Masukan nama pengguna
Bab 1: Gema Masa Lalu
Bramantyo Hadi menatap piala di tangannya, pantulan cahaya panggung memudar seiring ia melangkah turun dari podium. Gemuruh tepuk tangan masih memekakkan telinga, bergema di aula megah itu. Malam ini, ia adalah pahlawan. Wartawan investigasi yang keras kepala itu baru saja menerima penghargaan tertinggi atas liputan beraninya. Liputan yang membongkar jaringan kejahatan narkoba dan korupsi skala besar, melibatkan pengusaha dan pejabat yang dulunya tak tersentuh. Empat gembong utama dari kasus ini, yang ia juluki "Empat Penjagal", kini mendekam di balik jeruji besi, semua berkat goresan pena dan keberanian Bram.
"Selamat, Bram! Kau benar-benar jurnalis sejati!" Putri Lestari, rekan sekaligus sahabat dekatnya di kantor berita, menyambutnya dengan senyum lebar. Matanya berbinar bangga. "Berkatmu, keadilan benar-benar ditegakkan!"
Bram tersenyum tipis, membalas pelukan Putri. "Kita yang melakukannya, Put. Bukan cuma aku."
"Tapi kaulah yang tak kenal takut menyelami sarang mereka," Putri menimpali, menepuk bahunya. "Sekarang, bagaimana kalau kita rayakan? Aku sudah pesan tempat di kafe favoritmu."
Sepanjang perjalanan menuju kafe, dan bahkan saat mereka duduk di sana, Bram tak bisa melepaskan perasaan aneh. Perasaan yang sudah menghantuinya selama beberapa hari terakhir: diintai. Ia seringkali merasa ada mata yang mengawasinya, bahkan di tengah keramaian. Siluet hitam yang berkelebat di sudut pandanannya, menghilang setiap kali ia menoleh. Ia mencoba mengabaikannya, menganggapnya sebagai efek samping dari adrenalin tinggi setelah menyelesaikan liputan besar, atau mungkin paranoia wajar seorang jurnalis investigasi yang kerap menerima ancaman.
"Kau melamun, Bram?" Putri menyentuh tangannya, tatapannya khawatir. "Masih memikirkan kasus itu?"
Bram menggeleng. "Entahlah, Put. Aku hanya merasa... aneh. Seperti ada yang mengawasiku."
Putri tertawa pelan. "Itu pasti efek ketenaran. Atau mungkin ancaman-ancaman iseng dari pihak yang tidak senang. Kau kan tahu risikonya. Abaikan saja. Kau terlalu lelah."
Namun, kejadian-kejadian kecil mulai mengikis ketenangan Bram. Malam itu, sesampainya di apartemen sederhana namun nyaman miliknya, ia menemukan sesuatu yang janggal. Foto orang tuanya yang selalu ia letakkan tegak di meja ruang tamu, kini terbalik menghadap dinding. Pintu lemari bukunya yang ia yakin sudah tertutup rapat, kini sedikit terbuka. Ia menghela napas, mencoba meyakinkan diri bahwa ia hanya pelupa, atau mungkin asisten rumah tangganya yang kurang teliti.
Keesokan harinya, saat ia mengambil koran pagi dari bawah pintunya, ada sebuah surat terselip di antaranya. Amplopnya tanpa nama pengirim, hanya tulisan tangan kasar di depan. Bram membukanya. Di dalamnya, ada sebuah potongan koran lama, berita tentang penangkapan "Empat Penjagal" yang ia tulis. Di sekitar wajah ketiga penjahat yang dibebaskan, ada coretan merah tebal, dan di atasnya tertulis sebuah tanda tanya besar. Di bagian bawah potongan koran itu, sebuah kalimat tertulis dengan tinta merah: "Kami tidak akan melupakan."
Jantung Bram berdebar kencang. Ia tahu, ketiga dari "Empat Penjagal" itu, Riko, Budi, dan Toni, memang sudah dibebaskan bersyarat. Berita itu sempat menjadi polemik, namun tenggelam di tengah hiruk pikuk kasus lain. Hanya satu gembong utama, si bos besar, yang masih mendekam di penjara seumur hidup.
"Put, lihat ini!" Bram bergegas ke kantor, memperlihatkan surat itu pada Putri.
Putri mengernyit. "Oh, Bram. Ini pasti ulah fans garis keras yang dendam, atau mungkin kolega salah satu penjahat itu. Wajar. Kau kan sudah sering menerima ancaman seperti ini."
"Tapi ini berbeda, Put," Bram bersikeras. "Ini terlalu spesifik. Dan kebetulan sekali ketiga penjahat itu baru bebas. Bagaimana jika mereka yang melakukannya?"
Putri mengedikkan bahu. "Mereka baru bebas, Bram. Mereka pasti ingin hidup tenang, bukan mencari masalah lagi dengan wartawan yang memasukkan mereka ke bui. Lagipula, mereka sudah bertahun-tahun di penjara. Mungkin mereka bahkan tidak tahu lagi siapa kau."
"Tapi aku tahu siapa mereka," Bram bergumam, tatapannya menerawang. "Terutama Riko, dia otak di balik jaringan IT mereka. Dia bisa melakukan apa saja."
Putri hanya menganggapnya sebagai paranoia Bram yang berlebihan. "Sudahlah, jangan terlalu memikirkannya. Aku akan menyuruh bagian keamanan untuk lebih memperketat pengawasan di kantor dan di sekitar apartemenmu. Dan kau, fokuslah pada liputan baru."
Bram mencoba mengikuti saran Putri. Ia berusaha keras untuk fokus pada pekerjaan, namun perasaan terintai itu tak pernah hilang. Setiap ia berjalan di koridor kantor yang sepi, ia merasa ada bayangan yang mengikutinya. Setiap ia sendirian di apartemennya, ia bersumpah mendengar langkah kaki samar di luar pintunya, atau bisikan yang terlalu pelan untuk ia tangkap.
Suatu malam, Bram pulang larut. Apartemennya gelap dan sunyi. Saat ia menyalakan lampu, ia merasakan hawa dingin yang menusuk. Aroma aneh yang samar tercium – bau tanah basah, seperti setelah hujan deras, bercampur dengan bau asap rokok murahan yang sangat familiar baginya. Aroma itu mengingatkannya pada penggerebekan markas rahasia "Empat Penjagal", tempat ia pernah nyaris kehilangan nyawanya.
Jantung Bram berdetak tak keruan. Apartemennya bebas rokok, dan ia tidak pernah membawa tanah masuk ke dalam rumah. Ia berjalan perlahan, memeriksa setiap ruangan. Semua tampak normal. Namun, ia melihat jendela kamarnya sedikit terbuka, padahal ia yakin sudah menguncinya sebelum berangkat kerja.
Ia menutup jendela itu rapat-rapat. Saat ia berbalik, ia bersumpah melihat siluet hitam tinggi melintas di balik tirai, lalu menghilang. Bram terpaku, napasnya tertahan. Ia berlari ke jendela, membuka tirai. Tidak ada apa-apa. Hanya kegelapan malam dan lampu-lampu kota yang berkelip.
Keringat dingin membasahi punggungnya. Ia mulai bertanya-tanya, apakah ini hanya imajinasinya yang terlalu aktif, ataukah ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan sedang terjadi di sekitarnya. Ia tahu, perasaannya ini bukan sekadar paranoia biasa. Ini adalah firasat yang dingin dan mengerikan, firasat bahwa gema masa lalu itu, kini telah kembali untuk menghantuinya.
Bab 2: Jejak di Cermin
Insomnia menjadi sahabat karib Bram. Setiap malam, ia berbaring gelisah di ranjangnya, telinganya tegang, mencoba menangkap setiap suara. Bisikan-bisikan samar itu semakin sering terdengar, seperti gumaman-gumaman dari balik dinding, atau desisan yang terlalu dekat. Aroma tanah basah dan asap rokok murahan itu kini sering tercium, bahkan di siang hari, membuat napasnya sesak dan perutnya mual. Bram mulai kesulitan membedakan antara mimpi buruk dan kenyataan.
Kejadian-kejadian aneh di apartemennya semakin intens dan personal. Sebuah buku catatan lama miliknya, yang berisi detail investigasi kasus "Empat Penjagal", yang ia simpan rapi di laci terkunci, kini tergeletak terbuka di meja dapur. Di salah satu halaman, ada tulisan kasar dengan spidol merah, "Kau tidak pernah aman." Bram ingat betul, ia tidak pernah meninggalkan spidol merah di dapur.
Ia memeriksa lacinya. Kunci lacinya masih ada di sana, tergantung rapi. Tidak ada tanda-tanda paksa. Jantung Bram berdebar tak karuan. Ini tidak mungkin hanya kebetulan. Ini bukan lagi sekadar pelupa atau angin. Ini adalah ancaman yang disengaja.
Bram segera menghubungi Putri. "Put, ini gila! Ada yang masuk ke apartemenku!" Ia menceritakan tentang buku catatan itu dan tulisan merahnya.
Putri menghela napas panjang di ujung telepon. "Bram, kau yakin? Mungkin kau sendiri yang lupa meletakkannya di sana, dan tulisan itu... apakah kau pernah punya spidol merah di dekat buku itu?"
"Tidak! Aku yakin tidak! Dan ini kasus yang sensitif! Aku tidak mungkin ceroboh!" Bram berseru, frustrasi. "Ini pasti ulah mereka! Mereka mengawasiku!"
"Dengar, Bram," Putri mencoba menenangkan. "Aku tahu kau tegang, tapi ini terdengar sangat... ekstrem. Mungkin kau harus beristirahat sebentar dari kasus-kasus berat. Otakmu butuh istirahat."
Bram merasa terasing. Bahkan Putri, yang selama ini selalu mendukungnya, kini mulai meragukannya. Ia merasa sendirian dalam menghadapi kengerian ini.
