Cerpen
Disukai
21
Dilihat
14,573
WANITA
Drama

Tak ada rasa takut yang pernah kurasakan selain dari rasa takut seperti ini. Dan tak pernah bisa kubayangkan seperti apa rasa takut yang membuatku gelisah tak tahu harus berbuat apa selain dari rasa takut seperti ini.

Entah sudah berapa jam aku gelisah disini. Berdiri, duduk, berdiri dan duduk lagi. Terdiam dalam perasaan menekan diri. Ingin melakukan sesuatu tapi aku tak tahu harus melakukan apa.

Jika rasa sakit itu bisa diberikan padaku, biarlah aku yang menanggungnya walau aku tak tahu dan tak akan pernah tahu seperti apa rasa sakit itu. Dan jika seluruh kekuatanku bisa kuberikan pada istriku, akan kuberikan semua untuknya walau kutahu kekuatanku tak akan cukup untuk mengalahkan rasa sakit itu.

Setidaknya semua itu lebih berguna daripada aku hanya menjadi seorang lelaki yang tak berdaya membiarkan istriku berjuang seorang diri. Setidaknya aku bisa melakukan sesuatu daripada hanya kebingungan dan diliputi rasa bersalah seperti ini.

Istriku pendarahan. Dan sekarang berada dalam ruang operasi untuk menyelamatkan nyawanya dan juga bayi yang ada dalam kandungannya.

Aku tak tahu mengapa ini bisa terjadi. Aku tak menyimak segala penjelasan keluarga istriku tentang kejadian yang menyebabkan istriku jadi seperti ini. Kepalaku mendadak penuh dengan pikiran yang tak bisa ku urai sedikitpun. Aku hanya berlari menuju ruang operasi secepat mungkin. Dan ketika aku tiba disana, aku dihadapkan pada pilihan yang semakin membuatku ketakutan.

Dokter mengatakan kalau istriku harus dioperasi. Dan mengabarkan padaku, jika harus menjatuhkan pilihan untuk kemungkinan terburuk, siapakah yang harus diselamatkan? Istrikukah atau bayi dalam kandungannya?

“Tapi semoga kami bisa menyelamatkan keduanya.”

Aku terpana tak tahu harus mengatakan apa. Jika ditanyakan pada istriku, jika dia yang menentukan pilihan, maka jawabannya sudah jelas, bayi yang ada didalam rahimnyalah yang harus diselamatkan daripada nyawanya sendiri.

Karena tak ada seorang wanitapun yang ingin bayi dalam rahimnya mengalami sesuatu yang mengerikan. Tak ada seorang ibupun yang ingin anaknya tiada sebelum terlahir didunia. Dan tak ada seorang istripun yang ingin menggoreskan rasa kecewa untuk suaminya.

Karena mereka para wanita, para calon ibu dan seorang istri, akan ikhlas memberikan nyawa mereka demi kebahagiaan orang yang mereka cintai. Mereka dengan tanpa ragu akan melakukan apa yang naluri kewanitaan mereka katakan tanpa harus berpikir panjang. Mereka akan mengorbankan nyawa mereka demi kehidupan baru sang anak didunia. Mereka akan menepikan rasa sakit pada perjuangan melahirkan seorang anak karena ingin memberikan sebuah kebahagiaan baru dalam rumah tangga demi seorang suami yang dicinta.

Karena itulah mereka diibaratkan laksana seorang pejuang syahid yang akan mendapatkan surga untuk perjuangan mereka itu. Mereka akan mendapatkan pahala istimewa yang bahkan untuk kami, kaum lelaki, tak akan pernah bisa mendapatkannya.

Karena sesungguhnya mereka adalah makhluk istimewa.

Tapi jika pertanyaan itu diberikan padaku, dan aku yang memberikan keputusan, maka aku akan menyuruh dokter untuk menyelamatkan istriku. Bukan, aku bukannya tak menyayangi anakku. Aku hanya terlalu mencintai istriku. Aku belum siap untuk ditinggalkannya sendiri didunia ini. Yang kurasakan hanyalah dalam bentuk cinta yang sudah terukir bersamaku didunia ini dengannya. Aku belum mengenal anakku karena dia belum terlahir didunia. Karena mungkin Allah belum menjadikan dia milik kami berdua. Dan mungkin karena Allah ingin menjadikan anak kami sebagai penunjuk jalan kami nanti disurga seperti janjiNYA. Karena kebahagiaan bersama anakku belum terwujud dan masih berupa harapan kebahagiaan semata. Tapi kebahagiaan bersama istriku sudah terukir dalam di hatiku dan tak akan pernah bisa tergantikan, didunia dan akhirat.

