terlalu tenang", seperti yang telah ia curigai, seperti yang telah ia dengar dalam bisikan desas-desus. Sebuah kedamaian yang bukan ketenangan, melainkan kehampaan yang menakutkan, kehampaan yang mencuri jiwa.

Malam itu, Aria berbaring di tempat tidur, matanya terbuka lebar. Ia mengeluarkan ponsel kecil yang tersembunyi dengan cerdik di dalam lapisan sol sepatunya, perangkat komunikasi satelit mini yang mampu menembus jammer sinyal biasa. Ia mengetik cepat, merekam pengamatannya. “Aroma lavender menyesatkan. Kemandulan emosi pasien. Ruangan steril yang menekan. Dr. Reinhardt karismatik, tapi ada sesuatu di matanya yang dingin, seperti predator. Terlalu sempurna. Ini bukan penyembuhan.”

Ia tahu ia berada di tempat yang tepat. Dan ia tahu, bahaya yang ia cari mungkin jauh lebih dalam dan jauh lebih personal dari yang ia bayangkan. Ia merasa seperti domba yang menyusup ke kandang serigala, namun ia harus mengungkap apa yang tersembunyi di balik fasad Klinik Harapan Baru ini.

PasienTanpa Masa Lalu

Kecurigaan Aria tumbuh subur bagai jamur di tempat lembap, diperkuat oleh setiap tatapan kosong dan setiap senyum beku yang ia lihat. Ketenangan artifisial klinik mulai terasa seperti lapisan tipis di atas rawa yang gelap, siap menelan siapa pun yang lengah. Ia memanfaatkan setiap kesempatan untuk berinteraksi dengan pasien lain, terutama mereka yang telah menjalani terapi dan menunjukkan tanda-tanda “kesembuhan” yang mencurigakan.

Salah satu yang paling menarik perhatiannya adalah seorang pria bernama Bayu. Bayu adalah mantan tentara dengan perawakan tinggi dan bahu lebar, yang didiagnosis dengan PTSD parah setelah misi berbahaya di zona konflik. Dulu, perawat bercerita, Bayu sering berteriak-teriak di malam hari, dihantui kilasan perang dan wajah-wajah rekan yang gugur. Kini, ia hanya duduk di kursi roda dekat jendela besar di ruang rekreasi, memandang keluar dengan tatapan kosong, seperti sebuah patung yang dibuat sangat realistis. Kadang-kadang ia tersenyum tipis pada hal-hal yang tidak ada, seolah merespons perintah dari dunia lain.

Aria mendekatinya, membawa dua cangkir teh herbal dingin yang ia ambil dari dispenser umum. “Bayu, ya?” sapanya lembut, menawarkan salah satu cangkir. Aria telah membaca sekilas file umum Bayu yang ia curi-curi lihat di meja perawat, tentang bagaimana ia pernah menjadi seorang pahlawan perang.

Bayu menoleh perlahan, matanya yang dulu pasti penuh gejolak kini tenang, tanpa riak, seperti danau yang membeku. “Bayu,” jawabnya, suaranya datar, nyaris tanpa intonasi, sebuah gema kosong dari namanya sendiri. Ia mengambil cangkir itu, namun tidak meminumnya, hanya menggenggamnya erat.

“Aku Aria,” kata Aria, duduk di kursi di sebelahnya. “Aku dengar kamu dulu tentara yang hebat. Aku pernah mendengar kisahmu di berita.”

Bayu menatapnya, ada sedikit kerutan di dahinya, seperti ia mencoba mengingat sesuatu yang sangat jauh. “Tentara?” Ia mengulang kata itu, seolah asing, seperti itu adalah bagian dari bahasa yang terlupakan. “Saya tidak ingat. Mereka bilang… ada perang.”

Aria merasakan sensasi dingin menjalar di punggungnya. “Tidak ingat apa-apa? Tentang tugasmu? Keluargamu? Ibumu?”

Bayu menggeleng pelan. “Tidak ada. Mereka bilang saya sudah sembuh. Trauma saya hilang. Saya… tenang.” Kata “tenang” itu keluar dari mulutnya dengan nada yang sangat mekanis, seolah itu adalah sebuah mantra yang harus diucapkan.

Aria mencoba memancing lebih jauh, menanyakan tentang kampung halaman Bayu, makanan kesukaannya, bahkan warna seragamnya. Bayu hanya bisa menjawab dengan fragmen-fragmen aneh atau seringkali hanya diam, menatap kosong ke luar jendela. “Dulu… ada hutan,” katanya suatu kali, suaranya seperti bisikan angin yang lewat. “Tapi sekarang… kosong. Benar-benar kosong.” Ia mengucapkan kata ‘kosong’ dengan desahan samar yang membuat Aria merinding.

Setiap interaksi dengan pasien “sembuh” lainnya semakin menegaskan pola yang mengerikan itu. Seorang ibu yang dulu berduka atas kehilangan anaknya, yang dulu sering menangis di pojok ruang rekreasi, kini hanya merangkai bunga kering dengan senyum statis, seolah ia sedang melakukan pekerjaan robotik. Seorang eksekutif muda yang pernah menderita depresi parah, kini menghabiskan berjam-jam menatap layar televisi yang mati, tanpa berkedip, tanpa respons. Mereka semua seperti manekin yang hidup, bergerak dan bernapas, namun tanpa jiwa, tanpa esensi kemanusiaan.

Aria mulai mencatat perubahan mereka secara detail di ponselnya yang tersembunyi, yang ia keluarkan saat berada di kamar mandi pribadi atau saat pura-pura tidur. Dari cara berjalan yang kaku dan terseret, kebiasaan menatap kosong, hingga kurangnya respons emosional bahkan terhadap hal-hal yang seharusnya memicu reaksi – seperti berita duka di televisi, atau kedatangan keluarga yang menangis. Ia juga memperhatikan detail kecil lainnya.

Suatu sore, saat ia berpura-pura membantu suster jaga merapikan tempat tidur pasien yang baru saja selesai menjalani sesi terapi gelombang neuro harmonik, ia melihatnya. Suster itu, yang bernama Suster Clara, tampak sibuk mengatur selimut. Ketika ia membungkuk, Aria melihat sekilas bagian belakang telinga pasien itu, di pangkal leher. Ada benjolan kecil, nyaris tak terlihat, seperti bekas luka sayatan yang sangat rapi dan sudah sembuh, namun warnanya sedikit lebih gelap dari kulit sekitarnya, seolah ada sesuatu yang telah ditanamkan di bawahnya. Suster Clara segera menutup area tersebut dengan kerah baju pasien, seolah tidak sengaja, namun gerakannya terlalu cepat, terlalu terkoordinasi.

“Ada apa, Nona Wijaya? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Suster Clara, senyumnya sedikit menegang, matanya memancarkan peringatan samar.