Di kantor, Bram mulai memperhatikan setiap orang di sekitarnya. Ia merasa setiap tatapan adalah pengintaian, setiap bisikan adalah konspirasi. Ia seringkali melihat siluet hitam melintas di ujung koridor kantornya, menghilang saat ia menoleh. Ia mencoba mengejar, namun selalu berakhir dengan koridor yang kosong.
"Kau terlihat pucat, Bram. Apa kau sakit?" tanya seorang rekan kerja, menatapnya khawatir.
"Aku... aku baik-baik saja," Bram berbohong, tersenyum paksa. Ia tidak ingin orang lain menganggapnya gila.
Suatu sore, saat ia sedang mengetik laporan di komputernya, layarnya tiba-tiba berubah menjadi hitam, menampilkan pesan error yang aneh. Semua file pekerjaannya, termasuk semua backup investigasi kasus "Empat Penjagal", tiba-tiba menghilang. Bram panik. Ia mencoba me-restart komputer, namun file-nya tetap tidak ada. Ia merasakan hawa dingin menjalari punggungnya. Ini jelas bukan virus biasa. Ini ulah seseorang.
Ia segera menghubungi tim IT kantor. Seorang teknisi datang, memeriksa komputernya. "Sepertinya ada serangan malware yang cukup canggih, Pak Bram," kata teknisi itu, keningnya berkerut. "Semua file Anda terenkripsi dan dihapus secara permanen. Saya tidak bisa menyelamatkannya."
Bram mengepalkan tangannya. Ia tahu siapa yang bisa melakukan ini. Riko. Otak IT dari "Empat Penjagal" itu. Pria yang ahli dalam dunia siber. Ia adalah satu-satunya yang mampu melakukannya.
Ia segera pergi ke ruang Inspektur Heru, menceritakan semua yang terjadi—tentang surat ancaman, buku catatan, dan kini, hilangnya semua data investigasinya.
Inspektur Heru mendengarkan dengan sabar, ekspresinya tenang namun tidak sepenuhnya percaya. "Bram, serangan malware bisa terjadi kapan saja. Apalagi kau wartawan terkenal, target yang empuk. Kami tidak punya bukti bahwa ini ada hubungannya dengan mantan napi itu."
"Tapi ini terlalu kebetulan, Inspektur!" Bram bersikeras. "Mereka baru bebas! Dan dataku yang hilang adalah data sensitif tentang kasus mereka!"
Inspektur Heru menghela napas. "Bram, aku tahu kau sangat berdedikasi. Tapi terkadang, dedikasi yang berlebihan bisa membuat kita melihat hal-hal yang tidak ada. Aku menyarankanmu untuk beristirahat. Tenangkan pikiranmu."
"Anda tidak percaya saya?" Bram menatapnya tajam.
"Aku percaya kau merasa terancam, Bram. Tapi aku butuh bukti konkret. CCTV di apartemenmu tidak menunjukkan siapa pun yang masuk tanpa izin. Tidak ada sidik jari asing. Tidak ada bukti fisik yang mengarah pada mantan narapidana itu." Inspektur Heru menatap Bram lurus-lurus. "Mungkin kau harus menginstal kamera pengawas di apartemenmu. Itu bisa membantu."
Bram meninggalkan kantor polisi dengan hati hancur. Bahkan Inspektur Heru, yang selama ini selalu bersamanya di lapangan, kini meragukannya. Ia merasa dikhianati. Ia terperangkap.
Malam itu, Bram membeli beberapa kamera pengawas canggih dan memasangnya di seluruh apartemennya. Ia tidak akan membiarkan "mereka" mengolok-oloknya lagi. Ia akan mendapatkan bukti.
Ia duduk di depan monitor, menonton rekaman langsung dari setiap sudut apartemennya. Ia tidak tidur. Ia tidak bisa.
Pukul 02.00 dini hari.
Ia melihatnya. Di rekaman kamera ruang tamu. Sebuah bayangan hitam samar melintas di depan jendela, terlalu cepat. Lalu, lampu di ruang tamu berkedip-kedip. Dari kamera di dapur, ia mendengar suara bisikan samar, seolah ada yang bernyanyi pelan di sana. Jantungnya berdebar kencang. Ia mencoba memperbesar gambar, mencari detail, tetapi gambar itu tiba-tiba menjadi buram, dipenuhi noise statis.
"Sialan!" Bram mengumpat. Ia menggeser tampilan ke kamera kamar tidurnya.
Di sana, di cermin di depan lemari pakaiannya, Bram melihatnya dengan jelas. Siluet hitam tinggi. Tidak bergerak. Hanya berdiri di sana, mengawasinya dari dalam cermin. Mata merah menyala, menatap langsung ke arahnya, seolah bayangan itu tahu Bram sedang melihatnya.
Bram merasakan hawa dingin yang menusuk, membuat bulu kuduknya merinding. Aroma tanah basah dan asap rokok murahan tiba-tiba menyeruak, begitu kuat hingga ia hampir muntah. Ia tahu, ini bukan ilusi. Ini nyata.
Ia ingin berteriak, ingin menunjuk, ingin merekam. Tapi tubuhnya kaku, lumpuh karena ketakutan. Ia hanya bisa menatap siluet itu, yang perlahan-lahan mengangkat tangan, dan dari bibirnya yang tak terlihat, sebuah bisikan dingin berdesir di telinga Bram, seolah langsung masuk ke dalam otaknya:
"Kau takkan pernah sendirian lagi, Bram. Kami kembali."
Siluet di cermin itu tersenyum tipis, senyum yang dingin dan mengerikan, lalu perlahan memudar, menghilang ke dalam kegelapan.
Bram ambruk dari kursinya, tubuhnya gemetar hebat. Ia tidak tahu lagi. Apakah ia sedang diteror oleh para penjahat yang dendam? Atau apakah ia benar-benar sudah gila? Ia terperangkap dalam jaring ketidakpercayaan, sendirian menghadapi kengerian yang hanya ia yang bisa melihatnya.
Bab 3: Yang Tak Terlihat, Yang Terasa
Insomnia dan paranoia kini menjadi teman akrab Bram. Setiap suara di apartemennya, sekecil apa pun, membuatnya melonjak. Setiap bayangan yang melintas di balik jendela, memicu detak jantungnya yang berkejaran. Ia menghabiskan sebagian besar malamnya menatap monitor berisi rekaman CCTV, berharap menangkap bukti yang nyata, sesuatu yang bisa ia tunjukkan kepada Putri atau Inspektur Heru. Namun, setiap kali ia melihat sesuatu yang aneh—siluet yang berkelebat terlalu cepat, lampu yang berkedip tanpa sebab, atau pintu yang seolah bergerak sendiri—rekaman itu akan mendadak buram, terdistorsi, atau bahkan menghilang begitu saja dari folder penyimpanan. Seolah ada kekuatan tak kasat mata yang sengaja menyabotase setiap usahanya.
Frustrasi menggerogoti jiwanya. Ia yakin ada yang mengawasinya, ada yang bermain-main dengan kewarasannya. Ia mulai mencoba mencari pola. Setelah insiden dengan buku catatan dan hilangnya file komputer, ia mencoba menelusuri lagi berita-berita tentang pembebasan Riko, otak IT dari "Empat Penjagal". Anehnya, setiap kali ia membuka artikel lama tentang kasus itu, atau mencari nama Riko di internet, gangguan digital di apartemennya semakin intens. Lampu akan mati mendadak, televisi menyala sendiri dengan noise statis, atau ponselnya menerima panggilan tak dikenal yang hanya berisi suara desisan.
"Ini bukan kebetulan, Put," Bram berseru pada Putri suatu pagi di kantor, dengan mata merah dan lingkaran hitam di bawahnya. "Setiap kali aku mencoba menyelidiki mereka, hal-hal aneh ini terjadi. Mereka tahu apa yang kulakukan."
Putri menatapnya dengan prihatin. "Bram, kau perlu istirahat. Aku melihatmu. Kau tidak tidur, kau tidak makan. Ini semua efek dari kelelahan ekstrem. Stres bisa membuatmu berhalusinasi."
"Ini bukan halusinasi! Aku melihat mereka! Aku mendengar mereka!" Bram hampir berteriak, suaranya parau. "Tadi malam, aku bersumpah ada yang mendorongku dari belakang saat aku mengambil minum di dapur. Aku tersandung padahal tidak ada apa-apa."
Putri menghela napas. "Mungkin kau hanya mengantuk dan kurang fokus, Bram. Atau lantai apartemenmu licin." Ia mencoba menyentuh tangan Bram, tapi Bram menariknya.
"Kau tidak percaya padaku, kan?" Bram menatap Putri dengan tatapan terluka.
"Aku percaya kau merasa terancam, Bram," Putri mencoba menjelaskan dengan sabar. "Tapi aku tidak melihat bukti konkret apa pun. Aku hanya melihat temanku yang sedang stres berat dan butuh bantuan."
Bram menggeleng. Ia tidak bisa lagi menerima penolakan itu. Ia merasa semakin terisolasi, bahkan dari sahabatnya sendiri.
Dalam keputusasaan, Bram kembali mendatangi Inspektur Heru. Ia menceritakan tentang dorongan tak kasat mata di dapur, tentang gangguan digital yang mengikuti setiap langkah investigasinya, dan tentang rekaman CCTV yang terus-menerus corrupt atau menghilang. Ia mencoba menjelaskan pola mengerikan yang ia rasakan.
Inspektur Heru mendengarkan dengan tenang, namun raut wajahnya menunjukkan keraguan yang semakin jelas. "Bram, aku sudah bilang, kami butuh bukti. Dorongan tak kasat mata? Itu bisa jadi hanya ilusi. Gangguan digital? Mungkin ada hacker lain di luar sana yang dendam padamu. Rekaman CCTV yang corrupt... itu sering terjadi pada peralatan rumah tangga."
"Tapi Inspektur, ini mereka!" Bram bersikeras, suaranya meninggi. "Aku tahu siapa yang ahli di bidang digital dari kelompok itu. Riko! Dia yang bebas! Dia bisa melakukan semua ini!"
