Masukan nama pengguna
Ego kah aku?
Pertanyaan itu terus saja bermain dipikiranku. Dan dia menatapku menanti Jawaban.
Seandainya dia tak melakukan itu, mungkin aku tak akan pernah mempermasalahkanya. Seandainya dia hanya melakukan kenakalan-kenakalan biasa khas anak remaja, mungkin aku masih bisa menerimanya. Tapi dia telah melangkah terlalu jauh dan melakukan sesuatu yang tak seharusnya dia lakukan. Sesuatu yang sangat dilarang Allah dan akan mendapatkan dosa besar. Sesuatu yang bernama "zina."
Saat aku mendengar langsung dari mulutnya, aku terkejut. Aku tertegun tak percaya lalu gamang tanpa bisa memikirkan apapun. Aku shock mendengarkannya karena aku tak pernah menyangka bahwa dibalik jilbab yang selalu dia kenakan ternyata dia menyimpan masa lalu yang suram.
Aku memang menjalin hubungan dengannya. Dan aku berniat melamarnya. Aku begitu terpesona, bukan hanya karena wajahnya yang cantik, tapi juga karena dia memiliki akhlak dan prilaku yang menuruku sangat baik. Dia juga taat beribadah. Dan selama menjalin hubungan denganku, tak sekalipun aku mendengar sesuatu yang buruk tentangnya.
Tapi aku tak tahu harus berkata apa. Kenyataan tentang masa lalunya menggamangkan hatiku. Aku kini mendadak bimbang dan ragu dengan niatku semula.
"Adik tahu bahwa apa yang adik lakukan dulu adalah sebuah dosa besar. Dan adik ingin bertobat memohon ampunan Allah. Tak bisakah abang juga memaafkan adik untuk membuat hati adik sedikit tenang? "
Aku hanya diam. Tak ada yang perlu dimaafkan karena dia tak pernah berbuat salah padaku. Mengakui dengan jujur apa yang menjadi masa lalunya sebelum menerima lamaranku adalah sebuah keberanian yang luar biasa dari seorang gadis yang memiliki masa lalu yang gelap.
Seharusnya aku menghargai itu. Tapi entah mengapa aku tetap diam tanpa tahu harus berkata apa.
Dia menghela nafas pelan. "Mungkin beginilah nasib seorang wanita yang telah kehilangan kehormatannya. Bukan karena telah menikah dan berstatuskan janda, tapi karena pernah melakukankan sesuatu yang tak seharusnya dilakukan sebelum menikah... "
Aku melirik kearahnya. Mungkin mudah bagiku untuk menerimanya jika dia kehilangan keperawanannya karena suatu kejadian yang tidak dia inginkan. Atau menerima dia dengan status janda akan mudah bagiku. Tapi mendapatkan kenyataan bahwa dia telah...
Akh.... Aku benar-benar tak tahu harus berkata apa.
"Sungguh berbeda dengan laki-laki. Tak ada yang mempermasalahkan jika seorang laki-laki itu masih perjaka atau tidak. Tidak akan ketahuan jika laki-laki itu pernah melakukannya sebelum menikah atau tidak. Tapi tidak untuk wanita karena laki-laki akan selalu menuntut kesempurnaan pada diri seorang wanita. Terutama dalam hal keperawanan. Tak mudah bagi seorang laki-laki untuk menerima wanita yang telah kehilangan keperawanannya sebelum menikah dengan hati ikhlas. Itulah ego seorang laki-laki... "
Aku diam merenungi perkataannya. Tak ada yang salah dari ucapannya. Laki-laki memang diciptakan dengan 99persen ego dan 1persen perasaan dalam dirinya. Sedangkan wanita diciptakan dengan 99persen perasaan dan 1persen ego. Itulah yang membedakan antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Laki-laki akan selalu menggunakan egonya berupa amarah, kesedihan, kebencian bahkan cinta dalam bentuk emosi yang berlebihan. Laki-laki akan cenderung untuk menggunakan emosinya yang terkadang melebihi akal pikirannya.
Tapi ego juga dibutuhkan laki-laki untuk menunjukkan kewibawaan mereka.
Sedangkan wanita akan selalu menggunakan perasaan dalam setiap amarah, kesedihan dan cinta mereka. Bahkan dalam membina sebuah hubungan, mereka cenderung menggunakan dan mempercayai perasaan daripada akal mereka. Mereka akan mudah sekali tersentuh hatinya, sedih, menangis dan mengeluarkan air mata pada sesuatu yang menyentuh hati dan perasaan. Mereka cenderung cengeng, lemah dan takut jika mereka melukai dan mengecewakan perasaan pasangannya. Itulah kelemahan terbesar mereka yang sering dimanfaatkan lawan jenisnya. Namun kelemahan itu pulalah yang menjadi kekuatan terbesar mereka karena itu membuat mereka menjadi satu-satunya makhluk yang istimewa karena mereka memiliki kelembutan, kesabaran yang mengagumkan, ketabahan dalam menghadapi persoalan yang mereka hadapi dan sifat menyayangi yang tulus yang ada bersama keanggunan yang mereka miliki.
