Masukan nama pengguna
Dari seorang kakak yang kebingungan menjelaskan pada adiknya dan dirinya sendiri....
“Pokoknya edek tak setuju mama menikah lagi!”
Aku hanya diam menatap adikku. Adik perempuanku satu-satunya yang sampai saat ini tetap tak setuju jika mama menikah lagi.
Sejak papa meninggal tiga tahun lalu, mama tak pernah mengutarakan keinginannya untuk menikah lagi. Selama ini mama selalu berusaha untuk membahagiakan kami berdua. Mama berusaha untuk menjadi orangtua tunggal dengan membesarkan dan menafkahi kami berdua. Mama bekerja keras menjadi seorang ibu rumah tangga yang mengurus segala keperluan kami, aku dan adik perempuanku satu-satunya, dengan bekerja demi memenuhi keperluan kami sekeluarga.
Almarhum papa dan mama adalah seorang pegawai negeri sipil.
Selama tiga tahun itu pula aku mencoba memerankan diri sebagai seorang anak sulung pengganti papa. Aku yang mengantar dan menjemputnya sekolah. Aku sering menemani adikku mengerjakan pe-er. Menemaninya jalan-jalan sore dengan sepeda motor almarhum papa. Juga menjadi tempat curhatnya ketika dia menghadapi permasalahan baik itu tentang sekolah, teman atau apapun. Selama itu juga aku berusaha menjadi pengganti papa untuk adikku agar dia tidak terus-terusan bersedih kehilangan papa.
Adikku sangat dekat pada papa.
Karena papa memanjakan adikku. Sangat memanjakan malah menurutku. Papa menyayangi adikku. Papa selalu memenuhi apapun keinginan adikku. Dulu papa selalu mengajaknya berjalan-jalan disore hari menyusuri jalan kota dengan sepeda motor matiks mama. Atau sekedar menemani adikku menonton film dihandphone. Bahkan saat tidurpun papa masih sering membacakan cerita atau menemani adikku mengobrol. Karena itu, kepergian papa yang mendadak merupakan kehilangan terbesar dalam hidup kami, terlebih lagi bagi adikku.
Tapi saat-saat sulit itu perlahan mulai terlewati. Tiga tahun lamanya aku mencoba memerankan sosok papa untuk adikku dikala mama sibuk atau lelah karena bekerja. Tiga tahun adikku mulai bisa menerima bahwa papa telah tiada. Dan tiga tahun pula kami menjalani kehidupan dengan bahagia walau tanpa sosok seorang papa.
Tapi semua itu buyar semenjak mama mengutarakan keinginannya untuk menikah lagi.
Aku terkejut. Aku tak pernah menyangka kalau mama akan mengatakan itu pada kami berdua saat kami sedang menonton acara televisi.
Tapi aku bisa mengendalikan keterkejutanku. Sebagai anak sulung aku bisa memahami keinginan mama. Tidak mudah menjadi seorang janda diusia mama yang masih berkepala tiga dan masih bisa dibilang muda. Ada banyak alasan yang menjadi dasar keinginan mama. Tidak mudah menjadi ibu tunggal yang bukan hanya bertugas mengurus keluarga tapi juga mencari nafkah. Mama butuh seorang pendamping yang bukan hanya meringankan tugas mama sebagai kepala keluarga tapi juga tempat mama berbagi dan bertukar pendapat. Karena tak mungkin mama mendiskusikan masalah-masalah pribadinya padaku yang masih muda walau aku juga seorang wanita. Juga tak mudah menjaga diri dengan status janda berwajah cantik dari gunjingan dan fitnah. Aku mengerti itu.
Tapi tidak adikku. Dia melepaskan diri dari pangkuan mama dan diam dengan ekspresi terkejut. Lalu kemudian dia bangkit meninggalkanku dan mama.
“Edek tak setuju mama menikah lagi. Edek tak mau mama mengkhianati papa! Edek tak setuju!” katanya lalu bangkit menuju kamarnya meninggalkan mama yang cuma bisa tertegun.
Akupun membesarkan hati mama dan mengatakan kalau aku akan memujuk adikku.
Tapi adikku tetap pada pendiriannya. Dia tetap tak setuju mama menikah lagi. Dia tak mau mama mengkhianati papa. Dia tetap tak mau mama melupakan papa.
Aku tetap berusaha sabar menghadapinya. Aku mencoba maklum. Adikku masih kecil. Dia baru mau beralih dari tahap anak anak ke tahap remaja. Dia masih labil dan goyah. Dia masih belum mengerti tentang hidup dan kehidupan. Dia butuh bimbingan.
