Cerpen
Disukai
2
Dilihat
10,223
Perwakilan rindu di pelupuk mata
Romantis



 

 Perwakilan rindu di peluk mata

 




Terperosok dalam kesia-siaan, kehilangan minat untuk menjalani soal percintaan, apa artinya hidup tanpa kisah kasih cinta. Apa arti cinta sesungguhnya?

Aku belum memahami konsep itu, membuat kepala berkecamuk menginginkan rasa itu. Tanpa sadar langit sore akan berganti, membiarkan bulan yang akan muncul menemani malam, ini pertanda bahwa harus lekas pulang.

 

Lalu, aku menutup buku bacaan dan bangkit dari duduk di kursi besi panjang berwarna biru yang ada di taman Buana (bualan belaka).

 

Tanpa harus mengisi perut, aku langsung saja merebahkan tubuh, karena kasur yang seakan merindukan sentuhan, bantal pun begitu. Belum lagi kelopak mata terasa berat , tanpa sadar mata ini terpejam. Tertidur pulas.

 

“Cahyani?”

Suara itu terdengar dari luar kamar.

“Iya, bu,” balasku.

 

Mata yang berat menyipit melihat jam di atas nakas sudah pukul 8 pagi membuat aku terbelalak. Lalu, beringsut turun dari kasur lekas membuka pintu.

 

“Ibu mau ke mana?” tanyaku melihat ibu di balik pintu itu yang layaknya berpakaian pergi keluar rumah.

“Ibu mau ke pasar? Mau nitip apa?”

“Aku nitip jeruk, Bu!” seru Ardian kakakku dari ruang keluarga sedang asyik mengalunkan nada lewat piano yang dijamahnya.

“Ibu kan enggak nanya sama kakak. Huft,” balasku seraya membenarkan kaca mata yang merosot dari hidung pesek yang mungil.

“Sudah-sudah, iya nanti ibu belikan,” balas ibu dengan nada lembut. “Kamu, Cahyani?”

“Aku apa ya bu? Kalau buku boleh enggak?” tanyaku.

“Emang di pasar ada jualan buku?”

Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, “Iya, sekalian ibu mampir ke toko buku. Bukankah ke pasar ibu melewati toko buku.”

Ibu hanya menganggukkan kepala.

 

Begitulah kedekatan keluarga sederhana kami, meski kakak Ardian sering usil, mungkin karena sifatku yang terlalu manja dan cengeng. Tapi, kakak yang selalu membantu untuk mengerjakan tugas dan melawan siapa pun untuk melindungi adiknya yang cute ini di sekolah.

 

Keesokan harinya aku ke sekolah berjalan dengan mendekap buku di dada. Yups, buku baru yang di belikan ibu.

 

Di sela waktu belajar yang paling tidak aku suka, yaitu olahraga. Mata ini tak sengaja melirik seorang cowok yang sekelas kakakku yang bernama Angga. Jelas aku mengenalnya dia adalah anak populer di seantero SMA ini. Siapa yang tidak mengenalnya, dia juga anak dari pemilik sekolah, jangankan anak baru seperti saya, tukang becak, tukang somay, ibu kantin di sekolah pun mengenalinya. Tapi, kabarnya dia itu arogan dan seenaknya sendiri.

“Hai, kutu? Kamu anak kelas 10 apa?” tanyanya.

 

Jantung seakan berhenti sejenak. Aku menelan ludah susah payah, “I-i-iya kak, namaku b-bukan kutu, ta-tapi Cahyani, d-d-dan aku kelas 10 b.”

 

Belum sempat Angga membalas, kakakku datang menghampirinya.

“Ini adekku, kalau cari mangsa jangan dia. Kamu berurusan denganku.”

 

“Widih, galak amat, kok enggak pernah bilang kalau punya adik seimut ini.”

 

Lalu, kakakku meninggalkan tempat ini diikuti Angga di belakangnya.

 

Sudah cukup lama bel sekolah telah berbunyi, aku duduk di halte depan sekolah menunggu kak Ardian menjemput. Entah kenapa hari ini cukup berbeda tidak seperti biasanya kakak selalu menjemput di depan kelas, sekarang harus duduk di halte sampai 1 jam lamanya.

“Cahyani, naik,” suruh Angga di dalam mobil.

Aku mengerutkan dahi, lalu menggelengkan kepala tanda menolak.

 

“Yakin! Adrian yang nyuruh jemput kamu,” bujuknya menyeringaikan bibir.