Tapi satu hal yang harus diingat, bukankah agama kita telah mengatur hukuman bagi orang-orang yang melakukan itu dengan kesadaran? Bahwa hukuman cambuk 100 kali dan "dibuang" selama setahun dari tanah kelahiran merupakan hukuman yang telah tertulis dalam hukum agama?
Tapi hampir tak mungkin melakukan hukuman itu di jaman ini. Akan menjadi sebuah perdebatan akan sebuah pelecehan jika hukuman cambuk itu dilakukan. Terlebih lagi didepan umum. Dan "membuang" seseorang dari tanah kelahirannya juga bukan sesuatu yang gampang di jaman yang penuh dengan ujian ini. Bahkan seseorang yang mengerti agama pun tak akan mudah untuk menjalankan hukuman itu. Saat ini bagi mereka, menyelamatkan muka dan status lebih berarti daripada azab Allah nanti. Bahkan menikahkan anak disaat hamil juga sudah menjadi sesuatu yang lumrah dan biasa. Bahkan hampir memasuki tahap "dimengerti" meski mereka tahu itu tak boleh dilakukan.
Tapi bukankah salah satu ketentuan dari para pelaku zina adalah mereka diharuskan menikah dengan pasangan zina mereka? Tak seharusnya mereka menikah dengan orang lain.
Tapi dia tak mau menikah dengan laki-laki pasangan zinanya. Karena dia sudah tidak mencintai dan tidak menginginkan laki-laki itu lagi. Karena laki-laki itu ternyata adalah laki-laki yang tidak bertanggung jawab dengan apa yang telah mereka lakukan. Karena laki-laki itu telah menyakitinya, lahir maupun batin. Lantas apakah dia harus tetap menikah dengan orang yang telah menyakiti dan tidak dia cintai lagi itu?
Dan aku hanya membisu dengan pikiran yang entah mengapa kini membebaniku. Haruskah aku tetap bertahan dengan pengetahuanku ini? Bahwa agama telah mengatur hukum dan aturannya walau manusia tak selalu mentaati Nya.
Dia kini telah bertobat menyadari kekeliruannya dan mencoba untuk kembali ke jalan yang benar. Seharusnya jika aku benar-benar menginginkannya, tak sepatutnya aku menghukumnya dengan memandang pada masa lalunya. Dia, dengan kejujurannya, mau mengatakan semua yang pernah terjadi dalam hidupnya sebelum kami melangkah lebih jauh. Dan itu bukan sebuah perkara yang mudah untuk dilakukan, bahkan untuk seorang laki-laki yang selalu ingin terlihat gagah dan perkasa didepan seorang wanita sekalipun.
Mungkin benar bahwa saat ini egoku lebih besar. Saat ini, pengetahuan akan agama tak lebih dari sekedar alasan dan penghibur dari rasa kecewa akan semua kenyataan ini.
Tapi aku memiliki alasan untuk mempertahankan egoku. Dan aku rasa alasanku ini masuk akal dan bisa diterima, bukan hanya untuk kaum Adam tapi juga kaum Hawa!
Apa yang diinginkan seorang wanita pada pasangannya? Cinta! Lalu apa yang membuat seorang wanita mau dan rela memberikan kehormatannya pada kekasihnya walaupun mereka belum menikah? Cinta! Lalu apa yang membuat seorang wanita mau bertahan walaupun dia disakiti? Cinta!
Akan ada banyak penyanggahan dan bantahan jika kukatakan bahwa wanita hanya mementingkan nafsu mereka, walaupun sebenarnya mereka juga memiliki nafsu saat pertama kali mereka melakukan itu. Karena berbeda dengan laki-laki, wanita lebih bisa menahan nafsu mereka dan menyembunyikannya. Itu ku akui.
Lalu apakah aku salah jika akhirnya aku kecewa karena dia telah memberikan "cinta" nya itu pada orang lain dengan cara yang salah? Apakah aku tak boleh kecewa karena aku tak mendapatkannya? Saat wanita pertama kali melakukannya, mereka meletakkan cinta, kepercayaan, kasih sayang dan seluruh jiwa dan raga mereka pada kekasih mereka. Mereka percaya bahwa kekasih mereka akan setia dan menjaga semua yang telah mereka berikan itu dan berharap akan kekal abadi selamanya. Lalu salahkan jika aku merasa kecewa, hampa, kosong, gamang dan sedih saat mendapatkan kenyataan bahwa aku bukanlah orang pertama yang mendapatkan semua itu? Bahwa semua itu ternyata telah dia berikan pada kekasihnya dulu, dengan cara yang salah pula.
Dia kini menangis. Air mata mengalir di pipinya bersama isak tangis yang terdengar lirih mengundang keharuan hatiku. Dan ketika mata kami saling bertemu, aku menangkap sinar kesedihan dan keputus-asaan dari matanya yang menginginkan pengertian dan perlindungan dari seorang laki-laki dalam mengarungi hidupnya.
Tapi aku tetap diam tanpa mengatakan apapun.
Ego, kah aku?