Cerpen
Disukai
2
Dilihat
15,401
Kado untuk Ayah
Drama

Kado untuk ayah




 

 

Matahari hampir tenggelam di peraduan, yang terasa hangat. Namun belum sampai tujuannya. Cahayanya indah. Jingga membaur di langit luas. Jalanan tampak masih basah karena hujan siang tadi menambah suasana hangat yang selalu kurindukan. Otak masih ingat dengan sangat lekat, saat jam dinding di rumah menunjuk angka tiga. Ayah baru pulang dari pekerjaannya, membawa cangkul di tangan kirinya, dan menyandang tas sebagai isi makan siangnya. Memasuki gubuk kami yang reot, tidak pernah lupa beliau mengucap salam dengan nada yang riang. 

"Assalamu‘alaikuumm!"

Kala itu aku masih duduk di kelas lima SD. Aku telah menanti ayah. Namun, ada yang sedikit berbeda, ada lembaran kertas yang beliau bawa, tak biasa. 

“Walaikumsalam! Ayah baru pulang?” aku menjawab dengan bersemangat dan wajah berbinar. Aku curiga dengan kertas di tasnya. 

 

“Yah, itu apa?” tanyaku penasaran. Padahal ayah belum sempat menjawab pertanyaan sebelumnya. 

 

“Bukan apa-apa,” balas ayah singkat sembari menaruh lembaran kertas itu di dalam lemari bagian paling atas.

 

Aku yakin tujuannya supaya, tangan ini tidak bisa menjangkaunya.

 

“Bagaimana tadi sekolahnya, nak? Bisa tidak ngerjakan soal dari Bu Guru?” ayah mengalihkan pembicaraan.

 

“Bisa kok. Gampil!” balasku arogan lalu masuk ke dalam kamar. Hangga kecil adalah lelaki dengan rasa keingintahuan yang sangat tinggi. Dia akan mencari jawaban atas segala pertanyaan yang hilir mudik di kepalanya sampai ditemuinya! Apapun itu dan dengan cara apapun. 


Dari dalam kamar, aku menguping pembicaraan ayah dengan paman. Aku mendengar kata hakim, Jaksa dan persidangan diantara pembicaraan mereka. Aku sangat asing dengan kata-kata tersebut. Tapi satu kata yang aku tangkap dan aku samar-samar tahu maknanya, yaitu kata 'cerai'. 

Beberapa menit aku terus menguping, dan tanpa sadar meneteskan air mata. Hancur sudah hati. Apa yang aku takutkan terjadi pada akhirnya. 

Memang ibu sudah lama tidak serumah karena ibu harus bekerja di luar kota. Beberapa kali tetangga menggunjungi ibu, katanya menikah lagi dengan seorang pria yang satu profesi dengannya, bekerja di rumah sakit umum. Entah, itu hanya sebagai bumbu untuk menambah kehancuran keluarga kecilku atau memang benar adanya karena tetangga adalah salah seorang yang memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya tetangga, seseorang bisa saling tolong-menolong dan bekerja sama. Kendati demikian, tidak sedikit juga kesalahan yang biasa dilakukan oleh tetangga. Bahkan, menjadi kompor atau kesalahan yang terus diulang ini acap membuat aku sering merasa jengkel. Mungkin kata tetangga itulah yang menjadi alasan ayah bersikeras menggugat cerai ibu walau tanpa bukti yang kuat.

Aku juga semakin membenci ibu sejak mengerti perihal keadaan itu. Seandainya bisa memilih mati di dalam kandungan ketimbang terlahir sebagai anaknya. Itu karena ia adalah penyebab sehingga keluarga ini pincang. Hidup tanpa orang tua yang utuh.

Memori itu tidak akan pernah hilang dari ingatan, akan mengalir bersama aliran darah dan ikut bertumbuh tak akan termakan waktu. Rasa sakit harus menerima kenyataan keluargaku tidak lagi utuh menjadi cambuk bagiku. 

Pada awalnya aku merasa sangat minder. Di dalam kelas aku yang ceria menjadi murung dan malas berbicara. 

