Cerpen
Disukai
0
Dilihat
620
Anatomi Bayangan
Misteri

Seorang jurnalis kriminal bernama Mira mengepak barang-barangnya dengan tergesa-gesa. Sudah dua bulan ia mencari apartemen yang cocok, dan akhirnya, ia menemukan sebuah bangunan tua bergaya art-deco di pusat kota. Apartemen itu tampak sempurna, dengan langit-langit tinggi, jendela-jendela besar yang menghadap ke jalanan ramai, dan sebuah lorong panjang yang memisahkan ruang tamu dari kamar tidur.

Meskipun usianya sudah puluhan tahun, bangunan itu tetap terawat dengan baik. Dinding-dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan abstrak, dan lantai kayunya yang mengilap memancarkan kehangatan. Mira tidak sabar untuk pindah ke sana dan memulai hidup baru. Ia membayangkan dirinya duduk di dekat jendela, menikmati secangkir teh hangat sambil menulis artikel-artikelnya.

Namun, malam pertama di apartemen baru itu, harapan Mira berubah menjadi kegelisahan. Ia terbangun di tengah malam karena suara yang aneh. Suara itu terdengar seperti langkah kaki, tapi tidak seperti langkah kaki biasa. Lebih mirip seretan, seperti seseorang yang menyeret kakinya perlahan di lantai kayu. Suara itu berasal dari lorong panjang yang gelap.

Mira menahan napasnya, mencoba mendengarkan lebih saksama. Langkah-langkah itu semakin jelas, semakin dekat. Jantungnya berdebar kencang, ia merasakan keringat dingin membasahi punggungnya. Ia melirik jam di samping tempat tidurnya, pukul 03.00 dini hari. Ia yakin tidak ada orang lain di apartemen itu selain dirinya.

Suara langkah kaki itu berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Mira memejamkan matanya, berharap suara itu akan menghilang. Tetapi, suara itu justru semakin jelas, diiringi dengan suara ketukan pelan di pintu. Mira merasa seperti ada orang yang sedang mencoba membobol pintu kamarnya. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.

Tiba-tiba, suara ketukan itu berhenti. Hening. Mira membuka matanya perlahan. Ia menyalakan lampu, dan pandangannya langsung tertuju pada pintu. Tidak ada seorang pun di sana. Ia menghembuskan napas lega. "Hanya imajinasiku," gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Keesokan harinya, Mira mencoba mencari tahu tentang apartemen itu. Ia bertanya pada pengelola dan tetangga-tetangganya, apakah mereka pernah mendengar suara aneh di malam hari. Semua orang menggelengkan kepala.

"Tidak, Nona. Saya sudah tinggal di sini selama 20 tahun, dan tidak pernah mendengar suara aneh apa pun," kata pengelola apartemen.

Mira merasa aneh. Apakah hanya ia yang mendengar suara itu? Ia mulai merasa paranoid. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanya ilusi, bahwa ia terlalu lelah. Namun, saat malam tiba, ia kembali mendengar suara itu. Langkah kaki yang menyeret, ketukan pelan di pintu. Kali ini, ia memberanikan diri. Ia membuka pintu kamarnya, dan melihat ke lorong.

Tidak ada seorang pun. Lorong itu gelap dan kosong. Mira menyalakan senter, dan menyusuri lorong itu perlahan. Ia melihat ke setiap sudut, di bawah meja, di belakang lemari. Tidak ada apa pun. Ia kembali ke kamarnya, bingung dan frustrasi.

Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih dalam tentang apartemen itu. Ia menemukan bahwa apartemen itu pernah menjadi tempat tinggal seorang psikopat 15 tahun yang lalu. Psikopat itu dikenal sebagai "Si Penghapus Wajah". Ia membunuh korbannya dengan kejam, dan selalu merobek wajah mereka, menyisakan tubuh mereka saja.

Mira semakin takut. Ia mencoba mencari berkas-berkas lama tentang kasus itu. Ia menemukan sebuah berkas investigasi yang sudah usang di ruang bawah tanah apartemen. Berkas itu berisi foto-foto korban, dan benar saja, wajah mereka sudah disobek. Namun, ada satu hal yang aneh. Di belakang salah satu foto, tertulis sebuah nama: Mira.

Mira terkejut. Bagaimana mungkin namanya ada di sana? Ia merasa seperti ada orang yang sedang mempermainkannya. Ia mencoba menghubungi polisi, tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Polisi mengatakan bahwa kasus itu sudah lama ditutup, dan tidak ada bukti baru.

Mira merasa seperti terjebak. Ia tidak bisa melarikan diri dari apartemen itu, dan ia tidak bisa menemukan jawaban. Ia merasa seperti ada orang yang mengawasinya, mengikutinya, dan menunggu saat yang tepat untuk membunuhnya. Ia merasa seperti boneka yang dimainkan oleh seorang psikopat. Ia merasa seperti ia adalah korban berikutnya.

Pagi berikutnya, setelah malam yang penuh teror, Mira memutuskan untuk tidak lagi mengabaikan hal-hal aneh yang terjadi di apartemennya. Suara-suara di lorong, ketukan di pintu, dan sekarang, berkas investigasi yang ia temukan di ruang bawah tanah. Hatinya tidak tenang. Sebagai jurnalis kriminal, ia terbiasa dengan hal-hal aneh, tetapi kali ini, ia merasa menjadi bagian dari misteri itu sendiri.

Matahari pagi menembus jendela kamarnya, menyinari debu-debu yang melayang di udara. Mira duduk di lantai, bersandar ke dinding, dan kembali meneliti berkas yang ia temukan. Berkas itu tebal dan usang, dengan label "Kasus Penghapus Wajah" yang ditulis tangan di bagian depan. Di dalamnya, tersusun rapi puluhan halaman laporan polisi, transkrip wawancara, dan yang paling mengerikan, foto-foto korban.

Mira membalik halaman-halaman itu dengan tangan gemetar. Setiap foto menunjukkan tubuh korban yang tergeletak, penuh luka sayatan yang rapi dan mengerikan. Namun, bagian wajah mereka benar-benar hilang, seolah-olah disobek dari foto. Sebagian besar foto hanya menampilkan leher ke bawah, atau hanya sisa-sisa dari wajah yang tidak bisa dikenali. Pola robekan itu sangat presisi, seakan-akan si pelaku tidak hanya menghapus identitas para korban, tetapi juga keberadaan mereka sebagai manusia.

