Masukan nama pengguna
Bab 1: Aroma Karat dan Bisikan Malam
Arjun menatap Panti Jompo Damai Abadi dengan campuran antusiasme dan sedikit rasa kecut. Bangunan kolonial tua itu berdiri megah namun kusam, diselimuti oleh rimbunnya pohon beringin raksasa yang daunnya bergoyang pelan ditiup angin, seolah berbisik rahasia. Warna catnya yang dulu putih kini menguning dan mengelupas di sana-sini, meninggalkan bercak-bercak lumut hijau pekat. Jendela-jendela tinggi yang berjejer rapi tampak seperti mata kosong yang menatap ke kejauhan, tersembunyi di balik gorden tipis yang nyaris tak terlihat dari luar. Di depannya, hamparan rumput liar tumbuh tak beraturan, sesekali diselingi bunga kamboja putih yang gugur, menebarkan aroma yang aneh, mirip kematian yang manis.
"Selamat datang, Arjun," suara datar Bu Ratna memecah lamunan Arjun. Kepala perawat senior itu berdiri di ambang pintu utama, mengenakan seragam putih bersih yang kontras dengan latar belakang panti yang suram. Rambutnya disanggul rapi, dan matanya yang tajam menatap langsung ke arah Arjun, tanpa senyum. "Saya Bu Ratna, kepala perawat di sini. Saya sudah menunggu."
Arjun mengulas senyum terbaiknya. "Terima kasih, Bu Ratna. Saya Arjun, pekerja sosial baru. Senang bisa bergabung." Ia mengulurkan tangan, namun Bu Ratna hanya mengangguk singkat, tanpa membalas jabatan tangannya. Kecanggungan itu langsung menyergap. Suhu di ambang pintu terasa aneh, seolah ada batas tak kasat mata antara dunia luar yang hangat dan bagian dalam panti yang dingin mencekam.
"Mari, saya tunjukkan sekeliling," ujar Bu Ratna, berbalik dan melangkah masuk tanpa menunggu jawaban Arjun.
Arjun mengikuti, merasakan suhu udara di dalam panti langsung berubah. Dingin dan lembap. Aroma lumut dan debu tua berpadu dengan sesuatu yang lain, sesuatu yang Arjun tidak bisa identifikasi tapi terasa sangat tidak nyaman. Mirip karat, tapi lebih pekat, lebih tua, dan entah mengapa, terasa seperti logam berkarat yang bercampur dengan bau tanah basah dari makam yang baru digali. Mereka melewati lorong panjang dengan lantai tegel yang dingin, motif bunga usang yang nyaris tak terlihat. Lampu-lampu pijar yang menggantung rendah memancarkan cahaya kekuningan yang redup, membuat bayangan Arjun membayangi di dinding seperti hantu. Setiap langkah kakinya bergema di kesunyian yang mencekam.
"Panti ini sudah ada sejak tahun lima puluhan," jelas Bu Ratna, suaranya terdengar seperti gumaman di lorong yang sunyi. Nada suaranya tanpa emosi, seolah sedang membaca laporan. "Dulu milik keluarga kaya, sebelum akhirnya dihibahkan untuk jadi panti jompo."
Arjun mengangguk, mencoba menyerap informasi. Ia melihat beberapa pintu kamar tertutup rapat, dan sesekali, dari celah yang terbuka, ia bisa melihat ranjang tua dengan selimut kusut. Tidak ada suara, tidak ada tawa, bahkan batuk sekalipun. Panti ini terasa sepi, terlalu sepi untuk sebuah tempat yang dihuni puluhan orang. Ia pernah magang di panti jompo lain, dan suasana di sana jauh lebih hidup, bahkan dengan segala keterbatasan penghuninya.
"Ini area umum," Bu Ratna menunjuk ke sebuah ruangan luas dengan beberapa kursi rotan usang dan televisi tabung tua di sudut. Debu tipis melapisi permukaan meja dan bingkai foto yang usang. Tidak ada seorang pun di sana. Sebuah majalah lama tergeletak terbuka di salah satu kursi, halaman-halamannya menguning. "Biasanya penghuni berkumpul di sini. Tapi hari ini mungkin mereka lelah."
Arjun mengerutkan kening. "Lelah?"
Bu Ratna hanya mengangkat bahu, tatapannya beralih ke sebuah jendela yang menghadap ke kebun belakang yang rimbun dan tak terawat. "Mereka sudah tua, wajar jika sering lelah." Ada nada final dalam suaranya yang mengakhiri percakapan.
Arjun mulai merasa gelisah. Antusiasmenya perlahan luntur, digantikan oleh firasat aneh. Ia membayangkan dirinya dikelilingi lansia yang ceria, berbagi cerita, dan tertawa. Bukan kesunyian yang menekan seperti ini. Kesunyian yang terasa berat, seolah ada sesuatu yang menahannya.
Selama beberapa hari pertama, Arjun mencoba berinteraksi dengan para penghuni. Kebanyakan dari mereka hanya menatapnya dengan tatapan kosong, atau sekadar menggumamkan kata-kata yang tidak jelas dan tak beraturan. Ia mencoba menginisiasi permainan papan, membaca buku, bahkan sekadar berbincang tentang masa muda mereka. Namun, responsnya minim. Hanya segelintir yang mau membuka diri, salah satunya adalah Mbah Siti.
Mbah Siti adalah seorang wanita tua dengan rambut perak yang tipis dan senyum yang keriput, namun matanya masih memancarkan kecerdasan yang aneh. Ia sering duduk di kursi goyangnya di pojok ruangan umum, memandang ke luar jendela seolah ada sesuatu yang menarik perhatiannya di balik rimbunnya pepohonan atau di balik dinding-dinding panti. Arjun menemukan bahwa Mbah Siti adalah satu-satunya yang mau berbicara dengannya, meskipun percakapannya seringkali melantur dan penuh dengan teka-teki yang sulit dicerna.
"Mereka datang di malam hari, Nak," Mbah Siti bergumam suatu sore, matanya menatap Arjun dengan intensitas yang mengejutkan, seolah ia bisa melihat menembus jiwanya. "Mencari teman. Atau mungkin sesuatu yang lain yang tak bisa kulihat sepenuhnya."
Arjun tersenyum maklum, mencoba menyembunyikan rasa tidak nyamannya. "Siapa yang datang, Mbah?"
"Mereka yang berbisik," jawab Mbah Siti, suaranya merendah, hampir menjadi desisan. "Dan bau itu... bau aneh. Bukan bau tanah atau bunga atau obat. Bau darah lama yang mengering, bercampur dengan sesuatu yang sangat busuk, seperti bangkai tikus yang tersembunyi di bawah lantai." Ia mengendus-endus udara, ekspresinya berubah jijik, seolah bau itu baru saja tercium jelas olehnya.
Arjun mencoba mengabaikannya, berpikir itu hanya efek dari demensia yang dialami Mbah Siti. Namun, kalimatnya terngiang di benak Arjun. "Bau aneh."
Aroma karat yang pertama kali ia cium saat masuk ke panti itu semakin sering ia rasakan. Terutama di malam hari. Aroma itu kini terasa lebih pekat, seolah ada logam tua yang berkarat di udara, bercampur dengan sesuatu yang lain, sesuatu yang busuk dan manis pada saat yang sama, seperti bau amis yang berasal dari daging yang membusuk di bawah terik matahari. Baunya tidak menyengat hingga membuat mual, namun cukup kuat untuk membuat tenggorokannya terasa kering dan pahit.
Malam pertama Arjun menginap di panti adalah mimpi buruk. Ia tidur di kamar karyawan yang sederhana, tidak jauh dari kamar-kamar penghuni. Sekitar pukul dua pagi, ia terbangun oleh bisikan samar. Awalnya ia berpikir itu hanya suara angin yang berdesir di antara pohon-pohon di luar, namun bisikan itu terasa terlalu jelas, seperti gumaman beberapa orang yang berbicara pelan di dekat telinganya. Ia bangkit dari tempat tidur, telinganya menajam. Suara itu datang dari lorong. Perlahan, ia membuka pintu kamarnya, mengintip ke luar.
Lorong itu gelap gulita, hanya diterangi oleh lampu darurat berwarna merah di ujung. Tidak ada seorang pun. Bayangan-bayangan yang terbentuk dari cahaya minim itu tampak menari-nari di dinding, seolah ada sesuatu yang bergerak. Bisikan itu berhenti seketika, seolah mereka tahu ia sedang menguping. Arjun berdiri di ambang pintu selama beberapa menit, jantungnya berdegup kencang di dadanya. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya imajinasinya. Mungkin suara Bu Ratna yang sedang memeriksa atau Suster Nina yang berganti sif. Tapi mengapa mereka harus berbisik di tengah malam, dengan suara yang begitu menakutkan?
Ketika ia kembali ke tempat tidur, suara itu muncul lagi. Kali ini lebih dekat, seolah tepat di depan pintunya. Bisikan-bisikan itu terasa lebih jelas, seperti nama-nama yang diucapkan berulang kali, namun terlalu cepat dan terlalu terdistorsi untuk bisa ia pahami. Atau mungkin, hanya nama-nama yang terlintas di benaknya, di ambang kesadaran dan tidur? Ia tidak bisa membedakan. Keringat dingin membasahi punggungnya. Ia menarik selimut hingga dagu, berusaha mengabaikannya, namun bisikan itu terus menghantuinya hingga pagi, seperti melodi mengerikan yang diputar berulang-ulang di dalam kepalanya.
Keesokan harinya, ia mencoba bertanya pada Suster Nina, perawat muda yang ramah dan cenderung lebih terbuka daripada Bu Ratna. Suster Nina memiliki senyum yang tulus, meskipun seringkali terlihat kelelahan. "Suster Nina, apa ada jadwal patroli malam atau semacamnya di panti ini?"
Suster Nina yang sedang membersihkan meja ruang makan, mengangkat alisnya. Wajahnya terlihat lelah, dengan lingkaran hitam samar di bawah matanya. "Tidak, Arjun. Setelah jam sembilan malam, semua penghuni di kamar masing-masing. Hanya ada satu perawat jaga di pos utama, dan dia tidak berkeliling."
"Tapi saya dengar bisikan tadi malam, di lorong dekat kamar saya," ujar Arjun, mencoba terdengar santai, seolah hanya ingin tahu.