Ketika bel istirahat berbunyi, aku lebih memilih diam di kelas daripada berbaur dengan teman sejawat. Tapi ketika pelajaran aku tetap berusaha aktif. Menjawab pertanyaan guru dengan tangkas, dan mengerjakan tugas-tugas dengan tepat dan cepat. Satu yang mendorongku mengalahkan rasa minder itu adalah kata-kata ayah, yang tidak akan pernah kulupakan sampai kapan pun. Pesan ayah adalah ―Tentang perceraian Ayah dan Ibu itu masalah orang dewasa. Ibu yakin suatu saat nanti kamu akan menemukan alasannya. Tugasmu hanya satu, buktikan ke orang-orang bahwa kamu bisa berprestasi. Melebihi anak-anak dari keluarga yang masih lengkap. Melebihi anak yang diatas derajatnya. Sampai sekarang pesan ayah itu masih kupegang. Menjadi bahan bakar ketika api terlihat mulai redup.

 

Hingga pada akhirnya, di titik puncak kelelahan anak dari sepasang malaikat, anak yang dibanggakan ini tertunduk lesu saat berbicara pada ayah.

“Mungkin hanya sampai SMA. Karena biaya kuliah itu mahal.”

 

Pupus sudah harapanku untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Rasanya aku sudah pasrah dengan segala hal yang ditetapkan Sang Maha Kuasa. Meskipun begitu aku tidak menyerah. Ketika SMP, SMA aku tetap memberikan yang terbaik. 

Berusaha menjadi yang terbaik. Beberapa kali aku mewakili sekolah dalam lomba mata pelajaran bahasa Indonesia, kesenian, meskipun menang hanya sekali. Di kelas pun persaingan sangat ketat. Wajar saja, sekolah saasaat SMA adalah satu-satunya sekolah yang dikenal oleh masyarakat sebagai sekolah terbaik sejak dulu. 

Meskipun sudah belajar sampai larut, juara pertama di kelas tidak pernah aku raih. Tapi paling tidak aku telah berusaha, tidak pernah menyesali setiap usaha karena percaya tidak ada satu pun usaha yang sia-sia.


Ketika teman yang lain sudah memutuskan dan mantap akan pilihannya. Aku hingga minus 30 hari pengisian kuesioner SNMPTN, belum juga terpikir fakultas dan universitas mana yang harus kupilih. Karena aku pesimis aku tidak tega melihat ayahku semakin sengsara jika meminta melanjutkan kuliah. 

Apalagi saat itu menginginkan fakultas Teknik. Aku tetap berdoa kepada Sang Maha Pemberi Rizki, mengharapkan diberi jalan dan kemudahan atas masalah ini.

Hingga suatu saat ayah mendapat kabar dari temannya bahwa ada program Bidikmisi, yaitu program pemerintah yang dikhususkan untuk siswa berprestasi yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi tapi tidak mampu secara finansial. Ada secercah harapan untukku membayar semua pengorbanan ayah.

Selama waktu menanti hasil pengumuman, aku belajar siang-malam. Shalat tahajjud dan istiqarah hingga puasa Senin-Kamis. Semakin lama, aku semakin bersemangat dan optimis. Hingga akhirnya, dinyatakan diterima.

Betapa bahagianya melihat ayah menangis terharu mengucapkan selamat. Memelukku erat. Meski saat itu ayah bau asap rokok kretek, aku pasrah diciumnya berkali-kali.

Dari sini aku tetap percaya bahwa ini kebaikan Tuhan dan berkat doa ayahku. Dari kisah hidupku ini, aku terus mengambil hikmah dari semuanya. Aku selalu berdoa agar bila suatu hari menikah, hal yg sama tidak terjadi di dalam keluarga kecilku nanti. Aku ingin anak-anak kelak mendapatkan kasih sayang yang utuh dari kedua orangtuanya. Sebuah doa yang sederhana tapi impian besar dalam hidup adalah memiliki keluarga kecil yang bahagia. My life my choice, ya aku tetap memilih bersyukur untuk jalan hidup yang telah dan akan dijalani ke depan, tetap semangat dan senantiasa berdoa.

Dari sini juga tersimpulkan tidak semua hal di dunia ini bisa dimasukkan ilmu nalar, kawan. Sebutlah yang kudapatkan ini adalah keajaiban yang dikirim Tuhan untuk ayah. Ini kado terbaik untuk perjuangan kerasnya. Untuk air matanya.

 






Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)