Cerpen
Disukai
2
Dilihat
2,507
Aku Atau Dia
Misteri

Bab 1: Kecurigaan di Balik Senyum

Aditya duduk di sofa ruang keluarga yang sunyi, memandangi Kirana yang sibuk dengan ponselnya. Cahaya biru layar memantul di wajahnya, menciptakan aura misterius yang tak bisa ditembus Aditya. Senyum tipis di bibir Kirana tampak seperti topeng, menyembunyikan sesuatu yang Aditya tak bisa sentuh. Sudah berminggu-minggu, rutinitas istrinya berubah. Alasan "belanja kebutuhan dapur" atau "menemui teman lama" mulai terdengar seperti kaset rusak yang diputar berulang-ulang, kehilangan keasliannya setiap kali diucapkan. Aroma parfum yang bukan biasa Kirana pakai, percakapan telepon yang terputus tiba-tiba saat Aditya mendekat, dan tatapan mata yang kadang menghindar, semua itu membangun benteng kecurigaan di dalam benak Aditya.

Malam itu, di tengah rintik hujan yang menampar kaca jendela, Kirana pamit. "Aku harus membeli beberapa bahan makanan, sayang. Persediaan menipis," ucapnya, suaranya sedikit terlalu ceria, nada yang membuat Aditya makin curiga. Aditya mengangguk, namun hatinya dipenuhi bisikan-bisikan keraguan. Dia melihat Kirana mengenakan mantel kesukaan mereka, mantel wol berwarna krem yang biasanya hanya dipakai untuk acara-acara khusus. Rambutnya disanggul rapi, dan ada sentuhan eyeliner tipis yang menambah pesona. Ini bukan penampilan untuk sekadar pergi ke supermarket biasa. Setelah Kirana pergi, Aditya meraih kunci mobilnya, jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang. Dia tahu, malam ini, dia harus mencari tahu.

Jalanan basah dan berkabut, lampu-lampu kota memantul di genangan air, menciptakan ilusi cermin yang berkedip-kedip. Udara dingin menusuk tulang, namun dinginnya hati Aditya jauh lebih menusuk. Dia mengikuti mobil Kirana dengan jarak aman, memastikan tak terlihat. Mobil Kirana berhenti di depan sebuah kafe bergaya minimalis yang remang-remang di pinggir kota, dengan fasad kaca yang memantulkan cahaya neon. Nama kafe itu, "The Nocturne," entah mengapa terdengar ironis di telinga Aditya. Dia memarkir mobilnya agak jauh, di balik bayangan pohon rindang, memastikan posisinya strategis untuk mengamati tanpa ketahuan.

Melalui jendela kaca kafe yang berembun, Aditya melihat Kirana. Dia sedang duduk di meja dekat jendela, tersenyum dan tertawa, kepalanya sedikit mendongak, matanya berbinar seperti bintang di malam hari. Di hadapannya, duduk seorang pria. Rambut pria itu hitam pekat, ditata rapi dengan sedikit jambul yang modern. Bibirnya melengkung dalam senyum simetris yang anehnya familiar. Pakaiannya kasual namun elegan—kemeja linen berwarna gelap, celana panjang pas badan—dan di pergelangan tangannya terlihat jam tangan mahal yang mengilat. Ada sesuatu dalam gerak-gerik pria itu, dalam cara dia mencondongkan tubuhnya ke arah Kirana, yang membuat perut Aditya mual. Pria itu menunjuk ke arah Kirana, seolah menceritakan lelucon, dan Kirana tertawa lagi, tawa yang lebih lepas, lebih riang daripada yang pernah Aditya dengar belakangan ini. Tawa yang dulu hanya untuknya.

Aditya merasakan tangannya gemetar di kemudi. Dia mencoba fokus pada wajah pria itu, mencari detail yang bisa memberinya petunjuk. Lalu, sebuah kesadaran menghantamnya seperti gelombang pasang. Fitur wajah pria itu... sangat mirip dengannya. Bentuk rahang yang tegas, hidung mancung, sorot mata yang gelap, bahkan lekuk senyumnya. Hanya saja, pria ini tampak lebih muda, lebih bersemangat, seolah versi dirinya yang sudah lama terkubur di bawah tumpukan pekerjaan dan rutinitas. Sebuah rasa dingin menjalar dari tulang belakang Aditya, menusuk sampai ke ujung jemarinya. Apakah Kirana... berselingkuh dengan seorang pria yang mirip dengannya? Atau lebih buruk, apakah itu upaya untuk menghinanya, untuk mencari pengganti dirinya yang lebih baik, yang lebih menarik? Otak Aditya berputar, dipenuhi skenario terburuk.

Dia melihat pria itu menyentuh tangan Kirana, jemari mereka bertaut sejenak di atas meja. Rasa sakit yang tajam menembus dada Aditya, seolah ada tangan tak terlihat yang meremas jantungnya. Dia melihat Kirana menarik tangannya pelan, tapi senyumnya tidak memudar, bahkan ada rona merah tipis di pipinya. Percakapan berlanjut, kadang Kirana mengusap air mata tawa dari sudut matanya. Aditya tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi tawa Kirana, tawa yang dulu hanya miliknya, kini dibagikan dengan pria yang anehnya mirip dirinya. Malam itu, di tengah kegelapan yang menyelimuti kafe, kecurigaan Aditya berubah menjadi keyakinan pahit. Dunia yang selama ini ia yakini kokoh, runtuh dalam sekejap.

Bab 2: Pengingkaran

Suasana di rumah dingin dan kaku keesokan harinya. Malam itu, Aditya pulang ke rumah dengan langkah gontai, tidur dengan bayangan pria misterius itu mengintai di setiap sudut pikirannya. Dia terbangun dengan perasaan yang hampa, rasa pengkhianatan menggerogoti setiap sudut hatinya. Aroma kopi yang biasa menenangkan pagi ini terasa pahit di lidahnya. Dia mencoba menyembunyikan badai emosi di balik wajah tenangnya, namun setiap sentuhan Kirana, setiap tatapannya yang mencoba mencari kontak mata, terasa seperti tusukan belati.

Saat sarapan, Kirana tampak ceria, berbicara tentang rencana akhir pekan mereka. Aditya hanya mengangguk sesekali, tatapannya kosong, terpaku pada remah-remah roti di piringnya. Ketegangan tak bisa lagi disembunyikan. Kirana akhirnya bertanya mengapa Aditya tampak murung. "Ada apa, Sayang? Kamu terlihat... lelah."

