Cerpen
Disukai
3
Dilihat
4,687
Gadis Gila dan Ajal
Misteri

 

Gadis Gila

 





Terkadang membayangkan hal mudah itu merepotkan dan hal rumit itu begitulah mudah. Bicara membayangkan, pernahkah membayangkan bahwa 'kata' adalah pelecehan. Menuduh seseorang berbuat yang belum tentu benar adanya bisa membuat orang itu terkena gangguan mental karena merasa tertekan. Sementara wanita itu sedang berjuang sendiri melawan apa yang dirasakan. Sebenarnya dia tidaklah menggubris, tapi kita tidak tahu seberapa kuat kesabaran seseorang apalagi kesabaran manusia biasa.

 

Wanita itu termangu, kenapa setiap yang dilakukannya selalu dipandang buruk, bahkan untuk menyisir rambutnya saja, dinilai mencari perhatian untuk menarik pelanggan. Kini pikirannya melayang ke masa kecilnya dulu.

 

Seorang gadis kecil mengayunkan sepedanya, rambutnya panjang tergerai itu tertiup angin yang berlawanan dengan arah tujuannya.

Wajahnya cerah, terlukis senyum di bibirnya, dia terlihat sangat bahagia. Karena hari ini mendapat nilai sempurna di sekolah. Namun, seketika keadaan membuatnya berubah. Sepedanya terhenti karena suatu suara.

 

“Khadijah, khadijah, khadijah!” suara lelaki tua menggema di indra pendengaran gadis itu.

 

Gadis kecil itu terdiam dibuatnya, sekarang tangan dan tengkuknya gemetaran dibuatnya mengikuti bibir yang bergetar di awal.

 

Anak kecil itu pikirannya tidak tenang, apa alasan orang tua ini memanggilnya, padahal ia tidak mengenalinya. Sementara pria tua itu menatapnya dengan tajam, setajam pisau dapur.

 

Tanpa aba-aba pria tua itu memeriksa saku celana anak kecil itu, jelas saja anak kecil itu menangis seketika.

 

"Kau pencuri, orang tuamu miskin, liat pakaian dan sepedamu yang jelek ... pasti kau pencurinya?" desak pria tua itu.

“B-bukan,” balasnya sela tangis.

“Kau mencuri untuk membeli sepeda baru, atau membeli crayon.”

 

Pria tua ini berperilaku sepihak, tanpa mengenal siapa gadis kecil itu dan latar belakang keluarganya. Karena dirinya merasa paling mulia dan pendapat dipikirkannya benar adanya. Dirinyalah yang benar perbuatannya. Tanpa memikirkan hati gadis kecil yang lemah tak berdaya itu.

 

Menangis.

 

Gadis kecil itu hanya bisa menangis dia tahu bila dia memberontak pun tidak menghasilkan perlawanan yang berarti.

 

Pria tua itu mendengus kesal, tidak mendapat apa yang dia cari, tapi tatapan benci dari matanya sangat terpancar bahwa dia tetap akan menghakimi gadis kecil ini. Karena pikirannya yang benar dan maha benar, maha mulia, maha benar, maha dari segala maha. Pokoknya dia yang paling MAHA. Tak satu helaan napas pun kesalahan dihidupnya, dia lah yang benar. Mungkin harus mencium pantatnya biar tidak di salahkan. Dituduh-tuduh.

 

"Bila kematianku membuat hidupmu tenang! Dan hidupku mengusik hidupmu! Maka tembak lah kepalaku dengan itu aku mampu mati dengan senyuman! Daripada aku hidup dengan tidak tenang!" kata gadis kecil itu melebihi umurnya dan berlari dengan air matanya jatuh bersamaan rintik gerimis yang datang.

 

Apa hidup sekejam ini, dan ini bukan kali pertama untuk dirinya dipojokan, gadis kecil yang tidak menahu apa-apa, seakan tertekan dengan perlakuan yang dia dapatkan. Memang keluarganya broken home. Dia hanya tinggal bersama adik dan ibunya yang sering pulang di pagi hari dan tidak tahu persis pekerjaan ibunya. Dia sering bertanya kepada ibunya, pekerjaan apa yang ibu lakukan, karena di sekolah semua temannya kembangkan orang tuanya.

 

Khadijah hanya mendapat bentakan ‘Dunia ini kejam, lebih baik belajar tidak perlu mengetahui apa pekerjaan ibu, yang terpenting hidupmu tercukupi' hanya kalimat itu yang dia dengar.

 

Hingga kini perlakuan warga membuat dia dewasa menjadi seorang gadis yang terkena gangguan mental, salah satu besar kemungkinan pembullyan semasa kecil dan ia juga trauma pernah diperkosa, hingga membuatnya harus mengandung tanpa suami. Namun, semua orang bilang dia adalah pelacur.

