Cerpen
Disukai
19
Dilihat
14,746
HIJRAH
Drama

Setiap kali aku terbangun, setiap kali itu pula nama abang terucap dibibirku. Setiap kali aku terjaga, setiap kali itu juga nama abang kusebut. Bahwa semua ini masih terasa seperti sebuah mimpi untukku…

Dulu abang selalu memberikan senyuman lembut padaku. Lalu dengan caranya yang selalu bisa memberikanku ketenangan dan rasa nyaman, dia mengelus rambut anak perempuanku yang kini tertidur dipangkuannya.

Aku tersenyum terharu memandangnya. Padahal anakku bukanlah anak abang. Anakku adalah buah dari dosa masa laluku yang sampai sekarang tak ku ketahui dengan pasti siapakah sebenarnya ayah biologisnya.

Aku menyeka airmata sebelum jatuh dipipi. “Adik benar-benar berterima kasih pada abang karena kini Halimah seolah-olah mendapatkan seorang ayah. Dan abang mau menganggap Halimah sebagai anak abang. Adik sungguh bahagia. Adik benar-benar berterima kasih pada abang.”

Dia menatapku lembut. “Abang juga sangat bahagia karena abang bisa menjadi ayah buat Halimah. Tapi abang masih sedih karena hanya menjadi ayah buat Halimah dan belum menjadi seorang suami untuk adik.”

Aku balas menatapnya. Lalu tersenyum lembut dan akhirnya tertunduk tersipu malu.

Semuanya seolah telah direncanakan olehNYA. Pertemuanku dengan abang terjadi disaat begitu banyak cobaan yang datang menerjangku. Perjumpaanku dengan abang terjadi kala hujatan, hinaan dan cacian datang untukku sebagai seorang wanita kotor dan hina. Terlebih lagi kala itu aku membawa serta anakku yang baru berusia tiga tahun. Tanpa sosok ayah. Tanpa seorang suami.

Dan masyarakat ditempat tinggalku begitu antipati kepada wanita sepertiku. Mereka menganggapku sebagai perusak wajah lingkungan tempat tinggal mereka dan hanya mengotori lingkungan saja. Bahkan ibukupun menjadi korban dari kehadiranku disini. Ibuku yang berjualan nasi diwarung sederhana didepan rumah harus menanggung akibatnya. Karena kini warung ibuku mendadak sepi. Orang-orang tak mau lagi datang untuk menikmati masakan ibu seperti biasanya. Mereka tak ingin berhubungan dengan wanita hina dan penuh aib sepertiku. Hanya ada beberapa orang yang masih mau makan disini. Salah satunya abang.

Abang sudah lama menjadi langganan ibu jauh sebelum aku kembali ke sini. Abang bukanlah penduduk asli. Abang adalah pendatang yang baru beberapa setahun tinggal dan bekerja disini.

Ibu yang pertama kali memperkenalkan abang padaku. Kesan pertama yang kurasakan kala berkenalan dengan abang adalah kedewasaannya. Jauh berbeda dengan para lelaki yang dulu pernah menikmati tubuh ini yang terlihat wibawa namun tak memiliki kebijaksanaan meski sebagian dari mereka berstatus sebagai orang terhormat.

Tapi abang berbeda. Dengan umurnya yang hampir berkepala empat, abang sangat tenang dan bijaksana. Sangat berbeda denganku yang masih terbilang muda. Abang selalu menjadi tempatku ngobrol untuk bertukar pikiran disaat orang-orang mengacuhkanku. Dan perlahan abang menjadi tempatku mengadu menuangkan segala kegundahan kala aku merasakan betapa beratnya ujian untukku kembali pulang kejalanNYA.

“Bahwa hijrah itu adalah milik para pejuang.” Kata abang menasehatiku. “Dan para pejuang itu selalu didatangi ujian dan cobaan dalam hidupnya. Mereka diberikan cobaan berupa rezeky yang tidak menentu. Dan diberikan istirahat tanpa mengenal waktu. Karena mereka para pejuang akan berhijrah demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik.”

Aku hanya diam menatap abang.