Dan aku tak boleh menyerah. Walau adikku selalu pura-pura tak mendengar dan berusaha menghindar kala mama berusaha memujuk dan mengambil hatinya, aku tak boleh menyerah. Aku tak boleh. Aku harus sabar dan berlaku bijak menghadapi adikku. Termasuk kala mama membawa seorang lelaki dan memperkenalkannya pada kami.
Lelaki itu teman sekelas mama saat smu dulu. Mereka bertemu saat reuni. Lelaki itu belum menikah karena dia pernah kecewa ditinggal pacarnya nikah. Mama dulu pernah dekat dengannya dan mereka ingin menjalin kembali hubungan masa lalu.
Aku menyambut baik lelaki itu. Tapi tidak adikku. Dia bersikap cuek pada mama dan lelaki itu. Dia menghindar dan pura-pura tak melihat. Dia tak perduli.
“Edek tak ingin mama melupakan papa. Edek tak ingin siapapun menggantikan papa!”
Aku menarik nafas. “Mama tak pernah melupakan papa. Mama tak berniat menggantikan papa. Papa akan selalu ada bersama kita. Dihati kita.” Kataku.
“Lantas mengapa mama ingin menikah lagi? Mengapa mama mau mengkhianati papa?”
Aku menghela nafas pendek mencoba tetap bersabar. “Mama tak pernah mengkhianati papa. Mama tak berniat untuk menyingkirkan kenangan tentang papa. Mama hanya ingin kita bahagia dalam satu keluarga yang utuh.”
“Tapi tidak dengan menikah lagi. Tak akan pernah ada yang bisa menggantikan posisi papa sampai kapanpun.” Kata adikku. Kini dia mulai menangis.
Aku diam menatapnya.
“Edek tak ingin ada orang lain dalam keluarga kita. Edek ingin kita bisa berkumpul kembali bersama-sama nanti di surga.”
“Apa maksud edek?” aku mengerutkan kening tak mengerti.
Dan tangis adikku semakin kencang. “Edek ingin kita tetap bersatu. Edek ingin saat disurga nanti kita bisa berkumpul kembali sama seperti saat papa masih hidup.”
Aku semakin tak mengerti apa maksud perkataannya.
Adikku terisak. “Edek ingin kita berkumpul bersama-sama lagi disurga nanti. Edek ingin papa ada bersama kita nanti disurga. Tapi semua itu tak mungkin terjadi kalau mama menikah lagi. Kalau mama menikah lagi kita tak mungkin bisa berkumpul seperti dulu lagi.”
Aku menatapnya. “Mengapa edek berkata begitu? Papa akan ada bersama kita lagi saat disurga nanti.”
Adikku menggelengkan kepalanya. “Bukan papa. Tapi mama. Mama tak akan berkumpul bersama kita lagi saat disurga jika mama menikah lagi. Mama tak akan ada bersama kita. Jika mama menikah lagi, siapa yang akan mama pilih saat disurga nanti? Apakah mama akan kembali bersama kita dan papa dan berkumpul seperti dulu lagi? Atau mama akan memilih suami mama yang baru? Apakah mama akan tetap mencintai papa saat disurga nanti ataukah mama akan mencintai lelaki itu daripada papa? Jika nanti disurga, siapakah yang akan mama pilih, papa atau suami baru mama?”
Aku tertegun mendengarkannya.
Kini tangis adikku semakin kencang bersama isak tangisnya. “Edek tak mau mama memilih lelaki lain. Edek ingin mama memilih papa. Edek ingin mama ada bersama kita disurga nanti. Bukan bersama lelaki lain. Edek tak ingin mama menikah lagi! Edek tak ingin mama menikah lagi!” Kata adikku lirih sambil menangkup wajahnya dengan kedua tangannya.
Aku terpana. Kini aku mengerti alasan mengapa dia tak ingin mama menikah lagi. Ternyata dia membayangkan sebuah ketakutan yang menghantuinya. Dia begitu mencintai papa. Dia takut jika nanti disurga mama akan memilih keluarga baru mama bersama suami mama yang baru daripada aku, adikku dan papa!
Mendadak aku merasakan ketakutan yang sama dengannya. Mendadak ada sebuah keraguan yang tiba-tiba muncul dalam hatiku.
Mamaku ingin menikah lagi. Semula aku menyetujui keinginan mamaku yang ingin menikah lagi. Tapi setelah mendengarkan ketakutan adikku, kini aku bertanya-tanya dalam hati, benarkah aku benar-benar ikhlas jika mamaku menikah lagi?