Masukan nama pengguna
‘Aku tidak menghendaki hujan turun, sebab kedatangannya membawa kepergian.’
Engkau sering berlari di tempat itu, ketika hamparan air sedang berpesta dengan tarian ombak yang menakjubkan. Langit kuning dengan mentari yang hendak bergegas tidur adalah bigron yang mewarnai masamu dengannya.
Kau menjejak di atas pasir, meninggalkan jejak yang tak berbeban, mengukir kenangan manis saat angin laut lancang menerbangkan rambut-rambutmu. Orang yang mengejarmu tertawa renyah, memaknai perasaan yang sedang berada di titik puncak. Kau dan dirinya sedang bahagia, usai cincin pernikahan tersemat di jari manismu.
“Aku pernah berpikir, seorang gadis sepertiku tidak mungkin bisa menikah di usia muda. Kenyataannya berbeda dengan apa yang aku pikirkan,” katamu, ketika tubuh rebah di atas pasir, menatap tarian para ombak membentur batu karang.
“Ma, sudah menjadi angin lalu, tak usahlah selalu berputus asa!”
“Itu membuatku merasa beruntung, namun aku masih ragu, apakah kita akan bahagia?”
“Kita akan selalu bahagia, sebab kitalah yang menciptakan kebahagiaan itu, bukan kakiku yang pincang, bukan harta melimpah, dan kebahagiaan tak pernah bisa direbut oleh orang lain, hanya kitalah pemiliknya.”
“Kau tidak sedang menguatkan dirimu dalam menerima kenyataan hidup ini bukan?”
Pertanyaanmu terjawab oleh rerintik gerimis. Kepergian mentari membuat langit dirundung pilu, ia pun tak mampu menahan air matanya lagi. Laut basah dibuat semakin basah. Temaram berangsur menjadi gelap, rembulan ikut gelisah, tubuhnya yang belum melingkar dengan sempurna telah ditimbun kabut.
Lelaki yang setengah tahun menemani hidupmu menatapmu, menyentuh wajahmu, meletakkan ke dua tangannya di pipimu, bola mata kalian beradu. Mentari iri denganmu, ia memilih pulang ke peraduan malam, membiarkan kalian berdua menghabiskan waktu bersama remang cahaya bulan.
***
Kakimu jenjang, kau kenakan rok seatas lutut dan celana sepanjang mata kaki, kaosmu oblong biru pucat, warnanya memudar, rambut panjangmu diikat dengan gelang karet. Kulit keringmu bercerita kepada malam tentang hidup yang ringan dipikul.
Selama ini, kau mengajak rindu menjelajahi kota metropolitan, mendirikan jejak di atas gedung tinggi, tidak sedang melihat gumintang, namun kau yang bersuara lembut, dipaksa alam menjadi pemahat dinding dan penata kaca-kaca di gedung-gedung kota. Puluhan bulan lamanya kau menanggalkan statusmu dalam golongan hawa, bekerja menjadi asisten kuli bangunan, tak malu dengan umur yang makin hari kian berkurang, juga membiarkan rindumu terseret-seret menuju Pantai Utara.
Jika saja Tuhan memberimu kesempatan, hari-hari mundur, kau tentu sudah berlari menyisir jalanan sempit menuju pantai yang berada di dekat rumahmu, mengubur penat di sela akar-akar bakau, menggantungkan angan pada daun-daun kelapa, bisa juga dengan mengubur semua kesalmu di rimbunan pasir-pasir. Karenamu, tak tega menatap gelombang ombak jika mereka harus menderita, atas nama rindumu yang melambung ke wajah fatamorgana, lantas mega senja menangis, ia tak tahan melihatmu yang kini hidup menderita.
Senja berduka, langit tak lagi kuning, mentari meninggalkan bumi tanpa mengucap sebait puisi perpisahan, burung-burung kecil menggiring kepergiannya dalam diam. Alam menangis. Kampung halamanmu menjadi istana dalam kenang ingatan. Tak ada lagi pasir bahkan bibir pantai, engkau kini meringkuk dengan semen dan pasir yang sudah dibuat menjadi adonan.
Kembali bata kau susun ke atas, menyelipkan adonan semen dan pasir di sela-sela bata. Keringat kau usap, sekilas menatap langit gelap. Hujan turun. Baru setengah hari kau bekerja, tetes air itu membuatnya menjadi tidak sempurna. Kau berteduh.
***
“Kau ingin punya anak berapa?” percakapan itu berlangsung ketika dirimu duduk di teras rumah, menatap senja yang berkabung. Hujan turun berderai-derai, membuat aroma tanah menguar jelas, menusuk hidung, mengantarkan dingin yang beku. Kau duduk bersisihan dengannya.
