Masukan nama pengguna
Bab 1 – Anak Daerah yang Beruntung
Desas-desus tentang SMA Nusa Bangsa sudah sering Randy dengar bahkan di sudut kota kecilnya, Cilegon. Konon, sekolah itu adalah salah satu institusi pendidikan paling tua, paling bergengsi, dan paling diminati di Indonesia, berlokasi di sebuah kota tua yang dipenuhi jejak-jejak sejarah kolonial Belanda. Kota itu sendiri bernama Kota Kencana, sebuah nama yang konon diberikan karena kekayaan warisan budaya dan arsitekturnya. SMA Nusa Bangsa bukan sekadar sekolah, melainkan sebuah lambang prestise, sebuah gerbang menuju masa depan cerah bagi setiap siswa berprestasi yang berhasil menembus seleksinya yang ketat. Selama bertahun-tahun, Randy hanya bisa membayangkan dirinya melangkah di koridor-koridor megah sekolah itu, berinteraksi dengan guru-guru hebat, dan bersaing dengan siswa-siswa terpilih dari seluruh Nusantara.
Maka, ketika selembar surat dengan kop resmi SMA Nusa Bangsa tiba di rumahnya yang sederhana di Cilegon, Randy hampir tidak bisa mempercayai apa yang ia baca. Jantungnya berdegup kencang, memompakan adrenalin ke seluruh tubuhnya. Matanya tak lepas dari tulisan: "Dengan bangga kami memberitahukan bahwa Saudara Randy Pradana, lulusan SMP Harapan Bangsa, telah diterima sebagai siswa baru tanpa tes melalui jalur khusus prestasi daerah terpencil." Sebuah kesempatan emas, sebuah anugerah tak terduga. Ia, seorang remaja enam belas tahun dengan cita-cita setinggi langit, akan merantau, meninggalkan rumah, orang tua, dan semua kenyamanan yang selama ini ia kenal. Ia akan melangkah ke sebuah kota asing, ke sekolah impian yang selama ini hanya ada dalam lamunannya.
Bapak Slamet, ayahnya yang seorang petani dengan tangan kasar dan tatapan mata penuh kehangatan, mendekat dan menepuk pundak Randy dengan bangga. "Nak, ini adalah jalan yang dibukakan Tuhan untukmu. Jangan sia-siakan setiap detik yang kamu miliki di sana." Wajahnya berkerut oleh garis-garis kelelahan, namun senyumnya tulus dan penuh dukungan. Ibu Lastri, ibunya yang selalu lembut dan perhatian, memeluknya erat, air mata membasahi pipinya yang keriput. "Jaga diri baik-baik, ya, Nak. Makan teratur, jangan lupa beribadah, dan jangan lupakan kami di sini." Suaranya bergetar, diselingi isakan lirih. Randy mengangguk, dadanya meluap-luap dengan campuran semangat, haru, dan sedikit rasa gugup yang tak bisa ia jelaskan.
Persiapan keberangkatan dilakukan dengan sederhana. Randy hanya membawa sebuah tas ransel yang tidak terlalu penuh berisi beberapa pakaian, buku pelajaran SMP, dan sebuah kamus usang peninggalan kakeknya. Namun, di dalam hatinya, ia membawa impian yang jauh lebih besar, sebuah harapan akan masa depan yang cerah, penuh pembelajaran, dan pengalaman baru. Di hari keberangkatan, keluarga besarnya berkumpul untuk mengantarkannya ke terminal bus. Neneknya memberikan sebungkus rendang buatan sendiri, berpesan agar Randy selalu mengingat kampung halaman. Adik-adik sepupunya, yang selalu menganggap Randy sebagai panutan, melambaikan tangan dengan mata berkaca-kaca.
Perjalanan dengan bus menuju Kota Kencana memakan waktu hampir delapan jam. Selama perjalanan, Randy terus menatap keluar jendela, mengamati pemandangan yang berubah dari sawah-sawah hijau menjadi gedung-gedung tinggi. Pikirannya melayang, membayangkan seperti apa kehidupan di Kota Kencana. Apakah teman-temannya nanti akan ramah? Apakah ia bisa bersaing dengan siswa-siswa lain yang mungkin jauh lebih pintar? Rasa cemas perlahan menyelinap, namun segera ia tepis dengan tekad kuat. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan belajar keras, membuktikan bahwa ia layak mendapatkan kesempatan ini, dan membuat orang tuanya bangga.
Akhirnya, bus memasuki gerbang Kota Kencana. Randy langsung terpukau. Ini bukan sekadar kota tua biasa. Bangunan-bangunan kuno dengan arsitektur kolonial yang megah berdiri kokoh di sepanjang jalan, atap-atap merah bata dan pilar-pilar kokoh menjulang tinggi, seolah membisukan kisah-kisah masa lalu. Pepohonan rindang yang menjulang tinggi, beberapa di antaranya sudah berusia ratusan tahun, menciptakan suasana yang teduh dan magis. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi bunga melati yang entah dari mana asalnya, memenuhi udara. Sebuah kombinasi sempurna antara sejarah, alam, dan kehidupan modern yang berdenyut pelan di antara bangunan-bangunan tua itu.
Randy turun dari bus dengan langkah mantap. Ia mengikuti petunjuk dari surat penerimaan, menaiki sebuah angkot tua yang membawanya masuk lebih dalam ke jantung kota lama. Angkot itu melewati jalan-jalan sempit berliku, diapit oleh deretan rumah-rumah kuno yang dijaga dengan apik. Tak lama kemudian, ia tiba di depan sebuah gerbang besi tempa yang menjulang tinggi, diapit oleh dua pilar besar bergaya Eropa. Di atas gerbang itu, terukir jelas nama yang telah menjadi obsesinya: SMA Nusa Bangsa.
Ini dia. Gerbang impiannya.
Gedung utama sekolah terlihat dari kejauhan, sebuah mahakarya arsitektur, tiga lantai dengan dinding batu berwarna krem, atap kerucut, dan jendela-jendela besar yang anggun. Dikelilingi oleh taman yang asri, dipenuhi bunga-bunga berwarna-warni dan pohon-pohon mangga raksasa yang memberikan keteduhan. Di bawah sinar matahari sore, gedung itu tampak anggun dan berwibawa, memancarkan aura sejarah yang mendalam. Sebuah perasaan campur aduk antara kagum dan gugup menyelimuti Randy. Ia melangkah melewati gerbang, menuju asrama sekolah yang letaknya tak jauh dari gedung utama. Asrama itu sendiri berupa bangunan dua lantai yang lebih modern namun tetap serasi dengan arsitektur sekolah. Kamar yang ia dapatkan nyaman, berisi dua ranjang, dua meja belajar, dan sebuah jendela besar yang menghadap langsung ke lapangan hijau yang luas. Ranjangnya terletak di dekat jendela, memberikan pemandangan yang menenangkan setiap pagi. Randy menata barang-barangnya, merapikan buku-buku di meja, dan mengeluarkan sebuah foto keluarga yang selalu ia bawa ke mana pun. Ia meletakkannya di nakas, sebagai pengingat akan rumah dan orang tuanya. Masa depan terasa begitu cerah, tak ada sedikit pun bayangan kegelapan atau keanehan yang akan menyelimutinya. Ini adalah awal yang sempurna, pikirnya.