Senyum di wajah Suster Nina langsung memudar. Matanya memancarkan ketakutan sesaat, pandangannya melesat ke arah pintu kantor Bu Ratna yang tertutup rapat, seolah takut ada yang menguping. Namun, dengan cepat ia mengalihkan pandangannya kembali ke Arjun, berusaha tersenyum paksa. "Mungkin hanya mimpi, Arjun. Panti ini tua, banyak suara-suara yang bisa menipu. Pipa tua, angin, atau mungkin... hanya imajinasi."
"Tapi... saya yakin saya tidak mimpi," desak Arjun, merasa semakin tidak nyaman dengan reaksi Suster Nina. "Saya juga mencium bau aneh, seperti karat dan sesuatu yang busuk, seperti bau bangkai."
Suster Nina meletakkan lap di tangannya, wajahnya kini tegang, bibirnya sedikit bergetar. Ia menatap Arjun dengan tatapan memperingatkan, seolah menyampaikan pesan tanpa kata. "Arjun, lebih baik kau jangan terlalu memikirkan hal-hal seperti itu. Banyak cerita lama tentang panti ini. Jangan terlalu dibawa ke hati. Beberapa hal lebih baik tidak diusik." Ia berbalik dan melanjutkan pekerjaannya, dengan gerakan yang lebih cepat dan canggung, seolah topik itu tabu untuk dibicarakan.
Arjun merasa semakin bingung. Sikap Suster Nina yang tiba-tiba berubah dan ketakutan di matanya semakin menguatkan dugaannya. Ada sesuatu yang tidak beres di panti ini. Dan ia mulai merasakan hawa dingin merayap di punggungnya setiap kali ia berjalan sendirian di lorong yang remang-remang, seolah ada mata tak terlihat yang mengawasinya dari balik kegelapan. Ia mulai merasa dirinya tidak sendirian di panti ini, bahkan di siang bolong.
Bab 2: Mata Kosong dan Bayangan Berkelebat
Malam-malam di Panti Jompo Damai Abadi semakin menjadi neraka bagi Arjun. Bisikan-bisikan itu tidak lagi samar. Mereka kini terdengar seperti gumaman yang tercekik, terkadang diselingi dengan suara-suara aneh seperti gesekan kuku di lantai yang kasar, desisan yang mengerikan seperti ular yang sedang marah, atau bahkan tawa pelan yang dingin dan tanpa emosi. Aroma karat dan busuk yang Mbah Siti sebutkan kini terasa lebih menyengat, seolah ada sesuatu yang membusuk di dalam dinding-dinding panti, meresap ke setiap celah dan sudut. Ia sering terbangun dengan rasa mual dan sakit kepala yang menusuk, seolah ia telah menghirup udara yang tercemar oleh bau yang tak terlihat.
Ia mulai mencatat keanehan-keanehan yang terjadi. Setiap pagi, ia mendapati ada beberapa pintu kamar penghuni yang sedikit terbuka, padahal ia yakin semua pintu sudah terkunci dari luar sebelum ia tidur, sebagai bagian dari prosedur keamanan. Terkadang, ia menemukan jejak kaki kotor di lantai marmer yang bersih, jejak yang tidak mungkin berasal dari penghuni yang sebagian besar tidak bisa berjalan sendiri atau bahkan tidak pernah meninggalkan kamar mereka. Jejak itu tidak seperti jejak manusia biasa; ukurannya lebih kecil, seperti jejak kaki anak-anak, namun bentuknya terlalu aneh, seolah jari-jarinya terlalu panjang atau tidak proporsional.
Salah satu penghuni yang paling membuat Arjun merasa tidak nyaman adalah Pak Surya. Pak Surya adalah pria tua yang pendiam, selalu duduk di kursi rodanya dekat jendela besar di ruang umum. Ia jarang berbicara, dan matanya yang dulu mungkin penuh kehidupan kini tampak kosong, menatap keluar jendela tanpa fokus, seolah jiwanya telah lama pergi. Namun, beberapa hari terakhir, Arjun mulai menyadari sesuatu yang aneh tentang Pak Surya.
Setiap kali Arjun berjalan melewati Pak Surya, ia merasa mata pria tua itu mengikutinya. Bukan tatapan kosong yang biasa, melainkan tatapan yang lebih... sadar, lebih tajam, dan penuh dengan kepedihan yang tak terucapkan. Dan terkadang, Pak Surya akan perlahan mengangkat tangannya yang kurus, jari-jarinya yang keriput menunjuk ke arah tertentu. Selalu ke arah yang sama: sebuah kamar kosong di ujung lorong paling gelap. Kamar itu dulunya dihuni oleh seorang wanita tua bernama Mbah Darmi, yang meninggal dunia seminggu sebelum Arjun datang. Kematiannya dilaporkan sebagai kematian wajar akibat usia tua, namun Arjun selalu merasa ada sesuatu yang tidak tuntas dari cerita itu.
"Pak Surya, ada apa?" Arjun pernah bertanya suatu sore, mendekati pria tua itu, mencoba menangkap ekspresi yang melintas di wajahnya.
Pak Surya tidak menjawab. Ia hanya terus menunjuk, tatapannya kini memancarkan rasa takut yang samar, seolah ia melihat sesuatu yang tak bisa dilihat Arjun. Jari telunjuknya yang keriput bergetar pelan. Bibirnya bergerak-gerak, berusaha mengucapkan sesuatu, namun tidak ada suara yang keluar.
"Kamar Mbah Darmi?" Arjun melanjutkan, mencoba menerka, mengikuti arah jari Pak Surya.
Tiba-tiba, Pak Surya mengeluarkan suara serak, hampir seperti erangan yang dipaksakan, seolah ia dicekik, dan tangannya jatuh kembali ke pangkuannya dengan lemas. Ia kembali menatap kosong ke luar jendela, seolah semua kesadaran telah meninggalkannya lagi. Arjun merasa frustrasi, namun ada getaran dingin yang menjalari punggungnya. Apa yang ingin ditunjukkan Pak Surya padanya? Mengapa ia begitu ketakutan?
Kecurigaan Arjun semakin menguat ketika beberapa penghuni mulai menunjukkan perubahan perilaku yang drastis. Nenek Aminah, seorang wanita tua yang selalu ramah dan cerewet, kini menjadi sangat pendiam dan ketakutan. Ia sering bersembunyi di balik selimutnya, menolak makan, dan kadang-kadang terlihat menggaruk-garuk lengannya dengan kasar, meninggalkan bekas merah di kulitnya, seolah ada sesuatu yang merangkak di bawahnya atau mencoba keluar dari kulitnya. Kakek Mardi, yang biasanya tenang dan suka membaca koran, mulai berteriak-teriak histeris di tengah malam, menyebut nama-nama yang tidak jelas, seperti "Mereka! Mereka datang!" atau "Lepaskan aku!" Bu Ratna selalu beralasan itu efek dari obat-obatan mereka yang disesuaikan atau tanda-tanda demensia yang memburuk, namun Arjun merasa ada yang janggal. Kondisi mereka memburuk terlalu cepat, seolah ada sesuatu yang menguras vitalitas mereka.
"Ini tidak wajar, Suster Nina," Arjun berbisik pada Suster Nina suatu siang, setelah menyaksikan Nenek Aminah menolak untuk disentuh, gemetar hebat di sudut ruangan, matanya membelalak ketakutan. "Mereka semua jadi aneh. Dan Mbah Siti... dia terus bicara tentang 'mereka yang datang di malam hari' dan 'bau bangkai'."
Suster Nina menyeka keringat di dahinya. Wajahnya pucat dan ia menghindari kontak mata, seperti seorang anak yang takut dimarahi. "Arjun, sudah kubilang... jangan terlalu dipikirkan. Panti jompo memang seperti ini. Banyak lansia yang... kondisi mentalnya menurun. Mereka berhalusinasi. Itu wajar."
"Tapi ini bukan sekadar menurun, Suster," desak Arjun, suaranya naik satu oktaf. "Ini seperti... mereka diteror. Atau ada sesuatu yang menempel pada mereka, mengendalikan mereka."
Suster Nina menjatuhkan lap di tangannya, membuat suara 'ceplak' yang keras di kesunyian. Matanya membelalak ketakutan, dan ia melihat sekilas ke arah pintu kantor Bu Ratna yang tertutup rapat, seolah yakin Bu Ratna bisa mendengar bisikan mereka dari balik pintu kayu tebal itu. "Jangan bicara sembarangan, Arjun," bisiknya, suaranya gemetar dan nyaris tak terdengar. "Lebih baik kau fokus saja pada pekerjaanmu. Jangan mencari masalah yang tidak perlu. Beberapa hal lebih baik tidak diketahui." Ia lalu buru-buru pergi, meninggalkanku sendirian, seolah ia baru saja melarikan diri dari sebuah ancaman.
Sikap Suster Nina semakin membingungkan Arjun. Ia yakin Suster Nina tahu sesuatu, sesuatu yang mengerikan, namun ia terlalu takut untuk mengungkapkannya. Ketegangan di antara staf dan dirinya sendiri semakin terasa. Bu Ratna selalu menatapnya dengan pandangan curiga, tatapannya dingin dan tajam, seolah Arjun adalah pengganggu yang tidak diinginkan, seorang anak yang terlalu banyak bertanya.
Suatu malam, Arjun sedang berjalan di lorong menuju kamarnya setelah mengecek beberapa penghuni. Listrik di panti terasa lebih redup dari biasanya, berkedip-kedip sebentar-sebentar, seolah ada gangguan di jalur listrik utama. Tiba-tiba, ia melihat sesuatu. Sebuah bayangan hitam tinggi melintas di ujung lorong, melayang lebih dari sekadar berjalan, lalu menghilang di balik tikungan menuju area dapur. Jantung Arjun melonjak. Ia segera berlari menuju tikungan itu, namun tidak ada apa-apa. Lorong itu kosong, gelap, dan sunyi. Keringat dingin membasahi punggungnya. Apakah itu hanya ilusi optik? Efek dari lampu yang berkedip? Atau ia benar-benar melihat sesuatu yang bukan dari dunia ini?
Malam itu, bisikan-bisikan itu semakin jelas, bukan lagi samar. Arjun bersumpah mendengar nama-nama penghuni yang sudah meninggal—Mbah Darmi, Kakek Sudiro, Nenek Fatma—dipanggil berulang kali dalam bisikan serak, seolah dari tenggorokan yang tercekat. Ia juga mendengar suara seperti nafas berat, diiringi desisan yang membuat bulu kuduknya berdiri, seperti suara ular yang sangat besar merayap di lantai kayu. Aroma karat dan busuk itu kini begitu kuat hingga ia harus menutup hidungnya dengan bantal, namun baunya seolah meresap ke dalam paru-parunya.