“Oh, tidak ada apa-apa, Suster. Hanya… melihat kerahnya agak kusut,” jawab Aria sigap, jantungnya berdebar kencang di dadanya. Itu adalah sebuah petunjuk fisik yang tak terbantahkan. Sebuah "sesuatu" di belakang kepala mereka.

Aria menyadari bahwa ia tidak bisa lagi hanya mengamati. Ia harus mencari tahu apa yang tersembunyi di balik ketenangan palsu ini, apa yang sebenarnya dilakukan Dr. Reinhardt. Malam itu, ia mencoba mencari peta klinik yang lebih detail, mungkin di brosur atau di papan pengumuman yang tidak begitu diperhatikan. Ia menemukan sebuah denah sederhana yang menunjukkan ruang-ruang terapi, kamar pasien, dapur, dan kantor staf. Namun, ada satu area yang ditandai dengan garis putus-putus dan tulisan samar: "Laboratorium Penelitian Neuro-Harmonik - Akses Terbatas." Area itu terletak di sayap paling belakang klinik, tersembunyi, jauh dari jangkauan pasien biasa, dan tampak seperti benteng tersendiri.

Malam itu, mimpi buruk Aria bukan tentang traumanya sendiri, melainkan tentang wajah-wajah kosong yang ia lihat. Wajah Bayu, wanita paruh baya, dan eksekutif muda itu berputar-putar dalam benaknya, diiringi bisikan-bisikan aneh yang tak ia pahami, namun terasa dingin dan menekan, seolah mencoba merasuk ke dalam kesadarannya. Ia terbangun dengan keringat dingin, menyadari bahwa ia semakin dalam terjerat dalam misteri ini, dan waktu untuk bersembunyi akan segera habis. Ia harus segera bertindak.

Ruang Terlarang

Malam adalah saat ketenangan Klinik Harapan Baru mencapai puncaknya, namun bagi Aria, itu adalah saat aktivitas paling intens. Ia telah menghabiskan dua hari terakhir untuk memetakan jadwal suster jaga, mengamati rute patroli keamanan yang dilakukan oleh staf yang nyaris tanpa emosi, dan bahkan mempelajari pola tidur pasien yang teratur secara aneh. Yang paling penting, ia menemukan bahwa ada celah kecil dalam sistem keamanan. Sebuah pintu servis di dekat area dapur, yang digunakan untuk pengiriman pasokan, seringkali tidak sepenuhnya terkunci saat pergantian shift malam, dijaga hanya dengan kait sederhana atau kunci digital yang mudah ditebak.

Pukul 02:00 dini hari. Suasana klinik begitu senyap sehingga detak jantung Aria terdengar keras di telinganya sendiri. Aria mengenakan pakaian gelap, sebuah jumpsuit tipis berwarna abu-abu gelap yang ia selundupkan, bergerak senyap seperti bayangan. Ia menyelinap keluar dari kamarnya, napasnya tertahan di dada. Koridor-koridor gelap terasa lebih mencekam di bawah pencahayaan sensor otomatis yang hanya menyala sesaat lalu kembali padam, meninggalkan jejak kegelapan di belakangnya, seolah menyembunyikan sesuatu.

Ia berhasil mencapai pintu servis. Kaitnya memang tidak terkunci rapat, hanya sedikit mengganjal. Dengan sedikit dorongan yang hati-hati, pintu itu terbuka, mengeluarkan desis pelan yang terasa nyaring dalam keheningan yang mencekam. Aria masuk, napasnya memburu, bau sisa makanan bercampur disinfektan menyeruak. Aroma antiseptik di sini lebih kuat, bercampur dengan bau metalik yang aneh, dan aroma seperti ozon setelah badai.

Ia menemukan dirinya di sebuah lorong sempit yang mengarah ke area yang ditandai sebagai "Laboratorium Penelitian Neuro-Harmonik." Lorong itu terasa lebih dingin, dengan dinding-dinding baja dan pencahayaan yang lebih terang, namun dingin. Pintu menuju laboratorium itu jauh lebih tebal, terbuat dari baja, dengan kunci kartu elektronik dan panel kode yang canggih. Aria tersenyum tipis di kegelapan. Ia telah melihat salah satu suster senior menggunakan kartu aksesnya. Dengan ponselnya yang berteknologi tinggi, yang dimodifikasi untuk tujuan spionase, ia telah merekam gelombang sinyal saat suster itu tap kartunya.

Jari-jarinya menari di atas keypad ponsel. Ia memproyeksikan frekuensi yang sama, menggunakan teknologi kloning sinyal. Lampu kecil di panel kunci berkedip hijau, dan terdengar bunyi klik lembut. Pintu baja terbuka dengan desis hidrolik.

Di dalam, udara dingin menusuk tulang, lebih menusuk dari yang ia duga. Laboratorium itu adalah gabungan antara ruang bedah berteknologi tinggi dan pusat komando militer yang futuristik. Deretan mesin MRI berukuran besar mendominasi ruangan, mengeluarkan dengungan rendah yang konstan, seperti suara napas raksasa. Di tengah ruangan, terdapat kursi-kursi khusus yang dilengkapi dengan helm aneh dengan kabel-kabel mikrofon dan lengan robotik yang sangat presisi, seolah dirancang untuk operasi yang sangat halus.

Di sudut, deretan server AI raksasa yang tingginya mencapai langit-langit berkedip-kedip dengan lampu-lampu biru dan hijau, menampilkan grafik gelombang otak yang rumit di layar monitor besar. Aria mendekati salah satu monitor dan melihat tulisan "Neurowave Z - Protokol Aktivasi." Ada diagram anatomi otak manusia dengan area spesifik yang disorot berwarna merah, tampak seperti lokasi yang sangat presisi untuk sebuah implan.

Ia melihat dokumen-dokumen yang berserakan di meja kerja. Ada tumpukan laporan uji coba bertuliskan "Neurowave Z - Tahap Uji Coba Klinis: Penghapusan Trauma & Restrukturisasi Kognitif." Di bawahnya, sebuah prototipe chip kecil, seukuran biji beras, tergeletak di cawan petri yang steril. Chip itu tampak seperti mikroprosesor rumit dengan konektor-konektor mikroskopis, yang jelas bukan untuk tujuan penyembuhan biasa. Jantung Aria mencelos. Chip gelombang otak. Konspirasi yang ia duga, kini terbukti di depan matanya.

Dengan tangan gemetar, Aria mengeluarkan ponselnya dan mulai memotret setiap dokumen, setiap grafik, setiap detail yang ia bisa, dengan burst mode agar tidak ada yang terlewat. Laporan-laporan itu berisi catatan rinci tentang "sukses" penghapusan trauma, namun juga data aneh tentang "penurunan otonomi individu" dan "peningkatan kepatuhan subjek." Sebuah bagian berbunyi: "Pemrograman ulang kehendak bebas dapat mencapai 90% pada dosis optimal, menghasilkan agen yang patuh dan efektif." Ada juga grafik yang menunjukkan penurunan aktivitas di lobus frontal, area otak yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan dan emosi kompleks.

