Masukan nama pengguna
Seperti apakah hak dan kewajiban seorang istri yang bermadu dan menjadi madu? Sampai dimanakah seorang istri yang bermadu boleh menuntut haknya? Dan sampai batas manakah kewajiban seorang istri bermadu itu?
Aku seorang wanita, istri kedua dari suamiku yang kini memiliki tiga orang istri. Aku adalah madu dari istri pertama suamiku. Tapi aku juga memiliki seorang madu lagi. Aku yang dulu mendapatkan curahan kasih sayang yang lebih dari suamiku kini harus ikhlas berbagi kasih sayang pada wanita lain.
Aku dan suamiku menikah setelah keluargaku menerima lamaran dari suamiku yang telah menikah dan berniat berpoligamy. Keluargaku menerima lamaran itu dan merasa bangga bermantukan suamiku, seorang lelaki yang dihormati karena ilmu agamanya dan berasal dari keluarga religius dan sangat terpandang.
Dan kaya tentunya sesuai dengan harapan ibuku.
Semula aku tak langsung mengiyakan. Aku diam merenung. Aku merasakan hakku sebagai seorang muslimah sedikit tercalar dengan keinginan orangtuaku. Tapi aku tak berdaya dan tak kuasa menolak. Lingkungan dan keadaan tak memungkinkan bagi wanita sepertiku untuk berbicara banyak tentang segala hal yang menurutku sangat bertentangan dengan hati dan keinginanku sebagai seorang wanita. Ada hukum dan syariat agama yang selalu dijadikan alasan dan dasar argumentasi yang membuatku terdiam tak berdaya. Bahkan untuk sekedar mengutarakan hakku sebagai seorang muslimah merdeka sekalipun.
Dan aku terpaksa menganggukan kepala setuju menerima lamaran itu kala aku bertemu dengan istri pertama calon suamiku, wanita yang akan berbagi cinta dari lelaki yang sama denganku. Dia sendiri yang datang menemuiku, melamarku secara pribadi. Dia memujukku, menjelaskan padaku tentang indahnya poligamy dalam islam. Dia mengatakan bahwa kebahagiaan berpoligamy itu sangat indah. Dia menerangkan kalau setiap rasa sakit, sedih dan cemburu yang dirasakan akan berubah menjadi pahala dan berkah yang besar dari Allah swt karena telah ikhlas berbagi cinta dan kebahagiaan pada wanita lain. Dan dia ingin mendapatkan itu bersamaku, seorang gadis yang dia yakini juga memiliki keinginan untuk mendapatkan pahala dan berkah dari Allah taala.
Akupun menerima lamaran itu dan berharap semuanya bisa memenuhi harapanku untuk segera berumah tangga demi menyelamatkan aqidah, kehormatan dan hatiku dari menjadi permainan perasaan. Aku memohon pada Allah semoga aku bahagia. Semoga semua ini bisa menyempurnakan ibadah duniaku. Semoga aku bisa melengkapkan amalku dengan mendirikan sebuah mesjid yang bernama pernikahan. Dan semoga rasa cemburu saat berbagi cinta bisa ikhlas ku terima agar menjadi pahala dan berkah untukku.
Dan rasa ikhlas itu hadir bersama janji dihati yang bertekad untuk menjadi seorang istri solehah yang taat pada suami dan menghormati istri pertama suamiku.
Perlahan aku mulai merasakan kebahagiaan itu. Suamiku sangat memanjakanku. Istri pertama suamiku menyayangiku dan membimbingku menjadi istri yang baik. Dan kedua anak tiriku, anak istri pertama suamiku yang beranjak remaja sangat menghormatiku. Aku sungguh bahagia.
Tapi kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Kebahagiaan itu hanya kurasakan beberapa tahun saja. Aku tak jua hamil. Tak ada tanda-tanda bahwa aku akan memiliki anak yang kukandung sendiri membuatku gelisah. Aku ketakutan. Dan ketakutanku semakin menghantuiku ketika suamiku mengutarakan niatnya untuk menikah lagi!
Terwujudlah ketakutanku itu. Semakin terasalah ketidaksempurnaanku sebagai seorang wanita yang tak mampu memberikan seorang keturunanpun untuk suamiku. Ketidaksempurnaan itu berubah menjadi cacat diri untukku. Cacat yang harus kuhadapi dan kuterima dalam sedih, amarah, kecewa dan luka dalam hatiku.