Ia mencoba menelepon teman lamanya, seorang psikiater. Ia ingin bertanya apakah gejala yang ia alami – bisikan, bau aneh, bayangan – adalah tanda-tanda awal halusinasi akibat stres atau kelelahan. Namun, setiap kali ia meraih ponselnya, ia ragu. Bagaimana jika ia memang gila? Bagaimana jika semua yang ia alami hanyalah imajinasinya sendiri yang kacau? Pikiran itu sangat menakutkan, lebih menakutkan daripada bayangan hitam itu sendiri. Ia tidak ingin didiagnosis sebagai orang gila, ia tahu apa yang ia lihat dan dengar itu nyata.
Keraguan itu mulai merayap ke dalam pikirannya, menggerogoti keyakinannya. Tapi di sisi lain, ia yakin. Ini terlalu nyata untuk sekadar halusinasi. Bau amis yang menyengat itu terlalu nyata, kengerian di mata Suster Nina itu terlalu kentara, dan Pak Surya yang terus menunjuk ke kamar kosong Mbah Darmi itu terlalu konkret. Ada sesuatu.
Malam itu, Arjun tidak bisa tidur. Ia berbaring di tempat tidur, matanya terbuka lebar di kegelapan, telinganya menajam, mendengarkan setiap suara yang ada. Setiap derit lantai, setiap gesekan angin di jendela, setiap tetesan air dari keran yang menetes di kamar mandi, terasa seperti suara ancaman. Sekitar pukul tiga pagi, ia mendengar suara langkah kaki menyeret yang lambat dan berat di lorong. Suara itu semakin mendekat, berhenti tepat di depan kamarnya. Lalu, terdengar suara tarikan napas yang berat, panjang, dan basah, seolah seseorang mengintip dari bawah celah pintu, terengah-engah.
Arjun menahan napas, berusaha tidak bergerak sedikit pun. Ia bisa merasakan jantungnya berdebar sangat kencang, memukul-mukul rusuknya seolah ingin keluar. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tercekat di tenggorokan, terperangkap di dalam dadanya. Ia bisa merasakan hawa dingin yang menusuk dari bawah celah pintu, seolah ada entitas tak terlihat yang berdiri di sana, mengamatinya. Aroma karat dan busuk itu kini begitu kuat hingga ia hampir muntah, memenuhi seluruh indra penciumannya.
Tiba-tiba, ia mendengar tawa cekikikan yang pelan dan serak, seolah keluar dari tenggorokan yang rusak atau dari paru-paru yang basah. Tawa itu terdengar mengerikan, penuh ejekan dan kejahatan, seolah merayakan penderitaannya. Suara itu berasal dari belakang pintu. Arjun memejamkan mata erat-erat, menggigit bibir bawahnya hingga berdarah, mencoba menghentikan dirinya agar tidak menjerit.
Tawa itu berhenti. Langkah kaki menyeret itu menjauh, perlahan menghilang di kejauhan lorong, meninggalkan Arjun sendirian dalam kegelapan dan kesunyian yang mengerikan.
Arjun menunggu. Lima menit. Sepuluh menit. Ia akhirnya memberanikan diri membuka matanya. Jantungnya masih berdebar kencang, namun ada dorongan tak tertahankan untuk mencari tahu apa yang telah terjadi. Ia menyalakan lampu meja. Cahaya kuning yang redup menerangi kamar. Ia bangkit dari tempat tidur, mendekati pintu, dan mengintip dari lubang kunci. Lorong itu kosong. Gelap. Sunyi. Seperti tidak ada apa-apa yang pernah terjadi.
Namun, di lantai tepat di depan pintunya, di bawah celah, ada sesuatu. Bercak kecil berwarna gelap. Arjun menyalakan lampu ponselnya, cahayanya yang terang menyorot ke bercak itu.
Itu adalah noda kecoklatan, berbentuk seperti tetesan yang memanjang, dengan bau amis yang kini sangat familiar baginya. Bau karat dan busuk yang Mbah Siti gambarkan. Arjun menyentuhnya dengan ujung jarinya. Lengket. Dingin. Ia mengangkat jarinya ke hidung, menciumnya. Aroma logam dan sesuatu yang lain, sesuatu yang organik dan membusuk, seperti darah yang sudah lama mengering.
Ini... darah.
Arjun terhuyung mundur, napasnya tersengal. Darah? Dari mana asalnya? Siapa yang meninggalkan ini di depan pintunya? Ia melihat ke sekeliling, mencari petunjuk. Tidak ada. Tidak ada jejak lain, tidak ada bekas seretan, hanya bercak itu, di sana, sebagai bukti nyata.
Ia lari ke kamar mandi, menyalakan keran air dingin, dan mencuci tangannya berulang kali dengan sabun, berusaha menghilangkan bau dan rasa lengket itu. Namun, aroma itu seolah menempel di kulitnya, di indra penciumannya, di benaknya. Ia menggosok jari-jarinya hingga merah, namun perasaan lengket itu seolah tak pernah hilang.
Ia kembali ke kamar, mencoba menenangkan diri. Ia harus memberitahu seseorang. Suster Nina. Atau polisi. Tapi apa yang akan ia katakan? "Ada darah di depan pintu kamar saya, dan saya mendengar tawa menyeramkan dari entitas tak terlihat"? Mereka pasti akan menuduhnya gila, mengirimnya ke rumah sakit jiwa.
Arjun kembali ke tempat tidur, tubuhnya gemetar hebat. Ia menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya, namun kengerian itu masih menempel di benaknya, di setiap serat sarafnya. Ia tidak bisa melarikan diri dari apa yang ia alami.
Di tengah kegelapan yang pekat, di antara bisikan dan bayangan yang terus menghantuinya, Arjun mulai bertanya-tanya: apakah ia benar-benar sendirian dalam menghadapi ini? Atau apakah ada sesuatu yang jauh lebih gelap dan mengerikan, bersembunyi di balik dinding-dinding tua Panti Jompo Damai Abadi ini, dan hanya ia yang mampu melihatnya? Ia mulai yakin, dengan setiap serat tubuhnya, bahwa apa yang ia alami...
Aku Yakin Ini Nyata.
Bab 3: Teror di Balik Pintu Terlarang
Arjun terbangun dengan jantung berdebar kencang, napasnya terengah-engah. Malam telah berganti pagi, namun kengerian dari kejadian semalam masih menempel erat di benaknya. Bercak darah di depan pintu kamarnya adalah bukti nyata, tak terbantahkan. Ia memeriksa lagi. Noda itu masih ada, gelap dan kering di atas lantai. Baunya, meskipun samar, masih tercium. Darah. Darah siapa?
Ia mencoba berpikir rasional. Mungkin ada penghuni yang terluka dan tidak sengaja meneteskan darah saat lewat? Tapi mengapa harus tepat di depan kamarnya? Dan mengapa ada tawa mengerikan itu? Akalnya memberontak, menolak penjelasan logis yang terlalu sederhana.
Setelah mandi dengan tergesa-gesa, berusaha menghilangkan rasa lengket yang tak kasat mata dari kulitnya, Arjun memutuskan untuk bertindak. Ia tidak bisa lagi mengabaikan keanehan-keanehan ini. Target pertamanya adalah kamar Mbah Darmi. Pak Surya terus menunjuk ke sana, seolah ada rahasia yang terkubur di dalamnya.
Pukul sembilan pagi, saat sebagian besar penghuni masih sarapan atau berdiam di kamar masing-masing, Arjun mencari kunci cadangan kamar-kamar kosong. Ia tahu Bu Ratna menyimpan daftar kunci di kantornya, di laci paling bawah. Dengan hati-hati, ia memasuki kantor yang sepi itu. Aroma Bu Ratna yang khas – campuran parfum murahan dan bau obat-obatan – menyengat hidungnya. Ia menemukan laci itu terkunci. Sial.
Ia menghela napas. Tidak ada pilihan lain. Ia harus menemukan cara untuk masuk.
Saat berkeliling panti, Arjun melihat Bu Ratna dan Suster Nina sedang berbicara di ruang staf, pintu sedikit terbuka. Mereka tampak tegang, suara mereka berbisik-bisik, dan sesekali pandangan mereka melesat ke arah Arjun yang pura-pura sibuk mengatur buku di rak. Ada sesuatu yang mencurigakan dari pertemuan rahasia mereka. Ketika Arjun mendekat, mereka tiba-tiba terdiam, wajah Bu Ratna mengeras dan Suster Nina langsung menunduk.
"Ada yang bisa saya bantu, Arjun?" tanya Bu Ratna, nadanya dingin dan menusuk.
"Tidak, Bu. Saya hanya mengecek persediaan buku untuk perpustakaan mini kita," jawab Arjun, berusaha tersenyum ramah. "Omong-omong, Bu, boleh saya tahu kamar Mbah Darmi itu kenapa selalu dikunci? Apa tidak ada rencana untuk digunakan lagi?"
Wajah Bu Ratna langsung berubah, ekspresinya mengeras. "Kamar itu sedang dalam renovasi, Arjun. Ada masalah kelembapan. Jadi dikunci."
"Renovasi?" Arjun mengerutkan kening. Ia tidak melihat ada tanda-tanda renovasi. Tidak ada alat, tidak ada pekerja. "Tapi saya tidak melihat ada pekerjaan apa-apa di sana."
"Itu bukan urusanmu, Arjun," suara Bu Ratna naik satu oktaf, rahangnya mengeras. "Fokus saja pada tugasmu. Jangan terlalu ingin tahu hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaanmu. Mengerti?"
Arjun mengangguk, merasakan hawa dingin yang tak menyenangkan dari Bu Ratna. Suster Nina di sampingnya tampak semakin pucat, ia bahkan tidak berani menatap Arjun. Ada yang disembunyikan. Sesuatu yang besar.
Malam harinya, setelah Bu Ratna pulang dan hanya ada satu perawat jaga di pos utama – bukan Suster Nina – Arjun memutuskan untuk memanfaatkan kesempatan. Ia berhasil mendapatkan kunci kamar Mbah Darmi. Entah dari mana, sebuah dorongan kuat menguasai dirinya, sebuah keyakinan bahwa ia harus masuk ke sana.
