Masukan nama pengguna
Bab 1 – Warisan yang Menyala Sendiri
Udara di dalam rumah warisan itu berbau apak dan kenangan yang membusuk. Davin menarik napas panjang, menahan gelombang mual yang naik ke tenggorokannya. Bukan karena bau, tapi karena beban yang tiba-tiba menimpanya. Orang tuanya—kedua-duanya—tewas dalam kecelakaan tunggal di jalan tol, sebuah insiden yang begitu mendadak hingga Davin merasa seperti terlempar ke dalam dimensi lain. Ia sekarang adalah satu-satunya pewaris, dan rumah ini, dengan segala isinya yang terasa membeku dalam waktu, adalah miliknya.
Selama seminggu terakhir, Davin sibuk mengurus formalitas kematian, menjauhi rumah yang terasa terlalu sunyi ini. Kini, ia tak punya pilihan. Ia harus membersihkan, mengatur, dan pada akhirnya, menghadapi hantu-hantu kenangan yang berkeliaran di setiap sudut. Matanya menyapu ruang tamu yang luas, mencari titik awal. Debu menutupi segalanya seperti selimut abu-abu yang tebal. Kursi-kursi berlengan yang dulu menjadi saksi tawa dan pertengkaran kecil, kini membisu. Rak buku yang penuh dengan novel-novel usang dan album foto keluarga, tampak sendu.
Di tengah semua itu, di dinding yang berhadapan langsung dengan pintu masuk, berdiri sebuah anomali. Sebuah televisi tabung besar, keluaran tahun 80-an, dengan layar cembung dan bodi kayu gelap yang tebal. Beratnya pasti tak masuk akal. Sejak kecil, Davin ingat televisi itu selalu ada di sana, seperti bagian tak terpisahkan dari fondasi rumah. Ayahnya pernah bercerita, televisi itu adalah hadiah pernikahan kakek neneknya, sebuah barang antik yang mereka banggakan. Davin tak pernah benar-benar menyentuhnya, apalagi mencoba memindahkannya. Televisi itu seolah menancap kuat, lebih dari sekadar perabot, melainkan monumen bisu dari masa lalu.
Ia ingat pernah mencoba mendorongnya sekali, saat ia masih kecil dan penasaran ingin melihat apa yang ada di balik layarnya. Televisi itu tak bergeming. Rasanya seperti ada lem super yang menempelkannya ke lantai, atau bahkan menyatu dengan struktur bangunan. Davin menyerah, dan televisi itu terus menjadi pusat gravitasi ruang tamu, sebuah kotak hitam yang terkadang menampilkan gambar buram dari acara berita atau sinetron sore.
Malam itu, setelah seharian membersihkan beberapa ruangan yang paling esensial—kamar tidur, kamar mandi, dan dapur—Davin merasa kelelahan. Punggungnya pegal, dan jiwanya terasa lebih berat daripada tumpukan debu yang ia singkirkan. Ia memesan makanan daring dan memakannya di atas meja kopi yang sudah ia bersihkan seadanya. Cahaya remang-remang dari lampu belajar yang ia bawa sendiri menerangi sudut ruangan, menyisakan sebagian besar ruang tamu dalam kegelapan yang pekat. Matanya sesekali melirik ke arah televisi tua itu. Dalam kegelapan, benda itu tampak seperti mata raksasa yang menatap kosong ke depannya, memantulkan sedikit cahaya dari jendela yang terbuka.
Ia mencoba untuk tidak memikirkannya, berusaha mengalihkan perhatian dengan memutar musik dari ponselnya. Namun, entah mengapa, televisi itu seolah memiliki daya tarik tersendiri. Sebuah firasat aneh, seperti tarikan tak kasat mata, terus-menerus menarik perhatiannya kembali. Davin mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya kelelahan, stres pasca-kematian orang tuanya. Logikanya berteriak, "Ini hanya TV tua, Davin. Tidak ada yang istimewa."
Tepat ketika ia akan mematikan lampu dan mencoba tidur, sebuah keanehan terjadi.
Klik.
Suara itu datang dari televisi. Sebuah suara mekanis yang jelas, seperti tombol yang ditekan. Davin menegang. Ia yakin tidak ada siapa pun di sana. Jantungnya berdebar, bukan karena takut, tapi karena bingung. Ia tahu ia tidak menyalakannya. Tidak ada remot di sekitarnya, dan bahkan jika ada, ia tak pernah melihatnya berfungsi.
Lalu, sebuah cahaya samar mulai berpendar dari layar televisi. Mula-mula, hanya bintik-bintik putih yang menari-nari di atas latar hitam, seperti semut yang berkerumun. Kemudian, bintik-bintik itu menyatu, membentuk sebuah gambar. Davin terkesiap. Layar itu menyala sendiri.
Gambar yang muncul adalah hitam putih, buram, dan bergerak-gerak seperti rekaman CCTV lama yang bersemut. Sudut pandangnya aneh, seolah diambil dari ketinggian, menyorot ke bawah. Davin mengerjap, mencoba mencerna apa yang ia lihat. Itu bukan siaran televisi biasa. Tidak ada logo stasiun, tidak ada teks berjalan. Hanya gambar bergerak yang asing.
Ia melihat sebuah lorong sempit, dindingnya kotor dan berlumut. Di ujung lorong, samar-samar terlihat sebuah pintu yang tertutup rapat. Tak ada suara sama sekali. Hanya keheningan yang mencekam, diselingi oleh desisan halus dari televisi itu sendiri. Davin merasa merinding. Bulu kuduknya berdiri.
"Gangguan listrik?" gumamnya pada dirinya sendiri, mencoba mencari penjelasan rasional. Namun, lampu di kamarnya tidak berkedip. Ponselnya yang sedang diisi dayanya juga stabil. Tidak ada tanda-tanda lonjakan listrik. Dan kenapa hanya televisi ini? Kenapa bukan lampu lain, atau peralatan elektronik lainnya?
Ia mendekati televisi itu, langkahnya ragu-ragu. Cahaya dari layar yang berkedip-kedip menerangi wajahnya, membuat bayangan aneh menari-nari di sekelilingnya. Gambar di layar mulai bergeser. Sekarang, kamera seolah bergerak maju, perlahan menyusuri lorong yang gelap itu. Davin menahan napas. Ia merasa seperti sedang menonton sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat. Sebuah privasi yang dilanggar, meskipun ia tidak tahu milik siapa.
Gambar itu berhenti di depan pintu. Pintu itu terlihat usang, dengan cat yang mengelupas dan gagang pintu yang berkarat. Davin bisa merasakan detak jantungnya berpacu lebih cepat. Ia memiliki firasat buruk tentang pintu itu, meskipun ia tidak tahu mengapa. Ini adalah tempat yang sama sekali asing baginya. Tidak ada di rumah ini, atau di mana pun yang ia kenal.
Tiba-tiba, gambar itu bergetar hebat, lalu berganti menjadi bintik-bintik putih yang bergerak acak, seperti siaran yang hilang sinyal. Kemudian, dengan "klik" yang sama seperti saat menyala, televisi itu mati. Layarnya kembali gelap gulita, memantulkan pantulan samar Davin yang berdiri di depannya, dengan ekspresi campur aduk antara kebingungan dan ketakutan.
Ia berdiri di sana selama beberapa menit, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Otaknya berputar, mencari penjelasan. Apakah ada semacam sisa-sisa listrik statis? Apakah ini semacam gangguan paranormal? Davin, seorang pria yang selalu mengandalkan logika dan sains, merasa semua penjelasannya runtuh. Kejadian ini tidak masuk akal.
Ia mencoba menyalakannya lagi. Ia menekan tombol "power" di bodi televisi. Tidak ada reaksi. Ia mencoba mencari kabelnya, memastikan terpasang dengan benar. Semuanya tampak normal. Televisi itu tetap mati, membisu seperti sebelumnya.
Davin kembali ke tempat duduknya, tatapannya tak lepas dari televisi itu. Rasa merinding yang tadi ia rasakan berubah menjadi kecemasan yang samar. Ia tidak lagi menganggap ini hanya gangguan listrik. Ada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Sebuah kekuatan tak kasat mata yang seolah bersemayam di dalam kotak usang itu.
Malam itu, Davin tidak bisa tidur nyenyak. Setiap kali ia menutup mata, ia melihat lorong gelap dan pintu misterius itu. Setiap suara kecil di rumah yang sunyi itu membuatnya tersentak. Ia terus-menerus melirik ke arah televisi, seolah mengharapkan ia akan menyala lagi, menunjukkan sesuatu yang lebih mengerikan. Tapi televisi itu tetap gelap, sebuah lubang hitam di tengah ruang tamu, menyimpan rahasia yang baru saja ia saksikan.
Keesokan paginya, Davin terbangun dengan perasaan tidak segar. Lingkaran hitam di bawah matanya jelas terlihat. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya mimpi buruk, atau efek samping dari stres yang berkepanjangan. Ia bahkan memeriksa kembali kabel televisi, mencoba menemukan celah yang bisa menjelaskan kejadian semalam. Tidak ada. Semuanya tampak normal.
Saat sarapan, Davin bahkan sempat mengira ia hanya berhalusinasi. Namun, ingatan tentang gambar hitam putih itu terlalu jelas, terlalu nyata. Sensasi merinding dan detak jantung yang berpacu kencang masih terasa begitu kuat. Ia tidak bisa mengabaikannya.
"Ini cuma TV tua," katanya pada dirinya sendiri, mencoba membangun kembali benteng logikanya. "Pasti ada penjelasan ilmiahnya. Mungkin sisa daya, atau sirkuit yang korslet. Ya, itu saja."
Ia memutuskan untuk mengalihkan perhatian, fokus pada membersihkan sisa rumah. Namun, setiap kali ia melewati ruang tamu, matanya tak bisa lepas dari televisi itu. Benda itu kini memiliki aura yang berbeda. Bukan lagi sekadar perabot tua, melainkan sebuah entitas yang membisu, menyimpan potensi untuk menyala kapan saja, dan menampilkan apa pun yang ingin ia tunjukkan. Davin tidak tahu mengapa ia merasa demikian, tetapi ia memiliki firasat yang kuat bahwa kejadian semalam hanyalah permulaan.