“Tak semua orang bisa menjadi seorang pejuang. Bahkan mereka yang memiliki ilmu agama yang hebat dan membanggakan keimanan mereka sekalipun walau mereka bisa menafsirkan apa arti hijrah dimasa Nabi dan untuk saat ini sekalipun. Hijrah itu milik semua makhluk ciptaan Allah dimuka bumi ini. Tumbuhan dan hewan juga melakukannya. Ketika musim bunga bersemi, jutaan bunga berterbangan menyebar memberikan awal kehidupan baru. Ribuan hewan berhijrah untuk mendapatkan kehidupan baru. Ketika kupu-kupu terbang bermigrasi. Ribuan burung-burung bergerombolan menyeberang dari satu tempat ketempat lain. Dan jutaan ikan berenang kedaerah yang lebih hangat. Semua itu mereka lakukan sebagai bagian dari kehidupan mereka. Mereka melakukan hijrah berdasarkan naluri yang mereka miliki atas bimbingan Allah sebagai bagian dari hidup mereka. Untuk itulah kita harus belajar dari para makhluk ciptaan Allah lainnya. Menyerahkan diri pada bimbingan Allah dengan hati ikhlas apapun halangannya ibarat ikan yang tersangkut dijala nelayan. Meletakkan diri kita dalam kepasrahan pada yang Maha Esa bagai seekor burung yang tertembak oleh pemburu. Karena sebuah hijrah akan dinilai dari seberapa tegarnya kita bertahan mengarungi cobaan. Dan semakin kuat cobaan itu datang untuk kita, semakin besar kebahagiaan yang akan kita dapatkan. Bahwa langit biru akan terlihat semakin indah sehabis hujan lebat melanda. Senyum kebahagiaan akan terasa sangat bermakna kala kita bisa melewatinya setelah tangis duka berhasil kita redakan. Itulah hijrah untuk orang-orang seperti kita yang tak memiliki apapun yang bisa kita banggakan. Tanpa ilmu yang ada. Tanpa harta yang kita punya. Hanya kepasrahan semata.”

Inilah alasannya mengapa abang sangat berarti untukku. Abanglah satu-satunya lelaki yang bisa memberikan getar cinta dalam hati yang baru pertama kali kurasakan dalam arti yang sebenarnya. Diantara para lelaki yang pernah menjalin cinta denganku, hanya abang yang bisa menghadirkan rasa cinta di hati dan pikiranku. Di akal dan perasaanku.

Abang bukanlah lelaki terhormat. Abang hanyalah kulit proyek yang sesekali nyambi jadi tukang ojek langganan. Abang juga punya masa lalu yang kelam sepertiku. Dulu abang adalah seorang sampah masyarakat. Abang berubah kala melihat kematian seorang temannya yang menggelepar dipangkuannya. Abang mendadak ketakutan saat itu.

Tapi tak mudah untuk kembali diterima dalam lingkungan masyarakat dengan status sebagai mantan bajingan. Abang juga mengalaminya. Pernah sekali saat abang mengikuti sholat jamaah dimesjid, orang-orang menyingkir membuat barisan baru. Mereka meninggalkan abang terpisah sendiri. Abang menyadarinya saat sedang melaksanakan sholat. Tapi abang tetap meneruskan ibadah walau tak mampu lagi khusyuk dan tertinggal beberapa bacaan karena saat itu juga abang sibuk menahan air mata agar tak menangis walau sebenarnya hati abang bersedih.

“Begitulah wujud cobaan untuk orang-orang seperti kita kala akan hijrah.” Kata abang lagi. “Semua ini hanyalah bagian dari ujian Allah untuk melihat seberapa besar tekad dan perjuangan kita. Bahwa sakit yang kita rasakan hanyalah jawaban dariNYA untuk kesalahan kita yang DIA maafkan. Dan luka yang tercipta adalah bagian dari gugurnya dosa yang pernah kita lakukan. Bahwa Dia adalah Sang Maha Pemberi Ampun untuk hambanya sepanjang kita memohon. Untuk itulah kita harus terus berjuang dengan kekuatan kita sendiri tanpa terpengaruh akan tanggapan dan perlakuan masyarakat terhadap masa lalu kita.”

Aku terdiam menatap abang. Ada sebaris tato yang berada dilehernya. Sebagian tato abang sudah abang hapus. Tapi tato dileher itu belum mampu abang hilangkan dan seolah-olah menjadi kenangan dan pengingat atas kelamnya masa lalu.