“Aku tak memikirkan ada anak berapa, yang jelas Tuhan akan beri berapa, aku tak bisa membayangkan dirimu mencukupi kebutuhan sementara kakimu susah digerakkan!”
“Ayolah, sampai kapan kau akan menjadi wanita yang selalu pesimis?”
Daun kelor miring, tak kuat menahan kubik air yang tumpah berlebih. Kau mendorong kursi roda lelaki itu, masuk ke dalam rumah. Menutup pintu rumah. Menyalakan neon usai merapatkan tirai jendela.
“Aku tidak pesimis, aku sedang berkata sesuai keadaan kita.”
“Kau mau ke luar kota untukku?”
Detik di dalam ruangan mendadak berjalan pelan. Kau menghentikan langkah roda kursi, mengerem paksa, merenungi kata yang baru saja dimuntahkan, membiarkan kamar manis itu tertutup rapat. Hujan dan dirimu yang terlunta adalah tema terunik waktu itu. Ada jeda panjang yang sedang diciptakan oleh waktu.
“Apa yang aku bisa?’
“Menggantikan diriku sebelum aku jatuh dari atap yang tinggi? Kau mau?”
“Kenapa perusahaan tidak memberimu pengaman? Apa dilanda bangkrut sehingga tak bisa memberimu alat keamanan yang memadai?”
“Pulang satu bulan sekali!”
Percakapan hari itu tak tertuntaskan, kau dan dirinya diam dalam pikiran masing-masing. Keesokan harinya kau pergi demi dirinya yang menginginkanmu berlabuh.
Hari ini hujan kembali turun, seolah-olah mereka ingin merobohkan bangunan yang baru saja didirikan oleh para kuli. Tahun lalu, kau berangkat ke tempat ini dengan modal nekad, berharap Tuhan menakdirkanmu menjadi perempuan tangguh yang mendapat gelar hebat demi seorang suami. Engkau menanamkan mimpi akan pulang sebulan sekali usai mendapatkan upah.
Mimpi itu hambur dengan jalanan cerita yang lebur. Kecupan manis di keningmu binasah. Tinggallah gelombang ombak pantai yang selalu mendesahkan suaranya sepanjang malam. Sementara dirimu, berbulan-bulan lamanya, masih setia di tempat ini, dalam sebuah proyek pembangunan mall besar di kota metropolitan yang tak kunjung usai.
“Tenagamu sangat sedikit, sebaiknya kau pulang dan masakkan makan malam untuk suamimu,” ungkap mandor yang baru saja datang, ikut berteduh dari terpaan hujan. Ia mengembuskan asap nikotin ke udara, melambungkannya bersama rintikan hujan.
Material bangunan tampak berserakan, batu dan sekop dibiarkan begitu saja, besi-besi akar bangunan rebah di tanah, pasir dan semen ikut merasakan dinginnya cairan hujan. Tubuh mall yang dirakit dua puluh tingkat itu tampak seperti kerangka yang belum sempurna.
“Dia sudah bisa memasak sendiri.”
“Apa dia sehat? Aku belum pernah menatap wajahnya lagi, setelah insiden kecelakaan satu tahun yang lalu.”
“Kau mandor yang sangat perhatian, Tuan!”
“Hm … bisakah kau mengajakku pulang ke rumahmu? Hujan seperti ini mengingatkanku dengannya. Dia jatuh ketika hujan turun sangat deras.”
Suamimu adalah bahasan yang membuatmu dirundung luka, engkau tak mampu membendung rindu dan penyesalanmu sebab telah meninggalkannya di rumah sendirian.
Tak akan pernah kau lupakan seorang tetangga yang datang menemuimu ke kota, membawa air mata, mengantongi pedih di dompetnya.
“Aku hutang uang demi ke sini, maka segeralah pulang!” tiba-tiba saja ada hal yang memaksamu untuk pulang. Itu tentunya adalah hal buruk.
Engkau yakin, musim hujan tahun itu membawa banyak keberuntungan, termasuk hilangnya satu langkah suamimu. Karenanya rasa sayangmu semakin bertambah. Takdir membuatmu tak tega memikulkan beban kehidupan untuknya. Keputusanmu untuk pergi pun terbukti sebagai keikhlasanmu mencintai dalam kekurangan.
“Ada apa?”
“Suamimu memintamu pulang, sebab ia sangat merindukanmu! Rindu lebih dari apa pun! Ia ingin kau pulang, lalu berangkat lagi demi dirinya!”