Rumah ini, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan kenangan manis, kini terasa dingin dan asing. Televisi itu, yang dulunya hanya benda mati, kini terasa hidup, mengamati, dan menunggu. Davin merasa seperti sedang diawasi, meskipun ia tak bisa melihat mata yang mengawasinya. Ia hanya bisa merasakan kehadirannya, samar namun kuat, di balik layar hitam yang menyimpan misteri.
Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia tidak tahu apakah ia akan melihat lorong itu lagi, atau sesuatu yang lain. Yang jelas, ada sesuatu yang tidak beres. Dan dalam kesunyian rumah warisan ini, Davin merasa dirinya sendirian menghadapi keganjilan yang baru saja ia temukan. Malam telah tiba, dan bayangan-bayangan panjang mulai merayap di dinding, seolah bersiap untuk menyambut kembali tontonan misterius dari "Layar Kematian" ini.
Bab 2 – Kematian Pertama
Minggu-minggu berikutnya berlalu dalam kabut yang aneh bagi Davin. Kejadian televisi menyala sendiri itu terus menghantui pikirannya, bayangan lorong gelap dan pintu misterius itu menari-nari setiap kali ia memejamkan mata. Ia mencoba mengenyahkan pikiran itu, meyakinkan diri bahwa otaknya mungkin sedang mempermainkannya akibat stres dan kesedihan yang mendalam pasca-kematian orang tuanya. Ia bahkan mencoba mencari tukang servis elektronik yang mungkin bisa memeriksa televisi tua itu, tapi tak ada satu pun yang bersedia datang, alasan mereka sama: terlalu tua, suku cadang langka, atau terlalu berat untuk dipindahkan. Televisi itu tetap menjadi monumen bisu di ruang tamu, sebuah kehadiran yang mengintimidasi sekaligus misterius.
Davin mencoba kembali ke rutinitasnya. Ia mulai bekerja dari rumah, mencoba fokus pada proyek-proyek desain grafisnya. Rumah itu masih terasa sunyi, namun perlahan ia mulai terbiasa dengan kesendiriannya. Ia bahkan sesekali mengabaikan televisi itu, menganggapnya hanya sebagai bagian dari perabot antik yang ada. Ia berusaha keras untuk bersikap rasional, meskipun di lubuk hatinya, kecemasan itu tak pernah benar-benar hilang.
Pagi itu, sebuah panggilan telepon menghempas ketenangan yang rapuh itu. Nada dering ponsel yang nyaring terasa memekakkan telinga dalam kesunyian rumah. Davin mengangkatnya, jantungnya langsung berdebar kencang saat melihat nama "Bibi Sandra" di layar. Bibi Sandra adalah adik dari mendiang ibunya, seorang wanita yang selalu ia kagumi karena ketenangan dan kebijaksanaannya.
"Davin, kau sudah dengar kabar tentang Tomi?" Suara Bibi Sandra tercekat, diselingi isakan yang tertahan.
Davin mengerutkan kening. Tomi adalah sepupu dekatnya, putra sulung Bibi Sandra. Mereka seumuran dan memiliki banyak kenangan masa kecil bersama. "Belum, Bi. Ada apa dengan Tomi?"
"Dia... dia meninggal, Vin," kata Bibi Sandra, suaranya pecah. "Jatuh dari lantai sembilan kantornya. Polisi bilang... bunuh diri."
Davin merasakan darahnya berdesir dingin. Bunuh diri? Tomi? Itu tidak mungkin. Tomi adalah sosok yang periang, ambisius, dan selalu punya rencana besar. Davin tidak bisa membayangkan Tomi melakukan hal sekeji itu pada dirinya sendiri. Kakinya mendadak terasa lemas, dan ia terduduk di sofa.
"Bunuh diri? Tapi kenapa, Bi?" tanyanya, suaranya serak.
"Kami tidak tahu, Nak. Tidak ada surat, tidak ada tanda-tanda. Dia hanya... jatuh," Bibi Sandra terisak lebih keras. "Ini begitu mendadak, Vin. Sama seperti orang tuamu. Kenapa semua ini terjadi?"
Percakapan selanjutnya adalah kabur. Davin berusaha menenangkan bibinya, sementara pikirannya sendiri berkecamuk. Kematian orang tuanya belum reda, kini Tomi. Perasaan aneh mulai merayapi Davin, seperti jaring laba-laba tak kasat mata yang menjeratnya. Sebuah firasat buruk yang tak bisa ia jelaskan.
Ia menghabiskan sisa hari itu dalam kebingungan dan kesedihan. Ia bahkan tidak menyadari malam telah tiba sampai kegelapan sepenuhnya menelan rumah. Lampu-lampu jalan di luar memancarkan cahaya oranye samar menembus jendela, membentuk bayangan-bayangan panjang di dinding. Ia tidak punya selera makan, hanya berbaring di sofa, menatap langit-langit yang gelap.
Kemudian, seperti malam itu, sebuah suara mekanis memecah keheningan.
Klik.
Davin langsung tersentak. Seluruh tubuhnya menegang. Suara itu. Suara yang sama. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya seperti genderang perang. Ia menoleh ke arah televisi.
Layar gelap itu mulai berpendar. Mula-mula, bintik-bintik putih seperti salju yang jatuh di malam hari, kemudian menyatu membentuk gambar hitam putih yang bersemut. Kali ini, gambar itu lebih jelas, meskipun masih buram dan tidak stabil.
Davin melihat sebuah gedung tinggi. Sangat tinggi. Kamera seolah melayang di udara, menyorot ke bawah, ke sebuah jendela di salah satu lantai atas. Ia bisa mengenali jendela itu. Itu adalah jendela kantor Tomi. Gedung tempat Tomi bekerja.
Rasa takut yang nyata mulai menyelimuti Davin, dingin dan tajam seperti pisau. Ini bukan gangguan listrik. Ini bukan halusinasi. Ini terjadi lagi.
Gambar di layar mulai bergerak. Davin melihat sebuah siluet, sesosok tubuh kecil, tergantung di tepi jendela. Darah Davin terasa dingin di pembuluh darahnya. Itu Tomi. Ia mengenali pakaiannya, meskipun buram. Tomi tampak berjuang, mencengkeram erat tepi jendela.
Kamera melayang mendekat, seolah tanpa bobot, seolah ia adalah seekaliroh yang tak terlihat. Davin melihat wajah Tomi, penuh ketakutan dan putus asa. Mulutnya terbuka, seolah berteriak, tapi tak ada suara yang keluar dari televisi. Hanya desisan statis yang konstan, seperti bisikan iblis.
Lalu, Davin melihat sesuatu yang membuat napasnya tertahan. Di dalam ruangan, di dekat jendela tempat Tomi bergelayutan, ada sebuah siluet samar. Tinggi, kurus, dan gelap. Sosok itu berdiri membelakangi kamera, hanya terlihat garis luarnya yang tidak jelas. Ia seolah hanya sebuah bayangan yang lebih pekat dari kegelapan di sekelilingnya.
Sosok itu tidak bergerak, hanya berdiri di sana, mengamati Tomi yang berjuang di luar jendela. Sebuah ketenangan yang menakutkan terpancar dari siluet itu. Lalu, perlahan, dengan gerakan yang nyaris tak terlihat, siluet itu mengulurkan tangan. Bukan ke arah Tomi, tapi ke arah jendela, seolah menunjuk, atau memberi isyarat.
Dan kemudian, Tomi terlepas.
Gambar itu bergetar hebat saat tubuh Tomi jatuh, semakin kecil dan kecil, hingga akhirnya menghilang dari pandangan. Kamera tetap di sana, melayang di ketinggian, menyorot ke tempat kosong di mana Tomi tadi berada. Layar menampilkan pemandangan kota di bawah, lalu perlahan kembali ke bintik-bintik putih yang bersemut.
Klik.
Televisi itu mati. Gelap kembali menyelimuti layar, dan Davin terjerembap ke belakang, jatuh ke bantal sofa. Keringat dingin membasahi dahinya. Jantungnya berdebar begitu kencang hingga ia merasa bisa mendengar detakannya sendiri di telinganya.
Apa yang baru saja ia saksikan? Sebuah rekaman. Rekaman kematian Tomi. Tapi bagaimana? Dari mana rekaman itu berasal? Dan siapa siluet samar itu? Orang yang berdiri di sana, menyaksikan Tomi jatuh?
Pikiran Davin kacau balau. Ini bukan kebetulan. Malam pertama ia tinggal, televisi itu menyala dan menunjukkan tempat asing. Beberapa hari kemudian, sepupunya meninggal, dan televisi itu menampilkan rekaman kematiannya. Rekaman yang tidak mungkin dimiliki siapa pun. Sudut pengambilan gambar itu... seolah dari atas, dari udara. Kamera pengawas di gedung itu tidak mungkin merekam dari sudut seperti itu.
Davin mencoba menekan tombol daya televisi lagi, berulang kali, dengan panik. Ia memukul-mukul bodi televisi, berharap ia akan menyala kembali dan memberikan jawaban. Tapi televisi itu tetap mati, membisu, seolah mengejek kepanikannya.
Rasa merinding yang ia rasakan dulu kini berubah menjadi ketakutan yang mencekam. Ia merasa ada sesuatu yang jauh lebih besar dan mengerikan sedang terjadi. Ini bukan hanya gangguan listrik. Ini bukan hanya stres. Ini adalah sesuatu yang supranatural. Atau lebih buruk lagi, ada sesuatu yang nyata dan mengerikan yang terhubung dengannya.
Ia bangkit, mondar-mandir di ruang tamu yang gelap. Tangannya gemetar. Ia harus memberitahu seseorang. Polisi? Tidak, mereka tidak akan percaya. Mereka akan mengira ia gila. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa televisi tuanya menunjukkan rekaman kematian sepupunya, lengkap dengan siluet misterius?
Davin berhenti di depan televisi itu lagi, menatap layarnya yang gelap. Pantulan samar wajahnya yang pucat dan mata yang melebar tampak di sana. Ia merasakan sebuah kedinginan yang menusuk tulang, bukan karena suhu ruangan, tapi dari dalam dirinya. Sebuah teror yang perlahan merayap.
"Ini lebih dari sekadar mimpi buruk," bisiknya pada kegelapan. Ia tahu itu. Ia merasakannya.