Ia mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan rasa mualnya. Ia tidak mengerti mengapa berkas ini ada di apartemennya. Siapa yang menaruhnya di sana? Apakah ini hanya kebetulan, ataukah ada hubungannya dengan suara-suara yang ia dengar?

Ia melanjutkan pencariannya, berharap menemukan petunjuk. Ia memeriksa setiap lembar, setiap catatan. Dan kemudian, ia menemukannya. Sebuah halaman tersembunyi di bagian belakang berkas, terlipat menjadi dua. Halaman itu adalah transkrip wawancara dengan salah satu tetangga lama di gedung ini. Orang itu memberikan kesaksian tentang malam pembunuhan pertama.

Mira membaca transkrip itu dengan cermat. Saksi mata itu, seorang wanita tua bernama Ny. Kartika, mengaku mendengar suara-suara aneh dari apartemen tempat ia tinggal. Suara-suara itu terdengar seperti langkah kaki yang diseret, dan Ny. Kartika melihat siluet seorang pria tinggi kurus berdiri di depan pintu apartemennya, persis seperti yang Mira alami. Ny. Kartika tidak pernah melihat wajah pria itu, tetapi ia yakin bahwa pria itu bukanlah manusia biasa. "Matanya kosong, seperti cermin yang memantulkan kegelapan," kata Ny. Kartika dalam transkrip.

Mira mengernyitkan dahi. Ia merasa seperti ada benang merah yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Suara langkah kaki, ketukan pintu, dan sekarang, deskripsi tentang pria misterius. Namun, ada satu hal lagi yang mengganjal. Di bagian bawah transkrip, ada catatan kecil yang ditambahkan oleh salah satu detektif. "Saksi Ny. Kartika meninggal dua hari setelah wawancara. Diduga bunuh diri."

Jantung Mira berdebar kencang. Ia merasa seperti ada orang yang mencoba membungkamnya. Ia merasa seperti ia sedang berjalan di atas tali, di antara masa lalu dan masa kini, dan di bawahnya adalah jurang yang gelap.

Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang Ny. Kartika. Ia menggunakan ponselnya untuk mencari informasi tentang kematiannya, tetapi tidak ada laporan yang ditemukan. Sepertinya, kematiannya dirahasiakan. Mira yakin bahwa kematian Ny. Kartika bukan bunuh diri. Ia yakin bahwa Ny. Kartika dibunuh oleh "Si Penghapus Wajah" karena ia tahu terlalu banyak.

Ia kembali meneliti berkas itu, dan menemukan satu lagi hal yang aneh. Sebuah catatan kecil, yang diselipkan di antara halaman-halaman. Catatan itu hanya berisi satu kalimat, ditulis dengan tangan yang rapi. "Berkas ini bukan untuk manusia."

Mira merasa merinding. Ia yakin bahwa catatan itu ditujukan untuknya. Ia merasa seperti si pelaku tahu bahwa ia akan menemukan berkas itu, dan ia akan membacanya. Ia merasa seperti ia sedang diawasi, setiap gerakannya.

Ia memutuskan untuk menghubungi detektif yang menangani kasus itu 15 tahun yang lalu. Ia menemukan namanya di berkas: Detektif Handoko. Mira berhasil menemukan nomor teleponnya, dan ia meneleponnya. Detektif Handoko sudah pensiun, dan ia enggan berbicara tentang kasus itu. "Itu adalah kasus paling mengerikan yang pernah saya tangani. Pelakunya sangat cerdas, sangat kejam. Saya sudah mencoba melupakannya," kata Detektif Handoko dengan suara serak.

Mira menceritakan tentang berkas yang ia temukan, dan tentang suara-suara yang ia dengar. Detektif Handoko terdiam sejenak. "Nona, buang berkas itu jauh-jauh. Lupakan semuanya. Jangan pernah mencari tahu lebih dalam. Jika Anda terus mencari, ia akan menemukan Anda," katanya dengan suara yang penuh peringatan.

Mira tidak bisa mengabaikan peringatan itu, tetapi ia juga tidak bisa berhenti. Sebagai seorang jurnalis, ia harus menemukan kebenaran. Ia harus menemukan siapa "Si Penghapus Wajah" itu, dan mengapa ia kembali.

Malam itu, Mira tidak bisa tidur. Ia duduk di tempat tidurnya, memandang ke lorong yang gelap. Ia merasa seperti ada seseorang yang sedang berdiri di sana, mengawasinya. Ia mendengar suara-suara, tetapi kali ini, suara itu bukan hanya langkah kaki. Suara itu adalah bisikan, bisikan yang pelan dan mengerikan. Bisikan yang memanggil namanya.

Mira memejamkan matanya, mencoba menutupi telinganya. Tetapi suara itu terus berbisik, semakin keras, semakin jelas. "Mira... Mira... Kau adalah cermin... Cermin yang memantulkan bayangan... Bayangan yang akan menghapusmu..."

Mira berteriak. Ia melompat dari tempat tidurnya, menyalakan semua lampu di apartemennya. Ia berlari ke lorong, memeriksa setiap sudut. Tidak ada apa pun. Hening. Hanya ia, dan apartemennya yang kosong.

Ia kembali ke kamarnya, gemetar ketakutan. Ia mengambil berkas itu, dan membakarnya. Ia tidak ingin lagi melihatnya, tidak ingin lagi memikirkannya. Ia ingin melupakan semuanya, melupakan "Si Penghapus Wajah," melupakan suara-suara, melupakan semua yang terjadi.

Namun, ia tahu bahwa ia tidak bisa. Ia tahu bahwa ia sudah menjadi bagian dari misteri itu. Ia tahu bahwa ia tidak bisa melarikan diri dari bayangan yang selalu mengikutinya. Bayangan yang memanggil namanya, dan mengancam untuk menghapusnya dari muka bumi.

Kepanikan yang dirasakan Mira tidak mereda bahkan setelah ia membakar berkas-berkas itu. Bau kertas terbakar masih tercium, tetapi bayangan di kepalanya tidak bisa hilang. Peringatan dari Detektif Handoko dan bisikan di malam hari terus terngiang. Ia merasa dinding apartemen yang dulu terasa nyaman, kini seolah-olah mengawasi dan menyempit.

