Masukan nama pengguna
Hanya satu perbedaan persepsi inilah yang menghalangiku untuk melamarnya dan membuatnya belum siap mendapatkan lamaranku.
Dia tersenyum padaku. Dan aku balas tersenyum.
“Biarkanlah hati adik siap terlebih dahulu untuk mengenakannya. Dan semoga saat itu segera tiba untuk adik.”
Aku menyetujuinya. Walaupun pada awalnya aku sedikit membantah pernyataannya, tapi setelah mengadakan pembicaraan serius yang menyentuh hati, kini aku bisa menerima alasannya.
Padahal mengenakan jilbab tak berhubungan sama sekali dengan sebuah kesiapan. Bahwa mengenakan jilbab adalah suatu keharusan untuk semua wanita muslimah apakah hati mereka siap ataupun tidak. Karena menutup aurat tubuh adalah wajib bagi seorang wanita.
Aku dan dia sudah menjalin hubungan yang cukup lama untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Tapi hingga saat ini aku belum mau melamarnya dan dia belum siap mendapatkan lamaranku. Dan permasalahan yang menjadi penghalang kami ini adalah jilbab.
Karena dia tidak mengenakan jilbab dalam kehidupannya. Dan bagiku itu belumlah menjadi pelengkap kesempurnaan imannya sebagai seorang wanita muslimah. Tapi penjelasan yang dia berikan terkadang terdengar benar walau secara hakikatnya tidak bisa dibenarkan.
“Dan adik belum siap untuk mengenakannya. Adik belum mampu untuk terus mengenakannya dikeseharian hidup adik.”
Aku mencintainya seperti dia mencintaiku. Karena cinta kami inilah kami terus berusaha mencari jalan untuk menemukan kesepahaman dalam perbedaan melalui komunikasi pembicaraan yang membuka hati dan pikiran. Tanpa ego. Tanpa sikap emosional. Tanpa amarah. Hanya hati, perasaan dan pikiran. Juga cinta.
Karena itulah hubungan kami ini bisa bertahan hingga saat ini. Dan kian terasa semakin kuat mencengkam.
Aku selalu mencoba memujuk menerangkan padanya betapa pentingnya berjilbab bagi seorang wanita. Bagaimana sebuah jilbab bisa menjadi pelindung bagi kehormatan wanita. Bahwa aurat yang tertutup akan menyejukkan mata dan menurunkan nafsu berupa birahi dan khayalan dari seorang lelaki. Dan semua itu juga bisa mendatangkan pahala bagi sang wanita sendiri.
Dia tersenyum. Tenang. Lembut. Dan seperti biasa mampu menyejukkan hatiku. Dia mengerti dengan semua penjelasanku tentang pentingnya berjilbab. Sangat mengerti. Tapi hingga saat ini semua kemengertiannya belum cukup untuk membuatnya mengenakan jilbab. Hatinya belum bisa dan belum siap untuk mengenakannya. Lagipula dia tak ingin melakukan sesuatu dengan setengah hati. Dia ingin saat berjilbab nanti dia lakukan dengan totalitas kepasrahan dan keikhlasan hatinya. Dia tak ingin mengenakan jilbab seperti wanita-wanita masa kini yang hanya mengenakan jilbab sebagai bagian dari sebuah mode dan trend busana semata. Tertutup dibagian atas tapi ketat dibagian bawah. Mengenakan jilbab dibagian kepala tapi mempertontonkan lekuk tubuh yang menantang hasrat lelaki. Dan akhirnya jilbab hanya menjadi bukti kamuflase akan tertutupnya aurat tapi mengenakan busana yang memamerkan seluruh lekuk tubuh.
Aku menghela nafas. Dia selalu bisa memberikan alasan dan penjelasan tentang sebuah kesiapan hati untuk berjilbab. Dan semua penjelasannya selalu bisa kupahami dan kuterima walau selalu kuperdebatkan. Bahwa mengenakan jilbab dan busana muslim secara islami itu kembali kepada keimanan seseorang. Apakah seorang wanita belum mau mengenakan jilbab dalam kehidupan kesehariannya, mengenakannya hanya sebagai bagian dari gaya busana saja dengan menggabungkannya dengan segala busana ketat ditubuh, ataukah benar-benar mengenakan busana islami secara sya’ri.
Dan saat ini wanita lebih banyak memilih yang kedua, katanya. Mengenakan jilbab sebagai sebuah gaya busana semata dengan menggabungkannya dengan busana ketat diseluruh tubuh.