Saat ia sibuk memotret sebuah diagram skematis yang menunjukkan bagaimana chip itu terhubung langsung ke korteks prefrontal dan amigdala, dua area penting untuk memori dan emosi, sebuah suara dingin menusuk keheningan di belakangnya.

“Tampaknya Anda tersesat lagi, Nona Wijaya.”

Aria tersentak, menjatuhkan ponselnya ke lantai dengan bunyi gedebuk kecil. Suster jaga yang ia temui , Suster Clara, berdiri di ambang pintu, matanya sama dingin dan kosongnya seperti sebelumnya, namun kini ada kilatan tajam yang mengancam. Kali ini, ia tidak sendiri. Ada seorang pria bertubuh besar dengan seragam keamanan klinik di belakangnya, dan di tangan Suster Clara, sebuah suntikan berisi cairan bening.

“Ruangan ini hanya untuk prosedur pemrograman ulang. Anda tidak seharusnya berada di sini,” Nada suster itu tenang, namun ada ancaman terselubung di dalamnya yang membuat bulu kuduk Aria merinding.

Aria mencoba melarikan diri, mengambil ponselnya yang terjatuh, namun suster itu lebih cepat. Lengan kuatnya mencengkeram lengan Aria dengan cengkeraman baja. Pria keamanan itu bergerak cepat, membekuk Aria. Suntikan itu menancap di lehernya, terasa dingin dan tajam. Cairan itu menyebar dengan cepat dalam pembuluh darahnya. Otot-ototnya lunglai, pandangannya kabur, seolah ia tenggelam dalam lautan yang gelap.

Hal terakhir yang ia lihat sebelum kesadarannya menghilang adalah wajah Dr. Reinhardt yang muncul di ambang pintu laboratorium, senyumnya tetap terpasang sempurna, namun matanya memancarkan kepuasan dingin, seperti seorang ilmuwan yang melihat hasil eksperimennya berjalan lancar.

“Saya khawatir Anda memerlukan terapi pemulihan yang sangat mendalam, Nona Wijaya,” suara Dr. Reinhardt bergema di telinganya, dingin dan mengancam, sebelum semuanya menjadi gelap. Ia tahu, ia telah terperangkap dalam jebakan yang paling mematikan.

Suara-Suara dalam Kepala

Kesadaran kembali pada Aria seperti gelombang pasang yang menyakitkan, diikuti oleh badai di dalam kepalanya. Ia merasakan pening hebat, seolah otaknya telah diputarbalikkan dan disusupi sesuatu. Kelopak matanya terasa berat, namun ia memaksa diri untuk membukanya. Ia berada di kamarnya, berbaring di tempat tidur. Lampu redup menyala, menciptakan suasana yang lebih seperti kamar rumah sakit jiwa yang dikunci rapat daripada klinik terapi. Dinding-dinding putih terasa mengepung.

Ia mencoba mengangkat tangannya, tetapi otot-ototnya terasa kaku, berat, seperti baru bangun dari tidur yang sangat panjang dan berat. Ia menyentuh belakang telinganya. Ada plester kecil yang rapi menempel di sana, di tempat yang sama persis seperti yang ia lihat pada pasien lain. Jantungnya mencelos. Mereka telah melakukannya. Mereka menanamkan chip itu. Ia kini adalah salah satu dari mereka, sebuah boneka yang terprogram.

Sensasi berdengung samar memenuhi kepalanya, seperti suara kipas yang berputar jauh di dalam telaknya, atau frekuensi radio yang tidak disetel dengan benar. Kemudian, datanglah bisikan-bisikan. Pada awalnya, itu hanya suara statis, seperti siaran radio yang rusak. Lalu, kata-kata mulai terbentuk, samar, tidak jelas, namun menekan. “Tenang… damai… lepaskan… semua beban… patuh…”

Aria mencoba mengingat detail penyusupannya ke laboratorium. Ingatannya terasa kabur, seperti sebuah mimpi buruk yang perlahan-lahan menguap dari benaknya, atau selembar kertas yang diremas dan dibuang. Ia hanya ingat kilasan server yang berkedip, chip kecil di cawan petri, dan wajah dingin Dr. Reinhardt yang terakhir kali ia lihat. Semua bukti yang ia kumpulkan di ponselnya… entah ke mana.

Hari-hari berikutnya adalah neraka yang perlahan-lahan memakan jiwanya, mengikis identitasnya sedikit demi sedikit. Bisikan-bisikan di kepalanya semakin kuat, semakin jelas, nyaris menjadi perintah. Mereka mendesaknya untuk tidak memikirkan apa pun yang mengganggu, untuk menerima “kedamaian” yang ditawarkan klinik, untuk mengabaikan keraguan dan pertanyaan.

Emosinya terasa tumpul, seperti pisau tumpul yang tidak bisa lagi melukai. Kecemasan yang dulu selalu menemaninya telah menghilang, namun begitu pula dengan kegembiraan, kesedihan yang mendalam, dan amarah yang sehat. Segalanya terasa datar, hampa, seperti palet warna yang hanya memiliki satu warna. Ia melihat refleksi dirinya di cermin: tatapannya kosong, sama seperti pasien-pasien “sembuh” lainnya. Ketakutan merayapi hatinya, ketakutan akan kehilangan dirinya sendiri, menjadi cangkang kosong.

Mimpinya menjadi medan perang. Bukan lagi trauma masa lalu yang menghantuinya, melainkan gambar-gambar pasien tak bernyawa yang berkelebat cepat, wajah-wajah yang memohon tanpa suara, mata-mata yang menangis air mata darah. Kadang ia melihat kilasan Dr. Reinhardt di tengah kegelapan itu, tersenyum dingin, mengawasi. Aria tahu, ia sedang di-reprogram, otaknya sedang dicuci, identitasnya sedang dihapus.

Ia mencoba melawan. Setiap kali bisikan itu mendesaknya untuk menerima, ia memaksakan dirinya untuk memikirkan nama-nama yang ia kenal, wajah rekan kerjanya di kantor berita, keluarganya, kenangan masa kecilnya yang paling bahagia, misinya sebagai jurnalis. Ia mencoba untuk merasakan amarah yang membara, rasa takut yang nyata, apa pun yang bisa membuktikan bahwa ia masih hidup, bahwa ia masih punya jiwa.

Namun, kontrol chip itu kuat, nyaris tak tertahankan. Ada momen-momen di mana ia tiba-tiba menemukan dirinya melakukan sesuatu di luar kehendaknya, seperti robot yang diprogram. Mengangguk setuju pada sebuah pernyataan yang ia benci, tersenyum hampa saat mendengar kabar buruk, atau bahkan mengambil benda yang tidak ia inginkan dan meletakkannya di tempat yang aneh. Itu adalah uji coba kecil, tes kendali.