"Kita tidak bisa menuduh seseorang tanpa bukti, Bram," Inspektur Heru menatap Bram lurus-lurus. "Terlebih lagi, dia baru bebas bersyarat. Dia pasti diawasi ketat. Mengapa dia harus repot-repot menerormu secara terang-terangan seperti ini? Itu terlalu berisiko baginya."
"Mungkin dia punya cara lain! Mungkin dia tidak ingin aku membongkar sesuatu yang lain!" Bram mencoba berargumen, pikirannya berputar cepat.
Inspektur Heru menghela napas panjang. Ia mengambil secangkir kopi dingin di mejanya. "Dengar, Bram. Aku tahu kau sangat berdedikasi. Tapi terkadang, tekanan kerja yang ekstrem bisa memicu paranoia. Kau sudah menghadapi banyak kasus berat. Aku menyarankanmu untuk mengambil cuti. Jauhi semua kasus dulu, fokus pada dirimu sendiri."
Bram terdiam. Kata-kata Inspektur Heru terasa seperti tamparan. Ia merasa diremehkan, bahkan dicap sebagai orang yang tidak stabil. Ia tahu, ia tidak akan mendapatkan bantuan dari polisi. Mereka semua sudah memutuskan bahwa ia gila.
Di sisi lain kota, di sebuah kafe yang ramai, seorang pria duduk santai di sudut, menyeruput kopi hitamnya. Matanya yang tajam menatap ke layar laptop di depannya, yang menampilkan feed CCTV dari sebuah apartemen. Apartemen Bram. Pria itu adalah Riko, mantan otak IT dari "Empat Penjagal". Ia tersenyum tipis saat melihat Bram di layar, berbicara dengan Putri, terlihat sangat tegang.
Riko mengeluarkan ponselnya, mengetik beberapa baris kode dengan cepat. Di layar laptopnya, rekaman CCTV di apartemen Bram mulai berkedip, lalu berubah menjadi noise statis. Ia tahu Bram pasti melihatnya. Senyum puas terukir di bibirnya.
Beberapa saat kemudian, Putri keluar dari kantor berita, menelepon seseorang. Riko segera menghampirinya, berpura-pura menjadi pengantar paket.
"Permisi, Nona," kata Riko ramah, nadanya datar. "Apakah Pak Bramantyo Hadi ada di kantor? Ada paket untuknya."
Putri menatapnya curiga. "Pak Bram sedang cuti. Ada apa?"
"Oh, hanya dokumen penting dari klien lama," Riko tersenyum. "Kapan kira-kira beliau kembali, ya? Saya harus memastikan ini sampai ke tangannya."
"Saya tidak yakin," Putri menjawab singkat, menjaga jarak. "Dia tidak masuk beberapa hari ini."
Riko mengangguk, masih tersenyum. "Baiklah. Kalau begitu, saya titipkan saja ini pada Anda, Nona? Tolong sampaikan. Ini sangat penting." Ia menyerahkan sebuah amplop cokelat tebal yang tersegel rapi.
Putri ragu sesaat, namun akhirnya menerima amplop itu. "Akan saya sampaikan."
"Terima kasih banyak, Nona," Riko membungkuk sedikit, lalu berbalik pergi.
Putri menatap punggung Riko yang menjauh, perasaan tidak nyaman merayapi hatinya. Amplop itu terasa berat di tangannya. Ia tidak tahu, amplop itu tidak berisi dokumen penting, melainkan sebuah perangkat kecil yang akan terus memantau setiap langkah Bram. Dan orang yang baru saja berbicara dengannya adalah dalang di balik semua teror yang dialami sahabatnya.
Bab 4: Hilangnya Kontrol
Bram mengunci diri di apartemennya. Ia menatap monitor rekaman CCTV yang kembali error, dadanya naik turun karena napas yang memburu. Ia sudah terlalu lelah untuk berdebat dengan Putri atau Inspektur Heru. Mereka tidak akan percaya. Mereka semua sudah menganggapnya gila.
Ia berjalan mondar-mandir di ruang tamu, pikiran-pikirannya berpacu tak keruan. Aroma tanah basah dan asap rokok murahan kini begitu kuat, seolah ada yang baru saja merokok di dalam apartemennya. Bisikan-bisikan itu semakin jelas. "Kau takkan pernah lolos, Bram." "Kebenaran akan menguburmu." Suara-suara itu terdengar seperti paduan suara serak, kadang membentuk kalimat yang menakutkan, kadang hanya gumaman-gumaman ancaman yang tak jelas.
Bram mencoba membuang semua pikiran buruk itu, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia hanya kelelahan. Tapi setiap kali ia mencoba berpegangan pada logika, teror itu menyerang kembali.
Ponselnya berdering. Nomor tak dikenal. Bram ragu, namun akhirnya mengangkatnya. Hening. Hanya ada desisan. Lalu, suara tawa serak yang sangat pelan, namun jelas. Tawa yang sama seperti yang ia dengar di markas "Empat Penjagal" saat ia pertama kali membongkar kasus mereka. Jantung Bram mencelos. Ia langsung mematikan ponselnya, tubuhnya gemetar.
Ia tahu, mereka tidak hanya mengawasinya. Mereka bermain-main dengannya. Mereka ingin menghancurkannya.
Teror itu tidak hanya terjadi di apartemen. Bram memutuskan untuk mencoba keluar, mengambil napas, berharap suasana publik bisa meredakan paranoia. Ia pergi ke sebuah pasar tradisional, berharap keramaian akan memberinya rasa aman.
Namun, saat ia berjalan di antara kerumunan, ia merasakan sentuhan dingin di punggungnya, seperti jari-jari yang merayap. Ia berbalik cepat. Tidak ada siapa-siapa. Lalu, sebuah bisikan berdesir di telinganya, begitu dekat hingga ia bisa merasakan napas dinginnya: "Kami mengawasimu, Bram. Setiap langkah."
Bram tersentak, menoleh ke segala arah. Semua orang tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak ada yang melihatnya. Ia merasa paranoid. Keringat dingin membasahi punggungnya. Ia berlari keluar dari pasar, napasnya terengah-engah.
Ia mencoba menenangkan diri di sebuah kafe yang sepi. Ia memesan kopi. Saat barista meletakkan cangkir di mejanya, Bram melihatnya. Di busa kopi yang membentuk hati, ada sebuah simbol yang terukir samar: sebuah lingkaran dengan tiga garis vertikal di dalamnya. Itu adalah simbol yang sama dengan tato di pergelangan tangan salah satu anak buah "Empat Penjagal" yang ia tangkap. Bram menjerit kecil, tangannya gemetar hingga menumpahkan kopi panas.
Barista terkejut. "Ada apa, Pak?"
"Ini... ini simbol itu!" Bram menunjuk ke cangkir yang kini sudah berantakan. "Ini ancaman!"
Barista itu menatapnya bingung. "Simbol apa, Pak? Itu hanya latte art yang tidak sengaja."
Bram panik, ia melarikan diri dari kafe, meninggalkan kopi yang tumpah dan tatapan bingung dari barista. Ia berlari tanpa arah, pikiran-pikirannya kalut. Mereka ada di mana-mana. Mereka bisa menyentuhnya. Mereka bisa mengawasinya.
Kembali di apartemen, Bram duduk meringkuk di sudut ruang tamu, memeluk lututnya. Matanya cekung, rambutnya acak-acakan. Ia sudah tidak mandi berhari-hari. Aroma tubuhnya sendiri bercampur dengan bau tanah basah dan asap rokok, menciptakan bau busuk yang menyesakkan.
Ia mengambil ponselnya, mencoba menelepon Putri. Namun, saat ia menyalakan ponsel, ia melihat pesan baru dari nomor tak dikenal. Sebuah gambar. Gambar itu adalah dirinya sendiri, meringkuk di sudut apartemen, diambil dari salah satu kamera pengawasnya. Di bawah gambar itu, ada tulisan: "Kau terlihat menyedihkan, Bram. Sudah waktunya untuk menyerah."
Bram menjerit, melemparkan ponselnya ke dinding hingga pecah. Mereka bisa melihatnya. Mereka bisa mengendalikan kameranya. Mereka ada di mana-mana.
Putri, yang sudah tidak bisa menghubungi Bram, memutuskan untuk datang ke apartemennya. Ia mendapati pintu apartemen Bram sedikit terbuka, dan di dalamnya, kegelapan dan keheningan yang mencekam.
"Bram? Kau di dalam?" Putri memanggil, suaranya dipenuhi kekhawatiran.
Ia masuk. Apartemen itu berantakan. Pakaian berserakan, sisa makanan kering di lantai, dan bau tidak sedap yang kuat. Putri menemukan Bram meringkuk di sudut ruang tamu, matanya merah dan kosong.
"Bram, astaga! Kau kenapa?" Putri mendekat, mencoba menyentuhnya.
Bram menjauh, matanya membelalak ketakutan. "Jangan mendekat! Mereka ada di mana-mana! Mereka mengawasiku! Mereka masuk ke sini!" Ia menunjuk ke sudut-sudut ruangan yang kosong.
Putri melihat ponsel Bram yang pecah di dinding. Ia melihat Bram yang sangat kurus dan gemetaran. Hatinya mencelos. Sahabatnya ini benar-benar sudah tidak waras.
"Bram, kau tidak bisa begini terus," Putri berbisik, suaranya lembut namun tegas. "Kau harus ke psikiater. Aku akan menemanimu."
"Tidak! Aku tidak gila!" Bram berteriak, suaranya serak. "Mereka yang membuatku begini! Mereka yang menerorku!"
Putri memeluk Bram erat, mencoba menenangkan. Ia tidak peduli dengan teriakan atau perlawanan Bram. Ia hanya tahu, sahabatnya ini butuh bantuan. Ia percaya semua ini adalah puncak dari tekanan dan trauma yang Bram alami. Ia tidak percaya pada "mereka" yang Bram lihat, tapi ia percaya pada kesakitan Bram.
