Masukan nama pengguna
Sebatang Kara
Gunung yang menjulang cantik sangat terlihat dari rumah papan bergaya kuno, sedikit reyot. Yaps, itu rumah dimiliki keluarga yang sederhana.
“Langit, kalau gak ada duit jangan melamun entar kesambet. Kasian bapakmu, gak ada biaya buat berobat."
Kuambil batu kerikil untuk menyumpal anusnya, agar dia yang duluan berobat. Tapi, meski gak sekolah tinggi, lulusan SMA dua tahun lalu, aku selalu diajarin etika. Olokan itu kubalas senyuman. Jika mata dibalas mata, dunia akan buta.
Langit Pertama nama lengkapku, nama yang diberikan oleh orang yang melahirkanku katanya nama ini perwakilan dari semua mimpinya yang tinggi. Setinggi langit.
Tinggi tapi sederhana. Mimpi hidup berkecukupan, bahagia, dan tenteram, karena untuk saat ini hidup keluarga kami tergolong perekonomian rendah dengan gaji tak seberapa upah kerja sebagai buruh tani biasa.
Tak heran jika dipandang sebelah mata di lingkungan sekitar. Aku hanya bisa melewati hari dengan usaha dan diiringi doa yang selalu dipanjatkan ke langit.
Terkadang terbesit membenci diri sendiri yang tidak bisa berbuat banyak saat lintah darat menagih hutang ayah. Hati hancur saat lintah darat memaki keluarga kami.
“Kalau gak bisa bayar hutang, jangan ngutang, makan masih susah gaya-gayaan utang, itu punya anak bujang juga cuma nganggur,” katanya yang terus terngiang-ngiang.
Apa lagi kalimat ‘nganggur’ seolah aku hanya manusia bodoh yang pasrah tanpa melakukan usaha sedikit pun. Seolah aku manusia tanpa episode bahkan tak bernyawa. Padahal aku juga berusaha untuk mencari cuan lebih, seperti menulis di platform online.
Belum lagi ocehan tetangga, bahkan teman yang tak bersahaja, di mata mereka kami hanya orang malas, tak bisa bekerja. Mungkin mengenal keluarga kami, akan membuat susah mereka saja. Begitu kejamkah dunia. Keangkuhan dunia memang menempah mental untuk tumbuh kuat setiap harinya.
Meski begitu, aku bagi mereka adalah harta, cinta mereka tak pernah pudar, dan itu yang membuatku selalu istimewa.
Titik terendahku pada saat terumbang – ambing oleh keadaan, di mana hari yang tidak aku inginkan, menelan realita yang pahit.
Aku terdiam, tak mampu menjelaskan bahkan air mata seakan kering melebihi keringnya gurun pasir yang gersang. “Apakah Tuhan lebih sayang terhadap ayahku dan Tuhan merindukannya."
Detik berlalu, jam berjalan, dan hari berganti aku hidup di rumah reyot berdua dengan ibu.
Aku menghela napas pelan, perlahan mencoba damai dengan garis takdir. Meski rasanya langkah gontai untuk melanjutkan hidup ini. Kini hanya Ibu yang bisa membuat tetap bertahan menerpa panasnya matahari, dan gelapnya malam yang dingin.
Ibu adalah sumber cinta yang tak pernah kering, penuh dengan pengorbanan tanpa pamrih. Dalam setiap langkah hidup, jejak cintanya terpatri dalam setiap keberhasilan dan kesulitan. Ia adalah teladan sempurna tentang ketabahan, kebijaksanaan, dan kasih yang tak terkalahkan.
Dalam pelukannya, terdapat kehangatan yang mengusir dinginnya dunia. Dalam nasihatnya, terdapat kebijaksanaan yang membimbing perjalanan hidup. Ibu, penuh dengan kesabaran dan kekuatan, sosoknya yang selalu siap menyemangati, mendukung, dan melindungi dengan sepenuh hati.
Kasih sayangnya tak pernah kenal batas dan akan terus memancar, menjadi sumber kekuatan yang menginspirasi, memperkuat, dan menenangkan hati. Ibu adalah cahaya dalam kegelapan, tempat untuk kembali saat hati terluka, dan tiang yang kokoh di saat badai kehidupan melanda. Ibu, segalanya bagiku.