Bab 2 – Kehidupan Baru yang Menyenangkan
Hari-hari awal Randy di SMA Nusa Bangsa dipenuhi dengan kesibukan dan kegembiraan yang luar biasa. Ia adalah seorang yang mudah beradaptasi, dan lingkungan baru ini menyambutnya dengan tangan terbuka. Asrama sekolah, yang ia duga akan terasa asing, justru menjadi tempat yang nyaman dan penuh kehangatan. Ia ditempatkan di kamar bersama seorang siswa sebayanya dari Makassar bernama Budi Sanjaya, seorang remaja yang humoris dengan logat daerah yang kental, selalu siap melontarkan lelucon untuk mencairkan suasana. Tak lama kemudian, mereka akrab dengan Rio Ananta, seorang siswa pendiam asal Bandung yang sangat cerdas, kutu buku sejati, namun memiliki selera humor yang tajam jika sudah dekat. Ada juga Lia Paramitha, gadis periang dan ramah dari Yogyakarta, yang menjadi ketua kelas mereka dan selalu siap membantu siapa pun yang kesulitan. Bersama mereka, Randy merasa seperti menemukan keluarga baru.
Setiap pagi, mereka bangun dini hari untuk sholat subuh berjamaah di mushola asrama, dilanjutkan dengan sarapan sederhana di kantin asrama yang selalu ramai. Perjalanan dari asrama ke gedung sekolah utama hanya memakan waktu lima menit berjalan kaki, melewati taman yang selalu segar dan terawat.
SMA Nusa Bangsa memang bukan sekadar bangunan tua, melainkan sebuah ekosistem pendidikan yang berdenyut penuh semangat. Gedung utamanya yang berarsitektur kolonial Belanda adalah sebuah labirin koridor-koridor panjang dengan lantai marmer yang mengkilap, dinding-dinding tinggi yang dipenuhi pigura foto-foto pahlawan dan alumni berprestasi, serta jendela-jendela besar yang mengizinkan cahaya matahari masuk dengan leluasa. Kelas-kelasnya luas, dilengkapi papan tulis hitam yang masih menggunakan kapur, dan deretan bangku kayu tua yang kokoh, meninggalkan aroma khas kayu lapuk bercampur debu yang justru terasa menenangkan.
Guru-guru di SMA Nusa Bangsa adalah sosok-sosok yang sangat berdedikasi dan inspiratif. Bu Retno, guru Bahasa Indonesia, adalah seorang wanita paruh baya dengan senyum yang hangat dan suara yang menenangkan. Ia mengajar sastra dengan penuh semangat, mampu membuat puisi-puisi lama terasa hidup dan relevan bagi para siswa. Ia sering bercerita tentang sejarah sastra Indonesia, menghubungkan pelajaran dengan kisah-kisah masa lalu yang membuat Randy terhanyut. Pak Arman, guru Matematika, dikenal tegas namun sabar. Ia punya cara unik dalam menjelaskan rumus-rumus rumit, seringkali menggunakan analogi kehidupan sehari-hari yang membuat pelajaran yang sulit itu menjadi mudah dicerna. Setiap soal yang ia berikan selalu menantang, mendorong siswa untuk berpikir keras. Pak Dirman, guru Sejarah yang bijaksana, sering mengajak mereka berdiskusi tentang peristiwa-peristiwa penting di Kota Kencana selama masa penjajahan, membuat Randy merasa seolah ia kembali ke masa lalu.
Suasana sekolah sangat hidup. Lapangan olahraga tak pernah sepi. Setiap sore, setelah jam pelajaran usai, siswa-siswa berkumpul untuk bermain sepak bola, basket, atau sekadar berlari-lari. Suara riuh tawa dan teriakan semangat selalu memenuhi udara. Gedung kesenian, sebuah aula luas di ujung koridor, selalu diisi oleh suara musik dari latihan band, paduan suara, atau pementasan drama. Perpustakaan sekolah adalah surga bagi Randy dan Rio. Sebuah ruangan megah dengan rak-rak buku menjulang tinggi hingga langit-langit, dipenuhi buku-buku tua yang berbau kertas lapuk, beberapa di antaranya adalah manuskrip kuno yang sudah jarang ditemukan. Mereka sering menghabiskan waktu berjam-jam di sana, tenggelam dalam lautan pengetahuan.
Setiap akhir pekan, ada saja kegiatan ekstrakurikuler. Randy bergabung dengan klub jurnalistik, sementara Budi ikut klub debat. Rio sibuk dengan klub astronomi, dan Lia aktif di OSIS. Mereka sering makan bersama di kantin sekolah yang ramai, menikmati hidangan rumahan yang lezat dengan harga terjangkau. Obrolan mereka selalu ramai, mulai dari tugas sekolah, rencana liburan, hingga impian masa depan. Randy merasa seperti menemukan rumah keduanya di sini. Ia mengirimkan banyak foto kepada orang tuanya: foto dirinya di depan gerbang sekolah yang megah, foto bersama Rio dan Budi di perpustakaan dengan tumpukan buku di meja mereka, foto grup bersama teman-teman sekelasnya di lapangan, dengan latar belakang gedung sekolah yang kokoh dan indah. Ia juga bercerita tentang guru-gurunya yang ramah, pelajaran yang menarik, dan teman-teman yang menyenangkan. Senyum selalu terukir di wajahnya setiap kali ia menelepon rumah. Ia merasa sangat beruntung. Semuanya terasa begitu sempurna, begitu nyata. Tidak ada sedikitpun keraguan di benaknya bahwa ini adalah kehidupan yang ia impikan.
Bab 3 – Tiga Minggu yang Hilang
Minggu ketiga di SMA Nusa Bangsa berjalan seperti biasa, bahkan terasa lebih baik. Randy semakin betah, nilainya bagus, dan ia semakin akrab dengan kelompok pertemanannya. Mereka bahkan sudah merencanakan kegiatan akhir pekan di perpustakaan kota untuk mencari referensi tugas sejarah. Sore itu, Randy sedang asyik menyelesaikan tugas Bahasa Indonesia di perpustakaan sekolah, dikelilingi tumpukan buku-buku sastra. Suasana di perpustakaan sangat tenang, hanya terdengar gesekan pena dan desiran halaman buku. Ponselnya, yang ia letakkan di samping tumpukan buku, tiba-tiba berdering nyaring, memecah keheningan. Nama "Ibu" tertera di layar. Randy mengangkatnya dengan ceria, pikirannya masih penuh dengan ide-ide untuk esai sastranya.