Meskipun takut, naluri jurnalis Mira tetap mendominasi. Ia tahu, untuk bisa bertahan, ia harus menemukan jawaban. Membakar berkas hanya menghapus bukti fisik, bukan bayangan yang mengikutinya. Ia memutuskan untuk mulai dari tetangga-tetangganya. Jika "Penghapus Wajah" itu adalah penghuni lama, mungkin ada yang mengenalnya.

Pagi itu, ia memberanikan diri mengetuk pintu tetangga di seberang apartemennya. Pintu itu terbuka, menampilkan seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah. "Halo, saya Mira, penghuni baru di sini," sapa Mira. Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Ibu Santi, seorang pensiunan guru. Mereka mengobrol sebentar, dan Mira dengan hati-hati bertanya tentang penghuni lama di lorong itu.

"Oh, di sini banyak yang sudah tua dan tinggal lama," jawab Bu Santi. "Ada Pak Roni di ujung lorong, dia suka berkebun. Lalu ada Bu Tati, dia sering sakit-sakitan. Dan... oh, ada satu lagi, pria pendiam yang tinggal di apartemen 2C, di sebelah Anda."

Mira menoleh ke arah apartemen 2C. "Pria pendiam? Siapa namanya?" tanyanya penasaran.

"Entahlah," jawab Bu Santi sambil menggeleng. "Dia tidak pernah menyebutkan namanya. Dia baru pindah sekitar setahun yang lalu, tapi tidak pernah berinteraksi dengan siapa pun. Pagi-pagi ia pergi, malam ia pulang. Itu saja."

Deskripsi itu membuat Mira merinding. Pria pendiam, tidak pernah berinteraksi dengan orang lain, dan tinggal tepat di sebelahnya. Apakah dia yang selama ini ia dengar?

Mira kembali ke apartemennya, hatinya berdebar-debar. Ia tidak bisa berhenti memikirkan pria di sebelah. Sepanjang hari, ia terus mengintip dari lubang kunci, berharap bisa melihatnya. Sore harinya, ia mendengar suara kunci diputar di pintu 2C. Mira segera mengintip. Pintu itu terbuka, dan seorang pria tinggi dan kurus dengan rambut perak berdiri di ambang pintu. Ia tidak melihat wajahnya dengan jelas, tetapi yang paling menarik perhatian Mira adalah apa yang pria itu pegang.

Di tangan kanannya, ia memegang sebuah cermin kecil. Cermin itu tampak tua dan bingkainya diukir dengan detail rumit. Alih-alih melihat sekeliling, pria itu justru menatap cermin itu, seolah-olah cermin itu adalah satu-satunya hal yang penting di dunia. Senyum kecil dan dingin muncul di wajahnya. Senyum itu bukan senyum bahagia, melainkan senyum yang menyiratkan kepuasan.

Mira merasakan hawa dingin merambat di punggungnya. Ia memutuskan untuk mengambil foto pria itu. Dengan tangan gemetar, ia mengambil ponselnya dan mengarahkan kameranya ke arah pintu 2C. Ia mengklik tombol rana, dan gambarnya muncul di layar. Pria itu tampak samar-samar, tetapi cermin di tangannya tampak jelas.

Malam itu, Mira mencoba mencari tahu tentang pria itu. Ia mencoba mencari data kependudukan, data pekerjaan, bahkan media sosial. Tidak ada apa pun. Pria itu seolah-olah tidak pernah ada.

Esoknya, Mira memutuskan untuk memberanikan diri mendekatinya. Ia menunggu di lorong, dan ketika pria itu keluar, ia menyapanya. "Halo, saya Mira, tetangga baru Anda," katanya dengan senyum ramah.

Pria itu menoleh. Matanya dingin, dan ia tidak menunjukkan emosi apa pun. Ia tidak membalas sapaan Mira, tetapi hanya menatapnya dengan intens, seolah-olah ia sedang menganalisis setiap inci wajahnya. Tatapan itu membuat Mira merasa tidak nyaman.

"Anda tinggal di sini sendirian?" tanya Mira, mencoba memecahkan keheningan.

Pria itu tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, dan kembali menatap cermin kecilnya.

"Maaf, saya mengganggu," kata Mira, merasa canggung. "Ngomong-ngomong, siapa nama Anda?"

Pria itu menghentikan tatapannya dari cermin, dan menatap Mira. Senyum dinginnya kembali muncul. "Nama saya bukan untuk manusia," jawabnya dengan suara serak, hampir seperti bisikan. Kalimat itu diucapkan dengan nada datar, tetapi maknanya begitu dalam sehingga membuat Mira merasa seperti jantungnya berhenti berdetak.

Pria itu kemudian berjalan pergi, meninggalkan Mira yang membeku di tempat. Kata-katanya terus terngiang di kepala Mira. "Nama saya bukan untuk manusia." Apa maksudnya?

Mira kembali ke apartemennya, mengunci pintu, dan mengunci dirinya di dalam. Ia merasa apartemen ini bukan lagi tempat yang aman. Ia merasa ia sedang bermain-main dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya, sesuatu yang tidak bisa ia pahami.

Ia memutuskan untuk menghubungi Detektif Handoko lagi. Ia tahu bahwa Detektif Handoko akan menganggapnya gila, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Ia menceritakan tentang pria di sebelah, tentang cermin kecil, dan tentang kata-kata aneh yang ia ucapkan.

Detektif Handoko terdiam di ujung telepon. "Nona, saya sudah bilang, lupakan semuanya. Apa yang Anda lihat dan dengar, itu bukan halusinasi. Itu adalah peringatan. Pelaku 'Penghapus Wajah' adalah seseorang yang melihat cermin bukan sebagai pantulan, melainkan sebagai jendela. Ia melihat 'diri'-nya yang lain di sana. Dan ketika 'diri' yang lain itu keluar, ia tidak lagi manusia."

Mira terkejut. "Maksud Anda, dia punya kepribadian ganda?"

"Lebih dari itu," kata Detektif Handoko. "Ia percaya bahwa ia adalah cermin dari kejahatan. Ia menghapus wajah korbannya karena ia percaya mereka semua adalah pantulan dari 'diri'-nya yang lama, yang ingin ia hapus. Ia tidak ingin mereka dikenali, tidak ingin mereka hidup, karena mereka adalah cerminan dari dirinya yang dulu."

Mira menelan ludah. Ia merasa seperti ia sedang mengobrol dengan seorang ahli psikologi, bukan seorang detektif. Ia bertanya lagi, "Apakah Anda mengenali ciri-ciri pria yang saya sebutkan?"