Aditya menatapnya, matanya menyiratkan luka yang dalam dan amarah yang terpendam. Dia meletakkan garpu dengan suara nyaring, memecah kesunyian. "Siapa pria itu, Kirana?" suara Aditya bergetar, lebih rendah dari yang ia inginkan, penuh tekanan.

Kirana mengangkat alisnya, tampak bingung. "Pria apa, sayang? Kamu bicara apa?" Nada suaranya polos, terlalu polos.

"Pria di kafe semalam! Yang kamu ajak tertawa, yang kamu sentuh tangannya!" Aditya tak bisa menahan diri lagi, suaranya meninggi, meledak seperti gunung berapi. Rasa sakit dan amarah bercampur menjadi satu, meluap seperti air bah. "Jangan pura-pura tidak tahu! Aku melihatmu! Aku membuntutimu!"

Wajah Kirana memucat. Dia meletakkan sendoknya dengan gemetar, tangannya menyentuh dadanya seolah menahan napas. "Aditya, aku tidak ke kafe semalam. Aku pulang dari belanja, seperti yang kukatakan padamu." Suaranya terdengar meyakinkan, terlalu meyakinkan, membuat Aditya semakin yakin itu adalah kebohongan yang direncanakan.

"Jangan berbohong padaku, Kirana! Aku melihatmu! Aku membuntutimu! Kau bertemu dengan seorang pria! Siapa dia?! Kenapa dia begitu mirip denganku?" Aditya berdiri, mengepalkan tangan di samping tubuhnya, urat di lehernya menonjol. Kemarahannya membakar seluruh rasionalitasnya.

Kirana bangkit dari kursinya, matanya berkaca-kaca. Air mata mulai menggenang, membasahi pipinya. "Aditya, demi Tuhan! Aku tidak bertemu siapa-siapa! Semalam aku hanya pergi ke supermarket, lalu pulang! Aku bersumpah!" Kirana melangkah mendekat, mencoba menyentuh lengan Aditya, namun Aditya mundur, menghindarinya seolah Kirana adalah wabah penyakit.

"Kamu pikir aku bodoh? Kamu pikir aku tidak bisa membedakan? Dia memakai kemeja gelap, rambutnya rapi. Dia menertawakan leluconmu, Kirana! Kalian tampak sangat... mesra!" Aditya bersikeras, setiap kata adalah batu yang dilemparkan ke dinding pertahanan Kirana. Hatinya perih, tapi ia tak mau mundur.

Air mata Kirana mulai mengalir deras, membasahi pipinya. Dia menggelengkan kepala, terisak-isak. "Aditya, dengarkan aku. Jika aku pergi ke kafe, itu hanya bersamamu! Jika aku bertemu pria yang kamu maksud, itu pasti kamu! Mungkin... mungkin kamu melihatku denganmu, Aditya." Suara Kirana serak, penuh keputusasaan.

Aditya menatapnya tak percaya. Rahangnya mengeras. "Apa maksudmu? Kamu pikir aku gila? Kamu pikir aku tidak bisa membedakan diriku sendiri? Kirana, jangan membalikkan keadaan! Ini konyol!"

"Tidak, bukan begitu! Aku bersumpah, Aditya, aku tidak berselingkuh! Aku hanya pergi berdua denganmu kemarin malam! Kita bicara banyak hal! Kita bahkan berencana untuk liburan!" Kirana berlutut, memohon, air matanya tak terbendung. "Aku janji! Aku tidak tahu apa yang kamu lihat, tapi itu bukan yang kamu pikirkan!"

Melihat istrinya berlutut, memohon dengan air mata, Aditya merasakan keraguan menusuk hatinya. Tapi gambaran pria di kafe itu terlalu jelas di benaknya. Kecurigaan Aditya tak mereda, justru bergeser. Bagaimana jika Kirana tidak berbohong tentang "tidak berselingkuh", tapi berbohong tentang keberadaannya? Atau lebih jauh lagi, bagaimana jika Kirana... mengalami halusinasi? Atau delusi? Pikiran itu lebih mengerikan daripada perselingkuhan. Apakah Kirana sakit? Aditya merasa terhina. Sebuah pertanyaan pahit menggantung di udara: apakah ini cara Kirana untuk menutupi kesalahannya, atau apakah dia benar-benar kehilangan pegangan pada kenyataan? Hati Aditya terpecah antara marah, bingung, dan secuil rasa takut yang baru saja muncul. Ketakutan akan kemungkinan bahwa istrinya, belahan jiwanya, kini terperangkap dalam dunia ilusi yang tak ia pahami.

Bab 3: Jejak yang Tak Terbukti

Kecurigaan Aditya kini bercabang, seperti sungai yang mengalir ke dua arah berbeda. Antara Kirana berbohong untuk menutupi perselingkuhan, atau Kirana memang sedang mengalami gangguan mental yang parah. Dia harus tahu. Untuk mencari kebenaran, Aditya memutuskan untuk melakukan penyelidikan sendiri, berharap menemukan bukti nyata yang tak terbantahkan. Dia ingin memastikan, apakah Kirana benar-benar pergi ke kafe malam itu, ataukah semua itu hanya bagian dari delusi yang baru saja ia alami. Jika ini adalah gangguan mental, dia harus bertindak cepat.

Pertama, dia membeli beberapa kamera tersembunyi mini dari toko elektronik. Alat-alat kecil itu berukuran tidak lebih besar dari kuku jempol, dilengkapi sensor gerak dan kemampuan merekam dalam kondisi minim cahaya. Dia memasang alat-alat itu dengan cermat di beberapa sudut rumah: satu di rak buku ruang tamu yang jarang disentuh, satu di balik pot bunga di dapur, dan satu lagi di dekat pintu utama, tersembunyi di balik bingkai foto. Alat-alat itu ditempelkan dengan rapi, hampir tak terlihat, menyatu dengan dekorasi ruangan. Aditya merasa sedikit bersalah, mengkhianati kepercayaan istrinya, tapi rasa ingin tahu yang membakar dan kebutuhan akan kebenaran lebih kuat dari rasa bersalah itu.

