Masukan nama pengguna
Tak sepatah kata meluncur dari mulut Mudra.
Demikian para lelaki itu. Tubuh mereka bergetar dahsyat
saat perempuan berwajah hancur itu lenyap disapu angin.
Mereka mendongak ke langit. Seolah terlempar ke negeri gaib, mereka
menyaksikan tuyul-tuyul berterbangan di lautan cahaya purnama.
Bagaikan sepasukan kelelawar raksasa yang
kemudian lenyap di atas atap-atap rumah.
KAMPUNG Ngudi Tentrem geger. Yeyen menyiramkan air panas ke seluruh tubuh suaminya yang masih mendengkur di kamar tidur. Berita tersebar, perempuan preman terminal itu mendakwa kalau sebagian uangnya di dalam almari telah dicuri suaminya buat mabuk, main kartu China, dan beli togel. Sebagian lain uang itu diberikan suaminya pada Diana. Janda beranak dua di samping rumah yang selalu menemaninya sebelum Yeyen pulang dari terminal.
Siang hari. Halaman rumah kontrakan Yeyen dipenuhi banyak orang. Lintang, suami Yeyen yang mengerang kesakitan dilarikan ke rumah sakit dengan ambulance. Yeyen digelandang dua lelaki berseragam polisi bertampang seram. Orang-orang bubaran. Namun peristiwa menggemparkan itu semakin ramai dibicarakan di Poskamling, di rapat RT, dan pertemuan Darwis. Peristiwa itu tersiar luas sesudah televisi dan media online memberitakannya.
Seminggu kemudian. Berita menggemparkan kembali muncul di desa Ngudi Tentrem. Di bawah temaram cahaya lampu, seorang bocah memenggal kepala ibunya yang tengah tertidur pulas di pelukan ayahnya. Kabar tersiar, bocah yang selalu rajin berdoa itu malu besar saat dituduh mencuri uang belanja oleh ibunya. Senasib Yeyen, bocah itu digelandang ke kantor polisi. Mayat ibunya dikuburkan. Tanpa visum dari seorang dokter.
***
Aroma bunga kematian menyeruak di seluruh kampung Ngudi Tentrem. Orang-orang yang meronda di Poskamling malam itu menciumnya. Semilir angin yang menerpa tipis tengkuk mereka mengabarkan, esok hari ada orang mati. Wajah mereka menyiratkan ketakutan.
Berbeda dengan Sobrah yang amat gelisah. Mudra yang tertua di Poskamling itu tampak tenang-tenang saja. "Mengapa kau gusar?"
"Eyang mencium aroma bunga kematian?"
"Sebelum kau datang, aku telah menciumnya." Mudra mengisap sigaret tengwe. Menghempaskan asapnya. Lenyap disapu angin. Seanyir bangkai. "Memangnya ada apa?"
"Siapa besok yang akan mati dibunuh keluarganya sendiri?"
"Pertanyaanmu salah, Sobrah? Seharusnya kamu bertanya, siapa besok akan kehilangan uang? Gara-gara uang, Yeyen tega menganiaya suaminya. Seorang bocah membunuh ibunya."
"Eyang tahu, siapa di antara kita yang akan kehilangan uang?"
"Aku hanya tahu siapa yang mencuri uang."
"Siapa?"
Mudra menghirup napas panjang. Menghembuskannya. Berlagak seorang dukun, lelaki tua itu memejamkan mata. Berkomat-kamit melafalkan mantra sakti. Menggugah daya indera keenam. Mata batinnya menangkap bayangan seorang perempuan. Diana tengah menyusui bocah kecil di dalam senthong. Seperti seorang ibu yang tengah menyusui anaknya sendiri.
"Mengapa Eyang hanya terdiam? Siapakah yang mencuri uang itu?"
"Tuyul."
Sontak Sobrah dan para peronda lainnya terhenyak. Bulu kuduk mereka berdiri. Wajah mereka melukiskan rasa ketakutan luar biasa. Karena sosok tuyul yang mereka dengar dari mulut ke mulut itu telah berkeliaran di kampung Ngudi Tentrem. "Siapakah yang berani memelihara tuyul di kampung kita, Eyang?"
"Ehm….” Mudra tampak ragu-ragu untuk menyebutkan nama pemelihara tuyul itu. Karena terus dicecar pertanyaan dari orang-orang di Poskamling, Mudra menjawab singkat, “Diana."
Mendengar jawaban Mudra, orang-orang berang. Wajah mereka senampak langit terbakar matahari. Sobrah yang akan meneguk kopi seketika meletakkan cangkirnya ke lantai berlapis tikar. Meninggalkan orang-orang di dalam cakruk yang semakin ramai membicarakan persoalan di kampungnya. Tanpa pamit.
