Masukan nama pengguna
Bab 1: Jam Kuno di Toko Antik
Raka, seorang pemuda berusia 26 tahun dengan selera unik pada barang-barang antik, terdampar di sebuah toko barang antik di sudut kota yang jarang ia kunjungi. Toko itu, "Pusaka Waktu", tampak hampir tutup, dengan debu tebal melapisi setiap benda dan bau apak yang menusuk hidung. Pemiliknya, seorang pria tua bertubuh kurus dengan mata sayu, tampak tak acuh, seolah hanya menunggu waktu untuk mengakhiri hari. Raka sedang mencari furnitur lama untuk melengkapi apartemen barunya yang bergaya industrial, dan sebuah lemari arsip kayu jati yang kokoh menarik perhatiannya. Namun, di antara tumpukan barang-barang usang, sebuah jam dinding klasik tua tergantung di dinding yang paling gelap, seolah menyembunyikan diri.
Jam itu bukan jam biasa. Ukiran kayunya rumit, dengan motif daun-daun dan bunga-bunga yang menghitam karena usia. Angka romawinya pudar, dan jarum jamnya tampak seperti terbuat dari perak yang telah teroksidasi. Yang paling menarik adalah pendulumnya; bukan pendulum biasa, melainkan sebuah patung kecil seorang wanita yang sedang menunduk, terbuat dari perunggu yang menghitam. Wanita itu tampak seperti sedang meratapi sesuatu, dengan ekspresi kesedihan yang mendalam terpahat di wajahnya. Ada aura misterius yang terpancar dari jam itu, sebuah daya tarik aneh yang membuat Raka tak bisa mengalihkan pandangannya.
"Jam itu?" tanya si pemilik toko, suaranya serak, seolah jarang berbicara. "Sudah lama di sini. Tidak ada yang mau." Raka mendekat, mengamati jam itu lebih detail. Kaca penutup depannya retak di satu sudut, seolah pernah mengalami benturan keras. Bagian belakang jam menunjukkan bekas-bekas kelembapan dan tanda-tanda kerusakan akibat usia. Namun, entah mengapa, Raka merasa ada ikatan tak kasat mata dengan jam itu. Ia memiliki daya tarik yang aneh, seolah memanggilnya.
"Berapa harganya?" tanya Raka, menunjuk jam itu.
"Ambil saja," jawab si pemilik, "Murah. Sangat murah. Hanya seharga beberapa ratus ribu." Raka terkejut. Harga itu terlalu murah untuk sebuah jam antik dengan ukiran sekompleks itu. Ada yang janggal, tapi Raka terlalu terpikat untuk peduli. Ia merasa seperti menemukan harta karun tersembunyi. Mungkin jam itu tidak berfungsi, atau rusak parah, pikir Raka. Tapi ia bisa memperbaikinya.
Tanpa banyak bertanya, Raka membayar jam itu. Pemilik toko tidak banyak bicara, hanya mengangguk pelan saat Raka mengangkat jam tersebut dengan hati-hati. Jam itu terasa dingin, bahkan di bawah sentuhan tangannya yang hangat. Ada sensasi aneh, seperti energi dingin yang merambat ke lengannya. Raka mengabaikannya, menganggapnya hanya karena jam itu terbuat dari kayu tua yang dingin. Ia membungkusnya dengan koran bekas yang diberikan si pemilik, lalu membawanya pulang dengan mobilnya. Sepanjang perjalanan pulang, Raka tak bisa berhenti memikirkan jam itu. Ada kegembiraan aneh yang menyelimuti dirinya, kegembiraan menemukan sesuatu yang unik dan misterius. Ia sudah membayangkan bagaimana jam itu akan terlihat di ruang tamunya, menjadi pusat perhatian. Ia tak tahu, bahwa ia baru saja membawa pulang sebuah benda yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Bab 2: Dentang Pertama
Raka menghabiskan sore harinya dengan membersihkan jam itu. Debu tebal menutupi setiap celahnya, dan ia membersihkannya dengan hati-hati menggunakan kuas lembut. Ia membersihkan kaca yang retak dan mencoba membetulkan jarum jam yang sedikit bengkok. Setelah beberapa jam, jam itu tampak jauh lebih baik, meskipun retakan pada kaca tetap ada, menjadi semacam "bekas luka" yang menambah karakter uniknya. Raka lalu menggantungnya di dinding ruang tamunya, tepat di atas perapian imitasi. Jam itu tampak sempurna di sana, memancarkan aura kuno yang selaras dengan tema apartemennya.