Selain itu, dia diam-diam menginstal aplikasi pelacak lokasi tercanggih di ponsel Kirana saat Kirana sedang mandi. Aplikasi itu berjalan di latar belakang, tak terdeteksi, merekam setiap pergerakan ponsel Kirana. Setiap malam, saat Kirana sudah tertidur pulas, Aditya mengecek riwayat lokasi Kirana dari laptopnya, dengan harapan menemukan jejak kepergiannya yang mencurigakan, sebuah celah yang bisa membuktikan perselingkuhan itu. Namun, setiap kali dia memeriksa, riwayat lokasi menunjukkan Kirana berada di rumah, atau di tempat-tempat yang wajar seperti supermarket, toko buku, atau salon. Tidak ada jejak ke kafe, apalagi ke tempat asing lainnya.

Aditya bahkan mulai bertanya kepada sahabat-sahabat Kirana, Rina dan Maya, dengan dalih basa-basi saat mereka tak sengaja bertemu di supermarket. "Oh, Kirana akhir-akhir ini sering bercerita tentang kalian. Apa ada acara kumpul-kumpul yang aku lewatkan? Dia bilang kalian sering keluar malam, ya?" Dia berusaha menyembunyikan niat sebenarnya di balik senyum ramah dan nada suara yang santai, seolah hanya ingin tahu kabar.

Rina menatapnya bingung. "Tidak ada, Ad. Justru Kirana agak sibuk belakangan ini, jadi kami jarang kumpul. Dia selalu bilang dia ingin menghabiskan lebih banyak waktu di rumah. Kenapa?"

Maya menambahkan, dengan nada khawatir, "Iya, Kirana bilang dia ingin menghabiskan lebih banyak waktu di rumah. Ada apa, Ad? Apa Kirana sakit? Dia terlihat agak murung saat kami terakhir kali video call."

Setiap jawaban dari teman-teman Kirana semakin membingungkan Aditya. Semua jejak yang ia coba lacak menunjukkan Kirana tidak pernah ke luar rumah pada malam yang ia tuduhkan. Tidak ada jejak kaki di kafe, tidak ada saksi mata yang mengingat Kirana, dan riwayat lokasi ponselnya bersih dari setiap dugaan. Aditya semakin frustrasi. Dia bahkan kembali ke kafe "The Nocturne" tempat dia melihat Kirana, bertanya kepada pelayan. "Apakah Anda ingat seorang wanita bernama Kirana, dengan ciri-ciri seperti ini, datang kemari sekitar seminggu yang lalu, bersama seorang pria?" Pelayan itu menggeleng, sama sekali tidak mengingatnya, bahkan setelah Aditya menunjukkan foto Kirana dari ponselnya. "Maaf, Pak. Saya rasa tidak pernah ada pelanggan seperti itu yang datang dengan pria seperti yang Anda deskripsikan."

Pikiran Aditya mulai kalut. Jika Kirana tidak berselingkuh, dan semua jejak menunjukkan dia ada di rumah, lalu apa yang sebenarnya dia lihat malam itu? Apakah mungkin... Kirana tidak berbohong? Tapi bagaimana mungkin? Aditya yakin dengan apa yang dilihat matanya sendiri. Pria itu, tawa Kirana, sentuhan tangan mereka. Semua itu terasa begitu nyata, begitu hidup dalam ingatannya. Dia bahkan bisa merasakan perih di dadanya saat mengingatnya.

Rasa frustrasi Aditya mencapai puncaknya. Dia merasa terjebak dalam labirin kebingungan yang tak berujung. Ketakutan akan kenyataan bahwa Kirana mungkin sakit mental mulai merayap pelan, mengalahkan rasa marah akibat perselingkuhan. Jika Kirana memang berhalusinasi, berarti dia membutuhkan bantuan yang serius dan segera. Aditya harus segera bertindak, sebelum semua ini terlambat, sebelum Kirana tenggelam lebih jauh dalam dunia ilusinya. Namun, di sudut hatinya, masih ada keraguan tipis yang membisikkan kemungkinan lain yang lebih gelap, yang ia sendiri tak berani bayangkan. Kemungkinan yang menunjuk pada dirinya sendiri, bukan Kirana.

Bab 4: Diagnosis

Melihat kebingungan dan frustrasi Aditya yang semakin menjadi, dan Kirana yang terus menerus menyangkal dengan air mata dan keputusasaan, Aditya akhirnya memutuskan untuk mengambil langkah drastis. Dia meyakinkan Kirana untuk pergi menemui psikiater. Ini adalah percakapan yang sulit, penuh air mata dan penolakan. Kirana awalnya menolak keras, merasa terhina dan dituduh gila. "Kamu pikir aku gila, Aditya? Kamu pikir aku membayangkan semuanya?" Suaranya bergetar, penuh amarah dan kesedihan. Namun, desakan Aditya yang konsisten dan janjinya untuk tetap mendampingi, untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, akhirnya meluluhkan pertahanannya.

Mereka mendatangi Dr. Anindita, seorang psikiater dengan reputasi baik dan wajah yang teduh, matanya memancarkan ketenangan. Ruang praktik Dr. Anindita terasa damai, dengan aroma terapi lavender yang menenangkan dan alunan musik instrumental lembut. Di sana, di sofa empuk, Kirana mulai menceritakan versinya tentang kejadian itu. Dia berbicara tentang kebahagiaan pernikahannya, rutinitas sehari-harinya, dan kemudian, bagaimana Aditya tiba-tiba menuduhnya berselingkuh dengan seorang pria yang sangat mirip dengan Aditya sendiri. Kirana bersikeras bahwa dia tidak pernah bertemu siapa pun, kecuali Aditya. Dia bahkan mendeskripsikan secara rinci percakapan mereka di kafe, tentang rencana liburan, dan lelucon-lelucon kecil yang mereka bagikan.

Namun, saat Dr. Anindita mengajukan pertanyaan yang lebih mendalam, terutama tentang malam kejadian dan detail-detail lainnya yang lebih spesifik, Kirana mulai terdengar tidak konsisten. Dia sering mengulang kalimat yang sama, kadang-kadang beralih topik dengan tiba-tiba, dan sorot matanya tampak kosong, seperti mencoba mengingat sesuatu yang sulit digapai. Dia bahkan menyebutkan detail tentang "percakapan panjang" dengan Aditya di kafe, padahal Aditya tahu dia tidak pernah berada di sana. "Saya ingat kami membicarakan rencana liburan ke Bali, dan dia bercanda tentang... tentang bagaimana saya selalu lupa meletakkan kunci mobil di tempatnya," ucap Kirana, senyum tipis terukir di bibirnya, seolah mengingat kenangan manis yang nyata. Aditya hanya bisa diam, terkejut mendengar Kirana menganggap hal itu sebagai bagian dari "pertemuan mereka." Dia melihat Kirana terbuai dalam narasinya sendiri, sebuah realita yang hanya ada di benaknya.

