Masukan nama pengguna
“Yah, rumah kakek masih jauh, ya?”
Aku tersenyum pada gadis kecilku yang duduk di sebelahku. “Nggak, kok. Sebentar lagi juga sampai.”
Gadis kecilku yang baru berumur empat tahun ini ikut tersenyum. “Nanti Eka mau kenalin kakek dan nenek sama teman baru Eka.” Katanya sambil menunjukkan boneka seorang gadis yang dari tadi dipeluknya.
“Memangnya namanya siapa?”
“Tia!” jawabnya cepat.
Aku tersenyum lebar sambil mengusap rambutnya dan mencium keningnya. Suasana bus tempat kami berada memang sedang ramai. Maklum saja, di suasana menjelang hari raya begini semua orang ingin mudik dan merayakan hari raya bersama keluarga.
Begitu juga aku. Tapi sebenarnya aku tak termasuk dalam katagori orang-orang yang mudik ke kampung halaman. Karena kampung halaman yang ku kunjungi ini adalah kampung halaman almarhum istriku.
Ya, istriku telah meninggal lebih dari dua setengah tahun yang lalu. Istriku meninggal karena kecelakaan saat dia selesai berbelanja di supermarket seorang diri. Semula aku yang ingin mengambil inisiatif untuk berbelanja, atau setidaknya menemaninya berbelanja. Tapi istriku melarangku. Dia mengatakan kalau sebaiknya aku di rumah saja dan beristirahat karena aku baru saja pulang kerja. Lagipula anak kami yang baru berumur setengah tahun sedang demam. Maka istriku memintaku untuk istirahat di rumah saja sambil menjaga anak pertama kami.
Sebuah perintah yang seharusnya tak ku turuti.
Tapi itulah saat terakhir aku bertemu dengannya dalam keadaan hidup. Saat dia mengendarai sepeda motor yang menjadi alat transportasiku ke kantor, dalam perjalanan pulang ke rumah, motornya ditabrak oleh begundal-begundal jalanan. Istriku terpelanting dari motornya. Seluruh barang belanjaannya berterbangan entah kemana. Dan begundal-begundal yang telah menabrak istriku itu lari meninggalkan istriku begitu saja.
Aku mendapatkan kabar itu dari tetanggaku yang kebetulan melihat kejadian itu. Saat pertama kali mendengarnya, hampir saja aku menjatuhkan anakku yang masih berada dalam dekapanku. Untung saja orang-orang yang datang menyampaikan kabar menyambut anakku dan menopang tubuhku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi pada anakku jika dia terjatuh dari dekapanku.
“Yah, ibu tahu tidak kalau kita pergi ke rumah kakek sama nenek?”
Aku tersadar dari lamunanku. Ku pandangi anakku dan tersenyum. “Tentu dong. Kan ibu selalu memperhatikan kita dari syurga.”
“Memangnya syurga itu ada dimana sih, yah?”
Aku menghela nafas. “Syurga itu jauh sekali. Syurga itu adanya di atas langit.”
Anakku menatapku. “Kok ibu bisa pergi ke sana?”
“Ibu ada di sana karena sudah dipanggil Allah.”
Mata anakku berkedip-kedip sejenak menatapku. “Kok Allah manggil ibu aja. Kok Eka sama ayah tak diajak juga?”
Aku hampir menangis mendengar pertanyaannya itu. “Karena Allah sayang sama ibu. Nanti juga suatu saat ayah akan menyusul ibu dipanggil Allah. Eka juga.”
“Kapan itu, yah? Eka pingin sekali bertemu ibu. Eka pengen dipeluk ibu. Masa Eka Cuma bisa lihat wajah ibu di poto aja....”
Dan aku tak bisa menjawab pertanyaannya lagi. Ku peluk dia dengan erat penuh kasih sayang.
Anakku tak lagi bertanya. Anakku hanya menatapku heran.
Tempat tujuanku hampir tiba. Kampung halaman almarhum istriku yang selalu aku dan istriku kunjungi dulu saat lebaran tiba. Kali terakhir aku dan istriku mengunjungi mertuaku adalah saat lebaran sebelum istriku meninggal. Saat itu istriku hamil muda. Kami mudik untuk berlebaran sekaligus untuk memberikan kabar gembira ini pada mertuaku.
