Masukan nama pengguna
Aku berdiri di ambang pintu, pandanganku terhalang oleh embun pagi yang tebal, membingkai siluet rumah tua di hadapanku. Rumah itu adalah sebuah bangunan berarsitektur Belanda, dengan pilar-pilar kokoh yang menopang teras depan dan jendela-jendela tinggi yang seakan-akan menyimpan ribuan rahasia di baliknya. Warna catnya yang memudar, perpaduan antara putih gading dan hijau lumut, menambah kesan kuno yang menusuk. Ini adalah rumah yang akan menjadi penjara baruku. Sebuah penjara yang tak berjeruji, namun dibangun dari harapan orang tuaku yang rapuh. Mereka percaya, di kota kecil Tegal ini, aku akan "sembuh."
Kata "sembuh" itu seperti kutukan. Sebuah kata yang sering diucapkan, namun tak pernah benar-benar kupahami maknanya. Apa yang harus disembuhkan? Kegelisahan yang selalu menyertai, bayangan-bayangan yang menari di sudut mata, atau bisikan-bisikan yang hanya bisa kudengar? Entahlah. Yang kutahu, orang tuaku lelah. Mereka lelah melihatku menyendiri, lelah dengan laporan-laporan sekolah tentang diriku yang "tidak berinteraksi," dan lelah dengan keheningan yang mengisi rumah kami. Pindah ke sini, menurut mereka, adalah jalan keluar. Sebuah lembaran baru, di mana semua kenangan buruk bisa terkubur.
Udara pagi di Tegal terasa dingin, menusuk hingga ke tulang. Berbeda dengan Jakarta yang selalu terasa panas dan sumpek, di sini aku bisa menghirup udara yang lebih bersih, meskipun terasa hampa. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantung yang berpacu kencang. Aku benci perubahan. Aku benci harus meninggalkan kamarku, buku-bukuku, dan semua rutinitas yang selama ini memberiku rasa aman. Tapi aku tak punya pilihan.
"Adri, ayo masuk. Nanti sakit," suara lembut Ibu memecah lamunanku. Wajahnya terlihat lelah, tetapi matanya memancarkan keteguhan yang membuatku merasa bersalah. Aku mengangguk, lalu melangkah maju. Langkah pertamaku di atas lantai kayu yang berderit terasa seperti langkah pertama menuju jurang. Di dalam, aku langsung disambut oleh kehangatan yang tak terduga.
Seorang pria paruh baya dengan senyum yang ramah menyambutku. Wajahnya dihiasi kerutan-kerutan halus yang dalam, tanda dari tawa dan kebahagiaan yang tak terhitung jumlahnya. Ia mengenakan kemeja batik yang sedikit usang dan celana kain. "Selamat datang, Nak. Bapak Rahmat," katanya sambil mengulurkan tangan. "Rumah Bapak di seberang sana. Jangan sungkan, ya, kalau butuh apa-apa. Anggap saja rumah sendiri."
Aku menjabat tangannya. Tangan Pak Rahmat terasa hangat dan kokoh. Ia memandangku dengan tatapan yang tulus, seolah-olah ia bisa melihat kegelisahan di mataku, tetapi memilih untuk tidak menghakiminya. Aku tersenyum tipis, sebuah senyum yang terasa kaku dan asing di wajahku. Ibu dan Bapak terlihat lega melihat interaksi itu. Mereka tahu betapa sulitnya bagiku untuk bersosialisasi.
Setelah berbasa-basi, Pak Rahmat pamit undur diri. Ibu mengantarku ke sebuah kamar di lantai dua. "Ini kamarmu, Adri. Jendelanya menghadap ke taman belakang. Ada pohon mangga besar, kamu pasti suka," katanya, berusaha menghibur. Aku mengangguk. Kamar itu terasa luas dan kosong. Dindingnya berwarna krem, dan ada sebuah ranjang kayu tua dengan selimut tebal. Di sudut ruangan, ada meja belajar yang menghadap jendela. Aku berjalan ke sana, mengamati pohon mangga yang menjulang tinggi, dengan dahan-dahan yang meliuk-liuk seperti tangan-tangan raksasa.
Sore harinya, aku mulai membereskan barang-barangku. Aku menata buku-buku di rak, menyusun pakaian di lemari, dan meletakkan beberapa benda kesayanganku di meja. Saat aku sedang menata buku-buku, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Seorang gadis sebaya denganku muncul di ambang pintu. Ia memiliki rambut sebahu berwarna cokelat dan mata yang cerah, penuh dengan rasa ingin tahu. Senyumnya begitu tulus sehingga aku merasa sedikit lega.
"Hai, aku Lina," katanya riang, suaranya terdengar jernih dan manis. "Aku anak Pak Rahmat. Aku dengar kamu pindah ke sini. Bapakku bilang, kamu mau masuk SMA di sini, kan? Aku juga. Mungkin kita bisa ke sekolah bareng."
Aku terkejut. Biasanya, orang-orang seumuran denganku akan menjaga jarak. Mereka akan menatapku dengan tatapan aneh, seolah aku adalah makhluk dari planet lain. Tapi Lina tidak. Ia terlihat begitu tulus dan ramah, seolah kami sudah saling mengenal sejak lama. Aku merasakan desakan untuk menarik diri, untuk mengatakan bahwa aku tidak tertarik berteman, tetapi entah mengapa, aku tidak melakukannya.
"Aku Adrian," jawabku, suaraku terasa serak. "Salam kenal."
Lina melangkah masuk ke kamarku. Ia melihat-lihat tumpukan buku yang baru saja kutata. "Wah, kamu suka baca, ya? Aku juga. Terutama novel fantasi," katanya. Kami mulai berbicara. Aku terkejut betapa mudahnya pembicaraan mengalir. Kami berbagi cerita tentang buku favorit, film, dan musik. Lina bercerita tentang kehidupannya di Tegal, tentang tempat-tempat yang asyik untuk dikunjungi, tentang sekolah baruku yang katanya sangat bagus, dan tentang teman-temannya. Ia berbicara dengan antusiasme yang menular.
Selama ini, aku selalu merasa sendirian. Bukan karena tidak ada orang di sekitarku, tetapi karena aku tidak pernah benar-benar terhubung dengan mereka. Aku seperti berada di dalam gelembung kaca, melihat dunia di luar, tetapi tidak bisa menyentuhnya. Namun, bersama Lina, gelembung itu terasa sedikit retak. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, aku merasa seperti aku adalah bagian dari sesuatu.
Kami menghabiskan sore itu berbicara, sampai akhirnya Ibu memanggilku untuk makan malam. Lina berjanji akan menemaniku berkeliling kota esok hari. Setelah Lina pulang, aku kembali ke kamarku. Aku duduk di meja belajar dan memandang ke luar jendela. Pohon mangga itu terasa tidak lagi menakutkan, melainkan menjadi pemandangan yang menenangkan. Aku merasa sedikit lega. Mungkin, pindah ke sini tidak seburuk yang kubayangkan. Mungkin, di sini, aku akan menemukan "kesembuhan" yang selalu mereka bicarakan. Mungkin, di sini, aku akan menemukan diriku sendiri.
Di dalam hati, aku bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Mengapa aku berbeda? Aku mencoba mengingat, tetapi ingatan-ingatanku terasa kabur dan terfragmentasi. Aku hanya ingat perpisahan, perpisahan dengan teman-teman imajinasiku. Saat itu, aku percaya mereka nyata. Aku membangun dunia di dalam kepalaku, di mana aku tidak sendirian. Dan ketika aku harus meninggalkannya, aku merasa hancur. Ibu pernah menangis di hadapanku, mengatakan bahwa aku harus melepaskan teman-teman itu. Tapi bagaimana bisa? Mereka adalah satu-satunya yang kumiliki.
Sekarang, Lina ada di sini. Dan ia terasa sangat nyata. Senyumnya, tawanya, dan matanya yang cerah, semuanya terasa nyata. Aku memejamkan mata, berharap semua ini bukan hanya halusinasi lain. Aku berharap, kali ini, ada seseorang yang benar-benar ada di sini untukku. Seseorang yang tidak akan menghilang saat aku membuka mata.