Malam itu, Raka bersantai di sofa, membaca buku, sambil sesekali melirik jam. Ia tidak tahu mengapa, tapi ia merasa sedikit gelisah. Ada sesuatu yang berbeda tentang jam itu, meskipun ia tidak bisa menjelaskan apa. Pukul 18.59, Raka melihat jarum menit bergerak perlahan mendekati angka 12. Jantungnya berdebar tanpa sebab.
Tepat pukul 19.00 malam, sebuah dentang yang dalam dan bergema memenuhi ruangan. Itu bukan dentang jam biasa. Itu adalah alunan yang panjang, seperti melodi kematian yang sendu, dengan nada-nada minor yang menusuk hati. Suara itu begitu aneh, begitu tidak wajar, hingga Raka terlonjak dari kursinya. Ia menatap jam itu, terpesona sekaligus ketakutan. Pendulum wanita di jam itu berayun perlahan, seolah sedang menari dalam kesedihan. Dentangan itu berulang beberapa kali, mengisi ruangan dengan aura mencekam. Raka merasa bulu kuduknya berdiri. Udara di sekitarnya terasa lebih dingin.
"Apa-apaan ini?" gumamnya, mendekati jam itu. Ia menyentuh kayunya. Dingin. Raka mencoba memutar jarumnya, mengira ada kerusakan. Tapi jam itu seolah menolak disentuh, dan ia menarik tangannya kembali. Raka mencoba menenangkan diri. Mungkin jam antik memang memiliki suara yang unik. Mungkin ia hanya terlalu terbawa suasana. Ia mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman itu, kembali ke sofanya, tapi pikirannya terus melayang pada dentangan aneh tersebut.
Pukul 20.00 malam, ponsel Raka berdering. Itu adalah panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Ia ragu-ragu mengangkatnya, jantungnya masih berdebar akibat dentangan jam. Suara di seberang sana adalah suara teman lamanya, Rizky, yang terdengar panik dan terisak.
"Raka... Dani... Dani meninggal!"
Raka terdiam. Dani adalah teman akrabnya sejak sekolah menengah, salah satu sahabat terdekatnya. "Meninggal? Bagaimana... bagaimana bisa?"
Rizky menjelaskan dengan suara bergetar. Dani baru saja selesai lembur dari kantornya, dan saat menyeberang jalan, ia tertabrak truk besar yang melaju kencang. Sopir truk tidak melihatnya karena penerangan jalan yang minim. Dani tewas di tempat dengan kondisi mengenaskan. Raka merasa seperti disambar petir. Ia tidak bisa percaya. Dani, teman yang selalu ceria dan penuh semangat, pergi begitu saja?
Malam itu, Raka tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh kabar kematian Dani, dan entah mengapa, dentangan jam itu terus terngiang di telinganya. Apakah ini hanya kebetulan? Sebuah tragedi yang bertepatan dengan suara aneh dari jam antik barunya? Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya kebetulan. Tapi jauh di lubuk hatinya, ada firasat tidak menyenangkan yang tumbuh.
Bab 3: Dentang Kedua
Keesokan harinya, suasana duka menyelimuti Raka. Ia menghadiri pemakaman Dani dengan hati yang berat. Setelah kembali ke apartemennya, Raka merasa hampa dan lelah. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan menonton TV, tapi pandangannya terus-menerus tertuju pada jam dinding yang tergantung di ruang tamunya. Jam itu tampak tenang, tidak bergerak, seolah tak bersalah. Namun, Raka tidak bisa melupakan dentangan malam sebelumnya.
