Masukan nama pengguna
Kebanggaan itu akhirnya lenyap sudah. Kehebatan sosok seorang ayah yang selama ini kami kagumi seolah menguap menghilang tanpa bekas. Kebanggaan dari seorang ayah yang dulu selalu ku banggakan kini berubah menjadi rasa malu dan kecewa hanya dalam satu hembusan nafas saja.
Ayahku meninggal karena sakit jantung tadi malam. Padahal ayahku baik-baik saja saat kami sekeluarga menikmati makan malam bersama disebuah restoran. Ayahku adalah seorang pengusaha yang sering berada diluar kota untuk urusan bisnis. Dan malam ini merupakan malam kami berkumpul bersama sebagai sebuah keluarga utuh.
Tapi kebahagiaan itu berubah menjadi sebuah kecemasan. Beberapa saat setelah kami pulang, ayahku mengeluhkan dadanya yang sakit. Semula ayahku menolak saat aku mengajaknya ke dokter. Ayah hanya mengatakan mungkin dia hanya keletihan dan ingin istirahat. Maka ayahkupun beristirahat dalam kamarnya.
Tapi aku tetap khawatir saat melihat ayahku terbaring sambil memegang dadanya. Sebagai seorang anak paling tua aku merasa ada yang aneh dengan sakit ayahku. Aku, seorang anak lelaki ayahku yang telah menyelesaikan kuliah dan telah bekerja dituntut untuk dewasa dan bertanggung jawab saat ayahku tidak ada dirumah. Akulah yang menjaga ibu dan kedua adikku. Dan akulah satu-satunya anak lelaki ayahku yang selalu di banggakannya.
Maka akupun akhirnya membawa ayahku ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan ibuku memeluk ayahku. Kedua adikku menangis memanggil-manggil ayahku. Sedangkan aku tetap di belakang setir membawa mobil melaju membelah jalan dengan hati cemas.
Tapi takdir dan ketentuan tuhan berkata lain. Menurut dokter, ayahku telah meninggal saat dalam perjalanan menuju ke rumah sakit ini Karena serangan jantung. Segala usaha pertolongan mereka tak berhasil. Ayahku tak terselamatkan lagi. Ayahku meninggal dunia.
Aku terkejut terdiam tak percaya. Kedua adikku kembali meraung memanggil ayahku. Ibuku juga menangis sambil memeluk ayahku. Ketiga wanita yang ku kasihi dalam hidupku ini seolah tak percaya dan tak menerima kenyataan ini. Mereka terus saja menangis dan menangis.
Aku juga sebenarnya menangis. Tapi aku tak boleh menangis seperti ibu dan kedua adik perempuanku. Sebagai seorang anak lelaki, ayahku telah banyak mengajarkan. Agama. Kehidupan. Bahkan cinta dan pernikahanpun telah ayahku ajarkan padaku.
Maka aku melakukan tugas dan tanggung jawabku yang terakhir pada ayahku di dunia ini. Aku harus menyelesaikan segala urusan ayahku dan mengebumikannya secepat mungkin.
Pagi ini, seluruh keluarga besarku berkumpul dirumahku. Tetangga, teman dan handai taulan datang memberikan belasungkawa untukku dan keluargaku. Mereka membantuku dan keluargaku mengurus pemakaman ayah. Tetangga dan saudara-saudara yang perempuan menghibur ibu dan kedua adikku. Mereka mengatakan bahwa semua ini adalah takdir Illahi. Aku dan keluargaku seharusnya bangga karena punya ayah yang bertanggung jawab dan setia. Karena selama ayahku masih hidup, tak pernah satu kalipun kabar miring tentang ayahku terdengar. Walaupun ayahku sering bepergian ke luar kota, tapi ayahku tetap setia pada ibu dan keluargaku.
Tapi semua itu berubah seketika. Karena saat ayahku selesai dimandikan dan telah dikafankan, tiba-tiba ada seorang wanita muda berjilbab yang datang sambil memeluk seorang anak lelaki yang masih kecil dan mengaku sebagai istri muda ayahku!
Aku terkejut. Tangis ibu dan kedua adikku terhenti sejenak. Bahkan alunan ayat-ayat suci yang dibacakan para pelayat terhenti seketika. Lalu dalam senyap, semua berubah menjadi bisikan dan gunjingan tepat dihadapan ayahku yang telah terbujur kaku dalam balutan kain putih.