***
Menjelang matahari muntah dari rahim bumi, desa Ngudi Tentrem kembali geger. Sobrah membakar rumah Diana. Janda beranak dua itu mati terbakar bersama dua anaknya. Dengan ambulance, mayat Diana dibawa ke rumah sakit. Mendapatkan visum dokter yang sungguh tidak perlu.
Di depan polisi, Sobrah menyerah saat kedua tangannya diborgol. Sebelum mobil patroli meninggalkan desa, Sobrah berkata lantang kepada semua orang yang berkerumun di tempat kejadian: "Saudara-saudara, kalian tidak akan kehilangan uang lagi. Biang keladinya telah akiu binasakan. Aku puas meski harus meringkuk di dalam penjara. Selamanya!"
Orang-orang mengucapkan selamat jalan kepada Sobrah. Mereka menganggapnya sebagai pahlawan yang tertangkap musuh. Istrinya tidak menitikkan air mata. Perempuan itu bangga, meski Sobrah mungkin akan divonis hukuman seumur hidup atau mati. Dialah pejuang yang mengorbankan jiwanya demi tanah kelahiran. Perempuan itu berjanji akan selalu mencintai Sobrah. Tidak akan berselingkuh dengan lelaki lain. Hingga ajal menjemput serupa senja bagi matahari.
***
Malam sesudah peristiwa paling menggemparkan di desa Ngudi Tentrem itu tidak ada seorang pun berani keluar dari rumah. Ngudi Tentrem diselimuti udara dari negeri hantu. Menyerupai padang Kurusetra seusai Baratayuda. Menyerupai kuburan yang menebarkan aroma kematian.
Erangan panjang perempuan memecah beku malam. Dengan nyali tersisa, setiap lelaki keluar dari rumah. Menuju suara yang bersumber dari rumah Sobrah. Semua lelaki yang berkerumun di depan rumah Sobrah menyaksikan perempuan terkulai di tanah. Dialah istri Sobrah. Mati dengan mulut menjulur. Mengeluarkan darah segar.
Orang-orang saling pandang. Mereka bertanya-tanya siapa gerangan yang membunuhnya. Pandangan mereka beralih ke arah Mudra yang bersedekap dengan mata terkatup. Seorang berkata lantang, "Jangan hanya diam, Eyang! Siapakah yang membunuh istri Sobrah?"
"Aku!"
Serempak pandangan orang-orang ke arah perempuan yang sekujur tubuhnya penuh luka bakar. Wajahnya hancur. Mirip wajah hantu yang sering mereka lihat di sinetron horror. Mudra membuka mata. Berucap bijak, "Siapakah kamu?
"Apakah Pak Tua pangling denganku?"
"Diana?"
"Ya."
"Kenapa kamu membunuh istri Sobrah?"
"Nyawa dibalas nyawa."
"Dia tidak bersalah."
"Aku juga tidak bersalah."
"Kamu memelihara tuyul."
"Kalian yang memeliharanya. Tuyul mimpi yang menjadi biang keladi huru-hara di desa ini. Karena sesudah sawah-sawah menjadi pabrik dan real esatate, kalian menjadi penganggur yang selalu bermimpi punya uang banyak. Bukankah mimpi yang kalian yakini sebagai kenyataan itu telah menelan banyak korban jiwa? Termasuk aku. Perempuan miskin yang hidupnya tergantung pada doa."
Tak sepatah kata meluncur dari mulut Mudra. Demikian para lelaki itu. Tubuh mereka bergetar dahsyat saat perempuan berwajah hancur itu lenyap disapu angin. Mereka mendongak ke langit. Seolah terlempar ke negeri gaib, mereka menyaksikan tuyul-tuyul berterbangan di lautan cahaya purnama. Bagaikan sepasukan kelelawar raksasa yang kemudian lenyap di atas atap-atap rumah.
Mudra mematung garnit. Demikian para lelaki itu. Perlahan-lahan telinga mereka menangkap igauan-igauan dari setiap rumah. Istri dan anak-anak mereka yang tertidur berteriak histeris: “Aku kaya uang! Aku kaya uang! Aku kaya uang!”
Berujung para lelaki itu merasakan bahwa teriakan-teriakannya telah mampu menggoncangkan desa Ngudi Tentrem. Lebih dahsyat dari gempa yang meluluh-lantakkan rumah-rumah pada delapanbelas tahun silam. Pagi hari, mereka menyaksikan arakan awan di ambang musim hujan. Menyepai keranda-keranda yang berbalutkan kain hitam.
Yogyakarta, 2024