Mungkin aku terdengar seperti seorang lelaki yang egois yang hanya mementingkan perasaanku sendiri dan tak memahami apa yang mungkin menjadi keinginannya. Tapi bagiku, aku akan lebih mudah menerima dan mengikhlaskan kepergian anakku daripada seandainya aku kehilangan istriku. Karena mungkin Allah akan memberikan kami seorang anak untuk pelengkap kebahagiaan kami suatu saat nanti. Tapi aku tak akan pernah mendapatkan rasa cinta yang sama dari wanita lain seperti yang kurasakan dengan istriku saat ini.

“Tetaplah berdoa saat diri berada dalam ketakutan, kepanikan, cemas dan kebingungan tak berdaya. Karena doa tulus saat manusia berada dalam ketidakberdayaan akan didengar Allah. Dia akan memberikan ridhoNya, apakah itu menyenangkan atau menyedihkan hatimu. Semoga ridhoNya datang dalam wujud yang menyenangkan hati kita.”

Aku menoleh pada temanku yang duduk disampingku. Dia yang mengantarkanku kerumah sakit ini dari kantor karena dia tidak mau membiarkanku membawa kendaraan dalam kepanikan.

“Sesungguhnya wanita itu lebih kuat daripada kita kaum lelaki. Mereka bisa menahan rasa sakit sekuat apapun rasa sakit itu saat sedang berjuang antara hidup dan mati demi anak yang dicintai. Jika rasa sakit itu diberikan pada kita kaum lelaki, kita akan pingsan, tersadar, pingsan, tersadar lalu pingsan kembali karena tak sanggup menahan rasa sakit itu. Tapi mereka kuat karena mereka memiliki kelebihan yang Allah berikan untuk mereka. Mereka mendapatkan rahmat paling besar berupa kasih sayang dari Allah dalam wujud rahim yang ada di diri mereka. Karena itulah sumber kasih sayang yang memberikan kekuatan terbesar untuk mereka bertahan berjuang demi orang-orang yang mereka sayangi. Sesungguhnya mereka kaum wanita adalah makhluk yang luar biasa.”

Aku terdiam tak tahu harus berkata apa. Ketakutanku terlalu besar mencengkram hati membuatku tak mampu melakukan apapun. Bahkan untuk sekedar tersenyumpun.

Dan kini sang dokter kembali menemuiku membawakan berita yang menyenangkan hatiku, istriku telah selamat dioperasi dan kini kondisinya telah stabil.

Aku langsung meghambur kedalam begitu dokter mengizinkanku menemui istriku. Aku berdiri terdiam menatap istriku yang terbaring lemah dengan selang infuse dihidungnya. Matanya masih terpejam dengan dadanya yang bergerak pelan turun naik membuatku tak kuasa menahan airmata.

Kini hilanglah rasa takutku. Tercabut hilang bersama hadirnya seluruh kekuatan yang ingin kuberikan untuk istriku. Hilang lenyap dari diriku, membuat kedua kakiku tiba-tiba menggigil dan tak mampu lagi menopang tubuhku. Dan akupun terjatuh berlutut dipinggir ranjang istriku. Tanganku meraih tangan istriku dan menciumnya berulang kali.

“Abang….”

Aku mengangkat wajahku dan menatapnya yang kini tersadar.

“Anak kita. Bagaimana dengan anak kita?”

Aku kembali menatapnya lekat-lekat. Inilah yang pertama kali akan dilakukan setiap wanita kala berada dalam posisi istriku. Bahwa pertanyaan yang pertama kali terucap dari bibirnya adalah tentang keadaan anak kami. Mereka para wanita seolah tak memperdulikan kondisi tubuh mereka. Mereka akan mendahulukan orang yang mereka cintai daripada diri mereka sendiri.

Aku tersenyum mencoba menenangkannya. Dan kurasa senyum itu juga menenangkanku.

“Ada dimana anak kita, abang? Apakah dia selamat? Dimana dia?”

Baru saja aku mau mengatakannya ketika seorang perawat datang sambil menggendong seorang bayi mungil dan memberikannya padaku.

Aku menerimanya sambil mengucapkan terima kasih. Lalu memperlihatkannya dan meletakkan bayi itu disamping istriku.

“Perempuan. Anak kita perempuan.”

Hanya itu yang terucap dari bibirku.

“Alhamdulilah. Terima kasih ya, Allah. Terima kasih….” Kata istriku sambil mencium anak kami.

Aku hanya diam memperhatikan istri dan anakku. Air mata mengalir pelan dipipiku. Ketakutan yang tadi menyerang hati kini hilang berganti dengan kebahagiaan didada.

Terima kasih ya, Allah. Terima kasih karena Engkau memberikan ridhoMU yang menyenangkan hati kami….


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)