Ia mencoba memeriksa jam itu lagi. Ia membuka bagian belakangnya, memeriksa mekanisme dalamnya. Semuanya tampak normal, meskipun beberapa bagian tampak sangat tua dan berkarat. Tidak ada yang menjelaskan suara aneh itu. Raka bahkan mencoba untuk tidak memutar kuncinya, membiarkan jam itu berhenti. Tapi anehnya, jam itu tetap berjalan, jarumnya bergerak seolah memiliki energinya sendiri. Raka mulai merasa ketakutan.
Saat senja mulai menyelimuti kota, Raka merasakan ketegangan yang meningkat. Jarum jam terus berputar, perlahan mendekati angka tujuh. Jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Ia memutuskan untuk tidak berada di ruang tamu saat jam berdentang. Ia pergi ke kamar tidurnya, mencoba mengalihkan pikirannya dengan bermain game di ponselnya.
Namun, tepat pukul 19.00, dentangan itu kembali. Bahkan dari kamarnya yang tertutup, suara alunan melodi kematian itu menembus dinding, memenuhi seluruh apartemen Raka. Lebih menyeramkan dari sebelumnya, lebih mendalam, seolah mengikatnya. Raka menutup telinganya, gemetar. Ia bisa merasakan hawa dingin yang sama merambat di sekitarnya. Ia bersembunyi di bawah selimut, mencoba mengabaikan suara yang menusuk jiwa itu. Dentangan itu terus berlanjut selama beberapa saat, seolah jam itu sedang memainkan sebuah simfoni horor khusus untuknya.
Setelah dentangan itu berhenti, Raka tetap meringkuk di tempat tidur, napasnya terengah-engah. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya imajinasinya, bahwa ia terlalu stres. Tapi ia tidak bisa menghapus fakta bahwa dentangan itu sungguh nyata, dan ia merasakan ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia melirik jam di ponselnya. Pukul 19.30.
Raka memutuskan untuk mencoba mengabaikannya lagi. Ia bahkan mencoba menelepon Livia, pacarnya, untuk berbicara, berharap suaranya bisa menenangkan. Tapi Livia tidak mengangkat teleponnya. Raka mencoba beberapa kali, tapi tetap tidak ada jawaban. Livia adalah seseorang yang selalu membalas pesannya dengan cepat, atau mengangkat teleponnya. Ini tidak biasa.
Pukul 20.00 malam, ponsel Raka berdering lagi. Kali ini, nomor yang dikenal. Itu adalah panggilan dari adik Livia, bernama Ardi. Suara Ardi histeris, nyaris tidak bisa bicara.
"Kak Raka... Livia... Livia meninggal!"
Raka merasakan dunia di sekitarnya berputar. Livia? Tidak mungkin. Ia baru saja mencoba meneleponnya.
Ardi menjelaskan dengan suara terputus-putus, terisak-isak. Livia ditemukan tewas di apartemennya, jatuh dari balkon lantai 15. Polisi menduga bunuh diri, tapi Ardi yakin Livia tidak akan pernah melakukan itu. Raka menjatuhkan ponselnya. Tubuhnya lemas, kakinya tak mampu menopang. Livia, pacarnya yang ceria, penuh rencana masa depan, pergi begitu saja? Dua orang terdekatnya meninggal dalam dua hari terakhir, dan keduanya terjadi tepat setelah dentangan jam.
Panik mulai merasuki Raka. Ini bukan kebetulan. Ada sesuatu dengan jam itu. Ada sesuatu yang salah. Ia menatap ke arah ruang tamu, ke arah jam yang kini tampak seperti monster yang tenang, menunggu mangsa berikutnya. Ketakutan yang mencekam mencengkeramnya, lebih kuat dari sebelumnya.
