Masukan nama pengguna
Betapa kotornya aku! Betapa kotornya aku!
Aku hanya bisa menangis menyesali diri sambil menarik-narik rambutku. Jilbab putih yang tadi kukenakan kini tergeletak tak berdaya di lantai keramik kamar. Aku ingin menangis menjerit mengeluarkan segala penyesalan dalam hatiku yang kini menggumpal menyesakkan dada. Tapi suara tangisku tertahan ditenggorokkan menyisakan sedu sedan yang masih saja terasa menyakitkan.
Dan rasa sakit itu membuatku terus memikirkan tentang apa yang tadi telah terjadi.
Aku bodoh! Aku bodoh! Mengapa aku biarkan itu terjadi padaku? Mengapa aku bisa membiarkan diriku hanyut tenggelam dalam perasaan dan larut dalam suasana romantis yang tanpa kusadari sengaja kubiarkan menghampiriku? Mengapa aku hanya bisa pasrah dan membiarkan diri ini ikut menikmati permainan menjijikkan yang terlarang itu?
Dan air mataku mengalir menyusuri pipiku. Aku merintih. Aku terisak.
Kupandangi handponeku yang tergeletak disampingku. Kuraih dan kutatap layarnya. Aku berharap dia menghubungiku, menenangkanku. Tapi harapanku tak terwujud. Aku ingin menghubunginya mengatakan kalau saat ini aku benar-benar takut. Aku takut setelah apa yang tadi kami lakukan, setelah aku memberikan segala yang ada didiriku, dia akan meninggalkanku. Aku takut jika dia tak mau bertanggung jawab dan akhirnya meninggalkanku sendiri disini menanggung beban dosa.
Dosa. Ya, aku telah berdosa besar!
Jangankan melakukan itu. Berpacaran dan membiarkan hati dan perasaan ini terbuai oleh perasaan cinta saja sebenarnya haram untukku. Membiarkan diri ini mendapatkan cinta lalu terbuai dalam kata-kata romantis dan memabukkan yang keluar dari mulutnya mengisi relung hatiku yang paling dalam saja adalah hal yang terlarang. Lalu aku biarkan diri ini disentuh dan jemari ini digenggam olehnya. Dan tanpa sadar akupun bermanja-manja padanya walau dia bukan mukhrimku. Belum halal ntukku.
Ada apa denganku?
Kemana agamaku? Kemana imanku? Kemana aqhlakku? Kemana aqidahku? Kemana semua itu yang selama ini terus ku jaga dalam kehormatanku sebagai seorang wanita?
Dan aku Cuma bisa menangis menyesali diri. Aku telah berdosa besar. Aku takut padaMU ya, Allah. Aku mohon pengampunanMU.
Tapi mengapa saat ini ketakutanku jika dia meninggalkanku lebih besar dari ketakutanku padaMU, ya Allah? Mengapa kekhawatiranku jika dia meninggalkan ku dan tak mau bertanggung jawab dengan apa yang telah kami lakukan tadi terasa lebih mencemaskanku daripada kekhawatiranku akan azabMU nanti? Mengapa, ya Allah? Mengapa?
Apakah ini manusiawi? Apakah ini wujud ketakutan akan duniawi yang mempermainkan hati dan perasaan manusia saja? Apakah aku harus menanggung beban dosa ini sendirian dan bukan hanya nanti saat akhirat saja tapi juga saat ini. Saat dimana semua daya yang ada didiri ini menanggung beban pada dosa yang telah aku lakukan. Karena saat ini hati, akal, perasaan dan pikiranku tercurah pada rasa takut akan kehilangannya.
Dan aku kembali meletakkan handponeku didepanku. Aku takut jika harus menghubunginya duluan. Aku takut untuk mengatakan ketakutanku. Aku takut jika dia marah dan tersinggung bila aku mengungkapkan kecemasanku andai dia meninggalkanku dan tak mau bertanggung jawab. Aku takut..
Semuanya berawal kala aku dan dia menikmati suasana malam berdua.
Padahal aku dan dia sama-sama mengerti bahwa seorang lelaki dan seorang wanita tak boleh terlalu sering berjumpa. Seorang lelaki dan seorang wanita tak boleh berdua-duaan apapun alasannya. Tapi kami tetap saja melanggarnya. Kedekatan dan keakraban yang tercipta menimbulkan rasa nyaman untukku. Menggenggam tanganku, menyentuh pipiku dan merangkul pundakku tak lagi aneh kurasakan. Dan kata-kata manis bernada rayuan terdengar sangat indah ditelingaku menyentuh hatiku. Jujur, sebagai wanita aku butuh itu.