"Aku akan membantumu, Bram," Putri berjanji, air mata mengalir di pipinya. "Aku akan membantumu melewati ini."
Bram tidak lagi melawan. Ia membiarkan Putri memeluknya, namun tatapan matanya masih kosong, menembus dinding apartemennya, menembus kegelapan kota, mencari bayangan-bayangan yang ia tahu masih mengawasinya. Dan dalam kebingungannya, ia bersumpah mendengar bisikan kemenangan, tawa serak, yang kini mengelilinginya, merayakan kehancurannya.
Bab 5: Dinding Halusinasi
Bramantyo Hadi duduk di kursi berlapis kulit di ruang praktik Dokter Wulan, seorang psikiater paruh baya dengan tatapan mata yang tenang dan suara lembut. Putri duduk di sampingnya, memegang erat tangannya yang dingin. Bram merasa seperti boneka yang dipaksa tampil di atas panggung. Ia tahu mengapa ia ada di sini: Putri dan Inspektur Heru, yang akhirnya berhasil membujuknya, meyakini bahwa ia membutuhkan bantuan profesional.
"Jadi, Tuan Bramantyo," Dokter Wulan memulai, suaranya menenangkan. "Bisakah Anda ceritakan apa yang Anda rasakan belakangan ini?"
Bram menatap Dokter Wulan. Ia ingin sekali dipercaya. Ia ingin mereka melihat kengerian yang ia alami. Dengan suara parau dan mata yang cekung karena kurang tidur, ia menceritakan semuanya. Dari surat anonim dan pesan digital yang mengancam, barang-barang yang bergeser, aroma busuk tanah basah dan asap rokok yang terus menghantuinya, hingga bisikan-bisikan dan siluet hitam yang mengawasinya di setiap sudut. Ia menceritakan bagaimana rekaman CCTV-nya terus corrupt, bagaimana ponselnya pecah, dan bagaimana ia merasa disentuh atau didorong oleh kekuatan tak terlihat. Ia bahkan berani menyebut nama Riko, mantan otak IT dari "Empat Penjagal", sebagai dalang di balik semua ini.
Dokter Wulan mendengarkan dengan sabar, sesekali mencatat di buku kecilnya. Ia tidak menunjukkan ekspresi terkejut atau skeptis, hanya raut wajah penuh perhatian. Bram merasa sedikit lega, berharap ini adalah awal dari pemahaman.
"Saya memahami ini pasti sangat menakutkan bagi Anda, Tuan Bramantyo," Dokter Wulan berkata setelah Bram selesai bicara, napasnya terengah-engah. "Gejala-gejala yang Anda alami—seperti halusinasi pendengaran dan visual, delusi paranoid, serta keyakinan kuat bahwa ada pihak tertentu yang ingin mencelakai Anda meskipun tidak ada bukti fisik yang jelas—adalah indikasi kuat dari kondisi psikologis yang kami sebut psikosis."
Dunia Bram seolah runtuh. Psikosis. Kata itu menghantamnya seperti palu godam. Itu adalah vonis yang lebih buruk daripada penjara.
"Tidak, Dokter! Ini nyata!" Bram berseru, suaranya meninggi. "Ini bukan halusinasi! Saya melihat mereka! Mereka yang membuat saya seperti ini! Riko! Dia yang melakukan ini semua!"
Putri mencoba menenangkan, meremas tangannya. "Bram, tenang."
Dokter Wulan mengangguk lembut. "Tuan Bramantyo, saya memahami betapa nyatanya pengalaman ini bagi Anda. Namun, tekanan yang sangat tinggi dalam pekerjaan Anda sebagai jurnalis investigasi, kurang tidur kronis, dan kecemasan ekstrem yang Anda alami, dapat memicu otak Anda menciptakan skenario-skenario ini sebagai respons terhadap stres yang luar biasa."
"Tapi buktinya... buktinya selalu hilang!" Bram mencoba membela diri. "Rekaman CCTV saya, file di komputer saya... semuanya lenyap! Itu bukan kebetulan!"
"Hilangnya bukti atau kegagalan perangkat elektronik seringkali merupakan bagian dari delusi yang kompleks, di mana pikiran Anda memanipulasi persepsi Anda terhadap kenyataan," jelas Dokter Wulan, nada suaranya tetap tenang. "Ini semua adalah mekanisme pertahanan otak Anda yang sedang kewalahan."
Bram menatap Putri, berharap Putri akan membantahnya, namun Putri hanya menatapnya dengan mata sedih, seolah setuju dengan psikiater itu. Ia merasa dikhianati. Tidak ada yang percaya padanya.
"Jadi, Anda pikir saya gila?" Bram berbisik, suaranya serak.
"Saya tidak mengatakan Anda gila, Tuan Bramantyo," Dokter Wulan tersenyum tipis. "Saya mengatakan Anda sedang mengalami gangguan pada persepsi realitas Anda, dan itu bisa diobati. Saya bisa meresepkan obat antipsikotik dosis rendah dan penenang untuk membantu meredakan gejala Anda, serta sesi terapi rutin. Ini akan membantu Anda membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak."
Obat. Bram membenci ide itu. Ia selalu menjaga otaknya tetap jernih. Namun, keputusasaan mengalahkan segala keberatan. Ia ingin kengerian ini berhenti. Jika obat bisa menghentikannya, ia akan mencobanya.
"Baik," Bram akhirnya mengangguk, suaranya lemah. "Saya akan mencobanya."
Putri menghela napas lega. Ia tahu ini adalah langkah pertama yang sulit, tapi ia yakin ini adalah yang terbaik untuk Bram.
Dalam beberapa hari berikutnya, Bram mulai mengonsumsi obat sesuai resep Dokter Wulan. Awalnya, ia merasakan efek samping yang tidak menyenangkan: kantuk yang luar biasa, pusing, dan rasa tumpul di benaknya. Namun, perlahan, teror itu memang mereda. Bisikan-bisikan itu menjadi lebih samar, siluet-siluet yang mengintai semakin jarang terlihat. Aroma busuk itu kadang masih tercium, tapi tidak sekuat dulu. Untuk beberapa hari, ia bisa tidur lebih nyenyak.
Ini memberikan ilusi kenyamanan bagi Bram, dan bagi Putri. Putri melihat Bram tampak lebih tenang, meskipun sedikit lesu. Dokter Wulan mencatat kemajuan itu dan menganggap obatnya bekerja. Mereka semua melihatnya sebagai bukti bahwa Bram memang sakit mental, dan kini mulai membaik.
Namun, bagi Bram, itu adalah pedang bermata dua. Ketenangan yang ia dapatkan terasa seperti menenggelamkan dirinya sendiri ke dalam kabut. Ia tidak lagi bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang efek obat. Terkadang, di saat-saat ia melewatkan dosis atau obatnya tidak bekerja efektif, teror itu kembali dengan intensitas penuh, bahkan lebih mengerikan.
Suatu malam, Bram terbangun oleh suara tawa cekikikan yang sangat dekat, seolah di samping telinganya. Ia membuka mata. Kegelapan pekat. Tapi ia bisa merasakan hawa dingin menusuk kulitnya. Ia menoleh. Tidak ada siapa-siapa. Namun, ia mencium aroma tanah basah dan busuk yang sangat kuat, lebih kuat dari sebelumnya. Ia merasakan tangan dingin menyentuh kakinya, merayap perlahan ke atas.
Bram menjerit, menarik kakinya dengan panik. Ia menyalakan lampu meja. Jantungnya mencelos. Di kakinya, ada segumpal rambut hitam basah, dan noda lumpur di sprei putihnya. Rambut itu bukan miliknya.
Ia segera berlari ke kamar mandi, mencoba membersihkan dirinya, namun bau amis dan busuk itu seolah menempel di kulit dan rambutnya. Ia tidak bisa mencium bau lain selain bau busuk itu.
Ia mencoba menghubungi Putri, tapi ponselnya mati. Ia mencoba menghubungi polisi, tapi tangannya gemetar hebat, ia tidak bisa menekan nomor. Ia merasa lumpuh, ketakutan yang mencekiknya membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa.
Bab 6: Terjebak dalam Jaring
Kondisi mental Bram semakin memburuk. Meskipun obat-obatan memberikan efek penenang, halusinasi dan paranoia yang ia alami semakin intens dan personal. Ia sering berbicara sendiri, membalas bisikan-bisikan yang hanya ia yang bisa dengar, terkadang dengan nada marah, terkadang dengan nada takut. Ia melihat siluet hitam itu muncul lebih sering, bahkan di siang hari, menunjuk-nunjuk atau mengawasinya dari sudut ruangan. Aroma busuk itu tak pernah benar-benar hilang, bahkan ketika ia sudah menyemprotkan pengharum ruangan berkali-kali.
Leo dan Dokter Wulan semakin khawatir. Berita tentang "jurnalis investigasi yang gila" mulai menyebar di media. Kantor berita tempatnya bekerja mulai menerima banyak pertanyaan tentang Bram. Putri mencoba melindunginya, menolak semua tawaran wawancara dan membatalkan semua jadwal publik Bram.
"Bram, aku tidak bisa terus seperti ini," Putri berkata suatu sore di apartemen Bram, suaranya pelan dan putus asa. "Dokter Wulan bilang kau butuh penanganan lebih intensif. Rawat inap. Hanya untuk sementara, sampai kau lebih stabil."
Bram menatap Putri, matanya merah dan bengkak. Air mata mengalir di pipinya. "Kau ingin menahanku, Put? Di sana?"
"Bukan menahan, Bram. Ini untuk kebaikanmu," Putri mencoba memegang tangannya, tapi Bram menarik diri. "Ini satu-satunya cara untuk membantumu. Kau tidak bisa terus hidup dalam ketakutan seperti ini. Ini bukan kau yang kukenal."
Bram tahu ia kalah. Ia terlalu lelah untuk melawan. Ia terlalu takut untuk terus sendirian menghadapi teror yang tidak terlihat ini. Mungkin, di rumah sakit jiwa, ia akan aman. Mungkin, di sana, "mereka" tidak bisa mengikutinya. Sebuah harapan kecil muncul di hatinya yang hancur.
