Masukan nama pengguna
Bab 1: Aroma dari Masa Lalu
Dewi selalu memiliki ketertarikan yang aneh pada barang-barang tua. Baginya, setiap artefak, setiap perabot usang, setiap perkakas berkarat, bukan sekadar objek mati; ia adalah sebuah kapsul waktu, menyimpan gema dari kehidupan yang pernah menyentuhnya, bisikan-bisikan dari masa lalu yang tersembunyi. Ia bukan sekadar kolektor, ia seorang arkeolog jiwa, berusaha menggali cerita-cerita yang tak tertulis, merasakan jejak-jejak emosi yang melekat pada benda dan tempat.
Pencarian akan "kisah" yang unik inilah yang membawa Dewi jauh dari hiruk pikuk kota besar, menelusuri jalan-jalan sempit di pedesaan, hingga ke sebuah desa terpencil yang namanya bahkan jarang tercantum di peta wisata. Di sanalah, di tengah hamparan hijau persawahan dan bisikan angin dari hutan yang lebat, ia menemukan sebuah rumah tua bergaya tradisional yang telah lama tak berpenghuni. Rumah itu bukan bangunan megah atau artistik, melainkan sebuah struktur kayu yang kokoh namun usang, dengan atap genteng tanah liat yang ditumbuhi lumut dan jendela-jendela kayu yang sebagian besar tertutup debu tebal. Pagar kayu di depannya telah lapuk dimakan usia, dan pekarangannya dipenuhi ilalang tinggi.
Bagi sebagian orang, rumah itu mungkin tampak menyeramkan, terlupakan, bahkan angker. Namun, bagi Dewi, aura misterius itulah yang memanggilnya. Rumah itu memiliki banyak ruangan dan lorong yang membentuk labirin di dalamnya, seolah sengaja dirancang untuk menyimpan rahasia. Dinding-dinding kayu jati tua memancarkan aroma tanah dan kelembapan yang khas, sebuah bau yang Dewi identifikasi sebagai "bau sejarah." Ia bisa merasakan cerita yang tak terucapkan merembes dari setiap serat kayu, setiap retakan di lantai.
Negosiasi pembelian rumah tidak terlalu sulit. Pemiliknya, seorang lelaki tua yang tinggal di ujung desa, tampak lega ada yang mau membeli properti yang telah lama terbengkalai itu. Ia hanya berpesan samar-samar, "Rumah ini punya nyawa, Nak. Jaga dia baik-baik, jangan kau ganggu tidurnya." Dewi tersenyum, menganggapnya sebagai nasihat khas orang tua yang penuh mitos, tak terlalu dihiraukan.
Setelah proses administrasi selesai, Dewi dengan semangat membara memulai proyek pribadinya: membersihkan dan merapikan rumah itu, mengubahnya menjadi galeri sekaligus tempat tinggal yang bisa mengakomodasi koleksi artefak eklektiknya. Ia bekerja sendirian, hari demi hari, membersihkan sarang laba-laba, menyapu debu tebal, dan membuka jendela-jendela yang telah lama tertutup. Cahaya matahari yang masuk ke dalam ruangan yang dulunya gelap gulita memberikan sebuah perasaan pembaharuan, seolah rumah itu perlahan-lahan bernapas kembali.
Saat membersihkan sebuah kamar tidur utama yang terletak di bagian belakang rumah, yang paling jauh dari pintu depan, Dewi menemukan sebuah lemari pakaian tua yang terbuat dari kayu jati berukir rumit. Lemari itu sangat besar dan berat, tampaknya sudah tidak pernah digeser selama puluhan tahun. Di dalamnya, ia menemukan beberapa kain batik usang dan perhiasan kuno yang sudah berkarat, peninggalan dari penghuni lama.
Namun, di balik lemari itulah, Dewi merasakan sesuatu yang berbeda. Ada sebuah celah samar di dinding belakang lemari, seolah ada bagian dinding yang tidak rata. Rasa penasaran mengalahkan rasa lelahnya. Dengan susah payah, ia menggeser lemari pakaian itu. Suara gesekan kayu tua yang berat memenuhi ruangan yang sunyi.
Terungkaplah sebuah pintu kecil yang terbuat dari kayu yang sama dengan dinding, nyaris tak terlihat karena tersamarkan dengan ukiran dan warna kayunya. Pintu itu tidak memiliki gagang, hanya sebuah tuas kayu kecil yang tersembunyi. Jantung Dewi berdebar kencang. Sebuah ruang rahasia. Ini adalah penemuan yang ia impikan.
Dengan tangan gemetar, ia memutar tuas kayu itu. Pintu itu berderit pelan saat terbuka, mengeluarkan suara yang mengiris kesunyian. Gelap. Sangat gelap. Udara yang keluar dari celah itu terasa sangat pengap dan lembap, seperti udara yang sudah lama tidak bergerak, terkunci di dalam. Dewi menyalakan senter ponselnya dan menyinari ke dalam.
Ruangan itu kecil, hanya sekitar dua kali tiga meter, tanpa jendela. Dindingnya terbuat dari kayu yang sama, dan lantainya hanya berupa tanah yang lembap. Tidak ada perabot, tidak ada apa pun kecuali beberapa noda gelap di dinding dan lantai yang terlihat seperti jamur atau lumut.
Namun, yang paling mencolok adalah sebuah aroma. Sebuah aroma melati yang sangat kuat dan memabukkan langsung menyergap indra penciuman Dewi, begitu pekat hingga membuatnya tersentak mundur. Aroma itu bukan harum melati segar yang menenangkan, yang sering ia cium di taman atau dari persembahan bunga. Sebaliknya, ini adalah bau melati yang telah layu, busuk, dan sangat pekat, seperti konsentrat dari ribuan bunga melati yang telah membusuk di sana selama bertahun-tahun. Baunya begitu kuat hingga membuat kepalanya pusing dan tenggorokannya tercekat.
Dewi merasa aneh. Bagaimana bisa bau melati, bahkan melati busuk, sepekat ini di ruangan kosong? Itu adalah bau yang tidak ia kenal, sebuah perpaduan antara wangi bunga yang dulu manis, kini bercampur dengan bau tanah basah, dan sesuatu yang busuk, seperti bau daging yang membusuk samar. Rasa penasaran dan kegelisahan bercampur aduk dalam dirinya. Ia melangkah masuk, membiarkan senter ponselnya menyinari setiap sudut. Tidak ada sumber bau yang terlihat. Tidak ada tumpukan bunga melati, tidak ada tanaman.
Ia mencoba menarik napas dalam-dalam, berharap bau itu akan terbiasa di hidungnya. Tapi tidak. Bau itu justru terasa semakin kuat, menusuk hingga ke otaknya, meninggalkan rasa pahit di lidahnya. Dewi tahu, penemuan ruang rahasia ini bukan sekadar penemuan arsitektur biasa. Ada sesuatu yang lain di sini. Sesuatu yang telah lama tersembunyi, dan kini, dengan aroma melati busuk yang menyesakkan ini, ia telah menarik perhatiannya.
Bab 2: Aroma yang Menempel dan Bisikan yang Menggema
Keesokan harinya, Citra memutuskan untuk membersihkan ruangan rahasia itu secara menyeluruh. Ia membawa ember berisi air sabun, sikat, dan lap. Aroma melati busuk itu masih ada, meskipun tidak sepekat semalam. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa bau itu hanya sisa dari kelembapan atau jamur yang terkumpul di ruang tertutup.
Namun, begitu ia mulai menyikat dinding dan menyeka lantai, aroma melati busuk itu justru semakin kuat. Itu bukan sekadar bau dari permukaan; itu seolah merembes dari setiap pori-pori kayu, setiap retakan di dinding, bahkan dari tanah yang lembap di lantai. Semakin ia membersihkan, semakin pekat bau itu, hingga membuat kepalanya pusing dan perutnya mual. Ia harus sering keluar dari ruangan itu untuk menghirup udara segar, namun bau itu seolah telah menempel pada dirinya, ia bisa menciumnya di mana-mana.
Aroma itu tidak hanya terbatas di ruangan rahasia. Dalam beberapa hari berikutnya, Dewi menyadari bahwa aroma melati busuk itu telah menyebar ke seluruh rumah. Setiap kali ia masuk, bau itu akan langsung menyergapnya. Bahkan saat ia tidur, ia bisa mencium bau itu dari bantal dan selimutnya, seolah bau itu telah meresap ke dalam kain. Ia mencoba mencuci semua seprai dan pakaiannya, tetapi bau itu tetap melekat, samar namun persisten, seperti sebuah jejak yang tak bisa dihapus.
Yang lebih mengganggu adalah efek fisiknya. Dewi mulai merasakan mual yang konstan, terutama setelah bangun tidur atau saat ia menghabiskan waktu lama di dalam rumah. Pusing yang berputar-putar seringkali menyerang tiba-tiba, membuat pandangannya kabur. Ia juga mengalami kesulitan bernapas, seperti ada tekanan di dadanya, seolah paru-parunya dipenuhi oleh aroma melati busuk itu. Tubuhnya terasa lemas dan ia sering kelelahan, padahal ia tidak melakukan pekerjaan berat.