Detektif Handoko terdiam. Lalu ia menjawab, "Saya tidak bisa memastikan. Tetapi... ada satu hal yang saya ingat. Pada salah satu TKP, kami menemukan sebuah cermin kecil, persis seperti yang Anda gambarkan. Tapi cermin itu bukan untuk melihat wajah. Cermin itu... digunakan untuk mengintip jiwa."

Pembicaraan itu membuat Mira semakin bingung, tetapi ia tidak bisa berhenti. Ia merasa seperti ia sedang berjalan di labirin, dan setiap langkahnya membawa ia lebih dekat ke jantung kegelapan. Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang pria di sebelah, meskipun ia tahu bahwa ia sedang bermain api.

Malam itu, ia kembali mengintip dari lubang kunci. Pintu 2C terbuka, dan pria itu keluar. Ia tidak lagi memegang cermin. Tetapi di lehernya, ia memiliki sebuah kalung dengan liontin yang aneh. Liontin itu tampak seperti cermin pecah, dengan pecahan-pecahan yang tersusun menjadi sebuah pola abstrak. Mira merasakan hawa dingin di punggungnya. Ia mengambil foto liontin itu, dan mengirimkannya ke Detektif Handoko.

Beberapa menit kemudian, Detektif Handoko meneleponnya kembali. "Nona, itu adalah liontin yang sama dengan yang ditemukan di salah satu korban. Itu adalah tanda tangan pelaku. Ia tidak pernah meninggalkan bukti, tetapi ia meninggalkan liontin itu di sana."

Mira terkejut. Ia merasa seperti ia sedang berada di antara dua dunia: dunia nyata dan dunia horor. Ia merasa seperti ia sedang berada di dalam sebuah novel, di mana ia adalah karakter utama yang akan mati. Ia merasa ia harus melarikan diri, tetapi ia tidak bisa. Ia tidak bisa lari dari bayangan yang mengikutinya. Bayangan yang memanggil namanya, dan mengancam untuk menghapusnya.

Mira kembali ke kamarnya, dan ia melihat ke cermin yang ada di kamarnya. Wajahnya tampak pucat dan ketakutan. Ia melihat ke matanya, dan ia melihat bayangan hitam di sana. Bayangan itu tampak seperti dirinya, tetapi dengan senyum yang dingin. Senyum yang sama dengan senyum pria di sebelah. Ia merasa seperti ia sedang menjadi cermin, cermin yang memantulkan bayangan gelap yang tidak bisa ia lihat.

Mira terbangun dengan keringat dingin, napasnya terengah-engah. Bayangan di cermin yang tersenyum jahat masih melekat kuat di ingatannya. Kata-kata Detektif Handoko dan pria misterius di sebelah apartemennya terasa seperti mimpi buruk yang nyata. Ia merasa ia sedang dikejar oleh sesuatu yang tidak bisa ia sentuh, sesuatu yang lebih dari sekadar manusia.

Pagi itu, ia mencoba mencari ketenangan. Ia pergi ke kafe langganannya, duduk di sudut yang sepi, dan membuka laptopnya. Ia harus menulis, itu satu-satunya cara ia bisa memproses semua hal aneh yang terjadi. Ia memutuskan untuk menulis artikel tentang kasus yang sedang ia tangani, kasus pembunuhan yang menimpa seorang politikus muda. Ia sudah mewawancarai beberapa orang untuk artikel ini: seorang asisten pribadi, seorang rival bisnis, dan seorang aktivis yang menentang kebijakan sang politikus.

Saat ia sedang menulis, ponselnya berdering. Itu adalah atasannya di kantor, Bpk. Wibowo. "Mira, ada berita buruk," kata Bpk. Wibowo dengan suara serius. "Ada korban pembunuhan baru. Luka-lukanya mirip dengan kasus 'Penghapus Wajah' yang sudah ditutup 15 tahun lalu."

Jantung Mira berdebar kencang. Ia merasa seperti ia sedang berada di dalam film horor. "Siapa korbannya?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Korban adalah asisten pribadi politikus yang kau wawancarai kemarin," jawab Bpk. Wibowo. "Polisi sudah di TKP. Mereka kembali membuka kasus 'Penghapus Wajah'."

Mira merasakan hawa dingin merambat di punggungnya. Ia merasa bahwa ia adalah magnet bagi kejahatan. Ia segera pergi ke kantor polisi, berharap bisa mendapatkan informasi lebih lanjut. Polisi tampak bingung dan frustrasi. Mereka tidak menemukan bukti apa pun di TKP, tetapi luka-luka di tubuh korban sama persis dengan luka-luka di korban "Penghapus Wajah".

"Ini mustahil," kata salah satu detektif. "Pelaku sudah mati. Kami sudah menangkapnya dan dia bunuh diri di penjara 10 tahun yang lalu."

Tetapi Mira tahu bahwa pelaku tidak mati. Pelaku adalah pria di sebelah apartemennya, pria yang menatap cermin, pria yang mengucapkan kata-kata aneh, "Nama saya bukan untuk manusia."

Ia kembali ke apartemennya, hatinya dipenuhi ketakutan. Ia merasa seperti ia sedang bermain-main dengan maut. Ia memutuskan untuk menghubungi Detektif Handoko lagi. Ia menceritakan tentang korban baru, tentang kesamaan luka, dan tentang fakta bahwa korban adalah orang yang ia wawancarai.

Detektif Handoko terdiam sejenak. "Nona, ini bukan kebetulan," katanya dengan suara serius. "Ia mengikuti jejak Anda. Ia menggunakan Anda sebagai pemburu. Anda mewawancarai seseorang, dan ia membunuh orang itu. Ia tidak hanya membunuh, ia juga bermain-main dengan Anda. Ia ingin Anda tahu bahwa ia ada, bahwa ia mengawasi Anda."

Mira merasa mual. Ia tidak pernah membayangkan bahwa ia akan menjadi umpan bagi seorang psikopat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia merasa seperti ia sedang berada di antara dua dunia: dunia nyata dan dunia horor.

Ia memutuskan untuk tidak menyerah. Ia harus menemukan orang berikutnya yang diincar si psikopat. Ia kembali ke artikelnya, dan melihat daftar orang yang ia wawancarai. Ada dua nama lagi di sana: seorang rival bisnis dan seorang aktivis. Ia tahu bahwa ia harus memperingatkan mereka.