Dengan senter ponselnya, ia berjalan pelan menuju ujung lorong gelap. Aroma karat dan busuk di sana jauh lebih pekat, membuat perutnya bergejolak. Udara terasa lebih dingin dan berat. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul dadanya seperti drum. Tangan Arjun gemetar saat ia memasukkan kunci ke lubang kunci. Terdengar bunyi klik pelan, dan pintu itu terbuka.
Cahaya senter ponsel Arjun menyapu ruangan. Kamar itu kecil dan pengap. Udara di dalamnya terasa basi, seolah tidak pernah dibuka selama bertahun-tahun. Ranjang kayu tua berdiri di tengah, dengan kasur yang sudah tidak lagi empuk, dan selimut putih yang kotor teronggok begitu saja. Tidak ada barang pribadi. Seolah kamar itu dikosongkan secara tergesa-gesa.
Namun, yang membuat Arjun membeku adalah apa yang ia lihat di dinding di samping ranjang.
Ada goresan-goresan panjang, dalam, dan tidak beraturan di plester dinding. Goresan itu terlihat seperti bekas kuku, atau mungkin sesuatu yang lebih tajam. Goresan-goresan itu mengalir ke bawah, menunjuk ke lantai, dan di sana, di sudut tembok, ada noda kecoklatan yang mengering, sangat mirip dengan noda darah yang ia temukan di depan pintu kamarnya. Noda itu tidak besar, hanya sekitar telapak tangan, namun warnanya yang gelap dan baunya yang amis tak bisa diabaikan.
Arjun membungkuk, mendekat. Ia menyentuh noda itu. Kering. Baunya... baunya seperti bau karat, darah, dan sesuatu yang lain, sesuatu yang sangat manis dan menjijikkan. Bau itu terlalu kuat untuk diabaikan.
Lalu, matanya menangkap sesuatu di bawah ranjang. Ia menyalakan senter ke sana. Sebuah boneka kain tua tergeletak di sana, tertutup debu. Boneka itu tampak seperti boneka anak-anak, dengan mata yang dijahit menggunakan benang merah yang tebal. Namun, yang mengerikan, ada bercak coklat gelap di bagian dada boneka itu, dan di sekeliling jahitannya yang melingkar, seolah mata itu pernah mengeluarkan cairan gelap. Itu adalah bercak darah kering.
Arjun menjerit dalam hati. Ini... ini tidak mungkin hanya halusinasi. Ini nyata. Darah! Dan goresan kuku itu! Apakah Mbah Darmi mencoba melarikan diri? Apakah ia diserang di sini?
Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki dari lorong. Jantungnya melonjak ke tenggorokan. Ia segera mematikan senter ponselnya dan bersembunyi di balik pintu yang sedikit terbuka. Cahaya senter lain masuk ke dalam kamar, menyapu ruangan.
"Siapa di sana?" suara Bu Ratna yang dingin dan menusuk membelah kesunyian. "Saya tahu ada orang di sini!"
Arjun menahan napas. Ia mendengar langkah kaki Bu Ratna memasuki kamar, mengamati sekeliling. Bau parfumnya yang tajam kini bercampur dengan bau karat yang semakin pekat di ruangan itu. Arjun bisa mendengar napas berat Bu Ratna.
"Tidak ada apa-apa," gumam Bu Ratna, terdengar frustrasi. Ia menghela napas. "Pasti hanya tikus."
Langkah kaki Bu Ratna menjauh, dan cahaya senter menghilang dari kamar. Arjun menunggu beberapa saat, memastikan ia benar-benar pergi. Setelah itu, ia keluar dari persembunyiannya, mengunci kamar Mbah Darmi, dan bergegas kembali ke kamarnya, tubuhnya gemetar hebat. Ia tidak bisa tidur lagi malam itu. Gambar goresan kuku di dinding dan boneka berdarah itu terus berputar-putar di benaknya. Ini lebih dari sekadar demensia. Ini lebih dari sekadar halusinasi. Ada sesuatu yang sangat jahat di panti ini. Dan Bu Ratna tahu tentang itu.
Bab 4: Konspirasi Sunyi
Keesokan paginya, Arjun terbangun dengan lingkaran hitam pekat di bawah matanya. Ia merasa lelah, bukan hanya fisik, tapi mental. Ketegangan yang ia rasakan selama ini kini berubah menjadi paranoid. Ia tidak bisa mempercayai siapa pun.
Saat sarapan, Arjun sengaja mengamati Bu Ratna. Wanita itu tampak tenang, seolah tidak terjadi apa-apa semalam. Namun, setiap kali pandangannya bertemu dengan Arjun, ada kilatan tajam di matanya, seolah ia tahu apa yang Arjun lakukan.
"Arjun, kamu tampak tidak enak badan," ujar Bu Ratna, suaranya tetap datar, namun ada nada terselubung. "Mungkin kau butuh libur."
Arjun merasakan ancaman tersirat dalam kata-kata itu. "Saya baik-baik saja, Bu. Hanya sedikit kurang tidur."
"Pekerjaan di sini memang menuntut," balas Bu Ratna, senyum tipis, hampir seperti seringai, terukir di bibirnya. "Terutama jika terlalu banyak pikiran yang tidak perlu."
Arjun menahan diri untuk tidak membalas. Ia tahu Bu Ratna sedang memperingatkannya.
Setelah sarapan, Arjun mencoba mendekati Suster Nina lagi. Ia harus memaksanya bicara. Ia menarik Suster Nina ke sudut sepi di kebun belakang.
"Suster Nina, saya tahu ada sesuatu yang tidak beres di sini," bisik Arjun, suaranya rendah dan mendesak. "Saya masuk ke kamar Mbah Darmi tadi malam."
Mata Suster Nina membelalak. Wajahnya langsung memucat, lebih pucat dari biasanya. Ia terlihat seperti siap pingsan. "Apa?! Ka-kamu... kamu tidak seharusnya ke sana!"
"Saya melihat goresan kuku di dinding, Suster! Dan noda darah! Dan boneka tua berdarah di bawah ranjang!" Arjun berbicara dengan cepat, napasnya tersengal. "Mbah Darmi tidak meninggal wajar, kan? Ada sesuatu yang terjadi padanya, dan Bu Ratna menyembunyikannya!"
Suster Nina mulai gemetar. Ia melihat ke sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Arjun... kumohon... jangan libatkan aku. Aku tidak bisa."
"Tapi kenapa, Suster? Apa yang terjadi di sini?" desak Arjun. "Para penghuni... mereka semua ketakutan. Kakek Mardi berteriak-teriak. Nenek Aminah menggaruk-garuk lengannya. Dan Mbah Siti... dia bicara tentang 'mereka yang datang di malam hari'."
Suster Nina menangis terisak. "Aku... aku tidak bisa memberitahumu. Bu Ratna... dia akan tahu. Aku akan dipecat. Atau lebih buruk lagi."
"Lebih buruk lagi?" Arjun mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
Suster Nina menutupi mulutnya dengan tangan, berusaha meredam isakannya. "Mereka... mereka tidak suka jika ada yang tahu. Mereka akan datang..." Ia tiba-tiba berhenti bicara, matanya terfokus pada sesuatu di belakang Arjun. Ekspresinya berubah dari ketakutan menjadi teror murni.
Arjun berbalik. Bu Ratna berdiri di ambang pintu belakang, menatap mereka dengan tatapan dingin dan menusuk. Wajahnya tidak menunjukkan emosi, namun tatapannya adalah ancaman yang jelas.
"Suster Nina," suara Bu Ratna tajam, memecah ketegangan di udara. "Ada pekerjaan yang menunggumu di dalam."
Suster Nina langsung menunduk, gemetar, dan bergegas masuk tanpa sepatah kata pun. Ia bahkan tidak berani menatap Arjun. Arjun tahu, ia telah kehilangan satu-satunya potensi sekutu.
Bu Ratna mendekati Arjun. Aura dinginnya semakin terasa. "Saya sudah bilang, Arjun, jangan terlalu ingin tahu. Panti ini punya aturan. Dan kau sudah melanggarnya."
"Ada apa sebenarnya di kamar Mbah Darmi, Bu?" tanya Arjun, berusaha terdengar tenang meskipun jantungnya berdebar kencang. "Dan kenapa ada darah di depan pintu kamar saya tadi malam?"
Bu Ratna tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak menjangkau matanya. "Darah? Mungkin kau terlalu lelah, Arjun. Kadang-kadang, pikiran kita bisa bermain-main dengan kita. Apalagi dengan tingkat stres seperti yang kau alami sekarang." Ia mencondongkan tubuh sedikit, suaranya merendah menjadi bisikan yang mengancam. "Panti ini... tidak cocok untuk orang yang terlalu lemah mental. Kau mengerti maksud saya?"
Arjun merasakan ancaman tersirat yang jelas. Bu Ratna menuduhnya gila. Ia mencoba mengendalikan emosinya. "Saya tahu apa yang saya lihat, Bu Ratna. Dan saya tidak gila."
"Oh, ya? Buktinya apa?" Bu Ratna mengangkat alis, menantang. "Bisikan di malam hari? Bayangan? Darah yang hanya kau lihat?" Ia tertawa kecil, tawa yang menusuk hati. "Sepertinya kau butuh istirahat. Aku bisa memberimu cuti. Cuti panjang."
"Saya tidak butuh cuti," desis Arjun. "Saya butuh jawaban. Apa yang terjadi di sini? Apa yang kalian sembunyikan?"
Tiba-tiba, Bu Ratna mendekat, meraih lengan Arjun dengan cengkeraman kuat. Matanya yang dingin menatap tajam ke mata Arjun. "Kau tidak tahu apa yang kau hadapi, anak muda. Ada beberapa hal yang lebih baik tidak diusik. Demi kebaikanmu sendiri." Ia kemudian melepaskan cengkeramannya, dan berbalik pergi, meninggalkan Arjun sendirian dalam kebun yang sepi, dengan kepala yang berputar dan perasaan mual yang tak tertahankan.
Arjun menyadari ia terjebak. Bu Ratna adalah penghalang utama. Ia tidak akan memberinya jawaban. Suster Nina terlalu takut. Para penghuni terlalu lemah atau terlalu jauh di dalam pikiran mereka sendiri. Ia harus mencari tahu sendiri.
Malam itu, Arjun tidak bisa tenang. Ia tahu ia sedang diawasi. Setiap kali ia berjalan di lorong, ia merasa ada mata yang mengikutinya. Setiap kali ia melewati pintu tertutup, ia merasa ada yang bersembunyi di baliknya. Bisikan-bisikan itu semakin intens, kini mereka terasa seperti suara-suara yang mengejeknya, merayap di sudut pikirannya, menuduhnya gila.