Setelah beberapa sesi individu dengan Kirana, dan sesi bersama dengan Aditya, Dr. Anindita duduk berhadapan dengan Aditya. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam, namun juga empati. "Aditya, saya perlu jujur kepada Anda," kata Dr. Anindita, suaranya pelan dan menenangkan. "Berdasarkan observasi saya dan apa yang Kirana ceritakan, ada indikasi kuat bahwa Kirana sedang mengalami episode psikosis, kemungkinan besar terkait dengan skizofrenia awal atau gangguan delusional. Konsistensinya saat menjelaskan kejadian sangat rendah, dan dia tampak membangun realitanya sendiri yang terlepas dari kenyataan."

Jantung Aditya mencelos. Dia sudah menduganya, rasa takut itu telah menggerogotinya selama berminggu-minggu, namun mendengar diagnosis itu dari seorang profesional tetap terasa seperti pukulan telak. Dunia di sekelilingnya seolah berhenti berputar. "Apa... apa yang harus kami lakukan, Dok?" suaranya tercekat, nyaris tak terdengar.

"Saya menyarankan agar Kirana menjalani rehabilitasi di pusat terapi trauma," jelas Dr. Anindita. "Lingkungan yang terkontrol, terapi intensif seperti terapi kognitif-behavioral dan terapi okupasi, serta pengawasan medis yang ketat akan sangat membantu. Ini bukan hal yang mudah, Aditya, akan butuh waktu dan kesabaran, tapi ini adalah langkah terbaik untuk Kirana agar dia bisa kembali menginjakkan kaki di realita."

Air mata menggenang di mata Aditya. Ia memikirkan Kirana, istrinya yang ceria, yang kini harus menghadapi kenyataan pahit ini. Dengan berat hati, ia menyampaikan saran psikiater itu kepada Kirana. Dia menjelaskan dengan hati-hati, berusaha memilih kata-kata yang paling tidak menyakitkan.

Anehnya, Kirana menyambut saran itu dengan ketenangan yang mengejutkan, bahkan ada sedikit keyakinan di matanya. "Baiklah," katanya, sorot matanya tegas, seolah sedang mengambil keputusan penting. "Aku akan pergi. Aku akan membuktikan bahwa aku tidak gila, Aditya. Aku akan membuktikan bahwa aku tidak berhalusinasi. Aku akan kembali dan kita akan melupakan semua ini." Ada keyakinan aneh di balik ucapannya, seolah ia yakin bahwa terapi itu hanya formalitas, bahwa ia akan keluar dan membuktikan semua tuduhan itu salah. Kirana menurut, demi membuktikan bahwa ia waras. Bagi Aditya, ini adalah harapan terakhir. Ia berharap rehabilitasi itu akan mengembalikan Kirana yang dulu, yang tak terbelenggu oleh delusi, istrinya yang kembali utuh.

Bab 5: Rekaman Rahasia

Kirana telah berada di pusat rehabilitasi selama dua bulan. Rumah terasa hampa tanpa kehadirannya, seolah dinding-dindingnya turut merasakan kesepian. Aditya sering mengunjunginya setiap akhir pekan, melihat Kirana berinteraksi dengan terapisnya, menjalani sesi terapi seni di mana dia melukis abstrak berwarna-warni, dan mengikuti kegiatan kelompok dengan pasien lain. Kondisi Kirana memang terlihat membaik, dia tampak lebih tenang, lebih diam dari biasanya, meskipun terkadang masih ada tatapan kosong di matanya yang membuat Aditya khawatir. Ia masih sering berbicara tentang "pertemuan" dengan Aditya di kafe, bahkan menanyakan apakah Aditya ingat detail percakapan mereka. Hal ini semakin meyakinkan Aditya bahwa Kirana memang mengalami gangguan mental yang mendalam.

Selama Kirana tidak ada, rumah terasa sangat sunyi. Malam-malam terasa panjang dan dingin. Aditya menghabiskan malam-malamnya dalam keheningan, hanya ditemani suara jangkrik dari luar dan desau angin yang meniup jendela. Dia seringkali merasa gelisah, pikirannya terus berputar tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Kirana, dan apakah dia akan pulih sepenuhnya.

Suatu malam, ketika ia sedang membersihkan ruang kerja yang sedikit berantakan, pandangannya jatuh pada monitor kecil yang tersembunyi di sudut meja, tertutup tumpukan dokumen lama. Monitor itu terhubung ke kamera tersembunyi yang ia pasang di ruang tamu, dan ia nyaris melupakannya.

Sebuah ide tiba-tiba muncul di benak Aditya, seperti kilat di tengah kegelapan. Dia ingin melihat rekaman dari malam yang ia tuduhkan, malam ketika ia melihat Kirana di kafe. Mungkin ada sesuatu yang terlewatkan, sesuatu yang bisa menguatkan diagnosis psikiater atau memberinya petunjuk lebih lanjut. Mungkin dia akan menemukan konfirmasi yang lebih kuat tentang delusi Kirana. Dengan tangan sedikit gemetar, Aditya mulai memutar ulang rekaman CCTV dari malam Kirana dikatakan "keluar" dan bertemu dengan pria itu. Dia mempercepat rekaman hingga menemukan bagian yang sesuai dengan waktu yang ia ingat.

Awalnya, rekaman itu tampak biasa saja. Kirana terlihat di ruang tamu, sedang membaca buku tebal, sesekali menyeruput teh hangat dari cangkir. Beberapa menit kemudian, dia meletakkan buku itu di meja kopi, tersenyum ke arah sudut ruangan yang kosong, seolah ada seseorang di sana yang baru saja mengucapkan sesuatu yang lucu. Aditya mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya terpaku pada layar monitor kecil itu, napasnya tertahan.

Kemudian, sesuatu yang mengerikan terjadi.

Kirana berbicara. Bibirnya bergerak, mengucapkan kata-kata yang tidak bisa Aditya dengar dari rekaman tanpa audio. Dia tersenyum, tertawa kecil, dan bahkan mencondongkan tubuhnya ke depan, seolah sedang melakukan percakapan yang mendalam dengan seseorang yang duduk di depannya. Yang paling mengerikan, Kirana terlihat memeluk seseorang. Tangannya melingkar di udara, seolah memeluk erat tubuh yang tak kasat mata. Kepalanya bersandar di bahu yang tak ada, dan dia tampak... nyaman, bahagia, bahkan ada rona di pipinya seolah dia baru saja dicium.