Hingga tanpa kusadari aku dan dia berada di sebuah pantai yang sunyi.
Tapi aku tak merasa takut. Aku tak merasa cemas bila aku dan dia berada ditempat yang tak layak untuk kami yang cuma berdua. Ada hukum agama yang melarang. Ada batasan-batasan yang mesti dijaga. Dan semua itu bertujuan untuk melindungi diriku sebagai seorang wanita agar terhindar dari fitnah dan perbuatan-perbuatan yang akan menjadi aib untukku.
Tapi aku tak lagi memikirkan itu. Atau mungkin karena saat itu aku tak lagi perduli dengan apapun itu?
Mengapa rasa nyaman saat berada bersamanya mengalahkan takutku? Mengapa rasa percayaku padanya melebihi kecemasan seorang wanita yang seharusnya muncul dalam diriku agar aku bersikap mawas diri? Mengapa rasa nyaman dan rasa percaya itu bisa membuatku tentram padanya padahal kami bukan mukhrim. Dan dia belum halal untukku.
Dan rasa itu juga yang akhirnya menjebakku. Rasa yang membuatku begitu menikmati malam yang indah itu. Mendengarkan bujuk rayunya yang melenakanku. Merasakan hangat tangannya ketika menyentuh pipiku. Akupun terlena hanyut terbuai dan jatuh dalam dekapannya lalu tanpa kusadari bermanja-manja dibahunya.
Aku bodoh! Aku benar-benar bodoh!
Aku kotor! Aku sudah kotor!
Kemana agamaku?
Kemana aqidahku?
Kemana akhlakku?
Sungguh semua itu menjijikkan!
Benar-benar menjijikkan!
Dan aku tak lebih dari seorang gadis yang menyembunyikan kemunafikanku dibalik jilbabku. Aku tak layak mengenakan jilbabku lagi karena kini aku kotor! Aku sudah kotor!
Dan akhirnya, dipenghujung malam kala kesunyian mulai menyelimuti, akhirnya aku menangis keras mengeluarkan semua rasa sakit yang tadi tertahan didada. Air mataku tumpah mengalir deras dipipiku bersama rasa takut yang terus saja kurasakan. Takut pada Tuhan. Tapi tak sekuat ketakutanku bila kehilangan dia! Karena aku benar-benar takut kehilangan dia.
Kemana dia? Mengapa dia tak menenangkan diriku saat ini? Apakah dia sengaja menghindar dan lari setelah kuberikan kehormatanku padanya? Apakah sebenarnya dia tak mencintaiku? Tidak benar-benar mencintaiku?
Aku hanya bisa terduduk dilantai keramik kamarku bersandarkan ranjangku. Aku duduk sambil memeluk kedua kakiku. Aku duduk dengan dada bergejolak dan batin yang terus berdebat hebat.
Dan aku hanya bisa menatap langit-langit kamarku sambil terus menangis. Kubiarkan airmata terus mengalir dikedua pipiku. Kubiarkan isak tangis terus keluar dari bibirku. Aku ingin menjerit! Aku ingin memohon ampun! Tapi mengapa saat ini aku tak bisa kembali padaMU, ya Allah? Aku menyadari dosa ini. Tapi mengapa semua itu tak jua menyadarkanku kalau DiriMUlah yang layak kutakuti kala meninggalkanku daripada dia bila dia yang telah menodaiku pergi meninggalkanku? Bahwa diriMUlah yang layak aku cemaskan kala tak lagi menjagaku daripada dia yang telah memanfaatkan rasa nyaman dan rasa percaya yang kuberikan padanya andai dia tak mau bertanggung jawab? Mengapa ya, Allah? Mengapa?
Dan pikirankupun kembali pada kejadian menjijikkan itu.
Malam itu indah. Sangat indah. Bulan bersinar terang. Bintang-bintang berkelipan menemani. Cahaya bulan yang terpantul di air laut menerpa wajah kami berdua. Kesunyian yang ada seolah terisi oleh detak jantung yang terdengar jelas dari dadaku. Juga dadanya.
Dan tanpa ku sadari aku terhanyut pada suasana. Kurasakan tangannya bergetar menyentuh pipiku. Kubiarkan kala dia menyingkap jilbabku. Dan aku Cuma bisa diam terhanyut kala merasakan sesuatu menyentuh hangat bibirku. Dibawah sinar emas sang rembulan, akupun tak lagi menyadari apa yang terjadi padaku kemudian.
Itulah awal dari puncak zina yang tanpa kusadari kubiarkan mendekati dan mengambil alih pikiranku, hati dan tubuhku...