Ia mulai merasa paranoia menguasai dirinya. Apakah Bu Ratna benar? Apakah ia memang mulai berhalusinasi karena stres? Tapi noda darah itu... goresan kuku itu... itu nyata. Ia yakin. Tapi bagaimana ia bisa membuktikannya?
Ia kembali ke kamar Mbah Darmi. Menggunakan trik sederhana yang ia pelajari dari film, ia berhasil membuka kuncinya lagi. Ia menyalakan senter. Goresan kuku itu masih ada. Noda darah kering itu masih ada. Dan boneka kain itu... ia mengambilnya dari bawah ranjang. Matanya yang dijahit benang merah seolah menatapnya, dan bercak darah di dadanya terasa dingin di jari-jarinya.
Arjun membawa boneka itu kembali ke kamarnya. Ia menyimpannya di dalam laci, di bawah tumpukan pakaian. Itu adalah bukti pertamanya. Bukti nyata bahwa ada sesuatu yang mengerikan telah terjadi di panti ini. Dan ia akan mencari tahu apa itu. Dengan setiap bisikan yang ia dengar, setiap bayangan yang melintas, setiap ancaman terselubung dari Bu Ratna, keyakinannya semakin kuat.
Ia bukan gila. Aku yakin ini nyata.
Bab 5: Teror Bermain Petak Umpet
Setelah penemuan boneka kain berdarah dan goresan di kamar Mbah Darmi, Arjun semakin yakin bahwa ia tidak gila. Bukti itu nyata, membebani pikirannya, namun juga memberinya kekuatan untuk terus mencari tahu. Ia menyimpan boneka itu dengan hati-hati, sebuah artefak mengerikan yang menjadi jangkar baginya di tengah badai keraguan.
Malam-malam berikutnya di Panti Jompo Damai Abadi semakin intens. Bisikan-bisikan yang tadinya samar kini terasa seperti suara-suara yang mengelilinginya, seolah ada banyak entitas tak terlihat yang bergerak di sekitarnya. Mereka tidak lagi hanya menggumamkan nama; terkadang, Arjun bersumpah mendengar kata-kata yang lebih jelas, seperti "keluar," "pergi," atau yang paling mengerikan, "kami datang untukmu." Tawa cekikikan yang ia dengar di depan pintunya kini kadang diselingi dengan suara tangisan pelan, seperti ratapan anak kecil yang tersesat.
Aroma karat dan busuk itu kini tak pernah hilang dari indra penciumannya. Bahkan saat ia makan, aroma itu seolah bercampur dengan makanan, membuatnya kehilangan nafsu makan. Ia mulai mengalami kesulitan tidur, sering terbangun dengan keringat dingin dan napas terengah-engah, merasa ada yang berdiri di samping ranjangnya. Setiap bayangan yang bergerak di sudut matanya terasa seperti ancaman. Ia merasa lelah, tubuhnya pegal, namun otaknya terus bekerja, mencari pola, mencari jawaban.
Para penghuni panti semakin menunjukkan perilaku aneh. Kakek Mardi, yang sebelumnya hanya berteriak di malam hari, kini sering terlihat menunjuk ke arah sudut-sudut kosong di ruangan, berbisik "di sana, di sana," dengan mata melotot ketakutan. Nenek Aminah terus menggaruk-garuk lengannya hingga lecet, dan sesekali ia terlihat berbicara sendiri, namun bukan obrolan biasa, melainkan bisikan-bisikan cepat yang tak bisa dipahami. Ia bahkan melihat Mbah Siti beberapa kali menatap lurus ke arahnya, matanya penuh kesedihan, seolah ingin memperingatkan sesuatu namun tak mampu.
Arjun mencoba memotret goresan di dinding kamar Mbah Darmi dan bercak darahnya menggunakan ponsel, namun setiap kali ia mencoba, kameranya selalu buram, atau foto yang diambil hanya menunjukkan dinding kosong yang bersih. Ia bahkan mencoba merekam suara bisikan-bisikan itu, namun hasil rekamannya selalu dipenuhi dengan suara statis yang mengganggu, atau yang terburuk, suara-suara frekuensi tinggi yang membuat telinganya berdenging dan kepalanya sakit. Ini seperti ada kekuatan tak terlihat yang tidak ingin ia memiliki bukti.
Frustrasi mulai menggerogoti Arjun. Ia merasa terjebak dalam permainan kucing-kucingan dengan sesuatu yang tak terlihat, dan ia adalah tikus yang sedang diburu. Bu Ratna semakin intens mengawasinya. Setiap kali Arjun mencoba berinteraksi lebih dalam dengan para penghuni atau mengamati kejanggalan, Bu Ratna selalu muncul entah dari mana, menatapnya dengan tatapan dingin dan menusuk.
"Ada apa, Arjun? Terlalu banyak waktu luang?" Bu Ratna pernah menyapanya saat Arjun sedang mencoba menenangkan Kakek Mardi yang berteriak-teriak.
"Kakek Mardi tidak baik-baik saja, Bu," jawab Arjun, berusaha menahan emosinya. "Dia ketakutan."
"Itu efek obatnya," Bu Ratna membalas singkat, tanpa menatap Kakek Mardi. "Jangan terlalu banyak berasumsi."
Arjun juga sering mendapati Bu Ratna dan staf lain, seperti Suster Nina, mengadakan pertemuan rahasia di ruang kantor yang tertutup. Suara mereka berbisik-bisik, dan seringkali terdengar seperti perdebatan yang tegang. Sekali waktu, ia mendengar Suster Nina berkata dengan suara bergetar, "Kita tidak bisa terus begini, Bu. Ini terlalu berbahaya." Namun, jawaban Bu Ratna terlalu pelan untuk didengar. Ketika Arjun mendekat, mereka akan langsung terdiam, dan Bu Ratna akan menatap Arjun dengan tatapan peringatan.
Arjun merasa semakin terisolasi. Suster Nina, yang tadinya sedikit bisa diajak bicara, kini menghindarinya sebisa mungkin. Jika Arjun mencoba mendekat, ia akan langsung mencari alasan untuk pergi, matanya dipenuhi ketakutan. Staf lain tidak pernah berinteraksi dengannya selain keperluan pekerjaan, dan wajah mereka selalu tampak lelah dan muram. Mereka seolah hidup dalam ketakutan yang sama dengan Suster Nina, namun tak berani bicara.
Keyakinan Arjun bahwa ini adalah sebuah konspirasi, sebuah rahasia gelap yang disembunyikan di balik dinding-dinding panti, semakin menguat. Mereka semua tahu sesuatu. Mereka semua takut. Dan dia, Arjun, kini menjadi ancaman bagi rahasia itu.
Suatu malam, Arjun terbangun oleh suara gemuruh dari lantai bawah. Seperti suara benda berat diseret, atau sesuatu yang jatuh. Diikuti oleh bisikan-bisikan yang lebih keras dari biasanya, dan aroma busuk yang sangat menyengat, membuat perutnya mual. Ia memutuskan untuk menyelidiki. Dengan hati-hati, ia membuka pintu kamarnya dan melangkah ke lorong yang gelap.
Suara-suara itu datang dari area basement, yang selama ini selalu terkunci. Bu Ratna selalu mengatakan basement itu hanya gudang tua yang tidak aman, dan melarang keras siapa pun memasukinya. Tapi malam ini, Arjun bisa mendengar suara jelas dari sana. Suara benda diseret, dan sesekali, tawa cekikikan dingin.
Arjun menuruni tangga menuju basement. Tangga itu terasa dingin dan lembap. Bau karat dan busuk di sini jauh lebih pekat, seolah ia masuk ke jantung bau itu sendiri. Pintu basement yang biasanya terkunci rapat, kini sedikit terbuka, mengeluarkan celah cahaya remang-remang dari dalamnya.
Jantung Arjun berdebar kencang. Dengan perlahan, ia mendekati pintu, mengintip dari celah kecil.
Apa yang ia lihat membuat darahnya berdesir dingin.
Bu Ratna dan Suster Nina berdiri di tengah ruangan, menghadap ke sebuah lubang gelap di lantai. Lubang itu tampak seperti sumur tua yang ditutup dengan papan kayu yang sudah lapuk. Di samping lubang itu, ada beberapa ember dan kain kusa yang tampak kotor. Bu Ratna memegang sesuatu di tangannya, sesuatu yang berkilau di bawah cahaya remang-remang. Itu adalah sebuah pisau. Di lantai, ada bercak-bercak gelap yang luas, dan bau amis yang sangat kuat.
Suster Nina tampak gemetar, wajahnya pucat pasi, seperti mayat. Ia berbisik, "Sudah cukup, Bu. Saya tidak tahan lagi."
Bu Ratna berbalik, pisau di tangannya memantulkan cahaya. Matanya menatap Suster Nina dengan dingin. "Kita sudah sampai sejauh ini, Nina. Tidak ada jalan kembali."
Arjun nyaris tidak bisa bernapas. Ia tidak bisa melihat dengan jelas apa yang ada di dalam lubang itu, namun ia bisa merasakan aura dingin dan jahat yang terpancar darinya. Apakah itu... apakah itu tempat mereka membuang sesuatu? Atau seseorang?
Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki mendekat dari belakangnya. Arjun membeku. Ia tidak sempat berbalik. Sesuatu yang dingin dan keras menghantam bagian belakang kepalanya. Dunia berputar, dan semuanya menjadi gelap.
Bab 6: Mimpi Buruk yang Bangkit
Arjun terbangun dalam kegelapan total, kepalanya berdenyut-denyut nyeri. Aroma busuk yang pekat memenuhi rongga hidungnya. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya terasa kaku dan lemas. Ia merasa terbaring di lantai yang dingin dan lembap. Suara-suara samar mulai terdengar di sekelilingnya, bisikan-bisikan yang kini terasa lebih dekat, lebih nyata.
Ia mencoba membuka mata, namun hanya kegelapan yang ia lihat. Ia merasakan kain basah menutupi matanya, diikat erat. Ia mencoba melepaskannya, namun tangannya terikat kuat di belakang punggungnya. Panik mulai merayapi dirinya. Ia diculik. Di basement.
"Arjun... Arjun..." suara bisikan memanggil namanya, suara itu terasa seperti berasal dari berbagai arah sekaligus, mengelilinginya. Suara-suara itu serak, seperti ada yang berbicara dengan tenggorokan robek.