Ia menelepon rival bisnis politikus itu, seorang pengusaha tua yang kaya raya. Ia mencoba menjelaskan situasinya, tetapi pengusaha itu hanya menertawakannya. "Nona, Anda terlalu banyak menonton film horor," katanya. "Saya punya penjaga. Saya tidak takut dengan cerita-cerita hantu Anda."

Mira merasa frustrasi. Ia tahu bahwa ia tidak bisa meyakinkan pengusaha itu. Ia memutuskan untuk menelepon aktivis itu, seorang wanita muda yang vokal dan pemberani. Mira menceritakan semuanya, tentang "Penghapus Wajah", tentang luka-luka, tentang fakta bahwa si psikopat mengikuti jejaknya.

Aktivis itu mendengarkan dengan saksama. "Saya tidak tahu apakah saya harus mempercayai Anda," katanya. "Tapi saya akan berhati-hati. Terima kasih sudah memperingatkan saya."

Mira merasa sedikit lega. Setidaknya, ada seseorang yang mempercayainya. Ia memutuskan untuk mengawasi aktivis itu. Ia pergi ke rumahnya, dan duduk di mobilnya di seberang jalan. Ia menunggu, berharap tidak ada hal buruk yang terjadi.

Namun, ia tidak bisa menghentikan takdir. Saat malam tiba, ia melihat sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah aktivis itu. Seorang pria keluar dari mobil, dan ia melihat pria itu. Rambutnya perak, tubuhnya tinggi dan kurus. Ia adalah pria di sebelah apartemennya.

Jantung Mira berdebar kencang. Ia ingin berteriak, ia ingin menelepon polisi, tetapi suaranya tercekat di tenggorokannya. Ia melihat pria itu berjalan ke pintu depan rumah aktivis itu, dan mengetuknya. Pintu terbuka, dan aktivis itu keluar. Ia tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tetapi ia melihat pria itu mengeluarkan cermin kecilnya, dan menatapnya.

Lalu, ia melihat pria itu mengayunkan sesuatu di tangannya. Sesuatu yang tajam dan berkilau. Mira berteriak. Ia keluar dari mobilnya, dan berlari ke arah mereka. Namun, ia terlalu lambat. Ia melihat pria itu masuk ke dalam rumah, dan pintu tertutup di belakangnya.

Mira menendang pintu, tetapi pintu itu terkunci. Ia mendengar teriakan dari dalam, teriakan yang memilukan. Ia terus menendang, tetapi tidak ada yang terjadi. Ia menelepon polisi, tetapi ia tahu bahwa ia sudah terlambat. Ia merasakan air mata mengalir di pipinya. Ia merasa bersalah. Ia merasa bahwa ia adalah penyebab kematian aktivis itu.

Ketika polisi tiba, mereka mendobrak pintu. Mereka menemukan aktivis itu tergeletak di lantai, tubuhnya berlumuran darah. Luka-lukanya sama persis dengan luka-luka di korban lainnya. Namun, ada satu hal yang aneh. Di dekat tubuh korban, ada sebuah cermin kecil, cermin yang sama dengan yang dipegang pria itu. Cermin itu tidak memantulkan apa pun. Cermin itu hanya memantulkan kegelapan.

Mira merasa bahwa ia sedang berada di dalam sebuah novel, di mana ia adalah karakter utama yang akan mati. Ia merasa ia harus melarikan diri, tetapi ia tidak bisa. Ia tidak bisa lari dari bayangan yang mengikutinya. Bayangan yang memanggil namanya, dan mengancam untuk menghapusnya.

Tragedi yang menimpa aktivis itu menghantam Mira dengan telak. Perasaan bersalah dan ketakutan bercampur aduk, menciptakan beban berat di hatinya. Ia tahu, ia adalah penyebab tidak langsung dari kematian itu. Si psikopat menggunakan dirinya, jurnalis yang penasaran, sebagai alat untuk menemukan dan memilih korbannya. Semakin ia menyelidiki, semakin dalam ia terjerumus ke dalam jaring yang dipasang oleh "Si Penghapus Wajah".

Polisi menginterogasi Mira, tetapi ia tidak bisa menceritakan semuanya. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa seorang pria yang tidak memiliki data kependudukan, yang menatap cermin, dan yang mengucapkan "Nama saya bukan untuk manusia" adalah pembunuhnya? Ceritanya akan terdengar gila, dan ia akan dianggap sebagai saksi yang tidak kredibel. Jadi, ia hanya memberikan informasi seadanya, menyembunyikan detail tentang pria di sebelah apartemennya.

Mira kembali ke apartemennya, tetapi kali ini, ia merasa seperti ia sedang masuk ke dalam kandang singa. Ia mengunci pintu dengan dua lapis kunci, menutup semua jendela, dan menyalakan semua lampu. Ia merasa aman untuk sesaat, tetapi ketenangan itu tidak bertahan lama.

Saat ia sedang mondar-mandir di ruang tamu, pandangannya tertuju pada sebuah cermin tua yang tergantung di dinding. Cermin itu sudah ada di sana sejak ia pindah. Bingkainya terbuat dari kayu jati dengan ukiran yang rumit. Ia tidak pernah memperhatikannya, tetapi sekarang, cermin itu tampak berbeda. Permukaannya tampak gelap, seperti menelan cahaya.

Mira mendekati cermin itu, dan ia melihat pantulan dirinya. Wajahnya tampak pucat, matanya tampak lelah. Ia tidak bisa menutupi ketakutannya. Ia mencoba tersenyum, tetapi senyumnya terlihat seperti topeng yang tidak pas.

Malam itu, Mira tidak bisa tidur. Ia berbaring di tempat tidur, tetapi matanya tidak bisa terpejam. Ia merasa seperti ada seseorang yang sedang berdiri di belakangnya. Ia mencoba mengabaikannya, tetapi sensasi itu semakin kuat. Ia merasakan hawa dingin di punggungnya, seolah-olah ada orang yang meniupkan napas dingin di lehernya.

Ia membuka matanya, dan ia melihatnya. Bayangan seseorang berdiri di belakangnya. Bayangan itu samar-samar, tetapi ia bisa melihat siluetnya. Ia tidak bisa melihat wajahnya, tetapi ia tahu bahwa itu adalah bayangan manusia.

Jantung Mira berdebar kencang. Ia ingin berteriak, tetapi suaranya tercekat. Ia ingin berlari, tetapi kakinya terasa lemas. Ia hanya bisa terdiam, menunggu apa yang akan terjadi.