Dan saat itu, kedua mertuaku sangat bahagia mendengar kabar itu.
Tapi setelah istriku meninggal, aku masih tetap mengunjungi mertuaku. Aku, yang tak punya orang tua karena aku dibesarkan di panti asuhan, sudah menganggap mereka sebagai orang tuaku sendiri. Aku tak ingin memutuskan tali silaturahmi meski mereka tak lagi menjadi mertuaku. Tapi bagiku mereka adalah orang yang tepat untukku meminta maaf dan ampunan serta merayakan lebaran bersama. Suatu kenangan saat aku selalu mengunjungi mertuaku bersama istriku saat lebaran yang tak ingin aku lupakan. Mengenang kembali saat pertama kali kami mudik. Menyusuri jalan ke kampung halamannya. Lalu menikmati suasana kampung dengan sawah dan gunung sebagai latar pemandangan dan kicau burung sebagai latar suaranya.
Tapi kini kenangan itu ku lalui bersama anakku.
Aku menggendong anakku menyusuri jalan setapak di tengah sawah. Beberapa orang menyapaku dan aku membalas sapaan mereka dengan anggukan kepala. Anakku ikut-ikutan tersenyum dan menganggukkan kepala pada orang-orang yang menyapa kami membuatku mengukirkan senyum lalu menciumnya.
Akhirnya aku tiba di depan sebuah rumah panggung berukuran lumayan besar berhalaman lumayan luas dengan pohon mangga dan rambutan di depannya. Ada seorang wanita separuh baya yang sedang mengisi ketupat di tangga rumah.
“Nenek....!”
Anakku tiba-tiba berteriak. Lalu aku menurunkannya. Segera saja dia berlari ke arah wanita separuh baya itu yang menyambutnya dengan pelukan dan isak tangis.
Seorang lelaki separuh baya keluar rumah dan menyambutku. Merekalah mertuaku.
“Allahamdulillah. Kakek kira Eka tidak datang.”
“Pulang kok, kek!” kata anakku yang kini beralih ke pelukkan kakeknya.
“Iya!” jawab kakeknya. “Habis biasanya kan pulangnya tiga atau empat hari sebelum lebaran. Ini pulangnya satu hari sebelum lebaran.”
“Telat dapat tiket, pak.” Aku yang menjawab. “Tapi untung saja masih bisa dapat tiket. Alhamdulilah semuanya lancar hingga bisa sampai disini agak pagian.”
Aku menyalami kedua mertuaku. Sesuatu yang dulu selalu aku lakukan bersama istriku kala mudik.
Ada kenangan yang tak akan pernah kulupakan. Kenangan bersama istriku kala merayakan hari raya di kampung halamannya. Istriku adalah anak satu-satunya, karena itu disetiap kali kami pulang, mertuaku akan dengan suka cita dan bahagia menyambutnya.
Dan kenangan itu ingin selalu ku ukir. Walaupun istriku telah tiada, walaupun kedua orang tua ini hanyalah mantan mertuaku, tapi aku sudah menganggap mereka seperti orangtuaku sendiri. Terlebih dengan anakku yang merupakan cucu mereka satu-satunya.
Terkadang kenangan tercipta bukan untuk dilupakan. Terkadang juga bukan untuk selalu diingat. Kenangan tercipta sebagai bagian dari perjalanan hidup. Bahwa mengenang dan mengingatnya hanya sebagai sentuhan akan kalbuku untuk terus merasakan cinta dari orang yang kucintai. Menemukan kebahagiaan walaupun hanya berupa kenangan. Tersenyum dan menangis hanyalah lukisan hati. Ada ikatan yang tak akan kulupakan. Ada genggaman yang tak ingin kulepaskan. Dan kebahagiaan saat bersamanya tak akan tergantikan oleh apapun, bahkan seluruh keindahan yang terlukis di langit dan terukir di bumipun tak akan sanggup menggantikannya. Ada sesuatu yang menggores hatiku, yang menyentuh jauh kedalam kalbuku. Meninggalkan debaran dan kehangatan di setiapkali aku melukiskan wajahnya, mengingat suaranya dan merasakan angin yang mengalir menyentuh kulitku sebagai pengganti sentuhannya akan tubuhku.
Kenangan akan dirinya yang tak akan tergantikan oleh apapun. Sampai kapanpun...