Malam itu, Davin tidak tidur sama sekali. Ia duduk di sofa, memeluk lututnya, matanya terus terpaku pada televisi. Ia merasa seperti sedang menunggu sesuatu. Menunggu apa lagi yang akan ditunjukkan oleh "Layar Kematian" itu. Setiap bayangan yang bergerak, setiap suara rumah yang berderit, membuatnya melompat. Ia merasa terjebak dalam sebuah labirin ketakutan, dengan televisi tua itu sebagai pintu gerbangnya.
Ia mulai bertanya-tanya, apakah kematian orang tuanya juga direkam oleh televisi ini? Apakah ada sesuatu yang ia lewatkan? Pikiran itu adalah racun, meracuni benaknya dengan paranoid. Ia merasa seolah-olah ia sedang diawasi, bukan hanya oleh televisi, tetapi oleh entitas yang tidak terlihat, yang mungkin berada di balik setiap kematian.
Di tengah ketakutannya, sebuah pertanyaan aneh muncul di benaknya, sebuah pikiran yang begitu gila hingga ia segera menepisnya. Siapa siluet samar itu? Kenapa begitu mirip dengan bayangan seseorang yang tinggi dan kurus? Ia membuang pikiran itu jauh-jauh. Itu tidak mungkin.
Fajar menyingsing, membawa sedikit cahaya dan harapan. Tapi bagi Davin, cahaya itu terasa hampa. Ia tahu, setelah apa yang ia saksikan, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Televisi itu telah berubah dari sekadar perabot tua menjadi sebuah portal mengerikan, dan ia adalah satu-satunya penonton yang tidak ingin melihat tayangan selanjutnya. Namun, ia juga tahu, ia tidak bisa menghentikannya. Ia terjebak dalam pertunjukan mengerikan ini, di mana setiap kematian adalah sebuah episode baru, dan ia tidak tahu siapa pemeran utamanya, atau siapa sutradaranya.
Bab 3 – Kematian Kedua dan Keanehan Ingatan
Setelah kematian Tomi dan penayangan mengerikan di televisi itu, Davin merasa jiwanya terhuyung di ambang jurang. Ia mencoba mencari cara untuk mencerna semua itu, tetapi setiap penjelasan logis yang ia coba bangun runtuh begitu saja. Polisi datang untuk wawancara singkat, menanyakan tentang hubungan Davi dengan Tomi, alibinya, dan apakah ia tahu ada masalah yang sedang dihadami sepupunya. Davin menjawab seadanya, berusaha terdengar normal, meskipun di dalam hatinya ia berteriak ingin menceritakan tentang televisi sialan itu. Namun ia tahu, ia akan dianggap gila. Jadi ia tetap bungkam, menanggung beban rahasia itu sendirian.
Davin mencoba kembali bekerja, memaksakan diri fokus pada layar komputer, tetapi bayangan wajah Tomi yang ketakutan dan siluet misterius itu terus berkelebat di benaknya. Ia mulai merasa paranoid. Setiap suara dari luar jendela, setiap derit lantai di rumah tua itu, membuat jantungnya berdegup kencang. Ia bahkan mulai memeriksa kunci pintu dan jendela berulang kali setiap malam, meskipun ia tidak yakin apa yang ia takutkan akan masuk, atau, lebih parah, apa yang ia takutkan akan keluar.
Beberapa hari kemudian, ponsel Davin berdering lagi. Nama "Paman Hari" tertera di layar. Paman Hari adalah adik dari mendiang ayahnya, dan Dira, putrinya, adalah sepupu kedua Davin. Davin mengangkatnya dengan perasaan tak enak yang mendalam, seolah ia sudah tahu kabar buruk apa yang akan ia dengar.
"Davin... Dira..." Suara Paman Hari terdengar parau dan putus asa. "Dira meninggal, Nak. Tenggelam di kolam renang hotel saat liburan keluarga kami di Bali."
Napas Davin tercekat. Dira? Tenggelam? Air di kolam renang biasanya dangkal. Bagaimana mungkin? Tubuhnya terasa membeku, kedinginan yang menusuk tulang menjalar dari punggung hingga ke ujung jarinya. "Tapi... bagaimana bisa, Paman? Dia kan perenang yang lumayan."
"Tidak tahu, Vin," isak Paman Hari. "Penjaga hotel bilang dia terpeleset dan kepalanya terbentur. Tapi dia sendirian di kolam... tidak ada yang melihat persis kejadiannya."
Davin merasakan kengerian yang familier. Sama seperti Tomi, tidak ada saksi mata yang jelas. Kematian yang mendadak. Kematian yang tidak masuk akal.
Ia mengakhiri panggilan dengan perasaan campur aduk antara duka dan horor. Ini bukan kebetulan lagi. Ini adalah pola. Pertama orang tuanya, lalu Tomi, dan sekarang Dira. Semuanya kerabat dekat. Dan ia adalah satu-satunya benang merah di antara mereka.
Malam itu, Davin duduk di sofa, memeluk bantal erat-erat, matanya terpaku pada televisi tua itu. Ia tidak tahu apakah ia ingin benda itu menyala atau tidak. Di satu sisi, ia takut dengan apa yang akan ia lihat. Di sisi lain, ia merasa putus asa untuk mendapatkan jawaban, untuk membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak gila, bahwa ada kekuatan lain yang bekerja.
Ketika jam menunjukkan pukul dua pagi, tepat ketika kelelahan mulai menariknya ke dalam tidur singkat, sebuah Klik yang tajam menggelegar dalam keheningan rumah.
Davin tersentak bangun, napasnya tersengal. Televisi itu menyala.
Layar kembali menampilkan gambar hitam putih yang bersemut. Kali ini, pemandangan kolam renang yang sepi di malam hari. Airnya berkilauan samar di bawah cahaya lampu yang redup. Davin mengenalinya. Itu adalah kolam renang hotel tempat Dira menginap.
Jantung Davin berdegup kencang, menggema di telinganya. Ia melihat sosok Dira muncul di tepi kolam, mengenakan pakaian renang. Ia tampak ragu-ragu, seolah enggan masuk. Lalu, ia terpeleset. Tubuhnya limbung, dan ia jatuh ke dalam air dengan cipratan yang kecil, tanpa suara.
Davin menyaksikan semua itu dengan napas tertahan. Rekaman itu begitu nyata, begitu mengerikan. Ia bisa melihat gelembung-gelembung udara yang naik ke permukaan, lalu perlahan menghilang.
Tapi kemudian, sesuatu yang lebih mengerikan muncul.
Dari balik semak-semak di sisi kolam, sebuah sosok samar melangkah keluar. Kali ini, Davin bisa melihat lebih jelas. Sosok itu tinggi dan kurus, mengenakan pakaian gelap. Rambutnya pendek. Dan postur tubuhnya... sangat familier. Pakaian yang dikenakannya... seperti kaus hitam dan celana kargo yang sering Davin pakai di rumah. Bahkan cara ia berjalan, agak membungkuk, dengan langkah panjang, mirip sekali dengan cara Davin berjalan saat sedang berpikir keras.
Sosok itu berdiri di tepi kolam, tidak bergerak. Ia tidak mencoba menolong Dira. Ia hanya mengamati gelembung-gelembung yang menghilang di permukaan air. Ada jeda panjang yang menegangkan, seolah waktu berhenti di momen itu. Davin ingin berteriak, ingin memukul layar, ingin menghentikan apa yang ia lihat.
Lalu, sosok itu mengangkat kepalanya sedikit, dan cahaya samar dari lampu kolam memantul di wajahnya. Itu bukan wajah yang jelas, hanya sebuah siluet gelap, tapi Davin bersumpah ia melihat garis rahang yang sangat mirip dengan miliknya sendiri. Sebuah rasa mual yang kuat menyerbu Davin.
Sosok itu menoleh ke samping, seolah menyadari keberadaan kamera. Lalu, ia berbalik dan melangkah pergi, menghilang kembali ke dalam kegelapan.
Gambar berkedip, lalu kembali menjadi bintik-bintik putih. Dan dengan Klik terakhir, televisi itu mati, meninggalkan Davin dalam kegelapan yang pekat, pikirannya porak-poranda.
Davin terdiam, syok. Ia menolak mempercayai apa yang ia lihat. Itu tidak mungkin. Sosok itu... tidak. Itu bukan dirinya. Ia tidak mungkin melakukan itu. Ia tidak akan pernah menyakiti Dira, sepupu kesayangannya.
Namun, keraguan mulai menggerogoti Davin seperti parasit. Sebuah memori yang aneh mulai muncul di benaknya. Kilasan-kilasan acak yang tak bisa ia susun menjadi sebuah cerita. Ia mencoba mengingat di mana ia berada saat Dira meninggal. Ia ingat ia berada di rumah. Ia ingat ia sedang tidur. Atau, apakah ia hanya berpikir ia tidur?
Ia bangkit dari sofa, berjalan terseok-seok menuju kamarnya. Ketika ia sampai di sana, pandangannya jatuh pada sepasang sepatu ketsnya yang tergeletak di dekat pintu. Ada yang aneh. Sepatu itu sedikit basah, dan ada beberapa noda tanah yang menempel di solnya. Padahal ia ingat, kemarin ia hanya berada di dalam rumah. Ia tidak keluar sama sekali. Dan ia tidak pernah mencuci sepatu itu. Bekas basah itu terasa dingin di jarinya saat ia menyentuhnya.
Davin menatap sepatu itu dengan mata melebar. Ia tidak ingat pernah memakainya keluar. Ia juga tidak ingat pernah menginjak tanah atau lumpur. Ia mencoba keras untuk menggali ingatannya, tetapi ada lubang-lubang hitam di sana. Bagian dari malam itu terasa hilang, tertutup kabut tebal. Seperti kepingan puzzle yang hilang, meninggalkan celah-celah kosong yang menganga.
Sebuah pikiran menakutkan melintas di benaknya, sebuah bisikan yang mengerikan: Apakah itu aku?
Ia segera menepisnya. Tidak. Tidak mungkin. Ia bukan pembunuh. Ia tidak akan pernah. Tetapi bukti di layar televisi, ditambah dengan keanehan ingatan dan bekas basah di sepatunya, mulai membangun sebuah narasi yang mengerikan, sebuah narasi yang menunjuk ke arahnya.