Namun, di layar kamera, sosok pria tersebut sama sekali tidak terlihat. Ruang tamu tampak kosong, hanya ada Kirana yang berinteraksi dengan kehampaan. Kirana hanya memeluk udara.

Aditya merasakan bulu kuduknya berdiri. Keringat dingin membanjiri dahinya. Jantungnya berdegup tak beraturan, memukuli tulang rusuknya dengan irama tak beraturan. Apa yang dilihatnya ini jauh lebih mengerikan daripada dugaan perselingkuhan. Ini adalah bukti visual yang tak terbantahkan. Kirana benar-benar berhalusinasi. Dia menciptakan seseorang yang tidak ada, berinteraksi dengannya, memeluknya, seolah itu adalah kenyataan yang paling nyata baginya. Dia mengingat kembali bagaimana Kirana bersumpah bahwa dia bertemu "Aditya" di kafe, dan bagaimana dia membela diri bahwa dia tidak berbohong.

Aditya memundurkan rekaman itu lagi, memutarnya berulang kali, memperlambatnya, berharap ia salah lihat. Berharap ada gangguan pada kamera, atau pencahayaan yang buruk yang menyebabkan ilusi optik. Tapi tidak. Rekaman itu jernih. Kirana menari di antara bayangan, berbicara kepada kekosongan, dan memeluk hantu. Setiap detail gerakannya, setiap ekspresi wajahnya, menunjukkan bahwa baginya, sosok itu benar-benar ada.

"Ya Tuhan..." bisik Aditya, suaranya parau, nyaris tak terdengar. Kepalanya berputar, seolah otaknya mencoba memproses informasi yang terlalu berat. Semua keraguan tentang diagnosis Dr. Anindita menguap, digantikan oleh kepastian yang dingin dan menyesakkan. Kirana benar-benar mengalami gangguan serius. Rekaman ini, bukti bisu ini, membuatnya yakin 100%. Sebuah kepedihan mendalam menyelimuti dirinya. Istrinya, belahan jiwanya, kini terperangkap dalam dunia ilusi yang mengerikan. Aditya menatap layar, air mata mulai menggenang di matanya, bukan lagi karena marah, tapi karena kesedihan yang tak terhingga dan rasa iba yang tak tertahankan. Dia merasa bersalah karena sempat meragukan kejujuran Kirana.

Bab 6: Pulang Sementara

Tiga bulan berlalu sejak Kirana memasuki pusat rehabilitasi. Rumah terasa semakin hampa tanpa kehadirannya, seperti sebuah cangkang kosong yang kehilangan isinya. Aditya sering mengunjunginya, melihat Kirana berinteraksi dengan terapis, menjalani sesi terapi seni di mana dia melukis abstrak berwarna-warni yang terkadang indah, terkadang kelam, dan mengikuti kegiatan kelompok dengan pasien lain. Ada sedikit peningkatan, Kirana tampak lebih tenang, meskipun terkadang masih ada tatapan kosong di matanya yang membuat Aditya khawatir. Ia masih sering berbicara tentang "pertemuan" dengan Aditya di kafe, dengan detail yang semakin jelas di benaknya, yang semakin meyakinkan Aditya bahwa Kirana memang mengalami gangguan.

Kabar dari rumah sakit jiwa akhirnya datang, mengizinkan Kirana pulang untuk sementara waktu sebagai bagian dari terapi sosialnya. Aditya merasakan campuran emosi; lega karena Kirana akan kembali, namun juga cemas akan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dr. Anindita menjelaskan bahwa ini adalah fase penting untuk melihat bagaimana Kirana berinteraksi dengan lingkungan aslinya setelah terapi intensif, untuk mengamati apakah kemajuan yang dicapai di rumah sakit bisa dipertahankan di rumah. "Perhatikan setiap perubahan, Aditya. Baik yang kecil maupun yang besar," pesan Dr. Anindita dengan nada serius.

Aditya menyambut Kirana dengan hangat di depan pintu rumah mereka. Pelukannya terasa sedikit berbeda, lebih hati-hati, seolah takut melukai sesuatu yang rapuh di dalam diri Kirana. Kirana tampak lebih tenang, lebih diam dari biasanya, namun senyumnya kembali menghiasi wajahnya, meskipun tidak seceria dulu. Ada bekas kelelahan di matanya, dan tubuhnya sedikit lebih kurus. Mereka menghabiskan hari-hari pertama dengan kegiatan sederhana; memasak bersama, mencoba resep baru, menonton film-film lama kesukaan mereka di ruang keluarga, dan berbicara tentang hal-hal ringan, menghindari topik sensitif tentang masa lalu. Aditya berusaha keras untuk tidak menunjukkan kecemasannya, tetap mengawasi Kirana dengan saksama, mencari tanda-tanda delusi yang mungkin kembali muncul. Dia menyimpan rekaman CCTV itu, sebagai pengingat, dan juga sebagai bukti tak terbantahkan jika dia perlu membujuk Kirana kembali ke rumah sakit.

Satu minggu berlalu tanpa insiden berarti. Tidak ada percakapan dengan "pria" tak terlihat, tidak ada tatapan kosong yang mengindikasikan delusi. Aditya mulai sedikit bernapas lega. Mungkin terapi itu benar-benar berhasil. Mungkin Kirana akan sembuh sepenuhnya. Harapan kecil mulai tumbuh di hatinya, seperti tunas di tanah kering yang telah lama gersang. Dia membayangkan masa depan di mana mereka bisa kembali seperti dulu, tanpa bayang-bayang penyakit mental yang menakutkan ini.

Namun, ketenangan itu adalah tipuan belaka. Sebuah ilusi yang akan segera hancur.

Suatu malam yang gelap, tepatnya menjelang tengah malam, ketika angin berhembus kencang di luar, Aditya terbangun dari tidurnya. Dia mendengar suara. Bukan suara berisik yang mengganggu, melainkan alunan lembut musik klasik yang mengalir dari ruang tamu di bawah. Alunan piano yang syahdu, bercampur dengan suara gesekan biola yang melankolis, menciptakan melodi yang anehnya familiar, namun tak bisa Aditya ingat di mana ia pernah mendengarnya. Melodi itu terasa seperti potongan dari mimpi yang baru saja ia lupakan.