Bayangan itu tidak bergerak. Ia hanya berdiri di sana, mengawasinya. Mira merasa seperti ada orang yang sedang bermain-main dengannya, mencoba membuatnya gila. Ia mencoba memejamkan matanya, berharap bayangan itu akan menghilang. Tetapi ketika ia membukanya lagi, bayangan itu masih ada.

Mira memberanikan diri. Ia mengambil senter, dan mengarahkannya ke bayangan itu. Senter itu menembus bayangan itu, seolah-olah bayangan itu tidak nyata. Ia merasa frustrasi dan ketakutan. Ia tidak tahu harus berbuat apa.

Ia memutuskan untuk menghubungi Detektif Handoko. Ia menceritakan tentang bayangan yang ia lihat. Detektif Handoko terdiam sejenak. "Nona, apa yang Anda lihat... itu adalah bayangan dari 'diri' si pelaku. Ia ada di mana-mana. Ia tidak bisa disentuh, tetapi ia bisa dilihat. Ia adalah manifestasi dari kegelapan di dalam dirinya."

Mira merasa bahwa ia semakin gila. Tetapi, ia tidak bisa mengabaikan kata-kata Detektif Handoko. Ia merasa bahwa ia sedang berjalan di atas tali, di antara dunia nyata dan dunia spiritual.

Malam-malam berikutnya, bayangan itu terus muncul. Setiap malam, bayangan itu semakin jelas. Mira bisa melihat detailnya: tinggi, kurus, dan rambut perak. Semakin jelas bayangan itu, semakin jelas ketakutan Mira. Ia tidak tahu mengapa bayangan itu terus mengikutinya. Ia tidak tahu mengapa bayangan itu memilihnya.

Suatu malam, Mira terbangun oleh suara ketukan. Bukan ketukan di pintu, tetapi ketukan di cermin. Ia membuka matanya, dan ia melihat bayangan itu berdiri di depan cermin. Bayangan itu menatapnya, dan ia bisa melihat wajahnya. Wajah itu... adalah wajahnya sendiri.

Mira berteriak. Ia melompat dari tempat tidur, dan berlari ke cermin. Ia menyentuh cermin itu, dan ia merasakan hawa dingin. Cermin itu dingin, seolah-olah ia baru saja dikeluarkan dari lemari es. Ia melihat pantulan dirinya, dan ia melihatnya. Senyum yang sama dengan senyum pria di sebelah apartemennya. Senyum yang dingin, senyum yang jahat.

Mira merasa seperti ia sedang berada di antara dua cermin: cermin nyata dan cermin bayangan. Ia tidak tahu siapa dirinya. Ia tidak tahu apakah ia adalah Mira yang baik, atau ia adalah bayangan yang jahat.

Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang cermin itu. Ia mencoba mencari tahu dari pengelola apartemen, tetapi pengelola itu tidak tahu apa pun. "Cermin itu sudah ada di sana sejak apartemen ini dibangun," katanya. "Tidak ada yang pernah menyentuhnya."

Mira tidak menyerah. Ia mencari tahu dari internet. Ia menemukan bahwa cermin itu adalah cermin kuno, cermin yang dipercaya bisa menangkap jiwa. Ia merasa bahwa ia sedang berurusan dengan sesuatu yang lebih dari sekadar pembunuhan. Ia merasa bahwa ia sedang berurusan dengan sesuatu yang mistis, sesuatu yang supernatural.

Malam itu, ia kembali ke cermin itu. Ia menatap pantulan dirinya, dan ia bertanya, "Siapa kau?"

Tidak ada jawaban. Hanya keheningan. Mira merasa frustrasi. Ia mengambil napas dalam-dalam, dan ia bertanya lagi, "Apa yang kau inginkan?"

Kali ini, ia melihatnya. Bayangan di cermin tersenyum. Senyum itu bukan senyum bahagia, melainkan senyum yang jahat. Bayangan itu menggerakkan tangannya, dan ia melihatnya. Tangan itu memegang sebuah pisau. Pisau yang sama dengan pisau yang digunakan untuk membunuh korban.

Jantung Mira berdebar kencang. Ia merasakan hawa dingin di punggungnya. Ia merasa bahwa ia sedang berada di dalam sebuah novel, di mana ia adalah karakter utama yang akan mati. Ia merasa ia harus melarikan diri, tetapi ia tidak bisa. Ia tidak bisa lari dari bayangan yang mengikutinya. Bayangan yang memanggil namanya, dan mengancam untuk menghapusnya.

Pagi itu, Mira merasa seperti orang asing di tubuhnya sendiri. Bayangan di cermin yang menatapnya dengan senyum sadis masih jelas dalam ingatannya. Ia tidak lagi yakin mana yang nyata: dirinya, atau bayangan yang perlahan mengambil alih. Ia merasa seperti ada dua kesadaran yang bertarung di dalam otaknya. Satu sisi berteriak ketakutan, sementara sisi lain—bayangan itu—tertawa dingin.

Mira memutuskan untuk menjauhi cermin. Ia menutup semua cermin di apartemennya dengan kain. Ia tidak ingin melihat pantulannya lagi. Ia tidak ingin melihat bayangan itu lagi. Ia hanya ingin melarikan diri dari apartemennya, dari kota ini, dari hidupnya. Tetapi ia tidak bisa. Ia merasa seperti ia sedang terperangkap dalam jaring laba-laba.

Saat ia sedang berkemas, ponselnya berdering. Itu dari polisi. Suara di ujung telepon terdengar serius. "Nona Mira, Anda harus datang ke kantor polisi sekarang. Ada bukti baru di TKP terakhir."

Mira merasa jantungnya berdegup kencang. Ia merasa ada yang tidak beres. Ia merasa bahwa ia sedang dijebak. Ia mengambil napas dalam-dalam, dan ia pergi ke kantor polisi.

Ketika ia tiba, ia melihat Detektif Handoko dan beberapa detektif lainnya. Wajah mereka tampak serius. Salah satu detektif meletakkan sebuah berkas di depannya. "Ini adalah hasil dari TKP terakhir," katanya. "Kami menemukan sidik jari Anda di sana."

Mira terkejut. "Itu tidak mungkin," katanya. "Saya tidak pernah menyentuh apa pun di sana. Saya hanya berada di luar, di dalam mobil."