Ia berjalan mondar-mandir di kamarnya, pikirannya berputar tak karuan. Ia tidak bisa menjelaskan di mana dirinya saat Dira tenggelam. Ia tidak bisa menjelaskan noda basah di sepatunya. Dan yang paling mengerikan, ia tidak bisa menjelaskan mengapa sosok di televisi itu begitu mirip dengannya, bahkan detail pakaiannya.
Davin merasa seperti sedang berada di dalam mimpi buruk yang tak berujung. Realitasnya mulai terasa goyah. Apakah ia benar-benar ada di rumah sepanjang waktu? Atau ada bagian dari dirinya yang pergi, yang melakukan hal-hal mengerikan di luar kendalinya? Gagasan itu begitu menakutkan hingga ia nyaris muntah.
Ia kembali ke ruang tamu, berdiri di depan televisi itu. Ia mengangkat tangannya, ingin menyentuh layar yang gelap, seolah berharap bisa melihat ke dalamnya, mencari jawaban. Tapi ia menarik tangannya kembali, seolah layar itu adalah cermin yang akan menunjukkan monster.
"Apa ini?" bisiknya pada televisi yang membisu. "Apa yang kau tunjukkan padaku?"
Ia merasa bahwa televisi itu sedang memainkan sebuah permainan dengannya. Menampilkan potongan-potongan kebenaran yang mengerikan, menyisakan dirinya untuk menyusun sendiri gambaran yang utuh. Dan gambaran yang utuh itu, ia takut, akan sangat menghancurkan.
Davin mulai curiga, ada sesuatu yang salah dengan ingatannya, atau dengan pikirannya sendiri. Lubang-lubang dalam ingatannya terlalu sering muncul, terutama pada malam-malam di mana kematian kerabatnya terjadi. Ia merasa seperti ada tirai yang ditarik di dalam otaknya, menyembunyikan bagian-bagian tertentu dari apa yang ia lakukan atau alami.
Ia berjalan ke dapur, mengambil pisau kecil, dan kembali ke ruang tamu. Dengan gemetar, ia mulai mengikis noda tanah yang menempel di sol sepatu ketsnya. Ia mengumpulkannya di selembar tisu. Warnanya gelap, seperti tanah basah yang baru saja digali. Rasanya dingin saat ia menyentuhnya. Davin membuang tisu itu ke tempat sampah, seolah ingin membuang semua bukti yang mengerikan.
Namun, ia tahu ia tidak bisa membuang apa yang telah ia lihat. Ia tidak bisa membuang apa yang mulai ia rasakan tentang dirinya sendiri. Kecurigaan yang menakutkan, seperti benih yang ditanam di dalam dirinya, mulai tumbuh dan berakar.
Ia duduk di sofa lagi, menatap televisi yang gelap. Dalam keheningan yang mencekam, Davin merasa dirinya sedang dalam bahaya besar. Bukan hanya dari apa yang televisi itu tunjukkan, tetapi juga dari apa yang televisi itu mungkin ungkapkan tentang dirinya sendiri. Pertanyaan besar yang kini menghantuinya adalah: apakah ia adalah korban yang sial, ataukah ia adalah pelaku yang tak sadar?
Malam itu, Davin akhirnya tertidur, tetapi tidurnya dipenuhi mimpi buruk. Ia melihat dirinya sendiri, atau seseorang yang sangat mirip dengannya, berdiri di tepi kolam renang yang gelap, mengawasi sebuah tubuh kecil yang tenggelam. Ia terbangun dengan napas tersengal, dan air mata membasahi pipinya. Realitas dan mimpi mulai berbaur, dan Davin tahu, ia sedang perlahan-lahan kehilangan pegangan pada kewarasannya.
Bab 4 – Kematian Ketiga dan Retakan Realita
Ketakutan Davin telah berubah menjadi kengerian yang dingin. Kematian Dira, dan apa yang ia saksikan di televisi, telah mengikis habis benteng logikanya. Ia tidak lagi bisa menganggap ini sebagai kebetulan atau gangguan listrik. Ada sebuah pola yang mengerikan, sebuah benang merah yang mengikatnya pada setiap tragedi. Dan benang itu, seolah-olah, mulai melilit lehernya sendiri.
Ia mencoba mencari informasi lebih lanjut tentang Dissociative Identity Disorder (DID) secara daring. Gejala-gejala yang ia baca—hilangnya ingatan, perasaan terpisah dari diri sendiri, keberadaan "alter ego" atau identitas lain—mengenai Davin dengan presisi yang menakutkan. Apakah mungkin? Apakah ia memiliki bagian gelap dari dirinya yang beraksi di luar kendalinya? Gagasan itu, meskipun menakutkan, setidaknya memberikan penjelasan yang lebih "masuk akal" daripada televisi mistis. Namun, hati kecilnya tetap menolak, berbisik bahwa ada sesuatu yang lebih jahat dari sekadar penyakit mental.
Davin mulai menjalani hari-harinya dalam keadaan siaga tinggi. Ia nyaris tidak tidur. Ia menghindari melihat televisi, bahkan jika hanya sekilas. Ia takut apa yang akan ia lihat selanjutnya. Ia juga mulai menyimpan buku catatan kecil, berusaha mencatat setiap detail dari harinya, setiap hal yang ia lakukan, setiap interaksi yang ia alami. Ia ingin memastikan tidak ada lagi lubang dalam ingatannya, tidak ada lagi bagian yang hilang yang bisa menjadi bukti melawannya.
Ia juga mulai merasa terasing. Hubungannya dengan keluarga besar menjadi tegang. Mereka berduka, tetapi di mata mereka, Davin adalah satu-satunya kerabat dekat yang tidak terkena musibah. Ada tatapan curiga yang samar, bisikan-bisikan yang tak terdengar. Ia merasa seperti sedang diawasi, bukan hanya oleh televisi, tetapi oleh orang-orang di sekitarnya.
Beberapa hari setelah kematian Dira, kabar buruk kembali menyambar. Kali ini, sebuah panggilan telepon dari bibi lain, adik dari mendiang ayahnya.
"Vin, Reza... Reza meninggal," suara bibinya terdengar begitu lemah, nyaris tak terdengar.
Davin merasa darahnya membeku. Reza. Sepupu ketiganya. Reza adalah seorang yang eksentrik, berjiwa bebas, tapi selalu ceria dan penuh semangat. Ia baru saja membeli mobil sport baru yang ia banggakan.
"Bagaimana... bagaimana dia bisa meninggal, Bi?" Davin bertanya, suaranya tercekat di tenggorokan. Ia sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Mobilnya terbakar di pinggir jalan... ditemukan hangus. Reza... dia terjebak di dalamnya," jawab bibinya, terisak. "Petugas pemadam kebakaran bilang, pintu mobil terkunci dari dalam. Seperti ada yang... sengaja menguncinya."
Seluruh tubuh Davin merinding. Terkunci dari dalam. Tidak bisa keluar. Terbakar hidup-hidup. Kengerian yang tak terhingga. Dan yang paling mengerikan, "seperti ada yang sengaja menguncinya."
Malam itu, Davin tidak lagi duduk menunggu. Ia berdiri di tengah ruang tamu yang gelap, matanya tertuju pada televisi tua itu, seolah menantangnya. Ia tidak tahu apakah ia menginginkan jawaban, atau hanya ingin mengakhiri penderitaan ini. Udara di sekelilingnya terasa berat, pekat oleh antisipasi dan ketakutan.
Pukul tiga pagi. Udara terasa dingin meskipun jendela tertutup rapat.
Klik.
Suara itu kini menjadi palu yang memukul jiwanya. Televisi itu menyala lagi.
Layar menampilkan gambar hitam putih yang lebih jelas dari sebelumnya, meskipun masih diselimuti semut dan distorsi. Sebuah pemandangan jalan sepi di tengah hutan, disinari oleh cahaya bulan yang samar. Di tengah jalan, sebuah mobil sport terbakar hebat, api melahap bodinya yang mengilap, asap hitam membumbung tinggi ke langit malam.
Davin mengenalinya. Mobil Reza.
Ia melihat sebuah siluet bergerak di dalam mobil, sebuah tubuh yang berjuang keras. Lalu, terdengar suara. Suara yang berasal dari televisi. Bukan desisan statis lagi. Sebuah suara yang serak, teredam oleh api yang mengaum.
"Tolong! Tolong aku! Aku tidak bisa keluar!"
Itu suara Reza. Suara teriakan putus asa yang menggema di ruang tamu Davin yang gelap, menusuk telinganya, menusuk hatinya. Suara itu terasa begitu nyata, begitu mengerikan, seolah Reza sedang berteriak di depannya. Davin ingin menutup telinganya, ingin berteriak agar suara itu berhenti, tetapi ia terpaku.
Kemudian, ia melihatnya.
Di kejauhan, tidak jauh dari mobil yang terbakar, berdiri sebuah siluet gelap. Lebih jelas dari sebelumnya. Tinggi, kurus, dan kali ini, Davin bisa melihat detail pakaiannya: celana gelap dan sebuah jaket tebal yang sering ia pakai saat malam hari atau saat cuaca dingin. Sosok itu berdiri tegak, tidak bergerak. Tidak panik. Hanya mengamati mobil yang terbakar, seolah menikmati pemandangan itu.
Kamera perlahan mendekat, menyorot ke arah sosok itu dari belakang. Davin bisa melihat bentuk kepalanya, potongan rambutnya yang pendek, cara bahunya menurun. Itu... itu adalah Davin. Atau setidaknya, sangat mirip dengannya dari belakang. Sebuah kemiripan yang begitu akurat hingga Davin merasakan mual yang luar biasa. Itu adalah kemiripan yang sama persis seperti yang ia lihat di rekaman Dira.
Sosok itu mengangkat tangannya, seolah memberi isyarat. Sebuah gerakan kecil, nyaris tak terlihat, namun Davin bisa melihatnya dengan jelas. Setelah itu, api di mobil sport itu berkobar semakin besar, melahap segalanya. Teriakan Reza perlahan meredup, digantikan oleh suara api yang mengamuk.
Lalu, sosok itu berbalik. Davin tidak bisa melihat wajahnya, karena kamera berkedip, menyisakan hanya bayangan gelap di layar. Sosok itu melangkah pergi, menghilang ke dalam kegelapan hutan.