Dr. Reinhardt sesekali mengunjunginya, tatapannya penuh pengawasan. Ia akan duduk di samping tempat tidur Aria, memegang tangannya yang terasa dingin, merasakan denyut nadinya. "Bagaimana perasaan Anda, Nona Wijaya? Apakah Anda merasa lebih tenang? Lebih damai? Beban Anda telah terangkat."

Aria mencoba menjawab dengan perlawanan, mencoba membentuk kata-kata yang menentang. Tetapi yang keluar dari mulutnya adalah, "Saya merasa... baik, Dokter. Sangat damai. Seperti... baru lahir kembali." Suara itu terasa asing di telinganya sendiri, seperti suara orang lain. Itu adalah suara chip.

Ia mulai tak bisa membedakan kenyataan dan ilusi. Apakah bisikan itu nyata? Apakah Dr. Reinhardt benar-benar ada di sana, atau itu hanya halusinasi yang diciptakan chip? Apakah ia sudah gila? Ponsel tersembunyinya terasa seperti benda mati di sakunya. Ia bahkan tidak yakin ia masih punya kekuatan untuk menggunakannya, untuk mengirimkan apa yang telah ia kumpulkan. Pertarungan internalnya melelahkan.

Ketegangan mencekik. Aria adalah seorang jurnalis, pejuang kebenaran. Kini, kebenaran itu terkunci di dalam kepalanya sendiri, dan perlahan-lahan, identitasnya sedang dihapus. Ia adalah tahanan di dalam tubuhnya sendiri, dan Dr. Reinhardt adalah dalang yang mengendalikan benang-benang itu, penenun mimpi buruk yang telah menjadi kenyataan. Ia harus menemukan cara untuk lepas, sebelum ia sepenuhnya menjadi pasien tanpa masa lalu, sebuah cangkang kosong yang tersenyum hampa.

Uji Coba Lapangan

Kekacauan yang mendera kota dimulai dengan bisikan-bisikan aneh di berita pagi, yang Aria tangkap dari televisi di ruang rekreasi pasien. Meskipun tubuhnya bergerak dengan gerak-gerik lamban seorang pasien “sembuh” dan bisikan chip masih mencoba menguasai otaknya, naluri jurnalisnya masih berjuang, seperti bara api di tengah badai salju.

"Breaking News!" teriak presenter berita dengan wajah tegang, matanya melebar tak percaya. "Seorang pria tak dikenal mengamuk di Taman Kota Makmur pagi ini, menyerang pejalan kaki secara acak dengan tangan kosong, menyebabkan beberapa luka serius! Pelaku berhasil ditangkap, namun ia tidak menunjukkan penyesalan atau motif apapun. Identitasnya masih misterius, namun ia dikabarkan adalah mantan pasien dari sebuah klinik terapi memori swasta."

Aria merasakan sensasi aneh menjalar di kepalanya saat melihat wajah pelaku yang kabur di layar. Ada sesuatu yang familiar. Sebuah gelombang energi aneh melintas di benaknya, rasa sakit singkat, lalu gambaran yang jelas. Mata kosong itu… gerak-gerik kaku itu… Itu adalah Bayu. Pria yang dulu tentara, yang tidak ingat siapa dirinya.

Beberapa jam kemudian, Aria melihat Bayu kembali di ruang rekreasi klinik, duduk di kursi rodanya seperti biasa, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak ada bekas luka di tubuhnya, tidak ada ekspresi lelah atau marah. Sebuah manekin yang telah kembali ke tempatnya.

Pada saat itu, Aria menyadari kebenaran yang mengerikan: chip di kepalanya, yang juga ada di kepala Bayu, memungkinkan ia merasakan "aktivasi" pasien lain, meskipun masih samar dan menyakitkan. Gelombang aneh yang ia rasakan adalah sinyal dari Dr. Reinhardt yang mengaktifkan chip di kepala Bayu untuk melakukan serangan itu. Lalu, ketika misi selesai, sinyal itu dimatikan, dan Bayu kembali menjadi boneka pasif. Mereka bukan hanya pasien yang "sembuh." Mereka adalah zombie kendali jauh.

Serangan Bayu adalah uji coba lapangan pertama. Dr. Reinhardt tidak hanya menghapus trauma, ia menciptakan pasukan tak terlihat. Pasukan yang bisa diaktifkan kapan saja, melakukan kejahatan mengerikan tanpa jejak, lalu kembali ke kehidupan normal mereka, tidak diingat, tidak dicurigai, tidak bisa dituntut. Ini adalah teror yang sempurna, alat kendali sosial yang paling efektif.

Keesokan harinya, Aria secara diam-diam mendengar percakapan yang ia curi dengar antara Dr. Reinhardt dan seorang pria berjas mahal yang ia kenali dari liputan berita: Bapak Walikota Hartono, seorang pejabat publik yang sangat berpengaruh dan dikenal ambisius. Mereka berbicara di kantor Dr. Reinhardt, namun pintu yang sedikit terbuka membuat suara mereka terdengar jelas di koridor yang sepi.

“Proyek ini berjalan sesuai rencana, Dokter,” kata Walikota Hartono, suaranya mengandung nada kekaguman yang aneh, nyaris memuja. “Insiden di taman kota itu… sangat efektif. Masyarakat ketakutan, namun tidak tahu apa yang harus mereka takuti. Mereka hanya ingin ketertiban, dan mereka akan lebih mudah diatur. Anggaran untuk fase berikutnya akan segera cair.”

Dr. Reinhardt tertawa pelan, tawa yang dingin dan penuh kepuasan. “Seperti yang saya janjikan, Bapak Walikota. Proyek Pengendalian Massa ini akan mengubah kota kita menjadi oasis ketertiban dan kepatuhan yang saya impikan. Kekacauan adalah instrumen, dan kami adalah maestro-nya. Bayangkan sebuah kota di mana setiap warga patuh, tanpa kerusuhan, tanpa kejahatan… sebuah utopia, di bawah kendali kita.”

Jantung Aria berdebar kencang, kali ini bukan karena efek chip, melainkan karena kemarahan yang mendalam yang berhasil menembus tirai mati rasa. Pemerintah setempat ikut mendanai klinik ini sebagai proyek pengendalian massa! Mereka tidak hanya menutup mata, mereka adalah bagian dari konspirasi ini, berkolaborasi dengan kegilaan Dr. Reinhardt. Ini jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Sebuah kekuatan politik yang menyalahgunakan teknologi tercanggih untuk menguasai warganya melalui teror tak terlihat, melalui pencurian jiwa.

Aria harus menemukan cara untuk kabur. Chip itu masih mengontrolnya, bisikan itu masih ada, mencoba menenggelamkan setiap pikiran perlawanan. Namun, mengetahui skala kengerian ini memberinya kekuatan baru untuk melawan, memicu bara api perlawanan di dalam dirinya. Ia harus mengungkap kebenaran ini kepada dunia, sebelum seluruh kota menjadi tanpa jiwa, sepasukan boneka di bawah kendali seorang tiran.