"Siapa kalian?!" Arjun berteriak, suaranya parau. Ia mencoba memberontak, namun tubuhnya terlalu lemah.
Terdengar tawa cekikikan yang dingin, tawa yang sama persis dengan yang ia dengar di depan kamarnya. "Kau terlalu ingin tahu, Arjun. Kau melihat terlalu banyak."
Lalu, ia mendengar suara lain, suara yang dikenalnya. Suara Bu Ratna. "Dasar anak muda bodoh. Sudah diperingatkan, tapi masih saja keras kepala."
"Bu Ratna?!" seru Arjun, terkejut. "Apa ini? Apa yang kalian lakukan?!"
"Yang seharusnya kami lakukan," jawab Bu Ratna, suaranya kini terdengar lebih dekat. Ia merasakan sentuhan dingin di pipinya, seolah jari-jari yang kurus mengelus kulitnya. "Kau melihat kami, Arjun. Kau mendengar kami. Dan kau terlalu banyak bicara."
Arjun merasakan ketakutan luar biasa. Ini bukan halusinasi. Ini nyata. Bu Ratna, Suster Nina, dan entitas tak terlihat yang berbicara dalam bisikan itu, mereka nyata. Mereka bersekutu.
"Apa yang kalian inginkan dariku?" tanya Arjun, berusaha terdengar berani, meskipun suaranya bergetar.
"Kau punya sesuatu yang kami inginkan," jawab suara bisikan itu lagi, kali ini terdengar lebih dekat ke telinganya, dingin seperti es. "Pikirmu... pikiranmu terlalu aktif. Terlalu banyak tahu."
Lalu, ia mendengar suara gemeretak, seperti tulang yang bergesekan. Aroma busuk itu semakin kuat, membuat perutnya bergejolak. Arjun bisa merasakan kelembapan yang dingin di bawahnya, dan ia yakin ia terbaring di samping lubang gelap yang ia lihat tadi.
"Kami akan membantumu memahami," suara Bu Ratna berkata. "Membantu pikiranmu menjadi... lebih tenang. Seperti mereka."
Arjun mendengar suara langkah kaki menjauh. Bisikan-bisikan itu semakin riuh, seolah ia dikelilingi oleh puluhan makhluk tak terlihat. Ia mencoba berteriak, meminta tolong, namun suaranya hanya berupa erangan lemah.
Tiba-tiba, ia merasakan sakit tajam di lengannya. Seperti ada yang menggigitnya. Ia berteriak, mencoba menarik lengannya, namun tidak bisa. Rasa sakit itu menjalar, diiringi rasa dingin yang menusuk. Ia bisa merasakan darahnya menetes, membasahi kain di bawahnya.
"Sssshhh..." suara bisikan itu mendesis di telinganya. "Rasakan. Rasakan kami."
Rasa sakit itu menghilang, digantikan oleh mati rasa yang aneh. Lalu, ia merasakan sesuatu merangkak di atas kulitnya, di bawah bajunya. Seperti serangga, namun ukurannya lebih besar, dan gerakannya terlalu berat. Ia merinding jijik dan ketakutan.
"Kalian apa?!" Arjun berteriak, suaranya pecah. "Hentikan! Hentikan ini!"
"Kami adalah teman-temanmu, Arjun," suara bisikan itu menjawab, dan kali ini, suaranya terasa seperti datang dari dalam kepalanya sendiri. "Kami akan selalu bersamamu. Sampai kau mengerti."
Arjun merasakan kebingungan yang luar biasa. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ia tidak tahu siapa mereka. Ia tidak tahu apa yang akan mereka lakukan. Namun, satu hal yang ia tahu dengan pasti: teror ini nyata. Sangat nyata.
Ia mencoba melawan, berontak dengan sisa tenaganya, namun sia-sia. Ia mendengar Bu Ratna dan Suster Nina berbicara lagi, suara mereka semakin pelan, seolah menjauh. Apakah mereka meninggalkannya sendirian di sana?
Arjun merasakan tubuhnya semakin lemah. Mati rasa menyebar dari lengannya ke seluruh tubuhnya. Bisikan-bisikan itu kini terasa seperti melodi, irama yang mengerikan, berputar-putar di dalam kepalanya. Ia mencoba berpikir, mencoba mencari cara untuk melarikan diri, namun pikirannya terasa kabur, seperti diselimuti kabut tebal.
Ia mendengar suara gemericik air, dan kemudian, ia merasakan sesuatu yang dingin dan menjijikkan disiramkan ke wajahnya. Bau busuk itu semakin kuat, membuatnya terbatuk-batuk. Ia bisa merasakan tekstur kasar dan lengket dari cairan itu di kulitnya.
"Selamat datang, Arjun," suara bisikan itu berdesir lagi, kali ini dengan nada yang terdengar puas. "Sekarang kau bagian dari kami."
Kesadaran Arjun mulai memudar. Ia mencoba menahan diri, mencoba berpegangan pada kenyataan, namun itu terasa sulit. Batas antara mimpi buruk dan kenyataan mulai kabur. Apakah ia benar-benar diserang? Atau ini semua hanya demam tinggi, akibat stres yang ia alami?
Pikiran terakhirnya sebelum kegelapan kembali menelannya adalah: Aku yakin ini nyata.
Bab 7: Dalam Cengkeraman Halusinasi (atau Realitas?)
Arjun terbangun dengan dengung menusuk di telinganya dan rasa sakit berdenyut di sekujur tubuh. Kegelapan masih menyelimuti, namun kini ia merasa dinginnya lantai basement yang lembap menembus hingga ke tulangnya. Ikatan di tangannya sudah tidak ada, begitu pula kain penutup matanya. Ia mengerjap, mencoba membiasakan diri dengan kegelapan pekat. Ia hanya bisa melihat bayangan samar dan mendengar bisikan-bisikan yang tak henti-hentinya, kini terasa jauh lebih personal, seolah mereka berbicara langsung di dalam benaknya.
"Kau melihat kami sekarang," desis salah satu suara, begitu dekat hingga Arjun bisa merasakan hembusan napas dingin di telinganya. "Kau sudah menjadi bagian kami."
Arjun mencoba merangkak, panik menggerogoti. Ia tidak tahu berapa lama ia pingsan, atau apa yang telah mereka lakukan padanya. Bau amis, perpaduan karat dan busuk yang Mbah Siti gambarkan, kini begitu kuat hingga ia merasa mual. Ia bisa merasakan sesuatu yang lengket di lengan dan wajahnya, cairan kental yang sudah mengering. Apakah itu darahnya sendiri? Atau darah entitas lain?
"Kau tidak bisa lari," suara lain terkekeh, tawa yang kering dan serak, seolah dari tenggorokan yang haus. "Kami ada di mana-mana. Di dinding. Di bawah lantai. Di dalam dirimu."
Arjun menjerit dalam hati. Ini terlalu nyata. Sentuhan dingin, bau menyengat, suara-suara yang jelas. Ia tidak mungkin berhalusinasi. Namun, ketika ia mencoba menyentuh entitas yang dirasakannya begitu dekat, tangannya hanya menembus udara kosong. Bisikan-bisikan itu seolah mengolok-olok usahanya, tawa mereka semakin riuh.
Tiba-tiba, sebuah cahaya remang-remang muncul dari ujung lorong. Itu adalah Bu Ratna, dengan senter di tangan, berjalan perlahan menuruni tangga menuju basement. Di belakangnya, Suster Nina berjalan dengan langkah gontai, wajahnya pucat pasi dan tatapannya kosong. Mereka tidak melihatnya, atau tidak peduli. Mereka berdua langsung menuju lubang gelap di lantai yang dilihat Arjun sebelumnya.
"Sudah waktunya," kata Bu Ratna dengan suara datar. "Mereka haus."
Arjun menyaksikan dengan ngeri saat Bu Ratna mengambil sebuah wadah dari samping lubang – sebuah ember tua berkarat. Suster Nina, dengan tangan gemetar, meraih sesuatu dari kantongnya. Itu adalah botol kecil berisi cairan merah gelap. Suster Nina menuangkan cairan itu ke dalam ember. Bau amis langsung menyengat hidung Arjun, lebih kuat dari sebelumnya. Aroma darah segar.
Kemudian, Bu Ratna mengambil pisau yang dilihat Arjun semalam, pisau itu berkilauan di bawah cahaya senter. Dengan gerakan cepat dan tanpa emosi, ia menyayat pergelangan tangan Suster Nina. Suster Nina menjerit tertahan, air mata langsung mengalir di pipinya, namun ia tidak melawan. Darah merah segar mengucur deras ke dalam ember, bercampur dengan cairan yang sudah ada di sana.
Arjun menyaksikan semua ini, matanya terbelalak ngeri. Ini bukan halusinasi! Ini nyata! Mereka... mereka memberi makan sesuatu! Tapi apa?!
"Ini demi ketenangan mereka," kata Bu Ratna, suaranya tenang, seolah tidak melakukan sesuatu yang mengerikan. Ia mengaduk cairan di dalam ember dengan pisau itu. Lalu, dengan gerakan kasar, ia menuangkan isi ember itu ke dalam lubang.
Suara gemuruh keras segera mengikuti, seolah ada sesuatu yang bergerak di bawah sana. Suara hirupan, seolah ada makhluk lapar yang sedang minum. Aroma busuk itu mencapai puncaknya, membuat Arjun hampir muntah. Bisikan-bisikan di sekelilingnya menjadi riuh, seolah mereka gembira.
"Cukup untuk malam ini," kata Bu Ratna. Ia melihat ke arah Suster Nina yang terisak-isak menahan sakit, memegangi pergelangan tangannya yang berdarah. "Jangan lupa perban. Kau tidak ingin menarik perhatian."
Suster Nina hanya mengangguk, terisak. Bu Ratna lalu memimpin Suster Nina keluar dari basement, meninggalkan Arjun sendirian di dalam kegelapan dan kengerian itu.
Arjun berteriak, suaranya tercekat di tenggorokan. Ia mencoba merangkak ke arah lubang itu, ingin tahu apa yang ada di dalamnya, namun tubuhnya terasa sangat berat, seolah ada yang menahannya. Bisikan-bisikan itu kembali mengelilinginya, tawa-tawa dingin mengejeknya. Ia merasakan sentuhan-sentuhan dingin, seperti jari-jari kurus yang merayap di kulitnya.
Apakah mereka sudah ada di dalam dirinya? Apakah mereka mengendalikan tubuhnya?