Gambar berkedip-kedip lebih cepat, bersemut, lalu dengan Klik terakhir, televisi itu mati.
Davin terhuyung mundur, punggungnya menabrak dinding. Ia merosot ke lantai, napasnya tersengal-sengal. Ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri berdebar kencang di telinganya. Tetapi kali ini, ada yang berbeda.
"Davin... Davin..."
Sebuah bisikan. Halus, nyaris tak terdengar, tetapi jelas. Itu berasal dari televisi. Atau... dari dalam kepalanya?
Davin mendongak, matanya melebar, menatap layar televisi yang gelap. "Siapa itu?" bisiknya, suaranya gemetar.
"Davin... kau di sini... kau bersama kami..."
Suara itu tidak seperti suara manusia. Lebih seperti bisikan yang berdesir, seperti angin yang berhembus melalui dedaunan kering. Itu tidak mengucapkan kata-kata secara jelas, tetapi Davin entah bagaimana bisa memahaminya. Suara itu adalah bisikan dari televisi, memanggil namanya, menyeretnya lebih dalam ke dalam kegilaan.
Ia mencengkeram kepalanya, mencoba mengusir suara itu. Ini halusinasi. Ini pasti halusinasi. Ia tahu ia mulai gila. Gangguan jiwanya telah mencapai titik di mana ia mulai mendengar suara-suara.
Namun, di tengah kepanikannya, sebuah pikiran dingin menyelinap masuk. Bagaimana jika itu bukan halusinasi? Bagaimana jika suara itu benar-benar berasal dari televisi? Bagaimana jika entitas di dalam televisi itu benar-benar berkomunikasi dengannya?
Davin bangkit dengan susah payah, kakinya terasa lemas. Ia berjalan mondar-mandir di ruang tamu, setiap langkahnya terasa berat. Rumah ini, yang dulunya adalah tempat yang aman, kini terasa seperti sangkar. Dinding-dindingnya seolah mendekat, menekan Davin.
Ia merasa terancam. Terancam oleh rumahnya sendiri. Terancam oleh televisi itu. Tapi yang paling mengerikan, ia merasa terancam oleh dirinya sendiri. Sosok itu di layar, sangat mirip dengannya. Lubang-lubang dalam ingatannya. Sepatu yang basah. Dan sekarang, suara-suara.
Ia mencoba pergi. Ia berjalan ke pintu depan, tangannya meraih gagang pintu. Namun, sebuah kekuatan tak terlihat seolah menahannya. Kaki-kakinya terasa berat, terpaku di tempat. Rasa takut yang intens, sebuah perasaan bahwa jika ia melangkah keluar, sesuatu yang jauh lebih buruk akan terjadi. Atau mungkin, sesuatu yang di dalam dirinya tidak ingin ia pergi.
Ia kembali ke sofa, terduduk lemas. Pikirannya kalut. Ia mulai menulis di buku catatannya, dengan tangan gemetar. Ia mencoba menyusun semua potongan puzzle yang mengerikan ini. Kematian orang tuanya, Tomi, Dira, Reza. Rekaman di televisi. Sosok gelap yang mirip dengannya. Lubang ingatan. Dan sekarang, suara-suara dari televisi.
Ia merasa terperangkap. Terperangkap di dalam rumah ini, terperangkap di dalam benaknya sendiri. Ia adalah penonton sekaligus tersangka. Televisi itu seolah adalah saksi bisu, atau mungkin, dalang di balik semua ini.
Davin menatap televisi itu dengan tatapan kosong. Malam itu, ia tidak mendengar bisikan lagi. Hanya keheningan yang memekakkan telinga. Namun, ia tahu suara itu akan kembali. Ia tahu televisi itu akan menyala lagi. Dan ia tahu, ia tidak punya pilihan selain menunggu tayangan selanjutnya. Realitasnya telah retak, dan Davin tidak tahu seberapa jauh ia akan jatuh ke dalam jurang kegilaan sebelum semua ini berakhir.
Bab 5 – Penyusupan dalam Dirinya
Malam-malam setelah kematian Reza, Davin tidak lagi berani tidur nyenyak. Jika ia terlelap, itu hanya tidur singkat yang dipenuhi mimpi buruk, di mana ia melihat siluet dirinya berdiri di tengah kobaran api, atau bayangannya melayang di atas tubuh yang tenggelam. Bisikan-bisikan dari televisi, yang kini terasa lebih seperti bisikan di benaknya sendiri, semakin sering muncul. Mereka memanggil namanya, terkadang menertawakannya, terkadang mengucapkan kalimat-kalimat yang tak jelas namun terasa mengancam. "Kau milik kami," atau "Sudah waktunya," dan yang paling mengerikan, "Kau tahu apa yang terjadi."
Kewarasan Davin menipis seperti lilin yang terbakar habis. Ia mencoba melawan bisikan-bisikan itu, memaksakan diri untuk berpikir jernih. Ia terus mencatat di buku hariannya, berharap bisa menemukan pola, mencari celah dalam realitasnya yang retak. Setiap tindakan, setiap jam, setiap perasaan—semua ia tuliskan, mati-matian mencoba membuktikan bahwa ia adalah korban, bukan pelaku.
Namun, semakin ia mencoba membuktikan kepolosannya, semakin banyak bukti aneh yang ia temukan di rumahnya sendiri, bukti yang seolah berteriak menunjuk ke arahnya.
Suatu sore, saat ia sedang membersihkan gudang di belakang rumah—sebuah tempat yang jarang ia datangi—ia menemukan sesuatu. Di sudut yang gelap, tersembunyi di bawah tumpukan kain lap usang, tergeletak sepasang sarung tangan kulit berwarna gelap. Sarung tangan itu tampak kotor, dan yang lebih mencengangkan, ada beberapa bagian yang terlihat hangus, seperti terkena panas yang sangat tinggi. Aromanya samar, seperti sisa bau terbakar yang menempel. Jantung Davin berdebar kencang. Sarung tangan itu tidak pernah ia miliki. Ia tidak ingat pernah membelinya, apalagi memakainya. Tapi ia tahu persis di mana ia melihatnya: pada sosok siluet gelap yang menyalakan api di mobil Reza dalam rekaman televisi. Ia menjatuhkan sarung tangan itu seolah benda itu membakar tangannya.
Davin mencoba menenangkan dirinya. Mungkin itu sarung tangan lama milik ayahnya. Tapi ia tak pernah melihat ayahnya memakai sarung tangan seperti itu. Dan bekas hangus itu? Itu terlalu spesifik, terlalu pas dengan kejadian kematian Reza. Ia merasa seperti ada yang sengaja menaruhnya di sana, atau, pikiran yang lebih mengerikan, ia sendiri yang menaruhnya di sana dan melupakannya.
Di hari lain, saat ia sedang mandi, matanya jatuh pada lengannya. Ada goresan panjang yang tipis di bagian dalam lengan bawahnya. Goresan itu sudah agak mengering, seolah sudah terjadi beberapa hari yang lalu. Davin menyentuhnya. Tidak sakit, tapi ia sama sekali tidak ingat bagaimana ia mendapatkannya. Ia bukan orang yang ceroboh, apalagi sampai tidak menyadari luka sepanjang itu. Sebuah kilasan bayangan melintas di benaknya, sebuah sensasi tajam, seperti menggesekkan sesuatu yang kasar. Tetapi bayangan itu terlalu cepat, terlalu buram untuk ia tangkap. Apakah itu terjadi saat ia terpeleset di tepi kolam? Atau saat ia bersembunyi di semak-semak?
Dan kemudian, ada sepatu yang berlumpur. Ia menemukan sepatu kets yang sama yang ia temukan basah di babak sebelumnya, kali ini di tumpukan cucian kotor. Lumpur kering menempel di sol dan sedikit di bagian samping. Padahal ia sudah membersihkannya. Ia tidak pernah memakainya keluar lagi setelah kejadian Dira. Jadi mengapa ada lumpur? Apakah ia keluar lagi saat ia tak sadar?
Setiap penemuan adalah pukulan telak bagi Davin. Ia mencatat semuanya di buku hariannya, meskipun setiap catatan terasa seperti palu yang memukul kuku di peti matinya sendiri. Ia merasa terjebak dalam jebakan yang tak terlihat, dengan bukti-bukti yang muncul entah dari mana, seolah dirancang untuk menjeratnya.
Sementara Davin bergulat dengan bukti-bukti mengerikan di rumahnya, dunia luar mulai bergerak. Kematian tiga kerabat dekatnya dalam waktu singkat—Tomi, Dira, Reza—telah menarik perhatian polisi. Inspektur Bram, seorang polisi berpengalaman dengan tatapan tajam dan kecenderungan untuk tidak mudah percaya, mulai memimpin penyelidikan.
Awalnya, polisi menganggap kematian-kematian itu sebagai insiden terpisah: bunuh diri, kecelakaan, kebakaran misterius. Namun, pola yang terlalu jelas untuk diabaikan. Semua korban adalah kerabat dekat Davin, dan ia adalah satu-satunya benang merah. Tidak ada motif jelas yang menghubungkan korban-korban itu satu sama lain, selain hubungan keluarga mereka.
Suatu pagi, bel pintu Davin berbunyi. Ketika ia membukanya, ia melihat dua petugas polisi berdiri di ambang pintu, dipimpin oleh Inspektur Bram.
"Tuan Davin Santoso?" tanya Inspektur Bram, suaranya tenang tapi penuh otoritas. "Kami dari kepolisian. Kami ingin menanyakan beberapa hal terkait kematian Tomi, Dira, dan Reza."
Davin merasakan tenggorokannya tercekat. Ini dia. Ia mengangguk, mempersilakan mereka masuk.
Penyelidikan itu dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan rutin. Di mana Davin saat kematian Tomi? Di mana ia saat Dira tenggelam? Di mana ia saat mobil Reza terbakar? Davin mencoba memberikan alibi yang logis, tetapi setiap kali ia membuka mulutnya, ia menyadari betapa lemahnya argumennya.
"Saya... saya di rumah, tidur," katanya pada kematian Tomi. "Saya kelelahan setelah mengurus pemakaman orang tua saya."