Aku berbaring di ranjang, membiarkan kelelahan menguasai diriku. Pikiranku berkelana, mengingat kembali percakapanku dengan Lina. Kami berbicara tentang hal-hal yang tidak penting, tetapi terasa sangat berarti bagiku. Aku merasa, untuk pertama kalinya, aku bisa menjadi diriku sendiri, tanpa harus berpura-pura. Mungkin, di Tegal ini, aku tidak akan lagi menjadi Adrian yang "sakit," melainkan Adrian yang utuh.
Malam itu, aku tertidur dengan senyum tipis di bibirku. Sebuah senyum yang sudah lama tidak kurasakan. Sebuah senyum yang penuh dengan harapan, harapan yang rapuh, tetapi tetap ada. Aku berharap, esok hari, aku akan bangun dan menemukan Lina benar-benar ada, menunggu di depan pintu. Aku berharap, ini adalah awal dari segalanya. Awal dari kehidupan yang baru, yang tak lagi penuh dengan bayangan-bayangan.
Hari kedua di Tegal dimulai dengan sinar matahari yang hangat, menyusup melalui celah-celah jendela dan membangunkan diriku dari tidur nyenyak yang tak terduga. Di kamarku yang terasa asing, aku merasa sedikit lebih nyaman dari kemarin. Aku segera bersiap, mengenakan kaus dan celana jins favoritku, dan menuruni tangga. Ibu tersenyum saat melihatku. "Lina sudah menunggu di depan," katanya lembut, sambil menyodorkan sarapan. Jantungku berdebar. Ia benar-benar ada.
Aku memakan sarapanku dengan cepat, lalu bergegas keluar. Di halaman depan, Lina berdiri di samping sepeda butut berwarna biru. Rambut sebahu-nya yang cokelat berkilau di bawah sinar matahari. "Sudah siap?" tanyanya riang. Aku mengangguk, berusaha menyembunyikan senyum yang tak bisa kutahan. Kami mulai mengayuh sepeda, meninggalkan halaman rumah yang terasa seperti bentengku, menuju dunia luar yang penuh ketidakpastian.
Lina memimpin jalan. Ia mengayuh dengan santai, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan aku mengikutinya. Kami melewati jalanan yang sempit, dengan rumah-rumah tua yang berjejer rapi. Di beberapa sudut, aku melihat gerobak-gerobak penjual makanan yang mengepulkan asap wangi. Aku menghirup aroma sate, lumpia, dan tahu gimbal yang menggoda. Lina menunjuk ke arah tumpukan buku di pinggir jalan. "Itu toko buku bekas langgananku," katanya. "Harganya murah, dan sering ada buku-buku langka."
Kami berhenti di alun-alun kota yang luas. Di tengahnya, berdiri sebuah pohon beringin tua yang rindang, akarnya menjulur ke segala arah seperti urat-urat kehidupan. Suasana di sini sangat ramai. Anak-anak bermain bola, beberapa orang tua duduk di bangku taman, dan sepasang kekasih tampak asyik mengobrol. Lina mengajakku duduk di salah satu bangku kayu di bawah rindangnya pohon.
"Alun-alun ini pusatnya kota," jelasnya. "Di malam hari, tempat ini lebih ramai lagi. Ada banyak penjual makanan, dan kadang ada pertunjukan musik."
Saat kami sedang asyik mengobrol, seorang pria paruh baya menghampiri kami. Ia memiliki kumis tebal yang tebal dan mengenakan kemeja lusuh yang sudah memudar warnanya. Di punggungnya, terlihat sebuah becak yang terlihat sudah sangat tua. Pria itu menyunggingkan senyum ramah saat melihat kami.
"Wah, kalian berdua cocok sekali," katanya sambil tertawa. "Baru ya, Nak? Bukan dari sini, ya?"
Lina tersenyum. "Ini Adrian, Pak Jono. Dia baru pindah dari Jakarta."
Pak Jono, tukang becak yang ternyata sudah sangat akrab dengan Lina, menepuk pundakku dengan ramah. "Nama saya Jono. Kalau mau keliling kota, naik becak saya saja. Saya ini sudah hafal luar kepala semua seluk-beluk kota Tegal. Dari cerita-cerita sejarahnya, sampai gosip terbaru, saya tahu semua," katanya sambil mengedipkan mata.
Kami bertiga mengobrol santai. Pak Jono bercerita tentang sejarah alun-alun, tentang pertempuran-pertempuran masa lalu yang pernah terjadi di sini, dan tentang bagaimana kota ini berkembang dari waktu ke waktu. Pengetahuannya sangat luas, seolah-olah ia adalah ensiklopedia berjalan. Ia juga menceritakan kisah-kisah lucu tentang para penumpangnya, membuat kami tertawa terbahak-bahak.
Aku merasa nyaman di antara mereka. Rasanya, orang-orang di sini begitu tulus. Mereka tidak melihatku dengan tatapan aneh, tidak menanyakan hal-hal yang tidak seharusnya, dan tidak berusaha mencari tahu "apa yang salah" denganku. Mereka hanya menerima kehadiranku, apa adanya. Kehangatan ini adalah sesuatu yang sudah lama tak kurasakan.
Setelah beberapa waktu, Pak Jono pamit undur diri, karena ada seorang penumpang yang memanggilnya. "Kalau mau jalan-jalan lagi, telepon saja ya," katanya sambil menunjuk becaknya yang ada plang kecil dengan tulisan "Pak Jono Becak".
Kami melanjutkan perjalanan kami. Lina mengajakku ke pantai. Di sana, ombak berdebur lembut, dan nelayan-nelayan sibuk dengan perahu mereka. Kami duduk di atas batu karang, membiarkan angin laut menerpa wajah kami. Aku memandang ke arah laut yang tak berujung, dan untuk pertama kalinya, rasa takut dan kesepian yang biasanya menyertai diriku terasa sedikit memudar.
"Enak, ya, di sini?" tanya Lina, suaranya terdengar lembut.
Aku mengangguk. "Ya. Rasanya damai," jawabku jujur.
Lina tersenyum. "Kota ini memang begitu. Kecil, tapi punya banyak cerita. Dan orang-orangnya, mereka baik-baik. Mereka akan menerima kamu, kok."
Aku merasa sangat bersyukur. Kehadiran Lina, dan sekarang Pak Jono, membuatku merasa seolah-olah aku bukan lagi orang asing. Mereka adalah jembatan yang menghubungkanku dengan dunia. Aku mulai berpikir, mungkin, semua hal buruk yang terjadi sebelumnya bisa kubiarkan di masa lalu. Mungkin, di sini, di Tegal, aku bisa memulai hidup yang baru. Sebuah kehidupan di mana aku tidak lagi harus bersembunyi di balik bayangan-bayangan.
Ketika matahari mulai terbenam, kami kembali ke rumah. Aku berpisah dengan Lina di depan gerbang. "Sampai besok!" katanya, lalu mengayuh sepedanya menjauh. Aku berdiri di sana, melihat sosoknya menghilang di balik tikungan. Aku merasakan kebahagiaan yang tulus, sesuatu yang sudah lama tak kurasakan.
Malam itu, di kamarku, aku menulis di buku harianku. Aku menulis tentang Lina, tentang Pak Jono, dan tentang keindahan kota Tegal. Aku menulis tentang perasaan damai yang kurasakan, dan tentang harapan yang mulai tumbuh di dalam hatiku. Aku tidak lagi merasa takut. Aku merasa siap untuk menghadapi esok hari, dan hari-hari setelahnya.
Sore itu, setelah seharian merasakan panasnya Tegal dan kelelahan yang menyenangkan setelah berkeliling dengan Lina, aku memutuskan untuk menyendiri. Aku duduk di teras belakang rumah, di kursi rotan yang terlihat usang, namun sangat nyaman. Kabut senja mulai turun, menyelimuti taman belakang. Udara terasa lebih sejuk, dan aroma tanah basah bercampur dengan wangi bunga melati yang tumbuh di sudut taman. Aku memejamkan mata, membiarkan keheningan merangkulku. Keheningan yang berbeda. Bukan lagi keheningan yang kosong, tetapi keheningan yang penuh dengan kedamaian.