Dengan hati yang berat, Bram menyetujui.
Beberapa hari kemudian, Bram dibawa ke sebuah klinik psikiatri swasta yang tenang dan steril. Ruangan-ruangan berwarna putih, koridor yang sepi, dan staf yang ramah namun berjarak. Ia ditempatkan di sebuah kamar pribadi, dengan jendela yang menghadap ke taman yang rapi, namun jeruji besi di baliknya terasa seperti penjara.
Awalnya, ketenangan di klinik memberinya sedikit kedamaian. Tidak ada bisikan. Tidak ada siluet. Tidak ada bau busuk. Obat-obatan yang diberikan lebih kuat, membuatnya sering mengantuk dan merasa pusing. Ia berharap ini adalah awal dari pemulihannya. Ia berharap ini adalah akhirnya.
Namun, harapan itu hanya sesaat.
Pada malam ketiga di klinik, Bram terbangun. Kamarnya gelap. Ia mendengar suara bisikan. Suara yang sama. Lebih jelas dari sebelumnya. "Kau tidak bisa lari dari kami..."
Jantung Bram berdebar kencang. Ia menyalakan lampu kamar. Tidak ada siapa-siapa. Ia melihat ke jendela. Jeruji besi tampak kokoh. Lalu ia menciumnya. Aroma tanah basah dan busuk. Aroma yang mengikutinya ke mana pun ia pergi.
"Tidak," bisik Bram, menutupi telinganya. "Ini tidak nyata. Ini hanya efek obat."
Tapi bisikan itu semakin kuat. "Kau milik kami, Bram. Kau tidak bisa lepas."
Ia melihat siluet samar melintas di sudut ruangan. Kemudian, di dinding di depannya, sebuah tangan hitam kurus muncul dari bayangan, seolah mencoba meraihnya. Bram menjerit.
Staf perawat segera datang. Mereka menenangkannya, menyuntikkannya obat penenang. Bram terisak-isak, mencoba menjelaskan apa yang ia lihat.
"Ada... ada mereka! Mereka di sini! Mereka mengikutiku!" Bram menunjuk ke dinding.
Perawat hanya mengangguk, matanya penuh simpati, tapi tidak ada rasa percaya. "Tenang, Pak Bram. Tidak ada siapa-siapa di sini. Ini hanya efek dari kondisi Anda. Obatnya akan membantu."
Bram merasa putus asa. Ia terperangkap. Ia dikurung. Dan teror itu, yang tidak bisa dilihat orang lain, masih mengikutinya.
Dokter Wulan datang keesokan harinya, menanyakan tentang episode semalam. Bram menceritakan semuanya dengan detail. Dokter Wulan mencatat, ekspresinya serius.
"Tuan Bramantyo, gejala Anda tampaknya memburuk," kata Dokter Wulan. "Kami perlu menyesuaikan dosis obat Anda. Ini adalah proses, tapi kami akan membantu Anda."
Bram menatap Dokter Wulan. Ia ingin sekali dipercaya. Ingin sekali ada yang melihat kengerian yang ia alami. Tapi ia tahu, di mata mereka, ia hanya pasien yang sakit.
Beberapa hari berikutnya, kondisi Bram semakin memburuk. Bisikan-bisikan itu tidak pernah berhenti. Siluet-siluet itu semakin sering muncul. Terkadang, ia bahkan merasa sentuhan dingin di kulitnya, seperti jari-jari yang merayap. Ia mulai kesulitan membedakan antara mimpi dan kenyataan. Setiap kali ia berusaha melawan, staf akan memberinya lebih banyak obat penenang, membuatnya semakin tumpul dan lemah.
Putri datang mengunjunginya. Ia membawa setumpuk surat dukungan dari pembaca dan majalah yang memuat wajah Bram di sampulnya, sebelum kasusnya menjadi viral.
"Aku tahu kau akan kembali, Bram," kata Putri, senyumnya dipaksakan. "Semua orang merindukanmu. Aku merindukanmu."
Bram menatapnya. Matanya kini cekung, tatapannya kosong. "Mereka masih di sini, Put. Mereka... mereka tidak pernah pergi."
Putri hanya mengangguk, berusaha tersenyum. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia melihat Bram yang sudah bukan Bram yang dikenalnya. Hatinya sakit, namun ia yakin Bram memang sakit.
Di sudut ruangan Bram, sebuah vas bunga berisi mawar putih layu berdiri. Bunga yang sama persis dengan yang Putri berikan kepadanya saat ia mendapatkan penghargaan. Kelopak-kelopak bunganya mulai rontok, meninggalkan noda hitam di meja.
Bram menatap mawar itu. Lalu, ia melihat siluet samar melintas di balik vas. Siluet yang sama, tinggi dan kurus. Sebuah bisikan berdesir di telinganya: "Kami selalu bersamamu, Bram. Selamanya."
Bram tersenyum tipis. Senyum itu tidak menjangkau matanya. Ia sudah berhenti melawan. Ia tahu. Tidak ada yang akan percaya padanya.
Bab 7: Diagnosis yang Menyesakkan
Minggu-minggu di klinik psikiatri berlalu dalam kabut yang tebal bagi Bram. Obat-obatan yang diberikan telah menumpulkan sebagian besar ketakutannya, namun tidak sepenuhnya memadamkan bisikan-bisikan yang kini menjadi nyanyian monoton di benaknya. Ia tidak lagi peduli pada tanggal atau jadwal. Hidupnya kini hanyalah serangkaian rutinitas yang diatur oleh staf, diinterupsi oleh momen-momen kengerian yang hanya ia yang bisa melihatnya.
Dosis antipsikotik yang semakin tinggi memang membuat Bram lebih tenang, lebih pasif. Ledakan-ledakan histerisnya berkurang, teriakannya jarang terdengar. Ia sering ditemukan duduk sendirian di sudut kamar, menatap kosong ke dinding, atau sesekali bergumam pada dirinya sendiri, seolah membalas percakapan yang tak terlihat oleh orang lain. Bagi staf dan Dokter Wulan, ini adalah tanda kemajuan. Bram sudah tidak lagi "melawan". Ia sudah "menerima" kondisinya.
Namun, di balik ketenangan yang semu itu, pikiran Bram bergejolak. Ia tidak gila. Ia tahu itu. Ia hanya tidak bisa lagi membuktikannya. Setiap kali ia mencoba menceritakan tentang Riko, tentang bagaimana dia adalah dalang di balik semua ini, Dokter Wulan akan tersenyum lembut dan mengubah topik, atau perawat akan memberinya obat penenang tambahan. Ia belajar. Ia belajar bahwa satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan diam. Berpura-pura menerima. Berpura-pura tenang.
Teror itu tidak pernah pergi. Ia hanya berubah bentuk. Aroma tanah basah dan asap rokok murahan masih sesekali menyengat hidungnya, terutama di malam hari. Bisikan-bisikan itu tidak lagi berteriak, melainkan berdesir di telinganya, tepat di ambang pendengarannya, seperti kutukan yang takkan pernah bisa ia hindari. Kadang, ia akan merasakan sentuhan dingin di kulitnya, seolah jemari kurus merayap di lengannya, membuat bulu kuduknya merinding. Dan bayangan-bayangan itu, siluet hitam tinggi dengan mata merah menyala, masih mengintai dari sudut-sudut ruangan, di balik tirai, di cermin yang memantulkan pantulan dirinya yang semakin kurus.
Bram melihat Putri sesekali datang berkunjung. Wajah Putri tampak semakin lelah dan muram. Ia tidak lagi membawa bunga atau majalah. Ia hanya duduk diam, mencoba berbicara, tapi Bram jarang menanggapi. Putri berbicara tentang rehabilitasi, tentang kemungkinan Bram kembali ke dunia luar jika ia terus menunjukkan kemajuan. Tapi Bram tahu, itu hanya mimpi. Ia tidak akan pernah keluar dari sini. Atau, bahkan jika ia keluar, teror itu akan mengikutinya. Mereka tidak akan pernah melepaskannya.
Suatu siang, saat jam besuk di taman klinik, Bram sedang duduk di kursi roda, menatap jendela. Ada beberapa pengunjung lain yang berbicara dengan pasien mereka. Tiba-tiba, ia melihatnya.
Riko.
Ia berjalan masuk ke area taman, mengenakan kemeja kasual, bukan seragam teknisi. Ia tersenyum ramah pada staf di meja depan, mengangguk hormat pada perawat yang berpapasan dengannya. Ia membawa sebuah parsel kecil yang dibungkus rapi. Mata Bram membelalak. Apa yang dia lakukan di sini?
Riko tidak langsung mendekati Bram. Ia duduk di salah satu kursi pengunjung, menunggu. Bram mengamatinya. Ia tampak begitu normal, begitu biasa, seolah dia hanyalah pengunjung biasa. Tapi Bram tahu. Di balik senyum tenang itu, ada kegelapan yang mengerikan. Ada kejahatan yang tak terlukiskan.
Beberapa menit kemudian, seorang perawat memanggil nama seorang pasien tua, seorang wanita kurus dengan rambut putih. Wanita itu adalah Nenek Kartini, salah satu pasien yang sering berteriak-teriak dan berbicara sendiri di koridor. Riko bangkit, berjalan menghampiri Nenek Kartini, dan memberinya parsel itu. Mereka berbicara sebentar, Riko tersenyum, Nenek Kartini mengangguk-angguk.
Bram merasa bingung. Jadi, Riko bukan datang untuknya? Dia mengunjungi Nenek Kartini? Apakah ini semua hanya kebetulan? Apakah dugaannya tentang Riko hanyalah bagian dari delusi gila yang Dokter Wulan bicarakan?
Keraguan itu menggerogoti jiwanya lagi, lebih tajam dari pisau. Setelah semua yang ia yakini, setelah semua kengerian yang ia alami, mungkinkah ia memang salah? Mungkinkah ia memang sudah gila?