Bab 4: Mencari Jawaban
Raka tidak bisa lagi menipu dirinya sendiri. Kematian Dani dan Livia, yang bertepatan dengan dentangan jam antik itu, jelas bukan kebetulan. Ia merasa jam itu adalah sumber malapetaka. Keesokan harinya, Raka bangun dengan perasaan campur aduk antara ketakutan, amarah, dan tekad untuk mencari tahu. Ia harus memahami apa yang terjadi.
Pertama, ia kembali ke toko antik "Pusaka Waktu" tempat ia membeli jam itu. Tapi saat ia tiba di sana, yang ia temukan hanyalah sebuah toko kosong, dengan pintu terkunci dan tanda "Dijual" yang sudah usang menempel di jendela. Toko itu benar-benar tutup permanen, seolah tak pernah ada. Raka mencoba bertanya kepada tetangga sekitar, tapi tidak ada yang tahu ke mana pemilik toko itu pergi. Mereka hanya bilang toko itu sudah beberapa waktu tidak beroperasi, dan pemiliknya memang dikenal jarang berinteraksi dengan orang lain. Raka merasa frustrasi. Jalan buntu pertama.
Tidak menyerah, Raka mulai mencari informasi di internet. Ia mencari kata kunci seperti "jam antik berhantu", "kutukan jam dinding", atau "melodi kematian jam". Ia menghabiskan berjam-jam di depan laptopnya, menelusuri forum-forum supranatural, blog-blog kolektor barang antik, dan arsip berita lama.
Setelah pencarian yang panjang dan melelahkan, ia menemukan sebuah blog kolektor barang antik yang spesifik mengulas tentang "Benda-benda Terkutuk dari Eropa". Di sana, ia menemukan sebuah artikel tentang sebuah jam dinding tua yang disebut "Dentang Neraka" atau "The Hell's Chime". Gambar jam itu, meskipun buram, sangat mirip dengan jam yang Raka miliki. Bahkan retakan pada kaca depannya pun sama. Jantung Raka berdegup kencang.
Artikel itu menjelaskan bahwa jam tersebut dulunya milik sebuah keluarga bangsawan Belanda bernama Keluarga Van der Voort pada abad ke-19. Keluarga itu dikenal sangat kaya dan berpengaruh, tapi juga sangat kejam dan serakah. Mereka sering menyiksa pelayan mereka, menipu rakyat jelata, dan terlibat dalam praktik-praktik gelap. Suatu malam di bulan Juni, seluruh anggota Keluarga Van der Voort, termasuk anak-anak dan bayi, ditemukan tewas di rumah mereka. Tidak ada tanda-tanda perampokan atau kekerasan, hanya tubuh-tubuh yang kaku dengan ekspresi ketakutan yang membeku di wajah mereka. Penyebab kematian mereka tidak pernah terpecahkan. Hanya jam dinding besar di ruang tamu mereka yang terus berdentang, seolah merayakan kematian itu.
Konon, jam itu dikutuk oleh seorang penyihir tua yang dendam atas perlakuan kejam Keluarga Van der Voort. Penyihir itu membuat jam itu menjadi wadah bagi roh-roh pendendam yang ingin mengulang kembali siklus kematian yang tragis. Setiap kali jam itu berdentang tepat pukul 19.00, ia akan menarik energi kehidupan dari seseorang yang terikat secara emosional dengan pemilik jam, dan dalam satu jam setelah dentangan, korban itu akan tewas dalam kondisi mengenaskan. Setelah kematian, jam itu akan "menyerap" esensi kehidupan dari korban, memperkuat kutukannya.
Raka membaca artikel itu dengan mata melotot, tubuhnya menggigil. Semua kepingan teka-teki mulai menyatu. Kematian Dani dan Livia, jam itu, dentangan anehnya, dan rentang waktu satu jam. Itu semua terlalu cocok. Ia merasa mual. Ia telah membawa pulang sebuah instrumen kematian ke dalam rumahnya, dan kini, ia adalah pemiliknya. Ia adalah target berikutnya.