Bersamaan dengan gejala fisik, halusinasi visual Dewi mulai muncul. Awalnya hanya samar, seperti bayangan seorang wanita yang melintas cepat di sudut matanya. Sosok itu selalu tampak mengenakan kain batik lusuh, rambutnya terurai panjang, dan gerakannya sangat halus, nyaris tak terlihat. Ia akan muncul di koridor panjang, di ambang pintu, atau di balik jendela, kemudian menghilang begitu Dewi mencoba memfokuskan pandangannya. Dewi akan mengusap matanya, mengira itu hanya kelelahan atau ilusi optik.
Namun, frekuensi kemunculan bayangan itu semakin meningkat. Suatu malam, saat Dewi sedang membaca buku di ruang tamu, ia melihat bayangan wanita itu berdiri di ujung koridor, menatapnya. Sosok itu tidak bergerak, hanya berdiri diam, mengawasinya. Dewi menahan napas, jantungnya berdebar kencang. Ia mencoba memanggil, "Siapa di sana?" Namun bayangan itu hanya berkedip dan lenyap.
Kemudian, halusinasi pendengaran mulai menyusul. Awalnya, itu hanya bisikan-bisikan samar, seperti gumaman doa atau tangisan lirih yang bercampur dengan aroma melati busuk itu. Suara-suara itu terdengar sangat pelan, seolah datang dari jarak yang jauh, namun memenuhi keheningan rumah. Dewi akan menghentikan aktivitasnya, mencoba melacak sumber suara, tetapi selalu tidak ada. Ia mencoba merekamnya dengan ponsel, namun rekaman hanya menunjukkan keheningan.
Suatu malam, saat ia sedang membersihkan perabot antik di kamar tidur utama, suara bisikan itu menjadi lebih jelas, lebih personal. Ia mendengar gumaman yang menyerupai namanya, "Dewi..." Suara itu terdengar sedih, memohon, seolah ada yang mencoba menarik perhatiannya. Dewi terkesiap, menjatuhkan lapnya. Ia menoleh ke arah ruang rahasia, jantungnya berpacu kencang. Ia merasa bahwa suara itu datang dari sana, dari dalam kegelapan yang penuh aroma melati busuk itu.
Dewi mulai menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah, terobsesi untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia merasa bahwa aroma melati busuk, bayangan wanita, dan bisikan-bisikan itu adalah petunjuk, sebuah puzzle yang harus ia pecahkan. Ia mulai meneliti sejarah rumah itu lebih dalam. Ia mencari catatan-catatan lama di kantor desa, bertanya kepada penduduk lokal yang paling tua. Namun, sebagian besar dari mereka hanya meliriknya dengan tatapan waspada ketika ia menyebutkan rumah itu atau ruang rahasia, enggan untuk bercerita. Beberapa hanya mengatakan samar-samar bahwa rumah itu "punya cerita sedih."
Ia menemukan beberapa legenda lokal tentang melati, bukan hanya sebagai bunga keindahan atau kesetiaan, tetapi juga sebagai simbol kematian yang tak wajar atau jiwa yang terperangkap. Dalam beberapa tradisi, melati ditanam di makam untuk menenangkan arwah, tetapi jika bunga itu membusuk atau baunya berubah menjadi tidak menyenangkan, itu bisa menjadi pertanda adanya jiwa yang tidak tenang atau dendam yang belum terbalaskan.
Semakin dalam ia menggali, semakin ia merasa terikat pada misteri ini. Tidurnya menjadi sangat terganggu, seringkali diselingi mimpi-mimpi yang aneh dan buram, di mana ia mencium bau melati busuk dan mendengar tangisan yang tak berujung. Rasa mual dan pusing menjadi teman setianya. Ia tahu bahwa ia sedang berjalan di ambang batas kewarasan, namun ada sebuah dorongan tak kasat mata yang terus menariknya lebih dalam, seolah aroma melati itu adalah benang merah yang tak terlihat, mengikatnya pada sebuah tragedi yang tak terucapkan.
Dewi mulai merasakan bahwa ia tidak hanya mencium bau busuk, tetapi ia juga merasakan penderitaan. Ia merasa seolah-olah ia telah membuka sebuah portal, dan kini, ia tidak bisa menutupnya. Wanita dalam halusinasinya, ia yakin, adalah penghuni lama rumah ini, seorang yang meninggal secara tragis dan terperangkap di dalam ruang rahasia itu, dan kini mencoba berkomunikasi dengannya melalui aroma dan bayangan, melalui bisikan dan rintihan. Obsesi Dewi telah melampaui sekadar rasa penasaran; itu telah menjadi sebuah ikatan, sebuah panggilan yang tak bisa ia tolak.
Bab 3: Terkunci dalam Wangi Busuk
Aroma melati busuk itu kini tak lagi sekadar bau yang menyengat, ia telah menjadi sebuah invasi tak kasat mata. Ia merasuki setiap serat udara di rumah, menempel di dinding-dinding kayu, meresap ke dalam kain gorden, dan yang paling mengerikan, merasuki indra perasa Dewi. Segala sesuatu yang ia makan dan minum, mulai dari nasi hangat, sayur bening, hingga air putih murni, terasa dan berbau pahit dan busuk, persis seperti aroma melati yang telah layu dan membusuk itu. Ia bahkan bisa merasakan semacam residu lengket di lidahnya setelah makan, seolah ia baru saja menjilat tumpukan bunga melati yang telah lama mati.
Kehilangan nafsu makan adalah konsekuensi yang tak terhindarkan. Dewi mencoba memaksakan diri, namun setiap suapan terasa seperti menelan racun. Tubuhnya mulai protes. Ia kehilangan berat badan dengan cepat, pipinya cekung, dan kulitnya tampak pucat pasi. Lingkaran gelap di bawah matanya semakin pekat, kontras dengan sorot matanya yang kini memancarkan kelelahan kronis dan sebuah kegelisahan yang mendalam. Rasa mual menjadi teman setianya, ia seringkali harus berlari ke kamar mandi, meskipun tidak ada yang bisa ia muntahkan.
Selain itu, halusinasi yang dialaminya semakin intens dan realistis. Bayangan samar wanita itu kini bukan lagi sekadar kilasan di sudut mata. Ia muncul lebih sering, lebih jelas, dan kadang-kadang, berhenti sejenak, seolah mengawasinya. Dewi melihatnya di koridor, di ambang pintu kamar, bahkan di samping tempat tidurnya saat ia mencoba memejamkan mata. Wanita itu selalu mengenakan kain batik lusuh yang sama, rambutnya terurai panjang menutupi sebagian wajahnya yang buram, namun ia bisa merasakan sorot mata kesedihan yang tak terlukiskan dari balik helainya.
Suatu malam, saat Dewi sedang mencoba tidur di kamarnya, ia merasakan sesuatu yang aneh di kakinya. Bukan sentuhan fisik, melainkan sebuah sensasi dingin yang menusuk, seperti ada hembusan udara dingin yang melewati kulitnya, disusul dengan bau melati busuk yang pekat. Dewi tersentak, membuka mata. Tidak ada siapa-siapa. Namun, ia bisa merasakan udara di sekitarnya terasa lebih dingin, dan aroma melati busuk itu kini terasa begitu dekat, seolah ada yang berdiri tepat di samping tempat tidurnya. Rasa dingin itu menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya menggigil meskipun cuaca tidak dingin.
Bisikan-bisikan pendengaran juga menjadi lebih spesifik dan seringkali menyebut namanya. "Dewi..." Suara itu terdengar lirih, serak, namun jelas, seolah berasal dari dalam kepalanya sendiri. Kadang, bisikan itu berupa gumaman yang tidak jelas, seperti seseorang yang sedang berbicara dalam tidur, atau meratap pelan. Ia bahkan sesekali mendengar suara batuk yang tercekik dan rintihan yang sangat pilu, seolah seseorang sedang menderita di dekatnya, tercekik oleh sesuatu yang tak terlihat. Suara-suara itu akan muncul secara acak, di tengah kesunyian, membuat Dewi selalu dalam keadaan tegang, kupingnya menajam, dan matanya terus mencari sumber yang tak ada.
Dewi tahu ia sedang dalam bahaya. Ini bukan lagi sekadar rumah angker. Ini adalah sebuah penyerangan psikologis yang perlahan-lahan mengikis kewarasannya. Ia tidak bisa lagi mengabaikannya. Ia mulai mengisolasi diri. Teman-temannya di kota besar mencoba menghubunginya, namun Dewi selalu mencari alasan untuk tidak menjawab telepon atau membalas pesan. Ia tidak ingin mereka melihat kondisinya, atau lebih buruk lagi, menganggapnya gila jika ia menceritakan apa yang ia alami. Aroma melati yang menempel padanya juga membuatnya enggan bertemu orang lain, karena ia yakin mereka bisa menciumnya.