Riko berbalik. Matanya melayang di antara para pasien dan pengunjung, lalu berhenti pada Bram. Ia tersenyum tipis, senyum yang sama, tenang dan ramah, namun di mata Bram, senyum itu adalah seringai yang dingin dan mengejek. Ia sedikit mengangkat tangannya, seolah memberi salam, lalu berbalik dan berjalan keluar ruangan.
Bram menatap punggung Riko yang menjauh, tubuhnya gemetar. Ia tahu. Senyum itu bukan senyum keramahan. Senyum itu adalah senyum kemenangan. Senyum kepuasan.
"Dia tahu aku melihatnya," bisik Bram, suaranya parau.
Perawat di dekatnya menoleh. "Ada apa, Pak Bram?"
"Dia... dia yang melakukannya," Bram menunjuk ke arah pintu tempat Riko pergi. "Dia yang membuat saya seperti ini."
Perawat itu mendekat, memeriksa suhu tubuh Bram. "Pak Bram, tidak ada siapa-siapa di sana. Anda harus tenang."
Ia merasakan hawa dingin yang menusuk. Aroma busuk itu kembali menyeruak, lebih kuat dari sebelumnya, seolah Riko telah meninggalkan jejaknya di ruangan itu. Sebuah bisikan berdesir di telinganya, "Kau tidak bisa lari dari kami. Kami ada di mana-mana. Di dalam kepalamu. Di sekitarmu. Selamanya."
Bram tahu. Ia akan selamanya terjebak dalam kengerian ini, dikurung di dalam pikirannya sendiri, tanpa ada yang percaya.
Beberapa hari kemudian, insiden di taman itu sampai ke telinga Putri. Ia datang menjenguk Bram di klinik, wajahnya terlihat lebih lelah dari sebelumnya. Berita-berita tentang episode psikotik Bram di taman klinik sudah menyebar di media daring, semakin memperkuat citra "wartawan gila".
"Bram, aku tidak tahu harus bagaimana lagi," Putri berbisik, suaranya putus asa. "Ini... ini terlalu berat untukku. Reputasimu hancur. Semua kontrak dibatalkan."
Bram menatapnya. Matanya kosong, namun ia mendengar setiap kata yang diucapkan Putri. Hatinya perih. Ia tahu ia telah menjadi beban bagi Putri.
"Aku... aku minta maaf," Bram berbisik, suaranya parau.
"Tidak, Bram, jangan minta maaf," Putri memegang tangannya. "Aku hanya... aku hanya ingin kau sembuh. Aku tidak ingin melihatmu seperti ini."
Putri menghabiskan waktu beberapa jam di sana, mencoba berbicara dengan Bram, meski Bram lebih banyak diam atau bergumam tak jelas. Saat Putri pamit pulang, Bram melihatnya berjalan pergi, bahunya merosot. Ia tahu Putri sudah putus asa. Ia sudah ditinggalkan.
Di malam hari, setelah obat penenang membuat tubuhnya kaku dan pikirannya tumpul, Bram merenung. Ia mengingat kembali setiap kejadian. Bagaimana teror itu dimulai dengan barang-barang yang bergeser. Pesan teks. Suara-suara. Bayangan. Hilangnya rekaman. Buku catatan dengan tulisan ancaman. Lalu, diagnosis psikiater. Obat-obatan. Dan kini, ia terjebak di sini, dalam penjara pikirannya sendiri.
Bab 8: Lingkaran Setan Pengakuan
Setelah episode histeris di malam hari, Dokter Wulan meninjau kembali kondisi Bram. Ia duduk di hadapan Bram, mencatat setiap detail yang Bram ceritakan tentang "Riko" yang muncul di taman.
"Tuan Bramantyo, saya mengerti Anda merasa yakin tentang sosok ini," Dokter Wulan berkata, nadanya tenang namun penuh otoritas medis. "Ini adalah bagian dari delusi Anda yang semakin berkembang. Anda menciptakan sosok ini sebagai representasi dari ketakutan Anda."
"Bukan delusi! Dia nyata! Dia yang pasang kamera! Dia yang matikan kamera! Dia yang membuat rekaman saya hilang!" Bram berteriak, suaranya serak. Ia mencoba menjelaskan, menyatukan semua kepingan teka-teki yang kini terasa begitu jelas baginya. "Dia otak IT dari kelompok itu! Dia yang bebas! Dia selalu ada setiap kali ada kejadian aneh!"
Dokter Wulan mencatat, tidak ada perubahan ekspresi di wajahnya. "Tuan Bramantyo, kami sudah mengecek semua data. Tidak ada catatan kunjungan teknisi bernama Riko yang mencurigakan di apartemen Anda. Dan jika ia adalah mantan napi, ia pasti dalam pengawasan ketat, tidak mungkin leluasa meneror Anda seperti yang Anda bayangkan. Putri juga mengatakan ia hanya memanggil teknisi dari perusahaan jasa terkemuka, dan semua laporan kerjanya profesional dan normal."
"Dia berbohong!" Bram membantah. "Dia menyembunyikannya! Dia yang menyiksa saya!"
"Tuan Bramantyo, mohon tenang," Dokter Wulan menatapnya dengan tatapan prihatin yang hampa. "Semua orang di sekitar Anda tidak melihat apa yang Anda lihat. Tidak ada bukti fisik yang mendukung klaim Anda. Ini adalah tanda bahwa pikiran Anda sedang menciptakan realitasnya sendiri. Kami akan meningkatkan dosis antipsikotik Anda. Ini akan membantu Anda membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak."
Bram merasa frustrasi. Ia tahu apa yang ia lihat. Ia tahu siapa Riko. Tapi tidak ada yang percaya. Mereka semua melihatnya sebagai orang gila.
Beberapa hari kemudian, Putri datang berkunjung. Bram berusaha memberitahunya.
"Putri, aku tahu siapa pelakunya!" Bram berkata, suaranya dipenuhi urgensi. "Itu Riko! Mantan napi itu! Dia yang melakukan semuanya!"
Putri menatap Bram dengan tatapan kosong. "Riko? Mantan napi yang kau maksud? Bram, dia hanya salah satu dari mereka yang pernah kau penjarakan. Dia tidak mungkin melakukan itu."
"Dia yang memanipulasi kamera! Dia yang menghapus rekamanku! Dia yang mengirim pesan-pesan aneh itu!" Bram mencoba menjelaskan dengan terburu-buru, tangannya gemetar.
Putri menghela napas. "Bram, kau terlalu banyak berhalusinasi. Riko itu... dia sudah bebas, dan setahuku dia bekerja dengan tenang di luar sana. Dia tidak punya motif untuk melakukan semua itu."
Bram merasakan putus asa yang mendalam. Bahkan Putri, yang pernah melihat rekaman buram dan tanda-tanda awal teror, kini sepenuhnya yakin bahwa ia sakit mental. Ia terperangkap dalam lingkaran ini. Semakin ia mencoba membuktikan, semakin ia terlihat gila di mata orang lain.
Pelaku, Riko, tidak hanya bekerja dari jauh. Kadang-kadang, ia akan muncul di klinik. Tidak sebagai pengunjung Bram, tetapi sebagai sosok yang "kebetulan" lewat. Mungkin ia datang untuk mengunjungi pasien lain yang ia "kenal", atau mengantar barang. Bram akan melihatnya dari kejauhan, tersenyum tipis, matanya memancarkan kegelapan yang hanya ia yang bisa melihatnya.
Suatu kali, Bram sedang duduk di taman klinik, di bawah pengawasan perawat. Ia melihat Riko berjalan di lorong klinik, mengenakan seragam teknisi. Riko tersenyum ramah pada perawat dan staf lain yang berpapasan dengannya. Ia bahkan menatap Bram sekilas, tatapannya tenang, seolah tidak ada apa-apa. Namun, di mata Bram, senyum itu adalah seringai mengerikan, dan tatapan itu adalah ejekan.
Bram mencoba berteriak, menunjuk ke arah Riko, tapi suaranya tercekat. Ia mencoba bangkit dan mengejarnya, namun tubuhnya terasa lemas karena obat. Perawat di sampingnya hanya menenangkannya, mengira ia kembali mengalami halusinasi.
"Lihat, Bu. Dia ada di sana," Bram berbisik pada perawat, air mata mengalir.
Perawat itu menoleh ke arah yang ditunjuk Bram. "Siapa, Pak Bram? Tidak ada siapa-siapa di sana."
Riko terus berjalan, menghilang di balik tikungan lorong. Ia tahu Bram melihatnya. Dan ia tahu Bram tidak akan bisa melakukan apa-apa.
Bram semakin tenggelam dalam dunianya sendiri. Batas antara kenyataan dan delusi telah runtuh. Ia tidak lagi bisa mempercayai matanya sendiri, atau telinganya sendiri. Bisikan-bisikan itu kini menjadi suara-suara yang memberinya perintah, atau mengulang-ulang kalimat-kalimat yang mengerikan. Aroma busuk itu tak pernah hilang. Dan bayangan-bayangan itu, yang kini ia kenali sebagai Riko dan "teman-temannya", terus mengawasinya, merayap di setiap sudut ruangan, di setiap celah di balik dinding.
Ia mencoba menuliskan semuanya di buku catatannya, detail teror, nama Riko, percakapannya dengan Putri dan Inspektur Heru. Ia ingin agar suatu hari, seseorang akan menemukan catatannya dan percaya padanya. Tapi setiap kali ia menulis, tangannya gemetar, dan tulisannya menjadi coretan yang tak bisa dibaca.
Bram adalah seorang wartawan. Ia tahu bagaimana rasanya mencari kebenaran. Tapi kini, ia terjebak di sini, di mana kebenaran yang ia yakini tidak akan pernah dipercaya oleh siapa pun. Ia memainkan peran sebagai orang gila, sementara teror itu terus menari di sekelilingnya, merayakan kemenangannya.
Ia sudah lelah melawan. Ia sudah lelah berteriak. Ia sudah lelah mencari kebenaran yang tidak bisa dilihat siapa pun.