Inspektur Bram menatapnya tanpa ekspresi. "Tidak ada saksi yang bisa mengonfirmasi itu, Tuan Santoso."
"Saya juga di rumah saat Dira meninggal," lanjut Davin, suaranya sedikit gemetar. "Saya... saya ingat tidur sangat nyenyak malam itu."
"Tidak ada aktivitas luar di ponsel Anda, tidak ada transaksi di kartu Anda. Anda memang sepertinya di rumah," kata Bram, nada suaranya netral. "Tapi itu juga berarti tidak ada yang bisa mengonfirmasi bahwa Anda memang tidur, bukan?"
Ketika sampai pada kematian Reza, Davin mulai panik. Ia ingat suara bisikan dari televisi, bayangan dirinya di sana. "Saya... saya tidak ingat banyak," ia mengaku. "Saya merasa tidak enak badan malam itu. Saya... saya hanya di rumah."
"Ada saksi yang melihat sebuah mobil hitam mirip milik Anda di sekitar lokasi kejadian beberapa jam sebelum insiden, Tuan Santoso," kata Bram, tatapannya menajam. "Kami sedang mencari rekaman CCTV di sekitar sana."
Davin merasakan darahnya berdesir dingin. Mobil hitam. Miliknya. Ia hanya punya satu mobil. Ia tidak ingat pernah mengendarainya ke sana. Tidak mungkin.
"Itu tidak mungkin," Davin membela diri, suaranya naik satu oktaf. "Saya tidak pergi ke mana-mana. Saya tidak pernah menyakiti siapa pun. Saya bersumpah!"
Inspektur Bram mengamati Davin dengan cermat, seolah mencoba menembus pertahanannya. "Kami menemukan beberapa jejak kaki di sekitar kolam renang tempat Nona Dira ditemukan. Ukurannya cocok dengan sepatu Anda, Tuan Santoso."
Davin terdiam, syok. Sepatu yang basah. Lumpur di sol. Jejak kaki. Itu semua berputar di kepalanya, menyatu menjadi bukti yang tak terbantahkan.
"Dan sarung tangan," lanjut Bram, suaranya rendah. "Kami menerima laporan anonim tentang sarung tangan kulit yang terbakar di gudang Anda. Apakah Anda tahu tentang itu, Tuan Santoso?"
Davin merasa tenggorokannya kering. Ia tidak bisa menjawab. Otaknya berteriak "Tidak!", tetapi semua bukti itu terlalu kuat. Bagaimana polisi bisa tahu tentang sarung tangan itu? Apakah ada yang melihatnya? Atau ia sendiri yang mengirim laporan anonim itu tanpa sadar?
"Saya... saya tidak tahu," Davin akhirnya berhasil mengucapkan. "Saya menemukan sarung tangan itu, tapi itu bukan milik saya. Saya... saya tidak tahu bagaimana itu bisa ada di sana."
Inspektur Bram mengangguk perlahan. "Kami mengerti ini sulit bagi Anda, Tuan Santoso. Tapi semua bukti yang kami temukan, dari kesamaan pola kematian, alibi Anda yang lemah, hingga bukti fisik yang kami dapatkan, semuanya mengarah kepada Anda."
"Tapi saya bukan pembunuh!" Davin berseru, suaranya putus asa. "Saya tidak melakukannya! Saya... saya yakin ada sesuatu yang mengendalikan saya. Televisi itu! Itu yang menunjukkan semua ini. Itu yang tahu!" Ia menunjuk ke arah televisi tua yang membisu di sudut ruangan, seolah benda itu akan membela dirinya.
Inspektur Bram dan rekannya saling pandang, tatapan mereka berubah dari skeptis menjadi prihatin. Mereka tidak mengatakan apa-apa tentang televisi itu.
"Tuan Santoso, kami perlu membawa Anda ke kantor untuk pemeriksaan lebih lanjut," kata Inspektur Bram, nada suaranya kini lebih lembut, seolah berbicara kepada seseorang yang sakit. "Ada beberapa hal yang perlu kami klarifikasi."
Davin merasakan dunia di sekelilingnya berputar. Ia tahu ia tidak bisa melawan. Ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia akan diperiksa, dituduh, dan mungkin, ia akan kehilangan segalanya, termasuk kewarasannya.
Saat ia berjalan keluar dari rumah, diapit oleh kedua polisi itu, matanya melirik ke arah televisi. Layar itu masih gelap, membisu, tetapi Davin bersumpah ia bisa merasakan kehadirannya. Seolah televisi itu tersenyum puas, telah berhasil menjeratnya, menariknya lebih dalam ke dalam permainannya yang kejam. Ia tidak tahu apakah ia sedang melangkah menuju kebebasan atau menuju neraka. Yang jelas, rumah ini, dengan segala rahasianya, akan tetap menjadi saksi bisu atas kejatuhannya.
Bab 6 – Diagnosis Ganda
Ruangan itu steril, berbau antiseptik dan ketakutan yang terpendam. Dindingnya berwarna krem pucat, perabotannya minimalis—hanya ada dua kursi tunggal dan sebuah meja kecil di antaranya. Davin duduk di salah satu kursi, tangannya bertaut erat di pangkuan. Di hadapannya, seorang wanita paruh baya dengan rambut abu-abu yang ditata rapi dan sepasang mata yang tajam namun menenangkan, Dr. Amelia Putri, psikiater yang ditunjuk oleh pihak kepolisian untuk mengevaluasinya.
Beberapa hari terakhir adalah neraka bagi Davin. Ia diinterogasi berulang kali oleh Inspektur Bram, pertanyaan-pertanyaan yang sama diulang-ulang, menuntut alibi yang tak bisa ia berikan. Setiap kali ia mencoba menjelaskan tentang televisi itu, tentang rekaman kematian, dan tentang siluet yang mirip dengannya, tatapan skeptis Bram semakin mengeras. Akhirnya, polisi menyimpulkan bahwa Davin mengalami tekanan mental yang parah, dan sebuah evaluasi kejiwaan adalah langkah yang diperlukan sebelum mereka memutuskan apakah akan mengajukan tuntutan.
Dr. Amelia telah menghabiskan berjam-jam berbicara dengan Davin. Ia menanyakan tentang masa kecilnya, hubungannya dengan keluarganya, kejadian kematian orang tuanya, dan tentu saja, detail-detail mengerikan tentang kematian Tomi, Dira, dan Reza. Davin menceritakan semuanya, tentang televisi yang menyala sendiri, tentang rekaman-rekaman itu, tentang siluet gelap yang ia lihat, dan tentang lubang-lubang misterius dalam ingatannya. Ia bahkan menceritakan tentang sarung tangan terbakar, sepatu berlumpur, dan goresan di lengannya. Dr. Amelia mendengarkan dengan sabar, mencatat di clipboard-nya, sesekali mengangguk, tanpa menunjukkan ekspresi terkejut atau tidak percaya.
Akhirnya, sesi itu selesai. Dr. Amelia meletakkan clipboard-nya di meja, menghela napas pelan.
"Davin," katanya, suaranya lembut tapi tegas, "berdasarkan semua yang telah Anda ceritakan kepada saya, dan hasil observasi kami selama beberapa hari ini, saya telah sampai pada sebuah kesimpulan awal."
Davin menahan napas, dadanya terasa sesak. Ini dia. Apakah ia akan dinyatakan gila? Atau... pembunuh?
"Anda menunjukkan gejala yang sangat konsisten dengan Dissociative Identity Disorder, atau DID," ucap Dr. Amelia, menatap langsung ke mata Davin. "Sebelumnya dikenal sebagai Multiple Personality Disorder."
Davin mengerutkan kening. DID? Ia pernah membaca sedikit tentang itu, tetapi tidak pernah membayangkan ia akan didiagnosis dengan kondisi langka seperti itu.
"Apa... apa artinya itu, Dokter?" tanyanya, suaranya parau.
Dr. Amelia menjelaskan dengan nada yang tenang. "DID adalah kondisi kesehatan mental yang ditandai dengan adanya dua atau lebih identitas atau state kepribadian yang berbeda dan terpisah. Setiap identitas ini mungkin memiliki pola pikir, ingatan, dan perilaku yang unik. Penderita DID seringkali mengalami amnesia, atau hilangnya ingatan, terutama terkait dengan waktu di mana identitas lain sedang mengambil alih."
Mata Davin membelalak. Amnesia. Lubang-lubang ingatan. Sosok mirip dirinya di rekaman televisi. Semua itu mulai terasa pas.
"Jadi... ada 'bagian dari diri saya' yang lain?" Davin bertanya, hatinya berdegup kencang.
Dr. Amelia mengangguk. "Ya. Dalam kasus Anda, tampaknya ada 'bagian dari diri Anda' yang tertutup, yang mungkin menyimpan memori-memori traumatis, atau bahkan bertindak di luar kesadaran Anda. Identitas ini bisa muncul sebagai respons terhadap tekanan ekstrem atau trauma yang tidak tertangani. Ketika identitas itu mengambil alih, Anda bisa melakukan tindakan yang tidak Anda sadari, dan kemudian tidak mengingatnya sama sekali."
"Jadi... sayalah pelakunya?" Davin merasakan sebuah pukulan telak di dadanya. Semua ketakutannya kini memiliki nama medis. Ia adalah pembunuh. Dirinya sendiri.
"Kami tidak bisa mengatakan 'pelaku' secara langsung, Davin," Dr. Amelia mengoreksi dengan hati-hati. "Kami menyebutnya sebagai 'alter'. Alter ini mungkin adalah bagian dari diri Anda yang mencoba melindungi Anda dari sesuatu, atau mengekspresikan sesuatu yang tidak bisa Anda hadapi secara sadar. Keberadaan rekaman-rekaman itu, dan sosok yang mirip Anda, bisa jadi adalah manifestasi visual dari apa yang dilakukan oleh alter Anda, yang kemudian 'ditayangkan' oleh pikiran Anda sendiri, atau justru sebagai bentuk trauma yang Anda tangkap dan interpretasikan melalui cara yang Anda percayai, yaitu televisi."
Davin terdiam, mencerna kata-kata itu. Ia merasa dunianya terbalik. Ia mengidap gangguan kepribadian ganda. Itu berarti, semua yang ia lihat di televisi, semua horor itu, adalah ulahnya sendiri. Sosok itu adalah dirinya. Dan suara-suara itu... halusinasi, gejala dari kondisinya.