Jantung Aditya berdebar kencang, memukuli tulang rusuknya dengan keras. Ia mencoba menenangkan dirinya. Mungkin Kirana hanya tidak bisa tidur dan menyalakan musik untuk bersantai. Namun, firasat aneh mencengkeramnya. Suara musik itu terlalu indah, terlalu... hidup, terlalu penuh emosi, untuk sekadar latar belakang. Ada ritme yang mengalun seperti irama langkah kaki yang berdansa.

Perlahan, Aditya bangkit dari tempat tidur, berusaha tidak menimbulkan suara sedikit pun agar tidak mengganggu siapapun. Ia berjalan mengendap-endap menuruni tangga, setiap langkah terasa berat dan penuh antisipasi, seolah ia sedang berjalan di atas pecahan kaca. Cahaya remang-remang dari lampu taman yang menembus jendela ruang tamu membentuk bayangan-bayangan panjang yang menari di dinding, menambah suasana misterius. Suara musik semakin jelas, memenuhi seluruh ruangan, mengalir dari setiap sudut, seolah sumbernya ada di tengah-tengah ruang tamu. Sebuah melodi yang mengalirkan perasaan melankolis, namun juga kebahagiaan yang mendalam, seolah menceritakan kisah cinta yang rumit. Aditya merasakan ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang dingin merayapi punggungnya, sebuah sensasi yang jauh lebih menakutkan daripada sekadar kecurigaan perselingkuhan.

Saat ia mencapai ambang pintu ruang tamu, ia berhenti, napasnya tertahan. Jantungnya berpacu seperti kuda liar yang terlepas dari kandangnya. Apa yang ia lihat di sana, di tengah remang cahaya malam, akan mengubah segalanya. Tidak hanya tentang Kirana, tapi juga tentang dirinya sendiri.

Bab 7: Dansa dalam Bayangan

Aditya mengintip dari balik kusen pintu ruang tamu, matanya membelalak, napasnya tercekat di tenggorokan. Apa yang dilihatnya membuat otaknya berteriak, menolak untuk memproses kenyataan di hadapannya.

Di tengah ruang tamu, Kirana tidak sendiri. Dia tengah berdansa. Gerakannya anggun, berputar perlahan mengikuti irama musik klasik yang masih mengalun indah dari speaker tersembunyi, melodi yang kini Aditya sadari adalah lagu favorit mereka saat masih pacaran. Musik itu pernah menjadi simbol kebersamaan, kini menjadi latar belakang sebuah pemandangan yang membingungkan. Namun, yang membuat Aditya membeku di tempat adalah pasangannya.

Seorang pria.

Pria itu mengenakan setelan jas berwarna gelap, potongan klasik yang membingkai tubuh tegapnya. Kemeja putihnya rapi, dasi hitam melingkar sempurna di lehernya. Rambutnya disisir klimis ke belakang, menampakkan dahi yang lebar dan rahang yang tegas. Wajahnya... wajah itu begitu familiar, begitu jelas, hingga Aditya merasa bumi berputar di bawah kakinya. Ini bukan orang lain. Ini adalah dirinya.

Namun, bukan dirinya yang sekarang. Bukan Aditya yang lelah karena pekerjaan, yang sering terlihat murung, yang rambutnya mulai menipis di bagian pelipis dan tubuhnya agak bungkuk karena kelelahan. Pria di hadapannya adalah versi dirinya yang lain. Versi yang lebih muda, penuh percaya diri, dengan senyum menawan yang dulu selalu ia miliki, dan memancarkan aura romantis yang telah lama terkubur. Mata pria itu berbinar saat menatap Kirana, senyumnya simetris dan menawan, penuh kehangatan. Dia memegang Kirana dengan erat, jemari mereka bertaut sempurna, seolah mereka adalah dua bagian dari satu kesatuan yang tak terpisahkan, sepasang kekasih yang tak terpisahkan.

Kirana bersandar di bahu pria itu, matanya terpejam, senyum bahagia terukir di bibirnya. Dia tampak begitu damai, begitu dicintai, seolah semua kegelisahan dan delusi yang ia alami selama ini telah lenyap. Mereka bergerak bersama, seperti sepasang kekasih yang sedang jatuh cinta pertama kali, tarian yang sempurna. Melodi klasik itu terasa seperti soundtrack dari tarian mereka, mengisi setiap sudut ruangan dengan keindahan yang menyakitkan bagi Aditya.

Aditya mundur perlahan, ketakutan mencengkeramnya, rasa dingin menjalar dari ujung kaki hingga ubun-ubun. Ini bukan delusi Kirana. Ini terlalu nyata. Dia melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Pria itu ada di sana, berdansa dengan istrinya, dan pria itu adalah dirinya. Sebuah versi dirinya yang tidak ia kenal lagi, yang telah lama hilang.

Pikiran Aditya berpacu, mencoba mencari penjelasan rasional. Apakah dia sedang bermimpi buruk? Apakah dia sendiri yang kini berhalusinasi? Dia mencubit lengannya kuat-kuat, merasakan sakit yang tajam, membuktikan bahwa ia terjaga. Dia memejamkan mata dan membukanya lagi, berharap pemandangan itu lenyap, namun pria itu masih di sana, bergerak bersama Kirana, seolah tak ada yang salah.

Pria itu membisikkan sesuatu di telinga Kirana, dan Kirana tertawa lagi, tawa yang Aditya rindukan, tawa yang penuh kebahagiaan sejati, bukan tawa palsu yang ia dengar belakangan ini. Sebuah adegan yang seharusnya menghangatkan hati, namun bagi Aditya, itu adalah pemandangan paling mengerikan yang pernah ia saksikan.

Aditya merasakan kepalanya pusing, dunianya terbalik. Semua yang ia yakini selama ini, semua diagnosis tentang Kirana, semua usahanya mencari bukti, kini hancur berkeping-keping di hadapannya. Pria yang ia tuduhkan sebagai selingkuhan Kirana, pria yang ia lihat di kafe, pria yang Kirana "ajak bicara" di rekaman CCTV, pria yang membuat Kirana didiagnosis gila... adalah dirinya sendiri. Sosok yang ia lihat di kafe, yang ia yakini sebagai orang ketiga, adalah bayangan dirinya sendiri.