"Halo, Bu? Ada apa? Tumben sore-sore telepon?" tanyanya, suaranya ceria.
Namun, respons dari seberang telepon sama sekali tidak sesuai dengan keceriaan Randy. Suara Ibu Lastri terdengar panik, napasnya tersengal-sengal, seolah baru saja berlari marathon. "Randy, Nak! Kamu di mana? Kenapa kamu sudah tiga minggu tidak masuk sekolah? Kamu baik-baik saja, Nak?"
Randy terdiam, otaknya mencoba memproses pertanyaan itu. Ia merasa seperti mendengar sesuatu yang tidak masuk akal. "Maksud Ibu apa? Aku di sekolah kok, Bu! Baru saja selesai pelajaran terakhir. Aku sedang di perpustakaan, mengerjakan tugas." Randy bahkan bisa melihat Bu Retno, sang pustakawati, sedang merapikan buku di rak seberang. Rio dan Budi juga masih terlihat asyik membaca di meja dekat jendela.
"Jangan bercanda, Nak!" Suara Ibu Lastri meninggi, diikuti suara Bapak Slamet yang terdengar lebih keras dan khawatir di latar belakang. "Tadi pagi, kepala sekolah pusat mengirim surat pemberitahuan. Katanya kamu belum pernah datang sama sekali sejak pendaftaran ulang! Kami kaget sekali, Nak! Kamu di mana sebenarnya?"
Randy merasakan denyutan aneh di kepalanya, seperti ada sesuatu yang dipaksa untuk ia percaya. Tidak mungkin. Ia masuk sekolah setiap hari. Ia bahkan bisa merasakan sakit punggung karena duduk terlalu lama di bangku kelas. Ia mengingat setiap pelajaran, setiap interaksi. Ia punya bukti. Cepat-cepat, ia membuka buku hariannya yang selalu ia bawa. Di sana, tertulis rapi semua jadwal pelajaran, tugas-tugas yang sudah ia kerjakan, dan paraf guru di setiap catatan kehadiran. Ia bahkan bisa menyebutkan tanggal dan materi pelajaran di setiap hari selama tiga minggu terakhir.
"Bu, aku ada kok bukti absennya. Ini, catatanku lengkap. Aku bahkan punya foto-foto kegiatanku di sekolah. Ibu ingat foto aku sama Rio dan Budi di perpustakaan? Aku juga kirim foto grup kelas di lapangan!" kata Randy, mencoba menenangkan ibunya. Suaranya terdengar meyakinkan, namun di dalam dirinya, bibit-bibit kegelisahan mulai tumbuh dan menjalar.
Ia membuka galeri ponselnya, mencari foto-foto yang ia ambil di sekolah. Ada fotonya di depan gerbang sekolah yang megah, di perpustakaan bersama Rio dan Budi, di kantin bersama Lia, serta foto grup bersama teman-teman sekelasnya di lapangan yang cerah. Semuanya tampak normal, penuh warna, dan hidup. Ia memilih beberapa foto terbarunya, yang menurutnya paling meyakinkan, dan mengirimkannya satu per satu kepada orang tuanya melalui aplikasi pesan.
"Ini buktinya, Bu. Lihat. Aku janji, aku baik-baik saja. Mungkin ada kesalahan administrasi di bagian tata usaha pusat?" kata Randy, mencoba mencari penjelasan yang masuk akal. Ia berusaha untuk tetap tenang, namun kerutan di dahinya semakin dalam. Sebuah firasat dingin merayapi punggungnya, firasat bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar, lebih aneh, dan mungkin mengerikan sedang terjadi. Firasat yang tidak bisa ia abaikan.
Bab 4 – Foto yang Aneh
Beberapa menit kemudian, ponsel Randy kembali berdering. Kali ini, panggilan video dari orang tuanya. Randy mengangkatnya, berharap bisa melihat senyum lega di wajah mereka. Namun, yang ia lihat justru ekspresi terkejut, panik, dan ketakutan yang jelas terlihat. Air mata Ibu Lastri sudah membasahi pipinya.
"Randy... foto apa ini, Nak?" tanya Bapak Slamet, suaranya bergetar, hampir tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Ia memegang ponselnya sendiri, dan di layarnya terlihat gambar yang sama dengan yang baru saja dikirim Randy.
Randy menatap layar ponselnya. Di sana, ia melihat dirinya, Rio, Budi, dan Lia tersenyum lebar ke arah kamera, di lapangan hijau yang cerah, dengan gedung sekolah yang megah sebagai latar belakang. Ia ingat jelas momen itu, tawa mereka, sentuhan bahu Rio di sampingnya, bau rumput yang baru dipotong.
"Ini foto kita semua, Pak. Aku sama teman-teman di lapangan. Rio, Budi, Lia, mereka semua ada di sana," jelas Randy, mencoba memahami apa yang salah.
"Tidak ada, Nak! Sama sekali tidak ada!" seru Ibu Lastri, isakannya semakin keras. "Ini foto kamu sendirian, berdiri di tengah lapangan yang kosong dan kotor! Gedung sekolah di belakangmu itu... kusam, Nak. Seperti tidak terawat, jendelanya banyak yang pecah! Di mana teman-teman yang kamu maksud itu?"
Randy merasa jantungnya mencelos, seolah ada tangan tak terlihat yang meremas organ vitalnya. Ia melihat layar ponselnya lagi, lalu beralih ke layar ponsel orang tuanya melalui panggilan video. Ini tidak mungkin. Di layar ponsel Randy, foto itu penuh dengan wajah-wajah yang familiar, senyum-senyum ceria. Di layar ponsel orang tuanya, hanya ada dirinya, sendirian, di tengah pemandangan yang terlihat seperti sisa-sisa bangunan usang.
Ia mencoba membuka foto-foto lain yang ia kirimkan. Foto dirinya di depan gerbang sekolah yang megah. Di layarnya, gerbang itu kokoh, dihiasi tanaman rambat yang rimbun. Di layar orang tuanya, gerbang itu berkarat, pilar-pilarnya retak, dan tanaman rambatnya kering kerontang. Foto di perpustakaan bersama Rio dan Budi. Di ponsel Randy, rak-rak penuh buku, cahaya lampu hangat, Rio dan Budi asyik membaca. Di ponsel orang tuanya, hanya ada Randy di sebuah ruangan gelap, rak-rak kosong, dan tumpukan debu di mana-mana.