Obsesinya untuk mengungkap misteri ini semakin tak terkendali. Dewi merasa bahwa dengan memahami apa yang terjadi, ia bisa menghentikan semua ini. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya membaca buku-buku sejarah lokal yang ia temukan di perpustakaan desa kecil. Ia mencari tahu tentang pemilik-pemilik lama rumah itu, tentang desas-desus atau tragedi yang mungkin pernah terjadi di desa terpencil ini. Informasi sangat minim, catatan-catatan lama seringkali tidak lengkap atau samar.
Namun, ia menemukan beberapa cerita rakyat dan kepercayaan lokal yang menarik. Ada beberapa legenda tentang wanita-wanita yang "hilang" atau "meninggal secara misterius" di daerah pedalaman ini pada masa lampau, terutama mereka yang dianggap memiliki kecantikan luar biasa atau terlibat dalam praktik-praktik tertentu. Melati, dalam beberapa kepercayaan, memang digunakan dalam ritual pengantin atau sebagai persembahan kecantikan, namun juga bisa menjadi simbol kematian yang tidak wajar jika baunya berubah. Konon, arwah wanita yang meninggal dalam keadaan tragis atau tidak dihormati seringkali terperangkap di tempat kematian mereka, dan jika mereka meninggal di dekat bunga melati, aromanya akan berubah menjadi busuk, menjadi tanda keberadaan mereka.
Suatu sore, saat Dewi sedang menggeledah tumpukan barang antik yang belum ia sentuh di salah satu sudut ruang tamu, ia menemukan sebuah kotak kayu kecil yang usang. Di dalamnya, ia menemukan beberapa jepit rambut kuningan tua dengan ukiran bunga melati yang sangat halus. Jepit rambut itu terlihat sudah berumur puluhan tahun, bahkan mungkin seabad lebih. Dewi memegang jepit itu di tangannya. Dingin. Dan dari jepit rambut itu, ia merasakan gelombang kesedihan yang luar biasa menyelimutinya, disusul dengan aroma melati busuk yang tiba-tiba meledak di hidungnya. Rasa pahit di lidahnya menjadi sangat intens, seolah ia baru saja memakan lumpur. Ia yakin jepit rambut ini milik wanita dalam halusinasinya. Ini adalah sebuah koneksi, sebuah jembatan yang tak terlihat antara dirinya dan jiwa yang menderita itu.
Dewi merasa semakin yakin. Wanita dalam halusinasinya tidak hanya ingin diperhatikan; ia ingin ceritanya didengar. Ia ingin kebenaran diungkap. Aroma melati busuk itu, bayangan-bayangan itu, bisikan-bisikan itu, adalah sebuah jeritan dari masa lalu, sebuah penderitaan yang terperangkap dan mencari keadilan. Dan ia, Dewi, secara tidak sengaja telah menjadi pendengar satu-satunya, seorang saksi yang ditunjuk oleh takdir. Beban itu terasa sangat berat, namun di tengah rasa takut yang mencekik, ada sebuah tekad yang membara dalam dirinya. Ia harus mencari tahu. Ia harus membantu wanita itu. Meskipun ia tahu, perjalanan ini mungkin akan merenggut kewarasannya sepenuhnya.
Bab 4: Memori yang Terkubur
Mimpi. Mimpi-mimpi buruk menjadi siksaan yang paling kejam bagi Dewi. Setelah penemuan jepit rambut kuningan dan sensasi dingin di kakinya, setiap malam adalah sebuah perjalanan mengerikan ke masa lalu yang bukan miliknya. Ia tidak lagi melihat bayangan samar atau mendengar bisikan yang terputus-putus; ia mengalami sendiri tragedi yang menimpa wanita di ruang rahasia itu, seolah ia adalah mata dan telinga wanita tersebut.
Mimpinya selalu dimulai dengan suasana yang sama: bau melati yang segar dan semerbak memenuhi udara, sebuah kontras yang menusuk hati dengan bau busuk yang ia alami di kehidupan nyata. Ia melihat dirinya (atau lebih tepatnya, ia melihat melalui mata wanita itu) di sebuah rumah yang sama, namun dalam kondisi yang jauh lebih terawat dan hidup. Ada suara tawa, obrolan, dan kadang suara musik tradisional yang lembut. Wanita itu, yang kini ia tahu namanya adalah Ratna, adalah seorang penari yang cantik dan lincah, dengan rambut panjang terurai dan jepit melati yang sama di sanggulnya. Ia adalah penjual bunga melati yang populer di desanya, dikenal karena keanggunan dan kebaikannya.
Namun, mimpi itu dengan cepat berubah menjadi mimpi buruk yang mengerikan. Dewi merasakan ketakutan yang mencekik saat Ratna (dirinya dalam mimpi) diseret masuk ke dalam ruang rahasia itu oleh dua sosok pria yang wajahnya buram, bayangan gelap tanpa identitas yang jelas. Mereka bukan hantu, melainkan orang-orang nyata yang melakukan tindakan keji. Aroma melati yang segar dalam mimpi itu tiba-tiba berubah menjadi aroma melati busuk yang sangat pekat, persis seperti yang ia cium di dunia nyata.
Dewi (sebagai Ratna) merasakan sakit yang luar biasa. Ia dikurung, terikat, dan dipaksa untuk tetap diam. Ia melihat melalui mata Ratna bagaimana hari-hari berubah menjadi minggu-minggu dalam kegelapan dan isolasi. Ia merasakan rasa lapar dan haus yang menusuk. Ia mendengar rintihan dan tangisan Ratna yang pilu, suara batuk yang tercekik yang semakin parau seiring berjalannya waktu. Dewi bisa merasakan dinginnya tanah di bawah tubuh Ratna, merasakan kelembapan yang merembes ke tulang, dan keputusasaan yang tak berujung. Ia melihat Ratna memetik kelopak-kelopak melati yang tersisa di rambutnya, mencoba mencari kelegaan, namun kelopak-kelopak itu layu dan membusuk di tangannya.
Puncak kengerian mimpi itu adalah saat Ratna meninggal. Dewi merasakan napas Ratna yang terakhir, tercekik oleh debu dan kelembapan, tubuhnya bergetar hebat, dan matanya menatap kosong ke langit-langit ruang rahasia. Pada saat kematian itu, bau melati busuk meledak dengan intensitas yang tak tertahankan, memenuhi seluruh keberadaan Dewi, seolah ia sendiri yang sedang mengalami kematian itu. Ia terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhnya basah oleh keringat dingin, dan bau melati busuk itu kini tak hanya ada di udara, tetapi terasa merasuki setiap serat tubuhnya, seolah ia sendiri yang telah menjadi kuburan berjalan.
Mimpi-mimpi ini adalah konfirmasi yang mengerikan. Dewi kini yakin: ia tidak gila. Apa yang ia alami adalah memori yang ditransmisikan, sebuah rekaman penderitaan dari seorang wanita bernama Ratna, yang telah meninggal secara tragis di dalam ruang rahasia itu, dan jiwanya terperangkap di sana, berteriak meminta keadilan melalui aroma, suara, dan bayangan. Jepit rambut yang ia temukan adalah milik Ratna, sebuah benda yang menyimpan jejak jiwanya.
Rasa takut Dewi berubah menjadi kemarahan yang membara dan rasa kasihan yang mendalam. Kemarahan terhadap orang-orang yang telah melakukan perbuatan keji itu, dan kasihan terhadap Ratna yang tak pernah menemukan kedamaian. Ia merasa sebuah beban berat di pundaknya, sebuah tanggung jawab moral untuk memberikan kedamaian yang layak bagi jiwa yang telah lama menderita. Ia tidak bisa lagi meninggalkan rumah ini atau mengabaikan Ratna.
Pada suatu pagi, setelah mimpi terburuknya, Dewi memutuskan untuk mengambil langkah ekstrem. Ia tidak bisa lagi membiarkan Ratna terperangkap. Ia harus menemukan cara untuk membebaskannya, untuk memberikan Ratna kedamaian. Ia tidak tahu harus mulai dari mana, namun ia tahu ia tidak bisa melakukannya sendiri. Ini bukan masalah logika atau ilmu pengetahuan; ini adalah masalah spiritual.
Dewi teringat akan sebuah cerita yang ia dengar dari penduduk desa tentang Mak Minah, seorang sesepuh yang tinggal di ujung desa, jauh di dekat hutan. Mak Minah dikenal sebagai peramal, penyembuh tradisional, dan orang yang memiliki pemahaman mendalam tentang alam gaib dan roh-roh leluhur. Orang-orang desa sangat menghormati dan sedikit takut padanya.
Meskipun ragu, Dewi merasa Mak Minah adalah satu-satunya harapannya. Dengan tubuh yang masih lemah dan pikiran yang kacau, Dewi memutuskan untuk menemui Mak Minah. Ia membawa jepit rambut kuningan Ratna di sakunya, sebuah jembatan nyata antara dirinya dan jiwa yang menderita itu.
Perjalanan menuju rumah Mak Minah terasa sangat panjang. Setiap langkah terasa berat, seolah ia membawa beban Ratna di pundaknya. Aroma melati busuk seolah mengikutinya, menempel di setiap helaan napasnya. Bisikan-bisikan dan bayangan wanita itu juga sesekali muncul, seolah Ratna sedang menemaninya, atau bahkan memohon pertolongan dari Mak Minah.