"Kami menemukan sidik jari Anda di pisau pembunuhan," kata detektif lainnya. "Dan di beberapa tempat lainnya. Sidik jari Anda ada di mana-mana."

Mira merasa bahwa ia sedang berada di dalam mimpi buruk yang nyata. Ia merasa bahwa ia sedang dijebak. Ia tahu bahwa ia tidak melakukannya. Ia tahu bahwa ia adalah korban, bukan pelaku. Tetapi, ia tidak bisa membuktikannya.

"Saya tidak tahu bagaimana sidik jari saya bisa ada di sana," katanya dengan suara bergetar. "Saya bersumpah, saya tidak melakukan apa pun."

Detektif Handoko menatapnya. Matanya penuh dengan keraguan. "Nona, bukti ini memberatkan. Kami harus menangkap Anda."

Mira merasa bahwa ia tidak bisa lagi mempercayai siapa pun. Ia merasa bahwa ia harus melarikan diri. Ia tidak bisa masuk penjara karena kejahatan yang tidak ia lakukan. Ia tidak bisa membiarkan bayangan itu menang.

Ia melarikan diri dari kantor polisi. Ia berlari, berlari sekuat tenaga. Ia tidak tahu ke mana ia harus pergi, tetapi ia tahu bahwa ia harus melarikan diri. Ia merasa seperti ia sedang dikejar, bukan oleh polisi, tetapi oleh bayangan itu.

Ia kembali ke apartemennya. Ia tidak tahu mengapa ia kembali, tetapi ia merasa bahwa ia harus kembali. Ia merasa bahwa jawaban atas semua misteri itu ada di sana.

Ketika ia masuk, ia melihat cermin di ruang tamu. Kain yang ia gunakan untuk menutupinya sudah jatuh. Ia melihat pantulannya, dan ia melihatnya. Bayangan itu berdiri di belakangnya, tersenyum jahat.

Mira tidak lagi merasa takut. Ia merasa marah. Ia merasa bahwa ia harus menghadapi bayangan itu. Ia harus mengalahkannya. Ia harus menemukan siapa dia, dan mengapa ia melakukan semua ini.

Ia berjalan ke cermin, dan ia menyentuh permukaannya. Ia merasakan hawa dingin. Bayangan itu menatapnya, dan ia melihat senyumnya semakin lebar.

"Kau tidak bisa melarikan diri dariku," kata bayangan itu, suaranya terdengar seperti bisikan dingin. "Aku ada di dalam dirimu. Aku adalah cermin dari dirimu."

Mira tidak menjawab. Ia hanya menatap bayangan itu, mencoba mencari kelemahan. Ia mencoba mencari cara untuk mengalahkannya. Ia melihat bayangan itu, dan ia melihat tangannya memegang pisau.

Mira merasa bahwa ia harus menghadapi bayangan itu. Ia merasa bahwa ia harus menemukan jawaban. Ia tidak bisa lagi lari. Ia harus bertarung. Ia harus melawan. Ia harus menemukan kebenaran.

Ia mengambil napas dalam-dalam, dan ia bertanya, "Siapa kau?"

Bayangan itu tersenyum. "Aku adalah kau," katanya. "Aku adalah sisi gelapmu. Sisi yang kau sembunyikan. Sisi yang ingin menghancurkan semuanya. Aku adalah 'Penghapus Wajah'. Aku adalah pembunuh."

Mira terkejut. Ia tidak percaya. Ia tidak bisa percaya bahwa ia adalah seorang pembunuh. Ia tidak bisa percaya bahwa ia adalah "Penghapus Wajah". Ia tidak bisa percaya bahwa ia adalah orang yang ia cari-cari.

"Kau bohong," katanya. "Kau hanya bayangan. Kau hanya ilusi."

Bayangan itu tertawa. "Ilusi? Mengapa sidik jarimu ada di pisau? Mengapa kau adalah orang terakhir yang melihat korban? Mengapa kau adalah satu-satunya orang yang mendengar langkah-langkah kaki di lorong? Karena kau adalah pelakunya. Kau adalah cerminan dari kegelapan."

Mira merasa kepalanya berputar. Ia tidak tahu harus mempercayai siapa. Ia tidak tahu apakah ia adalah korban, atau ia adalah pelaku. Ia merasa bahwa ia sedang menjadi gila.

Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih dalam. Ia harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Ia harus membuktikan bahwa bayangan itu berbohong.

Ia kembali ke apartemennya, dan ia melihat cermin itu. Ia tidak lagi melihat bayangan itu. Ia hanya melihat pantulan dirinya. Pantulan yang pucat, dan ketakutan.

Mira memutuskan untuk mencari tahu tentang pria di sebelah. Ia merasa bahwa pria itu adalah kuncinya. Ia merasa bahwa pria itu adalah satu-satunya orang yang bisa membantunya.

Ia menunggu pria itu. Ia mengetuk pintunya. Tidak ada jawaban. Ia terus mengetuk, dan akhirnya, pintu itu terbuka.

Pria itu menatapnya. Matanya dingin. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya.

"Siapa kau?" tanya Mira. "Siapa 'Penghapus Wajah'?"

Pria itu tersenyum. "Kau sudah tahu jawabannya," katanya. "Kau adalah dia. Aku hanya cerminanmu. Aku hanya bayanganmu. Aku hanya manifestasi dari kegelapanmu."

Mira merasa bahwa ia sedang berada di dalam sebuah novel, di mana ia adalah karakter utama yang akan mati. Ia merasa ia harus melarikan diri, tetapi ia tidak bisa. Ia tidak bisa lari dari bayangan yang mengikutinya. Bayangan yang memanggil namanya, dan mengancam untuk menghapusnya.

Mira berlari kembali ke apartemennya, napasnya tersengal-sengal. Kepalanya dipenuhi suara-suara yang saling bertabrakan: tuduhan dari polisi, bisikan jahat bayangan di cermin, dan pengakuan mengerikan dari pria di sebelah. Ia tidak lagi tahu mana kebenaran, mana ilusi. Ia merasa seperti kepingan-kepingan puzzle yang acak, mencoba menyusun dirinya menjadi satu gambar utuh. Ia harus menemukan jawaban, sekali dan untuk selamanya.

Ia mengabaikan rasa takutnya dan mulai mencari dengan panik. Ia menggeledah setiap sudut apartemen, setiap celah, setiap laci. Ia mencari sesuatu yang bisa menjadi petunjuk, sesuatu yang bisa membuktikan bahwa ia tidak bersalah, sesuatu yang bisa membuktikan bahwa bayangan itu ada.

