Masukan nama pengguna
Aisyah Fajarina…
Aku yang memberikannya nama itu sebagai hadiah saat dia memeluk Islam. Dan dia menyukainya. Sangat menyukainya.
Semula kami memiliki keyakinan yang berbeda. Namun karena cinta yang hadir di antara kami, akhirnya kami menjalani hubungan ini sebagai seorang kekasih. Dan dia selalu memperhatikan ibadahku. Sholatku. Puasaku. Hingga solat tahajudku. Dia juga selalu mengirimkan sms padaku agar aku mengerjakan sholat zuhur terlebih dahulu sebelum kami bertemu untuk makan siang.
Aku pernah menanyakan padanya mengapa dia memberikan perhatian pada ibadahku. Dan dia menjawab bahwa itu sebagai wujud cintanya padaku. Dia tak ingin aku berubah. Karena dia begitu kagum pada ketaatanku. Dan itu mengundang rasa ketertarikan dan keingintahuannya pada agamaku.
Karena dia diberi pemahaman yang buruk tentang laki-laki islam. Tentang seorang muslim. Terlebih dengan wacana poligamy dalam Islam.
Aku tersenyum. Aku mencintainya. Aku tak ingin melepaskannya. Dan aku ingin menyelamatkan dirinya agar berada di jalan yang sama denganku. Walaupun hubungan kami ditentang keluarganya, itu tak mengubah perasaannya padaku. Dia semakin mencintaiku. Meskipun akhirnya dia diusir dan dibuang oleh keluarganya, dia ikhlas menerimanya. Dia lebih memilih cinta dan diriku walaupun terkadang mengundang pertanyaan pribadi untukku. Apakah pantas hidayah aqidah itu datang karena cinta dengan cara seperi ini?
Keluargaku juga menerimanya dengan tangan terbuka karena aku telah menceritakan semuanya pada keluargaku. Dan untuk menghindari fitnah, dia aku titipkan pada bibiku, kakak tertua ayahku.
Bibiku seorang janda yang tinggal sendirian karena semua anaknya telah menikah dan memiliki rumah sendiri. Bibiku juga orang yang tepat untuknya belajar agama karena bibiku memiliki pengetahuan agama yang baik. Dan bibiku sangat gembira dan bahagia saat menerima dirinya.
Malam itu dia mengucapkan dua kalimat syahadat. Dia mengucapkan kalimah Pengakuan akan Allah sebagai Tuhannya dan Nabi Muhamad sebagai Rasulnya di depan semua yang hadir di masjid. Malam yang tak akan pernah aku lupakan. Malam di mana dia mengubah agama dan keyakinannya. Juga namanya yang kini menjadi Aisyah Fajarina.
Dia mulai belajar segala hal tentang Islam. Sholat, mengaji dan pengetahuan tentang agama. Dan itu membuat pemahamannya akan agama menjadi semakin kuat. Hingga suatu ketika saat aku menjemputnya untuk berangkat kerja, dia keluar dengan mengenakan jilbab.
Aku terkejut. Dengan pipi memerah dia tersenyum lembut sambil sesekali menundukkan pandangan menghindari tatapanku.
Aku terpana. Begitu cantiknya dia dalam gulungan kain yang menutupi seluruh auratnya. Wajah orientalnya yang cantik, pipi putihnya yang bersemu merah beserta matanya yang sipit yang bersembunyi dibalik jilbab putih.
Astagfirullah! Khayalanku kini melambung melihatnya. Kecantikan dan lekuk tubuhnya yang dulu sering terlihat, kini berubah menjadi khayalan untukku akan tubuhnya yang kini tertutup di semua bagian. Tidak terbuka sedikitpun. Tidak menyisakan lekuk tubuh sedikitpun.
Dan itu semakin membuatku mengkhayalkannya. Terlebih saat kami berboncengan. Dia, yang dulu selalu memelukku erat, kini tak lagi menyentuh pinggangku. Membuatku ingin merasakan sentuhannya lagi. Astagfirullah....
Sikapnyapun mulai berubah. Dia tak lagi mengumbar kemesraan padaku. Dia kini menjaga sikap layaknya seorang muslimah yang menjaga kehormatan. Dan itu membuat kami berdua sedikit kikuk dan kaku. Aku tak mengerti mengapa bisa begini. Aku mencintainya. Aku merindukannya. Dan aku tahu kalau diapun merasakan hal yang sama dari sinar matanya.
Namun kini aku harus lebih bisa mengendalikan diriku padanya.
Malam ini aku duduk di teras rumah bibiku. Bibiku memintaku untuk datang karena ada sesuatu yang ingin dia bicarakan.
“Ryan tentu bertanya-tanya mengapa bibi memanggil Ryan ke sini, bukan?”
Aku mengangguk.
“Bibi hanya ingin memastikan bagaimana sebenarnya Ryan memandang hubungan antara Ryan dengan Aisyah selama ini.”
Aku tahu apa maksudnya.
“Karena bibi sangat menyayangi Aisyah. Dia kini seperti kapal yang terayun-ayun di lautan luas. Terkadang lurus saat berlayar, namun terkadang terombang-ambing seperti kehilangan arah. Dia membutuhkan seorang nakhoda yang bisa membimbingnya melewati semua badai hidupnya. Ryan tahu maksud bibi, bukan?”