Ketika ia tiba di rumah Mak Minah, ia menemukan sebuah gubuk sederhana yang diselimuti tanaman merambat, dikelilingi oleh berbagai jenis tanaman obat dan bunga. Aroma rempah dan dupa samar memenuhi udara, berbeda jauh dari bau melati busuk yang kini menempel di hidung Dewi. Mak Minah adalah seorang wanita tua dengan rambut putih yang diikat rapi, wajahnya penuh kerutan namun matanya memancarkan kebijaksanaan dan ketenangan yang luar biasa, seolah ia telah melihat segalanya.
Mak Minah menatap Dewi yang terlihat kacau. Tanpa Dewi perlu berbicara banyak, Mak Minah hanya mengangguk pelan. "Aku sudah menunggumu, Nak Dewi. Aroma itu... aku bisa menciumnya dari jauh. Jiwa itu... dia sudah lama mencari penolong."
Air mata mengalir deras di pipi Dewi. Mak Minah tidak menganggapnya gila. Mak Minah memahaminya. Rasa lega yang luar biasa membanjiri dirinya, bercampur dengan ketakutan akan kebenaran yang akan ia dengar. Dewi menyerahkan jepit rambut kuningan itu kepada Mak Minah. Mak Minah mengambilnya, memejamkan mata sejenak, dan menghela napas panjang.
"Dia adalah Ratna," kata Mak Minah, suaranya tenang namun jelas. "Seorang penari dan penjual bunga melati. Dia sangat cantik, dan banyak yang iri padanya. Beberapa puluh tahun yang lalu... dia menghilang. Orang-orang mengira dia kabur. Tapi sebenarnya... dia dikurung di sana oleh seseorang yang jahat, karena dendam atau nafsu. Dia meninggal karena kelaparan dan penyakit. Tubuhnya disembunyikan di dalam ruang rahasia itu, agar tidak ada yang tahu. Dan arwahnya... terperangkap di sana, terus merintih, terus mencari jalan pulang."
Mak Minah menjelaskan bahwa aroma melati busuk itu adalah "napas terakhir" Ratna, jiwanya yang terbakar oleh keputusasaan dan terjebak di antara dua dunia. Bisikan dan bayangan adalah upaya putus asa Ratna untuk berkomunikasi, untuk mengungkap kebenaran. Dan Dewi, dengan kepekaannya, telah menjadi "jembatan" yang tak sengaja dibangun.
"Untuk menenangkan Ratna, Nak Dewi, kita harus melakukan ritual Menenangkan Jiwa Tak Berkubur," kata Mak Minah. "Sebuah upacara yang akan mengakui penderitaannya, memberikan penghormatan terakhir yang layak baginya, dan membantu jiwanya menemukan jalan pulang ke alam arwah. Ini akan melibatkan rempah-rempah tertentu, doa-doa kuno, dan persembahan melati segar. Tapi, ini bukan ritual mudah. Jiwa Ratna akan marah, akan sedih, akan mencoba berbicara padamu dengan lebih keras dari sebelumnya. Kamu harus kuat, Nak. Kamu harus bersiap untuk mengalami lagi penderitaannya, kali ini sebagai jembatan."
Dewi menatap Mak Minah, rasa takut bercampur dengan tekad. Ia tahu ini akan menjadi pengalaman yang jauh lebih mengerikan daripada apa pun yang pernah ia alami. Namun, ia juga tahu, ia tidak punya pilihan. Jiwa Ratna telah memilihnya. Dan ia harus membantu Ratna menemukan kedamaian, apa pun risikonya.
Bab 5: Menjelajah Kembali Kegelapan
Perjalanan pulang dari gubuk Mak Minah terasa lebih berat bagi Dewi daripada perjalanan pergi. Pikiran dan hatinya dipenuhi campuran rasa lega, ketakutan, dan sebuah tekad yang membara. Lega karena ia tidak gila, bahwa ada penjelasan, bahkan jika itu di luar nalar. Ketakutan akan apa yang akan ia hadapi dalam ritual. Dan tekad untuk membebaskan Ratna. Aroma melati busuk, yang sempat mereda saat bersama Mak Minah, kini kembali menusuk hidungnya dengan intensitas yang lebih parah, seolah-olah ia telah membawa pulang beban yang lebih besar.
Dewi langsung pergi ke rumah tua itu. Ia tidak lagi melihatnya sebagai sekadar properti, melainkan sebuah makam yang belum menemukan kedamaian. Ruang rahasia itu kini terasa seperti sebuah sumur penderitaan, dan ia adalah satu-satunya yang bisa menarik jiwa Ratna keluar dari sana.
Pertama, ia fokus pada petunjuk Mak Minah. "Kita butuh melati segar, Nak Dewi. Bukan melati yang layu, tapi yang paling segar, yang paling putih. Kita butuh dupa khusus, yang terbuat dari resin kemenyan dan kayu cendana murni. Dan kita butuh air dari tujuh sumur, yang belum pernah tersentuh tangan manusia."
Pencarian itu bukanlah hal mudah di desa terpencil. Dewi harus menjelajahi pasar-pasar tradisional yang paling tua di kota terdekat, bertanya kepada pedagang rempah yang paling berpengalaman. Mencari melati segar di musim yang tidak tepat adalah tantangan tersendiri. Ia harus menemukan seorang petani bunga yang menanam melati secara khusus, yang bersedia memetiknya di pagi buta untuk menjaga kesegarannya. Setiap kuntum melati segar yang ia kumpulkan terasa seperti membawa sepotong harapan. Aroma melati segar yang ia hirup, meskipun samar, menjadi penyeimbang bagi bau busuk yang terus membayanginya.
Mencari dupa yang tepat jauh lebih sulit. Mak Minah tidak berbicara tentang dupa biasa. "Kemenyan dan cendana harus murni, Nak Dewi. Diproses dengan tangan. Aromanya akan menembus ke alam lain." Dewi harus mencari seorang pengrajin dupa tradisional yang masih memegang teguh metode kuno. Ia menemukan seorang wanita tua di sebuah gang sempit, yang tangannya kurus dan wajahnya penuh kerutan, namun matanya memancarkan ketenangan. Wanita itu memberinya dupa yang ia cari, dibungkus dalam kain batik lusuh, dengan aroma kayu yang menenangkan dan sedikit manis.
Air dari tujuh sumur adalah yang paling menantang. Mak Minah tidak menjelaskan kenapa, hanya mengatakan, "Air suci. Untuk membersihkan." Dewi harus mengunjungi tujuh sumur tua yang berbeda di sekitar desa dan hutan, beberapa di antaranya sudah nyaris terlupakan. Ia membawa ember kecil dan mengambil air dari masing-masing sumur, merasakan dinginnya air dan keheningan di sekitar sumur tua itu. Proses ini, meskipun melelahkan, memberinya waktu untuk merenung dan mempersiapkan diri secara mental.
Selama persiapan ini, fenomena yang dialami Dewi tidak mereda, justru semakin intens. Aroma melati busuk itu kini melekat padanya seperti kulit kedua. Ia bisa menciumnya saat berbicara dengan orang lain, saat ia makan, bahkan saat ia mencoba mandi, seolah bau itu berasal dari dalam dirinya sendiri. Rasa pahit di lidahnya menjadi sebuah sensasi permanen, membuat setiap makanan terasa seperti abu.
Halusinasi visual juga menjadi jauh lebih jelas dan sering. Bayangan wanita, Ratna, kini tidak lagi hanya melintas. Ia akan muncul di samping Dewi saat ia sedang mengukur lilin untuk altar, atau berdiri di belakangnya saat ia sedang memilih wadah persembahan. Sosoknya tampak lebih padat, lebih nyata, meskipun masih sedikit transparan. Dewi bisa melihat kain batik lusuhnya berayun samar, dan rambut panjang terurainya yang menutupi sebagian wajah.
Yang paling mengganggu adalah matanya. Mata Ratna, cekung dan penuh kesedihan, kadang-kadang akan menatap langsung ke mata Dewi, sebuah tatapan yang penuh permohonan, duka, dan sedikit kemarahan. Ini bukan lagi sekadar halusinasi; ini adalah sebuah kehadiran. Dewi bisa merasakan tatapan itu, sensasi dingin yang menusuk di kulitnya seolah ada yang menyentuh.
Bisikan-bisikan juga menjadi lebih spesifik. Selain namanya, Dewi kini mendengar kata-kata yang terputus-putus, seperti "Dingin... lapar... mereka... air..." Suara itu sangat serak dan pelan, seperti bisikan dari tenggorokan yang sakit. Terkadang, ia mendengar suara Ratna terisak-isak dengan pilu, atau batuk tercekik yang begitu nyata hingga Dewi merasa paru-parunya sendiri sesak. Ia bahkan mulai mendengar suara-suara latar lain dari dalam bisikan itu, seperti suara langkah kaki pria yang berat, atau dentingan samar sesuatu seperti alat dari logam, membuat bulu kuduknya merinding.