Ketakutan mengalahkan segala logika. Aditya mundur selangkah demi selangkah, menjauhi pemandangan di ruang tamu. Ia berlari ke kamarnya, mengunci pintu, dan merosot ke lantai, napasnya terengah-engah, dadanya sesak. Suara musik masih mengalun samar-samar dari bawah, melodi yang kini terdengar seperti lolongan hantu, melodi yang dulunya romantis kini terasa seperti melodi kematian. "Bukan Kirana... bukan Kirana yang sakit," bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya gemetar, menahan tangis. "Ini... ini aku." Kegelapan malam itu terasa lebih mencekam, dan Aditya tahu, dia telah membuka kotak Pandora yang seharusnya tetap tertutup. Rahasia tergelap dari dirinya sendiri kini terkuak.

Bab 8: Diri yang Terbelah

Gelap. Dingin. Ruangan itu terasa seperti penjara, padahal itu kamarnya sendiri. Bau samar parfum Kirana yang biasa menenangkan kini terasa menyesakkan. Aditya meringkuk di sudut, memeluk lututnya, mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar gila. Gambaran Kirana berdansa dengan dirinya yang lain terus berputar di benaknya, seperti film horor tanpa henti. Satu kata bergema di kepalanya: Split identity. Bukan lagi kemungkinan, itu adalah kenyataan yang menghantamnya dengan keras, sebuah kebenaran yang tak bisa disangkal.

Flashback mulai berkelebat, potongan-potongan memori yang selama ini ia abaikan, kini tersambung membentuk gambaran mengerikan. Memori-memori yang terasa kabur, kini mulai menjadi jelas.

* Pernikahan Awal: Dia mengingat Kirana yang dulu, penuh tawa, selalu mencarinya untuk bercanda, untuk menari di ruang tamu saat hujan turun. Aditya muda, romantis, akan memeluknya erat, mencium keningnya, dan berjanji akan selalu ada. Dia ingat betapa mereka sering menghabiskan malam dengan diskusi filosofis, tentang mimpi-mimpi mereka, tentang masa depan, tentang makna hidup. Mereka pernah menghabiskan berjam-jam hanya untuk saling menatap dan bercerita. Itulah "Bayangan Aditya", versi dirinya yang dulu Kirana cintai, yang penuh gairah dan kehangatan.

* Pergeseran: Pergeseran mulai terjadi secara perlahan, tanpa disadari, seperti air yang mengikis batu sedikit demi sedikit. Pekerjaan di kantor semakin menumpuk, tuntutan semakin tinggi. Tekanan finansial. Target yang tak ada habisnya. Aditya mulai pulang larut malam, merasa lelah, stres, dan mudah tersinggung. Kirana mencoba mengajaknya berbicara, mengajaknya pergi, mengajaknya menari, namun Aditya selalu menolak dengan alasan letih. "Nanti saja, Sayang. Aku terlalu lelah," kalimat itu menjadi mantra harian, sebuah tembok yang ia bangun sendiri di antara mereka. Ia mulai melupakan hobi-hobi lamanya: bermain gitar, membaca buku fiksi, bahkan sekadar mendengarkan musik klasik yang dulu sangat ia nikmati. Ia menjadi lebih kaku, lebih pragmatis, lebih dingin. Ia berubah menjadi sosok yang hanya peduli pada pekerjaan dan tanggung jawab, melupakan kebutuhan emosionalnya sendiri dan istrinya.

* Hilangnya Koneksi: Kirana mulai terlihat murung, senyumnya jarang terlihat. Dia berhenti mencoba mendekat, seolah sudah lelah menghadapi tembok yang Aditya bangun. Jarak mulai terbentang di antara mereka, semakin lebar setiap hari. Aditya melihatnya, tapi terlalu lelah untuk memperbaikinya, atau terlalu buta untuk menyadari betapa parahnya situasi. Ia merasa seperti kehilangan dirinya sendiri, tapi ia mengira itu hanya bagian dari proses menjadi dewasa, menjadi "pria yang bertanggung jawab" dan sukses. Ia melupakan betapa pentingnya kehangatan, romansa, dan sentuhan dalam sebuah hubungan. Ia sibuk mengejar ambisi, hingga melupakan esensi dari dirinya sendiri.

* Munculnya "Bayangan Aditya": Tanpa Aditya sadari, di alam bawah sadarnya, "Bayangan Aditya" mulai hidup. Ketika Aditya yang "nyata" sibuk dengan pekerjaan dan tanggung jawab, terperangkap dalam rutinitas yang monoton, "Bayangan Aditya" inilah yang muncul untuk memenuhi kebutuhan emosional Kirana yang terabaikan. Malam-malam Kirana pergi, bertemu dengan "pria yang mirip Aditya" di kafe, adalah pertemuan Kirana dengan bagian dari Aditya yang ia rindukan. Tawa, percakapan mendalam, sentuhan tangan, semua itu adalah interaksi antara Kirana dan Bayangan Aditya yang romantis, penuh perhatian, dan hidup di alam bawah sadar Aditya sendiri. Bayangan itu adalah representasi dari dirinya yang dulu, yang telah Kirana kenal dan cintai.

* Rekaman CCTV: Ketika Kirana "memeluk udara" di rekaman CCTV, dia sebenarnya memeluk Bayangan Aditya. Kamera tidak bisa menangkap proyeksi mental Aditya, hanya bisa merekam realitas fisik. Itu menjelaskan mengapa Kirana begitu yakin dia tidak berbohong. Dia memang tidak berbohong. Baginya, itu adalah interaksi nyata dengan suaminya, bagian dari dirinya yang ia kenali dan rindukan. Itu adalah sebuah pertemuan yang, di mata Kirana, terjadi secara fisik dan emosional.

* Malam Ini: Dansa di ruang tamu adalah puncak dari semua itu. "Bayangan Aditya" muncul dengan lebih utuh, lebih nyata, karena Kirana merindukan sentuhan dan romansa itu. Kirana tidak berhalusinasi. Dia hanya berinteraksi dengan sebuah aspek dari suaminya yang telah lama hilang, sebuah aspek yang Aditya sendiri telah lupakan dan abaikan.

Internal monolog Aditya kini dipenuhi penyesalan yang mendalam, menghantamnya seperti gelombang. "Bodoh! Bagaimana bisa aku tidak menyadari ini? Bagaimana bisa aku menuduh Kirana gila, padahal aku yang menciptakan ini semua? Aku yang menyakitinya dengan ketidakpedulianku!" Pikiran itu berputar-putar di kepalanya, menyiksanya.