Aku membiarkan pikiranku kembali ke perjalananku hari itu bersama Lina. Alun-alun yang ramai, pantai yang berangin, dan percakapan dengan Pak Jono—semuanya terasa begitu nyata. Aku merasa seperti sedang menonton film, di mana aku bukan hanya penonton, melainkan juga bagian dari cerita. Rasanya, semua ketakutan dan kegelisahan yang selama ini membelenggu diriku mulai meleleh, seperti es yang mencair di bawah sinar matahari.
Saat aku sedang asyik melamun, aku mendengar suara langkah kaki yang pelan, diiringi oleh derit sandal kayu yang khas. Aku membuka mata. Sosok seorang wanita tua berdiri di dekat pintu belakang, tersenyum ramah. Rambutnya yang putih bersih dikepang rapi, dan ia mengenakan kebaya sederhana berwarna cokelat. Wajahnya dihiasi kerutan-kerutan yang dalam, tetapi matanya memancarkan kehangatan dan ketenangan yang luar biasa.
"Duduk sendiri saja, Nak?" sapanya dengan suara yang lembut, seperti alunan musik klasik yang menenangkan. "Anginnya dingin. Nanti masuk angin."
Aku tersenyum. "Nggak apa-apa, Nek. Saya suka anginnya."
Ia melangkah mendekat, lalu duduk di kursi rotan di seberangku. "Nenek Siti," katanya, memperkenalkan diri. "Rumah Nenek di seberang. Nenek lihat kamu dari kemarin, kelihatannya betah, ya, di sini?"
Aku mengangguk. "Ya, Nek. Orang-orang di sini ramah sekali."
Nenek Siti tersenyum, matanya menyipit karena senyumnya. "Kota ini memang begitu, Nak. Orang-orangnya sederhana, tapi hatinya luas."
Kami mulai mengobrol. Nenek Siti bercerita tentang kenangan-kenangannya. Ia menceritakan tentang masa mudanya, saat ia dan suaminya masih berjualan di pasar. Ia bercerita tentang anak-anaknya yang sudah merantau, dan tentang cucu-cucunya yang jarang pulang. Ia berbicara dengan suara yang penuh nostalgia, tetapi tidak ada nada kesedihan di sana. Sebaliknya, ada penerimaan yang tulus.
Aku menemukan diriku bercerita padanya, sesuatu yang tidak pernah kubayangkan akan kulakukan. Aku bercerita tentang kehidupanku di Jakarta, tentang betapa sulitnya bagiku untuk berinteraksi dengan orang lain, dan tentang alasan mengapa aku pindah ke Tegal. Nenek Siti mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tidak menyela, tidak menghakimi, dan tidak mencoba memberikan nasihat yang tidak kuminta. Ia hanya mendengarkan, dan itu sudah lebih dari cukup.
"Terkadang, kesepian itu bukan tentang tidak adanya orang lain, Nak," katanya, suaranya terdengar bijak. "Tetapi tentang tidak adanya dirimu sendiri di sekelilingmu. Kamu membangun tembok, bukan untuk menghalau orang lain, tetapi untuk menghalau dirimu sendiri. Kamu takut untuk menunjukkan dirimu yang sebenarnya, karena kamu takut mereka tidak akan menerimamu."
Kata-kata Nenek Siti terasa seperti tamparan, tetapi tamparan yang lembut. Aku terdiam. Apa yang ia katakan sangat benar. Selama ini, aku memang selalu membangun tembok. Aku menciptakan dunia di dalam kepalaku, karena aku takut dunia di luar sana terlalu menakutkan. Aku menciptakan teman-teman imajinasi, karena aku takut tidak ada orang yang mau menjadi temanku. Aku bersembunyi di balik buku-buku dan musik, karena aku takut menunjukkan diriku yang rapuh.
"Tapi sekarang, tembok itu sudah mulai runtuh," Nenek Siti melanjutkan, seolah ia bisa membaca pikiranku. "Lihatlah dirimu. Kamu sudah berani keluar, kamu sudah bertemu dengan Lina, dan kamu sudah mau berbicara dengan orang asing seperti Nenek. Itu adalah langkah yang besar, Nak."
Aku menundukkan kepala, membiarkan air mata yang sudah lama kutahan menetes. Nenek Siti mengulurkan tangannya, dan mengusap pundakku dengan lembut. Sentuhannya terasa sangat hangat, seperti sentuhan seorang nenek yang sangat mencintai cucunya.
"Tidak apa-apa, Nak," bisiknya. "Tidak apa-apa. Biarkan saja. Semua yang kamu rasakan itu wajar. Semua orang punya masa lalu, semua orang punya luka. Yang penting, kamu tidak lari dari luka itu. Kamu hadapi, dan kamu biarkan dirimu sendiri sembuh."
Kami duduk di sana dalam keheningan yang nyaman. Aku tidak lagi merasa malu karena menangis. Aku merasa, untuk pertama kalinya, aku bisa menjadi diriku yang sebenarnya, tanpa harus berpura-pura. Nenek Siti tidak melihatku sebagai seorang remaja yang "bermasalah," melainkan sebagai seorang anak muda yang sedang berjuang.
Malam semakin larut. Lampu-lampu di sekitar teras mulai menyala, menciptakan lingkaran cahaya yang hangat. Ibu muncul dari pintu belakang. "Adri, sudah malam. Ayo masuk," katanya lembut. Ia melihatku dan Nenek Siti. Senyumnya terlihat tulus. "Terima kasih, Nek Siti, sudah menemani anak saya."
Nenek Siti tersenyum. "Sama-sama. Adrian ini anak yang baik, Bu. Beruntung sekali Ibu punya anak seperti dia."
Setelah Nenek Siti pamit, aku masuk ke dalam. Aku merasa sangat lega. Rasanya, ada beban yang selama ini kutanggung, yang kini terangkat dari pundakku. Di kamarku, aku kembali menulis di buku harianku. Aku menulis tentang Nenek Siti, tentang kata-kata bijaknya, dan tentang perasaanku. Aku menyadari, bahwa selama ini, aku tidak hanya menyembunyikan diriku dari orang lain, tetapi juga dari diriku sendiri.
Aku menulis tentang harapan. Harapan untuk sembuh. Harapan untuk bisa berteman dengan orang-orang yang nyata. Harapan untuk bisa hidup normal, seperti remaja lainnya. Harapan yang dulu terasa mustahil, kini terasa sedikit lebih dekat.
Aku memandang keluar jendela. Bayangan pohon mangga yang menjulang tinggi terlihat menakutkan di bawah sinar rembulan. Tetapi, aku tidak lagi merasa takut. Aku tahu, di dalam bayangan itu, ada diriku yang sedang bersembunyi. Dan aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa suatu hari nanti, aku akan berani keluar dari bayangan itu, dan menghadapi dunia, apa adanya.
Aku berbaring di ranjang, membiarkan pikiranku melayang. Aku mengingat kembali Lina, Pak Jono, dan Nenek Siti. Ketiga orang ini, dalam waktu yang sangat singkat, telah mengubah hidupku. Mereka telah menunjukkan padaku, bahwa dunia di luar sana tidak seburuk yang kubayangkan. Bahwa ada kebaikan, ada kehangatan, dan ada orang-orang yang peduli.
Aku tersenyum. Tidurku malam itu terasa sangat nyenyak. Aku tidak lagi bermimpi buruk, tidak lagi diganggu oleh bisikan-bisikan. Aku bermimpi tentang Alun-alun Tegal, tentang becak Pak Jono, tentang laut yang tenang, dan tentang Nenek Siti yang tersenyum. Sebuah mimpi yang terasa sangat nyata, dan sangat indah.