Arjun menggeliat, berjuang melawan sentuhan tak terlihat itu, melawan bisikan-bisikan yang kini terasa seperti perintah. "Tidak! Tidak! Kalian bukan nyata!"
Tawa mereka semakin keras, memenuhi seluruh ruang basement, memekakkan telinga. "Oh, ya? Lalu mengapa kau bisa melihat kami? Mengapa kau bisa merasakan kami?"
Arjun merasakan kebingungan yang luar biasa. Ia tidak tahu apa yang nyata dan apa yang tidak. Ia tahu ia melihat Bu Ratna menyayat tangan Suster Nina, ia tahu ada lubang misterius itu, ia tahu ada darah. Tapi ia juga merasakan sentuhan-sentuhan tak terlihat dan mendengar bisikan yang jelas di dalam kepalanya. Apakah pikirannya memang mulai pecah? Apakah ia menjadi gila karena teror ini?
Ia merasa pusing, dunianya berputar. Kegelapan di sekelilingnya seolah menari-nari, membentuk bayangan-bayangan mengerikan yang melayang-layang di udara. Mata merah menyala tiba-tiba muncul dari kegelapan, menatapnya tajam, lalu menghilang lagi.
"Kau akan mengerti," bisik salah satu suara, yang kini terdengar sangat dekat, seolah di dalam benaknya. "Cepat atau lambat. Kau akan tahu bahwa kami adalah satu-satunya realitas."
Arjun pingsan lagi, kepalanya berputar dengan gambaran mengerikan tentang darah, bisikan, dan mata merah menyala.
Bab 8: Pergulatan dengan Kewarasan
Arjun terbangun di kamarnya sendiri, ranjangnya terasa dingin. Matahari pagi menyusup dari celah gorden, namun cahaya itu terasa hambar dan asing. Kepalanya masih berdenyut, dan ia bisa merasakan benjolan di bagian belakang kepala. Ada perban di lengannya, melingkar rapi di pergelangan tangan kirinya. Ia membuka perban itu. Di sana, ada bekas gigitan kecil, dua lubang tusuk yang samar, sudah mengering. Bekas gigitan? Kapan? Mengapa?
Ia mencoba mengingat apa yang terjadi. Basement. Bu Ratna. Suster Nina. Lubang. Darah. Gigitan. Semua itu seperti mimpi buruk yang terasa terlalu nyata. Ia meraba wajahnya. Lengket. Ia melihat tangannya. Ada noda kecoklatan kering di sana. Itu nyata. Darah.
Arjun buru-buru ke kamar mandi, membersihkan dirinya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya pucat, lingkaran hitam di bawah matanya semakin pekat, dan matanya memancarkan ketakutan yang mendalam. Ia terlihat seperti orang gila.
Saat ia keluar, ponselnya berdering. Itu teman psikiaternya, Bima. Ia telah mengirim pesan sebelumnya, meminta untuk bicara. Arjun ragu sejenak. Haruskah ia menceritakan semuanya? Atau ia akan dianggap tidak waras?
"Halo, Bim," suara Arjun serak.
"Arjun! Syukurlah kau mengangkatnya. Kau baik-baik saja? Kau tidak pernah menjawab teleponku akhir-akhir ini," suara Bima terdengar cemas.
Arjun menghela napas. "Aku... aku tidak yakin, Bim. Aku merasa... tidak waras."
"Ada apa? Ceritakan padaku," Bima mendesak, suaranya tenang dan profesional.
Arjun mulai bercerita. Dari bisikan-bisikan, bau aneh, bayangan yang melintas, sampai tingkah laku aneh penghuni, tatapan dingin Bu Ratna, dan penemuannya di kamar Mbah Darmi. Ia bahkan menceritakan kejadian semalam di basement: Bu Ratna dan Suster Nina yang menyayat tangan Suster Nina untuk mengumpulkan darah, lubang gelap itu, dan bisikan-bisikan yang terasa begitu nyata, seolah mereka berbicara di dalam benaknya, bahkan sentuhan-sentuhan dingin dan gigitan di lengannya.
Bima mendengarkan dengan sabar. Ada keheningan panjang setelah Arjun selesai bercerita.
"Arjun," akhirnya Bima berbicara, nadanya lembut namun tegas. "Apa kau pernah mengalami tekanan berat sebelumnya? Atau ada riwayat kecemasan dalam keluargamu?"
"Aku... aku sering cemas, iya," Arjun mengakui. "Tapi tidak pernah sampai seperti ini."
"Gejala yang kau alami... bisikan, bau, bayangan, sensasi sentuhan... itu semua adalah gejala umum dari psikosis, Arjun," jelas Bima. "Stres yang ekstrem, kurang tidur, kecemasan yang parah, bisa memicu halusinasi yang terasa sangat nyata. Terkadang, otak kita bisa menciptakan skenario yang begitu kompleks dan meyakinkan, bahkan melibatkan orang-orang di sekitar kita, hingga kita sendiri sulit membedakannya dengan kenyataan."
Dunia Arjun seolah runtuh. Psikosis? Halusinasi? Jadi, semua ini... hanya di kepalanya? Darah itu... gigitan itu... Bu Ratna menyayat Suster Nina... semua itu hanya imajinasinya?
"Tidak, Bim," desis Arjun, mencoba mencari kekuatan. "Itu nyata. Aku melihatnya. Aku merasakannya. Aku punya buktinya!" Ia meraih boneka kain berdarah dari lacinya. "Ini! Boneka berdarah dari kamar Mbah Darmi! Dan ada bekas gigitan di lenganku!"
"Arjun, bisakah kau kirimkan fotonya padaku?" pinta Bima.
Arjun berusaha memotret boneka itu. Namun, seperti sebelumnya, fotonya selalu buram, atau terlihat biasa saja. Bercak darahnya terlihat seperti noda kotor biasa. Begitu pula dengan bekas gigitan di lengannya; di kamera, itu hanya terlihat seperti goresan kulit biasa.
"Tidak bisa, Bim," suara Arjun putus asa. "Kameranya buram. Tapi ini nyata, Bim! Aku bersumpah!"
"Arjun, mungkin kau perlu memeriksakan diri," kata Bima, nadanya semakin prihatin. "Aku bisa merekomendasikan psikiater yang bagus. Mungkin kau butuh istirahat dari panti itu. Lingkungan yang sepi dan tekanan kerja bisa jadi pemicu."
Arjun menutup telepon. Ia menatap boneka kain di tangannya. Di matanya, boneka itu jelas berdarah. Di lengannya, bekas gigitan itu jelas terasa perih. Tapi mengapa tidak bisa dibuktikan?
Pergulatan batin yang hebat terjadi dalam diri Arjun. Apakah ia memang gila? Apakah semua kengerian yang ia alami selama ini hanyalah ilusi dari pikirannya sendiri yang tertekan? Namun, bagaimana dengan kengerian di mata Suster Nina? Mengapa ia begitu takut? Mengapa Bu Ratna begitu dingin dan mengancam?
Arjun mulai meragukan dirinya sendiri. Ia berjalan ke arah cermin, menatap pantulan dirinya. Matanya melebar, ekspresinya dipenuhi kekalutan. Ia terlihat seperti seseorang yang berada di ambang kegilaan.
"Tidak," bisiknya pada pantulan dirinya. "Aku tidak gila. Aku tahu ini nyata."
Namun, di dalam lubuk hatinya, ada suara kecil yang berbisik, mempertanyakan segalanya. Apakah ini memang hanya halusinasi yang begitu meyakinkan? Apakah ia telah menciptakan seluruh skenario mengerikan ini dalam pikirannya sendiri sebagai mekanisme pertahanan terhadap kesepian dan tekanan kerja?
Keraguan itu kini menjadi monster baru yang menggerogotinya. Monster yang lebih berbahaya daripada bisikan atau bayangan. Monster yang mengancam kewarasannya sendiri.
Arjun memutuskan untuk mencari bukti yang tidak bisa terbantahkan. Sesuatu yang fisik, yang bisa dipegang, yang bisa diperlihatkan pada Bima dan orang lain. Ia akan kembali ke basement. Ia akan mencari tahu apa yang sebenarnya ada di lubang itu. Atau apakah lubang itu, beserta darah dan ritualnya, juga hanya ilusi semata?
Ia harus mencari tahu. Demi kewarasannya. Atau demi membuktikan bahwa ia tidak gila.
Bab 9: Penjelajahan Terakhir
Arjun kembali ke basement malam itu, berbekal senter yang lebih terang dan sebuah linggis kecil yang ia temukan di gudang belakang. Kepalanya masih berdenyut, dan perban di pergelangan tangannya terasa gatal. Keraguan masih menggelayuti benaknya, namun ada dorongan yang lebih kuat—kebutuhan untuk membuktikan. Ia harus tahu kebenarannya, tidak peduli seberapa mengerikan itu.
Bau busuk yang familier menyambutnya begitu ia menuruni tangga. Kali ini, baunya terasa lebih tajam, seolah ada sesuatu yang baru saja membusuk di sana. Pintu basement sedikit terbuka, sama seperti malam ia pingsan. Ini bukan ilusi. Ini nyata.
Arjun melangkah masuk, senter di tangannya memindai ruangan. Dingin, lembap, dan sepi. Sama seperti yang ia ingat, ada lubang gelap di tengah lantai, ditutupi papan kayu yang sudah lapuk. Di sampingnya, beberapa ember dan kain kusa yang kotor tergeletak begitu saja. Tidak ada tanda-tanda ritual mengerikan seperti yang ia alami semalam. Tidak ada bercak darah segar, hanya noda-noda kering yang sudah lama.
Bisikan-bisikan itu kembali. Kali ini, mereka terdengar lebih jelas, seperti paduan suara serak yang memanggil namanya, mengejeknya, dan menertawakannya. "Kau kembali, Arjun. Kau tidak bisa lari dari kami."
Arjun mengabaikannya. Ini hanya halusinasi, dia meyakinkan dirinya. Ia harus fokus pada bukti fisik. Ia mendekati lubang itu, jantungnya berdebar kencang. Dengan hati-hati, ia menggunakan linggis untuk menyingkirkan papan-papan kayu yang lapuk. Suara derit kayu yang lama tak bergerak memecah kesunyian.
Begitu papan-papan itu terbuka, sebuah bau busuk yang sangat kuat menyeruak, membuat Arjun mundur terhuyung-huyung, menutupi mulutnya. Bau itu jauh lebih mengerikan dari apa pun yang pernah ia cium—bau kematian yang pekat, dicampur dengan aroma logam dan sesuatu yang manis dan menjijikkan. Ia menyalakan senternya dan mengarahkannya ke dalam lubang.