Ketakutan yang luar biasa merayapi dirinya. Raka mencoba membuang jam itu, tapi ada sesuatu yang menahannya. Jam itu seolah terpaku di dinding, menolak untuk bergerak. Raka mencobanya lagi, lebih keras, tapi jam itu tetap diam. Ia bahkan tidak bisa mencopot paku gantungannya. Raka menyadari, ia terjebak.
Bab 5: Teror Berlanjut
Ketakutan Raka tidak berdasar. Jam itu terus berdentang setiap pukul 19.00, dan setiap dentangan membawa kematian baru. Setelah kematian Livia, Raka mencoba mengunci diri di kamar, berharap bisa mengabaikan jam itu. Ia menutup telinganya, menyalakan musik keras, tapi alunan melodi kematian dari jam itu selalu menembus, menggaung di kepalanya, seolah diputar langsung di otaknya.
Korban berikutnya adalah Hendra, rekan kerja Raka di sebuah perusahaan desain grafis. Hendra adalah seorang yang ramah dan sering membantu Raka dalam pekerjaannya. Pukul 20.00, Raka mendapat telepon dari kantor, memberitahu bahwa Hendra ditemukan tewas di kantornya, tersengat listrik saat memperbaiki kabel yang putus secara tidak sengaja. Tubuhnya gosong, dengan ekspresi kaget yang terpahat di wajahnya.
Seminggu kemudian, saat Raka sedang mencoba tidur siang di apartemennya, jam itu berdentang lagi. Kali ini, dentangannya terasa lebih kuat, lebih menusuk. Raka langsung merasakan dingin yang membekas. Ia mencoba menelepon teman-temannya, kerabat, siapapun yang ia pedulikan, memperingatkan mereka untuk berhati-hati. Tapi tentu saja, tidak ada yang percaya cerita gilanya tentang jam terkutuk.
Pukul 20.00, Raka mendengar suara sirine dari luar apartemennya. Itu adalah sirene ambulans. Ia melihat ke bawah dari jendela apartemennya. Di seberang jalan, di sebuah rumah tua yang sudah lama kosong, ada kerumunan orang. Ternyata, pemilik lama rumah itu, seorang tetangga yang sudah lama tidak ia temui, Bu Siti, meninggal dunia. Ia meninggal karena terjatuh dari tangga saat sedang membersihkan rumahnya yang akan dijual. Raka ingat, Bu Siti adalah orang yang sering memberinya makanan saat ia masih kecil, dan mereka memiliki ikatan yang cukup kuat di masa lalu. Korban terus berjatuhan, semua memiliki keterkaitan dengan Raka.
Ada Tono, teman masa kecilnya yang dulu sering bermain dengannya di taman. Tono meninggal karena kecelakaan aneh, tersandung di jalan dan kepalanya terbentur trotoar. Ada juga Bibi Leha, penjual nasi goreng langganannya yang sudah seperti keluarga sendiri. Bibi Leha meninggal karena serangan jantung mendadak saat sedang melayani pembeli.
Setiap kematian membuat Raka semakin tertekan. Ia tidak bisa makan, tidak bisa tidur. Insomnia parah mulai menyerangnya. Matanya cekung, lingkaran hitam menghiasi bawah matanya. Ia sering berteriak-teriak sendiri, berbicara dengan jam itu, memohon agar kutukan ini berhenti. Ia merasa seperti monster, pembawa malapetaka bagi orang-orang di sekitarnya. Raka mencoba menjauh dari teman-temannya, tidak ingin ada lagi yang menjadi korban. Ia bahkan sempat berpikir untuk pergi dari kota, tapi ia tahu jam itu akan tetap bersamanya, entah bagaimana.