Terungkapnya Proyek Z

Setelah revelations tentang Walikota Hartono, Aria tahu ia tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Keberadaannya di klinik ini semakin berbahaya, dan setiap detik yang berlalu adalah detik di mana identitasnya semakin terkikis, jiwanya semakin terenggut. Ia harus bertindak, dan bertindak sekarang.

Ia menyadari satu hal penting: meskipun chip mengendalikan emosi dan beberapa tindakan motoriknya, kemampuan kognitifnya, pemikiran analitisnya sebagai jurnalis, masih utuh – meskipun seringkali terasa seperti berenang di lumpur kental, setiap pemikiran membutuhkan usaha keras. Ia harus memanfaatkan itu, mengalahkan pengaruh chip dengan kehendak murninya.

Malam itu, Aria sekali lagi merencanakan penyusupan. Kali ini tujuannya adalah ruang arsip rahasia yang ia lihat di denah laboratorium, atau lebih baik lagi, server utama klinik yang ia tahu pasti menyimpan semua data, semua bukti tentang kegilaan Dr. Reinhardt. Ia mengingat detail dari kunjungan pertamanya – letak kamera yang mati, blind spot di koridor, dan jeda shift keamanan yang ia manfaatkan sebelumnya. Ia telah menghafal setiap sudut, setiap retakan di dinding.

Dengan hati-hati, ia melarikan diri dari kamarnya. Bisikan-bisikan di kepalanya mencoba menghentikannya, menyuruhnya untuk “kembali ke kedamaian,” untuk “tidak peduli,” untuk “menerima.” Aria memejamkan mata, memusatkan pikirannya pada misinya, pada wajah rekan-rekannya di kantor berita yang menunggunya, pada kebenaran yang harus diungkap, pada setiap korban yang telah diubah menjadi boneka.

Ia berhasil mencapai pintu yang tersembunyi di balik sebuah lukisan besar di koridor yang jarang dilewati, sebuah lukisan bunga yang ironisnya tampak hidup di dinding yang mati. Pintu itu terkunci dengan sistem biometrik sidik jari. Aria mengutuk dalam hati. Tetapi kemudian ia teringat sebuah adegan dari film mata-mata yang pernah ia tonton, tentang bagaimana sidik jari bisa dicuri. Ia melihat sekeliling. Ada noda sidik jari samar di dekat pemindai, mungkin dari staf senior atau bahkan Dr. Reinhardt sendiri. Aria mengeluarkan kit investigasi mininya yang ia selundupkan, berisi bubuk sidik jari dan pita perekat khusus. Dengan hati-hati, ia mengambil sidik jari itu, lalu menempelkannya ke jempolnya sendiri.

Beep! Pintu terbuka dengan desis hidrolik.

Di dalam, udara dingin dan berbau ozon, bercampur dengan aroma elektronik yang menyengat. Ruangan itu dipenuhi rak-rak server yang tinggi dan lemari-lemari arsip besi yang terkunci rapat. Aria langsung menuju server. Dengan pengetahuannya tentang sistem komputer dan sedikit keberanian, ia mencoba meretasnya. Tangannya gemetar, bukan karena takut, melainkan karena tarikan dari chip di kepalanya yang mencoba mengganggu konsentrasinya, membuat jari-jarinya kaku. Bisikan-bisikan menjadi lebih keras, seperti raungan di otaknya, mencoba mengacaukan pemikirannya, mengikis fokusnya.

“Lepaskan… menyerah… damai… kau lemah… ini sia-sia…”

Aria mengabaikannya, jarinya menari di atas keyboard virtual ponselnya yang ia sambungkan ke server. Ia mencoba kombinasi password yang umum digunakan oleh orang-orang dengan ego besar – nama mereka sendiri, tanggal lahir, nama klinik, tanggal penemuan. Ia juga mencoba kata sandi yang ia lihat di salah satu dokumen yang sempat ia potret sebelumnya.

Akhirnya, sebuah kombinasi berhasil. Layar menyala, menampilkan antarmuka yang kompleks, penuh dengan folder dan file yang terenkripsi. Sebuah folder menarik perhatiannya, dengan tulisan mencolok: "Proyek Zombieware: Neuro-Z."

Ia mengklik folder itu. Di dalamnya, ada ribuan file. Laporan-laporan riset ilmiah, video eksperimen yang mengerikan, daftar nama pasien dan "agen," protokol aktivasi, dan bahkan rencana jangka panjang. Ia menemukan sebuah manifesto gila yang ditulis oleh Dr. Reinhardt sendiri, sebuah dokumen berjudul "Visi untuk Masa Depan yang Tertata."

Motif utama dokter terkuak sepenuhnya. Dr. Reinhardt bukan hanya ilmuwan gila, melainkan seorang megalomaniak yang meyakini bahwa emosi manusia adalah akar dari kekacauan, kejahatan, dan penderitaan dunia. Ia percaya bahwa ia adalah penyelamat umat manusia, yang akan menciptakan "masyarakat sempurna" yang patuh, tanpa kerusuhan, tanpa kejahatan, tanpa gejolak emosi atau protes. Ia ingin memusnahkan kehendak bebas, menggantinya dengan "ketertiban" versi dirinya. Pasukan zombie pribadi ini adalah langkah pertamanya untuk "mengontrol kota dengan teror hidup," menciptakan kekacauan yang terorganisir untuk memaksakan "ketertiban"-nya sendiri. Ia ingin menjadi dewa bagi umat manusia yang "baru," yang ia ciptakan.

Aria menemukan bukti-bukti eksperimen terdokumentasi yang mengerikan: rekaman video pasien yang berteriak saat chip ditanamkan, lalu menjadi tenang, kosong, seperti cahaya padam. Video-video uji coba di mana pasien-pasien ini diperintah untuk melakukan tugas-tugas absurd, bahkan kekerasan yang mengerikan, tanpa pertanyaan, tanpa perlawanan.

Yang paling membuat darahnya mendidih, mengalahkan efek mati rasa chip, adalah daftar nama-nama penting: pejabat kota yang menentang kebijakan tertentu, aktivis masyarakat, bahkan beberapa jurnalis investigasi… termasuk nama Aria Wijaya (nama samaran) - Prioritas Tinggi: Deaktivasi Permanen (Penghapusan Total Ingatan & Identitas). Mereka berencana menghapus dirinya seutuhnya, mengubahnya menjadi robot kosong.

Saat Aria sibuk mengunduh data-data ini ke USB tersembunyi yang ia bawa, dan mencoba mengirimkan salinan via email ke dead drop yang ia siapkan – sebuah alamat email anonim yang ia gunakan untuk kasus-kasus paling sensitif – sebuah alarm berbunyi keras. Sirene darurat! Merah menyala. Ia terdeteksi.