Lubang itu lebih dalam dari yang ia duga, seolah itu adalah sebuah sumur tua yang tidak pernah digunakan. Dindingnya ditumbuhi lumut dan jamur. Di dasar lubang, genangan air hitam keruh memantulkan cahaya senter. Dan di tengah genangan itu...
Ada tulang belulang.
Tulang-tulang yang berserakan di dasar. Tengkorak yang menghadap ke atas, rongga matanya kosong, seolah menatap Arjun. Tulang rusuk, tulang paha, dan potongan-potongan kecil tulang lainnya. Beberapa di antaranya tampak gelap, seperti sudah membusuk. Dan di antara tulang-tulang itu, terlihat sisa-sisa kain lusuh yang hancur, bercampur dengan lumpur dan air.
Arjun tersentak mundur, napasnya tercekik. Ini... ini mayat! Bukan satu, tapi beberapa! Ini adalah sumur kuburan! Panti jompo ini bukan hanya rumah bagi orang tua, tapi juga kuburan!
Panik menguasai dirinya. Jadi, Bu Ratna dan Suster Nina... mereka tahu tentang ini. Mereka membuang mayat di sini! Apakah para penghuni yang meninggal "wajar" sebenarnya dibunuh dan dibuang ke sini? Apakah Mbah Darmi berakhir di sini? Darah dan ritual itu... apakah itu untuk memberi makan sesuatu di dalam lubang ini? Atau hanya untuk menutupi jejak?
Bisikan-bisikan itu semakin intens, kini terasa seperti suara-suara dari dalam lubang, berteriak, meratap, memanggil-manggil. Aroma busuk itu terasa seperti mencekiknya. Arjun ingin berteriak, ingin lari, ingin memanggil polisi. Tapi ia tahu, jika ia melakukannya, ia akan dituduh gila. Siapa yang akan percaya ceritanya?
Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki dari tangga. Arjun menoleh. Bu Ratna berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi tanpa emosi. Di tangannya, ia memegang sebuah jarum suntik.
"Kau melihatnya," kata Bu Ratna, suaranya tenang, namun dingin. "Aku sudah bilang, kau terlalu banyak tahu."
Arjun mencoba melarikan diri, namun tubuhnya terasa lemas. Bisikan-bisikan itu seolah mengikatnya, melumpuhkannya. Ia merasa pusing, dunianya berputar.
Bu Ratna mendekat, ekspresinya tidak berubah. "Ini akan mengakhiri penderitaanmu, Arjun. Pikiranmu terlalu bergejolak. Kau butuh istirahat."
Arjun melihat Bu Ratna mengangkat jarum suntik itu. Cairan di dalamnya berwarna bening. Ia tahu, ini bukan obat. Ini racun. Ia berteriak, berontak dengan sisa tenaganya, namun terlambat. Jarum itu menancap di lehernya.
Rasa dingin menjalar ke seluruh tubuhnya, diikuti oleh mati rasa yang aneh. Bisikan-bisikan itu semakin keras, seperti paduan suara yang riuh, lalu perlahan meredup. Penglihatannya kabur. Bu Ratna tersenyum, senyum tipis yang mengerikan.
Dunia Arjun menjadi gelap.
Bab 10: Aku Yakin Ini Nyata (atau Tidak?)
Arjun membuka matanya. Ia terbaring di ranjangnya. Cahaya matahari masuk dari jendela. Kepalanya terasa pusing, namun benjolan di belakang kepalanya tidak ada. Perban di pergelangan tangannya juga tidak ada. Ia meraba lengannya. Tidak ada bekas gigitan. Tidak ada bekas suntikan.
Ia duduk tegak. Apakah itu... apakah itu semua mimpi? Apakah ia pingsan karena terlalu lelah dan bermimpi buruk?
Aroma busuk yang pekat masih tercium samar di kamarnya. Bau karat dan sesuatu yang busuk. Itu tidak mungkin hanya mimpi.
Ia bangkit, kakinya terasa lemas. Ia berjalan ke pintu kamarnya. Noda darah kering yang ia lihat semalam... tidak ada. Lantainya bersih mengilap. Ia berlari ke kamar mandi. Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya pucat, lingkaran hitam di bawah matanya masih ada, tapi ia tidak terlihat gila.
Ia buru-buru mencari boneka kain berdarah yang ia simpan di laci. Ia membuka laci itu. Di sana, tergeletak boneka kain biasa, kotor dan lusuh, namun tidak ada bercak darah. Matanya hanya dijahit dengan benang merah, tidak ada yang menetes. Ia mengangkat boneka itu, mengendusnya. Tidak ada bau darah. Hanya bau debu tua.
Arjun kembali bingung. Ini tidak mungkin. Semua yang ia alami, sentuhan dingin, bisikan jelas, Bu Ratna menyayat Suster Nina, tulang belulang di lubang basement... itu semua terasa begitu nyata!
Ia bergegas ke basement. Tangga itu dingin, lembap, dan bau karat yang samar masih ada. Pintu basement terkunci rapat. Ia mencoba membuka kuncinya, namun tidak bisa. Ia tidak punya linggis. Ia tidak punya kunci cadangan lagi.
Ia kembali ke kamar Mbah Darmi. Pintu terkunci rapat. Tidak ada tanda-tanda goresan di dinding. Tidak ada noda darah.
Frustrasi dan keputusasaan menguasai Arjun. Apakah ia benar-benar berhalusinasi? Apakah Bima benar? Apakah semua kengerian yang ia alami selama ini hanyalah produk dari pikirannya yang terlalu stres dan kurang tidur?
Ia kembali ke kamarnya. Duduk di ranjang, ia mencoba menenangkan diri. Ia mengingat setiap detail yang ia alami. Begitu jelas, begitu hidup. Bisikan-bisikan itu, tawa mengerikan, ketakutan di mata Suster Nina. Jika itu halusinasi, maka otaknya adalah seniman yang paling mengerikan.
Siang itu, ia dipanggil Bu Ratna ke kantornya. Bu Ratna tersenyum tipis. "Arjun, saya rasa kau memang butuh istirahat. Aku sudah menyiapkan surat cuti panjang untukmu. Kau bisa mengambilnya sampai kau merasa lebih baik."
Di samping Bu Ratna, Suster Nina berdiri. Wajahnya tidak lagi pucat, namun tatapannya masih menghindar. Lengannya... lengannya tertutup lengan panjang seragamnya. Apakah bekas sayatan itu ada di baliknya? Atau itu juga hanya halusinasinya?
Arjun menatap Bu Ratna, mencari jawaban, mencari tanda-tanda konspirasi. Tapi Bu Ratna tampak normal, kepala perawat yang berwibawa, meskipun dingin. Ia tidak melihat ada kilatan jahat di matanya, atau senyum licik yang ia ingat.
"Baik, Bu," Arjun akhirnya mengangguk, suaranya lemas. Ia mengambil surat cuti itu. Ia tahu ia tidak bisa tinggal lebih lama di panti ini, tidak peduli apa yang sebenarnya terjadi. Ia tidak bisa lagi membedakan kenyataan dari ilusi.
Arjun meninggalkan Panti Jompo Damai Abadi pada sore itu. Ia membawa tas kecilnya, dan boneka kain yang ia temukan. Ia melirik ke belakang saat mobil yang menjemputnya melaju menjauh. Bangunan tua itu tampak sama seperti saat pertama kali ia datang—megah namun kusam, diselimuti pohon beringin yang bergoyang pelan. Tidak ada yang aneh.
Ia kembali ke kota, kembali ke kehidupannya yang normal. Ia berusaha melupakan apa yang terjadi. Ia bertemu Bima, menjalani terapi, dan mencoba tidur cukup. Beberapa minggu berlalu. Bisikan-bisikan itu perlahan mereda, bau amis itu menghilang dari indra penciumannya. Bayangan-bayangan yang melintas juga tidak lagi ia lihat.
Arjun mulai berpikir, mungkin Bima benar. Mungkin ia memang hanya stres dan berhalusinasi. Mungkin ia hanya terlalu terbawa suasana panti yang sepi dan tua. Ia bahkan sempat meragukan boneka kain di lacinya. Mungkin itu memang hanya boneka tua biasa.
Suatu malam, ia sedang membaca buku di apartemennya yang tenang. Tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin yang menusuk. Aroma karat dan busuk yang sudah lama tidak ia cium, kini samar-samar tercium kembali. Jantungnya berdebar kencang. Ia mencoba mengabaikannya.
Lalu, ia mendengar bisikan samar dari sudut ruangan. Bisikan yang familiar, memanggil namanya. "Arjun..."
Ia memejamkan mata. Ini tidak nyata. Ini hanya imajinasi.
Namun, ia merasakan sentuhan dingin di pergelangan tangan kirinya. Seperti jari-jari kurus yang merayap. Ia membuka matanya. Tidak ada siapa-siapa.
Ia melihat pergelangan tangan kirinya. Di sana, samar-samar, mulai terlihat dua titik kecil merah. Dua lubang kecil. Bekas gigitan. Sama persis seperti yang ia rasakan dan lihat di basement.
Arjun terengah-engah, tubuhnya gemetar. Ia mencoba menggosok bekas gigitan itu, tapi itu ada di sana, nyata.
Di dalam kepalanya, ia mendengar tawa cekikikan yang dingin, tawa yang menusuk, tawa yang takkan pernah ia lupakan. Tawa yang sama persis seperti yang ia dengar di depan kamarnya, di basement, dan di dalam mimpinya.
Ia menatap kosong ke depan, ke dinding apartemennya yang bersih. Bisikan-bisikan itu kini semakin jelas, bergema di dalam kepalanya, melantunkan nama-nama. Nama-nama penghuni panti yang sudah meninggal. Mbah Darmi. Kakek Mardi. Nenek Aminah.
Arjun menyentuh kepalanya, napasnya tersengal. Ini tidak berakhir. Ini tidak mungkin hanya halusinasi.
Ia menatap kosong ke sekeliling ruangan, ke sudut-sudut gelap yang kini terasa mengancam. Ia tidak tahu apakah ia masih di apartemennya, atau apakah panti jompo itu telah mengikutinya.
Dengan mata melebar, dan senyum tipis yang mengerikan, Arjun berbisik, suaranya parau, meyakinkan dirinya sendiri, meyakinkan siapa pun yang mungkin mendengarkan:
"Aku yakin ini nyata."