Di malam hari, saat obat-obatan mulai bekerja, Bram hanya bisa menatap kosong ke dinding putih. Bisikan-bisikan itu mulai membentuk sebuah melodi, melodi kematian yang lembut. Sebuah senyum t ipis, hampa, muncul di bibirnya. Ia sudah menyerah.
Bab 9: Penjara Pikiran
Minggu-minggu berlalu di klinik psikiatri, dan bagi Bram, waktu seolah kehilangan maknanya. Hari berganti malam, musim berganti, namun dunianya tetap sama: kabut tumpul akibat obat-obatan, dan bisikan-bisikan yang tak pernah sepenuhnya reda. Ia tidak lagi peduli pada tanggal atau jadwal. Hidupnya kini hanyalah serangkaian rutinitas yang diatur oleh staf, diinterupsi oleh momen-momen kengerian yang hanya ia yang bisa melihatnya.
Dosis antipsikotik yang semakin tinggi memang membuat Bram lebih tenang, lebih pasif. Ledakan-ledakan histerisnya berkurang, teriakannya jarang terdengar. Ia sering ditemukan duduk sendirian di sudut kamar, menatap kosong ke dinding, atau sesekali bergumam pada dirinya sendiri, seolah membalas percakapan yang tak terlihat oleh orang lain. Bagi staf dan Dokter Wulan, ini adalah tanda kemajuan. Bram sudah tidak lagi "melawan". Ia sudah "menerima" kondisinya.
Namun, di balik ketenangan yang semu itu, pikiran Bram bergejolak. Ia tidak gila. Ia tahu itu. Ia hanya tidak bisa lagi membuktikannya. Setiap kali ia mencoba menceritakan tentang Riko, tentang bagaimana dia adalah dalang di balik semua ini, Dokter Wulan akan tersenyum lembut dan mengubah topik, atau perawat akan memberinya obat penenang tambahan. Ia belajar. Ia belajar bahwa satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan diam. Berpura-pura menerima. Berpura-pura tenang.
Teror itu tidak pernah pergi. Ia hanya berubah bentuk. Aroma tanah basah dan asap rokok murahan masih sesekali menyengat hidungnya, terutama di malam hari. Bisikan-bisikan itu tidak lagi berteriak, melainkan berdesir di telinganya, tepat di ambang pendengarannya, seperti kutukan yang takkan pernah bisa ia hindari. Kadang, ia akan merasakan sentuhan dingin di kulitnya, seolah jemari kurus merayap di lengannya, membuat bulu kuduknya merinding. Dan bayangan-bayangan itu, siluet hitam tinggi dengan mata merah menyala, masih mengintai dari sudut-sudut ruangan, di balik tirai, di cermin yang memantulkan pantulan dirinya yang semakin kurus.
Bram melihat Putri sesekali datang berkunjung. Wajah Putri tampak semakin lelah dan muram. Ia tidak lagi membawa bunga atau majalah. Ia hanya duduk diam, mencoba berbicara, tapi Bram jarang menanggapi. Putri berbicara tentang rehabilitasi, tentang kemungkinan Bram kembali ke dunia luar jika ia terus menunjukkan kemajuan. Tapi Bram tahu, itu hanya mimpi. Ia tidak akan pernah keluar dari sini. Atau, bahkan jika ia keluar, teror itu akan mengikutinya. Mereka tidak akan pernah melepaskannya.
Suatu siang, saat jam besuk di taman klinik, Bram sedang duduk di kursi roda, menatap jendela. Ada beberapa pengunjung lain yang berbicara dengan pasien mereka. Tiba-tiba, ia melihatnya.
Riko.
Ia berjalan masuk ke area taman, mengenakan kemeja kasual, bukan seragam teknisi. Ia tersenyum ramah pada staf di meja depan, mengangguk hormat pada perawat yang berpapasan dengannya. Ia membawa sebuah parsel kecil yang dibungkus rapi. Mata Bram membelalak. Apa yang dia lakukan di sini?
Riko tidak langsung mendekati Bram. Ia duduk di salah satu kursi pengunjung, menunggu. Bram mengamatinya. Ia tampak begitu normal, begitu biasa, seolah dia hanyalah pengunjung biasa. Tapi Bram tahu. Di balik senyum tenang itu, ada kegelapan yang mengerikan. Ada kejahatan yang tak terlukiskan.
Beberapa menit kemudian, seorang perawat memanggil nama seorang pasien tua, seorang wanita kurus dengan rambut putih. Wanita itu adalah Nenek Kartini, salah satu pasien yang sering berteriak-teriak dan berbicara sendiri di koridor. Riko bangkit, berjalan menghampiri Nenek Kartini, dan memberinya parsel itu. Mereka berbicara sebentar, Riko tersenyum, Nenek Kartini mengangguk-angguk.
Bram merasa bingung. Jadi, Riko bukan datang untuknya? Dia mengunjungi Nenek Kartini? Apakah ini semua hanya kebetulan? Apakah dugaannya tentang Riko hanyalah bagian dari delusi gila yang Dokter Wulan bicarakan?
Keraguan itu menggerogoti jiwanya lagi, lebih tajam dari pisau. Setelah semua yang ia yakini, setelah semua kengerian yang ia alami, mungkinkah ia memang salah? Mungkinkah ia memang sudah gila?
Riko berbalik. Matanya melayang di antara para pasien dan pengunjung, lalu berhenti pada Bram. Ia tersenyum tipis, senyum yang sama, tenang dan ramah, namun di mata Bram, senyum itu adalah seringai yang dingin dan mengejek. Ia sedikit mengangkat tangannya, seolah memberi salam, lalu berbalik dan berjalan keluar ruangan.
Bram menatap punggung Riko yang menjauh, tubuhnya gemetar. Ia tahu. Senyum itu bukan senyum keramahan. Senyum itu adalah senyum kemenangan. Senyum kepuasan.
"Dia tahu aku melihatnya," bisik Bram, suaranya parau.
Perawat di dekatnya menoleh. "Ada apa, Pak Bram?"
"Dia... dia yang melakukannya," Bram menunjuk ke arah pintu tempat Riko pergi. "Dia yang membuat saya seperti ini."
Perawat itu mendekat, memeriksa suhu tubuh Bram. "Pak Bram, tidak ada siapa-siapa di sana. Anda harus tenang."
Ia merasakan hawa dingin yang menusuk. Aroma busuk itu kembali menyeruak, lebih kuat dari sebelumnya, seolah Riko telah meninggalkan jejaknya di ruangan itu. Sebuah bisikan berdesir di telinganya, "Kau tidak bisa lari dari kami. Kami ada di mana-mana. Di dalam kepalamu. Di sekitarmu. Selamanya."
Bram tahu. Ia akan selamanya terjebak dalam kengerian ini, dikurung di dalam pikirannya sendiri, tanpa ada yang percaya.
Beberapa hari kemudian, insiden di taman itu sampai ke telinga Putri. Ia datang menjenguk Bram di klinik, wajahnya terlihat lebih lelah dari sebelumnya. Berita-berita tentang episode psikotik Bram di taman klinik sudah menyebar di media daring, semakin memperkuat citra "wartawan gila".
"Bram, aku tidak tahu harus bagaimana lagi," Putri berbisik, suaranya putus asa. "Ini... ini terlalu berat untukku. Reputasimu hancur. Semua kontrak dibatalkan."
Bram menatapnya. Matanya kosong, namun ia mendengar setiap kata yang diucapkan Putri. Hatinya perih. Ia tahu ia telah menjadi beban bagi Putri.
"Aku... aku minta maaf," Bram berbisik, suaranya parau.
"Tidak, Bram, jangan minta maaf," Putri memegang tangannya. "Aku hanya... aku hanya ingin kau sembuh. Aku tidak ingin melihatmu seperti ini."
Putri menghabiskan waktu beberapa jam di sana, mencoba berbicara dengan Bram, meski Bram lebih banyak diam atau bergumam tak jelas. Saat Putri pamit pulang, Bram melihatnya berjalan pergi, bahunya merosot. Ia tahu Putri sudah putus asa. Ia sudah ditinggalkan.
Di malam hari, setelah obat penenang membuat tubuhnya kaku dan pikirannya tumpul, Bram merenung. Ia mengingat kembali setiap kejadian. Bagaimana teror itu dimulai dengan barang-barang yang bergeser. Pesan teks. Suara-suara. Bayangan. Hilangnya rekaman. Buku catatan dengan tulisan ancaman. Lalu, diagnosis psikiater. Obat-obatan. Dan kini, ia terjebak di sini, dalam penjara pikirannya sendiri.
Bab 10: Kebenaran yang Tak Tersampaikan
Hari-hari Bram di klinik psikiatri terus berlanjut dalam kabut yang tak berujung. Obat-obatan telah menumpulkan sebagian besar ketakutannya, namun tidak bisa memadamkan bisikan-bisikan yang kini menjadi nyanyian monoton di benaknya. Matanya seringkali kosong, menatap dinding putih atau jendela berjeruji, seolah melihat sesuatu yang tak terlihat oleh orang lain. Bobot tubuhnya semakin berkurang, dan senyumnya, jika ada, adalah senyum hampa yang dipaksakan.
Bagi Dokter Wulan dan staf klinik, Bram adalah gambaran klasik dari pasien skizofrenia kronis. Ia menunjukkan respons positif terhadap obat, dalam artian ia tidak lagi agresif atau histeris. Ia patuh pada jadwal makan, tidur, dan terapi. Namun, kontak mata yang jarang, gumaman tak jelas, dan sesekali tawa tanpa sebab yang hanya ia yang mengerti, menunjukkan bahwa ia masih terjebak dalam delusinya sendiri. Mereka menganggap semua yang diceritakan Bram sebelumnya – tentang teror, bayangan, bau, dan bahkan Riko – hanyalah manifestasi dari penyakit mentalnya yang parah.