“Jangan samakan hijrah yang terjadi dalam kehidupan kita dengan mereka yang ditakdirkan terlahir bahagia dan memiliki segala kelebihan. Jangan pernah menyesali, iri dan berlaku kufur pada Illahi. Mereka yang terlahir dalam lingkungan terhormat, menjalankan hidup dan beragama, berada dalam lingkungan agamis, menjalankan hidup dengan segala nikmat dan karunia Allah untuk mereka. Hidup mereka seolah berada dalam sangkar emas yang besar, dimana segala kebutuhan hidup selalu ada. Terasa nyaman karena apa yang mereka inginkan selalu terpenuhi. Berada dalam sangkar mereka dan menutup pintu rapat-rapat agar tak terpengaruhi oleh kehidupan luar yang liar. Dan kita ibarat kehidupan liar itu untuk mereka. Kita berhadapan dan bergumul dalam kehidupan liar yang mungkin tak pernah mereka bayangkan dan mereka pikirkan. Yang berjuang untuk hidup sambil mempertahankan secercah cahaya iman didada agar tak terpadam ditengah ribut badai melanda. Hanya sedikit dari mereka yang mengizinkan kita untuk singgah disangkar mereka untuk sekedar beristirahat melepaskan lelah sambil merenggangkan sayap yang tak pernah berhenti membentang. Karena sebagian dari mereka masih menganggap dan takut kalau kita memberikan efek dan pengaruh buruk dalam kehidupan mereka. Tak banyak yang mau tersenyum, menyapa, menolong dan membimbing orang-orang seperti kita. Mereka terlalu takut dengan liarnya dunia hingga menutup diri membatasi ukuwah dan silaturahmi tanpa pernah mau mengerti dan memahami bahwa tak ada seorangpun manusia yang mau hidup seperti ini.”

Aku mengangguk. Aku sangat mengerti dengan apa yang abang katakan karena aku dulu pernah mengalaminya kala diri ini masih hidup dalam kubangan dosa. Beberapa lelaki yang pernah mengencaniku berniat menjadikanku sebagai simpanan mereka. Beberapa lagi malah ingin menikahiku secara siri. Tapi aku menolak semua itu. Aku tak ingin menjadi simpanan. Aku tak ingin menikah secara siri walaupun secara agama sah tapi aku menganggapnya bukan sebagai bagian dari ajaran islam. Karena pernikahan siri itu mengkebiri hak-hak seorang wanita dalam rumah tangga. Pernikahan siri membuat wanita menjadi lemah tak berdaya karena tak terlindungi secara hukum Negara. Padahal islam sangat melindungi hak-hak seorang wanita baik dalam hukum agama maupun dalam hukum Negara. Karena itulah aku tak menganggap kalau pernikahan siri itu adalah sesuatu yang islami.

Lagipula keadaan tak akan berubah lebih baik untukku kalau menerima keinginan mereka. Walaupun mereka adalah orang terhormat berpendidikan tinggi, tapi tak lantas menjadikan mereka pahlawan penolong untukku. Akan ada banyak permasalahan yang akan muncul nantinya. Akan ada kemarahan dari istri-istri mereka padaku dan semakin menganggapku wanita hina dan murahan perusak rumah tangga orang. Bahkan seorang ulama dan ahli agama sekalipun tak akan begitu gampangnya memperistrikan wanita sepertiku. Pasti ada rasa keberatan dan rasa berat hati dari orang-orang disekitarnya. Dan istri mereka tak akan mudah menerimaku sebagai bagian dari keluarga mereka. Seakan-akan tak ada lagi wanita baik-baik yang layak dinikahi hingga harus mengambil wanita sepertiku sebagai istri buat menjadi madu mereka dalam sebuah polygamy. Bahwa kecemburuan itu sejatinya ada dalam diri wanita, tersimpan didada para istri. Dan kecemburuan terhadap wanita sepertiku akan mudah hadir dan berubah menjadi amarah seandainya mereka masih menganggap tinggi diri mereka dan memandang rendah derajadku. Setidaknya itulah yang menjadi dasar pertimbanganku.

Karena itulah aku merasa nyaman kala berada bersama abang. Latar belakang kami yang sama-sama pernah berada dalam nistanya dunia menjadi dasarnya. Dan perjuangan untuk hijrah kembali kejalan Allah menjadi pengikatnya. Karena kini aku merasa mendapatkan anugrah terindah dari Allah untuk semua penghuni dunia. Cinta!