Ibuku tak percaya dengan apa yang wanita muda itu katakan. Kedua adikku bahkan berteriak mengatakan bahwa wanita itu telah memfitnah. Tak ada yang menerima kenyataan ini. Bahkan saudara-saudara ayahku berniat untuk mengusir wanita yang telah membuat keonaran di hari pemakaman ayahku ini.
Aku juga sebenarnya tidak terima dengan apa yang dikatakan wanita ini. Aku, ibu dan kedua adikku terlanjur bangga pada sosok ayahku yang bagi kami adalah sosok seorang lelaki sempurna dan setia pada keluarga.
Tapi aku juga lelaki dewasa yang telah dibekali ilmu agama yang cukup. Aku tak boleh membiarkan semua ini berlarut dan berubah menjadi fitnah di kemudian hari. Aku harus menyelesaikannya secepat mungkin agar ayahku bisa beristirahat dengan tenang disana.
Maka aku datangi wanita itu. Aku bertanya padanya apakah dia punya dua saksi, syarat dimana sebuah pernihkahan menjadi sah dalam agamaku. Apakah dia membawa imam yang bertanggung jawab menikahkannya dengan ayahku. Dan apakah dia juga memiliki bukti-bukti lain untuk mendukung semua pengakuannya itu.
Wanita muda berjilbab ini mengangguk. Dia memanggil dua orang lelaki. “Dua laki-laki inilah yang menjadi saksi pernikahan kami.” Katanya. Lalu dia memanggil seorang lelaki setengah baya berkaca mata. “Pak Imam inilah yang menikahkan kami.” laku dia juga menunjukkan beberapa gambar dalam handphonenya yang seakan menceritakan secara jelas peristiwa pernikahan ayahku dengannya. Juga beberapa poto keluarga dimana ada ayahku, dia dan anak lelaki kecil ini.
Bahkan sebuah surat yang menerangkan bahwa ayahku telah menikahinya, dengan tanda tangan ayahku, dia, dua saksi dan imam yang menikahkan tertera jelas di atas materai.
“Dan anak ini,” katanya lagi, “Anak ini adalah bukti kebesaran Allah atas pernikahan kami yang sah.”
Aku terdiam lemas tak berdaya. Gambar gambar yang dia tunjukkan pada ku itu membuatku terduduk. Aku melihat ibuku yang kini pingsan setelah mendapatkan pengakuan dan semua bukti-bukti ini. Sedangkan kedua adikku kini memeluk dan memanggil ibuku yang kini tak sadarkan diri.
Ya, Allah. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang harus aku lakukan? Betapa selama ini ayahku telah membohongiku dan keluargaku. Ternyata laki-laki yang sangat kami kagumi tak lebih dari seorang lelaki pembohong dan pendusta.
Aku benar-benar tak mengerti. Betapa kebanggaan yang dulu menjadi milikku ternyata adalah sesuatu yang semu. Kebanggaan yang kami miliki pada sosok seorang ayah yang sempurna kini hilang menguap entah kemana.
Apakah ini teguran dari kesombongan kami, ya, Allah? Kesombongan yang tanpa kami sadari muncul dari sebuah kebanggaan yang berlebihan pada sosok seorang ayah? Kebanggaan yang muncul dibalik kemunafikan dan kebohongan yang ayahku sembunyikan dari kami.
Padahal tak ada yang sempurna di dunia ini. Tak ada satupun milik kami yang pantas kami banggakan secara berlebihan hingga melahirkan kesombongan. Bahwa semua yang ada di dunia ini hanyalah cobaan dan ujian bagi yang mau berpikir. Istri, suami, anak, harta, pangkat dan kekuasaan hanyalah titipan dariMU yang suatu saat nanti akan kembali kepadaMU.
Aku benar-benar tak mengerti dan tak bisa menerima. Kenyataan bahwa ayahku berpoligami menyakitkan hatiku. Segala ajaran agama yang diajarkan ayahku kini berbalik menghajarku. Sadarkah ayahku bahwa berpoligami, menikah lagi tanpa sepengathuan sang istri adalah sebuah penipuan dan kebohongan? Dan itu adalah sebuah dosa karena telah berdusta dengan menutupi perkawinan keduanya dari istri pertamanya.