Beberapa hari berikutnya terasa seperti mimpi. Aku menghabiskan waktu dengan Lina, menjelajahi setiap sudut kota Tegal. Kami pergi ke pasar tradisional yang ramai, di mana Lina menunjukkan cara menawar barang dan mengenalkanku pada penjual-penjual yang sudah dikenalnya sejak kecil. Aku bertemu dengan seorang nenek penjual jamu yang cerewet dan seorang tukang sate yang jago bercanda. Kami juga sering ke perpustakaan kota, tempat kami bisa menghabiskan berjam-jam tenggelam dalam buku. Aku tak pernah menyangka bisa merasa begitu nyaman dan bahagia.
Pak Jono sering menyapa kami saat kebetulan berpapasan. Ia selalu menanyakan kabarku, dan tawanya yang renyah selalu membuat hari-hariku terasa lebih cerah. Aku juga sering duduk di teras belakang di sore hari, menanti kehadiran Nenek Siti. Ia selalu datang, dan setiap percakapan dengannya terasa seperti pelajaran hidup yang tak ternilai harganya. Ia menceritakan kisah-kisah masa lalu yang penuh warna, dan aku selalu merasa terhubung dengannya.
Namun, di tengah semua kebahagiaan itu, sebuah keganjilan kecil mulai muncul. Hal-hal aneh, yang tadinya kuanggap sepele, kini mulai mengganggu pikiranku.
Suatu sore, aku dan Lina sedang duduk di sebuah kafe kecil, menikmati es teh leci yang segar. Lina sedang asyik menceritakan tentang rencana kami untuk pergi ke festival layang-layang di akhir pekan. Aku mendengarkan dengan seksama, mataku tak lepas dari wajahnya yang penuh semangat. Tiba-tiba, seorang pelayan yang sedang membawa nampan berisi pesanan menabrak meja kami. Gelas-gelas di atas nampan itu bergetar, dan beberapa tetes es teh tumpah di atas meja.
"Aduh, maaf, Mas," kata pelayan itu, panik. Ia segera mengambil serbet dan mengelap meja.
Aku menoleh ke arah Lina, hendak memastikan apakah bajunya terkena tumpahan, tetapi Lina tampak tidak terpengaruh. "Nggak apa-apa, kok," katanya pada pelayan itu.
Namun, pelayan itu tidak menoleh ke arah Lina. Tatapannya hanya tertuju padaku. "Maaf ya, Mas, benar-benar nggak sengaja," katanya lagi.
Aku terdiam. Aku merasa ada yang aneh. "Lho, dia nggak kena, kok," kataku, sambil menunjuk ke arah Lina.
Pelayan itu mengerutkan kening. "Siapa, Mas? Masnya sendirian, kan, dari tadi?"
Jantungku terasa berhenti berdetak. Aku menoleh ke arah Lina. Ia masih tersenyum, menatapku dengan tatapan bingung. "Ada apa, Dri?" tanyanya.
Aku menatap pelayan itu, lalu menoleh ke Lina, dan kembali lagi ke pelayan. Pikiranku kacau. "Lho, dia... dia di sini. Lina," kataku, suaraku bergetar.
Pelayan itu menatapku dengan tatapan kasihan, seolah aku adalah orang yang kebingungan. Ia menggeleng pelan. "Maaf, Mas, tapi dari tadi Masnya memang duduk sendirian di meja ini."
Aku merasa pusing. Aku meraih tangan Lina. "Ayo kita pergi," bisikku. Lina mengangguk, masih dengan ekspresi keheranan di wajahnya.
Setelah kami meninggalkan kafe, aku tidak bisa berhenti memikirkan kejadian itu. Apakah pelayan itu berbohong? Atau... apakah ada yang salah denganku? Aku mencoba menepis pikiran itu, mencoba meyakinkan diriku bahwa pelayan itu pasti salah lihat. Tapi, keraguan itu sudah menyusup ke dalam hatiku.
Keesokan harinya, aku pergi ke rumah Pak Rahmat, dengan niat untuk meminta maaf atas kejadian di kafe. Aku menekan bel pintu. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka. Namun, bukan Pak Rahmat yang menyambutku, melainkan seorang wanita paruh baya yang tidak kukenal. Wajahnya terlihat ramah, tetapi matanya memancarkan kesedihan.
"Maaf, Nak, cari siapa?" tanyanya.
"Maaf, Bu, saya cari Pak Rahmat," jawabku. "Saya tetangga baru di seberang."
Wanita itu tersenyum sedih. "Maaf, Nak, tapi Bapak Rahmat sudah tidak tinggal di sini."
Jantungku kembali berdebar kencang. "Maksudnya... ke mana, Bu? Dia pindah?"
Wanita itu menggeleng. "Bapak Rahmat sudah meninggal dua tahun lalu," katanya. "Beliau meninggal karena sakit. Rumah ini sekarang ditempati oleh saya dan keluarga."
Kepalaku terasa kosong. Aku tidak bisa berpikir. Mulutku terasa kaku. "Lalu... Lina?" tanyaku. "Anaknya? Dia anak Pak Rahmat, kan?"
Wanita itu menatapku dengan tatapan bingung. "Lina? Saya tidak kenal dengan nama itu. Maaf, Nak, mungkin kamu salah rumah."
Kakiku lemas. Dunia yang selama ini kubangun di Tegal, dunia yang terasa begitu nyata, kini mulai runtuh. Aku mengucapkan terima kasih, lalu berbalik, dan berjalan menjauh. Pikiranku kacau. Aku tidak tahu harus percaya apa. Pak Rahmat, yang selama ini selalu menyapaku dengan ramah, ternyata sudah meninggal. Dan Lina, sahabat baruku, bahkan tidak pernah ada.
Aku tidak tahu harus ke mana. Aku berjalan tanpa tujuan, air mata mulai menggenang di mataku. Aku lalu teringat pada Pak Jono. Aku harus menanyakan padanya, apa yang sebenarnya terjadi. Aku berjalan cepat menuju alun-alun, berharap bisa menemukannya.
Di sana, aku melihat sebuah becak tua yang sedang menunggu penumpang. Itu becak Pak Jono. Aku menghampiri pengemudinya. Ia seorang pria muda, dengan wajah yang tak kukenal.
"Maaf, Mas, ini becak Pak Jono, kan?" tanyaku.
Pria itu mengangguk. "Ya, Nak. Saya anak Pak Jono. Ada yang bisa saya bantu?"
Aku menatapnya, tak percaya. "Pak Jono... Pak Jono yang tukang becak...?" suaraku bergetar.
Pria itu mengangguk. "Ya, betul. Tapi Bapak sudah lama meninggal, Nak. Sudah hampir empat tahun lalu. Beliau meninggal karena kecelakaan."
Dunia di sekitarku terasa berputar. Semua yang kukenal, semua yang kupercaya, ternyata tidak nyata. Aku bergegas pulang. Aku tidak lagi peduli dengan apa yang kupikirkan. Aku hanya ingin tahu.
Sesampainya di rumah, aku langsung mencari Ibu. "Bu, aku harus tanya sesuatu," kataku, suaraku parau. "Pak Rahmat, Nenek Siti, Pak Jono... mereka... mereka semua sudah meninggal?"
Ibu memandangku, matanya berkaca-kaca. "Ya, Adri," katanya, suaranya bergetar. "Maafkan Ibu. Ibu pikir... Ibu pikir dengan pindah ke sini, kamu bisa melupakan mereka."
"Melupakan siapa?" tanyaku, air mataku mulai mengalir deras. "Lina? Siapa Lina?"
Ibu memelukku. "Lina... dia teman khayalanmu sejak kecil, Nak. Kamu selalu menceritakan tentang dia. Kamu bilang dia adalah sahabat terbaikmu."
Aku terduduk di lantai, menangis tanpa suara. Semua percakapan, semua tawa, semua kehangatan yang kurasakan... semuanya hanya ada di dalam kepalaku. Aku tidak pernah benar-benar berbicara dengan siapa pun. Aku hanya sendirian.
Aku naik ke kamarku, membuka lemari, dan mengeluarkan sebuah buku harian yang kusimpan rapi. Itu adalah buku harianku dari masa kecil. Aku membukanya, dan membaca setiap halaman. Di setiap halaman, ada cerita tentang Lina, tentang Pak Jono, tentang Nenek Siti. Ada gambar-gambar yang kutuliskan tentang mereka, lengkap dengan detail-detail kecil yang kuingat dengan jelas.