Lampu-lampu di laboratorium menyala terang, dan ia mendengar langkah kaki yang cepat mendekat dari luar. Aria menarik USB-nya dan buru-buru keluar dari ruangan, meninggalkan emailnya yang mungkin belum terkirim sepenuhnya, atau mungkin sudah, ia tidak yakin.

Ketegangan memuncak. Ia harus kabur sebelum dihapus total ingatannya, sebelum ia benar-benar menjadi kosong. Suster-suster yang kosong matanya dan beberapa staf keamanan berjas hitam, beberapa di antaranya juga menunjukkan tanda-tanda "ketenangan" yang sama, mengejarnya. Koridor-koridor yang dulu hening kini dipenuhi raungan alarm dan jeritan Aria yang berjuang untuk kebebasannya. Ia berlari, menerobos pintu-pintu darurat, menghindari cengkeraman tangan-tangan dingin yang mencoba menangkapnya. Chip di kepalanya berdenyut, mengirimkan gelombang pusing dan disorientasi yang memualkan, mencoba menghentikannya, mengunci tubuhnya. Aria mengabaikannya, setiap langkah adalah perlawanan, setiap napas adalah pemberontakan. Ia harus bertahan.

Kota Tanpa Jiwa

Aria berhasil kabur dari Klinik Harapan Baru, namun dengan harga mahal. Pelarian itu menguras setiap tetes energinya. Ia nyaris tidak sadarkan diri, terhuyung-huyung di jalanan kota yang masih gelap dini hari, sisa-sisa bisikan chip masih berputar di kepalanya, seperti sisa-sisa lagu yang diputar di radio yang rusak. Ia berhasil mencapai sebuah hotel kumuh di pinggir kota, tempat ia menyewa kamar dengan sisa uang tunai yang ia punya, untuk berjaga-jaga. Di sana, ia ambruk di atas tempat tidur, kelelahan, dan ketakutan yang menggigit.

Saat ia terbangun, matahari sudah tinggi, menyinari kamar yang pengap. Ponselnya, yang ia simpan dengan aman di saku tersembunyi jumpsuit-nya, berdering tanpa henti. Itu adalah atasannya, Pak Doni, seorang editor senior yang telah mempercayainya dengan kasus ini. “Aria! Syukurlah kau mengangkatnya! Kau baik-baik saja? Di mana kau? Seluruh kota gila!”

Aria membuka televisi di kamar hotel. Apa yang ia lihat di layar membuat darahnya membeku. Kota dalam kekacauan, lebih parah dari yang ia bayangkan.

Layar berita dipenuhi laporan tentang serangkaian insiden kekerasan dan keanehan yang terjadi secara serempak di berbagai lokasi. Sebuah bank terbakar di pusat kota, pelakunya adalah seorang karyawan bank yang biasanya dikenal sangat tenang dan rajin. Di pasar tradisional, seorang ibu rumah tangga yang selalu ramah tiba-tiba menyerang penjual sayur dengan pisau, menusuknya berulang kali, lalu duduk diam di samping tubuh korbannya dengan wajah datar, seolah tak terjadi apa-apa. Di sebuah taman bermain, seorang kakek-kakek yang biasanya ramah dan sering bercerita tiba-tiba mengamuk, memecahkan ayunan dan perosotan, sebelum akhirnya pingsan dan terbangun dengan kebingungan, menangis mencari cucunya.

Kota dalam kekacauan, dan yang paling mengerikan adalah pelakunya: warga biasa, tetangga, teman, bahkan anggota keluarga. Polisi dan militer kewalahan. Mereka menangkap para pelaku, namun para pelaku itu tidak ingat apa pun tentang kejahatan mereka, tidak menunjukkan penyesalan, atau bahkan motif. Mereka seperti robot yang diprogram, melakukan tugasnya, lalu "reset" kembali menjadi orang normal yang kebingungan. Ini menciptakan ketakutan massal, histeria yang melanda kota, karena tidak ada yang tahu siapa yang bisa dipercaya, siapa yang akan menjadi korban atau pelaku berikutnya.

“Ini bukan kegilaan biasa, Pak Doni,” kata Aria, suaranya serak dan bergetar, melawan bisikan chip yang mencoba menahannya. “Ini perbuatan Dr. Reinhardt. Dia mengaktifkan mereka. Mereka adalah agennya, pasukannya.”

“Reinhardt? Apa maksudmu? Aria, kau bicara apa?” Pak Doni terdengar panik dan tidak percaya.

Aria berusaha menjelaskan, menceritakan tentang chip, Proyek Zombieware: Neuro-Z, dan keterlibatan Walikota Hartono. Suaranya terdengar aneh, terputus-putus, karena bisikan chip di kepalanya masih mencoba untuk membatasi kemampuannya berbicara, membuat kata-kata terasa berat di lidahnya.

Kemudian, sebuah berita kilat muncul di televisi. Walikota Hartono tampil di sebuah konferensi pers darurat. Aria tahu persis siapa dia, dan kini ia tahu siapa yang mengendalikannya.

“Saudara-saudari sekalian,” kata Walikota Hartono, senyumnya dingin, matanya kosong, sama seperti pasien "sembuh" di klinik. Suaranya terdengar terlalu tenang, terlalu sempurna. “Kekacauan yang terjadi adalah bukti nyata bahwa kita membutuhkan ketertiban mutlak. Kita tidak bisa membiarkan emosi dan trauma menguasai kita. Saya telah berdiskusi dengan Dr. Reinhardt dari Klinik Harapan Baru. Beliau menawarkan solusi inovatif untuk mengembalikan kedamaian. Mulai malam ini, kita akan memberlakukan jam malam ketat, dan setiap warga yang merasa ‘tertekan’ atau ‘tidak stabil’ akan diwajibkan menjalani ‘terapi’ di klinik-klinik yang terafiliasi.”

Aria merasakan gelombang yang sama lagi, gelombang energi aneh yang ia rasakan saat melihat Bayu. Itu adalah sinyal aktivasi. Sebuah kilasan memori muncul di otaknya yang terluka: Walikota Hartono pernah terlihat mengunjungi klinik beberapa minggu sebelumnya, menyamar sebagai investor. Ini mengkonfirmasi: Ada tokoh pejabat publik penting yang juga sudah dipasangi chip, menjadi boneka Dr. Reinhardt, pion terpenting dalam skema kontrolnya.

“Dia… dia sudah punya Walikota, Pak Doni,” bisik Aria, air mata mengalir di pipinya. “Ini bukan hanya tentang teror. Ini tentang kontrol total. Seluruh kota akan menjadi budaknya.”

Pak Doni terdiam sesaat, syok. “Aria, kau ada di mana? Kita harus bertemu. Kau punya bukti yang kuat?”

“Ada di USB, dan… kurasa aku sempat mengirimkan beberapa file ke dead drop sebelum mereka mendeteksinya. Tapi aku tidak yakin semua terkirim, atau apakah mereka sudah menghapusnya.”