Padahal Rasulullah tidak menggalakkan poligami pada semua lelaki. Jika bisa memilih, mungkin Rasulullah tak akan menikah lagi setelah Siti Khadijah meninggal. Tapi perintah Allah berkata lain. Dan Rasulullah menikah lagi bukan hanya menuruti hawa nafsunya semata. Rasulullah menikah lagi setelah Siti Khadijah meninggal dunia, bukan saat Siti Khadijah masih hidup. Bahkan beliau berterus terang dan tidak menyembunyikan pernikahannya dari keluarganya. Rasulullah menikah lagi dengan janda-janda perang dari suami mereka yang telah gugur syahid berjuang membela agama islam. Bukan pada gadis muda nan cantik yang terkadang dipandang dalam kaca mata nafsu semata. Satu-satunya istri beliau yang masih gadis dan perawan hanyalah Siti Aisyah, itupun karena permintaan ayah Siti Aisyah, Abu Bakar as shidiq.
Tahukah ayahku bahwa akan ada banyak wanita yang terluka dari poligami ini? Ibuku kini pingsan tak sadarkan diri. Kedua adik perempuanku menangis memanggil-manggil ibuku. Bahkan aku yang seorang lelaki menjadi terdiam tak berdaya tak tahu harus melakukan apa.
Poligami bukanlah sebuah perintah agama yang wajib dilakukan. Ada hati yang kecewa yang kelak akan terluka dan berdarah. Ada sebuah ikatan perkawinan sah yang harus di hormati terlebih dahulu. Ada seorang wanita yang dipanggil istri yang juga memiliki hak-hak saat suami akan berpoligamy. Ada sebuah keluarga yang harus dijaga terlebih dahulu sebelum membina dan membangun sebuah keluarga baru.
Apakah ayahku tak menyadari itu? Ayahku telah menikah lagi tanpa sepengetahuan kami. Ayahku juga berbohong saat akan menikah lagi dengan mengatakan bahwa ibuku sudah tidak mampu menjalankan tugas sebagi seorang istri. Saat istri muda ayahku meminta agar diperkenalkan pada kami sekeluarga, ayahku tak pernah menyanggupinya. Ayahku menutupi semua kebohongan ini selama lebih dari dua tahun. Selama itulah ayahku hidup dalam sebuah kebohongan.
Dan cobaan ini menyadarkanku seperti apa sosok ayahku sebenarnya. Bahwa kebanggaan itu kini berubah menjadi rasa malu dan kecewa dalam satu hembusan nafas saja.
Ada hati yang harus disentuh terlebih dahulu. Ada perasaan yang harus dipahami kala akan berpoligami. Dan ketika poligami terjadi, wanita dituntut untuk selalu mengerti dan memahami bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah perintah agama. Tapi tahukah kaum adam bahwa wanita selalu menjadi pihak yang teraniaya? Korban yang harus selalu bersabar dan mengalah menerima takdir dengan ikhlas walaupun dengan hati terluka?
Itu yang kini aku pikirkan. Kenyataan bahwa kini aku memiliki mama tiri dan seorang adik seayah memenuhi pikiranku. Aku tak mungkin tidak mengakui pernikahan mereka karena itu sama saja dengan aku menyakiti hati seorang wanita. Aku juga harus menyadari bahwa ada hak-hak mereka di dalam harta peninggalan ayahku.
Betapa ayahku telah meninggalkan persoalan pada saat kematiannya. Betapa ternyata Allah membuka semua kebohongan ini dengan cara yang menyakitkan. Dan betapa sebuah kebanggaan yang dulu ku miliki ternyata hanyalah sebuah kebohongan yang selama ini tertutupi dengan sempurna.
Aku benar-benar tak mengerti.
Ayahku telah dimakamkan. Para tamu yang ikut mengantar hingga ke pemakaman inipun telah pulang.
Aku hanya berdiri terdiam terpaku memandang istri muda ayahku yang bersimpuh menangis disisi makan ayahku sambil memeluk adik baruku. Dibelakangnya berdiri ibu dan kedua adik perempuanku.
Tak kulihat lagi air mata dipipi mereka. Tak ada lagi isak tangis. Yang kulihat dari sorot mata ibu dan kedua adikku kini hanyalah sorot mata kekecewaan...