"Mungkin ini cuma kesalahan file, Bu," ucap Randy, mencoba meyakinkan dirinya sendiri lebih dari orang tuanya. Suaranya terdengar tidak yakin. "Sinyal di sini kadang aneh, jadi filenya korup atau bagaimana."
Ia mengulangi pengiriman foto-foto tersebut, bahkan mencoba mengirim yang lain, berharap ada perbedaan. Namun, respons dari orang tuanya tetap sama. Mereka bersikeras bahwa foto-foto itu hanya menunjukkan Randy seorang diri, berdiri di tengah sekolah yang sepi, terbengkalai, dan rusak parah. Bahkan foto dirinya yang ia ambil dengan fitur selfie di dalam kelas, yang ia yakin ada Rio dan Lia di latar belakang, hanya menunjukkan dirinya di sebuah ruangan kosong dengan bangku-bangku berserakan.
Malam itu, Randy tidak bisa tidur. Ia berulang kali memeriksa ponselnya, melihat foto-foto itu. Di matanya, semua teman dan gurunya ada di sana. Tapi kenapa orang tuanya tidak melihatnya? Pertanyaan-pertanyaan aneh mulai berputar di kepalanya, menjadi badai di dalam pikirannya. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah orang tuanya bercanda dengan lelucon yang keterlaluan? Atau apakah ada yang salah dengan dirinya? Dengan matanya? Dengan ingatannya? Sebuah firasat dingin merayapi punggungnya, semakin kuat, semakin nyata. Firasat bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar dan mengerikan sedang terjadi. Sesuatu yang menembus batas antara realitas dan ilusi. Ia merasa seperti ada dinding tipis yang memisahkan dirinya dari dunia nyata, dinding yang perlahan mulai runtuh.
Bab 5 – Kebingungan dan Kecurigaan
Rasa kantuk yang mendalam akibat kurang tidur tidak membuat Randy mengabaikan apa yang terjadi. Pagi harinya, ia memutuskan untuk membuktikan kebenaran dengan caranya sendiri. Ia pergi ke percetakan foto kecil di dekat asrama, sebuah tempat yang ia sering lewati namun belum pernah ia kunjungi. Dengan tangan gemetar, ia memilih beberapa foto dari ponselnya yang ia kirimkan ke orang tuanya, termasuk foto yang diambil di lapangan sekolah. Ia juga memilih beberapa foto lain, termasuk foto yang ia ambil di dalam kelas bersama teman-temannya.
"Tolong cetak ini ya, Pak," pintanya pada penjaga percetakan yang sudah tua.
Mesin cetak mulai bekerja, mengeluarkan suara berdesir pelan. Tak lama kemudian, selembar foto pertama keluar. Randy meraihnya, dan napasnya tercekat. Di tangannya, terpampang gambarnya sendirian, di tengah lapangan yang tampak kotor dan ditumbuhi rumput liar yang tinggi. Bangunan sekolah di belakangnya terlihat kusam, jendela-jendela pecah, cat mengelupas di sana-sini. Tak ada seorang pun siswa lain. Tidak ada Rio, tidak ada Budi, tidak ada Lia. Tidak ada guru-guru yang ceria. Hanya dirinya. Sendirian. Seolah ia sedang berada di sebuah reruntuhan.
Randy mencetak foto-foto lain. Hasilnya sama. Foto di dalam kelas: hanya dirinya, duduk di bangku tua yang retak, dikelilingi bangku-bangku kosong yang berserakan dan tertutup debu tebal. Foto di perpustakaan: hanya dirinya, dikelilingi rak-rak yang setengah kosong dan tumpukan buku-buku yang berantakan. Sebuah kengerian perlahan merayapi hatinya, menjalar dari ujung kaki hingga ke ubun-ubun. Ini bukan lelucon. Ini bukan kesalahan teknis. Ini... nyata.
Ia kembali ke asrama dengan langkah gontai. Asrama yang selama ini ia kenal ramai dan hidup, kini terasa sunyi dan dingin. Ia mencoba mencari Budi, Rio, dan Lia. Ia mengetuk pintu kamar Budi, namun tidak ada jawaban. Ia membuka pintu kamar mereka. Kosong. Ranjang Budi kosong, barang-barangnya tidak ada. Ranjangnya sendiri, yang seharusnya ia tinggalkan rapi, kini terlihat berantakan, seolah sudah lama tidak ditempati. Ia pergi ke kamar Rio dan Lia. Sama. Kosong. Sunyi. Asrama ini... terasa kosong. Tidak ada suara tawa, tidak ada obrolan, tidak ada jejak kehidupan. Hanya keheningan yang menyesakkan.
Randy pergi ke kelas yang selama ini ia tempati. Ruangan itu gelap, pengap. Jendela-jendela yang ia ingat selalu bersih dan cerah kini berdebu tebal. Papan tulis yang dulu penuh tulisan rapi dari guru, kini penuh coretan tak jelas dan gambar-gambar menyeramkan. Tak ada bangku-bangku berjejer rapi, hanya kursi kayu tua yang berserakan, beberapa di antaranya patah. Lantai dipenuhi dedaunan kering dan kotoran burung.
Kebingungan Randy berubah menjadi ketakutan yang mendalam, lalu perlahan beralih menjadi kecurigaan yang menggerogoti jiwanya. Siapa sebenarnya guru-guru yang selama ini mengajar? Siapa teman-teman yang selama ini bersamanya? Ingatannya mulai terasa kabur, seperti ada lapisan tipis yang menutupi kebenaran. Kadang, saat sore menjelang dan bayangan panjang mulai merayap di koridor, suasana sekolah yang semula ceria tiba-tiba berubah muram, diselimuti keheningan yang mencekam. Ia pernah melihat sekilas sosok Bu Retno melintas di koridor, bayangannya tembus pandang, namun saat ia berkedip, sosok itu menghilang seperti asap. Ia bahkan pernah berpapasan dengan Pak Arman yang berjalan melewatinya tanpa menoleh, dengan wajah kaku dan tatapan kosong, lalu tiba-tiba lenyap di balik tikungan, meninggalkan hawa dingin.
Randy mulai merasa paranoia. Apakah ia gila? Apakah ia berhalusinasi? Atau adakah sesuatu yang sangat salah di tempat ini? Sebuah misteri yang perlahan-lahan menyedotnya ke dalam jurang kegilaan. Setiap detiknya di sekolah itu, setiap interaksinya, setiap tawa yang ia dengar, kini terasa seperti ilusi yang rapuh, siap pecah kapan saja. Ia tidak bisa lagi mempercayai apa yang ia lihat, apa yang ia dengar, bahkan apa yang ia rasakan. Realitasnya telah runtuh, dan ia berdiri sendirian di reruntuhannya.