Putri sesekali masih menjenguk, namun frekuensinya semakin berkurang. Ia tampak semakin letih, seolah beratnya beban Bram telah menguras energinya. Topik pembicaraan mereka semakin hambar. Putri akan menceritakan tentang perkembangan dunia jurnalistik, tentang wartawan-wartawan baru yang mulai bersinar, dan Bram hanya akan mendengarkan, tatapannya kosong. Ia tidak lagi peduli. Dunia luar sudah terasa asing baginya.
Suatu sore, Putri datang membawa sebuah tablet digital. Ia mencoba menunjukkan kepada Bram beberapa klip video lama tentang dirinya saat masih aktif meliput, di puncak kariernya.
"Lihat ini, Bram," kata Putri, dengan senyum paksa. "Kau sangat hebat di sini. Semua orang merindukanmu."
Bram menatap layar tablet. Ia melihat dirinya di sana – bersemangat, penuh percaya diri, bersinar di bawah lampu sorot. Sulit baginya untuk percaya bahwa pria di layar itu adalah dirinya. Itu terasa seperti melihat orang asing. Pria itu penuh kehidupan, sementara ia di sini, hanya sebuah cangkang kosong.
Saat Putri menunjukkan sebuah klip dari acara penghargaan, di mana Bram memberikan pidato kemenangan, Bram merasakan hawa dingin menusuk. Aroma tanah basah dan asap rokok murahan yang familier tiba-tiba menyengat hidungnya, begitu kuat hingga ia hampir muntah. Bisikan-bisikan itu kembali, kini terdengar seperti paduan suara serak yang memenuhi ruangan, mencemoohnya.
"Semua itu palsu, Bram," bisik salah satu suara, begitu dekat di telinganya. "Semua itu akan diambil darimu."
Bram menoleh ke sudut ruangan. Bayangan hitam tinggi itu berdiri di sana, mengawasinya, matanya merah menyala. Ia tidak berteriak. Ia tidak lagi melawan. Ia hanya menatapnya, dengan tatapan yang kini mencerminkan keputusasaan yang mendalam.
Putri menoleh, menyadari perubahan ekspresi Bram. "Ada apa, Bram? Kau tidak suka melihatnya?"
Bram tidak menjawab. Ia hanya terus menatap bayangan itu, yang perlahan memudar, seolah tak pernah ada.
Putri menghela napas, putus asa. Ia mematikan tabletnya. "Aku rasa kau terlalu lelah, Bram. Aku akan panggil perawat."
Seiring berjalannya waktu, ingatan Bram tentang peristiwa yang mengerikan itu mulai bercampur aduk dengan delusinya. Ia tidak lagi yakin mana yang nyata dan mana yang tidak. Apakah ia memang melihat Riko di jendela? Atau itu hanya halusinasi yang terbentuk dari paranoia akan sistem keamanan? Apakah buku catatan itu benar-benar diberi tulisan ancaman, atau ia hanya melihatnya demikian? Apakah simbol di cangkir kopi sungguhan, atau hanya percikan yang ia tafsirkan sebagai ancaman? Ia tidak lagi tahu. Semua garis itu telah kabur.
Namun, satu hal yang ia tidak bisa lupakan, satu hal yang terus menghantuinya, adalah perasaan teror yang begitu nyata, begitu dingin, begitu pribadi. Perasaan bahwa ia tidak sendirian. Bahwa ada sesuatu yang mengawasinya, mengelilinginya, dan perlahan-lahan menghancurkan kewarasannya.
Ia duduk di ruang terapi, di hadapan Dokter Wulan. Dokter Wulan berbicara dengan nada profesional, menjelaskan "kemajuan" Bram, prognosisnya, dan kebutuhan untuk mempertahankan pengobatan jangka panjang. Bram mendengarkan, matanya kosong.
"Tuan Bramantyo, Anda sekarang jauh lebih stabil," Dokter Wulan berkata, menutup buku catatannya. "Prognosis jangka panjangnya... yah, kita harus realistis. Anda akan membutuhkan perawatan dan pengawasan terus-menerus. Tapi Anda tidak lagi menjadi ancaman bagi diri sendiri atau orang lain."
Bram menatap Dokter Wulan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ada sedikit kilatan emosi di matanya—rasa sakit, putus asa, dan ketidakpercayaan yang mendalam.
"Mereka masih di sini, Dokter," Bram berbisik, suaranya parau dan bergetar, hampir tidak terdengar. "Mereka yang membuat saya seperti ini. Mereka yang mengambil semuanya dari saya."
Dokter Wulan mengangguk, mencatat. "Itu adalah bagian dari delusi residual Anda, Tuan Bramantyo. Kita akan terus bekerja untuk mengelola itu."
Bram menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak ada yang percaya padaku..." Ia berbisik lagi, suaranya pecah, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Dokter Wulan.
Dokter Wulan berbicara di telepon dengan Putri.
"Kondisi Bram sudah stabil, Nona Putri," kata Dokter Wulan. "Prognosis jangka panjangnya... yah, kita harus realistis. Dia akan membutuhkan perawatan dan pengawasan terus-menerus. Tapi dia tidak lagi menjadi ancaman bagi dirinya sendiri atau orang lain."
Putri menghela napas lega di ujung telepon. "Syukurlah, Dokter. Saya... saya tidak tahu harus bagaimana lagi."
"Ini adalah perjuangan yang panjang, Nona Putri," Dokter Wulan menambahkan. "Penting bagi Anda untuk memahami bahwa apa yang dialami Tuan Bramantyo adalah penyakit serius. Halusinasi dan delusi yang dia alami terasa sangat nyata baginya. Kita tidak bisa menghakiminya."
Putri mengangguk, meskipun tidak terlihat oleh Dokter Wulan. "Saya mengerti, Dokter. Saya hanya berharap dia bisa menemukan kedamaian."
Bram terbaring di ranjangnya, matanya menatap kosong ke langit-langit. Bisikan-bisikan itu kini kembali, bukan lagi suara-suara aneh, melainkan nyanyian. Nyanyian yang sangat familiar. Nyanyian lembut, seperti lagu pengantar tidur yang kadang ia dengar di radio.
Ia tersenyum tipis. Senyum yang sama sekali tidak mencapai matanya. Senyum seorang pria yang telah menyerah pada kegilaan.
Suatu malam, Bram ditemukan mengunci diri di kamarnya. Ia menumpuk semua furnitur di depan pintu, mencoba membentengi dirinya dari "mereka" yang mengawasinya. Staf klinik harus membongkar pintu. Mereka menemukannya meringkuk di sudut ruangan, gemetar, berbisik-bisik, menunjuk ke sudut-sudut kosong. Ia mencoba berteriak tentang "mereka" yang masuk, tapi suaranya hanya menjadi erangan.
Setelah kejadian itu, Bram tidak lagi berkomunikasi secara jelas. Ia hanya akan duduk diam, terkadang tersenyum samar pada dirinya sendiri, atau bergumam sebuah nama: "Riko..."
Di meja samping tempat tidurnya, ada sebuah kartu ucapan. Kartu itu terlihat biasa saja, tanpa hiasan berlebihan. Di dalamnya, tulisan tangan rapi tertera:
Untuk Bramantyo Hadi,
Dari penggemar setiamu.
Semoga cepat pulih dan kembali bersinar.
Kami selalu mendukungmu.
Di bagian bawah kartu, ada tulisan tambahan yang lebih kecil, hampir tak terlihat, seolah hanya sebuah coretan iseng. Tulisan itu berbunyi: "Kini kau tahu rasanya benar-benar sendirian. Tidur yang nyenyak, Bram. Kau tidak perlu lagi berpura-pura."
Dan di sudut kartu itu, sebuah tanda tangan kecil. Sebuah simbol teknis, seperti ikon power atau reload pada sistem komputer, yang sering terlihat di interface yang dipasang oleh... Riko.
Bram menoleh ke arah kartu itu, pandangannya terfokus pada tulisan tambahan di bagian bawah dan simbol kecil itu. Sebuah kilatan pengenalan muncul di matanya yang keruh, kilatan singkat dari akal sehat yang terakhir.
Ia tahu.
Ia tahu ini bukan delusi. Ia tahu ia tidak gila.
Tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin yang menusuk. Aroma tanah basah dan asap rokok menyeruak begitu kuat, membuat napasnya sesak. Di samping ranjangnya, sesosok bayangan hitam tinggi berdiri. Lebih jelas dari sebelumnya. Mata merah menyala menatap langsung ke arahnya. Bayangan itu adalah Riko.
Riko tersenyum tipis, senyum yang dingin dan puas. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia tidak perlu. Semua sudah selesai.
Bram membuka mulutnya, ingin berteriak, ingin menjelaskan, ingin membuktikan. Tapi ia tidak bisa. Ia hanya bisa menatap bayangan Riko, dan dari bibirnya yang kering, sebuah bisikan nyanyian keluar. Nyanyian yang monoton, mengulang-ulang kalimat yang kini menjadi mantra bagi jiwanya yang rusak:
"Tak ada percaya padaku... Tak ada percaya padaku... Tak ada percaya padaku..."
Pria berseragam teknisi itu, Riko, menyelesaikan pekerjaannya pada panel listrik di koridor klinik. Ia bersenandung pelan. Nada lagu itu adalah lagu pengantar tidur yang dulu sering ia dengar di televisi Bram. Ia mengeluarkan ponselnya. Di layar ponselnya, terlihat sebuah notifikasi baru: ’Target status: neutralized. Project complete.’
Riko tersenyum puas. Ia menatap lurus ke depan, lalu perlahan menghilang ke dalam kegelapan koridor, meninggalkan Bram sendirian dalam keheningan yang menelan jiwanya.
Di wajah Bram, senyum samar muncul. Ia tidak lagi panik. Ia tidak lagi ketakutan. Ia telah menemukan kedamaian dalam kegilaannya. Ia berbisik pelan, suaranya nyaris tak terdengar, namun dipenuhi keyakinan:
"Kalian tidak bisa mengambilku lagi. Aku... aku aman di sini. Mereka... mereka ada di luar sana."