Aku hanya bisa tertunduk sedih menahan tangis tak tahu harus menjawab apa. Berdosakah bila aku menolaknya? Berhakkah aku untuk mempertahankan cinta dan kasih sayang suamiku agar hanya menjadi milikku padahal aku juga berbagi cinta dengan istri pertama suamiku?
Tapi aku berada dalam posisi lemah. Aku merasa memiliki cacat diri sebagai wanita. Bahkan ketika keinginan untuk mengungkapkan ketakutan itu begitu ingin ku utarakan, aku tak kuasa meluahkannya. Aku dihadapkan pada firman Allah yang memperbolehkan seorang lelaki memiliki dua, tiga dan empat orang istri. Aku dibenturkan pada ketentuan yang mengatakan kalau suami memiliki satu derajad lebih tinggi dari istri dalam rumah tangga. Dan aku disadarkan pada kenyataan bahwa seorang istri harus mentaati suaminya.
Dan istri pertama suamiku mendukung keinginan suami kami. Istri pertama suamiku menerangkan padaku bagaimana indahnya berbagi cinta dan kasih sayang pada istri baru suami kita. Dan pahala yang akan didapat akan terasa indah bila kita benar-benar berlaku ikhlas.
Aku hanya bisa mengiyakan dan berkata lirih mengucapkan sebuah kalimat yang juga menjadi doaku. Semoga suamiku bisa berlaku adil.
Tapi rasa sakit dan sedih itu tetap ada. Rasa cemburu yang dimiliki semua wanita ada padaku ketika melihat calon maduku yang ternyata seorang gadis perawan nan cantik rupawaan. Rasa rendah diri bila membandingkan kecantikan yang dimiliki calon maduku yang masih muda ibarat kuntum bunga yang sedang merekah dengan diriku yang telah direguk madunya. Aku merasakan itu.
Tapi aku tetap mencoba berlaku ikhlas menerima dan berharap semoga Allah membalas semua rasa sakit dan cemburu itu dengan pahala yang besar.
Maka akupun menjalani hidup dengan memiliki seorang madu. Menjadi istri kedua dari tiga istri yang dimiliki suamiku dan siap berbagi cinta dan kasih sayang yang dulu begitu besar kurasakan pada istri muda suamiku.
Semula aku bisa menahan kegelisahan dan ketakutanku. Tapi kian lama rasa cemburu itu perlahan menggangguku. Terlebih kala maduku kini hamil, aku semakin merasa cemburu.
Aku merasa suamiku lebih memperhatikan istri mudanya daripadaku. Bahkan aku merasakan ketidak adilan itu pada keluarganya yang terlihat sangat bahagia dan memanjakanya. Juga dari istri pertama suamiku yang kini ikut memperhatikan madu kami itu.
Bolehkah aku menggugatnya? Layakkah aku menuntut perlakuan dan perhatian yang sama dari suamiku dan keluarganya?
“Kita ini seorang wanita. Seorang istri dari seorang suami yang memiliki satu derajad lebih tinggi. Kita harus taat dan patuh pada suami kita. Kita harus menjadi istri yang solehah dengan mendapatkan berkah dan kasih sayang dari suami kita.”
Aku hanya diam mendengarkan penjelasan istri pertama suamiku kala aku mengungkapkan kegelisahanku.
“Lagipula,” katanya lagi. “Seharusnya kita ikut bertanggung jawab dan membimbing istri suami kita karena dia sedang hamil. Kita adalah sebuah keluarga. Jadi sudah seharusnya kita saling menjaga satu sama lain.”
Aku menatapnya. Tapi bukankah seharusnya suamiku juga membimbingku dan memperhatikanku? Karena aku juga istrinya. Dan suamiku bertanggungjawab untuk memberikan rasa adil pada semua istri-istrinya.
“Tapi saya Cuma ingin menuntut sedikit saja hak saya sebagai seorang istri. Saya ingin mendapatkan sedikit saja rasa adil untuk diri saya sendiri.” Kataku.