Tangannya gemetar saat menyentuh sebuah panel kayu di balik rak buku yang ia pindahkan. Panel itu terasa longgar. Ia menekannya, dan panel itu bergeser, membuka sebuah ruangan tersembunyi. Mira membeku. Ruangan itu tidak besar, tetapi apa yang ada di dalamnya membuat jantungnya berhenti berdetak.

Dinding ruangan itu dipenuhi foto-foto. Bukan foto-foto korban, melainkan foto-foto dirinya. Foto Mira saat masih kecil, tersenyum riang di taman bermain. Foto Mira saat remaja, memegang piala olimpiade sains. Foto Mira saat ia lulus kuliah, memegang ijazah dengan bangga. Foto-foto itu tersusun rapi, seperti sebuah kronologi kehidupan.

Di tengah-tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sebuah buku tebal di atasnya. Buku itu adalah buku harian, tetapi bukan buku harian Mira. Mira membukanya, dan ia melihat tulisan tangannya sendiri, tulisan tangan yang ia kenali dengan baik. Buku harian itu menceritakan semua hal yang ia alami, semua yang ia lihat, semua yang ia rasakan. Tetapi, ada satu hal yang berbeda. Buku harian itu menceritakan kisah yang sama, tetapi dari sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang seorang pembunuh.

Mira membaca halaman-halaman itu dengan tangan gemetar. Ia membaca tentang bagaimana ia mendengar suara-suara di lorong, tetapi bukan karena ada seseorang di sana, melainkan karena ia adalah orang yang menciptakan suara-suara itu. Ia membaca tentang bagaimana ia menemukan berkas investigasi di ruang bawah tanah, tetapi bukan karena berkas itu ada di sana, melainkan karena ia adalah orang yang menaruhnya di sana. Ia membaca tentang bagaimana ia melihat bayangan di cermin, tetapi bukan karena ada bayangan di sana, melainkan karena ia adalah bayangan itu sendiri.

Ia membaca tentang bagaimana ia membunuh korban-korbannya, satu per satu. Ia menulis tentang bagaimana ia menikmati setiap detik pembunuhan itu, bagaimana ia merasa puas setiap kali ia merobek wajah mereka. Ia menulis tentang bagaimana ia menggunakan sidik jari "yang lain" untuk membuat polisi bingung, dan bagaimana ia tertawa setiap kali polisi menuduh orang lain.

Mira tidak bisa mempercayainya. Ia merasa mual. Ia merasa seperti ia sedang membaca cerita horor, di mana ia adalah monster. Ia membalik halaman-halaman itu dengan panik, berharap ada sesuatu yang bisa membuktikan bahwa itu semua bohong. Tetapi tidak ada. Hanya ada pengakuan-pengakuan yang mengerikan.

Ia melihat ke cermin besar di ruangan itu. Cermin itu tampak tua, dengan bingkai yang terbuat dari kayu jati. Ia melihat pantulannya di sana, dan ia melihatnya. Bayangan itu. Bayangan itu berdiri di belakangnya, tersenyum jahat.

Mira tidak lagi merasa takut. Ia merasa mati rasa. Ia merasakan hawa dingin merambat di punggungnya, bukan karena ia takut, tetapi karena ia merasa hampa.

Bayangan itu mengangkat tangannya, dan ia melihatnya. Tangan itu memegang sebuah pisau, pisau yang berlumuran darah. Bayangan itu menggerakkan tangannya, seolah-olah ia sedang menari. Mira melihat pantulan di cermin, dan ia melihat dirinya melakukan gerakan yang sama. Ia melihat dirinya memegang pisau, pisau yang sama, pisau yang berlumuran darah.

Mira memejamkan matanya. Ia tidak ingin melihatnya. Ia tidak ingin melihat dirinya sebagai monster. Tetapi ia tidak bisa lari. Ia tidak bisa melarikan diri dari dirinya sendiri.

Ketika ia membuka matanya, ia melihat dirinya di cermin. Ia tidak lagi melihat bayangan itu. Ia hanya melihat dirinya. Wajahnya tampak tenang, tetapi matanya... matanya tampak kosong. Kosong, seperti cermin yang memantulkan kegelapan.

Mira tersenyum. Senyumnya bukan senyum bahagia, melainkan senyum yang dingin. Senyum yang sama dengan senyum pria di sebelah. Senyum yang sama dengan senyum "Si Penghapus Wajah".

Ia mengangkat tangannya, dan ia menyentuh cermin itu. Ia merasakan hawa dingin. Ia melihat pantulan di cermin, dan ia melihat dirinya. Seorang wanita cantik, tetapi dengan jiwa yang hancur. Seorang jurnalis yang jujur, tetapi dengan sisi gelap yang mengerikan. Seorang manusia, tetapi dengan hati seorang monster.

Ia mendengar suara di belakangnya. Suara langkah kaki, suara yang sama dengan suara yang ia dengar di malam hari. Ia menoleh. Pria di sebelah berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan kosong. "Kau sudah tahu jawabannya," katanya. "Kau adalah dia. Kau adalah cerminan dari kegelapan."

Mira tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Ia tidak lagi takut, ia tidak lagi bingung. Ia sudah menerima kenyataan. Ia sudah menerima dirinya. Ia sudah menerima bahwa ia adalah "Penghapus Wajah".

Pria itu tersenyum. "Selamat datang kembali," katanya. "Anatomi bayanganmu sudah lengkap."

Mira menatap cermin itu, dan ia melihat pantulan di sana. Pantulan yang sama, tetapi dengan senyum yang lebih lebar. Ia tidak lagi melihat dirinya, ia hanya melihat bayangan itu. Bayangan yang mengambil alih dirinya. Bayangan yang menjadi dirinya.

Cerita berakhir di sana. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada Mira. Apakah ia ditangkap? Apakah ia berhasil melarikan diri? Tidak ada yang tahu. Tetapi, satu hal yang pasti. Di suatu tempat di kota itu, di dalam sebuah apartemen tua, ada seorang jurnalis yang menjadi psikopat. Dan ia sedang menunggu, menunggu untuk menemukan korban berikutnya. Menunggu untuk menghapus wajah mereka, dan menunggu untuk melihat bayangan di dalam dirinya.






Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)