Cerpen
Disukai
1
Dilihat
11,294
Formalitas di atas ranjang
Drama



Sainganku bukanlah wanita nyata, ia bahkan tak berdaya di dalam tanah. Tapi, aku kalah telak karena hati suamiku yang ikut mati bersamanya.


Bodohnya aku terlarut seperti malam, malam yang menjadi saksi dalam sebuah perjalanan banyak cerita, banyak kisah untuk diartikan. Awalnya sulit kelama-lamaan aku paham arti kehidupan, memang tidak pandai main sebuah peran. Peranku sangat rumit untuk dimainkan karena hampir saja aku kehilangan kewarasan karena peran yang aku mainkan. Tapi, aku percaya kepada penulis skenario terbaik, yaitu Allah. Dia maha dari segalanya, yang mengasih peran yang aku mainkan saat ini.

Semoga di balik cerita yang aku mainkan ada sebuah kebahagian.

"Dek kenapa melamun?"


Sontak aku kaget dari lamunan. Menoleh.


"Besok seribu hari kepergian Sarinem, aku harus ke makam sekarang."


Aku mengalihkan pandangan hanya mampu terdiam mendengar jawaban Mas Kardi. Kalau sudah menyangkut Sarinem, maka aku harus mengalah. Seperti yang sudah-sudah.


Sarinem, perempuan yang sudah berpulang itu memiliki ruang teristimewa di hati suamiku. Dunia Mas Kardi hanya berpusat pada Sarinem, Sarinem dan hanya Sarinem. Bahkan meski tadi aku mengeluh tidak enak badan dan minta ditemani ke dokter, Mas Kardi tetap menomorsatukan urusan Sarinem yang sudah di dalam tanah.


Kursi berderit. Mas Kardi beranjak meski nasi di piringnya masih tersisa separuh. Dia beralasan harus segera ke makam untuk menyiapkan acara seribu hari kematian Sarinem.


Beberapa menit kemudian, deru mobil menjauh dari rumah. Mas Kardi pergi tanpa kecupan di kening ataupun secuil kasih sayang untuk diriku. Ini bukan kali pertama aku diabaikan. Setidaknya, sepanjang satu tahun pernikahan, memang beginilah yang aku rasakan. Diabaikan berulang-ulang meski kerap kali mengemis perhatian.


Kepalaku berdenyut nyeri. Namun, aku tidak mungkin meninggalkan meja makan begitu saja. Piring-piring kotor dan sisa menu sarapan harus dibereskan. Bagaimanapun aku tetap harus menjadi seorang istri yang baik.


Menahan sakit kepala dan juga mual, aku memaksakan diri untuk tetap membereskan rumah. Dari awal menikah memang aku dan Mas Kardi sudah sepakat untuk tidak mempekerjakan asisten rumah tangga, jadi beginilah, aku harus siap mengerjakan semuanya sendirian.


Menjelang siang, aku memutuskan untuk ke dokter menggunakan taksi online. Padahal, kalau saja suamiku sedikit peduli, dia bisa saja mengantar lebih dulu sebelum pergi ke makam.


Di sebuah klinik, seorang dokter menyambutku dengan ramah. Setelah menanyakan apa saja keluhan, beliau menyarankan agar aku tes urine terlebih dahulu.


"Selamat, Bu Omaya. Anda positif hamil." Senyum dokter itu mengembang. Manis sekali. Berbanding terbalik denganku yang hanya mampu tersenyum masam. Bukan lantaran tidak bahagia, tapi … aku merasa bayi ini hadir di saat yang tidak tepat.

Bagaimana tidak?

Sampai saat ini, tidak ada perhatian khusus untuk diriku, apalagi suamiku yang tidak pernah bertanya tentang keadaanku. Apa salahnya, jika suamiku itu move on, tidak hidup di masa lalu.


Apalagi dari pemeriksaan lanjutan, diketahui bahwa usia kandunganku sudah enam minggu. Pantas saja, selama dua minggu terakhir badan meriang tidak karuan.


Selain memberikan resep vitamin, dokter juga menyarankan agar aku ditemani suami pada pemeriksaan bulan depan. Aku hanya menanggapi dengan senyuman, lalu segera pergi dari menuju bagian farmasi.


Sembari menunggu obat, aku mencoba menghubungi Mas Kardi. Terhubung, tapi tidak ada respons apa pun. Padahal, seharusnya dia sudah sampai di makam.