Aku mengerti, jalan hidupnya tidak mudah. Membesarkan seorang anak dengan tanggung jawab menjadi ibu dan ayah sekaligus di usianya yang kala itu sudah tidak muda pasti sangat menghancurkan hatinya. Kakek dan nenekku jauh di sana, kami juga sudah lama tak berkunjung ke sana, karena faktor ekonomi. Sepertinya kali terakhir kami berkunjung, saat ayah masih ada.
Seperti jalan hidup ibuku yang tak mudah, maka dari itu aku terus berupaya mencari cela untuk tetap bisa menopang beban berat keluarga kami.
Namun bersama ibu, hidupku adalah sebuah kebahagiaan meski hanya untuk sebuah seyuman, hidupku adalah keindahan untuk setiap kebahagian yang dia rasakan dan hidupku adalah hidupnya karena aku bersamanya. Ibu ... ijinkan aku melangkah dengan doa, ijinkan aku tersenyum tanpa air mata, dan ijinkan aku untuk membahagiakanmu kelak. Tapi...
Malam yang tak pernah aku lupakan tiba, saat ibu datang ke kamarku, di sana aku baru saja selesai menulis sebuah cerita, jari terhenti saat menekan tombol upload.
"Maafkan ibu, Nak. Tak bisa memberikan kehidupan layak, membuatmu seperti anak di luar sana."
"Aku yang meminta maaf, Bu ... Ibu tak pernah salah, kasih sayangmu sudah lebih cukup dari segalanya."
Air mata seketika menetes bersamaan tetesan air di luar rumah, ternyata malam itu malam perpisahan. Pelukkan malam itu memang berbeda dan erat sembari membisikkan kata ‘maaf’ berulangkali. Petang hari yang sendu akibat hujan yang tak henti, ibuku menghembuskan nafas terakhirnya. Ibuku terkena penyakit jantung atau stroke.
Selepas kepergian ibu, aku berantakan. Aku hancur sehancur-hancurnya. Mengurung diri di rumah dengan berbotol-botol alcohol dan berbungkus-bungkus sigarette upaya bius agar menahan kembali rasa luka yang belum kering itu ditambah sayatan lagi. Terjatuh di lubang yang sama, merasakan kehilangan yang kedua kalinya. Ibu menyusul ayah.
Tak ada yang menyemangatiku, dalam nasehat dan kasihnya pergi tanpa memperdulikan anaknya tiada persiapan, tiada iba bagaimana hidup tanpa dirinya kelak yang terbiasa ada ibu kini harus melakukan sendiri, tiada penyemangat dan teman lagi. Aku sebatang kara.
Tidak ada lagi yang sayang kepadaku, tidak ada lagi yang peduli, aku haus kasih sayang, sejauh apa pun aku melangkah, sekuat apa pun berdoa, mereka tidak akan kembali, hanya bisa berdoa agar mereka diterima di sisi-Nya.
Hari baru,
Lembaran baru, tak ingin merasakan kesedihan yang semakin larut Dunia terus berputar tak akan menunggu. Dengan percaya diri aku mencoba membuka usaha berjualan pempek dan kerupuk yang dititipkan ke warung-warung. Mungkin hanya ini usaha yang mampu dijalani sekarang, daripada hanya berdiam diri meratapi nasib.
Langit malam, menjadi temanku. Iya! Langit berteman dengan langit. Begitulah isi kepala saat tubuh berbaring di atas ranjang tidur yang hanya beralaskan tikar.
Di malam saat terjaga, aku bermimpi bertemu dengan kedua orang tua. Aku memeluk mereka dengan erat penuh dengan dekapan kerinduan. Air mata yang tidak dapat terbendung dikelopak mata, jatuh, jatuh, dan jatuh.
Ibu tersenyum dan berkata, “Selamat menjalani hidupmu. Hidupmu baru di mulai, Nak! Semangatlah dalam harimu dan berdoa, ibu dan ayah selalu ada untukmu dalam keadaan apa pun dirimu. Hanya saja kita terpisahkan ruang dan waktu.”
“Lelaki tak boleh menangis," tambah ayah dengan nada bernyanyi seraya tangannya mengusap rambutku.
Dari mimpi itulah aku mulai menyemangati hidup sendiri, dan seperti hidup kembali penuh dengan warna semangat baru. Setiap pagi yang dilalui dibuka dengan senyuman seindah mentari, karena Tuhan lebih mengetahui yang terbaik. Kita bisa meminta yang terbaik namun semua yang menurut kita terbaik belum tentu baik, karena jangkauan pikiran manusia terbatas dan kembali lagi dengan-Nya yang segala maha.