Bab 6 – Penelusuran Kebenaran
Kepanikan dan kecurigaan yang semakin memuncak mendorong Randy untuk mencari jawaban di luar tembok sekolah yang kini terasa seperti jebakan. Ia memutuskan untuk menyelinap keluar asrama yang kini terasa kosong dan dingin, menuju perpustakaan kota yang ia lihat beberapa kali saat perjalanan awalnya ke Kota Kencana. Perpustakaan kota itu adalah bangunan tua bergaya kolonial, terawat apik, dengan taman kecil di depannya. Aroma buku-buku lama dan kayu jati segera menyambutnya saat ia melangkah masuk.
Di bagian informasi, ia menemukan seorang kakek tua berkacamata tebal, dengan rambut putih tipis dan senyum ramah, yang sedang asyik membaca koran lama. Namanya Pak Heru, pustakawan senior di sana. Randy mendekat dengan hati-hati.
"Permisi, Pak. Saya mau mencari informasi tentang SMA Nusa Bangsa," kata Randy, suaranya sedikit bergetar.
Pak Heru mengangkat kepalanya, kerutan di dahinya. "SMA Nusa Bangsa? Oh, sekolah lama itu, ya? Ada apa, Nak?" Ia menatap Randy dengan tatapan aneh, seolah Randy menanyakan sesuatu yang sudah lama terlupakan.
"Sekolah lama? Maksud Bapak, sekolah yang sekarang di dekat asrama di Jalan Melati itu?" tanya Randy, mencoba mengklarifikasi.
Kakek itu tersenyum tipis, sebuah senyum yang mengandung kesedihan. "Sekolah yang di Jalan Melati itu, Nak... sudah lama dikosongkan. Sekitar dua puluh tahun yang lalu, kalau tidak salah. Sekarang SMA Nusa Bangsa yang aktif itu ada di lokasi yang baru, di daerah pinggir kota. Gedungnya modern, fasilitasnya lengkap."
Jantung Randy berdebar kencang, seolah dipukul palu godam. Ini dia. Kepingan puzzle mulai bersatu, membentuk gambaran yang mengerikan. "Pindah? Tapi saya... saya baru saja diterima di sana, Pak. Saya sudah tiga minggu belajar di sana." Suaranya terdengar putus asa.
Kakek itu menunjuk ke arah peta kota tua yang tergantung di dinding. "Gedung lama yang kamu maksud itu... sudah lama sekali dikosongkan, Nak. Setelah itu, banyak laporan gangguan. Orang-orang sekitar sering mendengar suara aneh, melihat penampakan. Dulu, memang ada banyak kejadian aneh di sana, bahkan sebelum dikosongkan. Banyak siswa mengalami gangguan mental karena tekanan belajar yang luar biasa di era itu, ada juga kasus perundungan yang parah, dan beberapa di antaranya bahkan... bunuh diri." Pak Heru berbisik pelan pada kalimat terakhir, tatapannya menyiratkan kesedihan mendalam. "Pemerintah kota akhirnya memutuskan untuk membangun gedung baru di lokasi yang lebih modern dan aman. Gedung lama itu kemudian disegel, hanya tersisa sebagai cagar budaya yang terbengkalai."
Randy merasakan seluruh darahnya mengering. SMA Nusa Bangsa yang selama ini ia tempati, tempat ia belajar dan tertawa bersama teman-temannya, adalah gedung yang sudah dikosongkan selama dua puluh tahun? Gedung yang penuh laporan gangguan roh dan tragedi masa lalu? Otaknya berusaha menolak informasi itu, namun fakta-fakta yang ia temukan, ditambah dengan foto-foto aneh dan kejanggalan yang ia rasakan, mulai membentuk gambaran yang tidak bisa ia bantah lagi.
Tidak puas dengan hanya informasi dari perpustakaan, Randy kemudian memberanikan diri mendatangi kantor dinas pendidikan kota, yang letaknya tidak terlalu jauh. Ia meminta untuk memeriksa data siswa baru SMA Nusa Bangsa. Petugas di sana, seorang wanita paruh baya yang sibuk dengan berkas-berkas, mencarinya di database mereka.
"Randy Pradana dari Cilegon, ya? Ada di daftar pendaftaran. Tapi, kamu tidak pernah melakukan daftar ulang fisik, Nak. Tidak ada catatan kehadiranmu di SMA Nusa Bangsa yang sekarang. Ini datanya," kata petugas itu, menunjukkan layar komputernya.
Di layar itu, tertera namanya, data kelulusan SMP-nya, namun di kolom "Status Pendaftaran Ulang" tertulis "Belum Terdaftar". Tidak ada Randy yang terdaftar sebagai siswa baru di SMA Nusa Bangsa yang aktif. Tidak ada jejaknya.
Rasa dingin yang menusuk tulang perlahan menyelimutinya, merasuk hingga ke sumsum. Ia tidak pernah benar-benar ada di sana. Ia tidak pernah benar-benar terdaftar. Lalu, apa yang ia jalani selama tiga minggu terakhir? Siapa mereka semua? Sebuah kengerian yang dalam mencengkeramnya, kengerian akan sebuah kebohongan besar yang telah ia jalani, kebohongan yang jauh lebih menakutkan karena terasa begitu nyata. Ia adalah satu-satunya yang tersisa di tengah ilusi ini.
Bab 7 – Kembali ke Gedung Sekolah Lama
Randy tidak bisa lagi menunda kebenaran. Ia harus melihat dengan mata kepalanya sendiri, di bawah sinar matahari langsung, tanpa bayangan samar atau ilusi yang mengaburkan pandangannya. Ia harus kembali ke tempat yang selama tiga minggu ia yakini sebagai sekolahnya. Dengan langkah gontai, ia meninggalkan kantor dinas pendidikan, berjalan kaki menuju Jalan Melati. Langkahnya terasa berat, setiap hembusan angin seolah membawa bisikan-bisikan aneh.
Siang itu, di bawah terik matahari yang menyengat, gedung megah yang ia kenal kini tampak benar-benar terbengkalai dan kosong, jauh dari kesan anggun yang ia lihat pertama kali. Jendela-jendela yang ia ingat selalu bersih dan memancarkan cahaya, kini pecah di sana-sini, sebagian besar tertutup papan kayu yang lapuk. Cat dinding yang dulu berwarna krem kini mengelupas di mana-mana, memperlihatkan batu bata tua di bawahnya. Ilalang tinggi dan semak belukar tumbuh liar di halaman depan, menutupi jalan setapak yang dulu rapi. Gerbang besi tempa yang dulunya kokoh kini berkarat parah, terbuka sebagian, seolah mengundang siapa pun yang berani masuk. Sebuah papan peringatan lusuh yang sudah hampir tidak terbaca, bertuliskan "Dilarang Masuk - Bangunan Berbahaya", tergantung miring di salah satu tiang.