Aria tahu ia menjadi target nomor satu. Ia harus menyebarkan informasi ini sebelum Dr. Reinhardt menghapus jejaknya atau menggunakannya untuk tujuan yang lebih keji. Ia harus mengungkap kebenaran tentang kota tanpa jiwa ini kepada dunia, bahkan jika itu berarti mengorbankan segalanya. Ia merasakan bara perlawanan di dalam dirinya, api kecil yang menolak padam.

Percobaan Terakhir

Aria mencoba melarikan diri, menyebarkan informasinya, namun kota sudah terlalu dikuasai oleh bayang-bayang Dr. Reinhardt dan pasukannya yang tak terlihat. Bisikan-bisikan chip di kepalanya semakin intens, mencoba membingungkan dan melumpuhkannya. Ia mencoba menghubungi rekan-rekan jurnalisnya, mengirimkan pesan-pesan terenkripsi dari ponselnya yang berhasil ia selamatkan, namun sebagian besar jaringannya sudah terputus atau dikendalikan.

Saat ia mencoba mengunggah sisa data dari USB-nya di sebuah warnet kumuh yang belum terjangkau kendali, sebuah van hitam tanpa tanda tiba-tiba berhenti di depan. Dua orang berjas hitam, dengan tatapan mata kosong yang sama seperti suster di klinik, keluar. Mereka bergerak dengan efisiensi robotik.

"Nona Wijaya, Anda melakukan kesalahan besar," kata salah satu dari mereka, suaranya monoton, tanpa emosi. "Dr. Reinhardt ingin Anda kembali. Ada posisi penting untuk Anda."

Aria meronta, menendang, mencoba berteriak, namun chip di kepalanya berdenyut, mengirimkan gelombang pusing dan mual yang luar biasa, melumpuhkan perlawanannya. Otot-ototnya lunglai, pandangannya kabur. Ia diseret, dimasukkan ke dalam mobil van itu, dan dibawa kembali ke neraka yang paling ia takuti: Klinik Harapan Baru, namun kali ini ia dibawa ke area yang lebih dalam, yang lebih mengerikan.

Kali ini, tidak ada lagi basa-basi. Aria langsung dibawa ke jantung laboratorium yang mengerikan itu. Dr. Reinhardt menunggunya, tersenyum puas, berdiri di depan sebuah kursi logam yang tampak lebih canggih dan menyeramkan dari kursi terapi biasa.

"Nona Aria," katanya, berjalan mengelilingi Aria yang kini terikat kuat di kursi terapi itu dengan tali kulit. Lengan robotik dengan jarum-jarum mengilap dan sensor-sensor mikro melayang di dekat kepalanya. "Anda adalah spesimen yang luar biasa. Kehendak bebas Anda, perlawanan Anda, keinginan Anda untuk mencari kebenaran, hanya membuat Anda semakin berharga bagi proyek saya."

"Apa... apa yang akan kau lakukan?" Aria menelan ludah, suaranya serak dan bergetar, sisa-sisa emosi yang berjuang.

"Anda akan menjadi 'zombie elite,' Nona Aria," jawab Dr. Reinhardt, matanya berkilat gila, sebuah kilatan kegilaan yang mengerikan. "Agen paling sempurna saya. Dengan kemampuan investigasi Anda yang luar biasa, dipadukan dengan kepatuhan mutlak, Anda akan menjadi alat saya yang paling mematikan. Anda akan membunuh pejabat-pejabat anti-klinik, jurnalis-jurnalis yang terlalu ingin tahu, memimpin pasukan saya… bahkan mungkin atasan Anda sendiri. Anda akan menjadi instrumen ketertiban saya."

Ketakutan murni menyelimuti Aria, dingin dan mencengkeram. Ia menolak untuk menjadi alat pembunuh ini. Ia menolak untuk kehilangan dirinya seutuhnya, untuk menjadi hantu dari dirinya sendiri.

"Saya tidak akan membiarkannya! Saya tidak akan pernah menyerah!" teriak Aria, meronta dengan seluruh sisa tenaganya, tali kulit terasa menggerogoti pergelangan tangannya.

Dr. Reinhardt hanya tersenyum mengejek. "Kehendak bebas Anda adalah ilusi yang rapuh, Nona Aria. Sebuah anomali yang akan segera saya perbaiki. Proses aktivasi chip akhir akan segera dimulai."

Lampu di helm di atas kepalanya menyala dengan cahaya biru pucat yang dingin. Dengungan rendah memenuhi ruangan, semakin lama semakin keras, menjadi raungan di telinga Aria, seperti suara ribuan lebah di otaknya. Sinyal-sinyal yang kuat mulai menyerang otaknya, mengalirkan gelombang informasi dan perintah yang membanjiri kesadarannya. Bisikan-bisikan di kepalanya kini menjadi jeritan nyaring, gambar-gambar abstrak dan perintah-perintah berkelebat dengan kecepatan gila, mencoba merobek sisa-sisa kewarasannya, menghapus identitasnya. Ini adalah klimaks pertempuran antara Aria dan sistem chip itu, pertarungan terakhir untuk jiwanya.

Aria memejamkan mata, memusatkan seluruh sisa kekuatannya, setiap serpihan ingatannya. Ia mengingat kembali mengapa ia menjadi jurnalis, semangatnya untuk mencari kebenaran, wajah orang-orang yang ia cintai, janji yang ia buat untuk dirinya sendiri. Ia adalah seorang jurnalis, seorang pejuang kebenaran. Ia tidak akan menyerah, tidak akan menjadi boneka mereka.

Rasa sakit yang luar biasa menyambar otaknya, seolah ada tangan tak terlihat yang mencoba meremas otaknya hingga hancur. Otot-ototnya kejang, darah menetes dari bibirnya yang tergigit. Tetapi dalam kekacauan itu, dalam rasa sakit yang memuncak, Aria melihat sebuah peluang. Ia menyadari bahwa karena ia telah disematkan chip, ia terhubung ke sistem utama klinik, ada koneksi langsung. Ia bisa merasakan aliran data.

Dengan sisa-sisa kesadaran terakhirnya, yang kini terasa begitu rapuh, Aria memusatkan pikirannya. Ia memanipulasi frekuensi sinyalnya sendiri, memaksanya untuk overload, membanjiri sistem utama chip dengan umpan balik yang merusak, sebuah feedback loop yang akan menghancurkan sistem. Itu adalah sebuah gagasan yang gila, berbahaya, bisa membunuhnya, tetapi satu-satunya harapannya. Jika ia harus mati, ia akan mati sebagai Aria, bukan sebagai boneka.

Dalam laboratorium, meteran energi naik dengan cepat, menunjukkan overload yang masif. Lampu-lampu mulai berkedip gila-gilaan. Dr. Reinhardt, yang sedang memantau prosesnya di konsol utama, menyadari apa yang terjadi. Wajahnya berubah pucat, mata gila itu kini memancarkan kepanikan murni. "Tidak mungkin! Dia melawan sistem! Dia merusak koneksinya! Hentikan! Hentikan prosesnya!" teriaknya, menekan tombol-tombol dengan putus asa.