 

‘Pelacur? Sepertinya dia menjual dirinya untuk suatu kebutuhan yang mendesak, karena dia hanya gadis miskin yang tidak berpendidikan?’

 

Kabar ini tersebar luas, ke semua telinga warga, pernah kah mereka bertanya dengan hatinya? Apakah itu benar?

 

Berdosa kah bila dia ingin menjawab, berdosa kah dia yang bercerita, berdosa kah dia untuk hidup, berdosa kah dia. Hanya langit yang menjadi saksi bisu, siapa dia.

 

"Khadijahhh!”

 

Pekik itu membuat dia menoleh malas. Meski rasanya masih setia dengan lamunan masa kecilnya yang menyedihkan. Wanita itu menatap acuh seorang pria paruh baya yang menghampiri.

“Kau telah 2 jam duduk di taman ini, apakah kau sudah mati rasa?” tanya pria paruh baya itu melihat sekujur tubuh wanita itu basah kuyup.

 

Wanita itu masih di permukaan bumi, sedang dihujani air dan rasa luka. Dia sedang meratapi nasibnya. Guyuran air hujan membasahi tubuh rampingnya semakin tampak. Kalau dia bilang hal yang paling indah, Hujan dan dia adalah racikan keindahan tersempurna parah meski dibumbui luka. Hanya baginya.

“Aku bisa menyukai hujan kala memaknainya dengan alur hidupku, dan hujan juga mampu menutupi air mata.” Wanita itu menghembuskan napas kasar, dia seperti enggan melanjutkan takdirnya kini.

 

Setiap harinya dia hanya bimbang, karena biasanya mengharap hujan luruh demi kisah bahagia yang dia tunggu-tunggu di jalan nanti. Tapi, melihat kenyataan tak menyukainya. Lelah.

 

Sungguh dia mulai menyukai air langit. Berjalan terus menembus hujan, tak butuh menunggu reda karena itu sama saja menunggu hadiah yang tak pernah ada. Bajunya basah kuyup bedaknya luntur bercampur air mata yang telah mengering seperti gurun pasir yang gersang.

 

'Kecuali kamu punya banyak uang dalam waktu singkat, maka semua akan percaya padamu. Bila kamu miskin kamu tetap tidak didengarkan.’ Itulah suara yang terus terdengar di telinganya.


Terbawa pikiran yang kusut, tanpa sengaja tubuhnya ambruk seketika. Dia tak sadarkan diri, di saat itulah bertemu sesosok manusia, duduk bersila di bawah salah satu pohon pisang membuatnya menelan ludah. Manusia itu terlihat tak waras, dengan pakaian berantakan persis seperti dirinya.

 

Khadijah berhenti melangkah, lalu putar badan. Di saat itulah ia mendengar orang itu bicara.


"Manusia hanya bisa menuduh tanpa alasan, menilai dirinya paling mulia dan benar, sementara perbuatan tercelanya terlupakan karena menilai orang lain lebih tercela daripada dirinya.” 


Wanita itu mengernyit heran. Percakapan itu terdengar waras sekaligus ganjil. Di balik punggungnya, orang itu tengah menyimpan ponselnya ke saku baju.


"Kamu mau ke mana, Khadijah? Kemarilah! Aku kawan lamamu." Khadijah terkejut setengah mati. Merasa penasaran, ia berpaling penuh selidik pada orang tersebut. "Bukankah kau telah dilukai oleh mereka?"


Mulanya hanya diam dan menyimak kata yang terlontar dari orang itu.


Orang itu kembali bertutur. Orang yang dulu menyelamatkannya telah mengenalkannya pula pada pelecehan, hinaan dan tuduhan yang tak lazim. Dia atau mereka yang sebagai orang gila. 


"Kamu tahu Khadijah? Bila kamu sendiri yang terus lemah, kamu akan terus seperti ini. Dan kamu tahu Khadijah? Bila kamu tidak berani melawan kamu akan memendam sakit itu lebih lama, atau kamu setidaknya memiliki kekuatan untuk penilaian buruk orang tentangmu." Orang itu terus bertutur. Matanya berkilat-kilat, mulutnya menyeringai.


Wanita itu gemetar hatinya. Kepalanya terasa berputar-putar oleh kata-kata orang ini. Semua terdengar gila baginya. Gila! Kenapa hanya dia dan Tuhan yang tahu tentang hidupnya.

 

Wanita itu menghela napas pelan, perlahan membuka kelopak matanya yang berat, tertangkap pandangan samar tubuhnya basah karena air hujan, dan cipratan air yang menggenang.

Seketika, dengan setengah sadar melihat sosok berwajah cerah dihadapannya berujar. “Sang Pencipta telah merindukanmu, cantik.”






 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)