Air mata mengalir deras di pipinya. Bukan air mata kesedihan, melainkan air mata penyesalan dan pemahaman yang mendalam. Selama ini, ia terlalu sibuk dengan dunia luarnya, hingga melupakan dunia dalamnya. Ia terlalu fokus menjadi "pria sukses" hingga melupakan "pria yang penuh cinta" di dalam dirinya. Ia telah membangun tembok yang memisahkan dirinya dari emosinya, dan tanpa sadar, memisahkan dirinya dari istrinya.

Aditya menyadari, bukan Kirana yang sakit, dirinyalah yang selama ini hilang dari dirinya sendiri. Ia telah terpecah. Satu bagian darinya sibuk dengan realita keras, pekerjaan, dan tanggung jawab, sementara bagian lain—yang lebih muda, romantis, dan hangat—hidup di alam bawah sadar, berusaha menjangkau Kirana, memenuhi kekosongan emosional yang ia ciptakan. Bagian itulah yang terus menerus Kirana cari, bagian yang ia yakini sebagai dirinya.

Suara musik klasik dari bawah berhenti. Hening total. Aditya tahu, tugas terberatnya kini bukan hanya meminta maaf pada Kirana, tapi juga menyembuhkan dirinya sendiri. Menyatukan kembali kepingan-kepingan dirinya yang tercerai-berai. Mengenali "Bayangan Aditya" sebagai bagian tak terpisahkan dari dirinya, bukan sebagai musuh atau ancaman. Dia harus menerima bahwa kedua sisi itu adalah dirinya, dan dia harus belajar untuk mengintegrasikannya.

Dia harus mencari bantuan, bukan untuk Kirana, melainkan untuk dirinya sendiri. Dia harus belajar untuk menjadi utuh kembali, untuk membawa kembali romansa, kehangatan, dan cinta yang telah lama ia kubur. Kirana layak mendapatkan suaminya yang utuh, yang penuh, yang tidak terpecah belah oleh beban hidup. Aditya bangkit dari lantai, langkahnya mantap, meski hatinya masih pilu dan terpukul. Perjalanan untuk menyembuhkan diri baru saja dimulai, dan ia tahu, itu akan menjadi perjalanan terberat dalam hidupnya. Namun, ia akan melaluinya, demi Kirana, dan demi dirinya sendiri. Ini adalah awal yang baru, sebuah kesempatan untuk menemukan dirinya yang hilang.

Epilog: Jalan Menuju Keutuhan

Beberapa bulan kemudian, Kirana pulang dari rehabilitasi secara permanen. Ada senyum tulus di wajahnya, dan sorot matanya tampak lebih jernih. Aditya telah menceritakan segalanya kepada Dr. Anindita, yang dengan tenang menjelaskan lebih lanjut tentang kondisi psikologis yang mungkin dialami Aditya. Dr. Anindita menjelaskan bahwa kasus Aditya mungkin lebih mengarah ke bentuk derealisasi atau dissociative amnesia yang parah, di mana sebagian dari identitas atau pengalaman emosionalnya terputus dari kesadaran utamanya, dan diproyeksikan seolah-olah itu adalah sosok lain. Itu bukan skizofrenia atau DID dalam pengertian klinis penuh, melainkan mekanisme pertahanan diri yang ekstrem akibat stres dan kelelahan mental yang berkepanjangan. Dr. Anindita merekomendasikan terapi intensif untuk Aditya, fokus pada integrasi kepribadian dan pengelolaan stres, serta terapi pasangan untuk mereka berdua.

Hubungan mereka tidak langsung pulih dalam semalam. Ada kecanggungan yang terasa, rasa bersalah yang mengganjal di hati Aditya, dan luka yang dalam di hati Kirana karena dituduh sakit mental. Kirana membutuhkan waktu untuk memproses bahwa suaminya, yang ia tuduh menuduhnya gila, ternyata adalah orang yang sakit. Namun, cinta mereka lebih kuat daripada badai yang telah mereka lalui. Dengan bantuan terapi bersama, mereka mulai membangun kembali kepercayaan, selangkah demi selangkah.

Aditya belajar untuk mengenal "Bayangan Aditya" sebagai bagian dari dirinya, bukan sebagai entitas terpisah yang harus dilawan. Dia mulai menulis jurnal setiap malam, mencatat pikiran dan perasaannya, termasuk mimpi-mimpi dan kilasan kenangan. Dia mempraktikkan meditasi dan mindfulness untuk lebih terhubung dengan dirinya sendiri. Perlahan-lahan, dia mengizinkan kembali hobi-hobi lamanya masuk ke dalam hidupnya: bermain gitar akustik di sore hari, membaca buku-buku fiksi di malam hari, dan mendengarkan musik klasik bersama Kirana. Dia bahkan mulai mengajak Kirana menari di ruang tamu, tanpa musik, hanya dengan irama detak jantung mereka, menciptakan kembali memori-memori baru yang utuh, tanpa bayangan yang mengganggu.

Suatu malam, saat mereka duduk di sofa ruang tamu yang temaram, memandang ke luar jendela di mana bintang-bintang berkelip, Kirana meletakkan kepalanya di bahu Aditya. Tangannya menggenggam jemari Aditya erat. "Aku rindu tarian kita, Ad," bisiknya lembut, suaranya penuh kerinduan.

Aditya tersenyum, memeluknya erat, menaruh dagunya di atas kepala Kirana. "Kita bisa menari lagi, Kirana. Setiap malam, jika kamu mau."

Mata Kirana berbinar, menatap Aditya dengan penuh cinta. "Tapi, kali ini... hanya ada kamu, kan?"

Aditya mencium keningnya, lama, memberikan semua ketulusan yang ia miliki. "Hanya aku. Bagian yang utuh. Selamanya."

Mereka tahu jalan masih panjang. Ada hari-hari baik dan hari-hari buruk. Akan ada saat-saat di mana bayangan itu mungkin mencoba muncul lagi. Tapi kini, mereka menghadapinya bersama, dengan pemahaman yang lebih dalam tentang diri mereka sendiri dan cinta mereka. Bayangan itu masih ada, namun kini, bayangan itu telah menjadi bagian dari diri Aditya yang utuh, bukan lagi sosok misterius yang memisahkan mereka. Bayangan itu telah menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga kesehatan mental, komunikasi, dan keutuhan diri.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)