Ia mulai melihat hal-hal. Bayangan-bayangan bergerak di sudut matanya, bisikan-bisikan halus yang memanggil namanya, suara-suara aneh di malam hari. Ia merasa seolah roh-roh para korban mengelilinginya, menyalahkannya. Ia menjadi paranoid, takut akan setiap suara, setiap bayangan. Setiap dentangan jam pada pukul 19.00 menjadi puncak horor hariannya, momen yang paling ia takuti. Ia tahu, setelah dentangan itu, ia hanya punya waktu satu jam untuk menunggu siapa lagi yang akan pergi. Beban itu terlalu berat. Raka merasa jiwanya perlahan terkikis, hancur oleh teror yang tak berkesudahan ini.
Bab 6: Menghindari Dentang
Raka tidak bisa terus-menerus hidup dalam ketakutan. Ia harus mencoba menghancurkan jam itu. Ia mengumpulkan segala macam alat yang ia miliki: palu, obeng, bahkan gergaji tangan. Dengan tangan gemetar, ia mencoba memukul jam itu dengan palu. Dentang keras bergema, tapi jam itu sama sekali tidak bergeming. Palu itu mental, seolah memukul batu baja. Raka mencoba memukulnya lagi, lebih keras, tapi hasilnya sama. Tidak ada goresan sedikit pun pada jam itu.
Frustrasi, Raka mencoba menjatuhkannya dari dinding. Ia menariknya, tapi jam itu seperti terpaku, seolah menyatu dengan dinding. Ia bahkan menggunakan gergaji tangan untuk mencoba memotong tali pengaitnya, tapi gergaji itu malah bengkok, dan jam itu tetap utuh. Raka tidak mengerti. Jam itu terbuat dari kayu, mengapa ia sekuat baja? Ia merasa seperti sedang melawan kekuatan yang tak terlihat.
Raka mencoba cara lain. Ia membungkus jam itu dengan selimut tebal, lalu diikatnya dengan rantai besi, berharap bisa meredam suara dentangannya. Ia juga membeli earphone peredam suara paling mahal yang bisa ia temukan, dan memakainya setiap pukul 19.00. Tapi saat jam berdentang, suara melodi kematian itu tetap menembus selimut, rantai, bahkan peredam suara. Suara itu seolah berasal dari dalam kepalanya sendiri, bukan dari luar.
Dalam keputusasaan, Raka memutuskan untuk membuang jam itu jauh-jauh. Ia mengikatnya dengan tali yang sangat panjang, lalu membawanya ke jembatan terdekat. Dengan sekuat tenaga, ia melemparkan jam itu ke dalam kali yang dalam. Ia melihat jam itu tenggelam, menghilang di bawah permukaan air yang keruh. Raka merasa sedikit lega. Akhirnya, ia terbebas.
Ia pulang ke apartemennya, merasa seperti beban besar telah terangkat dari pundaknya. Ia bahkan bisa tidur nyenyak malam itu, pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir. Ia yakin, jam itu sudah tidak ada.
Namun, keesokan harinya, saat Raka membuka pintu apartemennya, sebuah pemandangan mengerikan menyambutnya. Di dinding ruang tamunya, tepat di atas perapian imitasi, jam dinding itu kembali tergantung, utuh, seolah tak pernah pergi. Tidak ada tetesan air, tidak ada lumpur, tidak ada kerusakan sedikit pun. Bahkan debu yang tadinya sudah ia bersihkan kini menempel lagi di permukaannya. Raka menjerit. Ia terjatuh ke lantai, gemetar. Bagaimana mungkin? Ia sendiri yang melemparkannya ke dalam kali!
Ia mencoba membuang jam itu ke tempat sampah umum, membawanya ke luar kota, menguburnya di hutan. Tapi setiap kali, jam itu selalu kembali, selalu tepat di tempat yang sama, seolah mengejeknya. Raka menyadari bahwa ia tidak bisa menghancurkan jam itu, dan ia tidak bisa lari darinya. Jam itu adalah bagian dari dirinya sekarang, sebuah kutukan yang terikat padanya. Ia pasrah, lelah, dan jiwanya hancur. Ia hanya bisa menunggu, menunggu sampai gilirannya tiba.