Dewi sadar, ia berada di ambang batas kewarasan. Teman-temannya di kota mulai khawatir. Mereka mencoba datang mengunjunginya, tetapi Dewi selalu menolak dengan berbagai alasan. Ia tidak ingin mereka melihatnya dalam kondisi ini, atau mencium aroma yang menempel padanya. Ia takut mereka akan menganggapnya gila, dan ia tidak punya energi untuk menjelaskan semua yang ia alami. Satu-satunya interaksi sosialnya adalah dengan Mak Minah dan para pedagang di pasar, yang tidak menatapnya aneh karena kondisi fisiknya.
Mak Minah secara rutin mengunjunginya, membawakan ramuan herbal untuk menenangkan pikirannya dan teh pahit untuk mengatasi mual. Mak Minah tahu betapa menderitanya Dewi. "Kamu sedang menjadi jembatan, Nak Dewi," kata Mak Minah suatu sore, sambil mengusap kepala Dewi. "Semua penderitaannya mengalir melaluimu. Tapi kamu kuat. Jangan menyerah. Hanya kamu yang bisa membantunya."
Pernyataan Mak Minah menjadi satu-satunya jangkar bagi Dewi. Ia bukan gila; ia sedang menjalankan sebuah misi. Ia harus terus maju.
Malam sebelum ritual, Dewi menghabiskan waktu di dalam rumah sendirian, mempersiapkan altar di ruang rahasia. Ia meletakkan kain putih bersih di atas tanah, menata bunga melati segar dalam mangkuk-mangkuk kecil, meletakkan dupa murni di atas arang yang menyala, dan menempatkan air dari tujuh sumur dalam wadah kristal. Aroma melati segar dan dupa yang wangi kini berpadu dengan aroma melati busuk yang masih menempel, menciptakan sebuah perpaduan yang mistis dan aneh, seperti pertarungan antara kematian dan kehidupan.
Saat ia mengatur semuanya, bayangan Ratna muncul di sudut ruangan, terlihat lebih jelas dan sedikit lebih padat daripada sebelumnya. Ia tidak lagi transparan. Dewi bisa melihat detail kain batiknya yang usang, dan bahkan retakan kecil di tangannya yang kurus. Ratna tidak menatapnya dengan marah, melainkan dengan tatapan kosong yang penuh kesedihan dan kerinduan, seolah ia sedang mengamati persiapannya, menunggu. Dewi merasakan bulu kuduknya merinding, namun ia tidak lagi berteriak atau mundur. Ia hanya menatap balik, dengan rasa kasihan yang mendalam.
"Aku akan membantumu, Ratna," bisik Dewi, suaranya serak. "Aku akan membebaskanmu."
Aroma melati busuk terasa bergejolak di sekitarnya, seperti respons dari jiwa yang terperangkap, sebuah campuran kegelisahan dan sebuah harapan yang samar. Dewi tahu, malam esok akan menjadi penentuan. Ini akan menjadi pertarungan terbesarnya, bukan melawan entitas fisik, melainkan melawan penderitaan, kesedihan, dan trauma yang telah mengakar selama bertahun-tahun di dalam dinding-dinding itu, dan kini telah merasukinya.
Bab 6: Persembahan Jiwa dan Jeritan Memori
Malam ritual tiba. Langit di atas desa terpencil itu gelap gulita, tanpa bulan, hanya bertaburan bintang-bintang yang berkedip samar. Udara terasa lembap dan berat, sebuah pertanda yang tidak menyenangkan. Dewi telah mempersiapkan diri sebaik mungkin, mengenakan pakaian putih bersih yang disarankan Mak Minah, rambutnya diikat rapi. Meskipun tubuhnya lelah dan gemetar, tekadnya membara di dalam hati.
Mak Minah tiba di rumah Dewi bersama dengan dua wanita tua lainnya, kerabatnya, yang akan membantu prosesi upacara. Mereka semua mengenakan pakaian tradisional sederhana, wajah mereka tenang namun penuh keseriusan, seolah mereka telah siap menghadapi apa pun yang akan terjadi. Mereka membawa beberapa alat musik tradisional kecil—sebuah suling bambu tua yang sudah menguning dan sepasang kecapi mini—yang akan mengiringi doa-doa.
Sebelum memasuki ruang rahasia, Mak Minah menatap Dewi dengan tatapan yang dalam dan penuh makna. "Kamu sudah siap, Nak Dewi?" tanyanya, suaranya rendah namun tegas. "Sekaranglah saatnya. Mereka akan marah, akan sedih, akan mencoba berbicara padamu dengan lebih keras dari sebelumnya. Mereka akan menunjukkan semua penderitaan mereka. Kamu harus kuat, kamu harus jadi jembatan mereka. Biarkan Ratna melihat jalan pulang melalui hatimu."
Dewi mengangguk, meskipun tubuhnya bergetar tak terkendali. "Saya siap, Mak. Saya harus."
Mereka semua masuk ke dalam ruang rahasia yang telah disulap Dewi menjadi altar sederhana. Hanya ada penerangan dari lilin-lilin putih tinggi yang berkedip-kedip, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari di dinding dan langit-langit yang rendah. Bau melati busuk kini bercampur dengan aroma wangi kemenyan dan rempah yang dibakar Mak Minah di atas anglo tanah liat, menciptakan sebuah perpaduan yang mistis, mencekik, dan membingungkan indra.
Mak Minah mengambil posisi di depan altar, kedua wanita pendamping duduk di sisinya, dan Dewi duduk bersila di tanah yang lembap di hadapan altar, tepat di tengah-tengah ruang rahasia. Mak Minah memejamkan mata, mengambil napas dalam-dalam, dan mulai melantunkan doa-doa kuno dalam bahasa daerah yang tidak dimengerti Dewi, sebuah melodi yang terdengar seperti nyanyian duka namun juga sarat akan harapan dan permohonan. Suara Mak Minah rendah dan dalam, memenuhi setiap sudut ruangan, seolah ia sedang berbicara langsung dengan dinding-dinding itu.
Para wanita pendamping mulai memainkan alat musik mereka. Suling bambu mengalunkan melodi yang menenangkan namun menghantui, sementara kecapi mini berpadu, menciptakan irama yang repetitif dan meditatif. Musik itu meresap ke dalam keheningan, menciptakan sebuah aura sakral yang pekat.
Dewi memejamkan mata, membiarkan melodi dan doa-doa itu merasukinya. Aroma melati busuk terasa semakin kuat dari sebelumnya, menusuk hidungnya, menyumbat paru-parunya. Ia merasakan gelombang-gelombang emosi yang kuat mengalir dari bawah tanah, dari setiap sudut ruangan. Itu adalah gelombang kesedihan yang tak tertahankan, kemarahan yang membara, keputusasaan yang menusuk, dan kerinduan yang mendalam. Ia merasakan penderitaan mereka seolah-olah itu adalah penderitaannya sendiri, sebuah kesatuan yang mengerikan. Kepala Dewi berdenyut hebat, seolah ada tekanan dari dalam yang ingin meledak.
Saat Mak Minah mengucapkan bait-bait doa yang lebih intens, suara-suara dari dinding meledak dengan intensitas yang tak terbayangkan. Itu bukan lagi bisikan samar atau rintihan tercekik. Itu adalah raungan yang memekakkan telinga, sebuah simfoni horor yang memenuhi seluruh ruang rahasia, menembus ke tulang-tulang Dewi. Ia mendengar jeritan kesakitan yang tak terhingga, tangisan keputusasaan yang pilu, suara batuk tercekik yang begitu jelas seolah ratusan jiwa sedang menderita bersamaan. Itu adalah orkestra penderitaan yang begitu nyata, begitu mendalam, sehingga Dewi merasa ia sedang berada di tengah-tengah adegan penyiksaan yang terjadi di masa lampau.
Di tengah kekacauan suara itu, bayangan-bayangan Ratna mulai muncul lebih jelas dan lebih padat dari sebelumnya. Bukan lagi satu sosok, melainkan beberapa manifestasi Ratna muncul di berbagai sudut ruangan. Mereka tampak menari-nari dengan gelisah, bergerak cepat, tangan-tangan kurus mereka seolah mencoba meraih. Dewi melihat wajah-wajah mereka dengan jelas, mata mereka yang cekung dan penuh penderitaan, mulut mereka terbuka seolah menjerit tanpa suara. Ia melihat sosok Ratna muda yang cantik tiba-tiba berubah menjadi Ratna yang kurus kering dan tersiksa, batuk-batuk darah, dan kemudian jatuh tak berdaya. Ia melihat mereka terikat, tercekik, dan terjatuh, terus-menerus mengulang momen terakhir penderitaan mereka. Beberapa bayangan bahkan tampak mencoba mendekati Dewi, tangan-tangan dingin mereka seolah ingin menyentuhnya, memohon sesuatu.
Bau melati busuk kini mencapai puncaknya, begitu pekat hingga Dewi merasa ia sendiri akan mati tercekik. Rasa pahit di lidahnya terasa seperti darah, seperti lumpur, seperti kematian itu sendiri. Ia ingin berteriak, ingin lari, namun tubuhnya terasa kaku, terpaku oleh ketakutan dan keharusan. Ini adalah puncak dari penderitaan mereka, dan ia adalah saksinya, satu-satunya yang bisa mendengarnya dengan jelas, merasakannya dengan seluruh indranya.