Dengan langkah ragu dan jantung berdebar tak karuan, Randy memberanikan diri masuk. Udara di dalamnya terasa dingin dan lembap, berbau debu, lumut, dan lapuk yang menusuk hidung. Cahaya matahari hanya mampu menembus sebagian kecil dari kegelapan yang menyelimuti interior gedung. Langkah kakinya yang berat bergaung di koridor yang sunyi, menciptakan suara gema yang menyeramkan. Dinding-dinding dihiasi noda-noda lembap dan lumut, pigura-pigura foto yang dulunya penuh dengan wajah-wajah alumni berprestasi kini kosong atau hanya menyisakan pecahan kaca.
Ia melangkah masuk ke ruangan-ruangan kelas yang dulu ia ingat penuh tawa dan pelajaran. Kini, mereka gelap, pengap, dan penuh sarang laba-laba yang menggantung seperti tirai. Papan tulis yang dulu penuh tulisan rapi dari Bu Retno atau rumus-rumus Pak Arman, kini kotor dan penuh coretan-coretan tidak jelas, sebagian besar sudah terhapus oleh waktu. Bangku-bangku kayu tua yang dulu berjejer rapi kini berserakan, beberapa di antaranya patah, dengan potongan-potongan kayu yang bertebaran di lantai. Lantai dipenuhi dedaunan kering, kotoran burung, dan jejak-jejak hewan pengerat. Aroma apek dan busuk bercampur di udara.
Randy berjalan melewati setiap ruangan, setiap sudut yang ia ingat. Kantin yang dulu ramai, kini hanya menyisakan meja-meja reyot dan kursi-kursi patah. Perpustakaan yang dulu megah dengan rak-rak penuh buku, kini rak-raknya kosong melompong, dan buku-buku yang tersisa berantakan di lantai, dimakan rayap. Namun, ada sesuatu yang ganjil. Di salah satu meja di sudut kelas yang ia yakini sebagai kelasnya, meja yang ia kenali sebagai mejanya, tergeletak sebuah buku catatan. Sebuah buku catatan dengan sampul biru tua, persis sama dengan miliknya.
Dengan tangan gemetar, Randy meraihnya. Benar saja. Itu buku catatannya. Di dalamnya, tertulis rapi semua jadwal pelajaran, materi, dan tugas-tugas yang ia ikuti selama tiga minggu terakhir. Ada tulisan tangan yang ia kenali sebagai milik Bu Retno, catatan-catatan penting yang ia tuliskan saat Bu Retno menjelaskan sastra. Ada juga coretan rumus Matematika dari Pak Arman di margin halaman, dan bahkan paraf kehadiran yang ia yakini sebagai miliknya di daftar absen kecil di setiap awal pelajaran. Randy membalik halaman demi halaman. Nilai-nilai tugasnya tertera di sana, lengkap dengan komentar guru, seperti "Bagus, tingkatkan!" atau "Perlu latihan lagi, Randy." Semua tampak nyata, terukir di atas kertas. Sebuah jejak tak terbantahkan dari keberadaannya di sini.
Bagaimana ini mungkin? Jika gedung ini sudah kosong selama dua puluh tahun, bagaimana buku catatannya bisa ada di sini? Bagaimana ia bisa belajar di tempat ini, bertemu guru dan teman-teman, jika semua itu tidak pernah ada di dunia nyata? Randy merasa kepalanya berdenyut hebat, realitasnya terasa runtuh di sekelilingnya. Ada dua versi kebenaran yang saling bertabrakan di dalam benaknya. Versi yang ia jalani, yang begitu nyata, begitu hidup. Dan versi yang ia temukan, yang menunjukkan kehampaan dan kehancuran. Mana yang benar? Apakah ia sudah gila? Atau ada kekuatan lain yang memainkan pikirannya?
Bab 8 – Teman yang Tak Pernah Ada
Malam itu, Randy tidak kembali ke asrama yang "nyata" di kota, asrama yang sebenarnya ia sewa secara resmi namun tidak pernah ia tinggali. Ia tetap berada di dalam gedung sekolah lama yang terbengkalai, duduk di salah satu sudut koridor di lantai dua yang lebih terang karena cahaya bulan purnama yang menembus celah atap dan jendela yang pecah. Ia tidak tahu lagi mana yang nyata dan mana yang tidak. Semua batasan telah kabur. Kelelahan fisik dan mental akibat kurang tidur, rasa lapar yang menggerogoti, dan tekanan psikologis yang luar biasa mulai mengambil alih kesadarannya.
Lingkungan yang sepi dan gelap itu perlahan mulai hidup dalam imajinasinya yang kalut. Halusinasi mulai menyerangnya dengan lebih intens dan nyata dari sebelumnya. Ia melihat bayangan-bayangan bergerak di sekelilingnya, siluet samar-samar yang bergerak di antara tiang-tiang bangunan. Samar-samar, ia mendengar suara tawa riang yang familiar, bisikan-bisikan percakapan, dan derap langkah kaki di koridor.
Kemudian, dengan sangat jelas, sosok Rio muncul di hadapannya, berdiri di ujung koridor, tersenyum ramah dan memegang sebuah buku tebal. Diikuti Budi yang melambai dari pintu kelas, dengan ekspresi humorisnya yang khas. Dan tak lama kemudian, Lia muncul di anak tangga, tertawa kecil sambil membawa setumpuk buku. Mereka bermain, belajar, dan bercengkrama, persis seperti yang ia alami selama tiga minggu terakhir. Randy melihat mereka di lapangan, di kantin, di perpustakaan. Ia bahkan melihat Bu Retno sedang mengajar di kelas, papan tulis penuh tulisan, dan Pak Arman sibuk menulis rumus-rumus di papan tulis. Suara mereka jelas, tawa mereka nyata, ekspresi mereka hidup.
Randy mencoba berbicara dengan mereka, memanggil nama mereka. Namun, suaranya tercekat. Mereka tampak nyata, namun perlahan, tubuh mereka mulai memudar, seperti kabut yang ditiup angin. Siluet mereka menjadi transparan, lalu menghilang satu per satu, meninggalkan Randy sendirian lagi dalam keheningan yang mencekam, hanya ditemani oleh suara angin yang berdesir di antara reruntuhan. Ia mencoba meraih mereka, namun tangannya hanya menembus udara dingin.