“Dan adik tak ingin menjadi wanita seperti itu. Mengenakan jilbab menutupi kepala tapi mengenakan busana yang mempertontonkan lekuk tubuh memancing birahi. Adik tak ingin menjadi wanita munafik seperti itu.”
Aku hanya diam mendengarnya. Tapi anehnya aku bisa menerima segala penjelasannya.
Yang bisa kulakukan hanyalah berdoa agar dia segera mendapatkan sebuah hidayah. Aku tak pernah memohon pada Illahi agar dia segera mengenakan jilbab agar bisa segera menikah denganku. Karena bagiku saat dia mengenakan jilbab secara baik dan sempurna adalah suatu hal yang paling penting meski nanti akhirnya dia bukanlah jodohku.
Untukku semua ini adalah permasalahan hati. Ketika hidayah datang untuknya suatu hari nanti, keikhlasan dan kepasrahan untuk benar-benar menjalankan ketentuan agama akan muncul dengan sendirinya untuknya. Aku tak pernah mendesak, memaksa atau memarahinya. Aku membiarkan dia sendiri merenungkan, berpikir, mencari dan merasakan apa yang terbaik untuknya. Yang kulakukan adalah selalu berada disampingnya, membimbing, menjelaskan sambil pelan-pelan menuntunnya. Dengan irama nasehat dan gaya bujukanku yang selalu ku ubah-ubah setiap kali kala menghadapinya, kapan aku bisa bersikap sedikit tegas dan kapan aku harus memperlakukannya dengan lembut tanpa pernah membuatnya merasa tak nyaman kala bersamaku. Karena aku mencintainya. Dan aku tak ingin membuatnya merasa terpaksa menerima semua yang kukatakan hanya karena berdasarkan cinta.
“Jika adik sudah mengenakan jilbab secara sempurna, saat itulah tandanya bahwa adik telah siap menerima datangnya lamaran abang. Dan abang pasti tahu apa jawabannya.”
Itulah sebabnya hingga saat ini aku belum melamarnya. Dan dia belum siap mendapatkan lamaran dariku. Kami sama-sama belum siap untuk memenuhi impian kami berdua. Karena kami ingin menemukan jalan keluar terlebih dahulu dari perbedaan kami ini. Menemukan kesepahaman dalam hal-hal yang prinsip terlebih dahulu daripada sekedar mengikuti keinginan hati. Karena jika akhirnya kami melangsungkan akad mengikat janji, kami akan melakukannya dengan kesadaran dan kepasrahan sepenuh hati. Dan kala aku melafaskan ijab Kabul mengucapkan janji akan amanat sebuah pernikahan, aku akan melafaskannya dengan ketenangan dan kebahagiaan karena akhirnya kami berhasil mendapatkan hidayah itu berdua.
“Lagipula, apa abang siap jika adik benar-benar mengenakan jilbab secara sempurna? Nanti tak akan ada lagi sentuhan dipipi abang, cubitan manja dilengan abang ataupun genggaman hangat ditangan abang.” Katanya menggoda.
Aku tersenyum lembut. “Tak masalah. Abang mencintai adik dengan apa yang ada di diri adik. Bukan karena kecantikan adik, kesempurnaan tubuh adik ataupun sentuhan-sentuhan adik semata. Abang mencintai adik berdasarkan akal pikiran dan penilaian abang. Dan abang merasakannya dengan hati dan perasaan abang.” Kataku. “Lagipula abang tak pernah mengharapkan kasih sayang itu wujud dalam bentuk perlakuan seperti itu. Sekalipun abang tak pernah memeluk adik ataupun mencium adik. Abang menjaga cinta itu karena abang ingin melindungi kehormatan dan harga diri adik sebagai seorang wanita muslimah. Abang tak ingin menjadi seorang lelaki yang memperlakukan seorang wanita yang belum halal untuknya melebihi dari yang sepantasnya hanya karena cinta. Yang sesekali abang lakukan dan masih abang lakukan hanyalah menyentuh kepala adik, membelai dan sesekali mengacak-acak rambut adik. Mungkin itulah wujud sayang abang pada adik dalam hal cinta. Tapi itu juga menjadi bukti akan kelemahan iman yang abang punya yang masih belum bisa abang jaga dengan sempurna.”
Dan dia terdiam sambil terus menatap mataku.