“Aku tidak ingin pulang, jika ada hal buruk yang terjadi. Aku akan pulang saat semuanya baik-baik saja. Kau kemari karena ada kabar yang tidak baik bukan? Sampaikan pada suamiku, aku akan pulang saat ia bisa tersenyum lagi!”
“Kau gila!”
“Kembalilah ke kampung, aku akan menunggu kabar baik darimu!”
“Aku tak akan pernah kemari lagi! Suamimu yang memintamu pulang!”
“Maafkan aku, aku tidak ingin kejadian tahun lalu terulang, saat seorang mandor mengetuk pintu rumahku, hari itu hujan datang, membawa berita kepergian langkah suamiku yang mengalami kecelakaan kerja!”
Tetanggamu tak mampu memaksamu lebih jauh lagi, ia meminta kertas dan bolpoint, lantas menuliskan sesuatu di lembaran putihnya.
“Bukalah saat kau merasa ingin tahu hidupmu dan betapa dalamnya suamimu mencintaimu! Tak ada kabar buruk yang akan datang, selain rasa sesalmu di kemudian hari.”
Ia pulang.
Kau berdiri mematung, menahan matamu yang sudah mengeluarkan cairan hangat. Pada akhirnya kau memutuskan menunggu hal yang tidak pasti. Hari demi hari kau lalui dengan diam bersama material-material bangunan. Engkau paksa ingatan pedih dan rindu yang bergejolak itu pergi, sementara kau masih terpaku dalam gigil malam. Tak jarang terisak sendirian, membuat hening merasa bersalah atas perbuatan yang tak pernah ia lakukan, sementara batinmu dilanda siksa bertubi-tubi.
Kau ingin pergi ke dimensi waktu lampau, ketika kau dan suamimu memiliki empat jejak kaki di atas pasir, ketika suamimu masih berlari mengejar langkahmu kemudian diam-diam memelukmu dari belakang.
Ah, engkau ingin membuat surat permohonan ke Doraemon dan Nobita agar mereka meminjamkan pintu ke mana saja. Terlalu banyak mimpi tentang masa lampau yang kau harapkan kembali di depan matamu, sementara kata tidak mungkin teramat dekat dengan nalarmu.
Kau memberi sekat pada kebahagiaanmu sendiri, membiarkan peluang bersama itu menjadi sempit, bahkan sampai tak dapat dipererat lagi. Kaulah pemberi batas pertemuan, bukan Tuhan yang memisahkan. Tahapan selanjutnya, kau menyesal. Ya! Tepat sekali perkataan tetanggamu empat bulan yang lalu.
Gerimis berderai, membasahi malam yang kau rasa teramat panjang. Kau rebah di kos-kosan. Memeluk foto suamimu, dengan tangan gemetar membiak kertas pemberian tetanggamu yang masih kau simpan rapi. Engkau menangis. Tangismu menggiring kedatangan hujan. Asbes serasa diamuk kerikil. Petir perlahan menjerit. Kunang bisu. Detik waktu membius dalam kesendirian. Selimut yang membalut setengah tubuhmu tak kuat memberikan kehangatan. Jiwa dan ragamu bergetar seperti tahun lalu ketika mandor yang kini menjadi tuanmu itu datang ke rumah, membawa kabar yang tak pernah kau harapakan. Bibirmu bahkan sampai membiru. Napasmu beradu cepat dengan ratusan titik air. Kau sendiri dan merasa sangat tersiksa.
‘Suamimu berpesan sebelum kematiannya agar tak menyampaikan kabar buruk ini kepadamu. Ia hanya ingin kau pulang, ia sangat merindukanmu. Ada bunga mawar dan melati kesukaanmu yang ingin diberikan kepadamu. Ia ingin kau mengambilnya sebelum bunga-bunga itu layu di atas tubuhnya yang baru, batu nisan.’
***
“Sampai kapan pun, aku tidak akan pulang! Karena bunga mawar dan melatiku telah luruh menjadi tanah.”
“Kau bicara apa?” Mandor bingung.
“Aku lanjut kerja, Pak. Hujan sudah berhenti!”
“Bisa kau beri alamat rumahmu? Aku ingin bertemu dengan suamimu!”
“Jalan abadi,” jawabmu sangat yakin dan meninggalkannya yang masih belum paham.
Engkau percaya, dengan melanjutkan pekerjaan suamimu menjadi kuli bangunan, ia akan tersenyum menunggu hari pengakhiran. Maka kau lanjutkan menyusun batu-bata.
Hujan reda, kisah berjeda. Puluhan kuli melanjutkan pekerjaan mereka.
***
Kaliangkrik, 16 Mei 2018.