Malam semakin larut. Randy terkulai di lantai yang dingin, berusaha melawan pusing dan mual yang menyerang. Dalam tidurnya yang gelisah, sebuah mimpi buruk menyergapnya, sebuah mimpi yang terasa lebih nyata dari kenyataan itu sendiri. Ia melihat dirinya kembali di SMA Nusa Bangsa yang ramai, kelas-kelas penuh, teman-teman tertawa. Ia bersama Lia, berjalan di koridor. Tiba-tiba, suasana berubah. Lampu-lampu mulai berkedip, suara-suara menghilang, dan teman-teman di sekitarnya mulai memudar menjadi bayangan. Lia berbalik, wajahnya pucat pasi, matanya cekung dan kosong, namun ada senyum tipis yang menyeramkan di bibirnya.
Lia mengangkat tangannya, menunjuk ke arah Randy, dan suaranya yang biasanya ceria kini terdengar berat, serak, dan bergaung, memenuhi seluruh kekosongan di dalam mimpi itu. "Kami tidak bisa pergi kalau masih ada yang percaya kami nyata." Suara itu menusuk hingga ke tulang, kata-kata itu seolah diukir di dalam benak Randy. "Kau adalah jangkar kami, Randy. Kau yang menjaga kami tetap di sini. Kau yang percaya. Kau yang melihat kami."
Randy terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Kata-kata Lia terus berputar di kepalanya, menjadi mantra yang menghantuinya. "Kami tidak bisa pergi kalau masih ada yang percaya kami nyata." Apa artinya itu? Apakah ia, dengan keyakinannya yang kuat, telah "menciptakan" realitas ini? Apakah keberadaan mereka, arwah-arwah yang terjebak di sekolah ini, bergantung pada kepercayaannya? Sebuah kebenaran mengerikan mulai terbentuk di benaknya, sebuah kebenaran yang jauh lebih menakutkan daripada sekadar sekolah berhantu. Ini bukan tentang hantu yang menakuti, melainkan tentang jiwa-jiwa yang terjebak dan membutuhkan "kehidupan" melalui persepsinya. Ia adalah kunci mereka, penonton mereka, pemberi harapan mereka untuk tetap eksis.
Bab 9 – Kebenaran yang Menghantui
Pagi harinya, matahari terbit, namun tidak membawa kelegaan bagi Randy. Ia berjalan keluar dari gedung sekolah lama, pikirannya kalut, kacau, seperti benang kusut yang tak terurai. Kata-kata Lia dalam mimpinya bergema terus-menerus, memantul di dinding otaknya. Ia mulai menghubungkan semua kepingan teka-teki yang selama ini ia kumpulkan: surat dari kepala sekolah pusat yang menyatakan ia tidak terdaftar, foto-foto aneh yang hanya menunjukkan dirinya sendirian, gedung sekolah yang terbengkalai dan rusak parah, pengakuan dari petugas perpustakaan dan dinas pendidikan tentang sejarah tragis gedung itu, dan yang paling mengerikan, halusinasi serta mimpi yang terlalu nyata.
Sebuah gambaran utuh mulai terbentuk di benaknya, sebuah kebenaran yang menusuk dan menghantui. Randy menyadari bahwa ia telah tersesat dalam sebuah dimensi sekolah roh. Sebuah tempat yang tidak lagi eksis di dunia nyata, namun masih "hidup" karena memori kolektif yang sangat kuat dari para penghuninya yang terjebak di sana. Ini adalah jejak energi, emosi, dan kenangan yang ditinggalkan oleh siswa dan guru yang pernah mengalami penderitaan mendalam dan tragedi mengerikan di gedung itu.
Ia mengingat kembali cerita Pak Heru tentang masa lalu sekolah itu: tekanan akademik yang berlebihan yang membuat siswa stres hingga depresi, kasus perundungan yang tidak tertangani hingga berujung pada trauma, dan harapan yang hancur yang menyebabkan beberapa di antara mereka mengambil nyawa sendiri di area sekolah itu. Ada yang bunuh diri dengan melompat dari atap, ada yang gantung diri di perpustakaan, ada yang minum racun di laboratorium. Arwah-arwah ini, yang terperangkap dalam siklus penderitaan abadi dan tidak bisa beranjak, terus "menghidupkan" sekolah itu dalam sebuah dimensi paralel, sebuah ilusi yang sempurna. Mereka ingin mengulang masa-masa di mana mereka merasa hidup, merasa punya tujuan, meski itu hanya ilusi.
Randy, entah bagaimana, telah "terpilih" atau "tertarik" ke dimensi ini. Mungkin karena pikirannya yang terbuka, jiwanya yang masih murni, atau karena ia memang ditakdirkan untuk melihat apa yang tak terlihat oleh mata telanjang. Harapannya yang membara untuk bersekolah di tempat bergengsi itu, keyakinannya yang begitu tulus, dan keinginannya yang kuat untuk meraih masa depan, telah menjadi sebuah jembatan, sebuah pintu masuk bagi arwah-arwah itu untuk "berinteraksi" dengannya.
Mereka membutuhkan seseorang yang percaya pada keberadaan mereka agar mereka tetap "ada" di dalam dimensi itu. Randy adalah jangkar mereka ke realitas yang terdistorsi ini. Kepercayaan Randy memberi mereka energi, memberinya wujud, dan membuat ilusi itu semakin nyata. Setiap tawa yang Randy dengar, setiap pelajaran yang ia ikuti, setiap pertemanan yang ia rasakan selama tiga minggu itu, semuanya telah mengikatnya, menjalin koneksi spiritual dan emosional yang kuat.
Randy menyadari bahwa ia tidak bisa keluar sepenuhnya dari ilusi ini sebelum ia memutus ikatan itu. Ia harus berhenti percaya pada ilusi itu. Ia harus melepaskan mereka. Namun, bagaimana caranya? Bagaimana mungkin ia bisa melepaskan diri dari sebuah realitas yang terasa begitu nyata, yang telah ia jalani selama tiga minggu penuh? Wajah-wajah teman-temannya yang tersenyum, suara-suara guru yang hangat, semua itu terasa begitu nyata, begitu hidup. Ketakutan bukan lagi pada hantu yang menakuti, melainkan pada kenyataan bahwa ia telah hidup dalam kebohongan besar yang diciptakan oleh pikirannya sendiri, dipicu oleh entitas yang tidak bisa pergi. Rasa bersalah mulai muncul. Apakah ia, tanpa sadar, telah membuat mereka semakin terikat?