Mungkin dia sibuk. Karena selain mengunjungi keluarga Sarinem biasanya dia juga mampir ke warung makan yang ada di jalan menuju makam. Iya. Suamiku memiliki warung makan berkonsep lesehan di sana, yang kini dipercayakan kepada karyawan setelah membuka cabang di Bandung, tempat kami tinggal sekarang.


Aku berusaha mengerti. Maka, aku simpan kabar bahagia ini meski sebenarnya sangsi juga, apakah Mas Kardi akan senang kalau tau aku hamil?


Hingga malam menjelang, tetap tidak ada pesan ataupun panggilan dari suamiku Jika di Makam, memang dia selalu seperti itu, seolah lupa bahwa di sini ada aku.

"Mbok, ya move on Mas!" gerutuku.

Sebagai seorang perempuan, aku ingin sesekali diperhatikan. Terlebih setelah hamil seperti sekarang, aku ingin hadirnya suamiku menjadi orang pertama yang kuberi tahu kabar ini. Karena itulah, aku mencoba menelefonnya lagi. Pada percobaan keempat, sambungan telefon terhubung.


"Ada apa, sih?" Pelan saja, tapi aku yakin dia sedang berusaha menekan suaranya agar tidak membentak.


Aku yang awalnya menggebu-gebu, sekarang mendadak ragu. "Mmm anu, Mas … tadi aku udah ke dokter—"


"Kalau udah ke dokter ya udah. Istirahat. Diminum obatnya. Jangan manja. Aku di sini sibuk."


Tanpa dapat kucegah, air mataku tumpah. Bahkan dia lebih menjaga perasaan keluarga mantan kekasihnya dibanding istrinya sendiri.

Aku ini siapa sebenarnya?


Detik itu juga, aku mengakhiri panggilan sekaligus menonaktifkan ponsel. Cukup sampai di sini saja aku mengemis perhatian. Aku lelah … sangat lelah berjuang sendirian.


Mungkin, akan lebih mudah kalau sosok Sarinem masih ada. Akan lebih mudah jika perempuan lain yang mengganggu rumah tanggaku itu masih hidup. Setidaknya, aku bisa memohon padanya untuk menjauhi suamiku. Sayangnya, wanita itu telah pergi lima tahun lalu, jauh sebelum aku menikah dengan suamiku.


Katanya, perselingkuhan itu memalukan. Katanya, suami yang tergila-gila kepada wanita lain itu menyakitkan. Namun, bagiku akan lebih baik jika diduakan dengan orang yang masih hidup. Setidaknya, kita bisa bersaing atau minimal bisa melihat wanita seperti apa yang sudah berhasil membuat suami bertekuk lutut. Tidak seperti aku, yang terkalahkan hanya dengan bayang-bayang orang yang telah tiada. Bukankah sungguh lucu karena aku hanya dijadikan figuran sementara hatinya terpaut pada Sarinem?


Aku menghapus air mata. Cukup sudah berharap kepada suamiku. Mulai detik ini, akan kubiarkan jiwanya berkelana di dunia fatamorgana. Biar saja dia hidup dengan bayang-bayang mantan kekasihnya. Biarkan dia hidup dalam masa lalunya.


Berarti cukup sudah aku menarik kesimpulan, bahwa aku hanyalah sebatas pelarian. Tidak lebih. Aku sekedar formalitas di atas kertas serta di atas ranjang.

Melepas rasa 'berharap' walau pasrah tidaklah mudah, terkadang kepedihan hari iniini, akankah dirindukan di masa depan. Hah, atau biarkan aku mendekap kesendirian.


Drett... Drett... Drett....


Ponselku berderit, yang pasti bukan dari suamiku, tapi dari seseorang yang dari dulu ada untukku. Dia adalah kembaran dari suamiku. Entah, apa motif dari kakak iparku ini yang selalu menyiapkan telinga mendengar keluh kesahku.


"Ya, Nardi. Ada apa? Aku lagi males diganggu."

"Aku gak ganggu kamu kok! Aku cuma mau denger bagaimana kandunganmu?"

"Hah! Perasaan aku gak pernah cerita ke kamu?"

"Aku tau kok, kamu lagi butuh tempat cerita juga. Aku ingatkan, kamu jangan pernah mengambil keputusan saat emosi, dan jangan pernah berjanji saat senang. langit saja bisa berubah gelap, apalagi manusia."

"Dasar si puitis mulai lagi!"


Tut....


Aku mematikan ponsel, karena terdengar deru klakson mobil suamiku yang sudah pulang.




Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)