Mak Minah, yang tetap tenang di tengah badai itu, tiba-tiba membuka matanya dan menatap Dewi dengan tajam. "Sekarang, Nak Dewi! Berikan persembahanmu! Katakan padanya kau memahami penderitaannya!"
Dewi mengumpulkan seluruh sisa kekuatannya. Tangannya gemetar, namun ia meraih mangkuk berisi melati segar di altar. Dengan suara yang gemetar dan serak, ia mencoba berbicara di tengah raungan suara-suara itu. "Ratna... Aku... aku mengerti... aku tahu penderitaanmu..."
Ia menaburkan kelopak-kelopak melati segar itu ke udara, membiarkannya jatuh di lantai dan mengenai bayangan-bayangan Ratna. Saat kelopak melati menyentuh lantai, sebuah perubahan mulai terjadi.
Raungan suara-suara itu tidak berhenti, tetapi mulai berubah. Di antara jeritan dan tangisan, Dewi mulai mendengar bisikan-bisikan samar yang berbeda, mengucapkan terima kasih. Bisikan itu terdengar lebih tulus, lebih damai, seperti hembusan angin yang membawa pesan. Bayangan-bayangan Ratna yang tadinya terlihat tersiksa, perlahan-lahan mulai melambat gerakan mereka. Ekspresi di wajah mereka, meskipun masih buram, mulai menunjukkan sebuah kelegaan yang samar. Beberapa dari mereka bahkan terlihat menunduk, seolah membungkuk memberi hormat, sebelum perlahan-lahan mulai memudar, menghilang seperti asap yang terbawa angin, kembali ke kegelapan dari mana mereka berasal.
Aroma melati busuk yang tadinya mencekik, kini mulai meluruh, digantikan oleh aroma melati segar yang menenangkan dari bunga yang baru ia taburkan. Suara dentingan rantai dan batuk tercekik menjadi semakin samar, lalu lenyap sama sekali. Yang tersisa hanyalah rintihan yang berubah menjadi gumaman lembut, lalu bisikan terima kasih, sebelum akhirnya menghilang sepenuhnya, meninggalkan keheningan yang tebal, hanya diisi oleh suara lilin yang berkedip dan doa-doa penutup dari Mak Minah dan para pendampingnya.
Ritual itu telah mencapai puncaknya. Saat Mak Minah mengucapkan kalimat penutup doanya, Dewi merasakan beban di pundaknya terangkat, sebuah perasaan lega yang luar biasa. Ia membuka mata. Ruangan itu tampak sama, diterangi cahaya lilin, dengan altar sederhana di depannya. Namun, aura di sana terasa sangat berbeda. Ketegangan yang mencekik telah mereda, digantikan oleh sebuah perasaan damai yang aneh. Aroma melati busuk telah lenyap sepenuhnya, digantikan oleh wangi melati segar dan cendana yang menenangkan.
Ia melihat ke sudut ruangan tempat bayangan Ratna terakhir kali terlihat. Kosong. Dewi yakin. Jiwa Ratna telah menemukan jalan pulang. Ia telah dibebaskan.
Bab 7: Residu Kesunyian
Setelah Mak Minah dan kedua wanita pendampingnya berpamitan, meninggalkan rumah tua itu dalam keheningan yang dalam, Dewi tidak langsung bergerak. Ia masih duduk bersila di tanah lembap ruang rahasia, di antara sisa-sisa kelopak melati segar dan abu dupa yang mengepul samar. Ruangan itu terasa berbeda. Udara yang tadinya pekat dengan penderitaan kini terasa ringan, hampir hampa. Aroma melati busuk, yang selama berminggu-minggu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari indranya, kini benar-benar lenyap. Yang tercium hanyalah wangi melati segar yang lembut, bercampur dengan aroma dupa yang menenangkan, sebuah perpaduan yang terasa seperti desahan lega terakhir dari sebuah jiwa yang telah bebas.
Dewi menarik napas dalam-dalam, merasakan paru-parunya terisi udara yang bersih, tanpa ada sensasi sesak atau mual yang mengikutinya. Ia mengusap wajahnya yang basah oleh air mata, bukan lagi air mata ketakutan, melainkan air mata kelegaan dan kelelahan yang luar biasa. Beban yang selama ini menghimpit pundaknya, yang meracuni setiap sudut indranya, kini telah terangkat. Jiwa Ratna, yang telah lama merintih dan terperangkap, kini telah menemukan jalan pulang.
Ia memejamkan mata sejenak, membayangkan Ratna, wanita penari bunga melati yang cantik, akhirnya menari bebas di padang bunga yang tak terbatas, tanpa rantai, tanpa penderitaan. Sebuah senyum tipis terukir di bibir Dewi, senyum yang sudah lama tidak ia rasakan.
Dengan hati-hati, Dewi membereskan sisa-sisa ritual. Ia mengumpulkan abu dupa dan kelopak melati, lalu menaburkannya di taman belakang rumah, sebuah simbol pengembalian ke alam. Ketika ia menutup kembali pintu ruang rahasia, kali ini ia melakukannya dengan sebuah perasaan finalitas, bukan lagi ketakutan. Ia tahu ia telah menutup sebuah bab, sebuah siklus penderitaan yang telah berlangsung puluhan tahun.
Dewi tidak bisa tidur di ranjangnya malam itu. Ia terlalu lelah, namun juga terlalu lega. Ia memilih tidur di sofa ruang tamu, di mana udara terasa lebih lega. Untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu, ia tidak mengalami mimpi buruk. Tidak ada jeritan, tidak ada rintihan, tidak ada bayangan yang menghantuinya. Ia tidur nyenyak, sebuah tidur yang dalam dan tanpa gangguan, seperti bayi yang baru lahir.
Pagi harinya, Dewi terbangun dengan perasaan yang asing namun sangat menyenangkan: tubuhnya terasa ringan. Tidak ada lagi mual, tidak ada lagi pusing. Aroma melati busuk tidak ada. Bahkan indra perasanya telah kembali normal. Ia pergi ke dapur, mengambil segelas air putih, dan menyesapnya. Rasanya jernih, segar, tanpa rasa pahit yang selama ini menempel di lidahnya. Ia kemudian membuat secangkir teh herbal yang ia temukan di lemari. Aromanya harum, dan rasanya pahit teh yang menenangkan, bukan pahit busuk yang menjijikkan.
Rumah itu pun terasa sangat berbeda. Aura gelap dan mencekik yang selama ini menyelubunginya telah lenyap. Digantikan oleh sebuah keheningan yang damai, sebuah ketenangan yang hangat. Dewi berjalan dari satu ruangan ke ruangan lain, merasakan setiap sudut. Udara terasa bersih, ringan, dan tidak ada lagi bayangan-bayangan yang menari di sudut matanya. Ia tidak lagi mendengar bisikan-bisikan atau gumaman yang menakutkan. Rumah itu, untuk pertama kalinya sejak ia membelinya, benar-benar terasa seperti rumah.
Meskipun ia telah bebas dari teror itu, Dewi tahu ia tidak akan pernah sama lagi. Pengalaman itu telah mengukir jejak yang dalam di jiwanya. Ia telah melihat sisi gelap sejarah, merasakan penderitaan yang tak terucapkan, dan menjadi jembatan bagi jiwa yang terperangkap. Ia telah melewati sebuah perjalanan yang mengerikan, namun pada akhirnya, ia telah menemukan kedamaian, tidak hanya untuk Ratna, tetapi juga untuk dirinya sendiri.
Beberapa hari berikutnya, Dewi mulai menyusun kembali hidupnya. Ia mulai makan dengan teratur, mendapatkan kembali berat badannya. Ia kembali berinteraksi dengan dunia luar, meskipun masih dengan sedikit keraguan. Teman-temannya di kota besar yang akhirnya berhasil menghubunginya, terkejut melihat penampilannya yang jauh lebih sehat dan sorot matanya yang kini lebih tenang. Mereka mengira Dewi hanya sedang sakit atau stres berat karena proyek renovasi rumah yang melelahkan. Dewi tidak pernah menceritakan detail sebenarnya. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ia telah berbicara dengan arwah, merasakan kematiannya, dan melakukan ritual untuk membebaskannya? Mereka tidak akan pernah mengerti, dan ia tidak punya energi untuk meyakinkan mereka. Ia memilih untuk menyimpan rahasia itu rapat-rapat dalam hatinya.
Hubungannya dengan Mak Minah menjadi sebuah ikatan yang tak terucap. Mak Minah tidak pernah datang ke rumahnya lagi setelah ritual, tetapi Dewi sesekali mengunjunginya, membawakan buah-buahan atau teh. Mereka akan duduk berdua dalam keheningan, kadang hanya saling bertukar pandang yang penuh pengertian. Mak Minah akan tersenyum tipis, seolah ia bisa melihat jejak Ratna yang kini telah damai dalam diri Dewi, sebuah penghargaan diam-diam atas keberanian Dewi.