Aku membaca kembali tulisanku tentang acara sekolah. "Hari ini Lina menemaniku ke acara sekolah. Ia bilang penampilanku bagus," tulisku. Aku teringat pada acara itu. Aku berdiri sendirian di sudut ruangan. Tidak ada Lina.
Aku membaca kembali tulisan tentang liburan. "Pak Jono mengantarku ke pantai. Ia bilang pantai ini adalah tempat favoritnya," tulisku. Aku teringat pada hari itu. Aku berjalan sendirian ke pantai.
Semua yang kuingat, semua yang kupercaya, adalah kebohongan yang kubuat sendiri. Aku tidak pernah berteman. Aku tidak pernah berinteraksi. Aku hanya membayangkannya. Aku membuat dunia di mana aku memiliki teman-teman yang peduli.
Aku menyadari, penyakit mentalku bukanlah sesuatu yang bisa disembuhkan dengan pindah kota. Penyakit mentalku adalah bagian dari diriku. Dan aku harus menghadapi kenyataan itu, tak peduli seberapa menyakitkan.
Aku menangis sampai mataku bengkak. Pikiranku dipenuhi oleh penyesalan. Aku menyesali kehidupanku yang tak nyata. Aku menyesali semua kebohongan yang kubuat. Tapi, di tengah semua penyesalan itu, aku menyadari satu hal. Dunia yang kubayangkan, dengan orang-orang yang hangat dan ramah, itu semua adalah keinginanku. Keinginan untuk memiliki hidup yang normal. Keinginan itu adalah diriku yang sebenarnya.
Aku memutuskan, aku tidak akan lagi lari dari kenyataan. Aku akan berjuang. Aku akan mencari pertolongan profesional dan mencoba untuk berteman dengan orang-orang sungguhan. Dan meskipun aku tidak akan pernah bisa melihat Pak Rahmat, Lina, Pak Jono, atau Nenek Siti lagi, aku akan selalu mengingat mereka. Mereka adalah bagian dari diriku, bagian dari masa lalu yang mengantarkanku ke masa depan yang lebih baik.
Aku tidak lagi sendirian. Karena aku tidak lagi takut untuk menghadapi diriku sendiri.
Beberapa hari berikutnya terasa seperti mimpi. Aku menghabiskan waktu dengan Lina, menjelajahi setiap sudut kota Tegal. Kami pergi ke pasar tradisional yang ramai, di mana Lina menunjukkan cara menawar barang dan mengenalkanku pada penjual-penjual yang sudah dikenalnya sejak kecil. Aku bertemu dengan seorang nenek penjual jamu yang cerewet dan seorang tukang sate yang jago bercanda. Kami juga sering ke perpustakaan kota, tempat kami bisa menghabiskan berjam-jam tenggelam dalam buku. Aku tak pernah menyangka bisa merasa begitu nyaman dan bahagia.
Pak Jono sering menyapa kami saat kebetulan berpapasan. Ia selalu menanyakan kabarku, dan tawanya yang renyah selalu membuat hari-hariku terasa lebih cerah. Aku juga sering duduk di teras belakang di sore hari, menanti kehadiran Nenek Siti. Ia selalu datang, dan setiap percakapan dengannya terasa seperti pelajaran hidup yang tak ternilai harganya. Ia menceritakan kisah-kisah masa lalu yang penuh warna, dan aku selalu merasa terhubung dengannya.
Namun, di tengah semua kebahagiaan itu, sebuah keganjilan kecil mulai muncul. Hal-hal aneh, yang tadinya kuanggap sepele, kini mulai mengganggu pikiranku.
Suatu sore, aku dan Lina sedang duduk di sebuah kafe kecil, menikmati es teh leci yang segar. Lina sedang asyik menceritakan tentang rencana kami untuk pergi ke festival layang-layang di akhir pekan. Aku mendengarkan dengan seksama, mataku tak lepas dari wajahnya yang penuh semangat. Tiba-tiba, seorang pelayan yang sedang membawa nampan berisi pesanan menabrak meja kami. Gelas-gelas di atas nampan itu bergetar, dan beberapa tetes es teh tumpah di atas meja.
"Aduh, maaf, Mas," kata pelayan itu, panik. Ia segera mengambil serbet dan mengelap meja.
Aku menoleh ke arah Lina, hendak memastikan apakah bajunya terkena tumpahan, tetapi Lina tampak tidak terpengaruh. "Nggak apa-apa, kok," katanya pada pelayan itu.
Namun, pelayan itu tidak menoleh ke arah Lina. Tatapannya hanya tertuju padaku. "Maaf ya, Mas, benar-benar nggak sengaja," katanya lagi.
Aku terdiam. Aku merasa ada yang aneh. "Lho, dia nggak kena, kok," kataku, sambil menunjuk ke arah Lina.
Pelayan itu mengerutkan kening. "Siapa, Mas? Masnya sendirian, kan, dari tadi?"
Jantungku terasa berhenti berdetak. Aku menoleh ke arah Lina. Ia masih tersenyum, menatapku dengan tatapan bingung. "Ada apa, Dri?" tanyanya.
Aku menatap pelayan itu, lalu menoleh ke Lina, dan kembali lagi ke pelayan. Pikiranku kacau. "Lho, dia... dia di sini. Lina," kataku, suaraku bergetar.
Pelayan itu menatapku dengan tatapan kasihan, seolah aku adalah orang yang kebingungan. Ia menggeleng pelan. "Maaf, Mas, tapi dari tadi Masnya memang duduk sendirian di meja ini."
Aku merasa pusing. Aku meraih tangan Lina. "Ayo kita pergi," bisikku. Lina mengangguk, masih dengan ekspresi keheranan di wajahnya.
Setelah kami meninggalkan kafe, aku tidak bisa berhenti memikirkan kejadian itu. Apakah pelayan itu berbohong? Atau... apakah ada yang salah denganku? Aku mencoba menepis pikiran itu, mencoba meyakinkan diriku bahwa pelayan itu pasti salah lihat. Tapi, keraguan itu sudah menyusup ke dalam hatiku.
Keesokan harinya, aku pergi ke rumah Pak Rahmat, dengan niat untuk meminta maaf atas kejadian di kafe. Aku menekan bel pintu. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka. Namun, bukan Pak Rahmat yang menyambutku, melainkan seorang wanita paruh baya yang tidak kukenal. Wajahnya terlihat ramah, tetapi matanya memancarkan kesedihan.
"Maaf, Nak, cari siapa?" tanyanya.
"Maaf, Bu, saya cari Pak Rahmat," jawabku. "Saya tetangga baru di seberang."
Wanita itu tersenyum sedih. "Maaf, Nak, tapi Bapak Rahmat sudah tidak tinggal di sini."
Jantungku kembali berdebar kencang. "Maksudnya... ke mana, Bu? Dia pindah?"
Wanita itu menggeleng. "Bapak Rahmat sudah meninggal dua tahun lalu," katanya. "Beliau meninggal karena sakit. Rumah ini sekarang ditempati oleh saya dan keluarga."
Kepalaku terasa kosong. Aku tidak bisa berpikir. Mulutku terasa kaku. "Lalu... Lina?" tanyaku. "Anaknya? Dia anak Pak Rahmat, kan?"
Wanita itu menatapku dengan tatapan bingung. "Lina? Saya tidak kenal dengan nama itu. Maaf, Nak, mungkin kamu salah rumah."
Kakiku lemas. Dunia yang selama ini kubangun di Tegal, dunia yang terasa begitu nyata, kini mulai runtuh. Aku mengucapkan terima kasih, lalu berbalik, dan berjalan menjauh. Pikiranku kacau. Aku tidak tahu harus percaya apa. Pak Rahmat, yang selama ini selalu menyapaku dengan ramah, ternyata sudah meninggal. Dan Lina, sahabat baruku, bahkan tidak pernah ada.