Bab 7: Percobaan Terakhir
Raka telah mencapai batasnya. Setiap detik yang ia habiskan di apartemennya, di bawah tatapan jam terkutuk itu, terasa seperti penyiksaan. Ia tidak bisa makan, tidak bisa tidur. Halusinasi semakin parah, ia terus mendengar bisikan dan melihat bayangan. Ia tahu bahwa ia akan menjadi korban berikutnya, dan itu hanya masalah waktu.
Namun, ia memutuskan untuk melakukan satu percobaan terakhir. Jika ia tidak bisa menghancurkan jam itu, ia akan mencoba menghindarinya. Ia memutuskan untuk tidak berada di apartemennya saat dentangan maut itu terjadi. Ia berpikir, mungkin jika ia tidak berada di dekat jam itu, ia bisa lolos.
Raka membungkus jam itu lagi dengan beberapa lapis kain tebal, lalu mengikatnya erat-erat. Dengan sisa tenaganya, ia membawa jam itu keluar dari apartemen, turun tangga, dan berjalan menyusuri jalanan kota. Ia tidak tahu harus membuangnya ke mana. Ia akhirnya memilih tempat sampah umum terbesar yang ia temukan, di sudut kota yang sepi, jauh dari keramaian. Ia melemparkan jam itu ke dalam tumpukan sampah, menutupnya dengan karung-karung lain, lalu berlari sekencang-kencangnya.
Ia tidak pulang ke apartemennya. Ia tidak ingin melihat jam itu muncul lagi. Raka pergi ke sebuah hotel murah di pinggiran kota, memesan kamar termurah, dan mengunci dirinya di dalam. Ia meringkuk di tempat tidur, mencoba menenangkan napasnya yang terengah-engah. Ia terus melihat jam di ponselnya, menghitung mundur setiap menit menuju pukul 19.00.
Pukul 18.59, Raka memejamkan mata erat-erat, menutupi telinganya dengan bantal. Ia gemetar, menunggu dentangan yang ia yakini akan tetap datang, entah bagaimana.
Tepat pukul 19.00, sebuah suara aneh terdengar. Itu bukan dentangan jam, tapi lebih seperti suara yang sangat rendah, bergemuruh, seolah bumi itu sendiri yang berdentang. Suara itu menembus dinding, lantai, bahkan bantal yang menutupi telinganya. Raka merasakan getaran di seluruh tubuhnya. Getaran itu terasa seperti resonansi yang sangat dalam, langsung mengenai jiwanya. Ia tidak bisa bergerak, lumpuh oleh ketakutan.
Kemudian, pada pukul 20.00, hal yang tak terduga terjadi. Seluruh lampu di kamar hotel Raka padam. Bukan hanya di kamarnya, tapi di seluruh hotel, bahkan di luar, seluruh kota seperti diselimuti kegelapan total. Jendela kamar hotelnya yang menghadap ke kota hanya menunjukkan kegelapan absolut. Raka tersentak. Ia meraba-raba mencari ponselnya, mencoba menyalakannya, tapi ponselnya juga mati.
Kemudian, dalam kegelapan yang pekat, sebuah lagu kematian mulai terdengar. Bukan dentangan lagi, tapi sebuah melodi yang sangat indah, namun penuh kesedihan, seolah ratusan suara menangis dan meratap dalam harmoni yang mengerikan. Suara itu datang dari mana-mana, dari dinding, dari lantai, dari langit-langit, seolah memenuhi seluruh alam semesta. Raka bisa merasakannya di setiap pori-pori kulitnya, di setiap tulang dalam tubuhnya. Itu adalah suara yang tak bisa dihindari, tak bisa dilawan.
Lagu itu semakin keras, semakin intens, sampai Raka merasa otaknya akan pecah. Ia berteriak, meronta, mencoba melarikan diri, tapi tidak ada tempat untuk pergi. Ia jatuh ke lantai, meringkuk, matanya terbelalak karena ketakutan yang absolut. Ia melihat bayangan-bayangan menari-nari dalam kegelapan, mendengar bisikan-bisikan yang memanggil namanya, suara-suara para korban yang kini datang untuk menjemputnya.