Dewi memutuskan untuk tetap tinggal di rumah itu. Rumah itu bukan lagi sumber teror, melainkan sebuah monumen pribadi, sebuah pengingat akan pengalaman transformatif yang ia alami. Ia melanjutkan renovasi rumah, kini dengan semangat yang berbeda. Ia tidak lagi hanya menata barang antik; ia menciptakan sebuah ruang yang menghormati sejarah, sebuah tempat yang kini benar-benar bersih dari bayangan masa lalu. Ia merawat taman di belakang rumah dengan cermat, menanam lebih banyak bunga melati segar, sebuah penghormatan kecil untuk Ratna.
Ruang rahasia itu ia biarkan tetap ada, namun ia tidak pernah lagi membukanya. Ia menempatkan lemari pakaian tua itu kembali di tempatnya, menutupi pintu rahasia. Itu adalah sebuah bab yang telah selesai, sebuah kisah yang telah ditutup. Sesekali, ia akan berdiri di depan lemari itu, menatapnya, merasakan keheningan di baliknya. Dan ia tahu, di sana, di balik dinding itu, ada sebuah kisah yang telah menemukan akhir yang damai.
Bab 8: Residu Jiwa dan Harmoni Baru
Waktu berlalu. Bulan-bulan berganti, musim berganti, dan rumah tua itu kini telah sepenuhnya bertransformasi menjadi sebuah kediaman yang hangat dan penuh karakter. Koleksi artefak Dewi tertata apik di setiap ruangan, menceritakan kisah-kisah bisu dari masa lalu. Ia kembali menikmati hobinya, merasakan kebahagiaan dalam setiap objek yang ia koleksi, tanpa ada lagi aura menakutkan yang menyertainya.
Namun, di balik kehidupan yang tampak normal dan tenang, ada sebuah perubahan permanen dalam diri Dewi. Ia tidak lagi sama dengan Dewi yang ambisius dan ceria sebelum ia menemukan rahasia di balik lantai bangunan kolonial itu. Pengalaman pahit dan mengerikan itu telah mengukir jejak yang tak terhapuskan di jiwanya, sebuah residu yang akan selamanya menjadi bagian dari dirinya.
Secara fisik, Dewi telah pulih sepenuhnya. Ia sehat, enerjik, dan penampilannya kembali segar. Namun, ketenangan itu adalah jenis ketenangan yang berbeda—bukan ketenangan seorang yang telah bebas dari beban sama sekali, melainkan ketenangan seorang yang telah menerima takdirnya, seorang yang telah melihat terlalu banyak dan terlalu dalam ke sisi lain realitas.
Aroma melati busuk tidak lagi menghantuinya, dan indra perasanya normal. Tetapi, ia kini memiliki kepekaan yang aneh terhadap penderitaan orang lain, sebuah empati yang mendalam yang sebelumnya tidak ia miliki. Ketika seorang teman bercerita tentang masalah pribadi mereka, Dewi bisa merasakan kesedihan mereka dengan intensitas yang luar biasa, seolah ia bisa merasakan pahitnya hidup mereka di lidahnya, seperti ia dulu merasakan pahitnya melati busuk Ratna. Ketika ia melihat atau mendengar tentang ketidakadilan, kemiskinan, atau penderitaan manusia di berita atau di sekitarnya, emosinya akan bergolak hebat, seolah ia merasakan kembali kemarahan, keputusasaan, dan rintihan dari jiwa-jiwa yang terperangkap. Ini bukan lagi halusinasi, melainkan sebuah sensitivitas emosional yang diperkuat oleh pengalamannya.
Yang paling nyata adalah pergeseran dalam hubungannya dengan tidur. Meskipun ia bisa tidur nyenyak, mimpi-mimpinya kini seringkali dipenuhi dengan simbolisme masa lalu. Ia tidak lagi melihat langsung penampakan Ratna yang disiksa, tetapi mimpinya akan terasa suram, dipenuhi warna-warna gelap yang indah, suara-suara angin yang membawa bisikan samar melati segar, atau bayangan-bayangan yang bergerak cepat di sudut penglihatannya, seperti sisa-sisa energi yang melayang. Terkadang, ia akan bermimpi tentang sebuah padang luas yang dipenuhi bunga melati, tempat ia melihat seorang wanita menari dengan anggun di antara bunga-bunga yang mekar, seolah Ratna sedang menunjukkan kebebasannya. Mimpi-mimpi ini tidak menakutkan, tetapi meninggalkan kesan yang mendalam dan melankolis, mengingatkannya pada beban yang pernah ia pikul dan kedamaian yang telah ia bantu capai.
Dewi menjadi lebih penyendiri, namun bukan lagi karena rasa takut atau isolasi, melainkan karena kedalaman pengalaman batinnya. Ia bisa berinteraksi, tersenyum, dan terlibat dalam percakapan sehari-hari. Namun, jauh di dalam, ia merasa ada dinding tak terlihat yang memisahkan dirinya dari orang lain yang tidak pernah melewati apa yang ia alami. Ia kesulitan membicarakan pengalamannya dengan siapa pun. Ia tahu mereka tidak akan pernah mengerti. Ia menemukan kedamaian dalam kesendiriannya, dalam merawat rumahnya, dan dalam merenungkan makna baru dari keberadaannya.
Hubungannya dengan Mak Minah tetap menjadi sebuah jembatan ke dunia lain. Sesekali, Mak Minah akan mengirimkan seseorang untuk mengantarkan ramuan herbal atau buah-buahan, dan Dewi akan membalasnya dengan hadiah sederhana. Tidak ada kata-kata yang diperlukan di antara mereka. Sebuah tatapan atau senyuman sudah cukup untuk memahami bahwa mereka berbagi sebuah rahasia yang tak terlukiskan.
Ironisnya, kini bunga melati menjadi sebuah simbol yang berbeda baginya. Sebelumnya, melati hanyalah bunga biasa. Sekarang, melati adalah sebuah penghormatan, sebuah pengingat akan Ratna, dan tentang penderitaan yang dapat diubah menjadi kedamaian. Setiap kali ia melihat bunga melati segar, ia merasakan keharuman yang menenangkan, sebuah bukti bahwa penderitaan telah diakui dan diistirahatkan. Bahkan koleksinya kini memiliki makna baru; setiap artefak terasa memiliki "jiwa" dan "kisah" yang perlu ia pahami, bukan hanya sekadar nilai estetika atau historis.
Namun, beban masa lalu masih menyimpan sebuah residu di dalam dirinya. Terkadang, di tengah keheningan malam, ketika angin berdesir melewati jendela, atau ia mencium aroma bunga melati dari tamannya, sebuah getaran dingin akan menjalar di tulang punggungnya. Ia akan sejenak melihat bayangan buram dari masa lalu, sekilas ingatan tentang rintihan dan aroma busuk. Itu adalah pengingat bahwa meskipun jiwa Ratna telah tenang, kisah Ratna akan selamanya menjadi bagian dari dirinya, sebuah jejak yang tak terhapuskan.
Dewi tidak lagi takut pada kegelapan atau kesendirian. Ia telah berdamai dengan sisi lain dari realitas, dengan dunia yang tidak terlihat. Ia telah menjadi penjaga dari sebuah rahasia yang mengerikan, sebuah sejarah yang tak tertulis, dan ia telah menerima peran itu dengan ketenangan yang aneh. Ia telah menjadi seorang "arkeolog jiwa" sejati, bukan hanya untuk artefak, tetapi juga untuk jiwa-jiwa yang terperangkap.
Pada akhirnya, rumah tua itu bukan hanya sebuah rumah; ia adalah sebuah monumen, sebuah tempat di mana masa lalu dan masa kini bertemu, di mana penderitaan diakui dan kedamaian ditemukan. Dan di jantung semua itu adalah Dewi, sang kolektor yang menemukan lebih dari sekadar barang antik—ia menemukan sebuah takdir, dan sebuah panggilan untuk menyembuhkan luka-luka lama, satu jejak penderitaan pada satu waktu. Ia adalah bukti hidup bahwa beberapa pengalaman, seberapa pun mengerikannya, bisa mengubah seseorang menjadi sesuatu yang lebih besar, meskipun juga lebih terbebani, dan selamanya terhubung dengan mereka yang masih bernyanyi dalam keheningan.
Bab 9: Harmony dalam Kesunyian
Waktu terus bergulir, membawa Dewi semakin jauh dari kengerian yang pernah melingkupinya. Rumah tua di desa terpencil itu kini telah bertransformasi sepenuhnya. Bukan lagi sekadar struktur kayu lapuk yang menyimpan rahasia kelam, melainkan sebuah kediaman yang hangat, hidup, dan penuh cerita. Setiap sudut rumah memancarkan aura ketenangan, seolah dinding-dinding itu sendiri telah menghela napas lega setelah sekian lama menahan penderitaan. Koleksi artefak Dewi, yang dulunya terasa seperti potongan-potongan masa lalu yang bisu, kini tampak berinteraksi satu sama lain dalam sebuah harmoni yang unik, memancarkan keindahan sejarah tanpa bayangan kelam.