 

Aku menatap langit yang mulai menjingga, meski penuh keraguan dengan enggan aku menerima pintanya.

 

Waktu berlalu, semenjak hari itu aku dan Angga semakin dekat, bukan hanya setiap pulang sekolah aku diantar dirinya tapi dirinya juga melindungiku dari gangguan anak sekolah yang menjahiliku, katanya “Tidak ada yang bole menjahiliku selain dirinya.”

 

Tak dapat disangkal kedekatan itu terkadang menjengkelkan untukku, karena Angga selalu senang melihatku cemberut karena kesal oleh tingkahnya. Meski begitu aku juga sering tertawa oleh candanya yang konyol, ternyata dia tidak seperti yang kukira. Arogannya runtuh berkeping-keping melainkan dirinya terkadang seperti komedian Sule.

 

Terkadang jua pikiranku terbesit tanya, apakah ini rasanya cita rasa cinta?

 

Pagi ditemani mentari, malam dihiasi bulan dan bintang, hari terlewati aku dan Angga tidak pernah bertemu lagi, bukan karena takut, marah, atau benci melainkan dirinya sudah lulus sekolah, dan aku kini kelas 11 Ipa 2.

 

Sesaat aku terdiam, tiada lagi orang yang menemaniku, tiada lagi yang sering menjahiliku, mungkin aku tidak akan lagi bertemu dengannya karena dirinya kuliah di luar Negri, berita itu aku dengar dari kakakku.

 

Bel pulang sekolah berbunyi, sekarang aku menunggu di halte sendiri, terkadang aku teringat masa itu, di mana masa saat pertama kali Angga menghampiriku dan pulang bersamanya. Ingin aku berlari sekencang-kencangnya berlari ke ruang waktu masa lalu, di mana aku menikmati setiap inci bersamanya, rasa bahagia itu sangat susah terdefinisikan oleh kata yang sudah kususun serapi mungkin.

 

Aku seketika terbelalak melihat kendaraan yang sama persis seperti mobil milik Angga kendarai menghampiriku. Tapi, itu mustahil seperti kambing yang menjadi hewan karnivora.

 

Saat mobil itu berhenti di hadapanku, mataku tergerak memperhatikan kaca pintu mobil itu yang terbuka perlahan, dan ada kepala yang menyembul.

 

“kutu, ayo naik,” ajaknya dengan senyum menyeringai.

Jantungku seakan mau copot tidak percaya, dengan apa indra mataku lihat bahwa wajah lelaki yang kupikirkan tertangkap dari pandanganku.

“Malah, bengong! Jangan mikir negara,” candanya terkekeh.

 

Ingin aku menjawab dengan apa yang aku rasakan, bahwa aku memikirkan dirinya. Air mataku penuh di pelupuk mata, tak terasa menetes jua. Mungkin air mataku perwakilan dari rinduku. Namun, kuusap dengan cepat, dan aku mengulas senyum dan menaiki mobil itu, seperti itulah bayang – bayang dalam pikiranku. Harapan setiap pulang dari sekolahku.

Embun pagi membawa sejuk menyentuh jiwa. Dinginnya masih terasa meski mentari hangat telah menyapa. Kicau burung temani diriku dari sunyinya suara manusia. Suasana taman Buana kian ramai oleh dersik yang menyapa rerumputan. Perlahan namun pasti mentari menerobos celah lebatnya pohon yang rindang, menyinari aku yang berteduh sambil membaca di bawahnya.


Dalamnya cinta yang kupunya, menikam hati, dan menusuk sampai dasar. Aku terduduk bersimpuh menangis, dan memeluk bayang, aku tahu, kebaikan gak selamanya menemukan jalan yang lapang.


Sambil bersenggukan menangis, dan dalam hati aku berkata "Apakah kau merasakan yang sama?"

Diriku sempat berangan bertemu dengan Angga di sini. Senyum hangatnya bahkan mengalahkan sang surya. Jelas ada rindu yang datang ketika memori tentangnya kembali berputar. Sedari itu aku menyadari soal percintaan aku berada di titik terendah. Sepertinya aku tidak ingin mengenal cinta, tapi di sinilah aku mendapat pelajaran dari setiap kisahnya, kita tidak bisa berharap lebih terhadap manusia, karena akan menuai kekecewaan, dan aku juga tidak lupa menyelipkan dirinya di setiap doa saat aku bersujud, bila dirinya memang takdirku kelak pasti aku dan dirinya akan bersama hingga surga.

 

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)