Detik-detik terakhir hidup Raka adalah neraka murni. Ia merasakan tangannya sendiri terangkat, tubuhnya terangkat ke udara, seolah ditarik oleh kekuatan tak kasat mata. Ia berjuang, tapi tidak ada gunanya. Lehernya tercekik, napasnya terputus. Ia bisa melihat jam itu di hadapannya, samar-samar dalam kegelapan, jarumnya menunjuk ke arahnya, seolah menuntut jiwa terakhirnya.
Raka ditemukan tewas di kamarnya keesokan paginya, dalam posisi menggantung, tanpa ada tali atau benda apapun yang mengikatnya. Matanya terbuka lebar, ekspresi ketakutan yang membeku terpahat di wajahnya. Tangannya, dengan jari-jari kaku, menunjuk lurus ke arah dinding di mana jam itu seharusnya berada, seolah menunjuk penyebab kematiannya yang tak terlihat. Tidak ada yang bisa menjelaskan bagaimana ia meninggal.
Bab 8: Kau Harus Berdentang Terus
Beberapa hari setelah kematian Raka yang misterius, sebuah truk sampah tiba di tempat pembuangan akhir kota. Tumpukan sampah dibongkar, dan di antara tumpukan barang-barang busuk dan tak berguna, seorang pria tua bertubuh kurus, mengenakan pakaian lusuh, terlihat mencari-cari sesuatu. Matanya yang tajam menelusuri tumpukan sampah, seolah ia tahu persis apa yang ia cari.
Pria tua itu adalah orang yang sama yang ditemui Raka di toko antik. Wajahnya yang keriput kini dihiasi seringai tipis, seolah ia sedang menikmati sebuah lelucon pribadi. Ia menghentikan langkahnya di dekat sebuah tumpukan karung sampah, lalu dengan gerakan cekatan, ia membuka karung-karung itu satu per satu. Dan di sana, tergeletak di antara sampah-sampah lain, adalah jam dinding klasik tua itu, utuh, tanpa goresan sedikit pun, seolah baru saja keluar dari pabrik. Bahkan kain tebal yang membungkusnya masih terikat erat.
Pria tua itu tersenyum puas. Ia mengangkat jam itu dengan hati-hati, seolah memegang permata berharga. Ia mengelus permukaan kayu yang dingin, jari-jarinya yang keriput menyentuh ukiran-ukiran rumit itu. Senyumnya melebar.
"Kau harus berdentang terus..." bisiknya pelan, suaranya serak dan penuh rahasia, "...setiap jam 7 malam."
Ia memeluk jam itu erat-erat ke dadanya, seolah ia baru saja menemukan kembali seorang teman lama yang sangat ia rindukan. Pria tua itu kemudian berbalik, berjalan perlahan menjauh dari tumpukan sampah, menuju ke sebuah jalan setapak yang gelap dan jarang dilalui. Di sana, sebuah mobil tua berwarna hitam legam terparkir, mesinnya menyala, menunggu. Pria tua itu masuk ke dalam mobil, meletakkan jam itu di kursi penumpang sebelahnya, seolah ia adalah penumpang paling berharga.
Mobil itu melaju perlahan, menghilang dalam kegelapan, membawa serta jam terkutuk itu. Kutukan "Dentang Maut Jam Tujuh" tidak berakhir dengan kematian Raka. Itu hanyalah satu bab dalam siklus kematian yang tak berkesudahan. Pria tua misterius itu, yang sepertinya adalah penjaga atau mungkin bahkan pencipta kutukan ini, akan membawa jam itu ke tempat yang baru, kepada korban baru. Dan setiap pukul 19.00, melodi kematian akan kembali berdentang, menunggu untuk menuntut jiwa berikutnya, dan siklus horor akan terus berlanjut, abadi.