Karena anugrah cinta itu bukan hanya milik kaum muda semata. Cinta tidak hanya untuk orang-orang terhormat saja. Cinta bukanlah diperuntukkan khusus untuk mereka yang menjalani hubungan dengan jalan ta’ruf. Cinta juga hadir sebagai anugrah untuk orang-orang sepertiku sebagai kekuatan untuk melewati ujian dan cobaan hidup berdua. Juga awal dari sebuah keyakinan dan kepercayaan.

Karena itulah aku menerima lamaran abang dengan penuh kebahagiaan. Dan waktu pernikahan itu telah ditetapkan yakni setelah hari raya haji atau beberapa hari sebelum 1 muharam. Karena kami ingin mengarungi bahtera rumah tangga dengan mengawalinya di awal tahun baru islam sebagai awal dari perjuangan hijrah kami sebagai sebuah keluarga.

Tapi pernikahan itu tak pernah terjadi. Ijab Kabul itu tak pernah terlafaskan dari bibir abang. Dan harapan kebahagian itu tak pernah terwujud. Karena beberapa hari sebelum hari pernikahan, abang telah pergi meninggalkanku untuk selamanya.

Abang menghembuskan nafas terakhir saat sedang ngojek dimalam hari untuk sekedar mencari uang menambah kebutuhan menikah. Abang meninggal dengan sebilah pisau diperut kala menolong seorang gadis dari gangguan sekumpulan pemuda. Abang pergi tanpa memberi tanda atau pesan untukku. Abang….


Jika aku pergi….

Meninggalkanmu sendiri didunia ini

Iringilah kepergianku bersama doa dari cintamu

Ikhlaskanlah kepergianku tanpa isak tangismu

Taburilah peristirahatanku dengan butiran bunga dari hatimu

Tapi jangan pernah kau ratapi kepergianku

Bersama iringan balada burung-burung yang terdengar perih

Bagai airmata gerimis yang turun menangis sedih

Karena cukuplah arti keberadaanku untukmu

Lepaskanlah aku….

Saat langkah terakhirmu menghadirkan Mungkar dan Nangkir

Saat itupulahlah arti keberadaanku untukmu berakhir

Jika aku pergi….

Bahwa suatu saat nanti

Aku tetap akan pergi….


Aku kembali terjaga sambil memanggil nama abang. Dan semuanya masih seperti mimpi buruk untukku.

Sudah beberapa minggu abang meninggalkanku. Semua nasehat dan perkataannya masih terngiang jelas ditelinga ini. Abang menasehatiku untuk terus memperjuangkan jalan hijrahku sendiri. Jangan pernah menggantungkan harapan pada siapapun untuk iman yang kita miliki. Abang mengatakan kalau segala yang tercipta pasti akan kembali kepadaNYA. Tak ada satupun yang benar-benar akan menjadi milik kita. Bahkan amal dan pahala yang kita lakukanpun sebenarnya adalah milikNYA. Tak ada satupun yang bisa kita miliki, baik kala didunia maupun nanti diakhirat.

Perjuangan abang untuk hijrah telah berakhir dengan cara yang mulia. Kepergian abang kembali kehadirat Illahi terjadi dengan cara yang sangat indah. Kesungguhan dan kepasrahan abang untuk ikhlas mendapatkan luka dari orang-orang yang memandang hina berubah menjadi kekaguman. Kesabaran abang untuk tetap bertahan meski merasakan kesedihan didada dari perlakuan yang abang dapatkan berubah menjadi decak kagum. Semuanya persis seperti yang dikalamkan Allah bahwa dia melindungi dan akan mengambil hambanya yang terhormat dengan cara yang mulia. Bahwa Allah telah memperlihatkan akhir yang indah untuk abang sebagai seorang pejuang yang berhijrah demi mendapatkan kemuliaan dariNYA.

Tapi aku masih sukar menerima takdir. Aku masih sering terjaga dari tidur sambil menyebut memanggil nama abang. Aku masih terus mengharap kalau semua ini tak lebih dari sebuah mimpi. Karena aku ingin abang menemaniku dan menjadi bagian dari hijrah yang kulakukan.

Karena sampai kini aku masih mengharapkan abang hadir kembali meski itu tak akan mungkin terjadi….



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (3)