Tetapi, di tengah semua penjelasan rasional itu, sebuah suara lain berbisik di benaknya. Sebuah suara yang bukan halusinasi, tapi keyakinan yang mendalam.
"Tidak," Davin menggelengkan kepalanya perlahan. "Itu tidak benar. Saya tahu saya tidak melakukannya. Saya tidak mungkin."
Dr. Amelia menatapnya dengan prihatin. "Davin, saya tahu ini sulit untuk diterima. Tapi semua bukti klinis mengarah ke sana. Dan bukti yang ditemukan polisi juga semakin menguatkan."
"Tapi televisi itu, Dokter!" Davin berseru, suaranya dipenuhi frustrasi. "Bagaimana Anda menjelaskan itu? Bagaimana ia bisa menunjukkan rekaman kematian yang tidak mungkin ada? Itu bukan halusinasi! Saya melihatnya dengan mata kepala sendiri! Tomi jatuh dari kantornya, Dira di kolam, Reza terbakar! Dan Nita, dokter! Nita meninggal di RSJ, dan rekaman kematiannya juga muncul di TV saat saya dirawat. Bagaimana saya bisa melihat itu jika itu hanya di pikiran saya?"
Davin berdiri, menunjuk ke arah khayalan televisi di sudut ruangan. "Televisi itu punya kekuatan, Dokter! Itu yang mengendalikan semua ini! Itu yang menunjukkan semua ini pada saya! Itu yang menggunakan tubuh saya saat saya tak sadar! Televisi itu adalah pelaku sebenarnya!"
Dr. Amelia menghela napas lagi. "Davin, sangat umum bagi penderita DID untuk menciptakan narasi alternatif atau mengaitkan kejadian dengan hal-hal di luar diri mereka sebagai mekanisme pertahanan. Pikiran Anda mungkin menciptakan 'televisi' ini sebagai cara untuk memproses trauma, atau untuk menjauhkan diri dari tanggung jawab atas tindakan yang mungkin dilakukan oleh alter Anda."
"Jadi Anda bilang saya membayangkan semua itu? Bahwa rekaman itu tidak nyata?" Davin bertanya, nadanya menantang.
"Rekaman itu bisa jadi adalah bagaimana alam bawah sadar Anda memproyeksikan kembali ingatan-ingatan yang terfragmentasi, atau bahkan trauma yang dialami alter Anda," jelas Dr. Amelia dengan sabar. "Televisi itu menjadi semacam medium yang diciptakan oleh pikiran Anda sendiri untuk menjelaskan hal-hal yang tidak Anda pahami. Pikiran manusia sangat kuat, Davin. Terkadang ia menciptakan mekanisme yang luar biasa untuk menghadapi realitas yang terlalu mengerikan."
Davin menolak untuk percaya. Ia menolak gagasan bahwa dirinya adalah monster. Ia menolak gagasan bahwa ia telah menciptakan kengerian ini di dalam benaknya sendiri. Ia ingin percaya bahwa ada kekuatan eksternal, kekuatan jahat yang mengendalikan dirinya, yang menggunakan rumahnya sebagai panggung dan televisi sebagai layarnya. Itu jauh lebih mudah daripada menerima bahwa monster itu bersemayam di dalam dirinya sendiri.
"Tidak. Saya tidak percaya," kata Davin, suaranya tegas. "Ada sesuatu di dalam TV itu. Atau di rumah ini. Saya merasakan kehadirannya. Itu lebih dari sekadar penyakit."
Dr. Amelia mengamati Davin dengan cermat. Ia melihat keputusasaan di mata Davin, penolakannya untuk menerima kebenaran. "Davin, penolakan ini juga merupakan bagian dari kondisinya. Tetapi untuk kebaikan Anda sendiri, dan untuk keamanan semua orang, Anda perlu mendapatkan perawatan. Kami akan merekomendasikan agar Anda dirawat di panti rehabilitasi jiwa, di mana Anda bisa mendapatkan bantuan profesional untuk mengelola kondisi ini."
Davin terdiam, pikirannya kalut. Panti rehabilitasi jiwa. Itu berarti ia akan dikurung. Terkunci. Terpisah dari dunia, dianggap gila. Namun, dalam keputusasaan yang mendalam, ada secercah harapan yang aneh. Jika ia dirawat di sana, ia akan diawasi. Jika ada kejadian lagi, jika televisi itu menyala lagi, jika ada kematian lain... maka itu pasti bukan dirinya. Maka ia bisa membuktikan bahwa ia tidak gila, bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar DID yang bekerja.
Ia memandang Dr. Amelia, kemudian tatapannya jatuh pada dinding kosong di belakangnya, seolah-olah ia melihat televisi itu terpampang di sana, menunggunya. "Baiklah," kata Davin, akhirnya menyerah, suaranya lemah. "Saya akan pergi ke panti rehabilitasi. Tapi saya tidak gila. Dan saya akan membuktikannya."
Di balik ketenangannya, ada tekad yang membara. Davin akan pergi ke panti jiwa. Bukan untuk menerima diagnosisnya, melainkan untuk membantah diagnosis itu. Ia akan membuktikan bahwa televisi itu adalah pintu gerbang menuju kengerian yang nyata, dan bukan hanya refleksi dari kegilaannya sendiri. Pertarungan antara nalar dan mistis, antara kebenaran ilmiah dan teror tak terjelaskan, baru saja dimulai di dalam pikiran Davin.
Bab 7 – Pengasingan di Panti Jiwa
Panti Rehabilitasi Jiwa "Cahaya Harapan" terasa seperti penjara yang disamarkan. Bangunan itu memang tidak memiliki jeruji besi, jendelanya besar dengan pemandangan taman yang asri, dan stafnya berbicara dengan suara lembut yang menenangkan. Namun, Davin tahu, ia sama terkuncinya seperti di sel manapun. Kebebasannya telah dicabut, digantikan oleh jadwal harian yang ketat, sesi terapi kelompok, dan obat-obatan yang dirancang untuk menstabilkan "alter" dalam dirinya.
Ia ditempatkan di sebuah kamar pribadi yang sederhana. Dindingnya dicat biru muda, tempat tidurnya rapi, dan ada sebuah meja kecil dengan kursi. Tidak ada benda tajam, tidak ada barang pribadi yang terlalu banyak. Semuanya diawasi, setiap gerakannya tercatat.
Yang paling mengejutkan Davin, dan mungkin juga para staf di sana, adalah ketika televisi tua itu ikut dikirim oleh keluarganya. Setelah diagnosis DID yang diberikan Dr. Amelia, dan penangkapan Davin, keluarga besarnya, meskipun masih dalam duka dan kebingungan, sempat mengunjungi rumah Davin. Mereka menemukan televisi itu, yang oleh Davin selalu dianggap tak bisa dipindahkan, dan entah bagaimana, dengan susah payah, berhasil membawanya. Davin sendiri telah mengajukan permintaan itu dengan alasan yang aneh: "Saya takut tanpa TV itu," katanya pada Dr. Amelia, suaranya dipenuhi ketakutan. "Itu satu-satunya yang tersisa dari rumah. Itu... bagian dari saya." Ia tahu alasannya terdengar tidak masuk akal, tapi entah mengapa, mereka menyetujuinya, mungkin menganggapnya sebagai bentuk keterikatan emosional pada benda warisan.
Maka, televisi itu kini berada di pojok kamarnya. Sebuah anomali besar yang mencolok di antara perabotan minimalis. Kabelnya terpasang ke stopkontak dinding, tetapi Davin tidak pernah berani menyalakannya. Ia hanya memandangnya, setiap hari, setiap malam. Kehadirannya di sana adalah pengingat konstan akan pertempuran yang sedang ia hadapi: apakah itu hanya gejala penyakit mentalnya, ataukah ia adalah saksi nyata dari kengerian yang supranatural?
Anehnya, hari-hari awal di panti rehabilitasi itu berjalan dengan keteraturan yang mencurigakan. Davin mengikuti semua terapi yang dijadwalkan. Ia berbicara dengan Dr. Amelia setiap hari. Ia minum obatnya tepat waktu. Ia makan teratur. Ia bahkan tidur lebih nyenyak dari sebelumnya, mungkin efek obat penenang, atau mungkin karena ia merasa "aman" di bawah pengawasan.
Ia terlihat tenang di luar. Staf dan psikiater memuji kemajuannya, mengatakan bahwa ia menunjukkan tanda-tanda "penerimaan" terhadap kondisinya. Mereka berasumsi Davin mulai menyadari bahwa ia membutuhkan bantuan. Ia tidak lagi berteriak tentang televisi itu atau menunjuk-nunjuk benda mati itu sebagai pelaku. Ia hanya mengamati, mendengarkan, dan sesekali mengangguk.
Namun, dalam pikirannya, Davin terjebak. Ia tidak menerima diagnosis DID. Ia membiarkan mereka percaya ia menerima, hanya untuk mendapatkan kesempatan membuktikan dirinya tidak gila. Setiap kali Dr. Amelia berbicara tentang "alter" dan "mekanisme pertahanan", Davin memutar ulang rekaman-rekaman televisi di benaknya. Ia mengingat Tomi yang jatuh, Dira yang tenggelam, Reza yang terbakar. Ia mengingat siluet yang mirip dengannya. Dan yang paling penting, ia mengingat suara-suara bisikan dari televisi. Ia tidak menciptakan semua itu. Ia yakin. Ia yakin televisi itu adalah sumber dari semua kengerian.
Beberapa malam berlalu tanpa gangguan. Televisi di kamarnya tetap gelap, membisu. Davin mulai bertanya-tanya. Apakah televisi itu kehilangan kekuatannya di sini? Apakah lingkungan yang steril ini, jauh dari rumah tua yang penuh kenangan, telah memutus "koneksi" benda itu? Pikiran itu membawa sedikit kelegaan, tetapi juga kecurigaan. Terlalu tenang. Terlalu normal.
Ia mulai merasa seperti seorang tahanan yang sedang menunggu hukuman mati, atau seorang aktor yang sedang menunggu aba-aba untuk adegan berikutnya. Ketenangan itu terasa seperti kebohongan, seperti jeda singkat sebelum badai besar. Davin tidak bisa mengusir perasaan bahwa ia sedang diuji, atau bahwa televisi itu sedang mengumpulkan kekuatan.