Aku tidak tahu harus ke mana. Aku berjalan tanpa tujuan, air mata mulai menggenang di mataku. Aku lalu teringat pada Pak Jono. Aku harus menanyakan padanya, apa yang sebenarnya terjadi. Aku berjalan cepat menuju alun-alun, berharap bisa menemukannya.
Di sana, aku melihat sebuah becak tua yang sedang menunggu penumpang. Itu becak Pak Jono. Aku menghampiri pengemudinya. Ia seorang pria muda, dengan wajah yang tak kukenal.
"Maaf, Mas, ini becak Pak Jono, kan?" tanyaku.
Pria itu mengangguk. "Ya, Nak. Saya anak Pak Jono. Ada yang bisa saya bantu?"
Aku menatapnya, tak percaya. "Pak Jono... Pak Jono yang tukang becak...?" suaraku bergetar.
Pria itu mengangguk. "Ya, betul. Tapi Bapak sudah lama meninggal, Nak. Sudah hampir empat tahun lalu. Beliau meninggal karena kecelakaan."
Dunia di sekitarku terasa berputar. Semua yang kukenal, semua yang kupercaya, ternyata tidak nyata. Aku bergegas pulang. Aku tidak lagi peduli dengan apa yang kupikirkan. Aku hanya ingin tahu.
Sesampainya di rumah, aku langsung mencari Ibu. "Bu, aku harus tanya sesuatu," kataku, suaraku parau. "Pak Rahmat, Nenek Siti, Pak Jono... mereka... mereka semua sudah meninggal?"
Ibu memandangku, matanya berkaca-kaca. "Ya, Adri," katanya, suaranya bergetar. "Maafkan Ibu. Ibu pikir... Ibu pikir dengan pindah ke sini, kamu bisa melupakan mereka."
"Melupakan siapa?" tanyaku, air mataku mulai mengalir deras. "Lina? Siapa Lina?"
Ibu memelukku. "Lina... dia teman khayalanmu sejak kecil, Nak. Kamu selalu menceritakan tentang dia. Kamu bilang dia adalah sahabat terbaikmu."
Aku terduduk di lantai, menangis tanpa suara. Semua percakapan, semua tawa, semua kehangatan yang kurasakan... semuanya hanya ada di dalam kepalaku. Aku tidak pernah benar-benar berbicara dengan siapa pun. Aku hanya sendirian.
Aku naik ke kamarku, membuka lemari, dan mengeluarkan sebuah buku harian yang kusimpan rapi. Itu adalah buku harianku dari masa kecil. Aku membukanya, dan membaca setiap halaman. Di setiap halaman, ada cerita tentang Lina, tentang Pak Jono, tentang Nenek Siti. Ada gambar-gambar yang kutuliskan tentang mereka, lengkap dengan detail-detail kecil yang kuingat dengan jelas.
Aku membaca kembali tulisanku tentang acara sekolah. "Hari ini Lina menemaniku ke acara sekolah. Ia bilang penampilanku bagus," tulisku. Aku teringat pada acara itu. Aku berdiri sendirian di sudut ruangan. Tidak ada Lina.
Aku membaca kembali tulisan tentang liburan. "Pak Jono mengantarku ke pantai. Ia bilang pantai ini adalah tempat favoritnya," tulisku. Aku teringat pada hari itu. Aku berjalan sendirian ke pantai.
Semua yang kuingat, semua yang kupercaya, adalah kebohongan yang kubuat sendiri. Aku tidak pernah berteman. Aku tidak pernah berinteraksi. Aku hanya membayangkannya. Aku membuat dunia di mana aku memiliki teman-teman yang peduli.
Aku menyadari, penyakit mentalku bukanlah sesuatu yang bisa disembuhkan dengan pindah kota. Penyakit mentalku adalah bagian dari diriku. Dan aku harus menghadapi kenyataan itu, tak peduli seberapa menyakitkan.
Aku menangis sampai mataku bengkak. Pikiranku dipenuhi oleh penyesalan. Aku menyesali kehidupanku yang tak nyata. Aku menyesali semua kebohongan yang kubuat. Tapi, di tengah semua penyesalan itu, aku menyadari satu hal. Dunia yang kubayangkan, dengan orang-orang yang hangat dan ramah, itu semua adalah keinginanku. Keinginan untuk memiliki hidup yang normal. Keinginan itu adalah diriku yang sebenarnya.
Aku memutuskan, aku tidak akan lagi lari dari kenyataan. Aku akan berjuang. Aku akan mencari pertolongan profesional dan mencoba untuk berteman dengan orang-orang sungguhan. Dan meskipun aku tidak akan pernah bisa melihat Pak Rahmat, Lina, Pak Jono, atau Nenek Siti lagi, aku akan selalu mengingat mereka. Mereka adalah bagian dari diriku, bagian dari masa lalu yang mengantarkanku ke masa depan yang lebih baik.
Aku tidak lagi sendirian. Karena aku tidak lagi takut untuk menghadapi diriku sendiri.
Tangisan itu pecah, bukan hanya dari mataku, tetapi dari seluruh jiwaku. Aku menangis, bukan karena sedih, tetapi karena kekosongan yang tiba-tiba melanda. Rasanya seperti ada bagian dari diriku yang dicabut paksa, meninggalkan lubang menganga yang perih. Semua yang kupercaya, semua kebahagiaan yang kurasakan, ternyata hanyalah fatamorgana. Lina, Pak Jono, Nenek Siti, bahkan Pak Rahmat—mereka semua adalah ilusi, bayangan-bayangan yang diciptakan oleh pikiranku sendiri untuk mengisi kehampaan yang tak bisa kuhadapi.
Ibu memelukku. Pelukannya terasa hangat, tetapi tidak bisa meredakan rasa sakit yang mencengkeram dadaku. Aku mendorongnya perlahan, lalu berdiri. Aku harus tahu. Aku harus membuktikan ini pada diriku sendiri. Kakiku melangkah, terasa berat, menuju kamar. Aku membuka lemari, dan mengeluarkan sebuah buku yang sudah usang—buku harianku, yang sudah menemaniku sejak aku masih kecil.
Aku membuka halaman pertamanya, dan mataku langsung tertuju pada tulisan tangan yang masih kekanak-kanakan. "Hari ini aku punya teman baru. Namanya Lina. Dia sangat baik dan suka membaca buku sepertiku." Di bawah tulisan itu, ada gambar seorang gadis kecil dengan rambut panjang, digambar dengan pensil warna yang cerah. Wajahnya tersenyum, persis seperti Lina yang ada dalam ingatanku.
Aku membalik halaman demi halaman. Setiap halaman adalah cerita. Cerita tentang aku dan Lina yang pergi ke festival. Cerita tentang aku dan Lina yang berbagi rahasia. Cerita tentang aku dan Lina yang tertawa bersama. Aku membaca setiap kata, dan setiap kata adalah tusukan. Aku mengingat setiap adegan, dan setiap adegan terasa sangat nyata. Bagaimana mungkin semua ini hanyalah kebohongan? Bagaimana mungkin aku bisa membuat detail-detail itu begitu jelas di dalam kepalaku?
Aku terus membalik halaman, hingga akhirnya aku menemukan entri tentang Pak Jono. Aku menulis tentang pertemuan pertama kami di alun-alun, tentang ceritanya yang lucu, dan tentang becaknya yang tua. Aku bahkan menggambar becaknya dengan detail yang luar biasa. Aku juga menemukan entri tentang Nenek Siti, tentang percakapan kami di teras belakang, dan tentang kata-kata bijaknya yang menenangkan. Aku bahkan menggambar dirinya, dengan rambut putih yang dikepang rapi.
Di satu halaman, aku membaca tulisan yang isinya adalah keluhanku. Aku menulis tentang kesepian, tentang bagaimana aku merasa berbeda dari anak-anak lain. Aku menulis tentang bagaimana tidak ada yang mengerti diriku, dan bagaimana aku selalu merasa seperti orang luar. Di halaman yang lain, aku menulis tentang bagaimana aku ingin memiliki teman yang nyata, seseorang yang bisa kuajak bicara dan tertawa.