Dewi sendiri, secara fisik, telah pulih sepenuhnya. Wajahnya tidak lagi tirus, lingkaran hitam di bawah matanya telah memudar, dan sorot matanya kembali memancarkan kecerdasan dan ketenangan yang menjadi ciri khasnya. Ia makan dengan normal, tidur nyenyak, dan energinya kembali melimpah. Bagi siapa pun yang melihatnya, ia adalah seorang wanita sukses yang telah berhasil mewujudkan impiannya untuk tinggal di rumah impian dan mengejar hobinya. Namun, bagi Dewi sendiri, ia tahu bahwa permukaan itu hanyalah sebagian kecil dari dirinya yang baru.
Perubahan fundamental telah terukir di jiwanya. Pengalaman pahit dan mengerikan itu telah menjadi semacam inisiasi, sebuah gerbang yang membukanya pada sebuah dimensi realitas yang sebelumnya tak ia sadari. Ia tidak lagi melihat dunia hanya dengan mata fisik, melainkan dengan sebuah kepekaan indrawi yang luar biasa, sebuah sensitivitas yang diperkuat oleh trauma dan resolusi yang telah ia alami.
Aroma melati busuk, yang pernah meracuni setiap indranya, kini benar-benar telah lenyap. Bahkan, ketika ia mencium melati segar dari taman belakangnya yang rimbun, ia merasakan sebuah keharuman yang begitu murni dan menenangkan, sebuah wangi yang kini menjadi simbol kedamaian dan pelepasan. Tidak ada lagi rasa pahit di lidahnya. Namun, indra perasanya telah berevolusi. Kini, ia bisa merasakan "rasa" emosi orang lain. Ketika seorang teman bercerita tentang kesedihan mendalam, Dewi tidak hanya mendengar ceritanya, ia bisa merasakan sebuah "pahit" yang samar di lidahnya, seperti ia merasakan kepahitan jiwa itu sendiri. Ketika ia melihat kebahagiaan sejati, ia bisa merasakan "manis" yang lembut di rongga mulutnya. Ini adalah sebuah anugerah sekaligus beban, sebuah pengingat konstan akan kerapuhan dan kedalaman jiwa manusia.
Kepekaan ini meluas ke pendengarannya. Suara-suara rintihan atau bisikan Ratna telah pergi. Namun, di tengah keramaian pasar atau keheningan malam, Dewi terkadang bisa mendengar "gema" emosi yang terperangkap dalam suara lain. Suara tangisan bayi akan terasa lebih menyayat, suara tawa yang hambar akan terasa getir, dan bisikan kemarahan akan terasa seperti dentingan rantai samar di benaknya. Ini bukan halusinasi yang menakutkan, melainkan sebuah resonansi empatik yang mendalam, membuatnya jauh lebih terhubung dengan penderitaan dan kebahagiaan kolektif manusia.
Secara visual, bayangan Ratna juga telah lenyap. Namun, Dewi kini memiliki semacam "mata ketiga" untuk aura tempat dan objek. Ketika ia mengunjungi bangunan tua atau memegang artefak kuno, ia bisa merasakan "energi" yang melekat pada mereka. Bukan lagi hantu atau penampakan, melainkan sebuah getaran samar dari peristiwa masa lalu yang pernah terjadi di sana. Ia bisa merasakan kehangatan dari sebuah rumah yang penuh kasih sayang, atau dinginnya kesedihan yang pernah menghuni sebuah ruangan. Kemampuannya sebagai kolektor artefak semakin terasah, karena ia kini tidak hanya membeli objek, melainkan juga "jiwa" yang melekat padanya.
Tidurnya, yang dulu menjadi arena siksaan, kini adalah tempat peristirahatan yang damai. Mimpi buruk telah digantikan oleh mimpi-mimpi yang simbolis dan menenangkan. Ia sering bermimpi tentang padang melati yang tak terbatas, di mana seorang wanita anggun, yang ia tahu adalah Ratna, menari dengan bebas di antara bunga-bunga yang mekar. Kadang, ia bermimpi tentang cahaya putih terang yang menarik berbagai sosok samar, seolah jiwa-jiwa sedang menemukan jalan pulang. Mimpi-mimpi ini tidak pernah menakutkan, melainkan meninggalkan kesan yang mendalam dan melankolis, sebuah pengingat akan misinya yang telah selesai dan sebuah pengakuan atas perannya sebagai jembatan.
Hubungan sosial Dewi juga berubah. Ia tidak lagi mengisolasi diri, tetapi ia menjadi lebih selektif. Ia mampu berinteraksi, tersenyum, dan terlibat dalam percakapan sehari-hari, namun ada sebuah jarak yang tak terlihat antara dirinya dan orang lain yang belum pernah melangkah ke sisi lain dari realitas. Ia menyadari bahwa pengalamannya terlalu luar biasa untuk bisa sepenuhnya dibagi atau dipahami oleh orang kebanyakan. Ia tidak mencoba menjelaskan atau meyakinkan siapa pun. Ia menemukan kedamaian dalam kesendiriannya, dalam merawat rumahnya, dan dalam merenungkan makna baru dari keberadaannya. Beberapa teman dekatnya hanya menganggapnya "lebih kalem" atau "lebih spiritual" setelah tinggal di desa.
Hubungannya dengan Mak Minah menjadi sebuah ikatan yang mendalam dan abadi, tanpa perlu kata-kata. Mereka adalah dua jiwa yang berbagi sebuah rahasia yang melampaui dunia fisik. Mak Minah sesekali akan mengirimkan orang untuk membawakan Dewi ramuan herbal penenang atau buah-buahan segar, sebuah bentuk perhatian diam-diam. Dewi akan membalasnya dengan hadiah sederhana atau kunjungan singkat, di mana mereka akan duduk berdua di teras Mak Minah, bertukar pandang yang penuh pengertian. Mak Minah tidak perlu bertanya, dan Dewi tidak perlu bercerita. Ada sebuah pemahaman yang melampaui lisan, sebuah pengakuan bahwa mereka berdua adalah penjaga dari sebuah kebenaran yang tak terucap.
Dewi tetap tinggal di rumah tua itu. Ia merawatnya dengan penuh kasih sayang, menanam lebih banyak bunga melati di taman, sebuah penghormatan abadi untuk Ratna. Ruang rahasia itu tetap tertutup, tersembunyi di balik lemari. Ia tidak pernah lagi membukanya. Itu adalah sebuah bab yang telah selesai, sebuah kisah yang telah ditutup. Sesekali, ia akan berdiri di depan lemari itu, menatapnya, merasakan keheningan di baliknya. Dan ia tahu, di sana, di balik dinding itu, ada sebuah kisah yang telah menemukan akhir yang damai, dan sebuah jiwa yang telah menemukan istirahatnya.
Makna hidup Dewi pun berubah. Ia tidak lagi hanya mengumpulkan artefak mati; ia mengumpulkan "kisah" dan "energi" yang melekat padanya. Ia mulai menulis dalam jurnal, bukan tentang koleksi fisiknya, melainkan tentang "koleksi jiwa" yang ia rasakan. Ia mencatat perasaan yang ia alami ketika memegang sebuah barang antik tertentu, atau aura yang ia rasakan di tempat-tempat bersejarah. Ini adalah bentuk baru dari arkeologi jiwanya, sebuah cara untuk memahami warisan emosional yang ditinggalkan manusia.
Ia terkadang menemukan dirinya menjadi semacam "penenang" atau "pembersih" secara tidak langsung. Ketika seorang kenalan mengeluh tentang "perasaan tidak enak" di rumah mereka yang baru dibeli, Dewi mungkin akan menyarankan mereka untuk membersihkan dengan rempah tertentu, atau menanam bunga melati di taman. Ia tidak pernah menjelaskan alasannya secara rinci, hanya mengatakan itu "baik untuk energi rumah." Dan seringkali, saran-saran sederhananya itu berhasil, membawa ketenangan yang tak bisa dijelaskan secara logis.
Dewi tidak lagi takut pada kegelapan atau kesendirian. Ia telah berdamai dengan sisi lain dari realitas, dengan dunia yang tidak terlihat. Ia telah menjadi penjaga dari sebuah rahasia yang mengerikan, sebuah sejarah yang tak tertulis, dan ia telah menerima peran itu dengan ketenangan yang aneh. Beban yang pernah ia pikul telah memberinya sebuah kedalaman yang tak ternilai, sebuah kebijaksanaan yang melampaui usianya.
Pada akhirnya, rumah tua di desa terpencil itu bukan hanya sebuah rumah; ia adalah sebuah monumen pribadi, sebuah tempat di mana masa lalu dan masa kini bertemu, di mana penderitaan diakui dan kedamaian ditemukan. Dan di jantung semua itu adalah Dewi, sang kolektor yang menemukan lebih dari sekadar barang antik—ia menemukan sebuah takdir, dan sebuah panggilan untuk menyembuhkan luka-luka lama, satu jejak penderitaan pada satu waktu. Ia adalah bukti hidup bahwa beberapa pengalaman, seberapa pun mengerikannya, bisa mengubah seseorang menjadi sesuatu yang lebih besar, meskipun juga lebih terbebani, dan selamanya terhubung dengan mereka yang masih bernyanyi dalam keheningan, kini dalam harmoni yang baru.