Ia menghabiskan waktunya dengan membaca buku-buku yang disediakan panti, atau hanya menatap keluar jendela, mengamati langit biru dan awan yang bergerak lambat. Ia makan sendirian di kamarnya, atau terkadang bergabung dengan pasien lain di ruang makan umum, meskipun ia jarang berbicara. Ada pasien lain yang berbicara sendiri, ada yang tertawa tanpa sebab, ada yang terlihat kosong. Davin mengamati mereka, bertanya-tanya apakah ia juga terlihat seperti itu bagi mereka. Apakah ia juga bergumam tentang televisi di kamarnya tanpa sadar?
Pada suatu malam, di tengah keheningan yang pekat di panti rehabilitasi, sebuah malam yang sama seperti malam-malam sebelumnya yang damai, Davin terbangun dari tidurnya yang ringan. Ia tidak tahu mengapa. Mungkin suara napasnya sendiri, atau keheningan yang terlalu absolut. Ia menoleh ke arah televisi.
Gelap. Kosong.
Ia menghela napas, mencoba untuk tidur lagi.
Klik.
Suara itu. Suara mekanis yang khas, yang telah menghantuinya selama berminggu-minggu, kini bergema di dalam kamar kecil yang terkunci rapat itu. Jantung Davin melompat, memukul-mukul rusuknya begitu keras hingga ia merasakan sakit.
Layar televisi, yang telah gelap dan membisu begitu lama, mulai berpendar. Mula-mula bintik-bintik putih, lalu gambar hitam putih yang bersemut muncul. Davin tahu, ini bukan mimpi. Ini bukan halusinasi. Ini nyata.
Kamera tampak berputar, seperti sebuah lensa pengawas yang bergeser. Davin melihat sebuah koridor yang panjang, dengan pintu-pintu kamar yang berjejer rapi. Ia mengenali koridor itu. Itu adalah koridor di panti rehabilitasi ini. Koridor yang sama dengan kamarnya.
Darah Davin terasa dingin. Ia berada di panti jiwa, terkunci, diawasi. Bagaimana mungkin televisi ini bisa merekam sesuatu di sini?
Gambar di layar semakin jelas. Kamera perlahan melayang di sepanjang koridor, melewati pintu-pintu yang tertutup. Davin bisa melihat nomor-nomor kamar. Ia melihat ruang perawat yang lampunya masih menyala redup.
Ini adalah panti rehabilitasi. Ini adalah tempat di mana ia seharusnya aman. Ini adalah tempat di mana ia seharusnya terpisah dari semua kengerian itu.
Tapi televisi itu, "Layar Kematian" itu, telah mengikutinya. Ia telah menemukan Davin, bahkan di tempat yang paling terisolasi ini. Dan Davin tahu, dengan kengerian yang mencengkeram jiwanya, bahwa tayangan selanjutnya pasti akan datang. Ia berada dalam pengawasan penuh, di dalam sebuah kotak, tetapi entitas di dalam televisi itu, entah apa pun itu, tetap bisa melihat. Dan jika ia bisa melihat, maka ia bisa melakukan sesuatu.
Ketenangan yang mencurigakan itu akhirnya sirna, digantikan oleh teror yang familiar. Davin menarik selimut hingga dagunya, matanya terpaku pada layar televisi. Ia tidak bisa lari. Ia tidak bisa bersembunyi. Ia hanya bisa menunggu, seorang penonton yang terpaksa dalam tayangan horor paling pribadi yang pernah ada. Ia tahu, episode berikutnya akan segera dimulai.
Bab 8 – Tayangan Terakhir: Korban Keempat
Keheningan di kamar Davin setelah televisi menyala adalah hening yang pekat. Ia terpaku di tempat tidur, matanya terpaku pada layar hitam putih yang berkedip. Jantungnya berdebar kencang. Koridor panti rehabilitasi itu terlihat jelas, dengan cahaya remang-remang.
Kamera bergerak, melayang di sepanjang koridor, melewati ruang perawat, lalu berhenti di depan sebuah pintu yang sedikit terbuka. Davin tak tahu nomor kamarnya, tapi ia tahu ini adalah salah satu kamar di bagian rehabilitasi yang sama dengannya.
Lalu, sebuah suara samar mulai terdengar dari televisi. Langkah kaki tergesa-gesa, disusul bisikan panik. Davin mencondongkan tubuhnya, mencoba memahami.
Gambar bergeser, dan Davin melihatnya. Seorang wanita, dengan rambut diikat ekor kuda dan piyama rumah sakit, berjalan terhuyung keluar dari pintu itu. Matanya melebar penuh ketakutan. Davin mengenalinya: Nita. Sepupu jauhnya, yang juga dirawat di panti ini. Ia sempat melihat Nita di ruang makan.
Nita terlihat panik, seperti dikejar sesuatu. Ia berjalan cepat, nyaris berlari, menuju tangga darurat. Davin menyaksikan dengan ngeri. Ia ingin berteriak, tapi ia hanya bisa menyaksikan.
Nita mencapai tangga. Ia tampak ragu sejenak, menoleh ke belakang. Wajahnya pucat pasi, dipenuhi teror. Lalu, ia mulai menuruni tangga tergesa-gesa.
Kamera kini melayang di atas Nita, menyorot ke bawah. Davin melihat Nita mengambil satu langkah yang salah. Kakinya tersandung, tubuhnya limbung. Ia mencoba meraih pegangan tangga, tapi terlambat. Ia jatuh terguling, kepalanya membentur anak tangga satu per satu dengan bunyi gedebuk yang mengerikan.
Davin mencengkeram erat selimutnya. Ia tak bisa memalingkan wajah.
Nita terus terguling, tubuhnya kaku, hingga berhenti di anak tangga terbawah. Tubuhnya tergeletak tak bergerak. Genangan gelap mulai menyebar di bawah kepalanya. Darah.
Kamera tetap di sana, menyorot tubuh Nita. Keheningan mematikan menyelimuti adegan itu, hanya diselingi desisan statis televisi. Tak ada suara lain. Hanya Nita, sendirian, jatuh.
Lalu, kamera perlahan menjauh, kembali menyorot koridor yang kini tampak kosong dan sunyi.
Gambar berkedip-kedip, bersemut, lalu dengan Klik terakhir, televisi itu mati. Layar kembali gelap gulita, memantulkan pantulan samar Davin yang terengah-engah, wajahnya pucat, matanya melebar.
Ia terhuyung dari tempat tidur, kakinya gemetar. Ia harus memberitahu seseorang. Nita! Nita!
Davin berlari ke pintu kamarnya, mencoba membukanya. Terkunci. Ia memukul-mukul pintu, berteriak, "Perawat! Nita! Nita jatuh! Di tangga!"
Beberapa detik berlalu, terasa seperti keabadian. Davin terus memukul pintu, air mata mulai mengalir.
Akhirnya, suara langkah kaki terdengar di luar, dan pintu kamarnya terbuka. Seorang perawat menatapnya bingung. "Ada apa, Tuan Davin? Kenapa Anda berteriak?"
"Nita! Nita jatuh! Di tangga darurat! Saya melihatnya di televisi! Cepat, periksa dia!" Davin menunjuk ke arah televisi dan pintu.
Perawat itu menatap televisi yang gelap, lalu kembali menatap Davin prihatin. "Tuan Davin, Anda mungkin... bermimpi. Nona Nita baik-baik saja."
"Tidak! Saya melihatnya! Cepat!" Davin bersikeras.
Perawat itu, meskipun skeptis, memutuskan untuk memeriksa. Ia mengangguk pada Davin, lalu berjalan pergi, diikuti Davin yang terpaku.
Beberapa menit kemudian, yang terasa seperti berjam-jam, terdengar suara keributan dari arah tangga. Teriakan, langkah kaki tergesa-gesa, alarm samar. Davin menegang. Ia tahu.
Tak lama kemudian, perawat kembali, wajahnya pucat pasi. Ia menatap Davin dengan ekspresi kengerian dan kebingungan.
"Tuan Davin..." Perawat itu tergagap. "Nona Nita... ditemukan... di dasar tangga darurat. Kepalanya terbentur. Dia... meninggal."
Davin merasakan kakinya lemas. Ia sudah tahu. Tapi mendengar konfirmasi itu tetap menghantamnya.
Keesokan paginya, seluruh panti geger. Kematian Nita menjadi topik utama. Polisi dipanggil. Davin diinterogasi lagi oleh Inspektur Bram dan Dr. Amelia.
"Davin," kata Inspektur Bram. "Anda mengatakan Anda melihat kejadian ini di televisi Anda?"
Davin mengangguk. "Ya. Rekaman Nita jatuh. Sama persis."
"Tapi Tuan Davin," Dr. Amelia menyela, tegang. "Anda berada di sini semalaman, dalam pengawasan ketat. Rekaman CCTV menunjukkan Anda tidak pernah keluar kamar. Tidak ada celah."
Davin menatap Dr. Amelia. "Saya tahu, Dokter. Saya tidak mungkin melakukannya. Tapi televisi itu... ia menunjukkannya!"
Inspektur Bram dan Dr. Amelia saling pandang. Ada keraguan jelas di mata mereka. Bagaimana Davin tahu detail kematian Nita? Ini anomali yang tak bisa dijelaskan dengan diagnosis DID saja.
Davin merasa sedikit lega di tengah kengeriannya. Setidaknya, ini bukti bahwa ia tidak berhalusinasi. Namun, pertanyaan mengerikan muncul: Jika bukan dia, siapa? Dan mengapa televisi itu terus menunjukkan kematian kerabatnya?
Kematian Nita telah membuka retakan besar dalam keyakinan semua orang. Termasuk Dr. Amelia. Ia mulai bertanya, mungkinkah ada sesuatu di luar ranah psikologi?
Davin kembali ke tempat tidurnya, kelelahan. Televisi itu, sebuah kotak tua yang membisu, kini terasa seperti entitas yang mengawasinya. Pertunjukan belum berakhir. Episode selanjutnya, Davin tahu, akan melibatkan dirinya lebih jauh ke dalam misteri yang mengancam kewarasannya.