Kepala Randy terasa berat, seperti diisi batu. Ia harus kembali ke dunia nyata. Ia harus pulang. Tapi bagaimana caranya memisahkan diri dari mereka yang sudah begitu lekat di dalam ingatannya? Bisakah ia melupakan tawa Lia, kecerdasan Rio, atau humor Budi? Apakah ia akan tetap melihat mereka setelah ia kembali? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar, menambah beban di pundaknya. Ia merasakan dingin yang menusuk, bukan karena suhu, melainkan karena kengerian yang mendalam atas apa yang telah ia alami, dan apa yang mungkin akan terus ia alami.
Bab 10 – Tamat: Kembali Tapi Tak Pernah Sama
Berita tentang Randy yang "menghilang" selama tiga minggu akhirnya sampai ke telinga orang tuanya melalui tetangga yang kebetulan berlibur ke Kota Kencana dan melihat Randy tidak pernah muncul di asrama resminya. Dengan panik, Bapak Slamet dan Ibu Lastri segera datang ke Kota Kencana. Mereka menyewa sebuah mobil dan mulai mencari. Mereka mendatangi asrama resmi yang seharusnya Randy tempati, namun penjaga asrama mengatakan Randy belum pernah check-in. Mereka bertanya ke SMA Nusa Bangsa yang baru, dan mendapatkan konfirmasi bahwa Randy memang tidak pernah mendaftar ulang.
Setelah seharian mencari dengan hati yang cemas, Bapak Slamet menemukan Randy yang terduduk lesu di depan gerbang sekolah lama yang terbengkalai di Jalan Melati, tubuhnya kurus, wajahnya pucat pasi, dan matanya tampak kosong, seperti jiwa yang telah lama tersesat. Randy terlihat kotor, pakaiannya compang-camping, seolah ia telah berhari-hari hidup di jalanan. Mereka segera membawanya pulang, namun Randy tidak berhenti berbicara tentang teman-temannya, guru-gurunya, dan pelajaran yang ia ikuti. Ia bercerita tentang Budi yang humoris, Rio yang cerdas, Lia yang periang, seolah mereka adalah teman nyata yang baru saja ia tinggalkan. Orang tuanya tahu, ada yang tidak beres dengan putranya. Ini bukan sekadar trauma biasa.
Mereka membawa Randy ke seorang spiritualis di desa sebelah, seorang wanita tua bernama Bu Sari yang dikenal memiliki kemampuan melihat hal-hal gaib dan membantu orang-orang yang "terganggu" oleh keberadaan lain. Bu Sari tinggal di sebuah rumah sederhana yang dipenuhi tanaman obat dan aroma dupa yang menenangkan. Setelah mendengar cerita Randy yang kalut dan mengamati kondisinya yang lemah, Bu Sari mengangguk perlahan, tatapan matanya yang teduh menyiratkan pemahaman yang mendalam. "Anakmu tersangkut di antara dua dunia, Pak, Bu. Dia telah terlalu lama terhubung dengan memori yang kuat dari masa lalu. Jiwanya sebagian masih terikat di sana."
Dengan bantuan Bu Sari, sebuah ritual sederhana dilakukan di rumah Randy yang sunyi. Bu Sari menyiapkan sesajen kecil, membacakan doa-doa dalam bahasa kuno, dan memberikan Randy air suci yang ia ambil dari mata air pegunungan untuk diminum. Ia meminta Randy untuk memejamkan mata, memfokuskan pikirannya, dan melepaskan semua ikatan yang ia rasakan terhadap "sekolah" itu.
"Mereka tidak nyata, Nak," bisik Bu Sari lembut, suaranya menenangkan namun tegas. "Mereka adalah sisa-sisa kesedihan yang belum berdamai. Mereka adalah memori yang terperangkap. Jangan lagi memberi mereka kekuatan dengan kepercayaanmu, dengan ingatanmu. Biarkan mereka pergi. Biarkan mereka beristirahat."
Proses itu terasa menyakitkan bagi Randy, seperti ditarik paksa dari sebuah mimpi indah yang mencekam. Ia merasakan sakit kepala yang luar biasa, seolah ada sesuatu yang ditarik keluar dari otaknya. Di benaknya, ia melihat kilasan-kilasan wajah teman-temannya yang tersenyum, melambaikan tangan perpisahan, lalu perlahan memudar menjadi kabut, suara mereka menghilang menjadi bisikan yang jauh. Ia melihat Bu Retno, Pak Arman, dan guru-guru lain menatapnya dengan tatapan hampa, lalu menghilang ke dalam kegelapan. Sebuah ikatan spiritual yang kuat terputus dengan paksa.
Ketika ia membuka mata, ia kembali di kamarnya, di rumahnya sendiri di Cilegon, terbaring di ranjangnya yang familiar. Aroma rendang masakan ibunya tercium samar dari dapur. Ia berhasil dipulangkan.
Namun, Randy berubah. Ia tidak lagi sama. Peristiwa itu telah menggoreskan luka yang dalam di jiwanya. Bayangan-bayangan tentang sekolah yang "hidup" itu menghantuinya setiap saat. Ia tak bisa melupakan wajah-wajah teman-teman yang tak pernah ada itu, tawa mereka, pelajaran yang ia ikuti, seolah mereka adalah bagian tak terpisahkan dari dirinya. Setiap malam, mimpi tentang sekolah itu datang, terkadang terasa sangat nyata hingga ia terbangun dengan keringat dingin, terkadang menjadi kabut yang sulit ia pahami. Ia menjadi pendiam, sering melamun, dan sulit berkonsentrasi.
Orang tuanya mencoba membantunya beradaptasi kembali, namun mereka tahu Randy telah kembali, namun tidak pernah sama seperti dulu. Ia seringkali menatap kosong ke kejauhan, seolah masih melihat sesuatu yang tidak ada.
Foto terakhir yang masih ada di ponselnya—yang tidak bisa dihapus meskipun ia sudah mencoba berkali-kali, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang menjaganya tetap di sana—adalah sebuah gambar yang mengerikan sekaligus menyedihkan. Terlihat barisan siswa dan guru berdiri tersenyum di depan gedung sekolah yang megah, persis seperti yang ia alami selama tiga minggu. Ada Budi, Rio, Lia, Bu Retno, Pak Arman. Semua wajah familiar yang ia kenal. Namun, ada detail kecil yang membuat jantung Randy berdesir setiap kali melihatnya, sebuah detail yang membuatnya yakin bahwa apa yang ia alami bukanlah delusi semata: kaki mereka tidak menyentuh tanah. Mereka semua melayang beberapa sentimeter di atas permukaan, seolah-olah mereka adalah ilusi yang tidak memiliki bobot, makhluk-makhluk yang tidak terikat pada gravitasi dunia nyata. Mereka ada, namun tidak pernah ada. Sebuah kebenaran yang akan menghantuinya selamanya, mengukir kisah "Sekolah yang Tak Ada" di dalam benaknya untuk sisa hidupnya.
Tamat.