“Lagipula sampai kapan adik akan mengumbar apa yang seharusnya adik sembunyikan, apa yang seharusnya adik tutupi dari pandangan para lelaki? Abang tak ingin mengetahui bagaimana gaya berpacaran adik dimasa lalu. Abang tak butuh itu. Karena abang mencintai adik sekarang dan nanti saat kita kelak akan terus bersama. Lantas, apa yang menjadi penghalang adik untuk mengenakan jilbab, biarlah adik sendiri yang menemukan jawabannya dan mendapatkan kekuatan kala mengenakannya. Abang hanya bisa berdoa semoga adik tidak menjadi seorang wanita yang tanpa sadar mengumbar keindahan duniawi yang dia miliki dan juga tanpa sadar menjadi pencari dan penikmat keindahan dunia. Abang selalu berdoa untuk adik agar segera diberikan hidayah. Apakah nanti adik ditakdirkan untuk abang ataupun tidak, abang akan selalu berdoa untuk adik.”
Dan matanya kulihat kini mulai berkaca-kaca.
Itu pertemuan kami lima hari lalu. Karena dua hari setelah itu dia memintaku untuk tidak menemuinya atau menghubunginya dulu. Dia ingin menyelesaikan sebuah persoalan pribadi yang kini mulai mengganggunya dan bisa kurasakan dari perubahan sifatnya yang mulai sedikit pendiam dan tertutup.
3 hari. Dia memberikan batas waktu 3 hari yang membuatku bertanya-tanya ada apa sebenarnya. Dan setelah 3 hari itu aku bisa kembali datang menemuinya seperti biasa dan mendapatkan penjelasan darinya.
Dan 3 hari itupun berlalu. Kini aku terpegun tak percaya saat menemuinya untuk pertama kalinya setelah 3 hari itu terlewati.
Aku melihat wajah seorang gadis yang sangat kukenal mengenakan busana yang belum pernah dia kenakan. Aku melihat dia mengenakan jilbab menutup kepalanya dan busana yang longgar menutupi seluruh tubuhnya. Aku melihat sosok seorang gadis yang kucintai dalam penampilan yang sangat berbeda.
Dan sejenak suasana hatiku berubah menjadi syahdu terbawa akan aura pesonanya yang terpancar kuat menyergapku dibalik busana muslimahnya...
Berjilbab itu indah
Walau tertutup
Tapi tak pernah menutupi
Sehelai kain
Dalam selembar hijab
Takkan mampu menyembunyikan aura pesona
Yang ada dihati
Dan terpancar keseluruh tubuh
Hingga menyentuh diri ini
Dalam eloknya tutur kata
Indahnya busana yang terjaga
Dan manisnya tingkah laku yang terpelihara
Bahwa berjilbab itu indah untukmu
Dan Shubhanallah
Memang indah untukmu...
Dia tersenyum tersipu begitu aku selesai melafaskan sebuah puisi yang tercipta begitu saja dihati yang tanpa kusadarai ku hembuskan rangkaian kalimatnya begitu saja seolah mewakili kekagumanku padanya kini.
“Sudah akh…. Jangan pandangin adik seperti itu dong.” Katanya menyadarkan kekagumanku. “Pujian dari puisi abang tadi saja sudah cukup membuat dada adik berdebar keras. Dan kali ini abang memberikan tatapan seperti itu pada adik. Kini adik benar-benar menggigil tak tahu harus bagaimana.” Katanya dengan bibir bergetar indah.
Aku tersenyum menatapnya. Ternyata walaupun dia telah mengubah gaya busananya, tapi cara bicaranya yang selalu jujur mengutarakan apa yang ada dihatinya tetap tidak berubah. Sangat cocok untuknya yang tidak menjadikan jilbab yang tertutup tapi tak pernah menutupi sebuah kejujuran.
“Abang bahagia sekali hari ini.” Kataku. “Berarti abang sudah boleh melamar adik dan menikahi adik, bukan?”
Dia tersenyum.
“Tapi abang rasa lamaran hanyalah sebuah syarat semata. Karena abang sudah tahu apa kira-kira jawaban yang akan adik berikan seandainya abang melamar adik. Karena melihat adik mengenakan jilbab adalah sebuah jawaban dan perintah untuk abang segera melamar adik, bukan?”
“Sok tahu, akh….” Dia tersenyum sambil menatap manja. “Abang datang aja untuk melamar adik. Kelak adik akan memberikan jawaban untuk abang kala abang melamar adik. Dan abang akan tahu apa jawaban adik nanti.” Katanya sambil mencubit lembut lenganku yang kurasakan sangat berbeda dari cubitannya dulu yang kini membuatku merasakan getaran yang dia alirkan keseluruh tubuhku.
Ya, Allah, dulu memang aku mencintainya. Dan ku tahu perasaan ini tulus untuknya.
Tapi, Shubhanallah...
Ternyata kini aku benar-benar semakin mencintainya...