Sang istri pertama suamiku tersenyum. “Sebelum adik memohon itu dari abang, sebaiknya adik berpikir dahulu apakah adik telah memenuhi kewajiban adik sebagai seorang istri hingga adik merasa berhak menuntut hak adik? Apakah adik telah benar-benar melaksanakan kewajiban adik?”
Aku terkejut terdiam dan merenung sedih. Pertanyaan itu seolah memukul ketidak sempurnaanku sebagai seorang wanita. Tapi aku juga menjadi semakin bertanya-tanya, apakah aku berhak menuntut hakku sebagai seorang istri? Sampai batas manakah kewajibanku sebagai seorang istri? Tidak bisakah aku memohon keadilan bila kurasa tak kudapatkan?
Dan aku merasakan kecemburuanku semakin kuat. Aku takut jika akhirnya aku tak bisa berlaku ikhlas.
“Adik terlalu berlebihan menyikapi hati.” Katanya lagi. “Kita kaum wanita harus taat dan patuh pada suami kita agar mendapatkan kerahmatan dari Allah. Kita harus menuruti suami kita dengan menjadi istri yang solehah. Dan semua itu sudah diatur dalam agama.”
Tapi tidak seperti ini, kataku dalam hati. Jika semua firman Allah tentang ketaatan istri pada suami diartikan seperti ini, wanita akan menjadi pihak yang harus selalu sabar, pasrah dan ikhlas menerima keadaan. Dan lelaki akan menyalah tafsirkan satu derajad mereka yang lebih tinggi dari wanita. Lelaki akan dengan mudah membungkus nafsu dalam hukum agama. Menyembunyikan kemunafikan dalam firman Allah. Dan menutup-nutupi keinginan duniawi dalam sunah dan syariat islam.
Aku menghela nafas. Untuk satu kali ini saja aku ingin menjadi seorang muslimah yang merdeka. Seorang muslimah yang bisa menentukan arah hidupku sesuai keinginanku tanpa harus melanggar ketentuan agama.
“Adik ingin berpisah.” Kataku lirih.
Istri pertama suamiku terkejut. “Astagfirullah! Apa adik sadar dengan apa yang adik ucapkan? Istigfar, adik! Istigfar!”
Aku diam menatapnya. Untuk kali ini saja aku ingin memiliki kebebasan dalam melakukan pilihan. Aku bukannya tak menyadari kosekwensi apa yang akan aku hadapi jika aku berpisah dengan suamiku. Tapi aku lebih menyadari lagi kalau aku tak akan sanggup melalui semua ini dengan hati yang semakin lama semakin merasakan kecemburuan yang luar biasa. Bagaimanapun aku masih muda. Aku ingin lebih dimanja dan bermanja dengan suamiku. Aku tak siap untuk terus merasakan kecemburuan dan rasa sakit kala tak mendapatkan itu dari suamiku. Dan aku sudah tak sanggup lagi menjadi permainan perasaan hatiku sendiri.
“Adik ingin berpisah.” Kataku lagi. Ada sedikit keyakinan dalam hatiku saat mengatakan itu. Aku telah lama berpikir dan menimbangnya. Aku ingin kali ini mendapatkan hak kebebasan dan kemerdekaanku sebagai seorang wanita seperti yang diperjuangkan rasulullah. Kenangan saat aku menikah yang semula mengikuti keinginan keluarga, lalu menyetujui keinginan suamiku yang ingin menikah lagi dengan hati berat menjadi dasar dan pelajaran untukku mencari hakku.
“Untuk kali ini saja, izinkanlah adik menggunakan hak adik sebagai seorang muslimah merdeka. Adik tak kuat menahan rasa cemburu dan sakit ini. Adik takut kalau nantinya adik hanya akan menjadi permainan perasaan. Karena itu adik mohon, untuk kali ini saja izinkan adik menggunakan hak adik sebagai seorang istri dan bagian dari keluarga ini. Biarkanlah adik bertanggungjawab pada keputusan adik sendiri. Berikanlah hak adik itu. Penuhilah harapan adik.” Kataku dengan bibir bergetar menahan perasaan. Dan kurasakan mataku mulai basah dan butir-butir airmata mulai mengalir dipipiku. “Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, Bismillahirahmanirahim, izinkanlah adik menggunakan hak adik untuk memohon cerai.”
Dan istri pertama suamiku terkejut tak percaya dan tak bisa berkata apa-apa…