Namun sudah terlambat. Dengan jeritan terakhir yang datang dari lubuk jiwanya, sebuah jeritan mental yang tak terdengar, Aria membiarkan frekuensinya meledak. Sebuah suara CRACK! yang keras, seperti petir di dalam ruangan, menggema. Seluruh sistem utama chip di laboratorium mengalami kerusakan parah. Layar monitor meledak, percikan api menyambar. Kabel-kabel terbakar, server berasap tebal, mengeluarkan bau terbakar yang menyengat. Alarm meraung semakin nyaring, namun kini berbeda, alarm yang rusak, putus-putus, menandakan kehancuran.

Dr. Reinhardt menatap Aria, wajahnya pucat pasi, amarah dan kepanikan bercampur aduk, melihat kehancuran visinya di depan mata. "Kau menghancurkan segalanya! Kau menghancurkan utopia saya!"

Di luar klinik, di seluruh kota, pemandangan serupa terjadi. Para "agen" yang sedang aktif, yang sedang melancarkan teror di bawah kendali Dr. Reinhardt, tiba-tiba jatuh, mengalami kejang-kejang hebat, atau terdiam di tempat, tatapan kosong mereka berganti menjadi kebingungan, lalu kesedihan, lalu kepanikan. Kemudian, beberapa dari mereka bangun, menjerit, ingatan tentang perbuatan mengerikan mereka kembali menghantam, menyebabkan mereka menangis atau menjerit histeris. Sebagian lain hanya duduk diam, trauma akibat pengalaman mengerikan itu membekas di wajah mereka, namun benang kendali telah terputus.

Aria terhuyung di kursinya, tubuhnya lemas tak bertenaga, otaknya terasa seperti bubur. Ia telah menang. Setidaknya, untuk saat ini. Ia telah menyelamatkan jiwanya, dan mungkin, jiwa banyak orang lain.

Klinik Baru, Kehidupan Baru?

Beberapa bulan kemudian, kota perlahan pulih dari trauma kolektif. Luka-luka di permukaan kota mulai tertutup, namun bekas luka di jiwa warganya masih terasa. Klinik Harapan Baru ditutup dan diselidiki secara menyeluruh, meskipun dengan banyak hambatan birokrkrasi dan upaya penutupan dari pihak-pihak berwenang yang terlibat. Laporan investigasi Aria, yang berhasil ia kirimkan secara parsial sebelum ditangkap, menjadi viral, tersebar luas di media sosial dan jaringan berita independen. Aria diakui sebagai pahlawan, seorang jurnalis pemberani yang mengungkap konspirasi gelap, meskipun reputasinya sebagai jurnalis “sensasional” juga melekat.

Aria sendiri sedang dalam masa pemulihan yang panjang dan sulit. Secara fisik, ia pulih, namun bekas luka dari pengalaman itu, terutama dari chip di kepalanya, masih terasa. Terkadang, ia masih mendengar bisikan samar di kepalanya, atau merasakan "gelombang" aneh yang lewat, seperti jejak hantu dari sistem yang rusak, atau frekuensi radio yang masih mengudara. Ia harus menjalani terapi intensif, baik psikologis maupun medis, untuk mengatasi efek jangka panjangnya, untuk merekatkan kembali kepingan-kepingan dirinya. Ada momen di mana ia merasa kehilangan sebagian dari dirinya, seperti ada lubang di ingatannya, namun ia berjuang setiap hari untuk merekonstruksi identitasnya, untuk mengingat siapa Aria sebelum semua ini.

Ia menulis artikel investigasi yang lebih mendalam, merinci setiap penemuan, setiap bukti, setiap kengerian yang ia alami di Klinik Harapan Baru. Artikel itu tidak hanya menjadi headline, tetapi juga memicu perdebatan sengit di seluruh negeri tentang etika teknologi, kekuasaan yang tak terkendali, dan bahaya manipulasi pikiran. Publik terpecah. Beberapa menganggapnya pahlawan, menuntut keadilan, yang lain mencibir, menyebut kisahnya fiksi ilmiah belaka, propaganda untuk mengguncang kepercayaan publik. Walikota Hartono ditangkap, namun dengan alasan "gangguan mental" dan bukan karena keterlibatannya dalam Proyek Zombieware.

Suatu sore, saat Aria sedang menonton berita malam yang memberitakan perkembangan kasus penutupan Klinik Harapan Baru, sebuah laporan kilat muncul di televisi. "Sebuah klinik terapi memori inovatif baru telah dibuka di kota bagian selatan, menjanjikan 'pemulihan total' dan 'kedamaian abadi' melalui metode 'gelombang neuro-resonansi' terbaru..."

Jantung Aria mencelos, dingin. Gelombang neuro-resonansi. Itu terlalu mirip dengan "gelombang neuro harmonik" yang digunakan Dr. Reinhardt.

Kamera menyorot dokter yang memimpin klinik baru itu. Pria itu tersenyum ke arah kamera, dengan rambut sedikit berbeda, kacamata yang lebih modern, dan mungkin sedikit penambahan berat badan yang membuatnya terlihat lebih muda dan ramah. Tetapi mata itu. Mata yang tajam, dingin, dan penuh kepuasan yang gila. Mata yang tidak akan pernah Aria lupakan, yang telah menghantuinya dalam mimpi terburuknya.

Itu adalah Dr. Reinhardt, menggunakan identitas baru, Dr. Alexi Brandt. Ia berhasil melarikan diri, lolos dari jeratan hukum, dan kini memulai kembali proyek mengerikannya di tempat lain, di kota yang belum mengenalnya. Sebuah klinik baru telah dibuka, dan mimpi buruk itu dimulai lagi.

Aria merasakan bisikan-bisikan di kepalanya menjadi sedikit lebih jelas, lebih mendesak. Bukan lagi bisikan yang menyuruhnya untuk tenang, melainkan bisikan yang mengingatkannya akan kehadiran chip itu, dan kemungkinan koneksi yang masih tersembunyi. Apakah chip di kepalanya masih aktif? Apakah ini sebuah peringatan, atau apakah dia masih terhubung dengan Dr. Reinhardt, bahkan setelah apa yang terjadi? Gelombang energi aneh melintas di kepalanya, seolah ada frekuensi yang tersambung kembali.

Ia menatap layar televisi, ekspresi campur aduk antara ketakutan yang dingin dan tekad yang membara. Perang ini belum berakhir. Monster itu hanya berganti kulit. Dan Aria, dengan sisa-sisa kekuatannya, dengan luka yang masih menganga namun semangat yang tak padam, tahu bahwa ia harus terus berjuang. Pertarungan untuk mempertahankan identitas manusia, dan kehendak bebas, baru saja dimulai kembali. Ia tidak akan membiarkan Dr. Reinhardt membangun utopia gelapnya. Ia akan melawannya, sampai akhir.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)