Masukan nama pengguna
Walid dikenal sebagai lelaki paling beruntung sekecamatan. Usahanya maju, rumahnya besar, istrinya... empat.
Tapi apa yang dilihat orang luar cuma lapisan gula. Di balik pintu rumah mewah itu, hidup Walid lebih mirip acara gladiator daripada sinetron romantis.
Salma, istri pertamanya, perempuan keras kepala dengan mulut setajam golok. Ia merasa paling berhak atas segalanya — sebab katanya, dialah yang menemani Walid dari zaman cuma punya motor butut dan sandal jepit bolong.
Setiap malam, tanpa absen, Salma menyindir Walid dengan kalimat favoritnya, "Kalau bukan aku, kamu tuh udah jadi tukang parkir, Lid!"
Istri kedua, Nisa, wajahnya manis seperti kue tart — tapi isinya? Penuh jebakan dan adu domba. Dia ahli dalam mengipasi api permusuhan antara Salma dan Laila, si istri ketiga. Konon, di dapur, bisik-bisik mereka lebih panas dari kompor gas.
Laila, yang ketiga, perempuan muda penuh ambisi, bawaannya cemburu. Pernah sekali, gara-gara Walid telat pulang sepuluh menit dari rumah Nisa, Laila melempar piring terbang tepat ke kepala Walid — yang untungnya cuma kena jidat, bukan muka.
(Piringnya pecah, harga dirinya juga.)
Dan Hana, si bungsu, si polos penuh air mata. Tiap hari Hana menangis kayak hujan bulan Desember. Kadang Walid bingung, ini rumah tangga atau taman air?
Empat istri. Empat sumber ledakan. Walid? Hanya korban nasib, berdiri di tengah kekacauan sambil berharap ada tombol reset.
Suatu hari, badai itu benar-benar meledak.
Walid baru pulang dari perjalanan bisnis. Baru juga narik koper ke dalam, suasana rumah sudah kayak pasar malam lepas kontrol:
Salma teriak soal harta gono-gini,
Nisa menuduh Walid pilih kasih kayak guru TK,
Laila ngambek sambil bawa tas ransel, mau kabur ke rumah ibunya,
Hana... ya, Hana menangis sambil peluk bantal.
Walid berdiri di ruang tamu, napas ngos-ngosan, kepala berasa mau meledak.
Dengan sisa tenaga, ia berteriak, "Gue manusia, bukan dewa! Gue cuma pengen pulang ngerasain damai, kenapa itu kayak mimpi?!"
Teriakannya bukannya meredam keadaan, malah kayak bensin disiram ke api unggun.
Teriakan makin ramai. Kata-kata berseliweran kayak lemparan bom di medan perang.
Malam turun, rumah akhirnya sunyi... tapi bukan karena damai. Karena capek berantem.
Walid terduduk sendirian di sofa, diselimutin taplak meja karena semua selimut diangkut Laila. Sambil ngemil biskuit sisa lebaran, dia melamun.
Di atas meja, ada surat cerai dari Salma — ditulis tangan, lengkap dengan emoticon marah di pojokan kertas.
Walid menghela napas panjang.
Dulu dia kira membagi cinta itu gampang, kayak bagi nasi kotak.
Dulu dia pikir adil itu semudah bikin jadwal piket.
Ternyata, cinta yang dibagi-bagi... kayak kue tart kena rebutan anak TK, berantakan, berujung nangis massal.
Sambil menyeruput teh tawar yang rasanya kayak air kolam, Walid menulis catatan di ponselnya:
"Kalau mau punya istri banyak, siapin juga mental sekuat baja, jidat setebal triplek, dan stok Panadol satu dus."