Tiba-tiba, sebuah ingatan muncul dengan jelas. Aku ingat, di hari pertama aku pindah, aku tidak langsung disambut oleh Pak Rahmat. Aku ingat, Bapak dan Ibu yang harus berbicara dengan seorang makelar properti, dan aku hanya berdiri sendirian di sudut ruangan. Aku ingat, saat aku sedang membereskan kamarku, tidak ada siapa pun yang datang. Aku sendirian. Lina... ia muncul di dalam kepalaku. Ia adalah respons dari rasa kesepianku yang mendalam.
Ingatan-ingatan lain mulai bermunculan. Aku ingat, saat aku pergi ke kafe, aku memesan es teh leci, dan aku duduk sendirian di meja. Aku ingat, pelayan itu datang, dan ia hanya berbicara padaku. Lina tidak pernah ada. Ia hanya ada di dalam pikiranku. Aku ingat, saat aku pergi ke rumah di seberang, aku hanya berdiri di depan pintu yang terkunci. Tidak ada siapa pun. Nenek Siti tidak pernah ada.
Aku terduduk di lantai, napas terengah-engah. Kepala-ku terasa berputar. Semua yang selama ini kuanggap nyata, semua orang yang kurasa mengenalku, semuanya adalah ilusi. Aku sudah lama hidup di dalam dunia yang kubuat sendiri. Sebuah dunia yang aman, di mana aku tidak pernah sendirian.
Aku tidak tahu berapa lama aku duduk di sana, memeluk buku harian itu. Pikiranku berkelana, mencoba menyusun kembali kepingan-kepingan memori yang terfragmentasi. Aku ingat, di sekolah lamaku, aku selalu menyendiri. Aku sering berdiam diri di perpustakaan, membaca buku, karena aku tidak tahu bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain. Aku ingat, guru-guruku pernah memanggil orang tuaku, dan mereka mengatakan aku harus bersosialisasi.
Aku ingat, orang tuaku pernah mengajakku ke psikolog. Aku ingat, psikolog itu bertanya padaku tentang teman-temanku. Aku dengan bangga menceritakan tentang Lina, tentang petualangan kami. Aku ingat, ekspresi psikolog itu berubah. Ia menatapku dengan tatapan sedih, tatapan yang sama seperti yang kulihat di mata Ibuku. Aku tidak mengerti mengapa mereka sedih. Aku punya teman. Aku tidak sendirian.
Tetapi sekarang, aku mengerti. Aku tidak punya teman. Aku tidak pernah punya. Aku hanya membayangkannya. Aku menciptakan Lina, Pak Jono, Nenek Siti, dan Pak Rahmat. Aku menciptakan sebuah dunia di mana aku bisa menjadi orang lain. Sebuah dunia di mana aku tidak perlu takut.
Aku merasa sangat marah. Marah pada diriku sendiri. Marah pada penyakit yang tidak kuundang ini. Marah pada dunia yang terasa begitu kejam. Aku ingin berteriak, aku ingin menghancurkan semuanya. Tetapi, tidak ada suara yang keluar. Aku hanya bisa menangis.
Ibu masuk ke kamar, melihatku yang terduduk di lantai, buku harian di tangan. Ia duduk di sampingku, dan memelukku dari belakang. "Sudah waktunya, Adri," bisiknya lembut. "Sudah waktunya kamu jujur pada dirimu sendiri."
Aku tidak membalas. Aku hanya membiarkan air mataku membasahi pipi. Aku tahu, apa yang ia katakan benar. Aku sudah terlalu lama bersembunyi. Aku sudah terlalu lama lari dari kenyataan.
"Ibu dan Bapak sayang sama kamu, Adri," bisiknya lagi. "Kami hanya ingin kamu bahagia. Kami pikir, dengan pindah ke sini, kamu bisa melupakan kenangan-kenangan lama. Kami pikir, lingkungan baru bisa membantu kamu."
Aku membalikkan badan, dan menatapnya. Matanya penuh dengan rasa bersalah dan kesedihan. "Kenapa... kenapa Ibu tidak bilang dari awal?" tanyaku, suaraku parau. "Kenapa Ibu biarkan aku percaya semua itu nyata?"
Ibu menggeleng. "Kami takut, Nak. Kami takut kamu tidak akan bisa menerimanya. Kami pikir, biarkan kamu menemukan sendiri. Kami hanya ingin kamu merasakan kebahagiaan, meskipun hanya sebentar."
Kata-kata itu terasa seperti pisau. Aku menundukkan kepala. Mereka membiarkanku hidup dalam kebohongan, demi kebahagiaanku. Mereka tahu semua ini, tetapi mereka tetap diam. Mereka melihatku berbicara dengan bayangan, dan mereka tidak mengatakan apa-apa.
"Lina itu teman khayalanmu sejak kecil, Nak," Ibu melanjutkan. "Kamu selalu menceritakan tentang dia. Kamu bilang dia adalah sahabat terbaikmu."
Dan sekarang, aku harus melepaskannya. Aku harus melepaskan semua orang yang kucintai. Semua orang yang kurasa peduli padaku. Ini adalah perpisahan yang paling sulit dalam hidupku.
Aku memejamkan mata, membiarkan ingatan tentang mereka kembali. Senyum ramah Lina, tawa renyah Pak Jono, kata-kata bijak Nenek Siti. Mereka adalah bagian dariku. Bagian yang indah, bagian yang penuh dengan harapan. Dan meskipun mereka tidak nyata, perasaan yang mereka berikan padaku adalah nyata. Perasaan bahagia, perasaan damai, perasaan dicintai. Perasaan-perasaan itu tidak bisa dihapus.
Aku menyadari, penyakit mentalku bukanlah sesuatu yang bisa disembuhkan. Tetapi, aku bisa belajar untuk hidup dengannya. Aku bisa belajar untuk menerima diriku sendiri. Aku bisa belajar untuk tidak lagi lari.
Aku membuka mata, dan menatap Ibu. "Aku... aku mau sembuh, Bu," kataku. "Aku mau cari bantuan. Aku mau hidup yang nyata."
Ibu tersenyum. Senyumnya penuh dengan kelegaan dan harapan. Ia memelukku erat. "Ibu bangga padamu, Adri," bisiknya. "Ibu sangat bangga."
Malam itu, aku tidak tidur. Aku memandang keluar jendela, melihat pohon mangga yang menjulang tinggi, dengan dahan-dahan yang meliuk-liuk seperti tangan-tangan raksasa. Pohon itu tidak lagi menakutkan. Ia adalah saksi bisu dari perjalananku. Perjalanan dari kegelapan menuju cahaya. Perjalanan dari kebohongan menuju kebenaran.
Aku tidak lagi sendirian. Karena aku tidak lagi takut untuk menghadapi diriku sendiri. Aku akan berjuang. Aku akan mencari pertolongan profesional dan mencoba untuk berteman dengan orang-orang sungguhan. Dan meskipun aku tidak akan pernah bisa melihat Lina, Pak Jono, atau Nenek Siti lagi, aku akan selalu mengingat mereka. Mereka adalah bagian dari diriku, bagian dari masa lalu yang mengantarkanku ke masa depan yang lebih baik.
Aku akan hidup, bukan untuk mereka, tetapi untuk diriku sendiri. Dan itu, adalah awal dari segalanya. Awal dari kehidupan yang baru, yang tak lagi penuh dengan bayangan-bayangan.
Rasa sakit itu tidak hilang. Bahkan setelah tangisan yang meluap-luap dan pengakuan dari Ibu, lubang di dadaku masih ada. Tetapi kini, ada sesuatu yang berbeda. Ada semacam kesadaran yang menenangkan. Aku tidak lagi bersembunyi. Aku telah melihat kebenaran, dan meskipun itu menyakitkan, kebenaran itu juga membebaskan. Malam itu, setelah Ibu meninggalkan kamarku, aku tidak bisa tidur. Pikiranku terus berputar, menyusun kembali setiap kepingan ingatan. Bukan lagi ingatan yang kabur dan penuh halusinasi, tetapi ingatan yang jelas, yang menunjukkan betapa kesepiannya aku selama ini.