Aku kembali mengangguk.
“Bibi hanya ingin keberanian Ryan. Bibi takut jika dia berlayar sendiri, dia akan terombang-ambing lalu karam. Atau takut menerjang ombak dan badai lalu kembali ke pelabuhan lamanya. Kembali pada agamanya yang dulu. Bibi tak mau itu terjadi pada aqidahnya.”
Aku diam mendengarkan dengan wajah menunduk.
“Kemarin dia menangis menceritakan bagaimana tersiksanya dia. Dulu saat belum menjadi seorang muslimah, dia bisa bebas melepaskan rasa rindunya. Namun setelah mengenal dan mempelajari agama, dia kini sangat tersiksa pada perasaannya. Dia sangat menderita dengan perasaan cinta dan rindunya pada Ryan. Dia tak kuat lagi menahannya.”
Bibi menghela nafas. “Lalu dia meminta bantuan bibi untuk mengungkapkan keinginannya. Dia ingin bibi mewakili dirinya. Dia teringat akan kisah Siti Khadijah yang melamar Nabi. Dia ingin mengikuti jejak itu karena sudah tak sanggup lagi menahan perasaan cinta dalam hatinya. Bibi menanyakannya, apakah itu yang dia inginkan? Dia menjawab bahwa yang dia inginkan saat ini adalah memiliki Ryan secara halal dan sempurna. Walaupun itu akan membuatnya merasa malu karena sebagai wanita selayaknyalah dia yang dilamar. Namun dia ikhlas karena dia sangat mencintai Ryan.”
Aku terdiam terpana. Tak terasa mataku berkaca-kaca. Dan aku semakin tak tahu harus berkata apa saat bibiku memanggilnya keluar.
Dia muncul dari balik dinding tempat dia bersembunyi mendengarkan pembicaraan kami. Lalu pelan-pelan keluar dan duduk bersama kami dengan mukena yang masih dia kenakan.
“Bibi ingin mendengar percakapan dan jawaban langsung dari kalian berdua. Izinkan bibi berada di sini sebagai saksi bagi kalian.”
Aku tersenyum. Pandanganku kini ku arahkan pada Aisyah yang tertunduk tak mampu membalas tatapanku.
“Assalamualaikum.” Aku mengucapkan salam.
“Alaikumsalam.” Lembut dia membalas salamku.
“Apa benar yang bibi katakan tadi? Apa Aisyah benar-benar menginginkan abang menjadi suami Aisyah?”
Dia menghela nafas sejenak. “Abang sudah tahu jawabannya, bukan? Jangan buat Aisyah semakin menenggelamkan wajah Aisyah menahan malu karena tak mampu menyembunyikan perasaan Aisyah pada abang. Tak cukup lagikah semua sikap Aisyah selama ini?”
Aku tersenyum. Hatiku bagai dicubit-cubit mendengar ucapannya.
“Aisyah tahu mungkin yang Aisyah lakukan ini sedikit agresif untuk seorang wanita. Tapi Aisyah sudah tak sanggup lagi menunggu abang mengucapkannya.” Dia kembali menghela nafas seakan-akan melepaskan beban dadanya agar bisa bernafas. “Dan Aisyah sangat mencintai abang. Mungkin kedengarannya tak pantas, tapi Aisyah sangat takut kehilangan abang. Karena kini Aisyah hanya sendirian di dunia ini dan tak memiliki apa-apa lagi. Saat ini, hanya Allah dan cinta ini saja yang Aisyah miliki.”
Tenggorakanku terasa bagai ingin keluar. Dadaku seperti ingin pecah mendengarkan ucapan indahnya namun begitu mengharukan. Tak terasa air mata mengalir di pipiku bersama suaraku yang keluar lirih dari bibirku yang bergetar.
“Aisyah tak perlu lagi mengucapkan kata-kata lebih dari itu. Biar semua kata-kata itu menjadi tanggung jawab abang sebagai seorang laki-laki yang menginginkan seorang wanita. Biarkan abang melaksanakan tugas abang agar Aisyah tidak semakin menenggelamkan wajah Aisyah karena malu saat mengucapkannya. Karena seperti Aisyah, sesungguhnya di dunia ini hanya Allah dan cinta ini yang abang miliki. Demi Allah, abang benar-benar mencintai Aisyah. Dan abang ingin menjadikan Aisyah dan cinta kita ini halal untuk kita nikmati. Abang menginginkan Aisyah menjadi pendamping hidup abang selama di dunia dan nanti di akhirat. Apa Aisyah bersedia menjadi istri abang?”
Dan dia mengangkat wajahnya membalas tatapan mataku. Malam ini, bersaksikan bibiku yang tersenyum haru, berbiaskan sinar bulan purnama bersama ribuan bintang, dia menerima lamaranku. Air mata kebahagiaan mengalir deras di pipinya. Dan seolah tak lagi mampu menahan kebahagiaan dan cinta dalam hatinya, dia meraih tanganku, menciumnya berulangkali sambil mengucapkan terima kasih karena aku mau mewujudkan mimpi indahnya menjadi kenyataan.
Malam ini menjadi malam terindah bagiku selama menjadi penghuni dunia.