Aku ingat, saat di Jakarta, aku sering duduk di taman kota, mengamati anak-anak lain bermain. Aku ingin bergabung, tapi kakiku terasa kaku, dan mulutku terasa terkunci. Aku hanya bisa mengamati, menciptakan skenario di dalam kepalaku, di mana aku adalah bagian dari mereka. Skenario di mana aku memiliki sahabat yang setia, yang akan selalu ada untukku. Dan dari skenario itulah, Lina lahir. Lina adalah proyeksi dari diriku yang paling dalam, diriku yang mendambakan persahabatan dan koneksi.
Aku ingat saat kami sekeluarga berlibur ke pantai. Orang tuaku sibuk mengambil foto, sementara aku duduk sendirian di atas pasir, membangun istana pasir yang besar. Aku merasa hampa. Di dalam kepalaku, Pak Jono datang, dengan becaknya yang tua, dan menceritakan padaku kisah-kisah lucu tentang para nelayan dan ombak. Pak Jono adalah representasi dari kebutuhanku akan pengetahuan dan figur ayah yang bisa diandalkan. Ia adalah jawaban atas rasa hausku akan cerita dan kebijaksanaan yang tak pernah bisa kuperoleh dari orang lain.
Dan Nenek Siti... ia adalah perwujudan dari rasa hausku akan kasih sayang. Aku selalu merindukan sosok nenek yang bisa memberikan pelukan hangat, yang bisa mendengarkan keluhanku tanpa menghakimi. Nenek Siti adalah jawaban atas kerinduanku itu. Setiap kata yang ia ucapkan, setiap sentuhan lembutnya, adalah apa yang sangat kubutuhkan.
Aku menyadari, semua halusinasi itu bukan sekadar penyakit. Mereka adalah penyelamatku. Mereka muncul saat aku sangat kesepian, saat aku tidak tahu bagaimana cara menghadapi dunia. Mereka memberikan aku alasan untuk tersenyum, alasan untuk bangun di pagi hari, dan alasan untuk merasa berharga. Mereka adalah teman-teman yang kubutuhkan, meskipun mereka tidak nyata.
Saat pagi menjelang, aku merasa sedikit lebih ringan. Aku tidak lagi merasa marah pada diriku sendiri. Aku merasa, aku bisa menerima diriku apa adanya. Aku turun ke bawah, dan duduk di meja makan. Bapak dan Ibu memandangku dengan tatapan khawatir. Aku tersenyum. "Aku tidak apa-apa," kataku, suaraku terdengar serak, tetapi tulus.
Setelah sarapan, aku meminta izin kepada Bapak dan Ibu untuk berjalan-jalan sendirian. Mereka terlihat ragu, tetapi mengizinkanku. Aku berjalan keluar rumah, menghirup udara pagi Tegal yang dingin. Aku berjalan menuju alun-alun. Di sana, keramaian sudah dimulai. Aku duduk di bangku yang sama, di bawah pohon beringin yang rindang. Aku memejamkan mata, mencoba membayangkan Pak Jono di sampingku. Tetapi tidak ada. Keheningan yang ada di sekelilingku adalah keheningan yang nyata. Aku tidak lagi bisa mendengar tawanya, atau suaranya yang bercerita. Itu terasa menyakitkan, tetapi juga memberikan aku keberanian.
Aku membuka mata, dan memandang sekeliling. Aku melihat seorang pria paruh baya yang sedang duduk sendirian di bangku lain. Wajahnya terlihat murung. Aku merasakan desakan untuk menarik diri, untuk kembali ke dalam cangkangku. Tetapi aku menolak. Aku teringat pada Lina, yang selalu berani dan riang. Ia adalah bagian dariku. Aku bangkit, dan berjalan ke arah pria itu.
"Selamat pagi, Pak," sapaku.
Pria itu mendongak, matanya yang sedih memandangku. "Pagi, Nak."
"Boleh saya duduk di sini?" tanyaku.
Pria itu mengangguk, terkejut. "Silakan."
Kami duduk dalam keheningan yang canggung. Aku tidak tahu harus bicara apa. Aku tidak pernah berbicara dengan orang asing. Tiba-tiba, aku teringat pada Pak Jono. Aku tersenyum. "Bapak tahu, saya dengar alun-alun ini punya banyak cerita sejarah," kataku. "Apa Bapak tahu salah satunya?"
Pria itu terkejut. Ia tersenyum tipis. "Ya, Nak. Alun-alun ini dulu adalah pusat pertempuran. Kakek saya sering bercerita tentang itu. Beliau adalah salah satu pejuang kemerdekaan."
Dan dari situ, percakapan kami mengalir. Ia bercerita tentang masa lalu Tegal, tentang kakeknya, dan tentang kenangan-kenangan masa kecilnya. Aku mendengarkan dengan seksama, dan sesekali bertanya. Pria itu terlihat senang. Setelah beberapa lama, ia berterima kasih kepadaku. "Sudah lama saya tidak mengobrol dengan siapa pun," katanya tulus. "Kamu anak yang baik."
Aku merasakan kebahagiaan yang tulus. Bukan kebahagiaan dari ilusi, melainkan kebahagiaan dari interaksi yang nyata. Aku kembali ke rumah, dengan hati yang lebih ringan.
Sore harinya, aku pergi ke rumah di seberang, rumah yang katanya dulu ditempati Nenek Siti. Aku melihat seorang wanita tua yang sedang menyiram tanaman di halaman. Itu adalah wanita yang kemarin menemuiku. Ia memandangku, dan tersenyum.
"Nak Adrian, kan?" tanyanya. Aku mengangguk. "Mau masuk? Silakan."
Aku berjalan masuk. Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Ibu Sri. Kami duduk di teras. Aku menceritakan padanya tentang Nenek Siti, tentang percakapan kami, dan tentang kata-kata bijaknya. Ibu Sri mendengarkan dengan penuh perhatian. Matanya berkaca-kaca.
"Nenek Siti adalah ibu mertua saya," katanya, suaranya bergetar. "Beliau meninggal setahun lalu. Beliau orang yang sangat bijaksana. Saya sangat merindukannya."
Aku memandang Ibu Sri, dan tersenyum. "Saya juga. Meskipun saya tidak pernah bertemu dengannya, saya merasa mengenalnya," kataku. "Mungkin, Ibu bisa menceritakan tentang Nenek Siti? Saya ingin tahu lebih banyak."
Ibu Sri mengangguk, lalu ia mulai bercerita. Ia menceritakan tentang Nenek Siti yang suka membuat kue, tentang Nenek Siti yang suka menolong orang lain, dan tentang Nenek Siti yang suka menyanyi. Aku mendengarkan, dan aku merasa, Nenek Siti benar-benar ada. Bukan lagi sebagai ilusi, tetapi sebagai kenangan yang hidup di dalam hati orang-orang yang mencintainya.
Perjalanan itu tidak mudah. Aku tahu, ini hanya awal. Masih ada banyak hal yang harus kuhadapi. Aku harus mencari bantuan profesional, aku harus belajar untuk bersosialisasi, dan aku harus belajar untuk menerima diriku sendiri. Tetapi, aku tidak lagi takut.
Aku tidak lagi sendirian. Karena aku menyadari satu hal. Lina, Pak Jono, dan Nenek Siti, mereka tidak pernah benar-benar pergi. Mereka adalah bagian dariku. Mereka adalah perwujudan dari semua harapan dan impianku. Mereka adalah cerminan dari diriku yang paling dalam.
Aku akan hidup, tidak hanya untuk diriku sendiri, tetapi juga untuk mereka. Aku akan mewujudkan semua mimpi yang tidak bisa mereka wujudkan. Aku akan menjadi orang yang lebih baik, dan aku akan hidup dengan penuh keberanian, seperti Lina. Aku akan menjadi orang yang bijaksana, seperti Nenek Siti. Dan aku akan menjadi orang yang selalu bisa membuat orang lain tersenyum, seperti Pak Jono.
Aku tidak lagi merasa kosong. Aku merasa penuh. Penuh dengan harapan. Penuh dengan kekuatan. Dan yang terpenting, penuh dengan diriku sendiri.